Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


Landasan teori atau kerangka teori adalah kerangka pendapat atau pemikiran,
teori-teori dalam skripsi ini mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang
menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. 1 Dalam penelitian ini
dipergunakan 3 (tiga) teori yaitu:
2.1.1. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum lahir dari pengembangan nilai dasar kepastian hukum.
Kepastian hukum adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu
sendiri). Ronald Dworkin mengatakan bahwa: “We live in and by law…, How can
the law command when the law books are silent or unclear or ambiguous?” Dalam
situasi dimana terdapat ketidak jelasan peraturan, maka akan menyebabkan hukum
tidak bisa mengatur sebagaimana mestinya.2
Kepastian adalah perihal atau suatu keadaan yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. Suatu aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis berisi aturan-
aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam masyarakat dan menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. 3 Menurut Kelsen, hukum
adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
"seharusnya" atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa
yang seharusnya dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.4
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
1
M, Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.
2
Ronald Dworkin, Essays in Epistemology Hermeneutics and Jurisprudence dalam
Patrick Nerhot, Law Interpretation and Reality, Kluwer Academic Publisher, AA Dordrecht,
Netherland, 1990, h. 194.
3
Dominikus Rato, Filsafar Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, h. 59.
4
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, h. 158.

13
14

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan
hukum bagi
14

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.5 Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum harus dijalankan dengan
cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat Oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memilik aspek yuridis yang dapat menjamin
adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus
ditaati.6
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.
Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch, keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian- bagian yang tetap dari hukum. Keadilan dan kepastian hukum
harus diperhatikan, dimana kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan
ketertiban suatu negara sehingga hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan
teori kepastian hukum, nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan
kebahagiaan.7 Kepastian hukum dapat dimaknai bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan
sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat agar
tidak menimbulkan salah tafsir. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum
dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya.
kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan berwenang-
wenang yang berarti bahwa seseorang dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Hukum bertugas menciptakan ketertiban hukum karena
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Hukum tanpa kepastian
hukum akan kehilangan maknanya karena tidak dapat lagi menjadi pedoman bagi
perilaku setiap orang Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis yang dapat dipaksakan berlakunya
dan ditetapkan oleh sebuah instrurnent di dalam sebuah negara. 8

5
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, h. 23.
6
Asikin Zainal, Pengantar Tara Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012, h.
87.
7
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, h. 82-83.
8
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, FH UII Press,
Yogyakarta, 2005, h. 2.
15

2.1.2. Teori Perlindungan Hukum


Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai
tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang
oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan
ketertiban dan kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial. Upaya melindungi kepentingan seseorang dilakukan dengan cara
mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak
dalam rangka kepentingan tersebut.9 CST Kansil berpendapat bahwa perlindungan
hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan
oleh yang oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula
dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai
subyek hukum dalam interaksinya dengan manusia serta lingkungannya. Sebagai
subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
tindakan hukum.10 Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Hukum pada dasarnya dibutuhkan untuk mereka yang lemah belum kuat secara
sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. 11
Menurut Philipus M. Hadjon, negara Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga
masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh sebab itu perlindungan hukum
berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan
martabat manusia alas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan,
persatuan, permusyawarahan serta keadilan sosial. Nilai tersebut melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam wadah negara
kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai
kesejahteraan bersama. Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan
Pancasila, maka asas yang penting adalah asas kerukunan berdasarkan
kekeluargaan.12
Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam lalu

9
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta. 2003, h.
121.
10
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h. 102.
11
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 118.
12
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya. 1998, h. 84.
16

lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat


dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan
hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki
otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum
lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut adalah
untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.13 Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Hukum pada dasarnya dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara
sosial, ekonomi dan publik untuk memperoleh keadilan sosial. 14
Moch. Isnaeni berpendapat bahwa pada dasarnya persoalan perlindungan
hukum ditinjau dari sumbernya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yakni
1) Perlindungan hukum internal
Hakekat perlindungan hukum internal, pada dasarnya perlindungan hukum yang
dimaksud dikemas sendiri oleh para pihak pada saat membuat perjanjian,
dimana pada waktu mengemas klausula-klausula kontrak, kedua belah pihak
menginginkan agar kepentingannya terakomodasi atas dasar kata sepakat.
Demikian juga segala jenis risiko diusahakan dapat ditangkal lewat
pemberkasan klausula-klausula yang dikemas alas dasar sepakat pula, sehingga
dengan klausula itu para pihak akan memperoleh perlindungan hukum
berimbang atas persetujuan mereka bersama.
2) Perlindungan hukum eksternal
Perlindungan hukum yang dibuat oleh penguasa melalui regulasi bagi
kepentingan pihak yang lemah, sesuai hakekat aturan perundangan yang tidak
boleh berat sebelah dan bersifat memihak, secara proporsional juga wajib
diberikan perlindungan hukum yang seimbang sedini mungkin kepada pihak
lainnya.
Konsep perlindungan hukum ekstemal sebagaimana tersebut di atas,
menggambarkan betapa rinci dan adilnya negara melalui peraturan perundang-
undangan memberikan perlindungan hukum kepada para pihak secara proporsional.
Membentuk peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi
semua pihak tentu bukanlah hal yang mudah bagi pemerintah. Philipus M Hadjon
berpendapat bahwa ada 2 (dua) macam perlindungan hukum, yaitu: perlindungan
13
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 53.
14
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Loc. Cit.,
17

