PENDAHULUAN
Pada masa kini pemahaman dan pengetahuan tentang hukum semakin terasa
sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam bidang hukum
melainkan terutama bagi para praktisi hukum seperti polisi, hakim, jaksa,
yang berbeda dan terpisah dari logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir
adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang
termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama
manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum,
kehidupan manusia dalam masyarakat juga berpedoman pada moral manusia itu
sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan
1
2
kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini,
terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya.
Harus diakui bahwa konsep, pemahaman, dan studi tentang logika,
hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli hukum, “to think like a
medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah publik,
ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi misalnya; Mata uang (pasal
1756 KUHPerdata) pengertian hanya uang logam saja dan barang di artikan benda
yang dapat dilihat dan di raba saja. Dalam pengertian luas (ekstensif), ialah
1756 Perdata alinea ke-2 KUHPerdata tentang mata uang juga diartikan uang
kertas.
Penafsiran secara tata bahasa, yaitu suatu cara penafsiran undang-
undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang
bertitik tolak pada arti perkataan – perkataan yang dalam hubunganya satu sama
secara umum. Oleh karena itu dalam penafsirannya hakim mempergunakan kamus
bahasa Indonesia atau meminta bantuan pada para ahli bahasa Indonesia.
Hakim dalam memutus perkara selain berdasarkan proses seperti
“argument” adalah alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak
cabang perkaranya.
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi
hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum
yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari
sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan
perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera dipimpin oleh ketua
Kekuasaan Kehakiman).
Dalam perkara pidana, tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan
hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
4
sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, laksana ikan dengan airnya. Begitu erat
masyarakat.
BAB II
PERMASALAHAN
(logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum.
Dalam penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu
tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan,
5
dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal
melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu
sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu
tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar
Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada
atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan.
Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai titik tolak untuk
menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui” yaitu sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai premis, evidensi, bukti, dasar bahkan alasan-alasan
mencakup seluruh perkara yang timbul, maka akan menyulitkan penegak hukum
telah digunakan.
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
memutuskan perkara yang meskipun perkara itu tidak ada atau tidak jelas dasar
memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan
hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi
kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak
cermat, sistimatik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Namun tidak
bisa dipungkiri bahwa Pengadilan Agama pada tempo dulu putusannya terdapat
yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa daerah (bahasa Jawa, bahasa Banjar
7
dan lain sebagainya). Pada saat sekarang ini, hakim wajib menggunakan bahasa
Indonesia.
disusun dengan cermat. Dalam hal ini artinya pertimbangan hukum tersebut harus
lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan
norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, Yurisprodensi serta
maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi dan sekaligus
Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, maka masih perlu
lagi diketahui bahwa masalah hukum itu masalah hukum bidang apa. Masalah
hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria, hukum pidana dan sebagainya.
Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana sering tidak sangat
tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan
peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dicari
Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
peraturan perundang - undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat
dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni
adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan
muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran
dan perasaan. Sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya sebagai penegak
hukum dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung yang
dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka diperlukan adanya kode etik
profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa diatur dalam peraturan Jaksa Agung
10
Jaksa.
demi melahirkan putusan yang bersifat praktis (dapat dieksekusi), maka tujuan
penalaran hukum yakni kepastian hukum tersebut tidak mungkin dapat berdiri
Keberpihakan ini harus dilakukan oleh para ahli hukum pada semua level
hukum praktis. Oleh karena itu design model penalaran positivisme hukum yang
dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara hukum dan moralitas dengan cara
secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yang
justification).
penting. Namun harus tetap menjaga titik keseimbangan bagi kepentingan para
pihak yang bermasalah. Para pihak yaitu pelanggar hukum, korban pelanggaran
hukum, masyarakat dan negara agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat
kemanusiaan.
yang merupakan muara dari hukum itu sendiri. Berbicara tentang keadilan tidak
bisa dilepaskan dari masalah kemanusiaan sebagai titik sentral. Manusia yang
Hukum yang adil tidak akan berarti apa-apa apabila tidak bisa
mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itu penegakan hukum yang
adil menjadi penting untuk dimaknai. Berbicara masalah penegakan hukum kita
adalah Kaedah Hukum / Peraturan itu sendiri, Petugas / Penegak Hukum, Fasilitas
dan Masyarakat.
diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi. Dan
ketika hukum dijadikan landasan pijak dalam kontrol sosial, maka peranan hukum
masyarakat.
Ini adalah kondisi ideal yang harusnya diberlakukan terhadap hukum itu
sendiri. Untuk memberikan suatu solusi atau penyelesaian namun hanya sebatas
sehingga terkadang hukum jalanan yang dianggap lebih mudah, praktis, lebih
hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma
hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak
jelas. Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka
tersebut, beliau menjelaskan tentang dua sindrom yang yang berkaitan dengan
perspektif atau cara pandang masyarakat terhadap hukum. Sindrom yang pertama
13
yaitu apa yang disebut SKG “Sindrome Kitty Genovese”. Kitty Genovese adalah
seorang wanita Amerika Serikat yang diceritakan menjadi korban perkosaan dan
tersebut malahan tetangga tersebut masuk ke rumah dan menutup pintu serta
jendela rumahnya.
kepada polisi, maka segala urusan yang berkaitan dengan keamanan dan
Sindrom yang kedua adalah apa yang dinamakan beliau SAB “Sindrom
hukuman sosial kepada para pelaku kejahatan utamanya kejahatan atau perbuatan
amoral. Sindrom ini berkaitan dengan keaktifan dan peran masyarakat yang
dengan resiko “main hakim sendiri”, “salah bertindak” serta “melanggar asas
terutama dalam perlakuan serta cara memandang hukum itu sendiri. SKG
14
menganggap bahwa hal itu sudah ada yang mengurusnya yakni polisi, karena
Cara pandang ini sangat jelas memposisikan hukum sebagai sesuatu yang
sesuatu hal yang bersifat substansial. SAB justru sebaliknya, yakni hukum sudah
diletakan pada posisi nadir dimana sudah tidak ada sikap rasa percaya lagi dari
masyarakat terhadap hukum dan semua instrumen yang ada di dalamnya, sehingga
yang ada dan diberlakukan oleh masyarakat adalah hukum jalanan. Kedua hal
diatas memang berbeda dalam memperlakukan hukum, namun dalam hal ini
keduanya sama yakni menjadikan hukum menjadi sesuatu yang tidak bermakna.
berpikir polisi dan masyarakat tidak sejalan. Ada sebagian masyarakat yang
menganggap bahwa hukum formal adalah hukum yang lamban, penuh prosedural,
diringankan atau malahan dilepaskan dari jerat-jerat hukum formal. Inilah yang
Ketika hal ini terjadi secara terus menerus, sikap masyarakat menjadi
antipati terhadap hukum negara. Sikap inilah yang kemudian diwujudkan dengan
sikap masa bodoh, tidak perduli, malas tahu, terhadap hukum tersebut. Menurut
masyarakat hukum negara cukup aparat penegak hukum saja yang mengetahui
dan menjalankannya.
menangani nya serta memilih tidak mau perduli dengan proses yang dihadapi baik
itu oleh korban, pelaku serta polisi. Atau tidak masyarakat malah mengambil alih
hukum tersebut serta menerapkan nya dengan cara dan aturan mereka sendiri yang
kemudian beralih menjadi hukum jalanan yang dianggap lebih cepat, lebih
effisien, lebih adil, lebih murah serta lebih memberikan efek deterence.
dibandingkan dengan perangkat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim.
Dalam perlakuan polisi terhadap hukum tidak bisa hanya aspek normatif yang
dlaksanakan secara kontekstual (task law) saja, namun ada beberapa aspek yang
tersebut, polisi tidak bisa serta merta melaksanakan hukum secara kontekstual,
sebagai pidana ringan (tipiring), kadang polisi tidak serta merta melakukan
penindakan berdasarkan konteks hukum semata. Ketika seorang polisi lalu lintas
yang berlaku harus melakukan penindakan, namun karena karena alasan tertentu
(disini bukan dimaksud dengan sogok, suap atau damai dengan uang atau materi)
sanksi hukum yang lebih bersifat moral serta edukasi dan ajakan untuk tidak
mengulang perbuatannya.
lainnya. Dan inilah yang memberikan keunikan terhadap tugas kepolisian karena
interaksi nya secara langsung dengan masyarakat. Interaksi yang langsung pada
masyarakat, sehingga aspek sosial yang lebih menyentuh langsung pada aktifitas
dengan kekerasan, maka ketika kasus tersebut di serahkan dan ditangani oleh
polisi, maka harapan dan tuntutan masyarakat adalah agar pelaku diberikan
namun itulah realita yang dijumpai dalam masyarakat kita. Bagi polisi, tuntutan
masyarakat tersebut menjadi suatu tantangan tersendiri yang harus dihadapi dan
dijawab.
