Anda di halaman 1dari 7

HUKUM DAN MASYARAKAT:

HUBUNGAN SALING PENGARUH YANG ABADI1

Rikardo Simarmata2

Frasa ‘hukum dan masyarakat’ selama ini dipakai untuk menyebut pemikiran-pemikiran
hukum yang menolak pandangan adanya determinasi hukum, dan sebaliknya mendalilkan bahwa
hukum tidak beroperasi dengan logikanya sendiri. Untuk tujuan mempersoalkan manfaat sosial
sistem hukum yang sedang berlaku, frasa tersebut dipakai untuk menjelaskan kesenjangan antara
hukum dengan kenyataan. Di kalangan gerakan pembaharuan hukum, pemikiran-pemikiran yang
mewakili frasa tersebut mengilhami penggunaan metode analisa kritis terhadap isi peraturan
perundangan. Di samping frasa hukum dan masyarakat (law and society) terdapat juga istilah hukum
dan kenyataan (law and reality). Kedua frasa tersebut umumnya difahami memiliki pengertian yang
sama.

Kajian hukum dan masyarakat menjelaksan cara bekerja hukum yang dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan politik dan sosial serta sistem sosial. Hukum adalah bagian dari elemen sistem
sosial dan karena itu dalam bekerja dipengaruhi oleh elemen-elemen lain dalam sistem sosial.
Misalnya elemen politik, ekonomi dan budaya. Sekalipun dihasilkan oleh masyarakat dengan peran
sebagai pengintegrasi masyarakat (law as an integrative mechanism), hukum beserta lembaga-
lembaga pelaksana dan penegaknya tidak lantas dibiarkan bekerja secara otonom. Masyarakat tidak
lantas mematikan hasrat atau menyembunyikan kepentingannya ketika membicarakan hukum.

Pendekatan Marxian, sebagai varian dari kajian hukum dan masyarakat, bahkan meyakini
bahwa hukum bukan dibuat untuk dibiarkan bekerjanya dengan logikanya sendiri melainkan dipakai
secara sadar untuk melayani kepentingan kelompok-kelompok berkuasa. Pandangan Marxisme
bahwa hukum hanya sebatas alat menimbulkan kesangsian bahwa pendekatan ini tidak memiliki
penjelasan sistematik mengenai hukum (Collins 1982).

1
Disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Sosio-Legal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 4-5 November 2015.

2
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Bagi yang memahami kata ‘masyarakat’ dalam frasa hukum dan masyarakat sebagai
aparatus pelaksana dan penegak hukum, frasa hukum dan masyarakat cenderung dilihat sebagai
satu tarikan nafas. Cotterrell (1984) menjelaskan bahwa teks-teks hukum akan mewujud dengan
bantuan pelaksana dan penegak hukum. Tanpa pelaksana dan penegak hukum, teks-teks hukum
tidak berarti. Perilaku pelaksana dan penegak hukum merupakan salah satu obyek kajian hukum dan
masyarakat. Dengan asumsi bahwa perilaku pelaksana dan penegak tersebut juga ikut
mempengaruhi (atau bahkan lebih mempengaruhi) perilaku individu dan kelompok, maka dalam hal
ini masyarakat (baca: perilaku) juga dianggap sebagai hukum.

Sekalipun menunjuk pada kelompok pemikiran yang mempersoalkan dalil-dalil otonomi atau
determinasi hukum, namun terdapat variasi di dalam kajian hukum dan masyarakat. Variasi pertama
datang dari ragam disiplin ilmu. Ragam kedua berasal dari ilmu hukum sendiri yaitu adanya berbagai
alairan pemikiran hukum. Adapun ragam ketiga terjadi karena berkembangnya konsep atau teori-
teori yang menjelaskan dimensi-dimensi yang lebih spesifik dari relasi hukum dan masyarakat.
Tulisan pendek ini berfokus untuk menggambarkan ragam kajian hukum dan masyarakat yang
disebabkan oleh ketiga hal tersebut.

Ragam disiplin ilmu

Pada kesempatan ini hanya sosiologi hukum dan antropologi hukum yang disebutkan
sebagai disiplin ilmu yang menyediakan penjelasan mengenai hubungan hukum dan masyarakat. Di
luar kedua disiplin ilmu ini terdapat psikologi hukum atau kajian yang menyimak pengaruh politik
terhadap hukum.

