Anda di halaman 1dari 32

BAB III

TINJAUAN UMUM ASAS KEPASTIAN HUKUM AKAN KEDUDUKAN

PUTUSAN PENGADILAN DENGAN HIERARKI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN SERTA TINJAUAN UMUM TERKAIT

PENGATURAN HUKUM ACARA DALAM PUTUSAN PENGADILAN

JAKARTA PUSAT NO 757/PDT.G/2022

A. Tinjauan Umum Tentang Kepastian Hukum

1. Definisi Kepastian Hukum

Setiap putusan dalam setiap perkara dibuat untuk memberikan kepastian

bagi para pihak, dalam menjelaskan kepastian hukum ini maka perlu kiranya

penulis menyampaikan bahwa hal itu didasarkan pada adanya pendapat dari

Gustav Radbruch bahwa hukum memiliki keharusan untuk memuat tiga nilai

dasar dimana dalam bukunya menjelaskan bahwasannya dalam hukum terdapat

tiga nilai dasar yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit) dimana dalam kepastian

hukum membahas dari sudut yuridis, keadilan hukum (gerechtigkeit) dimana

dalam keadilan hukum membahas sudut filosofis sebagaimana keadilan adalah

persamaan hak bagi semua orang yang memiliki urusan di ranah pengadilan, dan

kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dimana dalam kemanfaatan hukum

membahas mengenai utility atau nilai guna.1 Hal ini dari ketiga hal yang telah

1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012 halaman 19.

Universitas Kristen Maranatha


disebutkan tersebut memiliki perannya sendiri-sendiri dimana dalam hal kepastian

hukum harus dipenuhi terlebih dahulu karena dalam kepastian hukum melihat dari

segi yuridis sebelum memberikan keadilan hukum bagi seseorang dan

kemanfaatan hukum yang menciptakan nilai guna, maka dari itu penulis disini

dalam penelitiannya akan condong dan fokus pada kepastian hukum namun tetap

akan menjelaskan keadilan dan kemanfaatan hukum secara umum.

Kepastian sendiri secara etimologis intinya berasal dari kata pasti dimana
2
memiliki pengertian tidak dapat diubah. Selain itu juga memiliki pengertian

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang pada dasarnya kepastian

sendiri adalah dalam hal suatu kondisi yang pasti, seyogyanya hukum juga begitu

harus pasti. Selain itu juga dapat dilihat dengan peraturan perundangan yang

diciptakan secara pasti dengan begitu akan mengakomodir dengan jelas dan

masuk akal.3 Kepastian sendiri dapat dilihat dengan peraturan

perundang-undangan karena kepastian merupakan suatu bentuk penelitian

normatif.

Dalam asas kepastian hukum ketika peraturan perundang-undangan

tersebut diciptakan serta diundangkan dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan asas kepastian hukum maka akan terwujud suatu aturan yang

jelas, masuk akal atau logis dan nantinya tidak akan terjadi keraguan yang

menimbulkan multitafsir yang akan berbenturan dengan berbagai norma atau

peraturan yang ada serta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

yang berisi mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 6 huruf i


2
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka,
2006, halaman 847.
3
C.S.T Kansil, Kamus istilah Hukum, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2009, hlm 385.

Universitas Kristen Maranatha


yang pada intinya menyatakan bahwa isi daripada muatan dalam peraturan

perundangan harus mencerminkan asas kepastian hukum, maka dengan adanya

asas kepastian hukum peraturan-peraturan itu dapat menjadi suatu batasan bagi

masyarakat dalam melakukan suatu hal tindakan dari satu orang terhadap orang

yang lainnya.4 Adanya batasan di dalam suatu peraturan hukum artinya tidak

boleh mengandung substansi yang cenderung mengarah dan memiliki banyak

makna atau biasa penulis menyebut multitafsir jika dikorelasikan dengan suatu

peraturan perundang-undangan yang lainnya atau suatu norma lainnya yang

berlaku.

Adapun pendapat para ahli yang digunakan penulis untuk dijadikan dasar

berfikir dan referensi yaitu teori yang dikemukakan Gustav Radbruch yaitu beliau

mengatakan bahwasannya pada intinya dalam asas kepastian hukum yakni suatu

yang sangat mendasar dimana hukum harus positif, dilaksanakan dan dipatuhi.5

Maksud dari pernyataan beliau adalah asas kepastian hukum adalah hal yang

mendasar dalam kehidupan masyarakat dimana hukum tersebut harus

mengandung hak-hak individu atau kelompok secara merata yang akan

diberlakukan dalam suatu waktu dan tempat tertentu sehingga tujuan dari

kepastian hukum nantinya dapat tercapai dan dapat diterima serta menjamin

kepastian hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Gustav Radbruch juga

mengatakan bahwasannya asas kepastian hukum itu memiliki empat faktor yakni :

a. Faktor berupa perundangan yang bersifat positif (gesetzliches Recht).

b. Didasarkan pada fakta (tatsachen)


4
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta 2008, halaman 158.
5
O.Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011 halaman 33-
34.

