Anda di halaman 1dari 3

Natarina Syahputri Sidharta

1706026166
Filsafat Hukum B
Paralel
Sosiological Jurisprudence, Socio-Legal Studies, and Sociology of Law
Aliran sociological jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari
berbagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh
Roscoe Pound serta tokoh-tokoh lainnya antara lain Benjamin Cardozo dan Kantorowics. Inti
dari pemikiran aliran ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pemikiran ini pun berkembang di
Indonesia.1
Sociological jurisprudence merupakan suatu aliran dalam filsafat hukum yang
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi
hukum adalah cabang dari sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum.
Menurut aliran sociological jurrisprudence: “Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di antara masyarakat”. Singkatnya, sociological jurisprudence
mempunyai cara pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi
hukum sebaliknya, yaitu pendekatannya dari masyarakatan ke hukum.
Aliran sociological jurisprudence memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat
dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah. Yang
menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang
berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal
dan diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang
diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantuk oleh
kekuasaan masyarakat itu.
Berbicara pemikiran hukum yang bercorak sosiologis ini, hampir tidak ada
kesepakatan yang pas mengenai apa itu hukum yang bercorak sosiologis. Namun pada
umumnya, dapat disimpulkan, pemikiran hukum yang sosiologis, ditandai dengan karakter-
karakter demikian: Pertama, bahwa pandangan hukum sebagai suatu metode kontrol sosial.
Kedua, disamping itu, para ahli hukum sosiologis amat skeptis dengan aturan-aturan yang ada
dalam buku teks hukum yang terkodifikasi, karena yang utama adalah hukum dalam
kenyataan aktualnya. Ketiga, para ahli hukum sosiologis pada umumnya sepakat pentingnya
memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi, terhadap hukum.2
1
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 20016), hlm. 61.
2
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manurung, Pengantar ke Filsafat Hukum (Jakarta :
Prenamedia Group, 2007), hlm. 86.
Natarina Syahputri Sidharta
1706026166
Filsafat Hukum B
Paralel
Pemikiran hukum yang sosiologis secara historis ditandai oleh 3 tonggak besar.
Pertama, ketika Auguste Comte tampul menjadi pelopor dari mahzab Ilmu Hukum
Sosiologis. Kedua, masa ketika generasi penerus pasca Auguste Comte. Kemudian yang
ketiga, masa ketika pasca Roscoe Pound mengutarakan pemikiran hukumnya.
Menurut Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah
tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan
sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum
sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the
books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif,
maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan
sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
Eugen Ehrlich, seorang tokoh yang terkenal atas pemikirannya tentang social
jurisprudence, mengatakan bahwa hukum berasal dari fakta sosial dan bergantung tidak pada
otoritas negara, tetapi pada kompulsi-kompulsi yang ada dalam masyarakat. Hukum berbeda
dengan kompulsi sosial yang lainnya, dan negara hanyalah salah satu jenis asosiasi dalam
masyarakat, walaupun asosiasi ini memiliki karakteristik dari kompulsi. Ehrlich pun
beranggaapan bahwaa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu, hukum sendiri
tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat dan bukan karena
penerapannya secara resmi oleh negara. Baginya, tertib sosila didaasarkan pada fakta
diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam
sistem hukum. Secara konsekuen, Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai
pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pula
paadaa setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan
menentukan ruang lingkup hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup
(Soekanto, 1985: 20-21).
Sekalipun aliran sociological jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita
hukum masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu
hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tetapi,
aliran ini bukanlah aliran tanpa kritik. Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar
menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang
memiliki pruralistik seperti masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya
Natarina Syahputri Sidharta
1706026166
Filsafat Hukum B
Paralel
masing-masing serta pola perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran
sociological jurisprudence.

Anda mungkin juga menyukai