hukum preventif yaitu mencegah terjadinya sengketa sedangkan perlindungan


represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. 15
2.1.3. Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam kajian hukum administrasi. Pentingnya kewenangan ini sehingga F.A.M.
Stroink dan J.G Steenbeek menyatakan: “Het Begrip bevoegdheid is dan ook een
kembegrip in he staats-en administratief recht”.16 Dari pernyataan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa wewenang merupakan konsep yang inti dari hukum
administrasi. Istilah kewenangan atau wewenang sejajar dengan “authority” dalam
bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. “Authority” dalam
Black’s Law Dictionary diartikan sebagai Legal Power; a right to command or to
act; the right and power of publik officers to require obedience to their orders
lawfully issued in scope of their public duties.17 Kewenangan atau wewenang itu
sendiri adalah kekuasaan hukum serta hak untuk memerintah atau bertindak, hak
atau kekuasaan hukum pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup
melaksanakan kewajiban publik.
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering
disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan
dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam
arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the
rule and the ruled).18 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.
Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan
dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Philipus M.
Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan
istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah
“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.
Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
dalam konsep hukum publik. Meskipun demikian kekuasaan mempunyai dua aspek
yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek pada
hukum semata yang artinya kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, serta
15
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Dogmatik (Normatif), Yuridika Jurnal Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, h. 2.
16
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 65.
17
Ibid,
18
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998, h. 35-36.
18

dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui perang atau
kudeta, sedangkan kewenangan itu sendiri jelas bersumber dari konstitusi.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu “onderdeel” atau bagian tertentu saja dari kewenangan. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang rechtsbe voegdheden. Wewenang
merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak
hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 19 Dari
berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kewenangan atau authority memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang atau competence. Kewenangan merupakan kekuasaan formal
yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang itu sendiri yaitu suatu
spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa disini adalah subyek hukum
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka subyek hukum berwenang
untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena perintah undang-
undang.
2.2. Tinjauan Umum Kepailitan
2.2.1. Pengertian Kepailitan
Secara etimologi kepailitan berasal kari kata pailit, selanjutnya istilah berasal
dari bahasa Belanda “faillet” yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda
dan kata sifat. Istilah “faillet” sendiri berasal dari Perancis yaitu “faillite” yang
berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan kata to fail dengan arti sama, dan dalam bahasa Latin disebut failure.
Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum istilah faillet mengandung
unsur-unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai
pengertian itu tidak ada dalam undang-undang. Selanjutnya istilah pailit dalam
Bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkan
sebagai paiyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara
yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan
istilah bankrupt dan bankruptcy.20
19
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994, h. 65.
20
Viktor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 18.
19

Menurut Munir Fuady yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah
suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara
debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di
antara para kreditor.21 Subekti berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha
bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara
adil. Sedangkan H. M. N. Puwosutjipto berpendapat bahwa kepailitan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti
membayar (utang-utangnya).22 Black's Law Dictionary mendefinisikan pailit atau
bankrupt sebagai "the state or condition of a person (individual, partnership,
corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become
due". The term includes a person against whom an voluntary petition has been filed,
or who has been adjudged a bankrupt.23 Berdasarkan pengertian yang diberikan
dalam Black's Law Dictionary tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor)
atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, ketidakmampuan tersebut harus disertai
dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela
oleh debitor sendiri maupun pemintaan pihak ketiga. 24
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersebut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk
membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari debitor, maka langkah
untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary
petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau
penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian
ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for
bankrupt).25
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut UUK

21
Munir Fuady, Op. Cit., h. 8.
22
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia
(Cetakan ke-7), Djambatan, Jakarta, 2007, h. 28.
23
Bryan A. Garner, Black’s Law's Dictionary (8th ed.), West Group, St Paul, 2004, h.
141.
24
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri hukum Bisnis, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, h. 11.
25
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan
(Cetakan ke-3), Kencana, Jakarta 2012, h. 2.
20

PKPU) Pasal 1 ayat (1), bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Tujuan dari kepailitan sebagaimana tertuang dalam undang-undang antara
lain :
26

1) Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
2) Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
3) Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditor, atau debitor hanya menguntungkan kreditor tertentu.
4) Memberikan perlindungan kepada para kreditor konkuren untuk memperoleh
hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5) Memberikan kesempatan kepada Debitor dan kreditor untuk berunding
membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.
2.2.2. Persyaratan Debitor Dapat Dinyatakan pailit
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut dapat disimpulkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor dapat diajukan apabila
memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Debitor paling sedikit memiliki dua kreditor (Concursus Creditorium)
Keberadaan dua kreditor merupakan syarat yang disebutkan dalam UUKPKPU
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata bahwa harta kekayaan debitor harus dibagi
secara adil kepada setiap kreditor.
2) Debitor Paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor
Pengertian keadaan berhenti membayar utang-utang harus diartikan sebagai
suatu keadaan bahwa debitor tidak membayar utangnya yang seharusnya dia
bayar. Apabila dia baru satu kali tidak membayar, maka dia belum dapat
dikatakan suatu keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar
adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar, keadaan ini merupakan
syarat mutlak untuk pernyataan pailit.
3) Utang yang belum dibayar telah jatuh waktu dan sudah dapat ditagih (due and
payable)
Utang jatuh waktu dan dapat ditagih memiliki pengertian yang berbeda. Utang
yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang dapat namun
utang yang telah dapat ditagih belum tentu utang yang telah jatuh waktu. Utang