Universitas Kristen Maranatha


c. Fakta dalam suatu kejadian perlu dijelaskan dan diuraikan secara benar

supaya tidak menimbulkan kesalahan pada saat dipahami dan dijalankan

d. Merupakan hukum positif jadi tidak mudah diubah.6

Faktor-faktor diatas tentu tidak bisa terlepas dengan asas kepastian

hukum jika ditinjau dan dipahami secara seksama, dalam empat faktor

tersebut memiliki korelasi yang saling berkaitan, pada poin yang pertama

perundang undangan memiliki sifat yang positif dimana dimaksudkan

setelah melihat suatu peraturan perundang-undangan juga harus bisa

didasarkan pada fakta suatu kejadian dan tidak hanya berhenti pada poin

tersebut namun korelasi masih berlaku pada poin selanjutnya dimana

setelah fakta ditemukan tentu harus dijelaskan dan diuraikan secara

komprehensif sehingga hukum positif tersebut tidak dapat diubah-ubah.

Tidak hanya Gustav Radbruch namun ada pendapat kedua yang

juga disampaikan oleh Utrecht dimana beliau mengatakan bahwasannya

asas kepastian hukum memiliki 2 definisi yakni :

a. Ada suatu peraturan yang memiliki sifat umum yang membuat

seseorang tahu perbuatan apa dan bagaimana yang boleh/tidak

boleh dilakukan.

b. Ada suatu keamanan hukum bagi seseorang dari tindak

kesewenangan pemerintah.

Dengan adanya penjelasan diatas tersebut maka seseorang dapat

tahu apa saja yang dapat dan tidak dapat dibebankan atau dikenakan oleh

6
Ibid. halaman 292-293

Universitas Kristen Maranatha


negara kepada individu.7 Secara tidak langsung kedua definisi Utrecht

memiliki hubungan dimana dengan adanya asas tersebut orang akan

mengetahui perbuatan yang diperbolehkan serta dilarang dan ketika

seseorang tahu klasifikasi perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan

yang dilarang maka nantinya tujuan kepastian hukum akan tercipta suatu

keamanan hukum bagi suatu individu terhadap siapapun.

Pendapat ketiga diutarakan oleh Van Apeldoorn dimana beliau

menyatakan bahwasannya asas kepastian hukum sendiri diklasifikasikan

ke dalam 2 bagian yang pertama yaitu mengenai proses pembentukannya

yang konkret dan cepat dalam hal ini yang dimaksud adalah para pencari

keadilan atau masyarakat pada umumnya dan yang kedua adalah hukum

harus memiliki batasan secara menyeluruh.8 Penjelasan mengenai

pendapat beliau pada poin pertama dimaksudkan dalam asas kepastian

hukum mengenai proses pembentukanya harus mengutamakan masyarakat

pada umumnya dan ketika masyarakat memerlukan kepastian hukum maka

hukum itu telah ada dan dapat menjamin masyarakat tersebut karena

proses pembentukannya yang konkret dan cepat selanjutnya pada poin

kedua menjadi pengingat dalam poin pertama dimana meskipun proses

pembentukannya yang konkret dan cepat namun hukum atau pengaturan

tersebut harus tetap memiliki batasan-batasan secara jelas, batasan disini

7
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman
23
8
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, PT. Replika Aditama,
Bandung, 2006, halaman 82-83.

Universitas Kristen Maranatha


dimaksudkan terkait batasan pemahaman dan penerapan dari pengaturan

tersebut.

Maka dari pemaparan dan penjelasan teori dari asas kepastian

hukum di atas adanya asas tersebut maka segala bentuk perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang dapat terjamin karena orang akan tahu mana

yang dapat dan tidak dapat dilakukan.9 Hal ini juga dapat digunakan

landasan berfikir oleh penulis untuk membantu penulis dalam menjawab

dan menjelaskan dalam kepastian hukum dalam unsur subyektif dan

obyektif.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta pusat 757/Pdt.G/2022 Memuat

Amar putusan yang berbunyi :

“menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan

Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan

melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih

kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.”

Amar tersebut memuat putusan yang tidak sejalan dan

bertentangan dengan aturan yang berlaku yaitu Undang-Undang No.7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta Konstitusi negara Indonesia

yang telah mengatur terkait Keberlangsungan Pemilihan Umum yang akan

diadakan selama 5 tahun sekali. Hal ini menjadi sebuah bukti dari

ketidakpastian hukum yang tidak terjalin dalam putusan tersebut.