Sebagai disiplin ilmu yang dikenal menaruh fokus pada sesuatu yang makro, sosiologi hukum
mengaitkan hukum dengan sistem atau struktur sosial. Dalil yang dikembangkan adalah bahwa
sistem atau struktur sosial mempengaruhi hukum. Akibatnya, perubahan-perubahan pada sistem
dan struktur sosial dengan sendirinya menyebabkan perubahan pada hukum. Evolusionisme
merupakan salah satu teori yang banyak menjelaskan hubungan perubahan sistem atau struktur
sosial dengan hukum. Bunyi preposisinya bahwa, bersama dengan perubahan atau perkembangan
masyarakat, hukum juga akan berubah secara linier dari yang berciri primitif ke ciri modern atau
rasional.

Pada saat yang sama kajian-kajian yang berperhatian pada peran hukum dalam masyarakat
(law in society) menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu pengaruh hukum pada perubahan sosial atau
masyarakat. Pemikir-pemikir hukum yang meyakini adanya determinisme hukum atau yang
menggunakan teori strukturalis fungsional, mengembangkan kajian tersebut secara serius. Konsep
hukum sebagai sarana rekayasa sosial dari Rescoe Pound adalah salah satu dari sekian penjelasan
mengenai peranan hukum dalam masyarakat. Pound meyakini bahwa dengan kedudukannya yang
netral, hukum dapat menyelesaikan konflik dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan dan
selanjutnya menciptakan keteraturan sosial, dengan cara mengakomodir kepentingan individu dan
kelompok. Hukum dapat melakukan peran tersebut bila tidak mempertimbangkan aspek moral dan
menganggap dirinya sebagai perahu kosong yang tidak bermuatan nilai-nilai (Tamanaha 2006).

Menurut Franz von Benda-Beckmann (1989), kelompok tersebut meyakini bahwa dengan
syarat bahwa hukum menangkap keinginan dan aspirasi masyarakat maka hukum bisa menuntun
masyarakat berkembang ke arah yang diinginkan. Menurut Moore (1973) godaan untuk memberi
peran pada hukum untuk menuntun atau bahkan merekaya perubahan sosial tidak terlepas dari
kemampuan mencipkan sistem politik terpusat dan dengan bantuan teknologi informasi.

Cara lain sosiologi hukum melihat relasi antara hukum dan masyarakat adalah lewat diskusi
yang mencermati hubungan kepatuhan dengan tingkat penerimaan atas hukum negara. Salah satu
preposisi yang berkembang dalam diskusi ini bahwa legitimasi hukum negara akan menentukan
tingkat kepatuhan masyarakat. Legitimasi ditentukan seberapa jauh hukum negara mengakomodir
atau bahkan merefleksikan masyarakat.

Dispilin ilmu antropologi hukum berfokus pada faktor budaya untuk menjelaskan hubungan
hukum dan masyarakat. Budaya yang dimaksud adalah hukum. Bagi antropologi hukum, hukum
merupakan produk budaya (Ihromi 2000). Berbeda dengan disiplin sosiologi hukum yang lebih
memaknai kata ‘hukum’ sebagai hukum negara, antropologi hukum mengartikan hukum secara luas.
Pengertian hukum secara luas dapat merujuk pada penjelasan John Griffiths (1986) bahwa semua
bentuk kontrol sosial merupakan hukum. Atau semua sistem keteraturan (normative order) dapat
dijelaskan dengan pendekatan hukum.

