PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sebagai sarana alat rekayasa sosial (tool of social engineering). Dalam posisi sepeti
itu maka semestinya hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat,
dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam
masyarakat.
Dewasa ini, dalam wacana publik, khazanah intelektual, dan praktik hukum di
tanah air, peran logika dan penalaran hukum dalam studi hukum semakin
jaksa, atau praktisi hukum yang handal, pemahaman terhadap logika, penalaran
hukum, dan argumentasi hukum merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-
tawar. Karena logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum membekali para
mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan kemampuan berpikir
kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan
praktik hukum.
. Mahasiswa hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli hukum,
“to think like a lawyer”. Mereka diharapkan kelak mampu menganalisis kasus hukum
melalui medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah
publik, akademik, atau pengadilan. Di samping itu mahasiswa pun diharapkan mampu
opini, maupun pendapat hukum. Tidak dapat disangkal bahwa logika dan penalaran
hukum (legal reasoning) sering ditolak. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hukum
berurusan dengan data, fakta, atau pengalaman praktis dan bukan pemikiran abstrak,
rasional atau logis. Penalaran hukum lalu dianggap tidak perlu diajarkan kepada
mereka yang mempelajari hukum karena tidak “membumi”. Hukum harus dipelajari
melalui pengalaman konkret saja. Tentu saja anggapan ini tidak memadai. Kalau ingin
jujur, hukum sebagai “aturan tentang bagaimana orang seharusnya bertindak” adalah
sebuah rumusan “abstrak” tentang tindakan dan bukanlah tindakan itu sendiri.
Perumusan aturan hukum tidak lain dari upaya mengeksplisitasi atau mewujud
nyatakan gagasan atau prinsip hidup yang abstrak dalam norma kehidupan nyata.
Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa hukum sebagian bersumber dari prinsip
hidup ideal. Tak dapat disangkal bahwa logika murni (pure logic), logika formal, atau
logika simbolik, sangat boleh jadi cukup “abstrak-ideal” dan mungkin memiliki peran
logika dasar seperti penyimpulan langsung, deduksi dan induksi, kesesatan berpikir
merupakan alat berpikir yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran hukum
sangat boleh jadi tidak selalu merupakan argumen yang paling logis. Tetapi, apa pun
atau putusan hukum tertentu. Maka berasumsi bahwa logika tidak selalu merupakan
basis primer bagi putusan hukum (legal decision) dan logika seharusnya tidak boleh
argumen yang memadai. Karena proses berargumentasi itu tidak lain dari proses
menjustifikasi. Dalam konteks itulah studi dan penelitian literer terhadap Logika,
Penalaran, dan Argumentasi Hukum tidak hanya semakin diperlukan melainkan juga
selalu relevan. Karena studi tentang logika, penalaran, dan argumentasi hukum tidak
lain dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis mana yang dapat digunakan untuk
menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau putusan hukum baik atau buruk,
B. Perumusan Masalah
PEMBAHASAN
hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang
Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan
sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum
suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa
dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata,
ataupun administratif) dan memasukkan- nya ke dalam peraturan hukum yang ada.
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan
untuk memutuskan suatu kasus agar kepusan yang dilahirkan adalah keputusan yang
bisa dipertanggung jawababkan. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning
ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan
tujuan untuk menghindari ter- jadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan
untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu
peraturan perlu di-keluarkan. Dan jika undang undang disusun, apa rasionitasnya dan
apa hakikat hukum itu dibuat. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna
peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang
hakiki.
