Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum sebagaimana diharapkan dalam pembentukannya, direncanakan

sebagai sarana alat rekayasa sosial (tool of social engineering). Dalam posisi sepeti

itu maka semestinya hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

masyarakat. Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang di-kemukakan

oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat,

dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam

masyarakat.

Dewasa ini, dalam wacana publik, khazanah intelektual, dan praktik hukum di

tanah air, peran logika dan penalaran hukum dalam studi hukum semakin

diperhitungkan. Banyak pemikir menyatakan bahwa untuk menjadi lawyer, hakim,

jaksa, atau praktisi hukum yang handal, pemahaman terhadap logika, penalaran

hukum, dan argumentasi hukum merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-

tawar. Karena logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum membekali para

mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi hukum dengan kemampuan berpikir

kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan

praktik hukum.

. Mahasiswa hukum sering dituntut untuk berpikir seperti seorang ahli hukum,

“to think like a lawyer”. Mereka diharapkan kelak mampu menganalisis kasus hukum

melalui medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum entah dalam wilayah

publik, akademik, atau pengadilan. Di samping itu mahasiswa pun diharapkan mampu

memahami secara kritis, rasional, dan argumentatif teori, rumusan undang-undang,

opini, maupun pendapat hukum. Tidak dapat disangkal bahwa logika dan penalaran
hukum (legal reasoning) sering ditolak. Sebagian pendapat menyatakan bahwa hukum

berurusan dengan data, fakta, atau pengalaman praktis dan bukan pemikiran abstrak,

rasional atau logis. Penalaran hukum lalu dianggap tidak perlu diajarkan kepada

mereka yang mempelajari hukum karena tidak “membumi”. Hukum harus dipelajari

melalui pengalaman konkret saja. Tentu saja anggapan ini tidak memadai. Kalau ingin

jujur, hukum sebagai “aturan tentang bagaimana orang seharusnya bertindak” adalah

sebuah rumusan “abstrak” tentang tindakan dan bukanlah tindakan itu sendiri.

Perumusan aturan hukum tidak lain dari upaya mengeksplisitasi atau mewujud

nyatakan gagasan atau prinsip hidup yang abstrak dalam norma kehidupan nyata.

Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa hukum sebagian bersumber dari prinsip

hidup ideal. Tak dapat disangkal bahwa logika murni (pure logic), logika formal, atau

logika simbolik, sangat boleh jadi cukup “abstrak-ideal” dan mungkin memiliki peran

terbatas dalam merumuskan atau menganalisis putusan-putusan pengadilan,

mencermati aturan-aturan hukum, memetakan opini dan pendapat hukum. Tetapi

logika dasar seperti penyimpulan langsung, deduksi dan induksi, kesesatan berpikir

merupakan alat berpikir yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran hukum

yang semakin bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah. Pembelaan

paling persuasif atau pertimbangan hakim dalam menangani perkara di pengadilan

sangat boleh jadi tidak selalu merupakan argumen yang paling logis. Tetapi, apa pun

alasannya, seorang pembela, jaksa, atau hakim perlu mengungkapkan alasan-alasan

dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional tentang pilihan argumen, pendapat,

atau putusan hukum tertentu. Maka berasumsi bahwa logika tidak selalu merupakan

basis primer bagi putusan hukum (legal decision) dan logika seharusnya tidak boleh

berperan sebagai sarana justifikasi (justification) kebenaran hukum, bukanlah sebuah

argumen yang memadai. Karena proses berargumentasi itu tidak lain dari proses
menjustifikasi. Dalam konteks itulah studi dan penelitian literer terhadap Logika,

Penalaran, dan Argumentasi Hukum tidak hanya semakin diperlukan melainkan juga

selalu relevan. Karena studi tentang logika, penalaran, dan argumentasi hukum tidak

lain dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis mana yang dapat digunakan untuk

menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau putusan hukum baik atau buruk,

benar atau salah, dapat diterima atau harus ditolak.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan logika, penalaran, dan argumentasi hukum?