Berangkat dari definisi hukum yang luas tersebut, cara antropologi memaknai ‘masyarakat’
dalam frasa hukum dan masyarakat yaitu dengan melihatnya sebagai entitas yang memiliki
keteraturan sosial. Masyarakat tidak dilihat sebagai individu dan kelompok yang saling bertarung
mempengaruhi hukum negara demi memperjuangkan kepentingan masing-masing. Bagi disiplin
antropologi hukum, individu dan kelompok-kelompok tersebut mengelola kepentingan dengan
menciptakan aturan sendiri. Moore (1978) mengatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut
memiliki kapasitas untuk membuat aturan serta memaksakan keberlakuannya kepada anggota-
anggotanya.
Antropologi hukum melihat bahwa sistem keteraturan tersebut mempengaruhi efektivitas
bekerjanya hukum negara. Dalam kajian plularisme hukum, sistem keteraturan berbasis non-negara
tersebut memberi pengaruh pada sistem hukum negara, atau sebaliknya. Konsep interlegality yang
diperkenalkan pertama kali oleh Boaventura de Saousa Santos dan dikembangkan oleh Hoekema
(2005; 2008) menjelaskan bahwa berlangsung peristiwa saling adopsi elemen antara hukum negara
dan hukum-hukum non-negara. Hal yang sama juga ditekankan oleh Moore lewat konsep lapangan
sosial semi otonom-nya (semi-autonomous social field).

Pencermatan konsep pluralisme hukum mengenai keberadaan sistem keteraturan non-


negara juga dipakai oleh kelompok ilmuan yang melayangkan kritik terhadap konsep dan program
hukum dan pembangunan (law and development). Kelompok tersebut mengajukan kritik bahwa law
and development gagal di negara-negara berkembang karena tidak memperhitungkan kenyataan
bahwa banyak komunitas di negara-negara berkembang masih diatur oleh aturan-aturan berbasis
kebiasaan (Otto et al. 2004).

Ragam aliran pemikiran hukum

Dalam bukunya ‘A general jurisprudence of law and society, Brian Z. Tamanaha


memaparkan penjelasan hubungan segitiga antara kebiasaan/konsensus, moral/rasio dan hukum
positif. Menariknya, penjelasan mengenai hubungan antara ketiga komponen tersebut dengan
melihat penjelasan sejumlah aliran pemikiran hukum. Komponen kebiasaan/konsensus
(custom/consent) dan moral/rasio (morality/reason) menunjuk pada masyarakat (society).
Sedangkan komponen positive law menunjuk pada aturan yang dibuat dan ditegakan oleh otoritas
formal.

Para pemikir hukum klasik seperti Plato dan Aristoteles, tidak membedakan antara
kebiasaan dan hukum. Kata nomos, awalnya lebih menunjuk pada kebiasaan (custom). Dalam
perkembangannya kata tersebut juga dipakai untuk menunjuk hukum. Bersamaan dengan
berkembangnya tradisi hukum tertulis, muncul istilah ius yang spesifik menunjuk pada hukum.
Pemikiran hukum yang berkembang saat itu memaknai nomos sebagai aturan yang memiliki
legitimasi paling tinggi. Nomos adalah roh dari ius karena nomos dihasilkan lewat konsensus dan
karena itu memuat nilai-nilai moral serta rasional.

Aliran pemikiran Hukum Alam (Natural Law) mendalilkan bahwa hukum berasal dari Alam.
Untuk menjadi hukum positif, hukum-hukum yang berasal dari alam tersebut terlebih dahulu
diterima masyarakat karena dianggap bermanfaat. Sebelumnya menjadi hukum positif, hukum-
hukum yang berasal dari Alam tersebut sebelumnya menjadi kebiasaan yang dihasilkan melalui
konsensus. Dengan melalui proses semacam itu, sebagian pemikir Hukum Alam berpendapat bahwa
kebiasaan adalah sumber utama bagi hukum.

Aliran Positivisme Hukum cenderung dianggap memisahkan hukum dari kebiasaan dan juga
moral. Mengutip ucapan John Austin, ‘aturan lain seperti moral dan kebiasaan, bukanlah hukum.
Menurut aliran Positivisme Hukum, kebiasaan harus dipisahkan dari hukum. Legitimasi hukum tidak
didasarkan pada kebiasaan. Hukum harus diterima jika sudah dibuat sesuai bentuk dan proses
tertentu, sekalipun tidak sesuai dengan kebiasaan. Namun sekalipun menganjurkan pemisahaan
antara hukum dan kebiasaan, pemikir Positivisme Hukum seperti Austin dan L.A. Hart tidak
mengingkari kenyataan bahwa kebiasaan mempengaruhi hukum. Kebiasaan berpengaruh pada
hukum dalam hal menentukan legitimasi hukum. Hukum di negara-negara modern dipengaruhi oleh
moralitas masyarakat. Pada situasi sebaliknya, hukum juga berpengaruh pada kebiasaan yaitu pada
saat kebiasaan membutuhkan ‘baju’ hukum untuk menjadikannya sebagai aturan yang diakui
masyarakat maupun negara.

