Anda di halaman 1dari 21

F.

Penemuan Hukum

Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, hakim harus

mencari hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak

sekadar penerapan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses

pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi

tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Sementara

orang lebih suka menggunakan “pembentukan hukum” daripada “penemuan

hukum” oleh karena istilah penemuan hukum lebih memberi sugesti seakan-akan

hukumnya sudah ada. Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam

memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini

dianggap yang mempunyai wibawa. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam

penemuan hukum dikenal adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran

progresif berpendapat bahwa hukum dan progresi merupakan alat untuk

perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa

hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-

nilai lain.1

Hukum Kontinental, termasuk hukum kita, mengenal penemuan hukum

heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang tetapi penemuan hukum

ini mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena seringkali hakim harus

menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.

1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Maha Karya Pustaka, Yogyakarta,
2019, Hlm.226-227.
Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan

hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus penciptaan dan pembentukan

hukum.2

Kegiatan hakim perdata biasanya menjadi model untuk teori-teori penemuan

hukum yang lazim. Sebabnya ialah hakim perdata dalam penemuan hukum lebih

luas ruang geraknya daripada hakim pidana, Pasal 1 KUHP membatasi ruang

gerak hakim pidana. Hakim perdata mempunyai kebebasan yang relatif besar

dalam penemuan hukum. Tidak mengherankan bahwa teori-teori yang ada tentang

penemuan hukum terutama berhubungan dengan tindakan hakim perdata. Kecuali

itu, ilmu pengetahuan hukum perdata lebih berkembang daripada bidang-bidang

hukum lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dahulu sebagian

besar sarjana hukum terkemuka adalah sarjana hukum perdata.3

Ajaran penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai interpretasi

atau penafsiran undang-undang, interpretasi restriktif atau ekstensif, penyempitan

hukum dan analogi. Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum.

Setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain, hubungan mana diatur oleh

hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya

sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebankan oleh hukum

padanya.

Penemuan hukum adalah kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan

undang-undang bila terjadi peristiwa konkret. Undang-undang sebagaiman kaidah


2
Ibid., Hlm.230.
3
Ibid., Hlm.230-231.
pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu,

harus dilaksanakan atau ditegakkan. Untuk dapat melaksanakannya undang-

undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas “setiap orang dianggap

tahu akan undang-undang”, undang-undang harus tersebar luas dan harus pula

jelas. Oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi dengan penjelasan

yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Seringkali terjadi bahwa

penjelasan itu tidak juga memberi kejelasan, karena hanya diterangkan “cukup

jelas”, padahal teks undang-undangnya tidak jelas dan masih memerlukan

penjelasan. Mungkin dengan demikian maksud pembentuk undang-undang

hendak memberi kebebasan yang lebih besar kepada hakim. Kalaupun undang-

undang itu jelas, tidak mungkin undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak

mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara

lengkap dan tuntas, karena kegiatan kehidupan manusia itu tidak terbilang

banyaknya. Kecuali itu, undang-undang adalah hasil karya manusia yang sangat

terbatas kemampuannya.

Setiap peraturan itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum

sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak

terjadi peristieakonkret.peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan

agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwanya.

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum

yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang undang agar

ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada


pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum

terhadap peristiwa konkret. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk

mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya

untuk melaksanakan ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan

metode itu sendiri. Oleh karena itu, harus dikaji dengan hasil yang diperoleh.

Yang memerlukan penafsiran ialah terutama perjanjian dan undang-undang.

Baik undang-undang atau perjanjian memerlukan penafsiran atau penjelas karena

seringkali tidak jelas atau tidak lengkap. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam

perjanjian itu cukup jelas kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa perjanjian itu tidak

boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi atau isi perjanjian itu. Asas ini disebut

asas “sens-clair”, tercantum dalam Pasal 1342 KUHPer yang berbunyi:”apabila

kata-kata dalam perjanjian itu jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang

dengan jalan penafsiran”.

