Anda di halaman 1dari 8

PAPER PENGANTAR ILMU HUKUM

MEWEUJUDKAN TUJUAN HUKUM DALAM MASYARAKAT

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 3 KELAS 1-24

DIII PAJAK

FENI FAHIRA
JALA TUA
MELKY SALEM SARAGIH
MITA LESTARI
MUHAMMAD FIKRI PRATAMA
MUHAMMAD ZAKY AZHAR
OKTAMEVIA N. S.
RIA OLGA YULITA

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

2018

Manusia senantiasa membutuhkan hukum, dalam setiap ruang dan waktu. Kebutuhan
manusia terhadap hukum sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri (ubi societes ibi
ius) karena hukum selalu memberikan perlindungan kepada manusia demi terwujudnya
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan tujuan hukum.

Tujuan hukum berdasarkan teori dan sudut pandang yang ada dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Sudut pandang filsafat hukum


Sudut pandang hukum ini dapat juga disebut teori etis, yaitu sudut pandang
yang menitikberatkan pada keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Aristoteles membagi
keadilan dalam 2 jenis, yaitu :

1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah
menurut jasanya. (Pembagian menurut haknya masing-masing). Artinya, keadilan
ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya
atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa
seseorang.
2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah
yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum
menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal
tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.

2. Sudut pandang sosiologi hukum

Sudut pandang ini dapat disebut dengan teori utilistis yang menitikberatkan
hukum pada kemanfaatannya atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang
sebanyak-banyaknya. Pencetusnya adalah Jeremy Betham. Dalam bukunya yang
berjudul “Introduction to the morals and legislation” berpendapat bahwa hukum
bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/mamfaat bagi orang.

3. Sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatik

sudut pandang ini dapat disebut juga ajaran yuridis dogmatik yang menitikberatkan
pada kepastian hukum. Hukum disini tidak lagi semata-mata dalam mencapai keadilan atau
sekedar memberi kebahagiaan kepada yang melaksanakan hukum. Tapi hukum sudah harus
melihat sisi pemenuhan hak masing-masing individu yang hanya bisa diterapkan dengan
kepastian hukum.
Perwujudan tujuan hukum yaitu keadilan, diperlukan perubahan pendekatan ke arah
yang lebih humanis oleh aparat penegak hukum agar tidak terjadi pemaksaan budaya. Dalam
mengungkap faktor, nilai-nilai, ide, dan makna yang tersembunyi di benak subjek hukum
dalam masyarakat, penegak hukum harus mempertimbagkan aspek norma dan nilai yang ada
dalam masyarakat.
Hukum bukan sekedar formalitas atau normatif , hukum memiliki keberlakuan empiris
(faktual) yaitu dipatuhi dan ditegakkan, normatif (formal) yaitu kaidahnya cocok dalam
sistem hukum hierarkhis, dan filosofis (evaluatif) yaitu diterima dan benar (bermakna) serta
memiliki sifat mewajibkan karena isinya.
Pembentukan hukum merupakan langkah awal untuk membuat rencana tindakan, maka
perlu dipikirkan model perencanaan secara cermat. Mechanistic action model atau social
engineering model, melihat fungsi perencanaan sebagai upaya mekanis untuk mengubah suatu
keadaan, sehingga model ini menimbulkan konsep suprasistem dan subsistem serta
subordinasi sub sistem oleh supra sistem. Apabila dalam perwujudan tujuan hukum dilakukan
secara ketat dan kaku (mechanistic action model), maka akan menyebabkan terjadinya konflik
atau masyarakat menjadi terasing di lingkungannya..
Human action planning model merupakan model alternatif yang tepat untuk
pemberdayaan masyarakat sebagai cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
mewujudkan keadilan. Model ini menekankan peranan perencanaan sebagai usaha untuk
mensistematisasi aspirasi masyarakat dan menyusun dalam dokumen tertulis. Model ini
melihat masyarakat sebagai sesuatu yang turbulent atau penuh dengan nilai sosial budaya dan
dinamis. Masyarakat bukan merupakan sub sistem yang tersubordinasi melainkan merupakan
subsistem yang mandiri. Human action model menjadi sangat penting karena nilai-nilai dan
norma masyarakat lokal terlibat dalam proses pembangunan hukum yang menentukan
tindakan-tindakan selanjutnya dalam pencapaian tujuan hukum.
Pada dasarnya hukum senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
Pada waktu tertentu hukum menjadi pengawas dan pelindung masyarakat, sehingga tercipta
keamanan, ketenteraman dan keadilan sekaligus tujuan hukum terwujud dalam kehidupan
nyata. Pada gilirannya masyarakat terhindar dari tindak kekerasan dan berbagai pelanggaran
hak asasi manusia. Kondisi demikian hanya dapat terwujud jika hukum ber1andaskan pada
moral yang bersumber pada nilai-nilai religius.
Secara umum tujuan hukum yang telah disebutkan di atas, adalah untuk mewujudkan
keadilan, memberikan kemanfaatan dan mewujudkan kepastian hukum. Namun kadang-
kadang tujuan hukum yang begitu ideal disalahgunakan sehingga hukum dijadikan sebagai
kendaraan politik untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan, hukum dijadikan alat
untuk menindas kelompok lemah serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Kini
hukum seakan jauh dari tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Upaya mengembalikan hukum pada tujuannya menurut Lawrence Meir Friedmann, ada
tiga komponen yang harus diperbaiki, yaitu:

