Anda di halaman 1dari 10

A.

Prinsip, Metode, dan Sumber Penemuan Hukum


 Prinsip Penemuan Hukum
Ada 5 dasar interpretasi hukum menurut Lieber :
Pertama, Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penting dan tujuan interpretasi
1. Interpretasi bukan tujuan melainkan merupakan sarana; dengan demikian kondisi-
kondisi yang lebih tinggi dimungkinkan keberadaannya.
2. Tidak ada hal yang bisa memberikan perlindungan substansial bagi kebebasan
individu selain kebiasaan menjalankan konstuksi dan interpretasi secara seksama.
3. Petunjuk utama bagi konstruksi adalah ideologi, atau lebih tepatnya, penalaran
melalui paralelisme.
4. Tujuan dan maksud suatu instrumen, hukum, dan seterusnya, bersifat esensial, jika
memang diketahui secara tersendiri, dalam upaya penafsirannya.
5. Begitu juga hal itu bisa terjadi pada kausa-kausa hukum.
6. Dalam kasus-kasus yang lazim, konstitusi harus ditafsirkan secara seksama atau
cermat.

Kedua, Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum (rakyat)

1. Upayakan agar pihak yang lemah bisa mendapatkan manfaat dari ketentuan yang
mengandung hal-hal yang meragukan, tanpa mengalahkan tujuan umum hukum.
Upayakan agar belas kasih berlaku jika memang ada keraguan yang nyata.
2. Kesejahteraan publik merupakan hukum tertinggi dari setiap negeri, salus populi
suprema lex. Tidak boleh ada konstruksi yang bertentangan dengan hukum dari
segala hukum ini.
3. Jika konstitusi mengakui hak-hak yang dibutuhkan oleh warga negara, maka
kebebasan warga diwujudkan melalui interpretasi yang cermat sebagai
ketentuannya. Segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan harus ditafsirkan
secara cermat; segala sesuatu yang terkait dengan keamanan warga negara dan
perlindungan individu harus ditafsirkan secara utuh dan meliputi semua pihak.

Ketiga, Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan struktur dan sistem hukum

1. Tidak semestinya bila kita membangun argumen yang berbobot penting dengan
bertumpu di atas landasan yang goyah (misalnya, pendapat orang-orang mengenai
sebuah kata).
2. Kita mengikuti aturan-aturan khusus yang diberikan oleh otoritas yang tepat.
3. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah tidak bisa mengalahkan apa yang
bersifat umum dan lebih tinggi.
4. Perkecualian [terhadap nomor 3] didasarkan pada apa yang lebih tinggi.
5. Apa yang bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan daripada apa
yang tidak mungkin, tidak sedang, dan tidak lazim.
6. Kita berupaya mendapatkan bantuan dari apa yang lebih dekat, sebelum mengarah
pada apa yang kurang dekat.
7. Semakin kuat karakter rapi dan resmi yang ada pada suatu konstitusi, semakin
cermat pula seharusnya konstruksinya.
8. Semua aturan yang berkaitan dengan apa yang sudah ada sebelumnya menuntut
perhatian tersendiri dalam konstruksi konstitusi.
9. Konstuksi transenden (yang dibangun di atas prinsip yang lebih tinggi di atas teks)
kadangkala bisa dijadikan rujukan (bukan dalam rangka membenarkan
pelanggaran kekuasaan), dengan tetap waspada bahwa hal ini bisa jadi merupakan
awal mula masuknya hal-hal yang tidak diinginkan.
10. Kita bisa menafsirkan dengan lebih bebas suatu undang-undang (asalkan tidak ada
pihak yang dirugikan) dibanding ketika kita menafsikan suatu konstitusi (karena
jumlah orang dan kepentingan yang terlibat di dalamnya).
11. Carilah kandungan semangat sebenarnya yang ada pada konsitusi dan laksanakan
interpretasi dengan keyakinan yang baik pula, sepanjang semangat ini ditujukan
bagi kesejahteraan publik dan sepanjang instrumennya bisa disejajarkan dengan
zaman sekarang.

