Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Logika Hukum

Disusun oleh:
Layar Mutiara (22110136)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN
GUPPI
2023
LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

A. PENDAHULUAN
Hukum sebagaimana diharapkan dalam pembentukannya, direncanakan
sebagai sarana alat rekayasa sosial (tool of social engineering). Oleh karenanya
hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Law
as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam
istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam
masyarakat. Peran hukum sebagai alat rekayasa sosial, tidak dapat dipisahkan dari
dari proses berfikir kritis terhadap fenomena-fenomena sosial yang timbul dalam
masyarakat. Hal ini tentu membutuhkan logika dan penalaran hukum untuk dapat
mengambil keputusan-keputusan yang adil dalam masyarakat.
Pemahaman terhadap logika, penalaran hukum merupakan syarat mutlak
yang tak bisa ditawar bagi praktisi hukum yang handal. Logika, penalaran hukum
menjadi dasar bagi praktisi hukum untuk berpikir kritis dan argumentatif dalam
memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik hukum. Hanson (2010)
dalam Legal Method, Skills, and Reasoning, menyatakan bahwa studi hukum
secara kritis dari sudut pandang logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum
dibutuhkan karena pemahaman hukum dari perspektif semacam ini berusaha
menemukan, mengungkap, menguji akurasi, dan menjustifikasi asumsi-asumsi
atau makna-makna yang tersembunyi dalam peraturan atau ketentun hukum yang
ada berdasarkan kemampuan rasio (akal budi) manusia. Kemampuan semacam ini
tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum
melainkan juga dalam seluruh bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar hukum.
Logika berasal dari Bahasa Yunani ‘logikos’ yang berarti “berhubungan
dengan pengetahuan”, dalam bahasa Indonesia sendiri kata Logika diartikan
sebagai “jalan pikiran yang masuk akal” (KBBI V, 2023) Pada buku Introduction
to Logic merumuskan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-
hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran
yang salah’ (Copi & Carl, 1997). Logika berperan sebagai alat untuk mengontrol
emosi, perasaan, prasangka, bahkan juga hasrat manusia yang berkecamuk dalam
perumusan, pelaksanaan, dan penerapan hukum. Pertimbangan dan penalaran
logis menjamin objektivitas dan imparsialitas hukum.
Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term
dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan
menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian
jelas bahwa penalaran merupakan sebuah bentuk pemikiran. Bentuk
pemikiranyang lain adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau pernyataan.
Pengertian, proposisi, dan penalaran memiliki hubungan yang tak terpisahkan.
Karena penalaran mensyaratkan proposisidan proposisi mengandaikan pengertian.
‘Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi’.
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam
memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum.
Pengambilan keputusan hukum (decision-making) bukan sekedar persoalan
penalaran, tetapi tuntutan agar setiap putusan dapat dinalar secara akal sehat dan
logis, sehingga hal tersebut merupakan sebuah keharusan yang tak dapat ditawar.
Bahkan keharusan tersebut, bukan sesuatu yang dituntut “setelah” menghadirkan
fakta-fakta dalam proses hukum melainkan inheren dalam proses hukum itu
sendiri. Logika dan penalaran hukum tidak lain adalah upaya menjelaskan
kriteria-kriteria logis mana yang dapat digunakan untuk menentukan suatu aturan,
argumen, pendapat, atau putusan hukum baik atau buruk, benar atau salah, dapat
diterima atau harus ditolak.
Sebagian orang berpendapat bahwa hukum hanya berurusan dengan data,
fakta, atau pengalaman praktis dan bukan pemikiran abstrak, rasional atau logis.