26
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37
tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009. h. 29-30.
21

dikatakan jatuh waktu apabila telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh
debitor. Suatu utang sekalipun waktunya belum tiba, tetapi mungkin saja utang
itu dapat ditagih karena terjadi wanprestaasi sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian.
Namun, mengenai Prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi debitor
sama sekali tidak diatur dalam UUKPKPU. Akan tetapi, jika debitor memohon
sendiri tentang pernyataan dirinya sebagai pailit, ada kemungkinan di dalam
permohonan tersebut terselip suatu iktikad tidak baik pada debitor. Apabila si
kreditor yang memohonkan pernyataan pailit, maka harus terbukti terlebih dahulu
bahwa tuntutan terhadap pembayaran piutangnya jelas ada. Dengan kata lain,
permohonan kreditor harus memang nyata-nyata mempunyai tagihan kepada
debitor.
Ketiga syarat tersebut di atas harus terpenuhi. apabila salah satu persyaratan
di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan ditolak. Syarat yang
pertama yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU adalah debitor harus mempunyai dua
kreditor atau lebih (Concursus Creditorium). Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUKPKPU di atas, perlu diketahui siapa saja yang disebut kreditor, dan
siapa saja yang disebut debitor. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UUKPKPU
yang dimaksud dengan debitor adalah Debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
Pengadilan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UUKPKPU yang
dimaksud dengan kreditor adalah Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.
Kemudian, apabila melihat ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut timbul
pertanyaan adalah apakah kreditor yang dimaksudkan dalam Pasal tersebut.
Kemudian apabila melihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan “Kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan penyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Kreditor yang memiliki kedudukan preferen akan lebih diutamakan
dalam mengambil pelunasan dari pada kreditor konkuren, sedangkan sesama
kreditor preferen akan ditentukan dari tanggal dari pendaftaran jaminan.27 Bilamana
terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor

27
Krisnadi Nasution, "Kedudukan Kreditor Pada Benda Yang Telah Difidusiakan",
Mimbar Keadilan, 12.2 (2019). h. 170. <https://doi.org/10.30996/mk.v12i2.2383>.
22

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Dalam kepailitan, kreditor


diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Kreditor separatis;
2. Kreditor preferen;
3. Kreditor konkuren.
Kartini Muljadi juga menyatakan28, dengan demikian berarti kreditor dalam
Pasal 1 Ayat (1) UU Kepailitan meliputi kreditor konkuren, kreditor dengan hak
istimewa, dan kreditor dengan jaminan kebendaan. Dalam hal ini:
1. kreditor konkuren;
2. kreditor dengan hak istimewa menurut Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH
Perdata (tanpa kehilangan hak yang diberikan kepada mereka untuk
menahan kebendaan milik debitor yang diberikan oleh undang-undang);
3. kreditor dengan jaminan kebendaan, berupa gadai, hipotek, hak atas
panenan, hak tanggungan, dan jaminan fidusia (tanpa kehilangan hak untuk
menjual dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari harta kebendaan
debitor, yang dijaminkan secara kebendaan dan dijual tersebut);

2.2.3. Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit


Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUKPKPU menunjukkan bahwa pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit bagi seorang Debitor antara lain:
1) Debitor yang Bersangkutan
Debitor yang mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya harus dapat
mengemukakan dan membuktikan bahwa debitor memiliki lebih dari satu
kreditor, selain itu debitor harus bisa membuktikan bahwa ia tidak membayar
Utang kreditor yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
2) Kreditor atau Para Kreditor
Salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah
seorang kreditor atau lebih sepanjang debitor memiliki dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar utangnya.
3) Kejaksaan untuk Kepentingan Umum
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum di sini adalah
kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas misalnya:
a. debitor melarikan diri;
b. debitor menggelapkan bagian harta kekayaan;

28
Kartini Muljadi, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan”
Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005. h.174-175.
23

c. debitor mempunyai utang pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
d. debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
e. debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4) Bank Indonesia
Pengajuan permohonan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan.
5) Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
6) Menteri Keuangan
Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana
pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri
keuangan.
Namun seiring berjalannya waktu terdapat pengalihan kewenangan terkait hak
mengajukan kepailitan. Terdapat pengalihan kewenangan pengajuan pailit
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di beberapa sektor sebagaimana terdapat
dalam BAB VIII Ketentuan Peralihan Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut UU OJK) yang
berbunyi:
1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari
Bank Indonesia ke OJK.

Selain itu juga diatur di dalam Pasal 6 UU OJK yaitu:


“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
24

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga


Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”

Sebelum adanya OJK, tugas-tugas di atas dilaksanakan oleh Menteri


Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
dan Bank Indonesia. Dengan berlakunya UU OJK ini, BAB VIII Ketentuan
Peralihan Pasal 55 UU OJK maka peralihan kewenangan tersebut secara efektif
berlaku sejak 31 Desember 2012 dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK
untuk fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lalu untuk peralihan dari Bank
Indonesia ke OJK untuk fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan sebagaimana Pasal 55 ayat (2) UU OJK
maka mulai berlaku sejak 31 Desember 2013.
Maka dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 55 UU OJK hanya Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor Pasal Modal kepada
OJK, sedangkan terhadap Bank Indonesia dan Menteri Keuangan masih
menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Masih dari sumber yang sama, maka prosedur
permohonan pailit terhadap Bank tetap diajukan oleh BI dan untuk Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, tetap
diajukan oleh Menteri Keuangan.
2.3. Tinjauan Umum PKPU
2.3.1. Pengertian PKPU
Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan
sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa
langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. beberapa upaya dimaksud antara
lain sebagai berikut:29
1. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya;
2. Mengadakan perdamaian di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara;
3. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);
4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU;
5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh pengadilan;
6. Mengajukan perdamaian dalam kepailitan.