2. Apa sajakah unsur-unsur dalam penalaran hukum?

3. Apakah manfaat legal reasoning bagi penegak hukum?

4. Manakah hukum-hukum deduksi, induksi, dan analogi induksi beserta kepastian

dan probabilitas kebenarannya?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Menggunakan Legal Reasoning

Pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang

hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang

bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara

meng-argumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.

Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan

dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana

sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum

dan bagaimana seorang pengacara mengargumentasikan hukum?

Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah:

suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa

hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan,

dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata,

ataupun administratif) dan memasukkan- nya ke dalam peraturan hukum yang ada.

Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan

untuk memutuskan suatu kasus agar kepusan yang dilahirkan adalah keputusan yang

bisa dipertanggung jawababkan. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning

ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan

tujuan untuk menghindari ter- jadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan

untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa

ataupun perbuatan hukum tersebut.


Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna

untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu

peraturan perlu di-keluarkan. Dan jika undang undang disusun, apa rasionitasnya dan

apa hakikat hukum itu dibuat. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna

untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau

peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang

hakiki.

B. Relevansi Studi Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum

Seperti sudah dijelaskan pada bagian latar belakang, logika dan penalaran

hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum. Marry Massaron

Ross dalam ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’, mengutip Wedell

Holmes, menyatakan bahwa training bagi para lawyer tidak lain dari training logika.2

Ross menambahkan bahwa logika yang perlu diberikan kepada paralawyer,

mahasiswa, bahkan juga hakim dan calon hakim (termasuk mahasiswa hukum) adalah

analogi, “diskriminasi” (disanalogi), dan deduksi. Karena bahasa putusan pengadilan

pada dasarnya adalah bahasa logika

Pandangan tradisional bahwa hukum berisikan premis-premis yang komplet,

formal, dan sistem yang teratur secara konseptual, memuaskan, normatif, objektif dan

konsisten, perlu dipikirkan ulang. Anggapan bahwa sebagai sistem hukum dipercaya

mampu memberikan solusi dan jawaban yang tepat dan benar bagi semua probem

hukum terutama kasus yang di bawa ke pengadilan, sudah jauh ditinggalkan.

Pandangan Justice Holmes bahwa “nafas hukum bukan persoalan logis melainkan

persoalan pengalaman” sudah ditentang berbagai pihak. Ross (2006), sebagai seorang

praktisi hukum, mengatakan bahwa proses pengadilan di tingkat banding, lebih


bekerja berdasarkan statuta, konstitusi tertulis, dan prinsip-prinsip logika untuk

mengungkap kebenaran sebuah kasus dari pada pengalaman atau kenyataan.

Dalam proses pengadilan tingkat pertama misalnya, unsur logis (logos),

persuasi (rhetoric), emosi (pathos) dan karakter-personal (etos) ikut berperan sebagai

sarana advokasi. Tetapi tidak demikian halnya jika proses pengadilan sudah

memasuki tahap banding. Dalam proses pengadilan di tingkat banding, pemahaman

terhadap logika dan penalaran hukum menjadi syarat utama. Karena yang diperiksa

bukanlah perkara melainkan memeriksa pemeriksaan perkara. Dalam proses ini semua

argumen logis diperiksa keabsahan dan kebenarannya.

C. Penalaran Hukum

Penalaran hukum memperlihatkan eratnya hubungan antara logika dan hukum.

Logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat dapat memikirkan

hukum. Atau sebaliknya, ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya bersifat logis

juga. Hans Kelsen dalam buku Essay in Legal and Moral Philosophy menulis bahwa

’sifat logis’ merupakan sifat khusus hukum; yang berarti bahwa dalam relasi-relasi

timbal-balik mereka, norma-norma hukum sesuai dengan asas-asaslogika”.

Dengan penalaran hukum, hukum tidak dipahami sekedar soal hafalan pasal-

pasal belaka; hukum juga bukan sekedar aturan-aturan atau norma-norma yang

ditetapkan oleh otoritas tertinggi (dewa-dewi, alam semesta, Tuhan, Legislator, dan

sebagainya) sehingga ‘wajib’ diikuti melainkan hukum pun harus mendasarkan diri

pada sifat logis. Logis seharusnya menjadi salah satu karakter atau sifat dasar hukum.