Berdasarkan pengertian yang telah penulis jabarkan pada paragraf

9
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, halaman 136.

Universitas Kristen Maranatha


sebelum. kepastian hukum adalah upaya untuk memberikan keamanan

kepada para pihak akan hukum yang berlaku melihat kepada 3 landasan

utama yaitu adanya konsep yang jelas, hukum yang jelas dan konsistensi

dalam menjalankan aturan tersebut. Sehingga sudah seharusnya

Keputusan dibuat mendasar kepada tiga hal tersebut dalam pertimbangan

dan putusannya untuk menciptakan sebuah kepastian bagi para pihak yang

bersengketa.

2. Pengaturan Terkait Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara umum telah diatur dalam UUD 1945 pada

pasal 28D ayat 1 pada intinya menyatakan tiap warga Negara Republik

Indonesia memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Pengaturan diatas tentu memerlukan perwujudan yang idealnya

perwujudan tersebut berupa rumusan-rumusan norma tidak hanya berupa

uraian-uraian dalam bentuk pernyataan.10

Perwujudan suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya

sebatas dalam bentuk pernyataan namun tetap harus terdapat

rumusan-rumusan norma yang digunakan dalam perwujudan suatu

peraturan khususnya disini yaitu pasal 28D ayat 1 yang nantinya hasil dari

rumusan norma tersebut dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat secara

jelas tanpa mengurangi hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Jadi

10
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law And State (Teori Umum Hukum dan Negara-Dasar
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik) Alih Bahasa Somardi,
Jakarta, Media Indonesia, halaman 46.

Universitas Kristen Maranatha


hemat penulis jika dilihat penjelasan dan penguraian alur berpikir

pengaturan terkait kepastian hukum ringkasnya harus dilakukan melalui

tahapan perumusan norma yang matang serta mengandung kewajiban

hukum yang bersifat terukur agar kepastian hukum benar-benar tercapai

sebagai wujud pengejawantahan dari pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

3. Bentuk-Bentuk Kepastian Hukum

Dalam bentuk-bentuk mengenai kepastian hukum sendiri disini

penulis menggunakan pendapat ahli yaitu Apeldoorn dimana beliau

menyampaikan dalam bentuk kepastian hukum dapat dibagi menjadi dua

aspek yaitu :

a. Proses pembuatan dalam kepastian hukum harus bersifat

jelas atau detail, pada hal ini ketika dilakukannya

pembentukan peraturan hukum harus disesuaikan dengan

kenyataan dan dapat menanggapi isu-isu dengan cepat.

b. Sebagai keamanan hukum yang harus dipastikan

terlindungi, dapat diartikan bahwasanya dengan adanya

peraturan yang jelas dan memiliki batasan yang jelas maka

hukum akan memberikan keamanan yang akan melindungi

masyarakat yang akan tercipta kepastian hukum.

Jika memilah konsep daripada bentuk positivisme yang dijabarkan

bahwasanya pada aturan hukum haruslah menaruh batasan secara

menyeluruh.11 Artinya dalam rumusan pasal dalam suatu peraturan

11
Sidharta, Loc.cit

Universitas Kristen Maranatha


khususnya disini pasal 27 ayat 3 UU 19/2016 Atas Perubahan ITE harus

memiliki batasan secara menyeluruh mengenai rumusan pasalnya.

B. Hierarki Perundang-Undangan

1. Pengertian Undang-Undang

Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan penguasa yang

dilihat dari bentuk dan cara terjadinya. Sedangkan dalam arti materiil

merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya

disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.12

Selanjutnya Burkhardt Krems dalam bukunya Maria Farida Indrati

menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan

(Gesetzgebungswissenschaft) merupakan ilmu yang interdisipliner yang

berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar

dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :13

a. Teori Perundang-undangan (Gesetzgebung Theorie), yang

berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau

pengertian-pengertian dan bersifat kognitif;

b. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebung Lehre), yang

berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan

12
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, Tahun 2008).
Hlm. 89
13
Maria Farida I.S, “Ilmu Perundang undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya)”,
(Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm.16

Universitas Kristen Maranatha


peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif. Burkhardt

Krems membagi lagi ke dalam tiga bagian yaitu :14

a. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebung Fahren);

b. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebung Method);

c. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebung Technik).

Lingkup batasan pengertian undang-undang tidak diterangkan

dalam Undang - Undang Dasar 1945. Pasal 20 Undang-Undang Dasar

1945 hanya menyebutkan kewenangan DPR untuk membentuk

undang-undang dengan persetujuan bersama dengan pemerintah. Pasal

24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang

menguji undang-undang terhadap UUD. Salah satu bentuk undang-undang

atau statute yang dikenal dalam literatur adalah local statute atau locale

wet, yaitu undang-undang yang bersifat lokal. literature dikenal pula

adalah istilah local constitution atau locale grondwet. Di lingkungan

negara-negara federal seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman,

dikenal adanya pengertian mengenai Konstitusi Federal (Federal

Constitution) dan Konstitusi Negara-negara Bagian (State Constitution).

