Pemenuhan Jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil (fair trial) Bagi Masyarakat Tidak
Mampu di dalam dalam proses penegakan Hukum di Indonesia
1. Latar Belakang
Negara bertanggung Jawab atas pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi fakir miskin
dan masyarakat marginal yang tersirat di konstitusi. Ketentuan ini secara tegas oleh konstitusi
pada Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tanggung Jawab Negara bukan hanya
pada tanggung Jawab ekonomi, namun juga jaminan sosial dan pemenuhan hak atas bantuan
hukum.1 Jadi, Setiap orang berhak atas pengakuan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan tanpa membedakan status social, budaya, ekonomi, maupun agama.2
1
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Cendana Press. Hal 17-18.
2
Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 34 ayat (2) UUD 1945
semua orang, tidak diberikan Negara dan bukan belas kasihan dari Negara namun merupakan
tanggung jawab Negara.
Sudah sejak lama sebenarnya para Pekerja Hukum3 khususnya para aktivis bantuan
hukum merasakan kegelisahan akan bekerjanya hukum di Indonesia dalam penegakan
keadilan. Terlebih lagi sejak era orde baru hingga kini semakin terasa bahwa proses
hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi
memberikan keadilan substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih nampak sebagai
“mesin peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian
perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan “aturan main” yang
secara formal ditetapkan dalam peraturan.
Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian
bidang hukum secara “tradisionil hitam putih” (Perdata, Administrasi, Pidana dst.)
menjadi gagap ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada
“ranah abu-abu” (tidak nampak jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik).
Terlebih lagi terhadap berbagai kasus yang telah disetting sejak dari formulasinya dan
kasus-kasus yang berkonspirasi dengan kekuasaan.
Dalam menghadapi realitas tersebut para pekerja hukum mencoba mencari
solusinya mulai dari menyingkap dari sisi akademis hingga melakukan
terobosanterobosan dalam praktek advokasi hukum. Dari sisi wacana akademis para
pekerja hukum mulai membentuk forum studi hukum yang kajian-kajiannya
menggunakan perspektif alternatif4, mulai dari sudut pandang sosiologis hingga cara
pandang yang terispirasi studi hukum kritis (critical legal studies). Sementara itu dalam
tataran praksis para pekerja hukum mencoba mencari cara untuk melampaui keterbatasan
dan kebuntuan hukum positif dalam penanganan kasuskasus ketidakadilan struktural,
misalnya dengan terobosan Bantuan Hukum Struktural hingga konsep “Praktis-
Akademis”.
3
Terminologi “Pekerja Hukum” sekedar untuk menyebut siapa saja yang bekerja di bidang hukum yang merdeka.
Pengertian “pekerja hukum” lebih luas dari pengertian “Lawyer” (dalam arti sempit: Advokat), namun lebih dari itu
termasuk sebagai pekerja hukum adalah: Akademisi, Paralegal, Pekerja/Aktivis organisasi masyarakat sipil yang
mengadvokasi masyarakat, Pejuang HAM dsb.
4
Istilah “perspektif alternatif” sekedar untuk membedakan dengan perspektif yang lebih lazim dalam kajian hukum
seperi perspektif normatif dan dogmatis.
Para pekerja hukum merasakan bahwa asas, prinsip dan visi gagasan hukum
progresif amat sesuai dengan cara pandang dan cara kerja pekerja hukum dalam
mengadvokasi dan membantu pencarian keadilan bagi masyarakat yang dari sisi status
sosial dan kemampuan ekonominya lemah (the have not). Gagasan Hukum Progresif
yang telah dan sedang “diuji” dalam kiprah para pekerja hukum tersebut merupakan
modal yang harus diperhitungkan dalam pembaruan hukum di Indonesia.
Bantuan Hukum bagi kelompok miskin dapat diartikan bantuan hukum bagi
kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sedangkan buta hukum adalah lapisan
masyarakat yang buta huruf atau berpendidikan rendah yang tidak mengetahui dan
menyadari hak-haknya sebagai subjek hukum atau karena kedudukan sosial dan ekonomi
serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih kuat tidak mempunyai keberanian untuk
membela dan memperjuangkan hak-haknya.5
Hokum progresif menuntut keberanian aparat penegak hukum menafsirkan pasal-
pasal untuk memperadabkan manusia sebagai subjek hukum, dan bukan sebagai objek
hukum. Penegak hukum tidak hanya berdasarkan pada kecerdasan intelektual saja,
melainkan juga didasari dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum
yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi dan komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang biasa
dilakukan. Dalam nada yang sama, menurut Hakim Mahkamah Agung Republik
Indonesia Artidjo Alkostar, harus mencapai hukum yang bersukma keadilan dan berspirit
kerakyatan dalam pembahruan hukum dan peradilan Indonesia
5
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 1.