Apa yang dimaksud dengan penalaran hukum itu? M. J. Peterson dalam

artikel online-nya tentang penalaran hukum, merumuskan penalaran hukum sebagai

the particular method of arguing used when applying legal rules to particular
interactions among legal persons. Lief H. Carter dan Thomas F. Burke dalam buku

Reason in Law (2002 6th ed.) merumuskan penalaran hukum sangat eksklusif.

Penalaran hukum diartikan sebagai ‘cara lawyer dan hakim membicarakan hukum di

ruang publik’. Lebih lanjut Carter dan Burke menyatakan bahwa bahasa dan

penalaran hukum memperlihatkan apakah putusan hukum imparsial atau partisan,

legitim atau tidak, tepat atau tidak. Peter Wahlgren dari Stockholm Institute for

Scandianvian Law dalam artikelnya tentang Legal Reasoning, menyatakan bahwa

penalaran hukum merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli banyak aktivitas

dalam bidang hukum: proses mental yang bekerja dalam pengambilan keputusan

hukum; identifikasi kasus, interpretasi, atau mengevalusi fakta hukum; pilihan aturan

hukum, dan penerapan hukum dalam kasus-kasus konkret; penyusunan sebuah

pertimbangan, argumen, opini atau pendapat hukum. Tetapi semua aktivitas ini

didasarkan para cara bernalar yang tepat (logika). Salah satu pertanyaan yang dapat

dimunculkan adalah apakah ada perbedaan antara penalaran pada umumnya (logika)

dengan penalaran hukum? Brett G. Scharffs, menyatakan bahwa meskipun dalam

abad ini banyak pihak meragukan keunikan dan perbedaan penalaran hukum (legal

reasoning), sebagian pemikir justru mengkritik penalaran hukum sebagai bentuk

penalaran yang pada dasarnya politis (CLS slogan “Law is politics”). Para pengritik

ini mengatakan bahwa dalam banyak kasus para hakim memutuskan perkara tidak

berdasarkan hukum dan logika melainkan berdasarkan visi mereka tentang apa yang

secara politik betul. Menurut pandangan skeptik ini, anggapan bahwa pengadilan dan

penalaran hukumberbeda dari penalaran praktis sehari-hari pada umumnya hanyalah

retorika belaka. Tidak ada perbedaan mendasar antara penalaran hukum dengan

penalaran umum sehari-hari .2Sementara pemikir lain menyatakan bahwa penalaran

hukum pada dasarnya adalah moral. Hukum, menurut Fuller, tidak bisa dipisahkan
dari perhatian normatif filsafat moral; bahwa lembaga formal negarahukum diatur

oleh prinsip-prinsip moralitas hukum; bahwa hukum dan moralitas berasal dari

‘hukum alam’.

Dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan antara logika dan penalaran

hukum. Dalam dunia yang sangat menekankan subjektivitas, diperlukan standar

penalaran yang objektif berdasarkan prinsip-prinsip logika. Setiap hari para lawyer

dan hakim berusaha memilah-milah argument mana yang baik dan mana yang buruk

dalam proses pengadilan. Tetapi menentukan secara tepat apa yang membuat suatu

argumen hukum lebih kuat dari argumen hukum lain yang lebih lemah bukanlah

pekerjaan mudah. Di sini prinsip-prinsip logika yang lebih objektif diperlukan untuk

menjamin kepastian, objetivitas dan mengurangi preferensi pribadi lawyer atau

hakim.

D. Unsur-unsur dalam Penalaran Hukum

1. Topik, yaitu ide sentral dalam bidang kajian tertentu yang spesifik dan berisi

sekurang-kurangnya dua variabel.

2. Dasar pemikiran, pendapat, atau fakta dirumuskan dalam bentuk proposi

yaitu kalimat pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau

kesalahannya.