17
Ketika polisi menjumpai dan menerima suatu kasus pidana, maka polisi
saat itu juga sudah berada dalam suatu sistim dan mekanisme hukum yang sudah
terbangun dan mengatur segala tindak tanduk nya dalam pembuktian terhadap
kasus (case) itu. Sistim dan mekanisme hukum itulah yang disebut sebagai
Bagi polisi, sistim ini dapat dianggap membelenggu segala tindak tanduk
mereka, karena semua tindakan yang dilakukan harus prosedural , terarah, terukur
dan sekali lagi hukum dan sistim lah yang mengikat hal tersebut. Segala perbuatan
polisi dalam pembuktian suatu kasus, mulai dari penyelidikan, upaya paksa,
Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, hal
ini harus dijalankan oleh polisi, karena disini ada aspek akuntabilitas hukum yang
dituntut oleh masyarakat, terutama oleh korban maupun keluarga serta masyarakat
luas. Manakala ada prosedural standar yang tidak dilaksanakan entah karena
terlupa atau lalai, maka ruang kosong inilah yang akan dimanfaatkan oleh
tersangka dengan pengacaranya untuk melepaskan klien nya dari jerat hukum.
pertanggungjawaban baik itu secara hukum, maupun secara moral dan etika
kepada masyarakat. Jika hal ini terus terjadi, maka dapat saja masyarakat
menggunakan hukum lain yaitu dengan menggelar hukum jalanan yang dianggap
18
lebih merepresentasikan bentuk serta wujud keadilan menurut versi dan penilaian
mereka. Jika ini sampai terjadi, maka simbol-simbol hukum modern akan runtuh,
yang ada kita akan dibawah kepada nuansa hukum tradisional atau bahkan hukum
barbar.
Telah disampaikan diatas, bahwa polisi terikat dalam suatu sistim dan
pengetahuan yang baik, bahwa polisi bukan lah pendekar terakhir penegak
hukum, namun hanya merupakan satu rangkaian dari sistim tersebut. Keadilan
bukan hanya ditentukan oleh polisi saja, namun peran jaksa dan hakim lah yang
persepsi setiap orang berbeda-beda. Mungkin hal ini disebabkan karena keadilan
itu tidak dapat diukur. Hal ini yang oleh Soerjono Soekanto dikatakan sebagai
keadilan yang bersifat empiris yang tergantung kepada sudung pandang mereka
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia
19
novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya. Hakim tidak boleh menolak
suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang
atau tidak jelas. Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan
serta memihak dan peka terhadap nasib bangsa dan keadaan negaranya.
Untuk itu penegakan hukum yang adil menjadi penting untuk dimaknai,
penegakan hukum kita perlu melihat terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat
merupakan satu rangkaian dari sistim tersebut. Keadilan bukan hanya ditentukan
oleh polisi saja, namun peran jaksa dan hakim lah yang akan menjadi penentu
3.2 Saran
terhadap putusan terutama lepas bersyarat agar terpidana dapat memperoleh hak-
yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dalam tataran praksis akan sangat
berguna bagi Aparat Penegak Hukum sebagai seorang yuris ketika menghadapi
dalam menerapkan hukum. Dalam situasi yang demikian seorang Aparat Penegak
Hukum harus berfikir secara mendalam untuk mengambil sebuah keputusan yang
baik dan benar, padahal keputusan yang baik belum tentu benar dan sebaliknya
keputusan yang benar belum tentu baik. Disinilah seorang Aparat Penegak Hukum
DAFTAR PUSTAKA
(http://anonprihatno.blogspot.co.id/2013/12/penalaran-hukum-positivisme-
dalam.html)
21
(http://bambangoyong.blogspot.co.id/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html)
http://www.kompasiana.com/anonprihatno/penalaran-hukum-untuk-keadilan-
masyarakat-miskin_54ff16c2a33311a94450f844
(http://kilometer25.blogspot.co.id/2013/01/penalaran-hukum-oleh-hakim.html
(http://www.pa-kandangan.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=17)
http://habibulumamt.blogspot.co.id/2013/06/teori-penalaran-hukum-legal-
reasoning_10.html