Anda di halaman 1dari 14

Bantuan Hukum Geratis Oleh Lembaga Bantuan Hukum

Dan Proses Non Litigasi


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang menganut paham negara hukum,
dimana hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD RI) Tahun 1945. Selain itu, untuk menguatkan pasal 1 ayat (3) hal ini juga
diatur secara konstitusional dalam Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan kembali dalam
Pasal 28 D Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mengistimewakan
seseorang atau kelompok orang tertentu maupun mendiskriminasikan seseorang atau kelompok
orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama
dalam memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Prinsip tersebut juga menjamin
penghargaan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to
justice) dan persamaan di muka hukum (equality before the law).
Selaras dengan pemahaman tersebut, UUD RI Tahun 1945 juga memberikan jaminan
secara konstitusional terhadap golongan masyarakat miskin dan berkebutuhan khusus yang
sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34
menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan adanya
pengaturan ini, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar juga menjadi
tanggung jawab negara. Selain itu bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia, diantaranya
adalah dengan memberi jaminan dan perlindungan agar setiap orang memiliki kedudukan yang
sama di hadapan hukum dengan tidak ada pengecualiannya. Adanya jaminan dan perlindungan
tersebut memberi petunjuk akan pentingnya pemberian bantuan hukum guna menjamin agar
setiap orang dapat terlindungi hak-haknya dari tindakan hukum yang diskriminatif sehingga apa
yang menjadi tujuan dari negara untuk menciptakan persamaan di hadapan hukum, dapat
terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum tersebut.1
Pengaturan lebih lanjut mengenai hak setiap orang juga telah diatur di dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengenai hak-
hak dasar yang harus dihormati. Seperti kita ketahui, hak asasi manusia merupakan seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka negara diwajibkan untuk menjamin hak
dasar setiap orang.
Salah satu perwujudan hak asasi manusia dalam memberikan jaminan perlindungan
terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum dari negara terutama bagi masyarakat miskin
adalah melalui bantuan hukum secara cuma-cuma, yang disebut “pro bono publico”. Jaminan
atas bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu secara cuma-cuma yang diberikan oleh
pemberi bantuan hukum melalui lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang
memberikan layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat bagi masyarakat
kurang mampu ?
2. Bagimana pelaksanaan bantuan hukum secara non litigasi ?

C. Tujuan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah maka tujuan dibuatnya
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui cara mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma oleh
advokat bagi masyarakat kurang mampu
b. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemberian bantuan hukum
non litigasi
1
Bagir Manan, 2001, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Yayasan Hak Asasi
Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, Alumni, Bandung, hal. 59
D. Landasan Teori

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan
itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan
pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.2
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan
itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.3
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum
menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian
dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum.
Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.4
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

2
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,
2010, hlm.59
3
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.158.
4
3 Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, Jakarta,
2009, Hlm. 385
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.5
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada
aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu
yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya
kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya
yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan
hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.6
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-
norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi peraturan yang
ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang
tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan,
kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum
positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu
nilai keadilan dan kebahagiaan.

E. Metode Penulisan

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggambarkan keadaan subjek dan objek dalam
penelitian yang dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya berdasarkan fakta-
fakta yang tampak atau apa adanya.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan yuridis normatif . Pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk menganalisis
peraturan perundang-undangan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat antara lainUndang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
5
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung, 1999, hlm.23.
6
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta,
2002, hlm. 82-83
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer antara lain tulisan atau pendapat pakar hukum mengenaiefektivitas pemberian
bantuan hukum structural dalam proses penyelesaian perkara pidana secara litigasi dan non-
litigasi;
3) Bahan hukum tersier yaitu berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus istilah
hukum.
Dalam pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data yaitu:
1) Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari buku-buku
yang berkaitan dengan pembahasan, perundang-undangan, pendapat para sarjana dan bahan-
bahan perkuliahan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder;
Data yang terkumpul tersebut dianalisis dengan seksama dengan menggunakan
analisis kualitatif atau dijabarkan dengan kalimat. Analisis kualitatif adalah analisis yang
didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang
merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang di dasarkan pada
data yang dikumpulkan.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Oleh Advokat Bagi Masyarakat


Kurang Mampu

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Mei 2013 lalu telah menandatangani
Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum yang memungkinkan pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma atau gratis bagi orang atau kelompok orang miskin, karena
biayanya dibebankan pada APBN.7

Untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma itu, berdasarkan Pasal 14


Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum jo. Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, pemohon harus memenuhi syarat syarat sebagai
beriku8t :

1. Pemohon harus mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit
identitasnya dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan
Bantuan Hukum.
2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara. 3
3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang
setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Menurut Pasal 5 UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemohon bantuan


hukum mengajukan permohonan bantuan hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum, lalu
Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah

7
Farida Kurniawati, “Peran Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Dalam Pemberian Pelayanan Konsultasi
Dan Bantuan Hukum Kasus Pidana (Studi Terhadap Aspek Normative-Empiris Di Surakarta)”, skripsi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2012.
8
M. Shaiful Umam, “Bantuan Hukum Golongan Tidak Mampu Dalam Perkara Hukum Keluarga Di Pengadilan
Agama Yogyakarta Tahun 2011-2012”, Skripsi, Universitas islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta,
2013.
permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau
menolak permohonan bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima,
Pemberi Bantuan Hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari
Penerima Bantuan Hukum. Dalam hal permohonan ditolak, Pemberi Bantuan Hukum
mencantumkan alasan penolakan.9

Setelah memenuhi tiga syarat tersebut lalu mengenai dana bantuan hukum yang diberikan
oleh APBN, masyarakat yang kurang mampu dapat meminta dana bantuan hukum kepada :

1. Pengadilan Negeri setempat

a. Terdakwa boleh didampingi Advokat datang ke Kantor Kelurahan/ Kepala Desa untuk
meminta surat keterangan tidak mampu dan apabila mengalami kesulitan dapat membuat
pernyataan di atas segel dan diketahui Pengadilan atau dapat pula dengan Surat Keterangan
Ketua Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak mampu,

b. Setelah itu terdakwa datang ke Pengadilan Negeri untuk meminta Dana Bantuan
Hukum dengan menunjukkan Surat Keterangan tidak mampu.