3. Proposisi mempunyai beberapa jenis, antara lain:

a. Proposisi empirik, yaitu proposi berdasarkan fakta, misalanya: anak cerdas

dapat memanfaatkan potensinya.


b. Proposisi mutlak, yaitu pembenaran yang tidak memerlukan pengujian untuk

melakukan benar atau salahnya. Misalnya: gadis yaitu wanita muda yang

belum pernah menikah.

c. Proposisi hipotetik, yaitu persyaratan hubungan subjek dan predikat yang

harus dipenuhi. Misalnya: jika dijemput, X akan kerumah.

d. Proposisi kategoris, yaitu tidka adanya persyaratan hubungan subjek dan

predikat. Misalnya: X akan menikahi Y.

e. Proposisi positif universal, yaitu peryataan positif yang mempunyai

kebenaran mutlak. Misalnya: semua hewan akan mati.

f. proposisi positif persial, yaitu peryataan bahwa sebagian unsur peryataan

tersebut bersifat positif. Misalnya: sebagian orang ingin hidup kaya.

g. Proposisi negatif universal, yaitu kebalikan dari proposisi positif universal.

h. Proposisi negatif persial, yaitu kebalikan dari proposisi positif persial.

4. Proses berfikir ilmiah, yaitu kegiatan yang dilakukan secara sadar, teliti, dan

terarah menuju suatu kesimpulan.

5. Logika, yaitu metode pengujian ketepatan penalaran, penggunaan (alasan),

argumentasi (pembuktian), fenomena, dan justifikasi (pembenaran).

6. Sistematika, yaitu seperangkat proses atas bagian atau unsur-unsur proses berfikir

ke dalam suatau kesatuan.

7. Permasalahan, yaitu pernyataan yang harus dijawab (dibahas) dalam karangan.

8. Variabel, yaitu unsur satuan pikiran dalam sebuah topik yang akan dianalisis.
9. Analisis (pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi analisis

(pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi, mengklasifikasi,

mencari hubungan (korelasi), membandingkan, dan lain-lain.

10. Pembuktian (argumentasi), yaitu proses pembenaran bahwa proposisi itu terbukti

kebenarannya atau kesalahannya.

11. Hasil, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sebuah analisis induktif dan deduktif.

12. Kesimpulan (simpulan), yaitu penafsiran atau hasil pembahasan, dapat berupa

implikasi atau referensi.

E. Kerangka Analitis tentang Legal Reasoning

a. Legal Rasioning Melalui Contoh

Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh.

Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan

perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case

law (common law).

Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari

contoh legal reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh

para ahli hukum di Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim

untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat kasus yang di adilinya.

Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan

kebebasannya untuk mencari perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-

kasus yang sudah diputuskan terdahulu. Dalam perkembangan teori hukum para

ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya berupaya melihat kasus melalui
“mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat melihat kasus

yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang menganut sistem

hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan

mengenai penerapan legal reasoning yang didasarkan pada doktrin “stare

decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap mengacu kepada preseden

dari kasus terdahulu.

Di Inggris, Prof. Montrose misalnya telah menyatakan secara explisit

bahwa dalam kerangka analitis reasoning melalui contoh, pandangan

kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada dekade akhir-akhir ini, adalah

bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan hakim Inggris

untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan

terdahulu.

Sementara Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari

penerapan doktrin preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim

sering harus melihat hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia

mengatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya

untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan

menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata

para pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan

merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau

membuat perbedaan apabila tidak terdapat alasan untuk membedakan peristiwa

yang terjadi.

b. Reasoning Kasus per asus


Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah

diputuskan oleh hakim terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang

terjadi sesudahnya dengan kegiatan mencari dan membangun legal reasoning

secara kasus per kasus. Jadi meskipun telah terjadi suatu kasus yang sejenis

berkali-kali, namun dalam menyusun argumentasi di dalam opininya, hakim

harus mendasarkan legal reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.

F. Manfaat legal reasoning bagi Penegak Hukum

Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas

dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi

yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya.

Legal Reasoning dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu

keputusan.8 Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Logika sebagai istilah,

berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.

Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai

penalaran.

