TINJAUAN PUSTAKA
13
14
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan
hukum bagi
14
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.5 Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum harus dijalankan dengan
cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat Oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memilik aspek yuridis yang dapat menjamin
adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus
ditaati.6
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.
Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch, keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian- bagian yang tetap dari hukum. Keadilan dan kepastian hukum
harus diperhatikan, dimana kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan
ketertiban suatu negara sehingga hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan
teori kepastian hukum, nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan
kebahagiaan.7 Kepastian hukum dapat dimaknai bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan
sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat agar
tidak menimbulkan salah tafsir. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum
dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya.
kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan berwenang-
wenang yang berarti bahwa seseorang dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Hukum bertugas menciptakan ketertiban hukum karena
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Hukum tanpa kepastian
hukum akan kehilangan maknanya karena tidak dapat lagi menjadi pedoman bagi
perilaku setiap orang Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis yang dapat dipaksakan berlakunya
dan ditetapkan oleh sebuah instrurnent di dalam sebuah negara. 8
5
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, h. 23.
6
Asikin Zainal, Pengantar Tara Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012, h.
87.
7
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, h. 82-83.
8
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, FH UII Press,
Yogyakarta, 2005, h. 2.
15
9
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta. 2003, h.
121.
10
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h. 102.
11
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 118.
12
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya. 1998, h. 84.
16
dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui perang atau
kudeta, sedangkan kewenangan itu sendiri jelas bersumber dari konstitusi.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu “onderdeel” atau bagian tertentu saja dari kewenangan. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang rechtsbe voegdheden. Wewenang
merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak
hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 19 Dari
berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kewenangan atau authority memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang atau competence. Kewenangan merupakan kekuasaan formal
yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang itu sendiri yaitu suatu
spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa disini adalah subyek hukum
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka subyek hukum berwenang
untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena perintah undang-
undang.
2.2. Tinjauan Umum Kepailitan
2.2.1. Pengertian Kepailitan
Secara etimologi kepailitan berasal kari kata pailit, selanjutnya istilah berasal
dari bahasa Belanda “faillet” yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda
dan kata sifat. Istilah “faillet” sendiri berasal dari Perancis yaitu “faillite” yang
berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan kata to fail dengan arti sama, dan dalam bahasa Latin disebut failure.
Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum istilah faillet mengandung
unsur-unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai
pengertian itu tidak ada dalam undang-undang. Selanjutnya istilah pailit dalam
Bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkan
sebagai paiyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara
yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan
istilah bankrupt dan bankruptcy.20
19
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994, h. 65.
20
Viktor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 18.
19
Menurut Munir Fuady yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah
suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara
debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di
antara para kreditor.21 Subekti berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha
bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara
adil. Sedangkan H. M. N. Puwosutjipto berpendapat bahwa kepailitan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti
membayar (utang-utangnya).22 Black's Law Dictionary mendefinisikan pailit atau
bankrupt sebagai "the state or condition of a person (individual, partnership,
corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become
due". The term includes a person against whom an voluntary petition has been filed,
or who has been adjudged a bankrupt.23 Berdasarkan pengertian yang diberikan
dalam Black's Law Dictionary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor)
atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, ketidakmampuan tersebut harus disertai
dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela
oleh debitor sendiri maupun pemintaan pihak ketiga. 24
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersebut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk
membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari debitor, maka langkah
untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary
petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau
penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian
ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for
bankrupt).25
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut UUK
21
Munir Fuady, Op. Cit., h. 8.
22
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia
(Cetakan ke-7), Djambatan, Jakarta, 2007, h. 28.
23
Bryan A. Garner, Black’s Law's Dictionary (8th ed.), West Group, St Paul, 2004, h.
141.
24
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri hukum Bisnis, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, h. 11.
25
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan
(Cetakan ke-3), Kencana, Jakarta 2012, h. 2.