Secara yuridis hakim tidak boleh untuk menolak suatu kasus atau perkara

dengan alasan tidak ada hukum, dengan kata lain hakim harus menerima semua

kasus/perkara meskipun belum ada hukumnya dan disini hakim harus berperan

untuk mengisi kekososngan hukum, berusaha untuk menafsirkan suatu ketentuan

hukum atau kaidah perundang-undangan yang tidak ada atau kurang jelas. Hakim

harus berusaha menemukan hukumnya.4

Dengan demikian, dalam arti sempit yang dimaksudkan dengan penemuan

hukum adalah, “jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, hakim tinggal

4
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Depok, Cetakan
Keenam, 2019, Hlm.167.
menerapkannya saja, sebaliknya jika peraturannya tidak ada hakim harus

menemukan hukumnya”. Dalam hal ini hakim tetap dianggap melakukan

penemuan, yaitu menemukan kecocokan antara maksud dan bunyi peraturan

perundang-undangan dengan kasus konkretnya. Sudikno Mertokusumo

mengatakan bahwapenemuan hukum dalam arti sempit adalah, “suatu penemuan

hukum terutamadilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu

perkara”.5

Penemuan hukum dalam arti luas, bahwa hakim bukan sekadar menerapkan

peraturan hukum yang sudah jelas dengan mencocokkan dengan kasus yang

ditangani, melainkan sudah lebih luas. Hakim dalam membuat putusan sudah

memperluas makna suatu ketentuan undang-undang.6

Beberapa pakar hukum yang memberikan gambaran yang jelas tentang apa

yang dimaksud penemuan hukum adalah sebagai berikut:7

1. Van Eikema Hommes, menyatakan bahwa penemuan hukum lazimnya

diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas

hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-

peristiwa konkret.

2. Paul Scholten, menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang

lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya.

Kadang-kadang dan bahkan sering terjadi bahwa peraturannya harus

5
Ibid., Hlm.167.
6
Ibid., Hlm.168.
7
Ibid., Hlm.168.
ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi

ataupun rechtsvervijning.

Di Indonesia penemuan hukum itu harus juga dilakukan, karena adanya asas

bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak

ada, disamping itu juga ada beberapa ketentuan yang dapat dijadikan alasan/dasar

hukum penemuan hukum di Indonesia. Dasar-dasar hukumnya adalah sebagai

berikut:8

1. Adanya ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, bahwa:

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya. Ketentuan ini sesuai dengan asas curia novit, bahwa hakim

dianggap mengetahui hukum.

2. Pasal 28 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim, sebagai

penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti hakim dalam

menjatuhkan putusannya wajib memerhatikan dan menghormati nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat.

3. Untuk mengisi kekosongan hukum. Untuk itu suatu perkarayang tidak ada

aturannya, hakim tetap wajib untuk memeriksa dan memutus perkara

8
Ibid., Hlm.168-169.
tersebut dengan menggunakan metode analogi terhadap suatu peraturan

yang mirip dengan perkara yang diperiksa.

Dengan dasar hukum diatas, ada tiga dasar pemikiran atau alasan untuk

melakukan penemuan hukum oleh hakim, yaitu:9

1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkaranya sama atau mirip

dengan suatu peraturan lain sehingga dapat diterapkan dalam perkara

tersebut.

2. Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehinggga hakim perlu

menafsirkannya.

3. Peraturan juga sudah ada, tetapi sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan

kebutuhan warga masyarakat.

Kemudian metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua

bentuk,yaitu:10

1. Interpretasi hukum

Penafsiran perkataan dalam undang-undang dengan tetap berpegang pada

kata-kata atau bunyi.

2. Konstruksi hukum.

Penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-

undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus

memerhatikan hukum sebagai suatu sistem.

9
Loc.Cit., Hlm.169.
10
Ibid., Hlm.169-170.
R.Soeroso11, menyebut interpretasi dengan penafsiran, yang diartikan

sebagai mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam

undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh

pembuat undang-undang. Ada dua cara penafsiran, yaitu penafsiran subjektif,

apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang dan

objektif, apabila penafsirannya terlepas dari apa yang dikehendaki oleh pembuat

undang-undang, tetapi sesuai dengan adat atau bahasa sehari-hari.

Selanjutnya R.Soeroso berpendapat bahwa jika dilihat dari sumbernya

penafsiran dapat bersifat:12

1. Autentik, ialah seperti yang diberikan oleh pembuat undang-undang,

seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan.

Penafsiran autentik mengikat umum.

2. Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku

dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim dalam hal ini tidak terikat karena

penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis.

3. Penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan), hanya mengikat para

pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu.