29
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, PT Alumni, Bandung, 2006, h. 202.
25

Berkaitan dengan alternatif pilihan tersebut, debitor seyogyanya memilih


alternatif yang terbaik. Salah satunya adalah dengan mengajukan permohonan
PKPU. PKPU tersebut harus diajukan oleh debitor sebelum adanya putusan pailit.
Apabila putusan pailit telah diucapkan oleh hakim terhadap debitor tersebut, maka
debitor tidak lagi dapat mengajukan permohonan PKPU. Sedangkan debitor sendiri
dapat mengajukan permohonan kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan
permohonan PKPU di mana dalam keadaan yang demikian Hakim akan
mendahulukan memeriksa PKPU.
Ketentuan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur
dalam BAB III Pasal 222 hingga Pasal 294 UUKPKPU. Ketentuan tersebut
menjelaskan bahwa keberadaan PKPU sebagai suatu tawaran pembayaran utang
bagi debitor kepada kreditor baik dibayarkan sebagian atau seluruhnya untuk dapat
menyelesaikan sengketa kepailitan. Sebab itulah tujuan PKPU berbeda dengan
tujuan kepailitan. Yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang (suspension
of payment atau surseance van betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh
undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada
pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau
sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya
tersebut. Jadi, penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya merupakan
sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium. 30 Tujuan PKPU adalah untuk
memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran
pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.
Menurut penjelasan pada Pasal 222 ayat (2) yang dimaksud dengan 'kreditor"
adalah setiap kreditor, baik Konkuren maupun kreditor yang didahulukan, berarti
termasuk Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis. UUKPKPU menyebutkan bahwa
yang berhak untuk memohon PKPU adalah debitor yang tidak dapat atau
memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya
yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal
222 ayat (1) UUKPKPU, PKPU dapat diajukan oleh debitor maupun oleh kreditor.
Dalam hal debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), (4), dan ayat (5). Dan
sebagaimana pengalihan kewenangannya sesuai BAB VIII Ketentuan Peralihan
Pasal 55 UU OJK.
30
Munir Fuady, Op.Cit., h.177
26

Khusus untuk tata cara pengajuan permohonan PKPU secara jelas diatur di
dalam Pasal 224 UUKPKPU, permohonan PKPU harus diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Niaga dengan disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 UUKPKPU juga disertai surat-surat bukti selayaknya. Hal ini sangat penting
untuk dilakukan supaya surat-surat tersebut dapat diketahui apakah terdapat harapan
bahwa debitor di kemudian hari dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 224 UUKPKPU menyebutkan bahwa dalam hal
debitor adalah termohon pailit, maka debitor tersebut dapat mengajukan
permohonan PKPU. Dalam hal debitor adalah Perseroan Terbatas (PT), maka
permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kuorum kehadiran dan
sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan
pailit.
PKPU sendiri terbagi 2 bagian, tahap pertama, adalah PKPU sementara, dan
tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 224 ayat (2) UUKPKPU
Pengadilan niaga harus mengabulkan permohonan PKPU sementara. PKPU
sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum
diselenggarakan rapat kreditor yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
kepada debitor untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.
PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke
45 atau rapat kreditor tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap
rencana tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 228 ayat (6) UUKPKPU. Lebih
lanjut dalam Pasal 230 UUKPKPU menyatakan.
“Apabila jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban
pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) belum
tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari
berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim
Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit paling
lambat pada hari berikutnya.”

Tujuan dari pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


adalah untuk menghindari kepailitan yang berujung pada likuidasi harta kekayaan.
Menurut Fred B.G. Tumbuan tujuan dari PKPU khususnya dalam hal perusahaan,
yaitu memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitor untuk membuat laba,
sehingga melalui reorganisasi usahanya dan atau restrukturisasi utang-utangnya
27

tetap dapat melanjutkan usahanya.31 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) bukan hanya dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga
untuk kepentingan kreditor, khususnya kreditor konkuren. 32 Tujuan lain dari
Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU) adalah menghindarkan pailit,
yakni dengan memberikan kesempatan kepada debitor untuk melanjutkan usahanya
tanpa adanya desakan untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor, serta untuk
menyehatkan usahanya.33 Sehingga pada intinya nanti tujuan akhir dari PKPU
adalah perdamaian antara debitor dan kreditor untuk menyepakati bersama dan
dituangkan dalam rencana perdamaian.
2.3.2. Perdamaian Dalam PKPU
Dalam kepailitan dimungkinkan adanya suatu perdamaian, perdamaian dalam
PKPU merupakan perjanjian antara debitor pailit dengan kreditor dimana
menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa setelah
melakukan pembayaran tersebut, ia dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak
mempunyai utang lagi. Perdamaian merupakan elemen yang paling esensial dan
sekaligus merupakan tujuan dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang,
sehingga tidak ada gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika
para pihak tidak sungguh-sungguh untuk melakukan perdamaian yang diusulkan
oleh debitor dengan mengajukan rencana perdamaian (composition plan).34
Ketentuan tentang perdamaian sebagaimana diatur dalam Bagian Keenam
UUKPKPU, Pasal 144 menjelaskan bahwa debitor pailit berhak untuk menawarkan
suatu perdamaian kepada semua kreditor. Rencana perdamaian diterima apabila
disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor
konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara
diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang
konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau
kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, seperti yang tercantum dalam Pasal 151
UUKPKPU.
Maka dari itu, perdamaian dalam kepailitan ini akan mengikat semua
kreditor termasuk kreditor yang tidak memberikan suara termasuk kreditor yang
tidak menyetujui perdamaian tersebut. Apabila perdamaian dibatalkan, maka
kepailitan dibuka kembali seperti semula. Akibatnya semua perbuatan yang
dilakukan oleh debitor dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan
31
Rudy A. Lontoh dkk. Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui
Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001, h. 50.
32
Ibid.,
33
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta, 2012, h.
264.
34
Munir Fuady, Op. Cit., h. 198.
28

kembali kepailitan, akan mengikat harta pailit. Setelah kepailitan dibuka kembali,
tidak dapat ditawarkan perdamaian untuk kedua kalinya. 35
Tata cara mengajukan rencana perdamaian dalam rangka PKPU telah diatur
secara jelas di dalam UUKPKPU, antara lain ketentuan tersebut adalah:
1) Rencana perdamaian dapat diajukan bersamaan dengan diajukannya
permohonan PKPU sejak pertama kali (Pasal 224 ayat (5)).
2) Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada
kreditor (Pasal 265).
3) Rencana perdamaian diajukan setelah permohonan PKPU diajukan selambat-
lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sudah ada usulan perdamaian dari debitor
(Pasal 229 ayat (3)).
4) Apabila rencana perdamaian telah diterima maka tanggal dan waktu di dalam
rencana perdamaian akan dibahas dan akan diputuskan bersama melalui rapat
kreditor yang dipimpin oleh hakim pengawas. (Pasal 268 ayat (1)).
5) Pengurus yang diangkat wajib memberitahukan hal-hal yang berkaitan dengan
rencana perdamaian kepada semua kreditor baik melalui surat maupun melalui
kurir (Pasal 225 ayat (4)).
6) Apabila dalam hal kreditor nantinya belum memberikan pendapat terhadap
rencana perdamaian yang diajukan debitor maka debitor dapat meminta kepada
kreditor untuk menentukan atas perdamaian yang diusulkan tersebut diterima
atau ditolak (Pasal 228 ayat (4)).
7) Rencana perdamaian akan gugur demi hukum apabila sebelum keputusan PKPU
berkekuatan hukum tetap, ternyata di kemudian PKPU dihentikan (Pasal 267).
2.3.3. Berakhirnya PKPU
Sebagaimana Pasal 255 UUKPKPU, menyatakan bahwa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat berakhir jika hal ini diminta oleh
hakim pengawas atas permohonan pengurus atau atas permohonan satu atau lebih
kreditor, di mana permintaan tersebut diajukan kepada Pengadilan untuk dinyatakan
bahwa PKPU berakhir. Selain kepada pengurus dan para kreditor, UUKPKPU juga
memberikan kesempatan kepada debitor untuk mengajukan permohonan
pengakhiran PKPU. Berakhirnya PKPU harus melalui proses pemeriksaan dari
Pengadilan dan harus sudah diputus 10 hari sejak dimintakannya pengakhiran
PKPU. Di dalam memberikan putusan pengakhiran PKPU, Pengadilan harus
memberikan alasan-alasan yang kuat dan mendasar atas putusan tersebut. Sebelum
dimintakan ke Pengadilan untuk diakhirinya PKPU, debitor dan pengurus wajib

35
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 63.
29

didatangkan untuk didengar dan dimintai penjelasan sebab-sebab yang dapat


menjadikan PKPU berakhir. Hal ini dapat menjadi forum bagi debitor atau pengurus
untuk dapat diketahui apakah debitor beritikad buruk atau debitor sudah tidak
mampu lagi untuk melanjutkan PKPU.
PKPU dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih
Kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan dalam hal:
1) Debitor, selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, bertindak
dengan itikad buluk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya.
2) Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya;
3) Debitor melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1);
4) Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh
Pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang
diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh
pengurus demi kepentingan harta Debitor;
5) Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta Debitor
ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban
pembayaran utang; atau
6) Keadaan Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
terhadap Kreditor pada waktunya.
Jika Pengadilan menganggap bahwa sidang permohonan pengakhiran PKPU
tidak dapat diselesaikan sebelum tanggal Kreditor didengar, yaitu dalam waktu 45
(empat puluh lima) hari setelah putusan PKPU sementara ditetapkan. Pengadilan
wajib memerintahkan agar Kreditor diberitahu secara tertulis bahwa mereka tidak
dapat didengar pada tanggal tersebut. Pengadilan akan menetapkan tanggal lain
untuk sidang dan dalam hal demikian para kreditor wajib dipanggil oleh pengurus.
Jika penundaan kewajiban pembayaran utang diakhiri berdasarkan ketentuan Pasal
ini, Debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama. Permohonan
pengakhiran PKPU dengan alasan-alasan di atas harus selesai diperiksa dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah pengajuan permohonan tersebut dan putusan
Pengadilan harus diucapkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak selesainya
pemeriksaan. Dan setelah ketetapan pengakhiran PKPU memperoleh kekuatan
hukum tetap yang pasti, harus diumumkan dalam berita Negara dan dalam satu atau
lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
2.4. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Niaga
Dengan diundangkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan, yang mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan
(Faillissementsverordening) Staatsblad 1905 No. 217 juncto Staatsblad 1906 No.
348, dibentuk Pengadilan Niaga, dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang
30

Kepailitan, Pengadilan Niaga diatur dalam Bab III, Pasal 280-289 terakhir, dalam
UUKPKPU diatur dalam Pasal 300-303. Berdasarkan Pasal 300 UUKPKPU juncto
Pasal 280 ayat (1) UU No.4/1998 dibentuk suatu pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, yaitu Pengadilan Niaga, yang menurut ketentuan dalam
Pasal 280 ayat (2) mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus
permohonan pernyataan pailit dan penundaan pembayaran utang serta berwenang
pula memeriksa dan memutus perkara lain dalam bidang perniagaan yang
penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Pengadilan Niaga
(Commersial Court) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan adalah Pengadilan dalam Lingkungan Badan Peradilan Umum.
Pengadilan niaga berwenang untuk menangani masalah-masalah yang khusus
tentang kepailitan (faillisements dan bankruptcy). Pengadilan Niaga tersebut
bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
Tanggal 17 Desember 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Niaga hanyalah merupakan bagian dari Peradilan Umum (Baca
Pasal 280 ayat (1) UUK). Pengadilan Niaga merupakan “chamber” dari Pengadilan
Umum36 yang diperuntukkan untuk memeriksa perkara kepailitan dan perkara
perniagaan lainnya lahir dari desakan atas penyempurnaan aturan kepailitan itu
sendiri. Oleh sebab itu Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum,
maka tidak ada jabatan Ketua Pengadilan Niaga, karena Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan juga membawahi Pengadilan Niaga. Meskipun pengadilan niaga
dibentuk dalam lingkungan pengadilan negeri, akan tetapi tidak setiap pengadilan
negeri mempunyai pengadilan niaga. Di setiap kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia telah dibentuk pengadilan negeri namun sampai dengan saat ini hanya
terdapat lima pengadilan niaga di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Semarang,
Surabaya dan Makassar.
Pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga dapat dilakukan oleh: hakim tetap,
yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung untuk menjadi hakim Pengadilan Niaga; dan hakim Ad Hoc yaitu hakim ahli
yang diangkat dengan Keputusan Presiden. Menurut Pasal 283 ayat (1) UU No. 4
tahun 1998, Hakim-hakim ini diangkat berdasarkan keputusan Mahkamah Agung,
dengan syarat-syarat sebagai berikut: 37

36
Munir Fuady, Op. Cit., h. 147.
37
R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2012, h. 42.
31

1) Berpengalaman sebagai hakim di lingkungan peradilan umum.


2) Mempunyai dedikasi dan pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi
lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
3) Mempunyai sikap yang baik yaitu haruslah berwibawa, jujur, adil dan
berkelakuan tidak tercela.
4) Telah mengikuti dan telah berhasil mengikuti program pelatihan khusus sebagai
hakim pada Pengadilan Niaga.
Dengan adanya sistem beracara di Pengadilan Niaga yang tidak mengenal
banding, maka permasalahan yang dihadapi adalah berkaitan dengan karier hakim.
Dengan tidak adanya banding pada perkara Kepailitan dan PKPU, maka akan sulit
bagi hakim niaga mencapai karir hakim tertinggi. Apabila Hakim Niaga ingin
menjadi hakim agung maka harus menjalani karir sebagai hakim tinggi terlebih
dahulu. Dengan kata lain harus meninggalkan karir sebagai hakim Niaga, sehingga
profesionalisme yang telah dirintis dan ditekuni harus ditinggalkan selama menjadi
hakim tinggi.
2.5. Tinjauan Umum Perusahaan Asuransi
2.5.1. Pengertian Perusahaan Asuransi
Untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan di masa yang akan datang,
maka diperlukan perusahaan yang mau menanggung risiko tersebut yaitu perusahaan
asuransi yang mau dan sanggup menanggung setiap risiko yang akan dihadapi
nasabahnya baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini disebabkan perusahaan
asuransi merupakan perusahaan yang melakukan usaha pertanggungan terhadap
risiko yang akan dihadapi nasabahnya. 38
Di Indonesia pengertian asuransi menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.
40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian adalah sebagai berikut:
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk:
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti; atau
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat
yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan
dana.

38
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013, h. 260.
32

Sedangkan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau


Wetboek van Koophandel memberikan definisi tentang asuransi sebagai berikut
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. 39 perusahaan asuransi sebagai perusahaan
jasa, menjual jasa kepada pelanggan pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain,
perusahaan asuransi adalah sebagai investor dari tabungan masyarakat kepada
investasi yang produktif, sebagaimana perusahaan pada umumnya perusahaan
asuransi membutuhkan dua perusahaan mengenai usahanya. Lembaga atau institusi
yang mempunyai kemampuan untuk mengambil risiko pihak lain adalah lembaga
asuransi. Dalam hal ini adalah perusahaan asuransi.
Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, perusahaan asuransi
mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas. Karena perusahaan asuransi
tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi
maupun kepentingan-kepentingan sosial. Di samping itu ia juga dapat menjangkau
baik kepentingan-kepentingan individual maupun kepentingan-kepentingan
masyarakat luas, baik risiko individu maupun risiko-risiko kolektif. Pada dasarnya
perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan
penawaran/menawarkan suatu perlindungan/proteksi serta harapan pada masa yang
akan datang kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat atau
institusi-institusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti.
Tidak dapat diingkari, bahwa usaha semacam ini akan memberikan dampak
positif yang sangat luas pada masyarakat. Mengingat hubungan-hubungan
perusahaan asuransi tidak saja dilakukan dengan sesama perusahaan dengan
perkiraan perhitungan yang besar tetapi juga dengan anggota masyarakat secara
perorangan, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan asuransi tidak saja
berhubungan dengan nilai-nilai besar, tetapi juga berhubungan dengan nilai-nilai
kecil namun menyangkut jumlah anggota masyarakat yang luas. 40
2.5.2. Ruang Lingkup Usaha Perasuransian
Pemerintah sangat mengatur ketat tentang kegiatan usaha perasuransian
khususnya asuransi. Hal ini dilakukan karena usaha asuransi sangat berkaitan
dengan pengumpulan dana masyarakat. Usaha perasuransian ini telah diatur sejak
tanggal 11 Februari 1992, yaitu melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang

39
A. Hasyim Ali, Pengantar Asuransi, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2002, h. 3.
40
Sri Rejeki Hartono, Op. Cit., h. 10.
33

Usaha Perasuransian, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun


2014 tentang Perasuransian (selanjutnya disebut UU Perasuransian) tersebut pada
dasarnya merupakan hukum publik yang mengatur kegiatan usaha perasuransian,
sedangkan perjanjian yang timbul sehubungan dengan kontrak asuransi diatur
tersendiri dalam kitab undang-undang hukum dagang (selanjutnya disebut KUHD)
yang merupakan hukum privat.41 Asuransi membawa misi ekonomi sekaligus sosial
dengan adanya premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan jaminan
adanya transfer of risk, yaitu pengalihan (transfer) risiko dari tertanggung kepada
penanggung. Asuransi sebagai mekanisme pemindahan risiko dimana individu atau
bisnis memindahkan sebagian ketidakpastian sebagai imbalan pembayaran premi.
2.6. Tinjauan Umum Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga tunggal yang mengawasi semua
lembaga di sektor jasa keuangan di Indonesia, di antaranya yaitu pasar modal,
industri perbankan, asuransi, reksadana, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan,
yang telah terbentuk pada tahun 2010. Sebagai suatu lembaga pengawas dalam
sektor jasa keuangan di Indonesia, maka perlunya perhatian yang besar kepada OJK
dan dukungan atas kinerja OJK dalam pengawasannya kepada lembaga sektor jasa
keuangan.
2.6.1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
OJK telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) yang telah berlaku mulai 1
Januari 2013. Dalam Pasal 1 UU OJK menyebutkan bahwa, OJK adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terpercaya terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas jasa keuangan berdiri
untuk menggantikan fungsi Bapepam-LK dalam mengatur dan mengawasi pasar
modal lembaga keuangan, serta menggantikan peran Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi bank serta adanya upaya melindungi konsumen industri
jasa keuangan.42
Sebelum otoritas jasa keuangan dibentuk, pengawasan lembaga jasa tersebut
dilakukan secara bertahap. Pengalihan pengawasan terhadap industri pasar modal
dan industri keuangan non-bank dilakukan pada tanggal 31 Desember 2012
41
Julius Latumaerissa, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta,
2011, h. 453.
42
Muchamad Handoko dan Made Warka, "Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-X11/2014", Mimbar Keadilan, 12.1
(2019). h. 14. <https://doi.org/10.30996/mk.v12i1.2162>.
34

sedangkan pengalihan untuk industri perbankan dilakukan pada tanggal 31


Desember 2013.
2.6.2. Tugas dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan
Sebagaimana Pasal 6 UU OJK,
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Sedangkan wewenang sebagaimana dalam Pasal 8 UU OJK,


Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
Lembaga Jasa Keuangan;
h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Terkait fungsi OJK sebagaimana ditentukan pada Pasal 5 UU OJK


mempunyai fungsi yaitu menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. 43
Dan di antaranya fungsi OJK yaitu mencakup:
a) Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan;
b) Menjaga stabilitas keuangan;
c) Melakukan pengawasan non bank dalam struktur yang sama seperti saat ini;
d) Pengawasan bank keluar dari otoritas Bank Indonesia sebagai bank sentral dan
dipegang oleh lembaga baru.
Pembentukan otoritas jasa keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik dengan meliputi independensi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran maka otoritas jasa keuangan perlu

43
OJK, Booklet Perbankan Indonesia 2014 Edisi 1, OJK, Jakarta, 2014, h. 4.
35

memiliki berbagai kewenangan baik dalam rangka pengaturan maupun pengawasan


sektor jasa keuangan.
2.6.3. Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Sebagaimana Pasal 9 UU OJK,
Untuk melaksanakan tugas Untuk melaksanakan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan;
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan juga memiliki wewenang untuk melakukan


penyidikan juga. Wewenang OJK untuk melakukan penyidikan telah sesuai dengan
Pasal 9 huruf c. Wewenang penyidikan OJK diantaranya ialah bahwa OJK dapat
langsung menggeledah dan menyita dokumen yang diperlukan serta menemukan,
menangkap dan menahan tersangka. Namun mengingat OJK adalah lembaga
independen yang dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri. Dimana pegawainya
bukan termasuk pegawai negeri sipil maka apabila OJK melakukan penyidikan
harus bekerja sama pegawai negeri sipil yang memiliki hak untuk melakukan
penyidikan harus bekerja atau dengan Polri. Sehingga untuk menjalankan
36