20
PKPU) Pasal 1 ayat (1), bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Tujuan dari kepailitan sebagaimana tertuang dalam undang-undang antara
lain :
26
1) Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
2) Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
3) Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditor, atau debitor hanya menguntungkan kreditor tertentu.
4) Memberikan perlindungan kepada para kreditor konkuren untuk memperoleh
hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5) Memberikan kesempatan kepada Debitor dan kreditor untuk berunding
membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.
2.2.2. Persyaratan Debitor Dapat Dinyatakan pailit
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut dapat disimpulkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor dapat diajukan apabila
memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Debitor paling sedikit memiliki dua kreditor (Concursus Creditorium)
Keberadaan dua kreditor merupakan syarat yang disebutkan dalam UUKPKPU
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata bahwa harta kekayaan debitor harus dibagi
secara adil kepada setiap kreditor.
2) Debitor Paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor
Pengertian keadaan berhenti membayar utang-utang harus diartikan sebagai
suatu keadaan bahwa debitor tidak membayar utangnya yang seharusnya dia
bayar. Apabila dia baru satu kali tidak membayar, maka dia belum dapat
dikatakan suatu keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar
adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar, keadaan ini merupakan
syarat mutlak untuk pernyataan pailit.
3) Utang yang belum dibayar telah jatuh waktu dan sudah dapat ditagih (due and
payable)
Utang jatuh waktu dan dapat ditagih memiliki pengertian yang berbeda. Utang
yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang dapat namun
utang yang telah dapat ditagih belum tentu utang yang telah jatuh waktu. Utang
26
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37
tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009. h. 29-30.
21
dikatakan jatuh waktu apabila telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh
debitor. Suatu utang sekalipun waktunya belum tiba, tetapi mungkin saja utang
itu dapat ditagih karena terjadi wanprestaasi sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian.
Namun, mengenai Prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi debitor
sama sekali tidak diatur dalam UUKPKPU. Akan tetapi, jika debitor memohon
sendiri tentang pernyataan dirinya sebagai pailit, ada kemungkinan di dalam
permohonan tersebut terselip suatu iktikad tidak baik pada debitor. Apabila si
kreditor yang memohonkan pernyataan pailit, maka harus terbukti terlebih dahulu
bahwa tuntutan terhadap pembayaran piutangnya jelas ada. Dengan kata lain,
permohonan kreditor harus memang nyata-nyata mempunyai tagihan kepada
debitor.
Ketiga syarat tersebut di atas harus terpenuhi. apabila salah satu persyaratan
di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan ditolak. Syarat yang
pertama yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU adalah debitor harus mempunyai dua
kreditor atau lebih (Concursus Creditorium). Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUKPKPU di atas, perlu diketahui siapa saja yang disebut kreditor, dan
siapa saja yang disebut debitor. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UUKPKPU
yang dimaksud dengan debitor adalah Debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
Pengadilan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UUKPKPU yang
dimaksud dengan kreditor adalah Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.
Kemudian, apabila melihat ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut timbul
pertanyaan adalah apakah kreditor yang dimaksudkan dalam Pasal tersebut.
Kemudian apabila melihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan “Kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan penyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Kreditor yang memiliki kedudukan preferen akan lebih diutamakan
dalam mengambil pelunasan dari pada kreditor konkuren, sedangkan sesama
kreditor preferen akan ditentukan dari tanggal dari pendaftaran jaminan.27 Bilamana
terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor
27
Krisnadi Nasution, "Kedudukan Kreditor Pada Benda Yang Telah Difidusiakan",
Mimbar Keadilan, 12.2 (2019). h. 170. <https://doi.org/10.30996/mk.v12i2.2383>.
22
28
Kartini Muljadi, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan”
Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005. h.174-175.
23
c. debitor mempunyai utang pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
d. debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
e. debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4) Bank Indonesia
Pengajuan permohonan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan.
5) Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
6) Menteri Keuangan
Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana
pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri
keuangan.
Namun seiring berjalannya waktu terdapat pengalihan kewenangan terkait hak
mengajukan kepailitan. Terdapat pengalihan kewenangan pengajuan pailit
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di beberapa sektor sebagaimana terdapat
dalam BAB VIII Ketentuan Peralihan Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut UU OJK) yang
berbunyi:
1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari
Bank Indonesia ke OJK.
29
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, PT Alumni, Bandung, 2006, h. 202.
25
Khusus untuk tata cara pengajuan permohonan PKPU secara jelas diatur di
dalam Pasal 224 UUKPKPU, permohonan PKPU harus diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Niaga dengan disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 UUKPKPU juga disertai surat-surat bukti selayaknya. Hal ini sangat penting
untuk dilakukan supaya surat-surat tersebut dapat diketahui apakah terdapat harapan
bahwa debitor di kemudian hari dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 224 UUKPKPU menyebutkan bahwa dalam hal
debitor adalah termohon pailit, maka debitor tersebut dapat mengajukan
permohonan PKPU. Dalam hal debitor adalah Perseroan Terbatas (PT), maka
permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kuorum kehadiran dan
sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan
pailit.
PKPU sendiri terbagi 2 bagian, tahap pertama, adalah PKPU sementara, dan
tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 224 ayat (2) UUKPKPU
Pengadilan niaga harus mengabulkan permohonan PKPU sementara. PKPU
sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum
diselenggarakan rapat kreditor yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
kepada debitor untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.
PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke
45 atau rapat kreditor tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap
rencana tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 228 ayat (6) UUKPKPU. Lebih
lanjut dalam Pasal 230 UUKPKPU menyatakan.
“Apabila jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban
pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) belum
tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari
berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim
Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit paling
lambat pada hari berikutnya.”
kembali kepailitan, akan mengikat harta pailit. Setelah kepailitan dibuka kembali,
tidak dapat ditawarkan perdamaian untuk kedua kalinya. 35
Tata cara mengajukan rencana perdamaian dalam rangka PKPU telah diatur
secara jelas di dalam UUKPKPU, antara lain ketentuan tersebut adalah:
1) Rencana perdamaian dapat diajukan bersamaan dengan diajukannya
permohonan PKPU sejak pertama kali (Pasal 224 ayat (5)).
2) Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada
kreditor (Pasal 265).
3) Rencana perdamaian diajukan setelah permohonan PKPU diajukan selambat-
lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sudah ada usulan perdamaian dari debitor
(Pasal 229 ayat (3)).
4) Apabila rencana perdamaian telah diterima maka tanggal dan waktu di dalam
rencana perdamaian akan dibahas dan akan diputuskan bersama melalui rapat
kreditor yang dipimpin oleh hakim pengawas. (Pasal 268 ayat (1)).
5) Pengurus yang diangkat wajib memberitahukan hal-hal yang berkaitan dengan
rencana perdamaian kepada semua kreditor baik melalui surat maupun melalui
kurir (Pasal 225 ayat (4)).
6) Apabila dalam hal kreditor nantinya belum memberikan pendapat terhadap
rencana perdamaian yang diajukan debitor maka debitor dapat meminta kepada
kreditor untuk menentukan atas perdamaian yang diusulkan tersebut diterima
atau ditolak (Pasal 228 ayat (4)).
7) Rencana perdamaian akan gugur demi hukum apabila sebelum keputusan PKPU
berkekuatan hukum tetap, ternyata di kemudian PKPU dihentikan (Pasal 267).
