1. Upayakan agar pihak yang lemah bisa mendapatkan manfaat dari ketentuan yang
mengandung hal-hal yang meragukan, tanpa mengalahkan tujuan umum hukum.
Upayakan agar belas kasih berlaku jika memang ada keraguan yang nyata.
2. Kesejahteraan publik merupakan hukum tertinggi dari setiap negeri, salus populi
suprema lex. Tidak boleh ada konstruksi yang bertentangan dengan hukum dari
segala hukum ini.
3. Jika konstitusi mengakui hak-hak yang dibutuhkan oleh warga negara, maka
kebebasan warga diwujudkan melalui interpretasi yang cermat sebagai
ketentuannya. Segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan harus ditafsirkan
secara cermat; segala sesuatu yang terkait dengan keamanan warga negara dan
perlindungan individu harus ditafsirkan secara utuh dan meliputi semua pihak.
1. Tidak semestinya bila kita membangun argumen yang berbobot penting dengan
bertumpu di atas landasan yang goyah (misalnya, pendapat orang-orang mengenai
sebuah kata).
2. Kita mengikuti aturan-aturan khusus yang diberikan oleh otoritas yang tepat.
3. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah tidak bisa mengalahkan apa yang
bersifat umum dan lebih tinggi.
4. Perkecualian [terhadap nomor 3] didasarkan pada apa yang lebih tinggi.
5. Apa yang bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan daripada apa
yang tidak mungkin, tidak sedang, dan tidak lazim.
6. Kita berupaya mendapatkan bantuan dari apa yang lebih dekat, sebelum mengarah
pada apa yang kurang dekat.
7. Semakin kuat karakter rapi dan resmi yang ada pada suatu konstitusi, semakin
cermat pula seharusnya konstruksinya.
8. Semua aturan yang berkaitan dengan apa yang sudah ada sebelumnya menuntut
perhatian tersendiri dalam konstruksi konstitusi.
9. Konstuksi transenden (yang dibangun di atas prinsip yang lebih tinggi di atas teks)
kadangkala bisa dijadikan rujukan (bukan dalam rangka membenarkan
pelanggaran kekuasaan), dengan tetap waspada bahwa hal ini bisa jadi merupakan
awal mula masuknya hal-hal yang tidak diinginkan.
10. Kita bisa menafsirkan dengan lebih bebas suatu undang-undang (asalkan tidak ada
pihak yang dirugikan) dibanding ketika kita menafsikan suatu konstitusi (karena
jumlah orang dan kepentingan yang terlibat di dalamnya).
11. Carilah kandungan semangat sebenarnya yang ada pada konsitusi dan laksanakan
interpretasi dengan keyakinan yang baik pula, sepanjang semangat ini ditujukan
bagi kesejahteraan publik dan sepanjang instrumennya bisa disejajarkan dengan
zaman sekarang.
1. Tidak ada interpretasi yang sehat kecuali dengan adanya keyakinan yang baik dan
akal sehat.
2. Tidak ada teks mengenai pembebanan kewajiban yang menuntut hal-hal yang
mustahil dilakukan.
3. Hak-hak istimewa, atau pengutamaan, harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
tidak merugikan bagi mereka yang tidak memiliki hak istimewa atau yang tidak
diutamakan itu.
4. Tidak ada gunakanya kita memberikan penuturan yang berkepanjangan atau
memberikan penyebutan yang terlalu rinci. Keyakinan yang baik dan kesadaran
nurani merupakah hal yang amat penting.
Kelima, Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan hukum
sebagai teks
1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm. 12.
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), Hal
70.
3
Sudikno Mertokusumo, op.cit, Hal 61.
jelas sejelas-jelasnya. Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-
undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional,
barulah doktrin. Jadi terdapat hierarki atau kewargaan dalam sumber hukum, ada
tingkatan-tingkatan tertentu. oleh karena itu, bila terjadi konflik antara dua sumber,
sumber hukum yang tertinggi akan melumpuhkan sumber hukum yang lebih rendah
atau sumber hukum yang ada di bawahnya.
4
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986) hal
65.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak ada pasal yang secara tegas memberi
definisi tentang kontrak. Akan tetapi perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Bab II
adalah perjanjian obligatoir. Semua kontrak adalah perjanjian, tetapi tidak semua
perjanjian adalah kontrak. Jadi menurut ajaran penemuan hukum kontrak bukanlah
perjanjian yang tertulis. Walaupun hanya dapat disimpulkan dari Bab II, Buku III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena tidak ada definisi yang tegas mengenai
kontrak, Kitab Undang-undang Hukum Perdata lebih otentik daripada pendapat
Subekti (doktrin).
Seperti yang telah diketahui, undang-undang itu terdiri dari konsiderans,batang tubuh,
dan ketentuan peralihan. Konsiderans berisi pertimbangan mengapa diterbitkan
undang-undang yang bersangkutan, dan yang akhir disebut desideratum. Di dalam
konsiderans sering juga dimuat tentang pencabutan peraturan perundang-undangan.
Batang tubuh merupakan bagian utama undang-undang yang berisi pasal-pasal.
