Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kepastian Hukum dan Keadilan

Hukum memiliki beberapa nilai yang menjadi pegangan dalam

penerapannya, yaitu kepastian hukum dan keadilan. Hukum tanpa kepastian akan

kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai

pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum sendiri hakikatnya merupakan

salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan

kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu

sendiri.

Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu


harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak
timbul peristiwa-peristiwa hukum, dimana ketika dihadapkan dengan
substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau
kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang
akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum. Sedangkan
kepastian karena hukum dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah
adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa,
dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak.
Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan
lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan
kehilangan sesuatu hak tertentu.7

Keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian

dalam melakukan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

7
Syafruddin Kalo, Penegakan Hukum yang Menjamin KepastianHukum dan Rasa
keadilan Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.comdiakses 8 Desember 2016,
hlm. 4.

8
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga aturan-

aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa

hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Kepastian hukum tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak atas

pengakuan jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum”. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum

adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum

dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.8 Oleh karena

itu tentang apa arti dari sebuah kepastian hukum merupakan suatu hal yang sangat

penting pula bagi masyarakat. Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan

hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang

relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu

dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-

peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan.9 Hal tersebut sangat penting,

oleh karena dengan adanya kepastian hukum itu akan sangat mempengaruhi

wibawa hakim dan elektabilitas pengadilan itu sendiri. Karena putusan hakim

yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

Dalam menegakkan hukum ada tiga nilai yang harus diperhatikan, yaitu

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga nilai tersebut harus ada

kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam


8
Chairul Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), halaman
160.
9
Syafruddin Kalo, Penegakan hukum........., hlm. 4.

9
praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional

seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak paham

apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu

menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum

akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,

sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya

dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux”

yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat

menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan

hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.10

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam

artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk

kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang

pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya

subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan

secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau

10
Dosminikus Rato, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : PT
Presindo, 2010), hlm. 59.

10
adil bukan sekedar hukum yang buruk.11

Kepastian hukum dapat diwujudkan melalui penerimaan yang baik dan


jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula penerapannya.
Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya
dan objeknya serta ancaman hukumannya. Akan tetapi kepastian hukum
mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak, tapi
sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan
memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.12

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak

dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan

hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan

hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan

yang adil, artinya peraturan dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan-

kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin

yang menjadi bagiannya.13 Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan

ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultan dari

ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara

ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling

penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-

satunya.

Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh


pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam
bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang
setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang
secara proporsional, tatapi juga bias berarti memberi sama banyak kepada
setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip
11
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N
Mamahit, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009, Hlm. 385.
12
Rasjuddin, "Hubungan Tujuan Hukum Kepastian Hukum" (Online), (http://rasjuddin.
blogspot.com/2013/06/hubungan-3-tinjauan-hukum-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal
15 Desember 2015).
13
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), hlm. 11

11
keseimbangan. Hukum tanpa keadilan tidaklah ada artinya sama sekali.14

Menurut Hans Kelsen menyebut tujuan hukum sebagai Grund norm atau

Basic Norm.15 Tujuan hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat

dalam pembentukan perundang-undangan. Disini aspek nilai yang terkandung di

dalam tujuan hukum semakin penting artinya, dan secara instrumental berfungsi,

terutama bagi pembuat peraturan kebijaksanaan (technical policy).

Berkaitan dengan tujuan hukum di Indonesia, maka Pancasila dikatakan


sebagai tujuan hukum (rechtsidee) dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Tujuan hukum mengandung prinsip yang
berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum, dengan
demikian cita hukum secara serentak memberikan manfaat ganda yaitu
dengan cita hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku, dan pada cita
hukum dapat diarahkan hukum positif menuju hukum yang adil.16

Tujuan hukum menurut Sudikno di atas, maka perlu untuk dihubungkan

dengan teori cita hukum oleh Gustav Radbruch, dimana ada 3 (tiga) nilai dasar

cita hukum yang seyogyanya menjadi dasar dalam mengoperasikan hukum di

Indonesia yaitu nilai kepastian, nilai kemanfaatan, dan nilai keadilan.17

a. Nilai Kepastian

Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan

salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sehingga

kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

14
Rasjuddin, "Hubungan Tujuan Hukum Kepastian Hukum" (Online), (http://rasjuddin.
blogspot.com/2013/06/hubungan-3-tinjauan-hukum-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal
15 Desember 2015).
15
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis (Semarang : Suryandaru
Utama, 2005), halaman 46.
16
Theo Hujber, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 1995),
halaman 129.
17
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1997), halaman 73-74.