Penalaran hukum lalu dianggap tidak perlu diajarkan kepada mereka yang
mempelajari hukum karena tidak “membumi”. Hukum harus dipelajari melalui
pengalaman konkret saja. Namun, Swisher (1981) menegaskan bahwa mahasiswa
hukum perlu diajarkan prinsip-prinsip logika dasardan penalaran hukum. Ibarat
seorang perenang yang perlu mempelajari teknik dan cara berenang agar dapat
bertahan di air, demikian juga mahasiswa hukum perlu dibekali dengan
pemahaman dan keterampilan penalaran hukum agar dapat bertahan. Dengan
logika dan penalaran hukum, mahasiswa dan para praktisi hukum mampu
memahami hukum secara kritis dan rasional serta menunjukkan dasar-dasar
pembenaran suatu klaim hukum.
Oleh karenanya, berdasarkan hal yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
ingin menjelaskan mengenai pentingnya mempelajari logika dan penalaran dalam
hukum.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Logika
Menurut Bagus (2000), Logika adalah teori mengenai syarat-syarat
penalaran yang sah. Penalaran yang bertolak dari satu atau lebih pernyataan
yang disebut kesimpulan. Bila kesimpulan berasal dari premis-premis secara
niscaya, proses itu disebut deduksi; penalaran deduktif, logika deduktif. Bila
kesimpulan berasal dari premis-premis dengan derajat kemungkinan, proses
itu disebut induksi; penalaran induktif, logika induktif.
Logika diartikan sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (Patterson,
1942). Pada buku Fundamentals of Philosophy merumuskan logika
sebagai‘thinking about thinking’ (Stewart dan Blocker, 1996). Sedangkan
buku Introduction to Logic merumuskan logika sebagai ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan
penalaran yang betul dari penalaran yang salah’ (Copi & Carl, 1997).
Logika, yang dalam bahwa Yunani Logikos artinya "berhubungan
dengan pengetahuan" “berhubungan dengan bahasa”, merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang
harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan kita sah. Logika tidak
mengajarkan apa pun tentang manusia dan dunia. Dengan kata lain, Logika
adalah ajaran tentang berpikir tertib dan benar atau merupakan ilmu penarikan
kesimpulan tanpa meninggalkan kaidah atau hukum berpikir, dan tidak
mempermasalahkan kebenaran isi, tetapi mempermasalahkan kebenaran tata
tertib yang menjadi panutan cara berpikir agar memperoleh hasil yang benar.
Logika hanya merupakan suatu teknik atau seni yang mementingkan segi
formal, bentuk dari pengetahuan. Jadi logika adalah bidang pengetahuan yang
mempelajari segenap asa, aturan, dan cara-cara penalaran yang betul/correct
reasoning. Logika adalah strategi berpikir yang dilakukan melalui
pertimbangan yang koheren. Ada hubungan antara pertanyaan dan jawaban,
sehingga disebut juga “cara berpikir lurus". Artinya, logika adalah cara
menalar yang dapat diterima oleh akal, mengenai hipotesis, jawaban, dan
kesimpulan.
2. Penalaran Hukum
Secara etimologis penalaran berasal dari kata “nalar” yang berarti,
pertimbangan tentang baik, buruk: akal budi; misal: setiap keputusan harus
didasarkan akal sehat, atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir
yang logis; jangkauan pikir dan kekuatan pikir. Sedangkan penalaran hukum,
adalah penalaran yang terjadisaat menginterpretasikan aturan hukum, ketika
itulah anda sedang masuk wilayah "legal reasoning" (penalaran hukum). Saat
"legal reasoning" ini orang dapat juga mengidentifikasikannya sebagai "legal
argumentation" (argumentasi yuridis), karena dengan melakukan "legal
reasoning", orang diandaikan sebagai tengah terlibat di dalam usaha
membangun argumen-argumen hukum. Bagaimanapun pada "legal
reasoning" ini di dalamnya terlingkup tipe-tipe penalaran yang dilihatnya
sebagai proses intelektual untuk pada dasarnya sampai kepada inferensiatif.
(Bakir, 2005)
Legal reasoning tidak terbatas pada apa yang dilakukan oleh Hakim,
khususnya ketika para hakim dalam menyelesaikan kasus di tuntut untuk