Keempat, Prinsip-Prinsip yang berkaitan dengan Peran Penafsir

1. Tidak ada interpretasi yang sehat kecuali dengan adanya keyakinan yang baik dan
akal sehat.
2. Tidak ada teks mengenai pembebanan kewajiban yang menuntut hal-hal yang
mustahil dilakukan.
3. Hak-hak istimewa, atau pengutamaan, harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
tidak merugikan bagi mereka yang tidak memiliki hak istimewa atau yang tidak
diutamakan itu.
4. Tidak ada gunakanya kita memberikan penuturan yang berkepanjangan atau
memberikan penyebutan yang terlalu rinci. Keyakinan yang baik dan kesadaran
nurani merupakah hal yang amat penting.
Kelima, Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan hukum

sebagai teks

1. Dengan demikian, kata-kata harus dipahami sebagaimana yang mungkin


dimaksudkan oleh penutur. Dalam kasus-kasus yang meragukan, kita memahami
pengertiannya yang lazim, dan bukan pengertian menurut tata bahasa atau
pengertian etimologisnya –verba artis ex arte; sebagaimana pengungkapannya.
Secara umum kata-kata dipahami dalam pengertiannya yang paling sesuai dengan
karakter teks maupun karakter penuturnya.
2. Suatu kalimat atau bentuk kata-kata, hanya bisa memiliki satu makna yang benar
3. Diperlukan adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau wacana, agar kita bisa
melakukan konstruksi secara tepat dan benar.
4. Semakin besar peran serta teks dalam suatu kesepakatan yang tertata dan resmi,
maka semakin cermat pula seharusnya konstruksinya.
5. Penting untuk kita pastikan apakah kata-kata yang digunakan memiliki karakter
terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau memiliki karakter umum, relatif, atau
ekspansif.
6. Efek-efek yang berasal dari kosntruksi tertentu bisa menuntun kita untuk
memutuskan konstruksi mana yang perlu kita ambil.
7. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang memuat peraturan mengenai tindakan
kita, meskipun digariskan pada waktu yang telah silam, akan semkin luas pula
cakupan konstruksinya dalam kasus- kasus tertentu.
8. Di atas segalanya, upayakan untuk bersikap tepat dalam semua konstruksi.
Konstruksi terwujud sebagai upaya membangun unsur- unsur dasar, dan bukan
pemaksaan suatu materi luar ke dalam teks.

 Metode Penemuan Hukum


Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu
metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks
undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat
diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh Hakim merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh
masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir
penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum
positif itu berlaku.1
Telah dikemukakan bahwa peraturan perundangan-undangan itu tidak jelas dan tidak
pula lengkap. Oleh karena itu, harus diketemukan dengan menjelaskan, menafsirkan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Untuk menemukan hukum
Tersedia beberapa metode penemuan hukum. Dalam hal peraturan perundang-
undangannya tidak jelas, tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran. 2
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum dan
mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum.
Jika kita berbicara tentang penafsiran oleh hakim, yang dimaksudkan tidak lain adalah
penafsiran atau penjelasan yang harus menuju kepada penerapan suatu peraturan
hukum umum terhadap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat.
Lazimnya dibedakan antara berbagai metode-metode interpretasi, tetapi tidak mudah
dapat dipisahkan satu sama lain. mengenai batasan atau definisi masing-masing
metode tidak ada kata sepakat. Berbagai metode interpretasi itu merupakan
argumentasi yang membenarkan formulasi suatu peraturan. Metode penafsiran sejak
semula dibagi menjadi 4 yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis, dan
teologis.