12
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.18 Montesquieu

memberikan gagasan yang kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen

sine lege, yang tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap

warga Negara terhadap kesewenangan negara.19

b. Nilai Kemanfaatan

Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, masyarakat

mengharapkan manfaatnya. Hukum adalah untuk manusia, maka

pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau

kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai pelaksanaan atau penegakan

hukum menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.20

Proses peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu


kali ditujukan untuk penegakkan keadilan, serta untuk melindungi
kepentingan umum atau kepentingan Negara dalam proses
penyelesaian perkara pidana. Kepentingan itu sendiri adalah
tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk
dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang
dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.
Tidak dapat disangkal bahwa tindakan Negara harus ditujukan
kepada pelayanan umum dengan memperhatikan dan melindungi
kepentingan orang banyak (kepentingan umum).21

Amar putusan yaitu pemidanaan, bukan diberikan kepada negara

tetapi terpidana sebagai orang atau subyek hukum, sesuai ketentuan

Peninjauan Kembali, maka hanya terpidana saja yang berhak mengajukan

Peninjauan Kembali, dan ahli waris dalam penyebutan tidaklah berdiri

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang penemuan hukum (Bandung Citra
Aditya Bakti, 1993), halaman 2.
21
Sudikno Mertokusumo, Kapita Selekta Ilmu Hukum (Jakarta : Liberty, 2011), halaman
74-75

13
sendiri tetapi demi hukum mewakili terpidana.22

Upaya hukum luar biasa tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan

formalitas untuk pengajuan upaya hukum luar biasa, seperti PK, karena

sangat dimungkinkan adanya novum yang substansial baru ditemukan yang

pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.23 Hal ini yang didambakan

para pencari keadilan (justiciabelen) sangat mendambakan perkara yang

diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim yang profesional dan

memiliki integritas moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan yang

tidak saja mengandung aspek kepastian hukum (keadilan prosedural),

tetapi juga berdimensikan legal justice, moral justice, dan social justice

mengingat keadilan itulah menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari

proses penyelesaian sengketa di pengadilan.24 Oleh karena itu, pembatasan

upaya hukum PK hanya dapat dilakukan satu kali sehingga harus dikaji

dari perspektif kesetaraan pemberian kesempatan mengajukan PK kepada

para pihak.

c. Nilai Keadilan

Nilai keadilan dalam peninjauan kembali yang dapat dilakukan

lebih dari satu kali yaitu memberikan kebebasan hak dalam mengajukan

peninjauan kembali dengan alasan adanya novum terkait dengan

perkembangan teknologi dan pengetahuan yang belum pernah diajukan


22
Adi Harsanto, Jubair dan Sulbadana, Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, eJurnal Katalogis, Vol. 5, No. 3, Maret
2017, hlm. 5.
23
Mahkamah Konstitusi, “Meniti Keadilan dalam Pengajuan PK Lebih dari Satu Kali”,
Jurnal Konstitusi No. 86 April 2014, hlm. 6. Serta dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
34/PUU-XI/2013 tanggal 22 Juli 2013, hlm. 86.
24
Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hlm. 6.

14
sebelumnya dalam persidangan maupun PK awal, dan juga benar-benar

merupakan bukti yang memuat fakta baru bukan merupakan perulangan

semata. Sebab PK berulang tersebut dapat juga memperhatikan keadilan

korektif, dimana perlu memperbaiki sesuatu yang salah ketika kesalahan

dilakukan negara melalui putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum

tetap. Keadilan korektif berupaya untuk memberikan kompensasi yang

memadai bagi pihak yang dirugikan, yaitu pihak terpidana yang telah

dirampas hak-haknya oleh negara meliputi penangkapan, penyidikan,

penahanan, dan proses persidangan. Oleh karena itu peninjauan kembali

bertujuan untuk mengembalikan hak-hak terpidana, apabila ditemukan

bukti atau keadaan baru dimana dimungkinkan untuk hakim akan

memberikan putusan bebas atau lepas kepada terpidana.

