Anda di halaman 1dari 3

Nama : Sang Ayu Made Dhira Vidyasari

NIM : 1604551168
Kelas : B Reguler Pagi
Mata Kuliah : Antropologi Hukum

1. Pengertian dan Konsep Pluralisme Hukum


Kajian mengenai hukum dapat ditinjau dari berbagai dimensi, baik dalam konteks yang
dibuat oleh negara, maupun dalam konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara terbatas
hukum dikaitkan dengan hukum negara, khususnya undang-undang (law in the book). Para
Antropolog menangkap hukum sebagai suatu acuan normatif yang luas dan terus hidup dan
berkembang secara dinamis (living law), meliputi tidak hanya hukum negara, tetapi juga sistem
norma di luar negara, ditambah pula dengan segala proses dan actor yang ada di dalamnya.
Hukum tidak hanya berisi konsepsi normative: hal-hal yang dilarang dan dibolehkan, tetapi juga
berisi konsep kognitif. Pertemuan atau interaksi antara pengertian hukum atau bahkan sistem
hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kajian tersndiri yang menarik di dalam
ilmu hukum yang sering disebut dengan kajian pluralisme hukum. pluralisme hukum merupakan
konsep yang menujukkan kondisi, bahwa lebih dari satu sistem hukum yang ada dan berlaku
bersamaan atau berinteraksi dalam mengatur berbagai aktivitas dan hubungan manusia di suatu
tempat
Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah  aturan hukum yang lebih
dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya pluralisme hukum di indonesia di
sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia yang mempunyai perbedaan suku, bahasa,
budaya, agama dan ras. Tetapi secara etimologis bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun
pada dasarnya memiliki persamaan yang sama yaitu mengakui semua perbedaan-perbedaan
sebagai kenyataan atau realitas. Pluralisme hukum hadir untuk memberikan pemahaman yang
baru kepada praktisi hukum, pembentuk hukum negara (para legislator) serta  masyarakat secara
luas bahwa disamping hukum negara terdapat sistem-sistem hukum lain yang lebih dulu ada di
masyarakat dan sistem hukum tersebut berinteraksi dengan hukum negara dan bahkan
berkompetisi satu sama lain. Disamping itu, pluralisme hukum memberikan penjelasan terhadap
kenyataan adanya tertib sosial yang bukan bagian dari keteraturan hukum negara. Pandangan
sentralistik berpendapat bahwa satu-satunya institusi yang berperan menciptakan keteraturan
sosial adalah negara melalui hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh negara. Pada realitanya,
banyak terdapat ‘kekuatan lain’ yang tidak berasal dari negara. Diantaranya, hukum adat, hukum
agama, kebiasaan-kebiasaan, perjanjian-perjanjian perdagangan lintas bangsa dan sebagainya.
Kekuatan-kekuatan tersebut sama-sama memiliki kemampuan mengatur tindakan-tindakan
masyarakat yang terikat di dalamnya, bahkan terkadang anggota atau komunitas dalam
masyarakat lebih memilih untuk mentaati aturan-aturan yang dibentuk oleh kelompoknya
dibanding aturan hukum negara. Jadi, melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati
bagaimanakah semua sistem hukum tersebut berjalan bersama-sama dalam kehidupan sehari-
hari. Sehingga, pluralisme hukum sebagai pendekatan atau kajian tidak lain adalah alat bantu
bagi negara dalam proses pembentukan hukum dan pembangunan hukum yang lebih dekat
dengan masyarakat ke depannya.
Konsep pluralisme hukum ini sendiri muncul sebagai kritik atas dua konsep sebelumnya
yaitu evolusionisme dan sentralisme hukum. Kritik atas pendekatan evolusionisme membawa
konsep pluralisme hukum pada kesimpulan bahwa aturan-aturan tradisional merupakan kategori
hukum. Sehingga, eksponen konsep pluralisme hukum menegaskan bahwa pluralisme hukum
adalah fakta dan sebaliknya sentralisme hukum adalah ilusi. Fakta yang dimaksud adalah adanya
lebih dari sistem hukum yang ada pada saat dan waktu yang sama. Berbagai sistem hukum ini
melakukan interaksi yang dapat berujung pada saling meniadakan maupun akomodatif atau
saling melakukan penyesuaian sehingga masing-masing sistem berlaku efektif. Jadi, adapun
konsep pluralism hukum dapat dijelaskan sebagai yang pertama pluralisme hukum menjelaskan
relasi berbagai sistem hukum yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum
memetakan berbagai hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi,
adaptasi, dan kompetisi antar sistem hukum. Keempat, pluralisme hukum memperlihatkan
pilihan warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik.

2. Macam-macam/jenis-jenis Pluralisme Hukum


Adapun macam-macam konsep pluralisme hukum, yaitu:
a. Pluralisme Relatif (Vanderlinden 1989), Pluralisme Lemah (J. Griffiths 1986), atau
Pluralisme hukum negara (Woodman 1995:9)
Menunjuk pada konstruksi hukum yang didalamnya aturan hukum yang dominan
memberi ruang, implisit atau eksplisit, bagi jenis hukum lain, misalnya hukum adat atau
hukum agama. Pluralisme hukum yang lemah adalah salah satu sistem hukum memiliki
posisi superior di hadapan dengan sistem hukum lainnya. Selain itu, dapat dikatakan bahwa
pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun
mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior
sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara.
Misalnya, hukum negara disahkan sebagai hukum positif suatu negara mengakui adanya
hukum lain dan memasukkannya dalam sistem hukum positif negara.
b. Pluralisme Kuat atau Deskriptif (Griffths) atau Pluralisme Dalam (Woodman)
Pluralisme hukum menunjuk situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem hukum hidup
berdampingan dengan masing-masing dasar legitimasi dan keabsahannya. Adapun
dijelaskan oleh Griffths, Suatu kondisi dapat dikatakan strong legal pluralism jika masing-
masing sistem hukum yang beragam itu otonom dan eksistensinya tidak tergantung kepada
hukum negara. Jika keberadaan pluralisme hukum itu bergantung kepada pengakuan dari
hukum negara maka kondisi seperti itu disebut dengan weak legal pluralism. Dengan kata
lain, pluralisme hukum yang kuat karena ada situasi ketika antar berbagai sistem hukum
melangsungkan interaksi yang saling tidak mendominasi alias sederajat. Individu atau
kelompok yang hidup dalam lapangan atau wilayah sosial tertentu bebas memilih salah satu
hukum dan bebas untuk mengkombinasikan berbagai sistem hukum dalam melangsungkan
aktivitas keseharian atau untuk menyelesaikan sengketa.

3. Pendeketan Prosesual dalam Pluralisme Hukum


Pada prinsipnya hukum dipandang sebagai bagian dari kebudayaan yang memberi pedoman
bagi warga masyarakat mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh (normative) dan
dalam hal apa (kognitif). Oleh karena itu hukum adalah bagian dari kebudayaan, maka konsepsi
normative dan kognitif tersebut bisa berbeda-beda di setiap kebudayaan dan bisa berubah di
sepanjang waktu. Dalam pemikiran prosesual, hukum dipandang sebagai gejala sosial atau
proses sosial, artinya, hukum selalu berada dalam pergerakan (dinamika), karena dipersepsikan,
diberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu.

Anda mungkin juga menyukai