Ketiga aliran pemikiran hukum di atas, sekalipun melihat hubungan yang kuat antara
kebiasaan dan hukum, namun masih membedakan keduanya. Hal ini berbeda dengan aliran
pemikiran sejarah hukum yang tidak membedakan keduanya. Hukum adalah kebiasaan (baca:
masyarakat). Kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan ekspresi dari jiwa suatu bangsa. Oleh sebab
itu, hukum bersemayam pada masyarakat. Karena bersemayam pada masyarakat, cara
menghasilkan hukum bukanlah dengan membuatnya melainkan menemukannya. Pemikiran Sejarah
Hukum mengenai pengertian hukum tersebut belakangan mengilhami pemikiran-pemikiran hukum
yang menegaskan bahwa kebiasaan tersebut merupakan hukum, seperti konsep living law dari
Eugen Ehrlich. Konsep living law sendiri selanjutnya mengilhami konsep pluralisme hukum.

Selain melihat pengaruh antara hukum dan masyarakat, kajian hukum dan masyarakat juga
mencermati kesenjangan diantara keduanya. Kesenjangan muncul pada saat hukum berjarak atau
berbeda dengan kebiasaan masyarakat. Kesenjangan mengemuka apabila hukum menentukan hal
yang berbeda atau sebaliknya dengan yang berlaku dalam kebiasaan.

Diskusi mengenai topik tersebut melahirkan konsep mengenai kesenjangan antara law in the
books dan law-in-action. Istilah law-in-action dalam hal ini harus dibedakan dengan kebiasaan atau
hukum yang hidup. David Nelken (1984) menjelaskan dengan baik perbedaan diantara keduanya.
Istlah law-in-action yang diperkenalkan oleh Roscoe Pound menunjuk pada perilaku pelaksana dan
penegak hukum, sementara istilah living law yang dikemukakan oleh Ehrlich menunjuk pada
kebiasaan masyarakat.

Jika konsep mengenai kesenjangan hukum cenderung mendeskripsikan perbedaan diantara


hukum dan kebiasaan masyarakat, Bettina Lange (1999) dengan konsep creative compliance melihat
bahwa pada kondisi tertentu kebiasaan (social practices) dapat merupakan upaya untuk
memperkecil jarak tersebut. Dengan memahami social practice sebagai law-in-action versi Pound
kajian-kajian mengenai creative compliance banyak menggambarkan perilaku pelaksana dan
penegak hukum yang berada di garda depan, dalam mensiasati hukum agar program pemerintah
dan keberadaan mereka diterima masyarakat.

Bahan bacaan
Benda-Beckmann, Fronz van (1989), ‘Space-Goat and Magic Charm Law in Development Theory and
Practice, Journal of Legal Pluralism&Unofficial Law 28: 129-148.

Collins, Hugh (1988), Marxism and Law. Oxford New York: Oxford University Press.

Cotterrell, Roger (1984), The sociology of law: an introduction. London: Butterworths

Griffiths, John (1986),‘What is Legal Pluralism? Journal of Legal Pluralism&Unofficial Law 24: 1-56.

Hoekema, Andre J., (2005), ‘European Legal Encounters Between Minority and Majority Culture:
Cases of Interlegality. Journal of Legal Pluralism&Unofficial Law 51: 1-28.

Ihromi, T.O., (2000), Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lange, Bettina (1999), ‘Compliance construction in the context of environmental regulation. Social
&legal studies, 8: 548-567.

Moore, Sally Falk (1973), ‘Law and social change: the semi-autonomous social field as an appropriate
subject of study’. Law and society review 7(4):719-746.

Rahardjo, Satjipto (1979), Hukum dan perubahan sosial. Bandung: Angkasa.

Tamanaha, Brian Z., (2001), A general Jurisprudence on Law and Society. Oxford: Oxford University
Press.

_________________ (2006), Law and a Means to and End: a threat to the rule of law. Cambridge
University Press.

Anda mungkin juga menyukai