BHS juga merupakan suatu metode penyelesaian hukum dengan memberi bantuan
hukum secara cuma-cuma (pro bono) baik litigasi atau non litigasi serta pendidikan
hukum bagi masyarakat marginal,yang tidak sekadar memberi bantuan hukum
konvensional tanpa menyentuh permasalahan fundamental yang sering tidak terlihat oleh
publik, bahkan oleh penegak hukum itu sendiri. Namun lebih dari itu berfokus pada
gerakan dan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur
ekonomi, politik, dan sosial yang sarat akan penindasan yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang sewenang-wenang, sehingga masyarakat termarjinalkan.
Maka dengan ini, urgensi antara pemikiran hukum progresif dan bantuan hukum
struktural (BHS) merupakan suatu penggabungan antara doktrin hukum yang berangkat
dari paradigma yang sama bahwa masih lemahnya penegakkan hukum di Indonesia
dikarenakan penegak hukum masih berparadigma hukum postivisme dan tidak bernurani,
dengan BHS sebagai instrumen bantuan hukum yang melihat bahwa ketimpangan
penegakkan hukum di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh hukum yang kaku dan
postivisme, namun juga dipengaruhi oleh masalah strukral lain yakni ekonomi,
politik,dan sosial. Sehingga menurut penulis urgensi hukum progresif adalah keilmuan
yang mampu menjawab masalah ketimpangan penegakkan hukum dan keadilan, dan
bantuan hukum struktural adalah instrumen untuk mencapai keadilan hukum dan keadilan
sosial.
6
Hasrul Buamona,sh.mh , “Urgensi hukum progresive dalam bantuan hukum struktural”, diakses dari
http://portal.malutpost.co.id/en/opini/item/14406-urgensi-hukum-progresive-dalam-bantuan-hukum-struktural , pada
5 mei 2016 pukul 16.30 wib.
Rumusan Masalah :
Tujuan Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
1. Bantuan Hukum
a. Bantauan Hukum adalah pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum
kepada Penerima Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin untuk
mendapatkan perwakilan hukum dan akses di pengadilan baik non-litigasi maupun
litigasi.
b. Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau organisasi bantuan
hukum yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Bantuan
Hukum.
c. Pelaksana Bantuan Hukum adalah Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi
Bantuan Hukum dan/atau Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum
yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum
d. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum adalah aktifitas berkenaan dengan Undang-
Undang Bantuan Hukum dalam kedudukan dan wewenang
e. Dana Penyelenggaraan Bantuan Hukum adalah dana yang diperoleh untuk
menyelenggarakan bantuan hukum yang bersumber dari APBN, APBD, hibah atau
sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat
Menurut Adnan Buyung Nasution, pengertian bantuan hukum disini dimaksudkan adalah khusus
bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa
populer simiskin, ukuran kemiskinan sampai saat ini masih tetap merupakan masalah yang sulit
dipecahkan, bukan saja bagi negara-negara berkembang bahkan negara-negara yang sudah
majupun masih tetap menjadi masalah.7
2. Hukum Progressif
Sosok “Hukum Progresif” sangat lekat dengan pencetusnya yakni Almarhum Profesor
Satjipto Rahardjo. Hal demikian tidak berlebihan karena pada kenyataannya Prof. Tjip ini tidak
sekedar sebagai penggagas awal tetapi sekaligus juga “pejuang” dan “pengembang” hukum
progresif hingga akhir hayat beliau.9 Oleh sebab itu apa yang tertulis pada bagian ini tidak lebih
dari kilas balik dari gagasan-gagasan beliau.10 Yang selanjutnya ditransformasikan dalam
bentuk bantuan hokum yang mengedepankan pemikiran hokum progresif dalam bantuan
hokum.
Gagasan Hokum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum
di Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional
hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia adalah yang terburuk di seluruh
dunia. Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah semakin tak berdayanya hukum Indonesia
dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.11
Menurut pemikiran hokum progresif, landasan filosofisnya bahwa “Hukum adalah untuk
Manusia” bukan sebaliknya. Manusialah merupakan penentu dan memahami dalam hal ini
manusia pada dasarnya adalah baik. Konsekuensinya hukum bukan lah merupakan sesuatu yang
mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni
8
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, cet. Ke-1 (jakarta: Penerbit LP3ES, 1986), hal.