Suatu dalil yang kuat dibangun berdasarkan logika dimana sistem logika formal

merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi. Argumentasi yang merupakan hasil

ijtihad hakim dari pada putusan itu harus dicantumkan dengan jelas dan pertimbangan

hukumnya dan sesuai dengan sistem penalaran hukum. Dengan demikian bagi pihak

yang membaca putusan lebih memahami bahwa putusan itu mempunyai kepastian

hukum, kemanfaatan, seni bahasa (keindahan) dan keadilan bagi para pihak pencari

keadilan. Argumentasi sebagai dasar dan cara penemuan hukum hakim atau ijtihad

hakim dalam putusan tersebut terdiri dari:


a. Argumentasi yuridis (Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam/

Kompilasi Hukum Islm (KHI).

b. Argumentasi Yurisprudensi

c. Argumentasi hukum kebiasaan atau adat, Ushul Fiqh, Fiqh, Kaidah Ushul Fiqh, dan

lain-lain.

d. Argumentasi moral

e. Argumentasi sosiologis

f. Argumentasi penafsiran atau interpretasi hukum

Pada umumnya fungsi Legal Reasoning adalah sebagai sarana mempresentasikan

pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum antara seseorang dengan

seorang lainnya, atau antara masyarakat dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang

menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replica dan duplika percontohan

terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap

tindak aparatur hukum dan lembaga peradilan. 9 Dalam situasi tersebut maka

untuk memperoleh kepastian tentang kaidah yang relevan dapat ditempuh dengan

pendekatan kasus, yakni membangun argumentasi hukum dengan mengacu pada

pendapat hukum yang dirumuskan hakim dalam sebuah putusan pengadilan.

Begitu pentingnya penalaran, termasuk penalaran hukum sebagai sebuah alat

dalam argumentasi hukum. Maka tidak satupun orang terlepas dari fungsi dan

penggunaan penalaran, baik di kalangan hakim, advokat, ataupun masyarakat pencari

keadilan pada umumnya. Dan dalam penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau

penegak hukum lainnya kadang-kadang sering ditemukan kesalahan dalam


mengaplikasikan argumentasi dan logika hukum. Sehingga timbul penafsiran hukum

yang keliru. Namun kekeliruan dalam penafsiran hukuk ini bisa diperbaiki dengan

pembelajaran formal maupun informal seperti dilakukan pembinaan karir hakim

dengan promosi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga hakim tersebut bisa

mendapatkan pengalaman yang lebih dari masalah-masalah baru yang ditemukan

dengan sistem penalaran dan logika hukum yang baik.

G. Legal Reasoning Dalam Penyusunan Konsep Hukum

Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal

reasoning ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus

dengan kasus yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-

konsep hukum (legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu

kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan

ketidakmampuan untuk mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan

menghambat perubahan hukum.

Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu

mempunyai ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil

itu. Sebagaimana diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu

metofora, bahwa: “suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan

berakhir dengan memperbudaknya”.

Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus

menjadi perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk

memperhatikan pentingnya kesamaan atau perbedaan, maka perbandingan akan


timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya diterima, maka ia akan

menjadi konsep hukum.

Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi

lingkaran konsepsi hukum sebagai berikut:

1. Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi

sebagaimana diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus

dengan kasus-kasus yang lain,

2. Kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit

banyaknya menjadi suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh

terus berlangsung untuk mengklasifikasikan hal-hal yang ada di luar dan di

dalam konsep tersebut.

3. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi keruntuhankonsep tersebut,

apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan

membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi

diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan

kemudian mengalami reasoning kembali, demikian seterusnya yang

terjadi sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.

H. Sifat Induktif dan Deduktif Dalam Legal Reasoning

Adalah telah menjadi pendapat yang umum bahwa proses reasoning

dengan berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa reasoing

dengan menggunakan undang- undang adalah cara berpikir deduktif. Namun

pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang

tercipta di dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan
induktif sepenuhnya, tetapi arahnya memang dari khusus ke umum. Telah

dibuktikan bahwa ketentuan umum mendapatkan artinya dalam hubungan-

hubungan yang terjadi pada kasus-kasus khusus. Akan tetapi ia juga

mempunyai kemampuan untuk mendorong implikasi dari kasus yang menjadi

hipotesis yang dibawanya dan bahkan dengan kemampuan untuk mendorong

kategori yang lain yang mempunyai kesamaan. Kata-kata “bahaya yang ada”

misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”. Dengan demikian

kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk dimasukkan ke

dalam kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan merupakan cara reasoning

yang deduktif.