menyelesaikan gejala-gejala problematik di bidang hukum. Legal Reasoning
semata-mata ditunjukkan untuk memelihara rasionalitas dan konsistensi (taat
asas) atau doktrin pada praktek hukum, dan untuk melaksanakan berbagai
aktivitas yuridik; misalnya pembentukan undang-undang penerapan hukum;
penyelenggaraan peradilan; perancangan hukum; negosiasi serta logika
hukum.
Menurut Ibrahim (2006) penalaran Hukum (Legal Reasoning) merupakan
salah satu unsur yang harus dipahami oleh seorang peneliti hukum karena
tanpa pemahaman terhadap penalaran hukum, maka seseorang peneliti akan
kehilangan arah dan bukan menemui kesulitan besar dalam
mensistematisasikan bahan hukum yang menjadi topik, serta dapat
mempengaruhi kualitas ilmiah kesimpulan penelitiannya. Ibrahim, tidak hanya
membatasi penalaran hukum ini hanya kepada kegiatan oleh hakim, akan
tetapi para peneliti hukum pun harus dapat mengetahui penalaran hukum.
Baginya, studi penalaran hukum mempelajari pertanggungjawaban ilmiah dari
segi ilmu hukum terhadap proses pertumbuhan suatu keputusan hukum
(judicial decision making), yang meliputi argumentasi dan alasan-alasan logis
sebagai alasan. kebenaran (justification) terhadap keputusan hukum yang
dibuatnya.
Menurut Sidharta. (2009) penalaran hukum dianggap sebagai "proses
berpikir problematika tersistematis". Penalaran hukum kegiatan berfikir
problematis, ini ditunjukkan kepada wilayah-wilayah penalaran hukum
praktis. Penalaran ini, berada dalam berada dalam konsep argumentasi
yuridik, atau yang sering dilakukan oleh hakim.
Oleh karenanya dapat pengertian sederhana dari legal reasoning adalah
penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau
pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/
kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasikan hukum dan
bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Pengertian lainnya yang
sering diberikan kepada legal reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari
dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang
merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-
lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata,
ataupun administratif) dan memasukkan-nya ke dalam peraturan hukum yang
ada.
3. Bentuk Dasar Penalaran
Pentingnya logika dalam aktivitas penalaran hukum tidak terbantahkan.
Pada proses penalaran hukum, logika berperan sebagai alat bantu untuk
memahami kerumitan suatu masalah hukum. Proses penalaran merupakan
proses berpikir yang sistemik untuk memperoleh kesimpulan berupa
pengetahuan. Dari proses bernalar, maka Penalaran hukum dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu:
a. Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif dimulai dari kesimpulan terlebih dahulu,
penalaran ini dari hal yang umum, atau yang berupa kesimpulan umum.
Penalaran deduktif menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku
khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum. Paragraf deduktif
menempatkan kalimat utama pada awal paragraf.
Contoh: Pencuri dapat dihukum
Penipu dapat dihukum
Perampok dapat dihukum
Setiap Penjahat dapat dihukum
Pada penalaran deduktif terdapat jenis-jenis logika yang digunakan, antara
lain:
i. Silogisme Katagorial
Berikut ini merupakan kaidah Silogisme Katagorial:
1) Silogisme harus terdiri atas tiga term: term mayor, term minor;
term penengah.
2) Silogisme terdiri atas tiga proposisi; premis mayor, premis minor
dan kesimpulan.
3) Dua premis yang negatif tidak menghasilkan kesimpulan.
4) Bila salah satu premisnya negatif, kesimpulannya pasti negatif.
5) Dari premis yang positif, akan dihasilkan kesimpulan positif,
6) Dari dua premis yang khusus, tidak padat ditarik satu kesimpulan.
7) Bila premisnya khusus, kesimpulannya akan bersifat khusus.
8) Dari premis mayor khusus, dan premis minor negatif tidak dapat
ditarik satu kesimpulan.