Hak dan kewajiban penerima bantuan hukum, penerima bantuan hukum berhak ;

a. Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan atau


perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum
tidak mencabut surat kuasa.
b. Mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan stndar bantuan hukum dan atau kode etik
advokat
c. Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian
bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan

Penerima bantuan hukum wajib :

9
Erna Ratnaningsih, Peran Paralegal Dalam Pemberian Hukum. http://business-law.binus.ac.id. Diakses
tanggal 13 November 2018
a. Menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada
pemberi bantuan hukum
b. Membantu kelancaran pemberian bantuan hukum

B. Pelaksanaan Bantuan Hukum Secara Non Litigasi

Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non-
litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara diluar
pengadilan ini  diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama, dalam
penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar
perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan. Kedua, dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Pasal 1
angka 10 dinyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution)
adalah  lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur  yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasai, konsiliasi
dan arbitrase. 10
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak (klien)
dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya atau saran 
kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien. Konsultan hanya
memberikan pendapat (hukum) sebagaimana diminta oleh kliennya, dan selanjutnya
keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil oleh para pihak. Negoisasi,
penyelesaian sengketa melalui musyawarah/perundingan langsung diantara para pihak yang
bertikai dengan maksud  mencari dan menemukan bentuk-bentuk  penyelesaian yang dapat
diterima para pihak.Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus
dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Mediasi, merupakan
penyelesaian sengketa  melalui perundingan dengan dibantu oleh pihak luar yang tidak
memihak/netral guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak.
Konsiliasi atau Consilliation dalam bahasa Inggris berarti perdamaian , penyelesaian

10
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta
sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsisliator)
untuk membantu pihak yang berdetikai dalam menemukan bentuk penyelesaian yang
disepakati para pihak.  Hasil konsilisiasi ini ini harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani
secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, selanjutnya harus didaftarkan di
Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak. Pendapat
ahli, upaya menyelesaikan sengketa dengan menunjuk ahli untuk memberikan pendapatnya
terhadap masalah yang dipersengketakan untuk mendapat pandangan yang obyektif.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi)  merupakan upaya tawar-menawar
atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan. 11 Kehadiran
pihak ketiga yang netral bukan untuk memutuskan sengketa melainkan para pihak sendirilah
yang mengambil keputusan akhir. Penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan (non
litigasi) telah diatur pada sistem hukum Indonesia dalam Undang-Undang Arbitrase.
Alternatif-alternatif yang dapat dilakukan oleh pihak yang bersengketa antara lain:
konsultasi, negoisasi dan perdamaian, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Di Indonesia
penyelesaian sengketa alternatif seperti itu dapat dilakukan melalui suatu lembaga seperti
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pasal 6 Undang-Undang Arbitrase
menyebutkan bahwa :

“(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.

(1) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para
pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.
(2) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda

11
Amriani Nur, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata,Rajawali Pers, Jakarta
pendapat diselesaikan melalui seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui
seorang mediator.
(3) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas ) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk
seorang mediator.
(4) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari usaha mediasi
harus sudah dapat dimulai.
(5) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling
lama (30) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani
oleh semua pihak yang terkait.
(6) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib
didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatnganan.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat 7 (tujuh) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak pendaftaran.
(8) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan
ayat (6) tidak tercapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase
ad hoc.”
Salah satu cara penyelesaian sengketa yang banyak dilakukan terkait dengan
kepemilikan nama domain melalui arbitrase. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Arbitrase, disebutkan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Menurut peraturan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma itu,
berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum jo.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, pemohon harus
memenuhi syarat syarat sebagai berikut :
1. Pemohon harus mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit
identitasnya dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan
Bantuan Hukum.
2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara. 3
3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang
setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Yang mana menjadi perwujudan hak asasi manusia dalam memberikan jaminan
perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum dari negara terutama bagi
masyarakat miskin adalah melalui bantuan hukum secara cuma-cuma, yang disebut “pro
bono publico” yang mana bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu secara cuma-
cuma yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum melalui lembaga bantuan hukum.
 Upaya hukum penyelesaian sengketa dalam perkara hukum dapat dilakukan dengan

cara non litigasi yang mana pada umunya dilakukan pada kasus perdata saja karena

lebih bersifat privat dengan mempunyai beberapa bentuk untuk menyelesaikan

sengketa yaitu :

a. Negosiasi

b. Mediasi

c. Arbitrase
Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan

atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun antar

badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk

menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik

atau sengketa secara kekeluargaan.


DAFTAR PUSTAKA

Amriani Nur, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata,Rajawali Pers, Jakarta

Farida Kurniawati, “Peran Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Dalam Pemberian
Pelayanan Konsultasi Dan Bantuan Hukum Kasus Pidana (Studi Terhadap Aspek Normative-
Empiris Di Surakarta)”, skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2012.

M. Shaiful Umam, “Bantuan Hukum Golongan Tidak Mampu Dalam Perkara Hukum Keluarga
Di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2011-2012”, Skripsi, Universitas islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.

Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di


Pengadilan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Erna Ratnaningsih, Peran Paralegal Dalam Pemberian Hukum. http://business-


law.binus.ac.id. Diakses tanggal 13 November 2018

Anda mungkin juga menyukai