1. Substansi (substance) hukum atau materi hukum artinya setiap produk hukum
hendaknya dapat memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak masyarakat
terutama kelompok marjinal. Substansi hukum yang dimaksudkan bukanlah hanya
undang-undang, namun mencakup pula hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) atau dengan perkataan lain substansi hukum di Indonesia tidak lain adalah
sumber hukum itu sendiri. Sumber hukum Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil adalah
sumber hukum yang menentukan isi/materi dari hukum yang berlaku, sedangkan
sumber hukum formil adalah sumber hukum yang berdasarkan proses
pembentukannya mengakibatkan hukum itu menjadi mengikat. Sumber hukum materil
Indonesia adalah Pancasila yang terdiri dari 5 (lima) sila. Hal ini berarti Pancasila
dengan ke-lima silanya merupakan prinsip dasar yang menentukan isi atau materi dari
seluruh ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi apabila isi atau materi suatu
ketentuan hukum bertentangan dengan Pancasila maka ketentuan itu tidak dapat
dikategorikan sebagai ketentuan hukum dan ketentuan yang demikian tidak memiliki
kekuatan mengikat secara yuridis. Sebalikya sumber hukum formil di Indonesia
mencakup peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, traktat, yurisprudensi
dan doktrin
2. Struktur (structure) hukum, atau aparat penegak hukum artinya para penegak hukum
(hakim, jaksa dan polisi) hendaknya bersikap arif dalam menegakkan hukum, serta
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Kultur hukum sebagaimana diuraikan diatas
merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Berpedoman pada pengertian kultur
hukum tersebut, maka hukum sebagai institusi sosial sangat memerlukan peranan dari
masyarakat di dalamnya khususnya rakyat biasa yang menjadi sasaran
pengadministrasian hukum. Keikutsertaan masyarakat dalam pencapaian tujuan
hukum
dapat dibuktikan melalui hubungan antara bekerjanya sub sistem budaya dalam
masyarakat dengan institusi hukumnya. Hal ini berarti bahwa agar hukum bisa bekerja
sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sarana pengintegrasi maka rakyatpun harus
tergerak untuk menyerahkan sengketanya kepada pengadilan. Berdasarkan sikap
demikian, maka hukumpun akan benar-benar menjadi sarana integrasi. Namun fakta di
Indonesia sering dijumpai masyarakat tidak memiliki keinginan untuk membawa
sengketanya ke pengadilan dengan berbagai alasan seperti biaya yang cukup besar,
waktu yang lama dan lainnya.