3.
9
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti
bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan The Asia
Foundation. Halaman 5.
10
Sumber utama tulisan ini adalah: Satjipto Rahardjo, “Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif”, dalam:
Kompas, 15 Juni 2002. Halaman 4; Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Penjelajahan Suatu Gagasan, Makalah,
disampaikan pada Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 4 September 2004 dan Satjipto
Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah, disampaikan dalam
Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, Kerjasama IAIN Walisongo dengan Ikatan
Alumni PDIH UNDIP, Semarang 8 Desember 2004.
11
Makalah disampaikan pada Diakses dari http://mitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Kontribusi-Hukum-
Progresif-Bagi-Pekerja-Hukum-by-Al-Wisnubroto.pdf pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 16.00 WIB
menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu
mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat.
Dari sudut teori, hokum progresif mengarah pada tradisi sociological jurisprudence.
Konsep “progresivisme” bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya merubah
hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma “hukum untuk manusia”
membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi
yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteran dan kepedulian
terhadap rakyat. Satu hal yang patut dijaga adalah jangan sampai pendekatan yang bebas dan
longgar tersebut disalahgunakan atau diselewengkan pada tujuan-tujuan negatif.
pemahaman yang lebih konkret guna upaya pengimplementasian gagasan hukum progresif dalam
paraktek berhukum maka secara sederhana dapatlah dirangkum prinsip-prinsip hukum progresif
sebagai berikut:
Jadi, masalah interpretasi atau penafsiran adalah penting dalam pemberdayaan hokum progresif
untuk mengatasi keterpurukan hokum. Interpretasi dalam hukum progresif tidak terbatas pada
konvensi-konvensi yang selama ini diunggulkan seperti penafsiran gramatikal, sejarah,
sistematik dan sebagainya, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan
inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan “lompatan” pemaknaan hukum menjadi
sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan.12
12
http://www.lbhyogyakarta.org/2013/04/hubungan-pemikiran-hukum-progresif-dalam-bantuan-hukum-struktural/
PEMBAHASAN
Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya dimuka hukum dan
pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada prioritas si miskin terhadap
sikaya dalam mendapat keadilan, meskipun dalam praktiknya terjadi diskriminasi.
Terhadap hal ini maka disahkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum yang diharapkan agar lebih konsisten dalam melindungi hak-hak setiap
orang yang tidak mampu.13
Bantuan Hukum adalah Jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum
secara Cuma-Cuma kepada penerima bantuan hukum. Bantuan Hukum yang diberikan
meliputi masalah hukum Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara, baik secara Litigasi
maupun Non Litigasi.
Pemberian bantuan hukum litigasi oleh pemberi Bantuan Hukum kepada penerima
Bantuan Hukum diberikan hingga masalah hukumnya selesai dan atau apabila perkaranya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum tersebut tidak
mencabut surat kuasa khusus.
13
Abdurrahman Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 71
Bantuan Hukum Non Litigasi meliputi:
1. Penyuluhan hukum;
2. Konsultasi hukum;
3. Investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
4. Penelitian hukum;
5. Mediasi;
6. Negosiasi;
7. Pemberdayaan masyarakat;
8. Pendampingan di luar pengadilan; dan / atau
9. Drafting dokumen hukum.
Badan Pembinaan Hukum Nasional ditunjuk oleh Kementerian Hukum dan HAM RI
untuk melaksanakan Penyelenggaraan Bantuan Hukum. Karena itu, Badan Pembinaan
Hukum Nasional memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memastikan
Implementasi Bantuan Hukum dilaksanakan sesuai dengan asas-asas yang tercantum
dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 yakni:
1. Keadilan;
2. Persamaan kedudukan di dalam hukum;
3. Keterbukaan;
4. Efisiensi;
5. Efektivitas; dan
6. Akuntabilitas
A. Berbadan Hukum
D. Memilki Pengurus
2. Kontribusi Gagasan Hukum Progresif dalam Bantuan Hukum Struktural sebagai upaya
Pemenuhan Jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil (fair trial) Bagi
Masyarakat Tidak Mampu di dalam dalam proses penegakan Hukum di Indonesia
Pekerja hokum dan gagasan hokum progresif nampak bahwa antara keduanya
terdapat kesesuaian visi dan cara kerja. Ketika pekerja hukum harus membuka pemahaman
mengenai persoalan hukum secara utuh, hal ini sesuai dengan pandangan hukum progresif
yang menolak hukum yang bersifat memilah, mengkotak, atomizing dan linier. Ketika
pekerja hukum harus melakukan terobosan atau penafsiran yang kreatif dalam mengatasi
kebuntuan hukum positif, hal ini sesuai dengan prinsip hukum progresif bahwa membaca
undang-undang bukan sebatas teksnya namun harus sampai pada makna dan konteksnya.