 Sumber Penemuan Hukum


Sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama bagi Hakim
dapat menemukan hukumnya. Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-
undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas. Tidak ada peraturan perundang-undangan
yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Peraturan perundang-
undangan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia. Kegiatan
kehidupan manusia itu sedemikian luasnya, sehingga tidak terhitung lagi jenis dan
jumlahnya. Dengan demikian, tidak mungkin satu peraturan perundang-undangan
mengatur atau mencakup seluruh kegiatan kehidupan manusia.3 Wajarlah kalau tidak
ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu

1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm. 12.
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), Hal
70.
3
Sudikno Mertokusumo, op.cit, Hal 61.
jelas sejelas-jelasnya. Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-
undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional,
barulah doktrin. Jadi terdapat hierarki atau kewargaan dalam sumber hukum, ada
tingkatan-tingkatan tertentu. oleh karena itu, bila terjadi konflik antara dua sumber,
sumber hukum yang tertinggi akan melumpuhkan sumber hukum yang lebih rendah
atau sumber hukum yang ada di bawahnya.

Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa berdasarkan


pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, keputusan hakim juga
diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan
telah diakui, bahwa pekerjaan Hakim merupakan faktor pembentukan hukum.
Seorang Hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan
perundangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu
perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa Hakim harus
menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkret, oleh karena peraturan-
peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam
masyarakat. Oleh karena Hakim turut serta menentukan mana yang merupakan
hukum dan yang tidak, maka Prof. Mr Paul Scholten mengatakan bahwa Hakim itu
menjalankan penemuan hukum (Rechtsvinding).4

Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari


sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata
maka dicarilah terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat
otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Dapat
dikemukakan contoh sebagai berikut. Klau kita hendak mencari arti kata kontrak
apakah yang dimaksudkan dengan “kontrak” tidak sedikit yang menjawab bahwa
kontrak itu adalah perjanjian tertulis dengan mendasarkan pada pendapat Subekti
(1991:1). Itu adalah pendapat doktrin. Akan tetapi kata kontrak itu kita jumpai dalam
Bab II, Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi bahwa
“perikatan yang lahir dari oerjanjian atau kontrak”. Perjanjian atau kontrak yang
diatur dalam Bab II, Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah perjanjian
obligatoir, maka kontrak adalah perjanjian obligatoir. Memang dalam Bab II Buku III

4
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986) hal
65.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak ada pasal yang secara tegas memberi
definisi tentang kontrak. Akan tetapi perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Bab II
adalah perjanjian obligatoir. Semua kontrak adalah perjanjian, tetapi tidak semua
perjanjian adalah kontrak. Jadi menurut ajaran penemuan hukum kontrak bukanlah
perjanjian yang tertulis. Walaupun hanya dapat disimpulkan dari Bab II, Buku III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena tidak ada definisi yang tegas mengenai
kontrak, Kitab Undang-undang Hukum Perdata lebih otentik daripada pendapat
Subekti (doktrin).
Seperti yang telah diketahui, undang-undang itu terdiri dari konsiderans,batang tubuh,
dan ketentuan peralihan. Konsiderans berisi pertimbangan mengapa diterbitkan
undang-undang yang bersangkutan, dan yang akhir disebut desideratum. Di dalam
konsiderans sering juga dimuat tentang pencabutan peraturan perundang-undangan.
Batang tubuh merupakan bagian utama undang-undang yang berisi pasal-pasal.
Bagian terakhir undang-undang ialah ketentuan peralihan, yang fungsinya untuk
memelihara kesinambungan berlakunya kaidah hukum, dan mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtvacuum). Undang-undang merupakan sumber hukum yang
penting dan utama. Akan tetapi, perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum
tidaklah identik.

Tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya membaca bunyi kata-
katanya saja (“naar de letter van de wet”), tetapi harus pula mencari arti, makna, atau
tujuannya. Selain itu apa yang dalam undang-undang berlaku sesuai hukum bagi
peristiwa konkret tertentu tidak secara langsung dapat dilihat dengan mudah dalam
undang-undang. di sini masalahnya bukanlah tahu atau hafal isi undang-undangnya,
tetapi masalahnya adalah bagaimana cara menggunakannya. Oleh karena itu,
membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi
harus pula dibaca penjelasan dan penjelasannya dan juga konsiderannya. Bahkan,
mengingat bahwa hukum itu adalah satu sistem, maka untuk memahami suatu pasal
dalam undang-undang atau untuk memahami suatu undang-undang sering harus
dibaca juga pasal-pasal lain dalam satu undang-undang itu atau peraturan perundang-
undangan yang lain.