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum (suatu

pengantar) menyebutkan bahwa pengertian undang-undang dapat

dikategorikan kedalam 2 (dua) pengertian, diantaranya :15

a. Undang-undang dalam arti materiil

14
Indah Trisiana, “Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Banjarnegara Berdasarkan Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Skripsi,
2013. Hlm. 43
15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, Tahun 2008).
Hlm. 83

Universitas Kristen Maranatha


b. Undang-undang dalam formil

Istilah “perundang-undangan” (legislation atau gezet gebung)

mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :16

1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau

proses membentuk peraturan-peraturan negara baik ditingkat pusat

maupun di tingkat daerah ; dan

2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara,yang

merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan baik di

tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, “Stufentheorie”, atau

yang stufenbau theory dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa

norma-norma hukum itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

hierarki (tata susunan).17 Teori tersebut juga tercermin dalam sistem

peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari

perintah Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih

lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan

undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang - Undang

tersebut diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi mencakup pula

16
Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika,
Tahun 2011). Hlm. 13.
17
Maria Farida I.S, “Ilmu Perundang undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya)”,
(Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm.20

Universitas Kristen Maranatha


peraturan perundang-undangan lainnya, selain UUD 1945 dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam

bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk

pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem

hukum nasional.

Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di

Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan

yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang

timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia

memiliki banyak peraturan perundang undangan yang harus dijalankan

oleh warga negara Indonesia yang baik dan bertanggung jawab. Setiap

peraturan perundang-undangan tersebut dikelompokkan dalam berbagai

kelompok, yaitu peraturan yang paling atas adalah yang paling kuat dan

peraturan yang bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau

hukum di atasnya.18

Sejarah sistem ketatanegaraan, sejak tahun 1966 sampai dengan

tahun 2011, Indonesia telah mengalami perubahan mengenai dasar

pembentukan dan hierarki peraturan perundangan-undangan. Peraturan

perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum

18
Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang”,
Jurnal, Volume 11 Nomor 1, April 2014, Hlm. 9.

Universitas Kristen Maranatha


yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan

dalam perundang undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan

(norma hukum), sebagaimana diuraikan di atas, Hans Kelsen, berpendapat

bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis

dalam suatu hirarki atau tata susunan, yang artinya suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,

norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak

dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma

dasar (grundnorm).19

Hierarki perundang-undangan di Indonesia memiliki pasang surut

atau perubahan akibat konfigurasi politik yang ada. Pasang surut tersebut

menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan. Perubahan tersebut

menjadi salah satu sisi meningkatnya sistem demokrasi yang ada di

Indonesia. Peningkatan taraf kemurnian demokrasi tersebut menjadi awal

kebangkitan sistem pemerintahan. Berikut ini akan diuraikan sejarah

singkat hierarki peraturan perundang undangan di Indonesia.

2. Asas Perundangan-undangan

Peraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya berpedoman

pada asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai aksioma

19
Maria Farida I.S, “Ilmu Perundang undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya)”,
(Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm. 8

Universitas Kristen Maranatha


yang memberi jalan pemecahannya jika suatu aturan diberlakukan atau

aturan yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa

aturan dalam pelaksanaannya atau dapat diartikan sebagai suatu

kesepakatan universal yang berupa pemikiran-pemikiran dasar untuk

dijadikan landasan pengaturan bersama dalam membuat peraturan

perundang-undangan. Asas-asas sebagaimana yang telah disebut sebagai

berikut :20

a. Asas lex speciali derogat lex generalis

b. Asas lex posteriori lex priori

c. Asas undang-undang tidak berlaku surut

d. Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat

e. Asas welvaartstaat.

Asas-asas lain yang perlu dikemukakan adalah asas yang

merupakan pegangan para pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu :

a. Asas diskresi

b. Asas adaptasi

c. Asas kontinuitas

d. Asas prioritas

3. Teori Perundang-undangan

Suatu norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif tergantung

dari norma hukum yang lebih tinggi atau di atasnya. Sehingga apabila

20
Ali Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Tahun 2007). Hlm. 197.

Universitas Kristen Maranatha


norma hukum di atas dihapus maka norma hukum yang di bawahnya

secara otomatis terhapus.

Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma

tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,tetapi

norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma

dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di

bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan presupposed.

Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum Hans Kelsen

mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie),

dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang

dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma

yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi,norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan

fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).21

Selain itu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

dikenal ada 3 (tiga ) landasan teori agar suatu perundang-undangan itu

baik. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Sudikno bahwa ada 3 (tiga)

landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diterapkan di

negara demokrasi antara lain:

21
Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika,
Tahun 2011). Hlm. 15

Universitas Kristen Maranatha


a. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek yuridis

(Juristische Geltung).

Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis

apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah

terpenuhi. Menurut Hans Kelsen (dalam Sudikno) kaidah hukum

mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan

atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaidah hukum

merupakan sistem kaidah secara hierarki. Di dalam Grundnorm

(norma dasar) terdapat dasar berlakunya semua kaidah yang

berasal dari satu tata hukum. Dari Grundnorm itu hanya dapat

dijabarkan berlakunya kaedah hukum dan bukan isinya. Pertanyaan

mengenai berlakunya kaedah hukum itu berhubungan dengan das

Sollen, sedangkan das Sein itu berhubungan dengan pengertian

hukum.

b. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek filosofis

(Soziologische Geltung).

Disini intinya adalah efektivitas atau hasil guna kaedah

hukum di dalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah,

bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat

itu lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk

menurut persyaratan formal atau tidak. Jadi disini berlakunya

hukum merupakan kenyataan di dalam masyarakat

Universitas Kristen Maranatha


Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ini ada

dua macam:22

1) Menurut teori kekuatan (Machts Theorie) hukum

mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan

berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun

tidak oleh warga masyarakat.

2) Menurut teori pengakuan (Anerkennung Theorie) hukum

mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima

dan diakui oleh warga masyarakat.

c. Bahwa Peraturan tersebut harus berlandaskan aspek sosiologis

(Filosofische Geltung)

Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila

kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee)

sebagai nilai positif yang tertinggi (uber positiven Werte: Pancasila,

masyarakat adil dan makmur).

Undang-undang nomor 19 tahun 1948 adalah suatu contoh

undang undang yang hanya mempunyai kekuatan berlaku yuridis,

karena telah memenuhi persyaratan formal terbentuknya, tetapi

belum pernah berlaku secara operasional: walaupun

undang-undang tersebut sudah diundangkan, tetapi dinyatakan

mulai berlaku pada hari yang akan ditetapkan oleh Menteri

Kehakiman. Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang bagi

22
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bakti, halaman 85

Universitas Kristen Maranatha


hasil telah mempunyai kekuatan berlaku yuridis, tetapi di dalam

praktek tidak sepenuhnya berlaku.

Agar berfungsi, maka kaidah hukum harus memenuhi

ketiga unsur tersebut: harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis,

sosiologis, dan filosofis sekaligus.

1. Landasan Hukum Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia adalah negara hukum, sehingga konsekuensi dari negara hukum

bahwa harus mencakup elemen penting seperti : adanya perlindungan Hak Asasi

Manusia, pembagian dan pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan

dengan undang-undang. Terkait dengan pemerintahan berdasar dengan

undang-undang maka segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus

berdasarkan hukum. Hukum yang dibuat untuk mengatur segala penyelenggaraan

pemerintahan itu berlandaskan sumber hukum yang lebih tinggi. Berdasarkan

perkembangannya Indonesia mempunyai 4 (empat) landasan hukum

perundang-undangan, antara lain :23

1. Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR GR

mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia. Merupakan Produk Hukum yang

pertama yang menghasilkan peraturan perundang-undangan yang isinya :

a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

23
Ragawino, “Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia”, Universitas
Padjadjaran, 2005, Hlm. 4

Universitas Kristen Maranatha


b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang; c. Peraturan pemerintah;

d. Keputusan Presiden; dan

e. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:

1) Peraturan menteri;

2) Instruksi Menteri;

3) Dan Lain-Lainnya.

2. Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang;

d. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;

e. Peraturan Pemerintah;

f. Keputusan Presiden; dan

g. Peraturan Daerah.

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

Universitas Kristen Maranatha


c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah :

1) Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh dewan

perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan

gubernur;

2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh

dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama

dengan bupati/walikota;

3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat

oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama

dengan kepala desa atau lainnya.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah Provinsi; dan

f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Universitas Kristen Maranatha


2. Perundang-undangan Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan

penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya,

terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang - Undang Nomor

12 Tahun 2011, antara lain: penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang - undangan dan hierarkinya

ditempatkan pada posisi kedua setelah UUD 1945.24

Secara umum Undang-Undang tersebut memuat materi-materi pokok yang

disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan peraturan perundang -

undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan,

perencanaan peraturan perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang -

undangan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan

pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan

pengundangan peraturan perundang-undangan, penyebarluasan, partisipasi

masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan

lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga

negara serta pemerintah lainnya.