Dalam menangani kasus yang kompleks dan rumit (extra-ordinary problems) para
pekerja hukum sudah lazim melakukan aksi atau tindakan yang luarbiasa pula (extra-
ordinary meassures). Bila aspek hukum sulit untuk dijadikan dasar pembenaran, maka
pekerja hukum biasanya akan mencari pembenaran berdasarkan aspek-aspek non-yuridis
seperti aspek ekonomi, sosial, poilitik, budaya hingga filosofis. Kehadiran hukum progresif
dirasa amat bermanfaat karena memberikan dasar pembenaran ilmiah (khususnya terkait
dengan ilmu hukum) dan moral terhadap gerak langkah para pekerja hukum selama ini.
Pendek kata konsep hukum progresif telah memberikan pencerahan bagi pekerja hukum
dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat yang lemah dan
terpinggirkan oleh arus modernisasi.
Dalam pergulatan terhadap merespon kegelisahan pekerja hukum, tanpa disadari
sebenarnya telah terjadi “pengujian” gagasan hukum progresif dalam aktivitas pekerja
hukum baik dalam tataran akademis maupun praktis. Dalam “pengujian” tersebut pekerja
hukum merasakan bahwa gagasan hukum progresif amat besar konstribusinya terhadap visi
dan cara kerja para pekerja hukum dalam menjalankan tugas melakukan advokasi
masyarakat. Oleh sebab itu maka Gagasan Hukum Progresif harus menjadi bagian dari
pembaruan hukum di Indonesia, yakni untuk membebaskan jeratan konsep berhukum yang
positivistik menuju konsep berhukum yang progresif.
Hukum Progresif dalam bantuan hukum telah terwujudkan dalam konsep bantuan
hokum structural. Bantuan hukum struktural adalah merupakan konsep menggunakan
hokum sebagai jalan masuk guna melakukan perubahan mendasar dengan memperkuat
hokum sebagai realitas social politik. Pada mulanya bantuan hokum bersifat personal.
Lembaga bantuan hokum tidak lebih dari sebuah charity, yang memberikan bantuan hokum
kepada masyarakat kecil sehingga tercipta adanya pola ketergantungan (patronase) kepada
klien. Lembaga bantuan hokum tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam rangka
membantu klien untuk menuntaskan masalah ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan.14
Bantuan hokum structural adalah bantuan hokum dalam arti luas kepada struktur
bawah masyarakat yang tertindas oleh struktur atas. Bantuan hokum structural tidak semata
bertujuan menyelesaikan konflik hokum yang timbul, tetapi justru merubah pola hubungan
hokum yang ada, dari penindasan structural menjadi persamaan dan kesamaan structural.
Bantuan hokum structural menjadi persamaan dan kesamaan structural. Bantuan hokum
14
Akhmad Kholil Irfan, Dunia Hukum dan Budaya , “Bantuan Hukum Struktural”, diakses dari
http://www.boyyendratamin.com/2015/05/bantuan-hukum-struktural.html diakses pada tanggal 16 Mei 2016 Pukul
12.30 WIB.
structural itu ingin ada equality before the law under same condition, ingin agar pintu
kearah keadilan sama-sama dimiliki, agar sumber-sumber daya ekonomi dan politik sama-
sama dimiliki.15
Bantuan hokum structural lahir dari sebuah konsekuensi pemahaman hokum.
Realitas hokum adalah hasil proses social diatas pola hubungan antara infrastruktur
masyarakat yang ada. Melihat kenyataan bahwa hokum adalah super struktur yang
senantiasa berubah dan merupakan hasil dari sebuah interaksi antara infrastruktur yang ada
di masyarakat. Selama ini adanya ketimpangan antara hubungan infrastruktur yang ada,
berakibat sulit mewujudukan cita-cita hokum itu pula.16
Bantuan hokum structural adalah bentuk dari pengimplementasian hokum progresif.
Perubahan di jalur hokum bukan hanya bantuan hokum dalam masalah hokum saja namun
juga masalah social, politik, ekonomi, dan juga cultural. Lembaga bantuan hokum
memandang persoalan dasar kemiskinan oleh system. Lembaga bantuan hokum memandang
dirinya berada dalam sebuah paradigm perubahan social. Posisi dan perannya dalam
memperkuat masyarakat sipil berhadapan dengan kebijakan Negara, dengan memperkuat
dan memperdayakan masyarakat sipil itu.