ii. Silogisme Hipotetisme


1) Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian
antecedent. Contoh: Jika hujan saya naik mobil. Sekarang hujan.
Jadi saya naik mobil.
2) Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian
konsekuennya. Contoh: Bila Kemarau bumi akan panas. Sekarang
kemarau. Jadi, sekarang panas.
3) Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari
antecedent. Contoh: Jika Kekuasaan Otoriter, maka kegelisahan
akan Muncul. Kekuasaan tidak otoriter, jadi, kegelisahan tidak
muncul
4) Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari
konsekuen. Contoh: Bila pemilu curang, mayarakat akan ribut.
Masyarakat tidak ribut, jadi pemilu tidak curang
iii. Silogisme Alternatif
1) Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi
alternatif.
2) Posisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah
satu alternatifnya.
3) Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain
Contoh: la juara atau tidak juara. Ternyata ia juara. Jadi, ia bukan tidak
juara.
iv. Entimen
Silogisme ini yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
Contoh:
PU: Semua A=B: Siswa yg baik selalu masuk tepat waktu
PK: Annisa siswa yang baik
S: Annisa selalu masuk tepat waktu Entimen: Annisa selalu masuk
tepat waktu karena ia siswa yang baik.

b. Penalaran Induktif
Penalaran induktif adalah metode berfikir dengan cara menarik
kesimpulan dari pengamatan atas gejala-gejalayang bersifat khusus.
Penalaran Indukti, kebalikan dari penalaran deduktif yaitu; proses
penalaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku
umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus
Contoh: Pencuri pasti akan dihukum
Si X adalah pencuri
Si X pasti dihukum
Pada penalaran induktif, proses penalaran dibagi menjadi 3 metode, yaitu:
i. Generalisasi
Generalisasi adalah proses berpikir yang bertujuan menarik
kesimpulan umum dari berbagai kalimat khusus
Contoh: Aminah anak Pak Malik pintar mengaji
Abdullah anak Pak malik pandai mengaji
Aisyah istri Pak Malik khatam Qur'an 2 kali
Generalisasi: Keluarga Pak Malik pintar mengaji
ii. Analogi
Analogi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan
tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu
gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat esensi penting yang
bersamaan.
iii. Kausal
Yakni metode penalaran yang menghubungkan fakta yang satu
dengan fakta yang lainnya, sehingga sampai pada kesimpulan yang
menjadi sebab dari fakta itu. Atau bisa juga terjadi rentetan fakta.
Misalnya: A - B -> C -> D dan seterusnya.

4. Langkah-Langkah Penalaran Hukum


Seorang hakim yang melakukan kegiatan berpikir, maka ia sedang
memasuki suatu wilayah penalaran hukum (legal reasoning). Seorang penalar,
untuk menemukan kunci atas permasalahannya ia tidak selalu berada pada
jalan yang lurus, adakalanya seorang penalar hukum menemukan halangan
dan rintangannya. Misalnya, pada saat hakim melakukan proses penalaran
hukum, ia menemukan dakwaan yang kabur, pertanyaannya apakah dakwaan
itu dapat dilanjutkan ke langkah penalaran berikutnya, dapat dijawab dakwaan
itu batal demi hukum, maka proses menalarnya dapat kembali ke langkah
pertama. Saat melakukan penalaran hukum ini, menurut Gr. Van der Brught &
J. D. C Winklman (1994) seorang hakim harus mempunyai langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Hakim harus meletakan sebuah pemetaan kasus atau memaparkan sebuah
kasus. Atau memaparkan secara singkat duduk perkaranya (menetapkan
kasus)
b. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi)
c. Menyeleksi aturan hukum yang relaven (pemilihan aturan hukum)
d. Menafsirkan dan menganalisisnya terhadap aturan hukum itu (interpretasi)
e. Menerapkan aturan hukum itu pada kasus konkret (penerapan hukum)
f. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan
penyelesaian (argumentasi hukum)
g. Merumuskan (formulasi) penyelesain kasus (pemecahan masalah)
tersebut.
5. Tujuan Logika dan Penalaran Hukum
Pertimbangan dan penalaran logis menjamin objektivitas dan
imparsialitas hukum, karena dengan penalaran logika hukum tidak lagi
mendasarkan diri pada kepentingan dan pertimbangan lain di luar nalar dan
akal sehat. Dengan logika, kepastian hukum pada akhirnya didasarkan pada
relasi antara keduanya dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif.
Berikut ini adalah tujuan dari Logika dan Penalaran dalam hukum:
a. Menjamin kesahihan suatu argumentasi dan salah satu jalan untuk
mendekatkan diri pada kebenaran dan keadilan;
b. Membantu para calon praktisi hukum, lawyer, para jaksa dan hakim,
menganalisis, merumuskan, dan mengevaluasi fakta, data, dan
argumentasi hukum; kemampuan dalam bidang ini merupakan makhkota
dan jantung keterampilan para lawyer dan hakim dalam memutuskan suatu
perkara hukum;
c. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip penyimpulan logis tidak hanya
berguna dalam memahami persoalan, praktik, dan putusan hukum,
melainkan juga pengalaman-pengalaman empiris sehari-hari serta
observasi ilmiah.
d. Domain utama dan esensi praktik atau putusan hukum tidak lain dari
penalaran praktis dengan logika sebagai basisnya.
Selain itu, secara khusus penalaran hukum (legal reasoning) juga dapat
memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a. Bagi para hakim, legal reasoning ini berguna dalam mengambil
pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus.
b. Bagi para praktisi hukum, legal reasoning ini berguna untuk mencari
dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk
menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa
perbuatan hukum tersebut.
c. Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini
berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan
mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan.
d. Bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian
yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak
hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki.