Seperti sudah dijelaskan pada bagian latar belakang, logika dan penalaran
hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum. Marry Massaron
Ross dalam ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’, mengutip Wedell
Holmes, menyatakan bahwa training bagi para lawyer tidak lain dari training logika.2
mahasiswa, bahkan juga hakim dan calon hakim (termasuk mahasiswa hukum) adalah
formal, dan sistem yang teratur secara konseptual, memuaskan, normatif, objektif dan
konsisten, perlu dipikirkan ulang. Anggapan bahwa sebagai sistem hukum dipercaya
mampu memberikan solusi dan jawaban yang tepat dan benar bagi semua probem
Pandangan Justice Holmes bahwa “nafas hukum bukan persoalan logis melainkan
persoalan pengalaman” sudah ditentang berbagai pihak. Ross (2006), sebagai seorang
persuasi (rhetoric), emosi (pathos) dan karakter-personal (etos) ikut berperan sebagai
sarana advokasi. Tetapi tidak demikian halnya jika proses pengadilan sudah
terhadap logika dan penalaran hukum menjadi syarat utama. Karena yang diperiksa
bukanlah perkara melainkan memeriksa pemeriksaan perkara. Dalam proses ini semua
C. Penalaran Hukum
Logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat dapat memikirkan
hukum. Atau sebaliknya, ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya bersifat logis
juga. Hans Kelsen dalam buku Essay in Legal and Moral Philosophy menulis bahwa
’sifat logis’ merupakan sifat khusus hukum; yang berarti bahwa dalam relasi-relasi
Dengan penalaran hukum, hukum tidak dipahami sekedar soal hafalan pasal-
pasal belaka; hukum juga bukan sekedar aturan-aturan atau norma-norma yang
ditetapkan oleh otoritas tertinggi (dewa-dewi, alam semesta, Tuhan, Legislator, dan
sebagainya) sehingga ‘wajib’ diikuti melainkan hukum pun harus mendasarkan diri
pada sifat logis. Logis seharusnya menjadi salah satu karakter atau sifat dasar hukum.
the particular method of arguing used when applying legal rules to particular
interactions among legal persons. Lief H. Carter dan Thomas F. Burke dalam buku
Reason in Law (2002 6th ed.) merumuskan penalaran hukum sangat eksklusif.
Penalaran hukum diartikan sebagai ‘cara lawyer dan hakim membicarakan hukum di
ruang publik’. Lebih lanjut Carter dan Burke menyatakan bahwa bahasa dan
legitim atau tidak, tepat atau tidak. Peter Wahlgren dari Stockholm Institute for
penalaran hukum merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli banyak aktivitas
dalam bidang hukum: proses mental yang bekerja dalam pengambilan keputusan
hukum; identifikasi kasus, interpretasi, atau mengevalusi fakta hukum; pilihan aturan
pertimbangan, argumen, opini atau pendapat hukum. Tetapi semua aktivitas ini
didasarkan para cara bernalar yang tepat (logika). Salah satu pertanyaan yang dapat
dimunculkan adalah apakah ada perbedaan antara penalaran pada umumnya (logika)
abad ini banyak pihak meragukan keunikan dan perbedaan penalaran hukum (legal
penalaran yang pada dasarnya politis (CLS slogan “Law is politics”). Para pengritik
ini mengatakan bahwa dalam banyak kasus para hakim memutuskan perkara tidak
berdasarkan hukum dan logika melainkan berdasarkan visi mereka tentang apa yang
secara politik betul. Menurut pandangan skeptik ini, anggapan bahwa pengadilan dan
retorika belaka. Tidak ada perbedaan mendasar antara penalaran hukum dengan
hukum pada dasarnya adalah moral. Hukum, menurut Fuller, tidak bisa dipisahkan
dari perhatian normatif filsafat moral; bahwa lembaga formal negarahukum diatur
oleh prinsip-prinsip moralitas hukum; bahwa hukum dan moralitas berasal dari
‘hukum alam’.
Dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan antara logika dan penalaran
penalaran yang objektif berdasarkan prinsip-prinsip logika. Setiap hari para lawyer
dan hakim berusaha memilah-milah argument mana yang baik dan mana yang buruk
dalam proses pengadilan. Tetapi menentukan secara tepat apa yang membuat suatu
argumen hukum lebih kuat dari argumen hukum lain yang lebih lemah bukanlah
pekerjaan mudah. Di sini prinsip-prinsip logika yang lebih objektif diperlukan untuk
hakim.
1. Topik, yaitu ide sentral dalam bidang kajian tertentu yang spesifik dan berisi
kesalahannya.
melakukan benar atau salahnya. Misalnya: gadis yaitu wanita muda yang
4. Proses berfikir ilmiah, yaitu kegiatan yang dilakukan secara sadar, teliti, dan
6. Sistematika, yaitu seperangkat proses atas bagian atau unsur-unsur proses berfikir
8. Variabel, yaitu unsur satuan pikiran dalam sebuah topik yang akan dianalisis.
9. Analisis (pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi analisis
10. Pembuktian (argumentasi), yaitu proses pembenaran bahwa proposisi itu terbukti
11. Hasil, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sebuah analisis induktif dan deduktif.
12. Kesimpulan (simpulan), yaitu penafsiran atau hasil pembahasan, dapat berupa
perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case
contoh legal reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh
para ahli hukum di Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim
kasus yang sudah diputuskan terdahulu. Dalam perkembangan teori hukum para
ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya berupaya melihat kasus melalui
“mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat melihat kasus
yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang menganut sistem
hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan
decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap mengacu kepada preseden
terdahulu.
untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan
menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata
para pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan
merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau
yang terjadi.
diputuskan oleh hakim terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang
secara kasus per kasus. Jadi meskipun telah terjadi suatu kasus yang sejenis
harus mendasarkan legal reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.
Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas
dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi
yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya.
Legal Reasoning dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu
keputusan.8 Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Logika sebagai istilah,
berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.
Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai
penalaran.
Suatu dalil yang kuat dibangun berdasarkan logika dimana sistem logika formal
ijtihad hakim dari pada putusan itu harus dicantumkan dengan jelas dan pertimbangan
hukumnya dan sesuai dengan sistem penalaran hukum. Dengan demikian bagi pihak
yang membaca putusan lebih memahami bahwa putusan itu mempunyai kepastian
hukum, kemanfaatan, seni bahasa (keindahan) dan keadilan bagi para pihak pencari
keadilan. Argumentasi sebagai dasar dan cara penemuan hukum hakim atau ijtihad
b. Argumentasi Yurisprudensi
c. Argumentasi hukum kebiasaan atau adat, Ushul Fiqh, Fiqh, Kaidah Ushul Fiqh, dan
lain-lain.
d. Argumentasi moral
e. Argumentasi sosiologis
seorang lainnya, atau antara masyarakat dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang
menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replica dan duplika percontohan
terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap
tindak aparatur hukum dan lembaga peradilan. 9 Dalam situasi tersebut maka
untuk memperoleh kepastian tentang kaidah yang relevan dapat ditempuh dengan
dalam argumentasi hukum. Maka tidak satupun orang terlepas dari fungsi dan
keadilan pada umumnya. Dan dalam penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau
yang keliru. Namun kekeliruan dalam penafsiran hukuk ini bisa diperbaiki dengan
dengan promosi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga hakim tersebut bisa
reasoning ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus
dengan kasus yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-
konsep hukum (legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu
kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan
metofora, bahwa: “suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan
Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus
2. Kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit
diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan
dengan berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa reasoing
pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang
tercipta di dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan
induktif sepenuhnya, tetapi arahnya memang dari khusus ke umum. Telah
kategori yang lain yang mempunyai kesamaan. Kata-kata “bahaya yang ada”
misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”. Dengan demikian
kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk dimasukkan ke
dalam kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan merupakan cara reasoning
yang deduktif.
datang dari arah yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam
undang-undang, hal ini tidak dapat dipandang ringan karena kata-kata tersebut
penting, tetapi kata-kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti.
perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan
keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam
undang-undang.
Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning
deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata- kata yang ada di dalam undang-
undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus tertentu secara khusus.
Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal
tersebut tetap berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam
peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan untuk
menjaga agar tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-
undang atau peraturan lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa
hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan
bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari
tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar
hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang menjadi
ahli filsafat hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu dalam
memperkenalkan teori hukum sebagai “interpretative concept” yang membawa
pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli teori hukum dalam memberi
dasar ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang ke depan
(menyusun konsep baru), dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah
sesuatu, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran
dengan penciptaan murni, akan tetapi interpretasi juga bukan hanya merupakan
upaya untuk melakukan reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau
mempunyai peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu:
1. Dalam reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/
2. Dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan
PENUTUP
A. KESIMPULAN
kesimpulan, lain:
baik. Maka dari itu diperlukan sistem penalaran melalui konstrukti dan
hukumnya atau yang dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Reasoning
dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan.
memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Maka istilah
penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir yang tepat
dan valid dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada
penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat
dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum dengan
3. Terdapat dua bentuk dasar penalaran yakni induksi dan deduksi. Agar penalaran
Daftar Pustaka
Buku
Abraham, Amos HF. Legal Opinion Teoritis & Empirisme. Jakarta: PT. Grafindo
Persada , 2007
Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, Metro, 1994
Golding, Martin P. Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc., 1984
J.J.H. Bruggink, Op Zoek Naar Het Recht, Wolters-Noordhoft Groningsen, The
Netherlands, 1987
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
cipta,2001
Philipus M.Hadjonn, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2005
Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2014
Jurnal
Urbanus Ura Weruin. 2017. Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum, Jurnal
Konstitusi, Vol 14
H.Enju Juanda, S.H.,M.H. 2017. Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Universitas Galuh,
Vol.5
Ruslan H.R, Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim dalam Berpendapat.