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan

penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya

24
Fitri Meilany Langi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dalam
Perundang-Undangan di Indonesia, Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Maret/2013.

Universitas Kristen Maranatha


harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun,

tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya

tidak diatur dengan Undang-Undang tersebut, seperti pembahasan Rancangan

Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan rancangan

peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan

dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan

pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan

peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di

daerah. Berikut ini adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia

menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu :25

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

25
Thohari, Eksistensi Ketetapan MPR Pasca UU No 12 Tahun 2011. Makalah dipresentasikan
pada acara Pers Gathering Wartawan Parlemen tanggal 11-13 November di Pangkal Pinang.

Universitas Kristen Maranatha


Dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut kedudukan Perpu

disejajarkan dengan Undang-Undang dan posisinya di bawah Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Kembalinya TAP MPR dalam Undang -

Undang tersebut menjadi tanda tanya besar, bahwa TAP MPR harus difungsikan

tetapi hanya sebatas peraturan yang sudah ada dan tidak bisa melakukan

keputusan sendiri agar ada fungsi kinerjanya. Semua perubahan tersebut

menunjukkan adanya peningkatan kinerja peraturan perundang-undangan secara

demokratis dan signifikan yang semula lebih bersifat konservatif berubah dengan

pelan tapi pasti menjadi hierarki yang lebih demokratis dan sesuai dengan

kewenangan yang ada.

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa perkembangan hierarki peraturan

perundang-undangan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan

hierarki tersebut termasuk posisi Perpu dalam tata urutan peraturan perundang -

undangan. Untuk mempermudah mengetahui dasar perubahan tata urutan

peraturan perundang-undangan, di bawah ini diberikan tabel hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa secara normatif Perpu merupakan bagian dari peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Perubahan posisi Perpu dalam tata urutan

peraturan perundang-undangan di Indonesia disebabkan oleh karena dinamika

politik pada masa tersebut. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, posisi Perpu

sejajar dengan Undang-Undang dan berada di bawah TAP MPR. Jika dilihat

keberadaan Perpu dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Perpu menempati

posisinya di bawah Undang-Undang. Akan tetapi bila dilihat posisi Perpu dalam

Universitas Kristen Maranatha


TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, UU 10/2004 dan Undang Undang Nomor 12

Tahun 2011, kedudukan atau posisi Perpu sejajar dengan Undang-Undang.

Adapun salah satu pertimbangan disejajarkannya antara Undang-Undang dengan

Perpu adalah karena materi muatan Perpu sama dengan materi muatan

Undang-Undang.

Hierarki Peraturan Perundang-undangan secara fundamental dan mendasar

telah memberikan pedoman aturan kepada warga negara indonesia dalam

menjalankan setiap produk hukum yang dibuat, hierarki peraturan

perundang-undangan juga menjadi bukti dari Indonesia sebagai negara hukum

yang melandaskan setiap sendinya kepada hukum maka diperlukan adanya

tatanan tingkatan aturan yang jelas sesuai pula dalam teori stufenbau yang

menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis

dalam suatu hierarki (tata susunan).26 Hierarki Peraturan Perundang-undangan

juga dibuat untuk menciptakan kepastian hukum, dimana menurut Nusrhasan

Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam peraturan

perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur

internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah sebagai

berikut : Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi

deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep

tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk

peraturan perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut

sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang

26
Maria Farida I.S, “Ilmu Perundang undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya)”,
(Yogyakarta : Kanisius, 2007), hlm.20

Universitas Kristen Maranatha


dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang

mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan

tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan.27

Putusan Pengadilan sendiri tidak dapat dikualifikasikan sebagai bagian

dari Hirarki Peraturan Perundang undangan karena berdasarkan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun

telah diatur dalam aturan yang sama tepatnya pada pasal 8 yang berbunyi :

(1) “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,

badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat.”

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh

27
Nurhasanah Ismail, 2007, Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi Politik,
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada), hlm 39.

Universitas Kristen Maranatha


Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.

Hal ini berarti bahwa Putusan Pengadilan biasa tidak dapat

dikualifikasikan sebagai Peraturan Perundang-undangan kecuali Putusan

Pengadilan luar biasa seperti Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi. Walaupun Putusan Pengadilan mengikat namun berdasarkan Buku II :

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata

Khusus, disebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat menjadi dasar suatu

putusan perkara perdata dapat dinyatakan tidak dapat dieksekusi ialah Amar

putusan tersebut tidak mungkin dilaksanakan. Oleh karena itu pada dasarnya

Putusan Pengadilan tidak memiliki kedudukan yang setara ataupun kuasa untuk

mengesampingkan peraturan yang ada.