Melihat kepastian hukum dan keadilan, seperti melihat dua sisi


mata uang. Karena keduanya harus ada untuk menciptakan keadaan
damai. Sebuah keadilan tidak dapat dicapai apa bila kepastian tidak
dipenuhi. Disini kedua nilai itu mengalami antinomies, karena
menurut derajat tertentu, nilai-nilai kepastian dan keadilan harus
mampu memberikan kepastian terhadap hak tiap orang secara adil,
tetapi juga harus memberikan manfaat darinya.25

Adil atau keadilan adalah menyangkut hubungan manusia dengan

manusia lain yang menyangkut hak dan kewajiban. Yaitu bagaimana

pihak-pihak yang saling berhubungan mempertimbangkan haknya yang

kemudian dihadapkan dengan kewajibannya. Disitulah berfungsi keadilan.

Membicarakan keadilan tidak semudah yang dibayangkan, karena keadilan

bisa bersifat subjektif dan bisa individualistis, artinya tidak bisa disama-

25
Ibid., halaman 101-102.

15
ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil oleh si B. Oleh karena itu

untuk membahas rumusan keadilan yang lebih komprehensif, mungkin

lebih obyektif kalau dilakukan atau dibantu dengan pendekatan disiplin

ilmu lain seperti filsafat, sosiologi dan lain-lain. Kata-kata "rasa keadilan"

merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis yang

terjadi kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu terdakwa, korban, dan pihak

lainnya. Rasa keadilan inilah yang memberikan hak "diskresi" kepada para

penegak hukum untuk memutuskan "agak keluar" dari Pasal-Pasal yang

ada dalam regulasi yang menjadi landasan hukum. Ini memang ada

bahayanya, karena kewenangan ini bisa disalahgunakan oleh yang punya

kewenangan, tetapi di sisi lain kewenangan ini perlu diberikan untuk

menerapkan "rasa keadilan" tadi, karena bisa perangkat hukum yang ada

ternyata belum memenuhi "rasa keadilan".

Keadilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat

(perbuatan, perlakuan, dan lain sebagainya) yang adil : sama berat, tidak

memihak, berpegang pada kebenaran, tidak sewenang-wenang. Keadilan

menurut Plato dikualifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu :

1. Suatu karakteristik atau sifat yang terberi secara alami dalam diri
tiap individu manusia.
2. Dalam keadaan ini, keadilan memungkinkan orang mengerjakan
pengkoordinasian (menata) serta member batasan (mengendalikan)
pada tingkat emosi mereka dalam usaha menyesuaikandiri dengan
lingkungan tempat ia bergaul.
3. Keadilan merupakan hal yang memungkinkan masyarakat manusia
menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam cara-cara yang utuh
dan semestinya.26

26
Herman Bakri, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan (Bandung : Refika
Aditama, 2007), halaman 177.

16
Untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya keadilan di

dalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam

konteks yang sangat luas, yakni kaitannya dalam sebuah Negara Kota.27

Sifat-sifat tersebut yaitu:

1. Dalam suatu masyarakat yang adil, tiap warga Negara harus dapat
memainkan perannya (fungsi kemasyarakatan) yang paling sesuai
dengan dirinya demikian juga halnya dalam asset-aset ekonomi
perorangan.
2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang jika akal (nalar) juga
menang, selera serta nafsu binatang semestinya diletakkan
(dikendalikan) sedemikian rupa pada tempat yang sesuai.
3. Tatanan masyarakat yang berkeadilan hanya akan tercapai
sepanjang akal manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsipnya
rasional lainnya dapat memandu penyelenggaraan kehidupan dari
elemen-elemen (masyarakat).