wewenangnya tersebut, OJK juga harus menyediakan anggaran tersendiri untuk


keperluan penyidikan yang dibutuhkan.44
2.7. Tinjauan Umum Hukum Administrasi Negara
2.7.1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Kata administrasi berasal dari bahasa Latin administrate yang berarti to
manage.45 Administrasi berarti kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam pengertian yang luas Administrasi adalah kegiatan
sekelompok manusia melalui tahapan-tahapan yang teratur dan dipimpin secara
efektif dan efisien, dengan menggunakan sarana yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan dalam implementasinya, administrasi berkembang dan
mempunyai tugas-tugas yang biasa disebut sebagai fungsi administrasi diantaranya
adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian sampai dengan fungsi pengawasan. 46
Dalam pengertian sempit, Administrasi adalah suatu kegiatan yang meliputi catat-
mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda dan
sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. 47
Prof. Dr. Pradjudi Atmosudidjo merumuskan Administrasi Negara adalah
bantuan penyelenggaraan dari pemerintah juga segenap proses penyelenggaraan
yang dilakukan oleh aparatur pemerintah suatu negara untuk mengatur dan
menjalankan kekuasaan negara, guna menyelenggarakan kepentingan umum. John
M. Pfiffer dan Robert V. mengartikan Administrasi Negara adalah suatu proses yang
bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.
Pengarahan kecakapan dan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya,
memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang. Sedangkan M.E
Dimock dan G.O Dimock berpendapat bahwa Administrasi Negara adalah sebagai
gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi
kepada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman.
Oppenheim mengemukakan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah suatu
gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun
rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah diberikan

44
Bambang Murdadi, Otoritas jasa keuangan (OJK) Pengawas lembaga keuangan
baru yang memiliki kewenangan penyidikan, Value Added, Vol. 8 No 2, April 2012, h. 41.
45
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, h. 28.
46
Musanef, Manajemen Usaha Pariwisata Di Indonesia, Toko Gunung Agung,
Jakarta, 1995, h. 10.
47
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen,
Haji Masagung, Jakarta, 1994, h. 2.
37

kepadanya oleh Hukum Tata Negara. Hukum Administrasi Negara menggambarkan


negara dalam keadaan bergerak.48
Dari beberapa pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
Administrasi Negara dalam 3 (tiga) arti, yakni:
a) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau sebagai institusi politik
(kenegaraan).
b) Administrasi Negara sebagai fungsi dan sebagai aktifitas melayani Pemerintah,
yakni sebagai kegiatan (Pemerintah Operasional).
c) Administrasi Negara sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang.
Salah satu fungsi Hukum Administrasi adalah fungsi jaminan yang berkaitan
erat dengan perlindungan hukum bagi warga negara dari segala tindakan
pemerintah.49 Dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh aparat
pemerintahan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Pengaturan mengenai
kewenangan, wewenang, bentuk tindakan atau perbuatan hukum atau perbuatan
hukum pemerintah serta sanksi di atur tegas dan jelas dalam peraturan perundang-
undangan. Perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, segala hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk perbuatan-perbuatan
hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah, juga memerlukan pengaturan yang
baik, mengenai kewenangan, jenis tindakan hukum, serta asas-asas yang menjadi
dasar penyelenggaraan pemerintahan yaitu Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
baik, bentuk dan jenis pengawasan yang perlu dilakukan.
Mengenai penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah membentuk Undang-
undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut
UU AP). UU AP menjadi dasar penatalaksanaan dalam pengambilan keputusan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara. UU AP sebagai hukum materiil bidang hukum
administrasi negara dan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan.
2.7.2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Ruang lingkup dari Hukum Administrasi Negara adalah bertalian erat dengan
tugas dan wewenang lembaga negara/administrasi negara baik di tingkat pusat
maupun daerah, perhubungan kekuasaan antar lembaga negara/administrasi negara,
dan antara lembaga negara dengan warga masyarakat/negara serta memberikan
jaminan perlindungan hukum kepada keduanya, yakni kepada warga masyarakat dan
administrasi negara itu sendiri.50
48
Fakhruddin Razy, Buku Ajar Hukum Administrasi Negara, CV. Pena Persada,
Banyumas, 2020, h. 2.
49
Syofyan Hadi dan Tomy Michael, "Principles of Defense (Rechtmatigheid) In
Decision Standing of State Administration", JURNAL CITA HUKUM, 5.2 (2018). h. 397.
<https://doi.org/10.15408/jch.v5i2.7096>.
50
Ibid., h. 8.
38

Hukum administrasi yang berkenaan dengan pemerintahan dalam arti sempit


secara garis besar mengatur hal-hal antara lain:
a) perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik;
b) kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan di bidang publik
tersebut);
c) akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan
pemerintahan ini;
d) penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan.
Keberadaan dan sasaran hukum administrasi negara adalah sekumpulan
peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintah dalam
berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan dan
kemasyarakatan yang baik dalam suatu negara hukum. Dalam Pasal 4 UU AP diatur
ruang lingkup yang termasuk dalam pengaturan Administrasi Pemerintahan.
1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang
ini meliputi semua aktivitas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
2) Pengaturan Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup tentang hak dan kewajiban pejabat pemerintahan, kewenangan
pemerintahan, diskresi, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur
administrasi pemerintahan, keputusan pemerintahan, upaya administratif,
pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan sanksi
administratif.

Anda mungkin juga menyukai