C. Peraturan Hukum Acara yang digunakan dalam Perkara Partai Rakyat

Adil Makmur dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

757/Pdt.G/2022

1. HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT

Dari segi judul, HIR menggunakan bahasa Belanda, yang mana hal ini

dikarenakan instrumen hukum tersebut dibuat pada zaman penjajahan Belanda di

Indonesia. Nomor administratif dari HIR adalah S. 1884 No 16, S. 1941 No 44.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, HIR merupakan peninggalan zaman

penjajahan belanda, sehingga sistem penomorannya juga masih mengikuti sistem

yang berlaku pada zaman tersebut, dan belum mengikuti panduan sebagaimana

Universitas Kristen Maranatha


diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. HIR merupakan instrumen hukum yang

mengatur tentang tata cara pelaksanaan suatu persidangan untuk perkara perdata,

yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. HIR terdiri dari 394 Pasal, yang mana

beberapa diantaranya sudah dicabut atau diubah dengan ketentuan dari peraturan

perundang-undangan yang lain.28 Namun ada beberapa ketentuan salah satunya

terkait Kompetensi kewenangan Pengadilan dalam mengadili Perkara Ketentuan

ini pun diatur didalam Pasal 252 HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R)

yang berbunyi :

“Tiap-tiap pengadilan negeri terutama berhak untuk memeriksa segala

kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam lingkaran

daerah hukumnya. Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya diam, tinggal

atau ditangkap orang. yang tersangka, hanya dapat mengambil pemeriksaan

perkara kepadanya, jika tempat kediaman kebanyakan saksi, yang akan dipanggil,

lebih dekat letaknya pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang dalam daerah

hukumnya dilakukan kejahatan itu. Jika seorang yang tersangka, melakukan

beberapa kejahatan dalam daerah hukum beberapa pengadilan negeri maka

tiap-tiap pengadilan negeri sama haknya memeriksa pelbagai kejahatan-kejahatan

itu, akan tetapi kalau beberapa pengadilan negeri serempak mencampurinya, maka

yang tetap diserahi pekerjaan memeriksa itu, ialah pengadilan negeri yang dalam

28
Ketut Andri Sena, S.H., Bedah Materi PKPA: Perbedaan HIR, RBG dan RV,
https://heylaw.id/blog/perbedaan-hir-rbg-dan-rv, diakses pada tanggal 28 Juni 2023 Pukul 23.15
WIB

Universitas Kristen Maranatha


daerah hukumnya ditahan orang yang tersangka itu, atau dalam daerah hukumnya

diam atau tinggal orang yang tersangka itu, jika ia tidak ditangkap.”

HIR digunakan karena HIR, karena berdasarkan sejarah dan ketentuan

digunakan dalam lingkup pulau jawa dan madura. Sengketa ini berada dalam

lingkup pulau jawa sehingga HIR yang digunakan. Dalam hal Putusan ini diterima

dan diputus melalui pengadilan negeri bukan PTUN karena perkara ini merupakan

perkara perdata yang mana hal tersebut telah diatur dalam Hukum Acara Tata

Usaha Negara.

2. Peraturan Terkait Tata Usaha Negara yang berhubungan dengan perkara

Partai Rakyat Adil Makmur

Sengketa Pemilihan umum memang sangat erat dengan tata usaha

negara karena pelaku dan pelaksana dari pemilihan umum adalah para

pejabat negara sebagai pemberi keputusan, berdasarkan aturan yang diatur

didalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara yang berbunyi :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang

berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan

peraturan perundang undangan yang berlaku, yang bersifat

Universitas Kristen Maranatha


konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum

bagi seseorang atau badan hukum perdata.”29

Perkara Partai Rakyat Adil Makmur didalamnya memuat sengketa

terkait Berita Acara yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia, dimana Berita Acara bukan merupakan sebuah

keputusan melainkan sebuah surat terbuka berisikan informasi akan suatu

peristiwa. Sehingga yang menjadi masalah adalah Berita Acara yang

dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum yang sublampiran yang satu dengan

lainnya bertentangan menimbulkan kerugian bagi Partai Rakyat Adil

Makmur yang berarti ini merupakan tindakan Perbuatan Melawan Hukum

sehingga PTUN tidak berwenang untuk mengadili berdasarkan Pasal 53

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN mengatur terkait

batasan sengketa yang dapat diadili oleh PTUN diantara nya :

1. Sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) atau

Pengadilan Tinggi (PT) yang berkekuatan hukum tetap.

2. Sengketa yang bersifat perdata, kecuali yang timbul dalam

penyelesaian sengketa administrasi.

3. Sengketa yang terkait dengan penetapan anggaran dan kebijakan

umum pemerintah.

29
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004,
Ghalia Indonesia (Anggota IKAPI), Jakarta, 2005.