Selanjutnya dalam berbagai kepustakaan dikemukakan ada beberapa metode

interpretasi hukum sebagai berikut:13

11
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Bumi Aksara, Jakarta, 2013, Hlm.97.
12
Ibid., Hlm.98.
13
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Op.Cit., Hlm.171-173.
1. Interpretasi Substantif, yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu

ketentuan undang-undang terhadap kasus inkonkret tanpa menggunakan

penalaran yang sama, dan hanya sekadar menerapkan silogisme dari

ketentuan tersebut. Hakim hanya menerapkan ketentuan pasal undang-

undang, yaitu mencocokkan kasus dengan ketentuan undang-undang. Atau

dengan kata lain hakim hanya memasukkan dan mencocokkan

peristiwanya ke dalam peraturan perundang-undangan yang dilanggar.

2. Interpretasi Gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata yang ada dalam

undang-undang dengan kaidah tata bahasa. Kata-kata dalam peraturan

perundangan dicari maknanya yang oleh pembentuk undang-undang

digunakan sebagai simbol terhadap suatu peristiwa.

3. Interpretasi Ekstensif, yaitu penafsiran yang lebih luas daripada penafsiran

gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi

ketentuan umum sesuai dengan kaidah tata bahasanya. Disini hakim

menafsirkan kaidah tata bahasa karena maksud dan tujuannya kurang jelas

atau terlalu abstrak, agar menjadi jelas dan konkret perlu diperluas

maknanya. Misalnya, kata”pencurian barang” dalam pasal 362

KUHPidana diperluas esensi maknanya terhadap “aliran listrik” sebagai

benda yang tidak berwujud. Dengan demikian, orang yang menggunakan

listrik dengan melawan hukum sekarang dapat dikategorikan sebagai

“pencurian” karena diperluas maknanya dari ketentuan khusus menjadi

ketentuan umum.
4. Interpretasi Sistematis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian

dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Misalnya suatu

peristiwa hukum yang tidak ada ketentuannya dalam undang-undang.

Maka hakim harus mencari ketentuan lain yang sesuai dan mirip dengan

peristiwa konkret yang ditanganinya.

5. Interpretasi Teologis, yaitu menafsirkan makna atau substansi undang-

undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga

masyarakat.

6. Interpretasi Historis, dibagi atas dua jenis yaitu:

a. Penafsiran menurut sejarah undang-undang, mencari maksud dari

pembuat undang-undang saat diundangkannya sebagai ukuran

dalam menafsirkan suatu peristiwa hukum.

b. Penafsiran menurut sejarah hukum, mencari makna yang

terkandung dari sejarah perkembangan hukum, seperti apa tujuan

hukum sehingga korupsi dilarang.

7. Interpretasi Komparatif, yaitu membandingkan antara berbagai sistem

hukum yang ada di dunia, sehingga hakim bisa mengambil putusan yang

sesuai dengan perkara yang ditanganinya.

8. Interpretasi Restriktif, yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi suatu

ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkret. Disini hakim

membatasi perluasan berlakunya undang-undang terhadap suatu peristiwa

tertentu untuk melindungi kepentingan umum.


9. Interpretasi Futuristis, yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang

berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman kepada undang-

undang yang akan diberlakukan (ius constituendum).

Seperti yang sudah dikemukakan bahwa metode penemuan hukum oleh

hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: interpretasi hukum dan

konstruksi hukum. Konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk

mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi

berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memerhatikan hukum sebagai

suatu sistem. Jenis-jenis konstruksi hukum itu adalah sebagai berikut:14

1. Alanogi atau argumentum peranalogian, yaitu penemuan hukum yang

mencari esensi dari suatu peristiwa khusus ke peraturan yang bersifat

umum. Inti dari konstruksi atau penemuan hukum ini adalah

mempersamakan dengan cara memperluas makana atau eksistensi suatu

ketentuan undang-undang yang khusus menjadi ketentuan umum dan tidak

lagi berpegang pada bunyi ketentuannya, tetapi tetap menyatu dalam

sistem hukum. Penemuan hukum dengan cara analogi lebih sering

digunakan dalam perkara perdata, tapi tidak dalam hukum pidana karena

selalu menimbulkan polemik di antara kalangan para sarjana/ahli hukum

pidana.

2. Argumentum a’contrario, yaitu penalaran terhadap ketentuan undang-

undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a;contrario

ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal/kasus-kasus lain.

14
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm.144-145.
Misalnya ketentuan iddah (waktu tungggu) bagi seorang janda untuk dapat

menikah lagi selama 130 hari. Tidak boleh diberlakukan kebalikannya

terhadap duda, karena seorang duda diperbolehkan menikah lagi meskipun

baru saja bercerai dengan istrinya.

3. Rechvijnings (pengkonkretan hukum atau penyempitan atau penghalusan

hukum), yaitu mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang

yang terlalu luas cakupannya. Misalnya ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata

tentang “perbuatan melawan hukum”, yang cakupannya terlalu luas

meliputi perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Oleh

Mahkamah Agung Belanda tahun 1919, perbuatan melawan hukum

dikonkretkan dengan perbuatan yang melanggar hak subjek hukum lain,

asalkan bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, dan

bertentangan dengan kepatutan subjek hukum lain yang diakui dalam

kehidupan bermasyarakat. Jadi bukan perbuatan yang bertentangan dengan

ketentuan undang-undang saja.

4. Fiksi Hukum (fictie), yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan

suatu peristiwa kemudian menganggapnya ada sehingga peristiwa tersebut

menjadi suatu fakta baru.

Penggunaan fiksi hukum karena adanya asas bahwa setiap orang dianggap

mengetahui hukum, seseorang yang melanggar ketentuan hukum tidak

boleh beralasan bahwa ketentuan itu tidak diketahuinya. Artinya bahwa

apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah diundangkan dan

diberlakukan, maka dianggap semua orang telah mengetahuinya.


Penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang

yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memerhatikan

hukum sebagai suatu sistem.

G. Yurisprudensi

Secara umum yang dimaksud dengan jurisprudensi yaitu putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang

memutuskan sesuatu persoalan yang belum ada pengaturannya pada sumber

hukum yang lain. Dalam artian yang luas yurisprudensi adalah putusan hakim

atau putusan pengadilan yang terdiri dari empat jenis, yaitu:15

a. Yurisprudensi tetap, yaitu semua keputusan hakim yang telah

berkekuatan hukum tetap dan sifatnya yuridis murni. Putusan hakim

tersebut terjadi berdasarkan rangkaian serupa yang dijadikan patokan

dalam memutuskan suatu perkara (standard arresten).

b. Yurisprudensi tidak tetap, yaitu semua putusan hakim yang terdahulu

yang tidak didasarkan pada standard arrest, atau putusan yang tidak

didasarkan pada putusan hakim sebelumnya yang telah berkekuatan

hukum tetap.

c. Yurisprudensi semi yuridis, yaitu semua penetapan pengadilan

berdasarkan permohonan seseorang yang hanya berlaku khusus pada

pemohon. Misalnya, penetapan pengangkatan anak, penetapan

penggantian nama, dan sebagainya.

15
Marwan Mas, Op.Cit., Hlm.67.
d. Yurisprudensi administratif, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) yang hanya berlaku secara administratif dan mengikat intern

pada lingkungan pengadilan.

Van Apeldoorn membenarkan bahwa yurisprudensi itu merupakan

sumber hukum. Putusan-putusan hakim yang diikuti oleh hakim-hakim

lainnya adalah faktor dalam pembentukan hukum. Arrest-arrest (putusan-

putusan) Hoge Raad dijadikan pedoman oleh hakim-hakim bawahan, karena

merupakan jalan terbaik untuk menghindari kasasi. Lama-lama putusan Hoge

Raad tersebut merupakan hukum objektif. Jadi hukum kebiasaanlah yang

dianggap sebagai hukum umum dan jelas pula bahwa jurisprudensi bukan

merupakan sumber hukum tersendiri.16

Bellefroid tidak sependapat dengan Van Apeldoorn. Penggunaan Arrest

Hoge Raad oleh hakim bawahan yang dimaksud adalah karena terdesak (takut

dikasasi) bukan merupakan kebiasaan yang timbul. Seorang hakim tidak

terikat keputusan hakim lain. Apabila putusan hakim senantiasa dijadikan

dasar oleh hakim lain dalam kasus-kasus yang sama, maka lahir hukum yang

berlaku umum yang disebut jurisprudensi. Pututusan hakim yang pertama

yang dijadikan dasar putusan hakim selanjutnya merupakan sumber hukum

dalam arti formal.17

E.Utrecht, mengatakan bahwa apabila keputusan-keputusan hakim yang

memuat peraturan sendiri, kemudian dijadikan pedoman oleh hakim lain,

16
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Op.Cit., Hlm.103.
17
Loc.Cit., Hlm.103.
maka keputusan hakim pertama menjadi sumber hukum bagi peradilan.

Hukum yang termuat dalam keputusan semacam itu disebut dengan hukum

yurisprudensi.18

Prof. Dr. Soepomo, berpendapat bahwa yurisprudensi dari hakim atasan

merupakan sumber penting bagi hakim bawahan dalam menemukan hukum

objektif. Meskipun seorang hakim tidak terikat pada putusan hakim-hakim

lain, namun sudah menjadi kebiasaan ( baik di Indonesia maupun di negeri

Belanda) bahwa hakim bawahan sangat memerhatikan putusan hakim atasan

berhubung dengan kemungkinan adanya banding dan kasasi.19

Dari beberapa pandangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

putusan hakim atasan (putusan hakim yang pertama kali menyelesaikan

sesuatu kasus yang belum ada aturannya) jika dipergunakan sebagai dasar

untuk memutus kasus yang sama oleh hakim bawahan (hakim selanjutnya)

maka inilah yang dikatakan yurisprudensi dan dapat dikatakan sebagai

sumber hukum, karena hakim adalah juga pembentuk hukum.

Kemudian dapat dikemukakan, bahwa antara yurisprudensi dan undang-

undang mempunyai perbedaan. Perbedaannya adalah sebagai berikut:20

a. Yurisprudensi berisi peraturan yang bersifat konkret karena megikat

orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan

yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang.

18
Ibid., Hlm.104.
19
Ibid., Hlm.104.
20
Ibid., Hlm.104
b. Yurisprudensi terdiri dari bagian yang memuat identitas para pihak,

konsideran dan diktum, sedangkan undang-undangterdiri dari

konsideran dan diktum ditambah penjelasannya.

Dasar Hukum Yurisprudensi

Yang dimaksud dengan dasar hukum yurisprudensi adalah segala yang

menyebabkan yurisprudensi dapat dipergunakan sebagai sumber hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, Yurisprudensi berarti peradilan pada

umumnya (judicature,rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal

konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri

sendiri dan diadakan oleh negara, serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun

dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Van

Apeldoorn menyebutnya sebagai faktor-faktor yang membantu pembentukan

hukum. Lemaire, menyebut yurisprudensi sebagai determinan pembentukan

hukum.21

Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif

yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang

bersangkutan atau terhukum. Jadi, putusan pengadilan hanya mengikat orang-

orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti

undang-undang. Putusan berisi kaidah-kaidah hukum: putusan adalah hukum.

Putusan pengadilan adalah hukum sejak dijatuhkan dan dilaksanakan. Sejak

dijatuhkan, putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat bagi para

pihak yang berperkara, mengikat para pihak untuk mengakui eksistensi


21
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., Hlm.156.
putusan tersebut. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan berlaku untuk

dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Setelah dilaksanakan, putusan pengadilan itu hanyalah merupakan sumber

hukum.22

Dalam mengikuti perkembangan zaman dan masyarakat, undang-

undang tidak seluwes putusan pengadilan. Undang-undang itu mengatur

peristiwa, tetapi seringkali peristiwanya telah berkembang jauh, sedangkan

undang-undangnya belum juga berubah. Tidak mengherankan kalau ada

ungkapan yang berbunyi “het recht hinkt achter de feiten aan”, yang berarti

bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Yang dimaksudkan dengan

hukum disini dengan sendirinya adalah hukum yang tertulis atau undang-

undang. Perubahan undang-undang harus melalui prosedur sehingga tidak

dapat setiap saat dilakukan untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan. Lain

halnya dengan putusan hakim yang pada hakikatnya merupakan pelaksanaan

undang-undang, setiap saat apabila diajukan peristiwa dapat dijatuhkan untuk

dapat menyesuaikan undang-undang dengan keadaan.23

Van Apeldoorn berpendapat bahwa di negeri Belanda, peradilan tidak

merupakan sumber hukum formil karena hakim tidak terikat pada putusan

hakim yang secara hierarkis lebih tinggi tingkatannya. Meskipun demikian,

menurut pendapatnya, peradilan membantu dalam pembentukan hukum.