C. PENUTUP
Logika dan penalaran hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip -prinsip berpikir lurus (logika) dalam
memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum, dengan penalaran
logika, hukum tak lagi mendasarkan diripada kepentingan dan pertimbangan lain
di luar nalar dan akal sehat. Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip
berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi
hukum.
Istilah ‘penalaran hukum’ (legal reasoning) sejatinya tidak menunjuk pada
bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir yang
tepat dan valid dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak
ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang
tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Logika dan penalaran
hukum atau legal reasoning adalah suatu cara atau sistem dalam pembadanan hukum
agar proses penegakan hukum atau pengambilan keputusan hukum yang didasari oleh
penafsiran hukum akibat adanya kekaburan hukum berjalan dengan baik sehingga
tujuan hukum untuk mencapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dapat
tercapai.
Oleh karena itu harus dipahami bahwa pemahaman terhadap logika dan
penalaran hukum, merupakan syarat mutlak bagi para lawyer, hakim, jaksa,
praktisi hukum, bahkan juga bagi para mahasiswa hukum dan masyarakat umum
yang meminati persoalan hukum agar mampu berpikir kritis dan argumentatif
dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik hukum. Selain
itu, tidak hanya semakin diperlukan, logika dan penalaran hukum juga selalu
relevan. Karena studi tentang logika, penalaran, dan argumentasi hukum tidak lain
dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis mana yang dapat digunakan untuk
menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau putusan hukum baik atau
buruk, benar atau salah, dapat diterima atau harus ditolak

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bakir, Herman. 2005. Kastil Teori Hukum. Jakarta: Kompas.
Copi, Irving M., & Cohen Carl. 1997. Introduction to Logic. 10th ed. Richmond
Tx.:Prentice Hall.
Fajlurrahman, Jurdi. 2019. Logika Hukum. Prenada Media.
Hanson, Sharon, 2010, Legal Method, Skills, and Reasoning. Milton Park, Abingdon,
Oxon: Routledge-Cavendish.
Ibrahim, Jhonny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia Publishing.
KBBI, 2023. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 15 Mei 2023].
Patterson, Edwin W. 1942. “Logic in the Law”. University of Pennsylvania Law
Review, vol. 90, No. 8, 875-909.
Rakhmat, Muhamad. 2015. Logika Hukum: Dialog Antara Analitik Sintetik Hingga
Pembacaan Terhadap Dekontruksi atas makna Teks & Realitas Hukum.
Majalengka: Unit Penerbitan Universitas Majalengka.
Salle &Nurul Qamar. 2018. Logika dan Penalaran dalam Ilmu Hukum. Makassar:
CV. Social Politic Genius (SIGn).
Sidharta, Bernard Arief. 2009. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
Bandung:Mandar Maju.
Stewart, David, & Blocker, H. Gene, 1996, Fundamentals of Philosophy, New Jersey:
Prentice Hall.
Swisher, Peter Nash. 1981, “Teaching Legal Reasoning in Law School: The
University of Richmond Experience”, paper presented to to the AALS Legal
Writing,Reasoning and Research Section in San Antonio, Texas, January 5,
1981.On line as 74 I. Lib. J. 534 (1981).

Anda mungkin juga menyukai