Universitas Kristen Maranatha


Secara terang peraturan tersebut telah menjadi landasan dari

dipilihnya Pengadilan negeri sebagai Peradilan yang berwenang untuk

mengadili perkara tersebut.

3. Reglemen Acara Perdata

Reglemen Acara Perdata digunakan dalam melangsungkan Proses

sengketa karena perkara ini tergolong ke dalam perkara perdata dan

disengketakan dalam lingkup peradilan biasa. Kompetensi kewenangan

Pengadilan Negeri sebagai peradilan yang berperkara.

Pasal 266.

Bila penolakan terhadap seorang hakim atau permintaan untuk

membebaskan diri seorang hakim disetujui, jumlah anggota suatu raad van

justitie, termasuk panitera seperti ditentukan dalam pasal 122 RO., tidak

lagi mencukupi untuk mengadili perkara yang bersangkutan, maka dapat

diajukan tuntutan kepada H.G.H. agar perkara itu diajukan kepada suatu

raad van justitie lain. (Ro. 121, 127, 154, 162; Rv. 34 dst., 269, 349; Sv.

277.)

Pasal 267. Tuntutan diajukan sebelum diadakan pembelaan dan

dalam hal pemeriksaan dilakukan atas surat-surat sebelum

jawaban-jawaban persiapan selesai seluruhnya, dengan suatu surat

permohonan yang menyebutkan alasan-alasannya. Hal itu diberitahukan

kepada pihak lawan dengan peringatan memberikan jawaban serta

Universitas Kristen Maranatha


alasan-alasannya dalam waktu empat belas hari dan menyampaikannya di

kepaniteraan. Jawaban Pihak lawan dalam tenggang waktu itu juga harus

sudah disampaikan di kepaniteraan raad van justitie. Jalannya Persidangan

ditunda sejak haeri pemberitahuan tersebut alinea pertama pasal lni. (Rv.

38, 135 dst., 145, 248, 270.)

Pasal 268. Setelah lewat waktu seperti tersebut dalam pasal yang

lalu, maka panitera raad van justitie mengirimkan surat permohonan

penggugat untuk penunjukan pengadilan lain dan jawaban pihak lawan

segera ke H.G.H. H.G.H. memberi putusan tentang permohonan itu dan

jika ada alasan alasan untuk itu menunjuk hakim yang akan mengadili

perkara tersebut. (Ov. 84; Rv. 270, 354.) Dalam hal ini, maka perkara

dengan satu akta oleh pihak yang sudah sipil lebih dulu diberitahukan

kepada pihak lawan pribadi atau di tempat tinggalnya dengan mengingat

jangka waktu yang telah ditentukan untuk pemanggilan menghadap di

sidang guna dilanjutkan persidangan berdasarkan segala surat-surat yang

disampaikan kepada hakim. (Rv. 10.)

Pasal 269. Dalam hal terjadi yang disebutkan dalam pasal 266,

yakni mengenai HG-H.; maka Gubernur Jenderal, atas permintaan pihak

yang paling siap, setelah meminta pendapat H.G.H, untuk sementara dan

hanya untuk menyelesaikan perkara dimana penolakan telah terjadi, dapat

menambah jumlah anggota majelis itu secukupnya. Dalam pengangkatan

Universitas Kristen Maranatha


sementara yang tidak mengakibatkan penggajian sedapat diperhatikan

ketentuan-ketentuan pasal 153 RO. dan kebijaksanaan justitie. (Sv. 279.)

Pasal 270. (s.d.u. dg. S. 1908-522.) Jika timbul perselisihan tentang

kekuasaan untuk mengadili, maka diajukan tuntutan untuk pengaturan

kekuasaan itu dengan surat Permohonan yang menyebutkan alasan

alasannya. Surat Permohonan ini diberitahukan kepada pihak lawan

disertai peringatan untuk menjawabnya dalam waktu satu bulan dan

selanjutnya sekaligus surat-surat relaas panggilan dan Peringatan serta

surat surat lainnya disampaikan kepada badan Peradilan yang menurut RO.

harus mengadili soal perselisihan tersebut kepada badan mana Pihak lawan

juga mengajukan jawabannya. Setelah jawaban masuk atau jangka waktu

yang ditentukan untuk itu telah lampau, maka perkaranya diperiksa

berdasarkan surat-surat dan diputuskan tentang kekuasaan mengadili

(kompetensi). (RO. 127, 162; Rv. 267; RBg. 322-50 ; S 1926-356 jo. S.

1927-246.)

Dengan ini jelas sudah landasan dan ketentuan akan Kompetensi

atau kewenangan Pengadilan Negeri dalam Menerima dan memutus

Perkara.

Universitas Kristen Maranatha

Anda mungkin juga menyukai