Undang-undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan undang-undang itu


sendiri (contra legem). lebih-lebih kalau undang-undang itu sudah cukup jelas.
Bandingkan dalam hal ini dengan pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(asas sense clair), yang menentukan bahwa apabila kata-kata suatu perjanjian itu jelas,
tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dengan jalan penafsiran. Sebagai contoh,
putusan bebas dalam perkara pidana tidak dapat dimintakan banding (pasal 67 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana), kasasi (pasal 244 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana), atau peninjauan kembali (pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana).5 Sudah cukup jelas bahwa terhadap putusan bebas
tidak terbuka upaya hukum lagi. jadi kalau putusan bebas diterima dalam tingkat
peninjauan kembali untuk diperiksa dan diputus, berarti contra legem. apakah
rasionya putusan bebas tidak boleh dimintakan banding, kasasi, atau peninjauan
kembali? Hakim adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan atau kekhilafan.
tidak mustahil Hakim membuat kesalahan dalam memeriksa atau menjatuhkan
putusan, menganggap peristiwanya terbukti padahal alat buktinya kurang, yang
seharusnya diputus bebas malah dijatuhi hukuman berat, yang seharusnya dihukum
ringan malah dijatuhi hukuman berat. lagian tidak dapat memperbaiki keputusannya
sendiri yang telah dijatuhkannya itu. hanya pengadilan dalam tingkat peradilan yang
lebih tinggi lah yang dapat memperbaiki atau mengoreksi putusan yang dijatuhkan
oleh pengadilan dalam tingkat peradilan yang lebih rendah. Apabila Hakim salah atau
khilaf dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, Hakim pada pengadilan yang
lebih tinggi dapat memperbaikinya, itupun atas permohonan banding atau kasasi dari
terpidana. Sebaliknya, apabila aki memutus bebas dan seandainya itu keliru, maka
kekeliruan Hakim itu tidak sepantasnya ditanggung oleh yang diputus bebas dengan
membuka kemungkinan untuk mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali
bagi pihak kejaksaan, yang akan merugikan bagi yang diputus bebas. Atau ungkapan
yang berbunyi “in dubio pro reo” yang berarti bahwa apabila Hakim ragu-ragu, iya
harus memutus sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa. bahkan ada ungkapan
lain yang berbunyi, bawa lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada
menghukum orang yang tidak bersalah.

Kalau ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya atau


jawabannya, barulah kita mencari dalam hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah
hukum yang tidak tertulis. untuk menemukannya harus dengan cara bertanya kepada
warga atau tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui. Kebiasaan adalah kebiasaan
5
Sudikno Mertokusumo, op.cit. Hal. 65
yang selalu diulang-ulang, tidak setiap kebiasaan mempunyai kekuatan hukum atau
mengikat. Kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan apabila kebiasaan itu dianggap
mengikat. Dalam hal ini, perilaku itu harus diulang yang berlangsung untuk beberapa
waktu yang lama. untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, suatu perilaku itu harus
berlangsung dalam waktu lama, berulang-ulang (longa et inveterata consuetudo), dan
harus menimbulkan keyakinan umum (opinio necissitatis) bahwa perilaku yang
diulang itu memang patut secara objektif dilakukan, bahwa dengan melakukan
perilaku itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum (die normatieve Kraft
ties Faktischen = kekuatan normatif dari perilaku yang diulang). Hukum kebiasaan
pada umumnya melengkapi undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan
undang-undang (Pasal 15 AB). Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, hukum kebiasaan
mengalahkan undang-undang: hukum kebiasaan mengalahkan undang-undang yang
bersifat pelengkap.