Sebaliknya, Lemaire berpendapat bahwa yurisprudensi merupakan detrminan

22
Ibid., Hlm.157.
23
Ibid., Hlm.158.
bagi pembentukan hukum. Kedua pendapat tersebut pada dasarnya tidak

berbeda satu sama lain.

Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap

(yurisprudensi konstan), yaitu putusan yang selalu kembali itu menjadi

normatif, maka dapatlah dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan sumber

hukum formil. Formil karena terjadi dengan cara tertentu, yaitu oleh hakim

dalam sidang pengadilan.24

Dalam hal ini maka dasar hukum yurisprudensi adalah:25

a. Dasar historis, yaitu secara historis yurisprudensi itu diikuti oleh

umum.

b. Adanya kekurangan daripada hukum yang ada, karena pembuat

undang-undang tidak dapat mewujudkan segala sesuatu dalam

undang-undang. Oleh karena itu, yurisprudensi dipergunakan untuk

mengisi kekurangan dari undang-undang tersebut.

Dasar kedua ini dimungkinkan akibat dari adanya ketentuan Pasal 22

AB (algemene bepalingen) yang menyatakan, “bilamana seorang hakim

menolak untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya

dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menyebut, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena

penolakan mengadili”.

24
Ibid., Hlm.160.
25
Ibid., Hlm.105.
Asas-Asas Yurisprudensi

Di dalam praktik peradilan, terdapat berbagai asas yang bersangkutan

dengan yurisprudensi, yaitu asas precedent dan asas bebas.

a. Asas precedent

Yang dimaksudkan dengan asas precedent hakim terikat kepada keputusan-

keputusan yang terlebih dulu dari hakim yang sama derajatnya atau dari

hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh negara-negara anglo saxon.

Asas precedent ini berlaku berdasarkan empat faktor, yaitu:26

1) Bahwa penerapan dari peraturan-peraturan yang sama pada kasus

yang sama menghasilkan perlakuan yang sama, bagi siapa saja yang

datang menghadap pada pengadilan.

2) Bahwa mengikuti precedent secara konsisten dapat menyumbangkan

pendapatnya dalam masalah-masalah dikemudian hari.

3) Bahwa penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan

masalah-masalah yang baru dapat menghematkan waktu dan tenaga.

4) Bahwa pemakaian putusan-putusan yang lebih dahulu (atau

sebelumnya) menunjukkan adanya kewajiban untuk menghormati

kebijaksanaan atau pengalaman dari pengadilan pada generasi

sebelumnya.

26
Ibid., Hlm.106.
Dalam hal-hal tertentu keterikatan hakim pada putusan-putusan

sebelumnya tidak berlaku apabila:27

1) Penerapan dari keputusan yang terdahulu pada peristiwa yang

sekarang dihadapi, dipandang jelas-jelas tidak beralasan dan tidak

pada tempatnya.

2) Sepanjang mengenai diktum, keputusan hakim terdahulu tidak

diperlukan dalam pembuatan keputusan.

b. Asas Bebas

Asas bebas ini adalah kebalikan dari asas precedent. Disini petugas

peradilan tidak terikat pada keputusan-keputusan hakim sebelumnya, baik

pada hakim tingkatan ssejajar maupun hakim yang lebih tinggi. Asas ini

dianut oleh negara Belanda dan Prancis.

Dalam praktik asas bebas ini tidak dilakukan secara konsekuen, karena

ada saja hakim-hakim yang masih menggunakan putusan-putusan hakim lain,

apalagi putusan hakim yang lebih tinggi, dengan alasan:28

1) Mencegah terjadinya kesimpangsiuran keputusan hakim sehingga

mengaburkan atau tidak tercapainya tujuan kepastian hukum.

2) Mencegah terjadinya pengeluaran biaya yang kurang perlu karena

pihak yang tidak puas akan naik banding.

3) Mencegah pandangan yang kurang baik dari atasan.

27
Loc.Cit., Hlm.106.
28
Ibid., Hlm.107.

Anda mungkin juga menyukai