Sedangkan dalam penerapan reasoning melalui undang-undang adalah

datang dari arah yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam

undang-undang, hal ini tidak dapat dipandang ringan karena kata-kata tersebut

merupakan kemauan pembuat undang-undang (legislatif). Pihak legislatif mungkin

saja menyimpan suatu kasus tertentu di dalam pikirannya, tetapi yang

dikeluarkan adalah kata-kata yang berbentuk terminologi umum.

Jadi dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah

penting, tetapi kata-kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti.

Laporan-laporan dan catatan dalam penyusunan undang-undang mungkin dapat

menolong. Rancangan-rancangan undang-undang terdahulu akan menunjukkan

perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan

keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam

menafsirkan undang-undang untuk menyusun legal reasoning melalui

undang-undang.
Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning

berdasarkan penafsiran undang- undang adalah melibatkan cara berpikir yang

deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata- kata yang ada di dalam undang-

undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus tertentu secara khusus.

Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal

reasoning diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum

tersebut tetap berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam

penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan

peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan untuk

menjaga agar tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-

undang atau peraturan lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa

hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan

esensi dari sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya

dalam lingkup hukum yang berlaku.

I. Peranan Interpretasi dalam Legal Reasoning

Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya,

bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari

penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan

terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian

perundang-undangan. Jika suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan

tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar

hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang menjadi

penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Peranan pandangan

ahli filsafat hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu dalam
memperkenalkan teori hukum sebagai “interpretative concept” yang membawa

pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli teori hukum dalam memberi

kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning.

Interpretasi merupakan suatu konsep Janus-faced, yaitu yang harus

mempertimbangkan dua arah, backward dan forward looking, yaitu: mencari

dasar ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang ke depan

(menyusun konsep baru), dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah

interpretasi tentang “sesuatu“, haruslah terlebih dahulu dianggap bahwa ada

sesuatu, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran

yang absah itu dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi

dengan penciptaan murni, akan tetapi interpretasi juga bukan hanya merupakan

upaya untuk melakukan reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau

mengambil sesuatu keluar dari yang aslinya.

Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi

mempunyai peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu:

1. Dalam reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/

kasus yang terjadi,

2. Dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan

keputusan dalam masalah/ kasus yang sedang dihadapi.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagai

kesimpulan, lain:

1. Logika merupakan dalil yang kuat untuk mengemukakan argumentasi yang

baik. Maka dari itu diperlukan sistem penalaran melalui konstrukti dan

interpretasi (penafsiran hukum) bagi para penegak hukum, seperti hakim,

pengacara, praktisi hukum, mahasiswa hukum untuk mengemukakan pendapat

hukumnya atau yang dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Reasoning

dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan.

2. Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam

memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Maka istilah

‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjuk pada bentuk

penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir yang tepat

dan valid dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada

penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat
dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum dengan

demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran (logika) dalam hukum’.

3. Terdapat dua bentuk dasar penalaran yakni induksi dan deduksi. Agar penalaran

induksi dan deduksi valid, aturan-aturan atau hukum-hukum penyimpulan dari

kedua model penalaran ini harus diperhatikan

Daftar Pustaka

Buku
Abraham, Amos HF. Legal Opinion Teoritis & Empirisme. Jakarta: PT. Grafindo
Persada , 2007
Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, Metro, 1994
Golding, Martin P. Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc., 1984
J.J.H. Bruggink, Op Zoek Naar Het Recht, Wolters-Noordhoft Groningsen, The
Netherlands, 1987
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
cipta,2001
Philipus M.Hadjonn, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2005
Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2014

Jurnal
Urbanus Ura Weruin. 2017. Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum, Jurnal
Konstitusi, Vol 14
H.Enju Juanda, S.H.,M.H. 2017. Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Universitas Galuh,
Vol.5
Ruslan H.R, Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim dalam Berpendapat.

Anda mungkin juga menyukai