Jika hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, dicari dalam yurisprudensi.
Kata yurisprudensi mengandung beberapa pengertian. Yurisprudensi dapat berarti
setiap putusan hakim. Yurisprudensi dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang
disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi
dan yang pada umumnya diberi annotatie oleh pakar di bidang peradilan. Selanjutnya
yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh Hakim
dan dituangkan dalam putusannya. Di samping itu, di lingkungan peradilan dikenal
apa yang disebut yurisprudensi tetap. Apabila suatu kaidah atau ketentuan dalam
suatu keputusan kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para hakim dalam
putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum, maka
dikatakan bahwa terhadap masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi
tetap. Di “putus-ulangnya” kaidah hukum dalam suatu keputusan oleh suatu
yurisprudensi tetap akan memperkuat wibawa kaidah hukum tersebut. Sebagai contoh
yurisprudensi tetap dapat disebut putusan HR 31 Januari 1919. Perlu kiranya
mendapat perhatian bahwa “jurisprudence” berbeda artinya dengan yurisprudensi.
Jurisprudence adalah ilmu hukum. Tempat mencari yurisprudensi atau putusan-
putusan pengadilan adalah di pengadilan. Disamping itu, sudah banyak putusan
pengadilan yang telah dipublikasikan dalam buku kumpulan yurisprudensi, antara lain
oleh Mahkamah Agung.
B. Interpretasi Menggunakan Sarana Primer
 Interpretasi Gramatikal
Yaitu makna ketentuan undang-undang ditafsirkan dengan cara menguraikannya
menurut bahasa umum sehari-hari. Hakim dalam sebuah putusan dapat juga secara
eksplisit menyatakan arti dari teks undang-undang menurut pemakaian bahasa yang
biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim. Pontier dalam
Rechtvinding – nya memberi contoh Putusan Hoge Road 30 Januari 1996, NJ 1996,
263 berkenaan dengan pengertian ‘mayat’ menurur Pasal 151 Wetboek van Strafrecht
(WvS). interpretasi gramatikal yang merumuskan suatu aturan perundang-undangan
atau suatu perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang dipahami oleh
masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut. Karena penafsiran
undang-undang pada dasarnya merupakan penjelasan dari segi bahasa yang
digunakan, maka jelas bahwa pembuatan suatu aturan hukum harus terikat pada
bahasa. Interpretasi gramatikal menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan.
Hal ini mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa
yang merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang untuk
menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuatan undang-undang yang ingin
menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat.6
 Interpretasi Sistematis atau Logis
Yaitu menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem
hukum. Artinya, ketika akan melakukan interpretasi tidak hanya mengacu pada pasal
yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam
undang-undang yang sama atau undang-undang lain, bahkan sistem hukum secara
keseluruhan sebagai satu kesatuan.7 Penafsiran sistematis menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu
maupun dengan undang-undang yang lain. Menafsirkan undang-undang tidak boleh
menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum.
 Interpretasi Historis
Adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut, interpretasi historis juga meliputi
6
Danang Widoyoko, Penemuan dan penalaran hukum fakultas Hukum universitas Bhayangkara Surabaya,
Ubhara Press, 2017, hlm. 196-197.
7
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta, Cahaya Atma Pusaka, 2020) hlm.
105.
secara hukum. Menurut Pontier, interpretasi secara hukum adalah penentuan makna
dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis
atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Sejarah hukumnya,
maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum
dapat diselidiki dari memori penjelasan. Disini yang dicari adalah maksud suatu
peraturan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang kehendak
membentuk undang-undang lah yang bersifat menentukan. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran subjektif, karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari
pembentuk undang-undang. Dengan makin tua usia undang-undang, makin
berkuranglah kegunaan interpretasi historis.
 Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Maksud interpretasi ini lebih menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan
pembentukan undang-undang daripada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.
Interpretasi teleologis juga harus memperhitungkan konteks kenyataan ke masyarakat
yang aktual. Penafsiran ini mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Hal ini
penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi
undang-undang tetap sama saja.8 Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-
undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-
undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai
cara. Semakin musang suatu undang-undang, semakin banyak dicari tujuan
pembentuk undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

8
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., op.cit, hal 68.

Anda mungkin juga menyukai