3. Kultur hukum (legal culture), atau budaya hukum artinya setiap produk hukum agar
selalu mempertimbangkan hokum dan budaya yang hidup dan terpelihara di dalam
masyarakat. Kultur hukum sebagaimana diuraikan diatas merupakan suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari
atau disalahgunakan. Berpedoman pada pengertian kultur hukum tersebut, maka
hukum sebagai institusi sosial sangat memerlukan peranan dari masyarakat di
dalamnya khususnya rakyat biasa yang menjadi sasaran pengadministrasian hukum.
Keikutsertaan masyarakat dalam pencapaian tujuan hukum dapat dibuktikan melalui
hubungan antara bekerjanya sub sistem budaya dalam masyarakat dengan institusi
hukumnya. Hal ini berarti bahwa agar hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya
yaitu sebagai sarana pengintegrasi maka rakyatpun harus tergerak untuk menyerahkan
sengketanya kepada pengadilan. Berdasarkan sikap demikian, maka hukumpun akan
benar-benar menjadi sarana integrasi. Namun fakta di Indonesia sering dijumpai
masyarakat tidak memiliki keinginan untuk membawa sengketanya ke pengadilan
dengan berbagai alasan seperti biaya yang cukup besar, waktu yang lama dan lainnya.
Jika ketiga komponen tersebut di atas dapat diperbaiki, maka perlindungan masyarakat
sebagai tujuan hukum dapat terwujud dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Namun pada kurun waktu yang lain, hukum menyimpang jauh dari tujuannya, bahkan
bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri jika hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan
oleh para penguasa serta hukum dijadikan sebagai kendaraan politik oleh para politisi. Dalam
kondisi demikian masyarakat menjadi korban, yang benar disalahkan dan yang salah
dibenarkan. Apabila masyarakat kecil (lemah) melakukan pelanggaran dihukum, sedangkan
para penguasa dibiarkan bebas walaupun melakukan berbagai pelanggaran hukum, termasuk
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merugikan dan menyengsarakan masyarakat.

Melalui informasi berbagai media massa baik media elektronik (televisi) mapun media
cetak (koran) dapat dilihat berbagai peristiwa yang memprihatinkan. Masyarakat kecil yang
dijebloskan ke dalam tahanan karena dituduh telah mencuri beberapa buah coklat sedangkan
para koruptor kelas kakap yang telah merampok uang rakyat dalam jumlah milyaran bahkan
triliyunan rupiah hidup bebas, tidak disentuh oleh hukum. Kasus Edy Tansil yang merugikan
negara 6,7 triliyun pada tahun 1994 justru bisa melarikan diri dari penjara dan hidup bebas di
luar negara hingga sekarang merupakan salah satu contoh konkrit bahwa hukum lebih
berpihak kepada orang kaya, penguasa. Demikian pula kasus ruang tahanan mewah yang
ditempati para terpidana kasus korupsi kelas kakap menjadi bukti kuat bahwa hukum seakan-
akan hanya berkuasa dan berwibawa di hadapan rakyat kecil, namun hukum menjadi lemah di
hadapan para penguasa dan konglomerat.

Kondisi yang memprihatinkan ini lebih disebabkan oleh mentalitas para penegak
hukum di tanah air. Sebab sebaik apapun aturan hukum yang diproduk para pembuat hukum,
namun jika aparat penegak hukum bermentalitas korup, maka tujuan hukum sulit diwujudkan
secara maksimal. Dalam kaitan ini Jimly Asshiddiqie menawarkan beberapa langkah
perbaikan penegakan hukum di tanah air. Menurutnya, dalam arti sempit, aktor-aktor utama
yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa,
pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau
unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam
pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat
penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan
atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendirisendiri. Dalam kaitan itu kita melihat
penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum
terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua
perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya
satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para
profesional hukum itu antara lain meliputi legislator (politisi), perancang hukum (legal
drafter), konsultan hukum, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, polisi, jaksa,
panitera, hakim, dan arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-
masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk
berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program
pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Dengan demikian untuk menciptakan suatu hukum yang dapat menjamin dan
melindungi hak-hak seluruh anggota masyarakat, hukum itu harus lahir dan sesuai dengan
budaya masyarakat itu sendiri, serta dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki
kualitas iman dan takwa di samping profesionalitas para aparat penegak hukum.
Referensi
http://ekonyanto.blogspot.com/2013/11/peranan-sistem-hukum-dalam-mewujudkan.html
https://beplawoffice.wordpress.com/2016/07/12/mewujudkan-tujuan-hukum/
http://digilib.undip.ac.id/v2/2012/06/18/pemberdayaan-masyarakat-dalam-mewujudkan-
tujuan-hukum-proses-penegakan-hukum-dan-persoalan-keadilan/

Anda mungkin juga menyukai