Menurut Aristoteles, hukum dibentuk berlandaskan kepada

keadilan, dan ia diarahkan sebagai pedoman bagi perilaku individu-

individu dalam keseluruhan hal yang bersinggungan dengan konteks

kehidupan masyarakat. Proses pembentukan itu dengan demikian bertitik

berat pada atau melingkupi keseluruhan tema yang berhubungan dengan

masyarakat.28

Keadilan dikualifikasikan ke dalam model keadilan distributif dan

keadilan komunikatif.29 Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang

memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau

pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan

dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan. Keadilan


27
Ibid., halaman 178.
28
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : Rajawali Pers, 2005), halaman
48.
29
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Press, 2003), halaman 59.

17
komunikatif adalah perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-

jasanya. Keadilan komunikatif berhubungan dengan sanksi tanpa

mempedulikan jasa yang telah diperbuatnya.30

B. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Pada era orde baru banyak peraturan perundang-undangan yang tidak

sesuai dengan konstitusi yang mana pembentukan undang-undang pada saat itu

dibuat sendiri oleh Presiden dan DPR hanya menyetujui dan tidak memberikan

koreksi atas undang-undang yang dibuat oleh Presiden. Sejak 13 Agustus 2003

hingga pada saat ini Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.31

Sebagai lembaga yang dibentuk pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi


dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan
keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah
Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati
dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada,
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan
bermasyarakat.32

Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi penyimpangan yang

dilakukan oleh masyarakat itu sendiri seperti kejahatan yang makin lama makin

marak dan masyarakat merasa tidak mendapatkan keadilan dan kepastian hukum

30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta : Liberty,
2005), halaman 24.
31
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta : Reneka Cipta 2006), halaman 173.
32
Siahaan Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Jakarta :
Sinar Grafika, 2011), halaman 63.

18
jika berurusan dengan aparat penegak hukum. Mahkamah Konstitusi memiliki

wewenang yang dapat digunakan untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian

hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan wewenang yang dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi yaitu yang tersurat jelas dalam Pasal 24 C Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa :

Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang


putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.33

Selain diatur dalam Undang-Undang Dasar, Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 wewenang Mahkamah Konstitusi juga diatur dengan jelas pada Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang isinya:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.34

Dengan demikian jika saat ini undang-undang dirasa tidak dapat

memenuhi rasa keadilan dan keastian hukum maka melalui wewenang yang

33
Sekretariat Jenderal MPR, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Jakarta : Sekjen MPR RI, 2014).
34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

19
diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi dapat mengkaji

apakah suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau

tidak. Wewenang Mahkamah Konstitusi juga diatur dalam Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 29 yang berbunyi:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk;
a. Menuji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewengan lembaga lembaga negara yang
kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela, dan /batau tidak lagi memenuhi syarat
Presiden dan /atau Wakil Presiden.
3. Susunan kekuasaan dan hukum acara Majkamah
Konsitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-
undang.
4. Organisasi, administrasi, dan financial Mahkamah Konstitusi berada di
bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

C. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana di dalam hukum pidana adalah hukum yang mengatur

berkaitan dengan proses beracara atau secara umum dikenal dengan hukum

formil. Hukum acara pidana tersebut dirangkum di dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Secara umum, hukum acara pidana dapat dikatakan sebagai susunan atau tata cara

aturan bagaimana negara serta perantara alat-alat kekuasaan suatu negara tersebut

20
menggunakan haknya untuk memberikan hukuman atau menghukum. Beberapa

pakar hukum mempunyai definisi tersendiri mengenai hukum acara pidana

seperti:

a. Menurut R. Soesilo, hukum acara pidana adalah hukum yang


mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau
menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga dapat memperoleh
keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus
dilaksanakan.
b. Menurut Pramadyaa Puspa, hukum acara pidana adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum
pidana harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya
terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus
menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar
hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pealnggaran hukum
pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana
jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka
pengadilan.
c. Menurut Soesilo Yuwono, hukum acara pidana ialah ketentuan-
ketentuan hukum yang memuat tentang hak dan kewajiban dari
mereka yang tersangkut dalam proses pidana serta tata cara dari suatu
proses pidanadengan tujuan memberikan sebuah pedoman dalam
usaha mencapai kebenaran dan keadilan bila terjadi tindak pidana
pemerkosaan atau pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang
bersifat materiil.
d. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, hukum acara pidana adalah suatu
peraturan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana yang
mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya suatu hukum
materil. Hukum pidana formil sendirimemproses suatu proses huku
menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana
(makanya disebut sebagai Hukum Acara Pidana).35

Menurut penulis hukum acara pidana ialah ketentuan-ketentuan atau aturan

hukum yang mengatur bagaimana tata cara aparat penegak hukum dalam

melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana.

Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang


berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan
sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum

35
Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Pakar" (Online), (http://www.pengertianpakar.
com/2014/09/pengertian-hukum-acara-pidana-menurut-html#_ , diakses 21 Desember 2015).

21
maupun tersangka/terdakwa adalah sama-sama manusia yang dependen
kepada Tuhan, sama manusia tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua
makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya
di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan.36

Berdasarkan paparan di atas dapat mengandung sebagai berikut:

1. Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.

2. Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan

mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan

Tuhan.

3. Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi

tanpa kecuali.

4. Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya

semata- mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha

Esa.

Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan

hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan,

dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk

Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan

mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan

martabatnya. Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan kepada aparat penegak

hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus berani dan

berkemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap

penegakan hukum.

36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), halaman 20.

22
Hukum acara pidana itu sendiri dianggap sudah tepat jika dibandingkan

dengan istilah hukum proses pidana atau hukum tuntutan pidana. Belanda

memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan

pidana. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu

rancangan undang-undang dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh

prosedur acara pidana. Sehingga istilah bahasa inggris Criminal Procedure Law

lebih tepat daripada istilah Belanda.37

Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai

pada pencarian kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada

pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk

dalam hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut terkait perencanaan

undang-undang pidana. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya

di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti seluruh

proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada Kasasi di Mahkamah

Agung, bahkan sampai dengan peninjauan kembali (herziening)38

Landasan Operasional KUHAP adalah TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978

sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara di bidang Pembangunan dan


39
Pembaharuan Hukum. Berpedoman pada TAP MPR inilah, pembuat undang-

undang mengarahkan langkah operasi penyusunan dan perumusan KUHAP.

Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD NRI 1945 dan Undang- Undang

Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970. Landasan Hukum yang terdapat dalam

37
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), halaman 2.
38
Ibid, hlm. 3.
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), halaman 30.

23
UUD 1945 antara lain :

- Pasal 27 ayat 1 yang dengan tegas menyatakan bahwa segala warganegara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

- Memberikan perlindungan pada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia.

- Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara

Hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).

Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber

konstitusional dari KUHAP yang pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam

Pasal-Pasal KUHAP. Kemudian dapat diuji dan dikaitkan dengan landasan

filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor:

IV/MPR/1978 sehingga Pasal-Pasal KUHAP benar-benar konsisten dan sinkron

dengan kedua landasan dimaksud.

D. Peninjauan Kembali

1. Pengertian Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali menurut KUHAP adalah upaya hukum yang

dapat ditempuh oleh terpidana/orang yang dijatuhi hukuman dalam suatu

kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia.40

Upaya ini dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap, dimana upaya hukum biasa tidak memungkin

40
“Peninjauan Kembali #Prinsip Umum PK” (Online),
(http://wikipedia.org/wiki/Peninjauan _Kembali#Prinsip_Umum_PK diakses 21 Desember 2015).

24
lagi untuk dilakukan. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi

kepentingan umum dan peninjauan kembali. Peninjauan Kembali (PK)

atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu

upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana, untuk melakukan

peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal ini sesuai

dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya menyebutkan

bahwa PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. PK dapat dimintakan/diajukan kepada

Mahkamah Agung (MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA

setelah semua upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi telah tertutup

untuk dilakukan. PK dapat dimintakan/diajukan terhadap semua putusan

pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) maupun

Mahkamah Agung (MA), dengan persyaratan bahwa putusan instansi

pengadilan sebagaimana tersebut di atas telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.

Putusan PN dapat dimintakan/diajukan PK dengan syarat bahwa

putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah

tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT. Demikian

pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah

tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Putusan MA

dapat diajukan PK, setelah putusan MA tersebut telah mempunyai

25
kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti telah

dibacakan putusan pengadilan (vonis) terhadap terdakwa di depan sidang

terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya

secara sah putusan pengadilan tersebut kepada terdakwa dalam tenggang

waktu 180 hari, maka sejak saat itu terbuka jalan untuk

meminta/mengajukan PK baik terhadap putusan PN, PT maupun MA.

Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab XVIII, peninjauan

kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem

peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian

dari upaya hukum biasa yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, tingkat

banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung.

Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya

terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak

yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung

bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan

terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap atau incrah,

apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau

kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru

yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.

Dalam negara hukum yang demokratis, secara teoritik dan

konseptual di dalam penegakkan hukum (law enforcement) terdapat hal

yang dapat kita sebut "area of no enforcement", dimana kekuasaan negara

26
dibatasi secara tegas dan pasti agar tidak melanggar berlakunya asas

praduga tak bersalah (Presumtion of inocence) dalam hukum pidana.

Semua tindakan negara harus berdasarkan tatanan hukum yang telah

ditetapkan lebih dulu. Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan

berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law),

yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis.41 Tindakan menegakkan

kepentingan hukum dalam rangka menjaga ketertiban umum melalui

proses penegakkan hukum pidana, negara berbuat dan bertindak. Dalam

proses itu tindakan negara dapat menyalahi tatanan hukum, menimbulkan

terampasnya hak-hak dan keadilan, kondisi akibat itu tidak dapat lagi

dipulihkan dengan upaya hukum biasa melainkan dengan upaya hukum

luar biasa, disinilah letak arti pentingnya upaya Peninjauan Kembali.

Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu bentuk upaya

hukum luar biasa. Luar biasa yang dimaksud dalam hal ini karena upaya

hukum tersebut diajukan untuk melawan suatu putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).42 Adapun dasar

dibentuknya lembaga PK dalam perkara pidana berpijak pada ketentuan

yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa :

"Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

41
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper.
Disampaikan dalam Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palemban g,
23 Maret 2 004 dalam Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004.
42
Jimly Asshidiqie, Negara Hukum Indonesia (Jakarta : Universitas Jayabaya Press, 2010),
halaman 63.

27
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana

atau ahli warisnya yang mengajukan permintaan peninjauan kembali

kepada Mahkamah Agung". Serta di dalam ketentuan Pasal 268 (3)

ditentukan bahwa Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut

dan hanya dapat dilakukan satu kali.

Landasan filosofis yang terkandung dalam upaya hukum luar biasa

PK ini ialah untuk memberikan rasa keadilan terhadap pihak-pihak yang

berkepentingan, dengan jalan membuka kembali perkara yang telah

diputus oleh pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Peninjauan

kembali perkara pidana merupakan upaya pengembalian keadilan dan hak-

hak terpidana yang telah dirampas negara secara tidak sah, bentuk

pertanggungjawaban negara pada terpidana, dan sebagai wujud penebusan

dosa negara pada terpidana atas kesalahan negara yang telah merampas

keadilan dan hak-haknya secara tidak sah atau negara telah melaukan

kesalahan besar atau dosa terhadap warga negaranya yang semestinya

harus dilindunginya.

2. Prinsip Umum Peninjauan Kembali

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi

"Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh

melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula"

28
Mahkamah Agung tidak diperkenankan menjatuhkan putusan yang

hukuman pidananya melebihi putusan pengadilan negeri. Prinsip ini

sesuai dengan tujuan diadakannya upaya peninjauan kembali yaitu

untuk memenuhi hak pemohon untuk mencari keadilan. Dengan upaya

peninjauan kembali, terpidana diberikan kesempatan untuk membela

kepentingannya agar terbebas dari ketidakbenaran penegakan hukum.43

2) PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi.

Secara normatif undang-undang mengatur bahwa PK tidak

menangguhkan atau menghentikan eksekasi (pelaksanaan putusan).

Objek permohonan upaya hukum PK adalah suatu putusan yang

berkekuatan hukum tetap (BHT). Hal ini berarti bahwa saat putusan

BHT, terdakwa telah berubah status hukumnya menjadi terpidana.

Putusan pengadilan yang BHT demikian tidak terpengaruh dengan

proses PK yang diajukan sehingga tetap dilaksanakan.44

3) PK dapat dilakukan lebih dari satu kali.

Dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP, disebutkan bahwa PK terhadap

suatu putusan pengadilan hanya dapat dilakukan satu kali.

Pada tahun 2013 Antasari Azhar mengajukan uji materi Pasal


268 ayat 3 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi
ke MK dilakukan untuk menilai apakah suatu Pasal dan
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945). Antasari yang merupakan terpidana 18

43
Yahya Harahap, Upaya Hukum Luar Biasa : Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), halaman 607.
44
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Peninjauan Kembali : Kekuasaan Mahkamah Agung
Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
halaman 431.

29
tahun dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain merasa
dirinya belum mendapat keadilan dengan upaya PK yang
pernah ia lakukan. Dalam persidangan uji materi tersebut
terdapat perdebatan mengenai keadilan dan kepastian
hukum.Apabila PK dapat dilakukan berkali-kali maka
kepastian status hukum seseorang sukar ditentukan.Yusril Ihza
Mahendra yang tampil sebagai saksi ahli dalam sidang uji
materi di MK menerangkan bahwa PK berkali-kali adalah
dalam rangka mencari keadilan materil. Pada 6 Maret 2014
MK memutuskan mengabulkan permohonan Antasari Azhar
yakni PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. Putusan ini
mendapat respon kurang baik dari Mahfud MD yang
merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfud
berpendapat bahwa putusan MK terkait PK berkali-kali
menimbulkan kepastian hukum seseorang menggantung.45

Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 34/PUU-

XI/2013 yang mengabulkan seluruhnya permohonan Antasari Azhar

mengenai peninjauan kembali maka setiap terpidana berhak

mengajukan peninjauan kembali lebih dari sekali dengan ketentuan

adanya novum baru berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Proses Peninjauan Kembali

Atas suatu putusan yang telah berkekuatan tetap, upaya hukum

peninjauan kembali dapat diajukan satu kali ke Mahkamah Agung. Upaya

hukum peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum. Permintaan peninjauan kembali ini

adalah hak yang diberikan pada terpidana atau ahli warisnya. Permintaan

pemeriksaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka


45
"Peninjauan Kembali #Prinsip Umum PK" (Online), (http://wikipedia.org/wiki/
Peninjauan_Kembali#Prinsip_umum_PK, diakses pada tanggal 21 Desember 2015).

30
waktu. Peninjauan kembali dilakukan secara tertulis dengan alasan-alasan

sebagai berikut:

1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat


bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah bertentangan satu dengan yang lain.
3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim, atau sesuatu kekeliruan yang nyata.46

Permintaan pemeriksaan peninjauan kembali diajukan kepada

panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat

pertama. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim yang berbeda dengan dihadiri

pemohon dan jaksa dapat menyampaikan pendapatnya. Terakhir, atas

pemeriksaan peninjauan kembali dibuat berita acara pemeriksaan yang

ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera. Dalam

prakteknya dewasa ini, kehadiran pemohon in-person menjadi kewajiban.

Apabila pemohon sendiri tidak hadir dan menandatangani berita acara itu,

maka MA cenderung untuk menyatakan permohonan peninjauan kembali

itu tidak dapat diterima. Tingkat pemeriksaan di pengadilan wajib

didukung oleh alat-alat bukti yang sah mengenai tindak pidana yang

disangkakan, sehingga tidak memerlukan proses peninjauan kembali

secara berulang-ulang dengan dalih untuk mencapai keadilan.47

46
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana : Surat resmi advokat di pengadilan,
(Jakarta : Papas Sinar Santika, 2013), halaman 187.
47
Adi Harsanto, Jubair, dan Sulbadana, Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam

31
Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang

berwenang untuk memutus permohonan PK. Berita Acara Pendapat dari

Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak

selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus perkara. Pada

saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal

tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani oleh hakim

agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK. Putusan PK oleh

Mahkamah Agung dapat berupa:

(1) permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan

Peninjauan Kembali, atau (3) menerima Peninjauan Kembali.

Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Katalogis, Vol. 5, No. 3, Maret 2017,
hlm. 1-11.

32

Anda mungkin juga menyukai