Bagian terakhir undang-undang ialah ketentuan peralihan, yang fungsinya untuk
memelihara kesinambungan berlakunya kaidah hukum, dan mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtvacuum). Undang-undang merupakan sumber hukum yang
penting dan utama. Akan tetapi, perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum
tidaklah identik.
Tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya membaca bunyi kata-
katanya saja (“naar de letter van de wet”), tetapi harus pula mencari arti, makna, atau
tujuannya. Selain itu apa yang dalam undang-undang berlaku sesuai hukum bagi
peristiwa konkret tertentu tidak secara langsung dapat dilihat dengan mudah dalam
undang-undang. di sini masalahnya bukanlah tahu atau hafal isi undang-undangnya,
tetapi masalahnya adalah bagaimana cara menggunakannya. Oleh karena itu,
membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi
harus pula dibaca penjelasan dan penjelasannya dan juga konsiderannya. Bahkan,
mengingat bahwa hukum itu adalah satu sistem, maka untuk memahami suatu pasal
dalam undang-undang atau untuk memahami suatu undang-undang sering harus
dibaca juga pasal-pasal lain dalam satu undang-undang itu atau peraturan perundang-
undangan yang lain.
Jika hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, dicari dalam yurisprudensi.
Kata yurisprudensi mengandung beberapa pengertian. Yurisprudensi dapat berarti
setiap putusan hakim. Yurisprudensi dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang
disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi
dan yang pada umumnya diberi annotatie oleh pakar di bidang peradilan. Selanjutnya
yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh Hakim
dan dituangkan dalam putusannya. Di samping itu, di lingkungan peradilan dikenal
apa yang disebut yurisprudensi tetap. Apabila suatu kaidah atau ketentuan dalam
suatu keputusan kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para hakim dalam
putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum, maka
dikatakan bahwa terhadap masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi
tetap. Di “putus-ulangnya” kaidah hukum dalam suatu keputusan oleh suatu
yurisprudensi tetap akan memperkuat wibawa kaidah hukum tersebut. Sebagai contoh
yurisprudensi tetap dapat disebut putusan HR 31 Januari 1919. Perlu kiranya
mendapat perhatian bahwa “jurisprudence” berbeda artinya dengan yurisprudensi.
Jurisprudence adalah ilmu hukum. Tempat mencari yurisprudensi atau putusan-
putusan pengadilan adalah di pengadilan. Disamping itu, sudah banyak putusan
pengadilan yang telah dipublikasikan dalam buku kumpulan yurisprudensi, antara lain
oleh Mahkamah Agung.
B. Interpretasi Menggunakan Sarana Primer
Interpretasi Gramatikal
Yaitu makna ketentuan undang-undang ditafsirkan dengan cara menguraikannya
menurut bahasa umum sehari-hari. Hakim dalam sebuah putusan dapat juga secara
eksplisit menyatakan arti dari teks undang-undang menurut pemakaian bahasa yang
biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim. Pontier dalam
Rechtvinding – nya memberi contoh Putusan Hoge Road 30 Januari 1996, NJ 1996,
263 berkenaan dengan pengertian ‘mayat’ menurur Pasal 151 Wetboek van Strafrecht
(WvS). interpretasi gramatikal yang merumuskan suatu aturan perundang-undangan
atau suatu perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang dipahami oleh
masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut. Karena penafsiran
undang-undang pada dasarnya merupakan penjelasan dari segi bahasa yang
digunakan, maka jelas bahwa pembuatan suatu aturan hukum harus terikat pada
bahasa. Interpretasi gramatikal menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan.
Hal ini mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa
yang merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang untuk
menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuatan undang-undang yang ingin
menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat.6
Interpretasi Sistematis atau Logis
Yaitu menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem
hukum. Artinya, ketika akan melakukan interpretasi tidak hanya mengacu pada pasal
yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam
undang-undang yang sama atau undang-undang lain, bahkan sistem hukum secara
keseluruhan sebagai satu kesatuan.7 Penafsiran sistematis menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu
maupun dengan undang-undang yang lain. Menafsirkan undang-undang tidak boleh
menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum.
Interpretasi Historis
Adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut, interpretasi historis juga meliputi
6
Danang Widoyoko, Penemuan dan penalaran hukum fakultas Hukum universitas Bhayangkara Surabaya,
Ubhara Press, 2017, hlm. 196-197.
7
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta, Cahaya Atma Pusaka, 2020) hlm.
105.
secara hukum. Menurut Pontier, interpretasi secara hukum adalah penentuan makna
dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis
atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Sejarah hukumnya,
maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum
dapat diselidiki dari memori penjelasan. Disini yang dicari adalah maksud suatu
peraturan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang kehendak
membentuk undang-undang lah yang bersifat menentukan. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran subjektif, karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari
pembentuk undang-undang. Dengan makin tua usia undang-undang, makin
berkuranglah kegunaan interpretasi historis.
Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Maksud interpretasi ini lebih menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentukan undang-undang daripada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.
Interpretasi teleologis juga harus memperhitungkan konteks kenyataan ke masyarakat
yang aktual. Penafsiran ini mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Hal ini
penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi
undang-undang tetap sama saja.8 Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-
undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-
undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai
cara. Semakin musang suatu undang-undang, semakin banyak dicari tujuan
pembentuk undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
8
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., op.cit, hal 68.