2.3.3. Berakhirnya PKPU
Sebagaimana Pasal 255 UUKPKPU, menyatakan bahwa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat berakhir jika hal ini diminta oleh
hakim pengawas atas permohonan pengurus atau atas permohonan satu atau lebih
kreditor, di mana permintaan tersebut diajukan kepada Pengadilan untuk dinyatakan
bahwa PKPU berakhir. Selain kepada pengurus dan para kreditor, UUKPKPU juga
memberikan kesempatan kepada debitor untuk mengajukan permohonan
pengakhiran PKPU. Berakhirnya PKPU harus melalui proses pemeriksaan dari
Pengadilan dan harus sudah diputus 10 hari sejak dimintakannya pengakhiran
PKPU. Di dalam memberikan putusan pengakhiran PKPU, Pengadilan harus
memberikan alasan-alasan yang kuat dan mendasar atas putusan tersebut. Sebelum
dimintakan ke Pengadilan untuk diakhirinya PKPU, debitor dan pengurus wajib
35
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 63.
29
Kepailitan, Pengadilan Niaga diatur dalam Bab III, Pasal 280-289 terakhir, dalam
UUKPKPU diatur dalam Pasal 300-303. Berdasarkan Pasal 300 UUKPKPU juncto
Pasal 280 ayat (1) UU No.4/1998 dibentuk suatu pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, yaitu Pengadilan Niaga, yang menurut ketentuan dalam
Pasal 280 ayat (2) mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus
permohonan pernyataan pailit dan penundaan pembayaran utang serta berwenang
pula memeriksa dan memutus perkara lain dalam bidang perniagaan yang
penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Pengadilan Niaga
(Commersial Court) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan adalah Pengadilan dalam Lingkungan Badan Peradilan Umum.
Pengadilan niaga berwenang untuk menangani masalah-masalah yang khusus
tentang kepailitan (faillisements dan bankruptcy). Pengadilan Niaga tersebut
bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
Tanggal 17 Desember 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Niaga hanyalah merupakan bagian dari Peradilan Umum (Baca
Pasal 280 ayat (1) UUK). Pengadilan Niaga merupakan “chamber” dari Pengadilan
Umum36 yang diperuntukkan untuk memeriksa perkara kepailitan dan perkara
perniagaan lainnya lahir dari desakan atas penyempurnaan aturan kepailitan itu
sendiri. Oleh sebab itu Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum,
maka tidak ada jabatan Ketua Pengadilan Niaga, karena Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan juga membawahi Pengadilan Niaga. Meskipun pengadilan niaga
dibentuk dalam lingkungan pengadilan negeri, akan tetapi tidak setiap pengadilan
negeri mempunyai pengadilan niaga. Di setiap kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia telah dibentuk pengadilan negeri namun sampai dengan saat ini hanya
terdapat lima pengadilan niaga di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Semarang,
Surabaya dan Makassar.
Pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga dapat dilakukan oleh: hakim tetap,
yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung untuk menjadi hakim Pengadilan Niaga; dan hakim Ad Hoc yaitu hakim ahli
yang diangkat dengan Keputusan Presiden. Menurut Pasal 283 ayat (1) UU No. 4
tahun 1998, Hakim-hakim ini diangkat berdasarkan keputusan Mahkamah Agung,
dengan syarat-syarat sebagai berikut: 37
36
Munir Fuady, Op. Cit., h. 147.
37
R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2012, h. 42.
31
38
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013, h. 260.
32
39
A. Hasyim Ali, Pengantar Asuransi, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2002, h. 3.
40
Sri Rejeki Hartono, Op. Cit., h. 10.
33
43
OJK, Booklet Perbankan Indonesia 2014 Edisi 1, OJK, Jakarta, 2014, h. 4.
35
44
Bambang Murdadi, Otoritas jasa keuangan (OJK) Pengawas lembaga keuangan
baru yang memiliki kewenangan penyidikan, Value Added, Vol. 8 No 2, April 2012, h. 41.
45
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, h. 28.
46
Musanef, Manajemen Usaha Pariwisata Di Indonesia, Toko Gunung Agung,
Jakarta, 1995, h. 10.
47
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen,
Haji Masagung, Jakarta, 1994, h. 2.
37