Bantuan Hukum Struktural juga merupakan suatu metode penyelesaian hukum
dalam hal memberi bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) yang tidak hanya sekedar
memberi bantuan hukum secara konvensional tanpa menyentuh permasalahan fundamental
yang sering tidak terlihat oleh publik, namun lebih berfokus pada gerakan dan rangkaian
tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur ekonomi, politik, sosial dan
budaya yang sarat akan penindasan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
sewenang-wenang sehingga membuat sementara masyarakat termarjinalkan.
Bantuan hukum struktural dan hukum progresif memiliki titik temu ketika keadaan
huku di masyarakat hanya berpacu pada aspek normatif semata dan kadang tidak
mengindahkan norma dan nilai sosial serta kondisi masyarakat. Sehingga sangat sering
rakyat dilemahkan dengan peraturan serta undang-undang yang tak berpihak pada rakyat.
Peran aparatur negara untuk mensejahterakan rakyat. Pemikiran hukum proigresif
15
Todung Mulya Lubis, 1981, Mengapa Bantuan Hukum Struktural’, Abdul Hakim G Nusantara dan Mulyana W
Kusuma (Editor), ebberapa pemikiran Bantuan Hukum: kearah Bantuan Hukum Struktural, Alumni, bandung, hal.
68.
16
AkhmadKholil Irfan, Ibid.,
diperlukan untuk para pekerja hukum khususnya advokat agar aspek legal structure dapat
menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum di indonesia.
Maka oleh karena itu, hubungan antara pemikiran hukum progresif dan bantuan
hukum struktural merupakan suatu penggabungan antara doktrin hukum dengan metode
bantuan hukum dengan cara penyelesaian yang lebih melihat aspke di luar hukum itu sendiri
baik politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama dengan tujua untuk tercapainya penegakan
hukum yang berkeadilan sosial.
Penegak hukum sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alat pemaksa dengan
menghalalkan segala cara, agar kebijakan pemerintah yang kurang produktif dapat berjalan
dengan mulus tanpa ada perlawanan dari masyarakat, sekalipun harus melanggar hak
konstitusional warga masyarakat.
Komponen supra struktur negara Indonesia yakni pemerintah dan penegak hukum
belum menjalankan strukur hukum, sistem hukum dan budaya hukum dengan baik, sehingga
sering kali terpaku pada pemahaman positivisme hukum sampai pada penyalahgunaan
hukum dan kebijakan.
Hubungan antara pemikiran hukum progresif dan Bantuan Hukum Struktural
merupakan suatu penggabungan antara doktrin hukum dengan metode bantuan hukum
dengan cara penyelesaian yang lebih melihat aspek di luar hukum itu sendiri baik politik,
sosial, ekonomi, budaya dan agama dengan tujuan untuk tercapainya penegakkan hukum
yang berkeadilan sosial.17
17
Hasrul Buamona, LBH Jogjakarta, “Hubungan Pemikiran Hukum Progresif dalam Bantuan Hukum Struktural”
diakses dari http://www.lbhyogyakarta.org/2013/04/hubungan-pemikiran-hukum-progresif-dalam-bantuan-hukum-
struktural/ diakses pada tanggal 16 Mei 2016 Pukul 12.30 WIB.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
MAKALAH :
INTERNET :
Hasrul Buamona,sh.mh , “Urgensi hukum progresive dalam bantuan hukum struktural”, diakses dari
http://portal.malutpost.co.id/en/opini/item/14406-urgensi-hukum-progresive-dalam-bantuan-hukum-struktural , pada
5 mei 2016 pukul 16.30 wib.
Akhmad Kholil Irfan, Dunia Hukum dan Budaya , “Bantuan Hukum Struktural”, diakses dari
http://www.boyyendratamin.com/2015/05/bantuan-hukum-struktural.html diakses pada tanggal 16 Mei 2016 Pukul
12.30 WIB.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
UUD 1945
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
Permenkumham Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi Dan Akreditasi Lembaga
Bantuan Hukum Atau Organisasi Kemasyarakatan.
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013
Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat
Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
03.HN.03.03Tahun 2013 tentang Besaran Biaya.
Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
02.HN.03.03 Tahun 2013 tanggal 31 Mei 2013 tentang Pengumuman Hasil Verifikasi/Akreditasi
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum.