Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada masa kini pemahaman dan pengetahuan tentang hukum semakin terasa

sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam bidang hukum

melainkan terutama bagi para praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa,

pengacara, bahkan seluruh anggota masyarakat yang setiap hari berhadapan

dengan persoalan-persoalan hukum. Sebagai bagian dari penalaran pada

umumnya, penalaran hukum, meskipun memiliki sejumlah karakteristik yang

berbeda, terikat pada kaidah-kaidah penalaran yang tepat seperti hukum-hukum

berpikir, hukum-hukum silogisme, ketentuan tentang probabilitas induksi, dan

kesesatan informal penalaran. Maka penalaran hukum bukahlah jenis penalaran

yang berbeda dan terpisah dari logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir

secara tepat melainkan bagaimana menerapkan kaidah-kaidah berpikir

menurut ketentuan logika dalam bidang ilmu hukum.


Penalaran Hukum adalah penalaran yang berupaya mewujudkan konsistensi

dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya

adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang

termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama

berdasarkan asas similia similibus (persamaan);


Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar

manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum,

kehidupan manusia dalam masyarakat juga berpedoman pada moral manusia itu

sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan

1
2

kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini,

terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya.
Harus diakui bahwa konsep, pemahaman, dan studi tentang logika,

penalaran, dan argumentasi hukum meskipun sering didiskusikan dalam hukum

tetapi jarang dijelaskan, dielaborasi, dan ditelaah secara memadai. Mahasiswa

hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli hukum, “to think like a

lawyer”. Mereka diharapkan kelak mampu menganalisis kasus hukum melalui

medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah publik,

akademik, atau pengadilan. Di samping itu mahasiswa pun diharapkan mampu

memahami secara kritis, rasional, dan argumentatif teori, rumusan undang-

undang, opini, maupun pendapat hukum.


Dalam pengertian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang

ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi misalnya; Mata uang (pasal

1756 KUHPerdata) pengertian hanya uang logam saja dan barang di artikan benda

yang dapat dilihat dan di raba saja. Dalam pengertian luas (ekstensif), ialah

apabila dalil yang di tafsirkan di beri pengertian seluas-luasnya. Misalnya: Pasal

1756 Perdata alinea ke-2 KUHPerdata tentang mata uang juga diartikan uang

kertas.
Penafsiran secara tata bahasa, yaitu suatu cara penafsiran undang-

undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang

bertitik tolak pada arti perkataan – perkataan yang dalam hubunganya satu sama

lain dalam kalimat kalimat yang di pakai dalam undang-undang.


Dalam hal ini hakim wajib mencari arti dari kata-kata yang lazim di

pergunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari yang umum, yang dimengerti


3

secara umum. Oleh karena itu dalam penafsirannya hakim mempergunakan kamus

bahasa Indonesia atau meminta bantuan pada para ahli bahasa Indonesia.
Hakim dalam memutus perkara selain berdasarkan proses seperti

tersebut di atas harus berdasarkan argumentasi atau alasan. Sedangkan pengertian

“argument” adalah alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak

sesuatu pendapat. Sedangkan agumentasi adalah pemberian alasan untuk

memperkuat atau menolak sesuatu pendapat . Setiap orang dalam mengemukakan

pendapat harus menggunakan argumen yang bahasa sehari-hari disebut “alasan”.

Demikian juga seorang hakim dalam memutus suatu perkara wajib

mengemukakan argumen, baik yang berkaitan dengan pokok perkara maupun

cabang perkaranya.
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi

hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum

yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari

sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan

pada interpretasi teks hukum.


Kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut umum dan pelaksana

(eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam

perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera dipimpin oleh ketua

pengadilan (lihat Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman).
Dalam perkara pidana, tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan

suatu perkara pidana adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan

hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
4

serta melakukan pengawasan terhadap pelepasan bersyarat serta melakukan

penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi.


Polisi adalah bagian struktural dari bangunan masyarakat, baik masyarakat

modern maupun tradisional. Polisi adalah penjaga keamanan, ketertiban dan

ketentraman warga masyarakat. Polisi dan masyarakat merupakan simbiosa yang

sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, laksana ikan dengan airnya. Begitu erat

dan mesranya hubungan tersebut, sampai ada beberapa golongan masyarakat

tertentu yang menjadikan polisi sebagai figur panutan, segala gerik-geriknya

dijadikan contoh dalam perilaku masyarakat. Namun tidak sedikit pula

masyarakat yang memandang polisi dengan ‘sebelah mata’. Polisi dianggap

sebagai ancaman bagi keselamatan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh

adanya perilaku dari segelintir ‘oknum’ polisi yang menyakiti masyarakat.

Akhirnya bermuara pada munculnya anggapan sinis masyarakat secara gebyah

uyah bahwa perilaku polisi begitu semua, yaitu selalu menyengsarakan

masyarakat.

BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Penalaran Hukum Oleh Hakim

Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus

(logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum.

Dalam penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu

tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan,
5

dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal

reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika,

melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu

sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu

tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar

logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian

‘penalaran (logika) dalam hukum.

Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada

atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan.

Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai titik tolak untuk

menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui” yaitu sesuatu

yang dapat dijadikan sebagai premis, evidensi, bukti, dasar bahkan alasan-alasan

dari mana hal-hal yang belum diketahui “dapat disimpulkan”.

Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk

menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya

hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak selalau dapat


5
mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat. Karena tidak mampu

mencakup seluruh perkara yang timbul, maka akan menyulitkan penegak hukum

untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara, adakalanya hakim

menghadapi masalah, karena dalam memutuskan masalah yang dihadapi belum

ada peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk


6

menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Walaupun semua metode penafsiran

telah digunakan.

Dalam pasal 10 ayat 1 undang-undang republik Indonesia nomor 48

tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi ‘Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya ”berdasarkan ketentuan itu hakim diharuskan

memutuskan perkara yang meskipun perkara itu tidak ada atau tidak jelas dasar

hukum atau undang-undang yang mengaturnya.

Hakim adalah seseorang yang mengadili, memeriksa, dan

memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan

hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi

hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan sebuah

kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak

dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang diperiksanya.

Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh

Trias Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang. Hakim dalam hal

ini harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat

interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan.

Hakim dalam merumuskan dan menyusun pertimbangan hukum harus

cermat, sistimatik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Namun tidak

bisa dipungkiri bahwa Pengadilan Agama pada tempo dulu putusannya terdapat

yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa daerah (bahasa Jawa, bahasa Banjar
7

dan lain sebagainya). Pada saat sekarang ini, hakim wajib menggunakan bahasa

Indonesia.

Pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara

disusun dengan cermat. Dalam hal ini artinya pertimbangan hukum tersebut harus

lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan

norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, Yurisprodensi serta

teori-teori hukum dan lai-lain. Hal-hal tersebut yang dipergunakan sebagi

argumentasi (alasan) atau dasar hukum dalam putusan hakim.

Hakim dalam memeriksa perkara. Setelah peristiwa konkretnya

diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi masing-masing pihak,

maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi dan sekaligus

dirumuskan dan diidentifikasi bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa hukum.

Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, maka masih perlu

lagi diketahui bahwa masalah hukum itu masalah hukum bidang apa. Masalah

hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria, hukum pidana dan sebagainya.

Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana sering tidak sangat

tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan

pidana, antara penggelapan dan pencurian.

Penemuan hukum yang harus dilakukan oleh hakim berawal dari

peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dicari

pemecahannya. Dalam mencari pemecahannya itulah perlu dicari hukumnya.


8

Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukumnya untuk suatu peristiwa yang konkret.

Alasan penemuan hukum oleh hakim ini sesuai kewenangannya dalam

memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan

kepadanya dipengadilan, pertama harus menggunakan hukum tertulis terlebih

dahulu. Hukum tertulis yaitu peraturan perundang - undangan, tetapi kalau

peraturan perundang - undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat

dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan

menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti

yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

2.2 Penalaran Hukum Oleh Jaksa

Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut

umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan Republik Indonesia

sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni

dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan

pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak

hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,

perlindungan kepentingan umum,


9

Sebagai suatu komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum,

adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan

keberadaan institusinya. Sebagai hasil dari perenungan ini, diharapkan dapat

muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran

dan perasaan. Sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya sebagai penegak

hukum dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali

masyarakat dalam bidang penegakan hukum.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat

keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan

kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung yang

merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi di lembaga kejaksaan yang

dipimpinnya. Jaksa Agung sebagai pemimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas

dan wewenang kejaksaan.

Jabatan fungsional jaksa adalah bersifat keahlian teknis yang melakukan

penuntutan. Bahwa dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas

kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum

dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka diperlukan adanya kode etik

profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa diatur dalam peraturan Jaksa Agung
10

Republik Indonesia Nomor: PER-067/A/ JA/07/2007, tentang Kode Etik Perilaku

Jaksa.

Untuk menghindari jebakan kepastian hukum maka untuk

meminimalisirnya perlu adanya design model penalaran positivisme hukum yang

sesuai dengan konteks keindonesiaan. Berkaitan dengan penyesuaian dalam

konteks keindonesiaan Shidarta menjelaskan (Shidarta, 2006) mengingat

penalaran hukum melibatkan subjek hukum (manusia) yang ketika menghadapi

suatu kausus konkret harus berpikir kontekstual dalam lingkaran kebudayaannya

demi melahirkan putusan yang bersifat praktis (dapat dieksekusi), maka tujuan

penalaran hukum yakni kepastian hukum tersebut tidak mungkin dapat berdiri

sendiri tanpa didampingi dengan tujuan-tujuan keadilan dan kemanfaatan.

Keberpihakan ini harus dilakukan oleh para ahli hukum pada semua level

baik pengamat, pengembanan hukum teoritis maupun terutama oleh pengembanan

hukum praktis. Oleh karena itu design model penalaran positivisme hukum yang

dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara hukum dan moralitas dengan cara

mengintervensi hukum dalam tataran aksiologis dengan memasukkan keadilan

yang memihak pada masyarakat bawah.

Model yang sinergitas antara hukum dan moralitas demikian

sebagaimana yang dinyatakan oleh Shidarta salam aspek aksiologisnya (Shidarta,

2006) adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan

secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yang

disebutkan pertama menjadi tujuan dalam proses pencarian (context of discovery).


11

Sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam konteks penerapannya (context of

justification).

Intervensi keadilan terhadap hukum dengan keberpihakan ini menjadi

penting. Namun harus tetap menjaga titik keseimbangan bagi kepentingan para

pihak yang bermasalah. Para pihak yaitu pelanggar hukum, korban pelanggaran

hukum, masyarakat dan negara agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat

kemanusiaan.

Masalah penerapan hukum tidak bisa dilepaskan dari masalah keadilan

yang merupakan muara dari hukum itu sendiri. Berbicara tentang keadilan tidak

bisa dilepaskan dari masalah kemanusiaan sebagai titik sentral. Manusia yang

merupakan dari muara keadilan. Artinya hukum haruslah didedikasikan untuk

harkat dan martabat kemanusiaan terutama untuk masyarakat miskin.

Hukum yang adil tidak akan berarti apa-apa apabila tidak bisa

mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itu penegakan hukum yang

adil menjadi penting untuk dimaknai. Berbicara masalah penegakan hukum kita

perlu melihat terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto,

(1980): Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum

adalah Kaedah Hukum / Peraturan itu sendiri, Petugas / Penegak Hukum, Fasilitas

dan Masyarakat.

2.3 Penalaran Hukum Oleh Polisi

Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-

nimbang klaim-klaim yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada pembentukan


12

hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang

diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi. Dan

ketika hukum dijadikan landasan pijak dalam kontrol sosial, maka peranan hukum

otomatis menggeser fungsi kontrol sosial yang semula dilaksanakan oleh

masyarakat.

Ini adalah kondisi ideal yang harusnya diberlakukan terhadap hukum itu

sendiri. Untuk memberikan suatu solusi atau penyelesaian namun hanya sebatas

penjelasan saja mengenai bagaimana hukum formal dipandang masyarakat tidak

sepenuhnya memberikan rasa keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat,

sehingga terkadang hukum jalanan yang dianggap lebih mudah, praktis, lebih

cepat, dan dianggap bisa memberikan keadilan bagi mereka yang

menjalankannya. Serta bagaimana polisi memberlakukan hukum dalam dalam

memberikan keadilan kepada masyarakat.

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan

hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma

hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak

jelas. Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka

berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi).

Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Membangun

Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan”. Dalam buku

tersebut, beliau menjelaskan tentang dua sindrom yang yang berkaitan dengan

perspektif atau cara pandang masyarakat terhadap hukum. Sindrom yang pertama
13

yaitu apa yang disebut SKG “Sindrome Kitty Genovese”. Kitty Genovese adalah

seorang wanita Amerika Serikat yang diceritakan menjadi korban perkosaan dan

kemudian dibunuh di depan rumahnya sendiri, kejadian ini kemudian disakskan

oleh tetangga-tetangga nya, namun bukan pertolongan yang diterima wanita

tersebut malahan tetangga tersebut masuk ke rumah dan menutup pintu serta

jendela rumahnya.

Sindrom Kitty Genovese, ini menggambarkan karakteristik masyarakat

Amerika Serikat yang menganggap bahwa ketika hukum sudah dilimpahkan

kepada polisi, maka segala urusan yang berkaitan dengan keamanan dan

ketertiban semuanya menjadi urusan polisi. Maka ketika warga masyarakat

mendapat persoalan dengan kejahatan, maka cukup korban kejahatan, penjahat

dan polisi yang berhubungan.

Sindrom yang kedua adalah apa yang dinamakan beliau SAB “Sindrom

Arakan Bugil”. Sindrom ini menggambarkan tentang perlakuan hukum yang

terjadi di negara kita yang mengisahkan bagaimana masyarakat memberikan

hukuman sosial kepada para pelaku kejahatan utamanya kejahatan atau perbuatan

amoral. Sindrom ini berkaitan dengan keaktifan dan peran masyarakat yang

totalitas serta reaktif dalam memberikan hukuman yang terkadang dilakukan

dengan resiko “main hakim sendiri”, “salah bertindak” serta “melanggar asas

praduga tidak bersalah”.

Kedua sindrom diatas, satu dengan lainnya sangat bertolak belakang

terutama dalam perlakuan serta cara memandang hukum itu sendiri. SKG
14

menganggap bahwa ketika suatu persoalan menjadi kasus hukum, masyarakat

menganggap bahwa hal itu sudah ada yang mengurusnya yakni polisi, karena

untuk itulah mereka digaji dari potongan pajak mereka.

Cara pandang ini sangat jelas memposisikan hukum sebagai sesuatu yang

sangat berlebihan (powerfulness), sehingga hukum lebih dikedepankan sebagai

sesuatu hal yang bersifat substansial. SAB justru sebaliknya, yakni hukum sudah

diletakan pada posisi nadir dimana sudah tidak ada sikap rasa percaya lagi dari

masyarakat terhadap hukum dan semua instrumen yang ada di dalamnya, sehingga

yang ada dan diberlakukan oleh masyarakat adalah hukum jalanan. Kedua hal

diatas memang berbeda dalam memperlakukan hukum, namun dalam hal ini

keduanya sama yakni menjadikan hukum menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Dalam memperlakukan hukum utamanya hukum formal ternyata cara

berpikir polisi dan masyarakat tidak sejalan. Ada sebagian masyarakat yang

menganggap bahwa hukum formal adalah hukum yang lamban, penuh prosedural,

tidak memberikan penjeraan, bahkan dianggap tidak berkeadilan. Pandangan

masyarakat ini memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Dalam kemahiran

seorang pengacara yang berbanderol tinggi dengan kelihaian nya memanfaatkan

lubang-lubang kosong hukum serta kemampuan komunikasi dan diplomasi hukum

nya serta ditambah dengan kemampuan bernegosiasi, tersangka/terdakwa dapat

diringankan atau malahan dilepaskan dari jerat-jerat hukum formal. Inilah yang

dianggap masyarakat, hukum formal tidak berkeadilan.


15

Ketika hal ini terjadi secara terus menerus, sikap masyarakat menjadi

antipati terhadap hukum negara. Sikap inilah yang kemudian diwujudkan dengan

sikap masa bodoh, tidak perduli, malas tahu, terhadap hukum tersebut. Menurut

masyarakat hukum negara cukup aparat penegak hukum saja yang mengetahui

dan menjalankannya.

Pola pikir inilah yang melandasi masyarakat menempuh jalan

menyerahkan sepenuhnya masalah hukum tersebut kepada badan-badan yang

menangani nya serta memilih tidak mau perduli dengan proses yang dihadapi baik

itu oleh korban, pelaku serta polisi. Atau tidak masyarakat malah mengambil alih

hukum tersebut serta menerapkan nya dengan cara dan aturan mereka sendiri yang

kemudian beralih menjadi hukum jalanan yang dianggap lebih cepat, lebih

effisien, lebih adil, lebih murah serta lebih memberikan efek deterence.

Penalaran polisi terhadap hukum pun jelas sangat berbeda jika

dibandingkan dengan perangkat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim.

Dalam perlakuan polisi terhadap hukum tidak bisa hanya aspek normatif yang

dlaksanakan secara kontekstual (task law) saja, namun ada beberapa aspek yang

juga mempengaruhi utamanya aspek sosiologis, kultural serta psikologis yang

juga menjadi faktor yang menentukan. Dalam kesehariannya, tugas-tugas polisi

lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam interaksi

tersebut, polisi tidak bisa serta merta melaksanakan hukum secara kontekstual,

artinya bahwa hukum harus mempertimbangkan segi sosiologis, psikis serta

cultural masyarakat yang dihadapinya.


16

Dalam beberapa kasus, utamanya kasus-kasus yang dikategorikan

sebagai pidana ringan (tipiring), kadang polisi tidak serta merta melakukan

penindakan berdasarkan konteks hukum semata. Ketika seorang polisi lalu lintas

menjumpai seorang pengendara motor tidak menggunakan helm, konteks hukum

yang berlaku harus melakukan penindakan, namun karena karena alasan tertentu

(disini bukan dimaksud dengan sogok, suap atau damai dengan uang atau materi)

maka polisi tersebut tidak melakukan penindakan namun hanya memberikan

sanksi hukum yang lebih bersifat moral serta edukasi dan ajakan untuk tidak

mengulang perbuatannya.

Tindakan inilah yang tidak dimiliki oleh instrumen penegak hukum

lainnya. Dan inilah yang memberikan keunikan terhadap tugas kepolisian karena

interaksi nya secara langsung dengan masyarakat. Interaksi yang langsung pada

masyarakat, sehingga aspek sosial yang lebih menyentuh langsung pada aktifitas

masyarakat, menjadi berpengaruh dalam penegakan hukum.

Dalam kasus-kasus yang bersifat pidana murni misalnya kejahatan

dengan kekerasan, maka ketika kasus tersebut di serahkan dan ditangani oleh

polisi, maka harapan dan tuntutan masyarakat adalah agar pelaku diberikan

hukum yang seberat-beratnya yang setimpal dengan perbuatannya. Dan harapan

itu, utamanya di sandarkan kepada polisi sebagai instrumen pertama yang

menangani kasus tersebut. Pandangan masyarakat tersebut memang sangat naif,

namun itulah realita yang dijumpai dalam masyarakat kita. Bagi polisi, tuntutan

masyarakat tersebut menjadi suatu tantangan tersendiri yang harus dihadapi dan

dijawab.
17

Ketika polisi menjumpai dan menerima suatu kasus pidana, maka polisi

saat itu juga sudah berada dalam suatu sistim dan mekanisme hukum yang sudah

terbangun dan mengatur segala tindak tanduk nya dalam pembuktian terhadap

kasus (case) itu. Sistim dan mekanisme hukum itulah yang disebut sebagai

Criminal Justice Sistem (CJS).

Bagi polisi, sistim ini dapat dianggap membelenggu segala tindak tanduk

mereka, karena semua tindakan yang dilakukan harus prosedural , terarah, terukur

dan sekali lagi hukum dan sistim lah yang mengikat hal tersebut. Segala perbuatan

polisi dalam pembuktian suatu kasus, mulai dari penyelidikan, upaya paksa,

bahkan sampai dengan interview dengan tersangka (pelaku) semua dilaksanakan

dibawah bayang-bayang hukum yang prosedural yang lebih terkesan memberikan

hak eksklusifitas tertentu kepada pelaku nya.

Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, hal

ini harus dijalankan oleh polisi, karena disini ada aspek akuntabilitas hukum yang

dituntut oleh masyarakat, terutama oleh korban maupun keluarga serta masyarakat

luas. Manakala ada prosedural standar yang tidak dilaksanakan entah karena

terlupa atau lalai, maka ruang kosong inilah yang akan dimanfaatkan oleh

tersangka dengan pengacaranya untuk melepaskan klien nya dari jerat hukum.

Jika hal tersebut terjadi, maka polisi harus memberikan

pertanggungjawaban baik itu secara hukum, maupun secara moral dan etika

kepada masyarakat. Jika hal ini terus terjadi, maka dapat saja masyarakat

menggunakan hukum lain yaitu dengan menggelar hukum jalanan yang dianggap
18

lebih merepresentasikan bentuk serta wujud keadilan menurut versi dan penilaian

mereka. Jika ini sampai terjadi, maka simbol-simbol hukum modern akan runtuh,

yang ada kita akan dibawah kepada nuansa hukum tradisional atau bahkan hukum

barbar.

Telah disampaikan diatas, bahwa polisi terikat dalam suatu sistim dan

mekanisme hukum. Dengan demikian, masyarakat harus diberikan pengertian dan

pengetahuan yang baik, bahwa polisi bukan lah pendekar terakhir penegak

hukum, namun hanya merupakan satu rangkaian dari sistim tersebut. Keadilan

bukan hanya ditentukan oleh polisi saja, namun peran jaksa dan hakim lah yang

akan menjadi penentu dalam memberikan suatu keadilan.

Dalam mewujudkan keadilan hukum, ternyata cara pandang serta

persepsi setiap orang berbeda-beda. Mungkin hal ini disebabkan karena keadilan

itu tidak dapat diukur. Hal ini yang oleh Soerjono Soekanto dikatakan sebagai

keadilan yang bersifat empiris yang tergantung kepada sudung pandang mereka

menerima keadilan tersebut.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau

kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia
19

novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya. Hakim tidak boleh menolak

suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang

menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap

atau tidak jelas. Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan

hukum (rechtvinding) dengan tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan

serta memihak dan peka terhadap nasib bangsa dan keadaan negaranya.

Untuk itu penegakan hukum yang adil menjadi penting untuk dimaknai,

sebagai hukum yang perlu selalu ditegakkan. Berbicara tentang masalah

penegakan hukum kita perlu melihat terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat.

Polisi terikat dalam suatu sistim dan mekanisme hukum. Dengan

demikian, masyarakat harus diberikan pengertian dan pengetahuan yang baik,

bahwa polisi bukanlah pendekar terakhir penegak hukum, namun hanya

merupakan satu rangkaian dari sistim tersebut. Keadilan bukan hanya ditentukan

oleh polisi saja, namun peran jaksa dan hakim lah yang akan menjadi penentu

dalam memberikan suatu keadilan.

3.2 Saran

Diharapkan jaksa dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan

baik terutama dalam penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan pengawasan

terhadap putusan terutama lepas bersyarat agar terpidana dapat memperoleh hak-

haknya dan rasa keadilan masyarakat terpenuhi.


20

Aparat Penegak Hukum dengan penalaran hukum. Penalaran hukum

yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dalam tataran praksis akan sangat

berguna bagi Aparat Penegak Hukum sebagai seorang yuris ketika menghadapi

sebuah kasus yang pada kenyataannya sehari-hari harus mengambil keputusan

dalam menerapkan hukum. Dalam situasi yang demikian seorang Aparat Penegak

Hukum harus berfikir secara mendalam untuk mengambil sebuah keputusan yang

baik dan benar, padahal keputusan yang baik belum tentu benar dan sebaliknya

keputusan yang benar belum tentu baik. Disinilah seorang Aparat Penegak Hukum

juga harus menguasai kemampuan penalaran hukum untuk dapat mengambil

keputusan yang adil khususnya bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Materi Kuliah: Prof. Dr. Khoidin, SH., M.Hum

(http://anonprihatno.blogspot.co.id/2013/12/penalaran-hukum-positivisme-

dalam.html)
21

(http://bambangoyong.blogspot.co.id/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html)

http://www.kompasiana.com/anonprihatno/penalaran-hukum-untuk-keadilan-

masyarakat-miskin_54ff16c2a33311a94450f844

(http://kilometer25.blogspot.co.id/2013/01/penalaran-hukum-oleh-hakim.html

(http://www.pa-kandangan.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=17)

http://habibulumamt.blogspot.co.id/2013/06/teori-penalaran-hukum-legal-

reasoning_10.html

Anda mungkin juga menyukai