0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
81 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas masalah overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Semarang. Overcapacity terjadi karena jumlah narapidana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sementara fasilitas dan sarana prasarana tidak ditingkatkan. Hal ini berimplikasi negatif seperti pengamanan dan pembinaan narapidana yang tidak maksimal. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi overcapacity adalah pembebasan narapidana
Dokumen tersebut membahas masalah overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Semarang. Overcapacity terjadi karena jumlah narapidana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sementara fasilitas dan sarana prasarana tidak ditingkatkan. Hal ini berimplikasi negatif seperti pengamanan dan pembinaan narapidana yang tidak maksimal. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi overcapacity adalah pembebasan narapidana
Dokumen tersebut membahas masalah overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Semarang. Overcapacity terjadi karena jumlah narapidana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sementara fasilitas dan sarana prasarana tidak ditingkatkan. Hal ini berimplikasi negatif seperti pengamanan dan pembinaan narapidana yang tidak maksimal. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi overcapacity adalah pembebasan narapidana
Angkatan/Kelompok : XLII/II Nama Mata Pelatihan : Analisis Isu Kontemporer Nama Pemateri : Didik Heru Sukoco Nama Peserta : Layar Mutiara Nomer Daftar Hadir : 18 UPT : LPP Kelas IIA Semarang
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan institusi dari sub sistem
peradilan pidana mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara dan sekaligus sebagai tempat bagi pembinaan narapidana sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Fungsi Lapas ini sesungguhnya sudah sangat berbeda dan jauh lebih baik dibandingkan dengan fungsi penjara jaman dahulu dengan dasar hukum Peraturan Penjara. Sebagai lembaga pembinaan, Lapas mendidik napi agar menjadi manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, yang memiliki kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, memiliki kemampuan intelektual dan berkesadaran hukum. Sebagai lembaga pembangunan, Lapas bertugas membentuk narapidana sebagai manusia pembangunan yang produktif, baik selama di dalam Lapas maupun setelah berada kembali di masyarakat serta ikut mensukseskan pembangunan. Namun begitu dalam perjalanan waktu tampak jelas bahwa tujuan pembinaan napi ini banyak menghadapi hambatan dan berimplikasi pada kurang optimalnya bahkan dapat menuju pada kegagalan fungsi sebagai lembaga pembinaan. Permasalahan mendasar yang tampak riil adalah adanya kelebihan hunian (overcapacity) narapidana di Lapas-Lapas hampir seluruh Indonesia. Seperti juga yang dialami oleh Lapas Perempuan Kelas II A Semarang. Lapas Perempuan Kelas II A Semarang saat ini juga tengah mengalami masalah overcapacity. Kelebihan jumlah narapidana yang tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas, sarana, dan prasarana mengakibatkan overcapacity. Peningkatan fasilitas dan pembangunan kamar atau ruangan baru juga tidak bisa sembarangan dilakukan karena bangunan dari Lapas Perempuan Kelas II A Semarang yang merupakan bangunan cagar budaya, membuatnya memperoleh perlakuaan khusus yang tidak boleh sembarangan dipugar. Prosentase input narapidana baru dengan output narapidana sangat tidak seimbang, dengan perbandingan input narapidana baru jauh melebihi out put narapidana yang selesai menjalani masa pidana penjaranya dan keluar dari Lapas. Selain banyaknya peningkatan pada terjadinya tindak pidana tersebut di atas, tampaknya terdapat beberapa faktor pendorong lain yaitu terjadinya overcapacity paradigma atau faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksud di sini utamanya hukum pidana materiil, formil serta hukum pelaksanaan pidana penjara. hakim cenderung menjatuhkan vonis penjara terhadap terdakwa. Dari hal-hal yang kecil (seperti mencuri dompet) sampai dengan korupsi dan pembunuhan, terdakwa divonis pidana penjara. Hal ini terjadi dimungkinkan karena hakim tidak mempunyai alternatif lain selain pidana penjara. Politik pemidaaan saat ini yang tidak tepat sehingga setiap orang dapat dengan mudah masuk penjara dan menyebabkan kondisi Lapas overcapacity. Overcapacity cenderung berimplikasi negatif terhadap beberapa hal antara lain rendahnya tingkat pengamanan dan pengawasan. Pengamanan yang rendah dapat memicu berbagai masalah antara lain kaburnya napi, banyak terjadi keributan dan tidak terlaksananya proses pembinaan napi sebagaimana yang seharusnya terjadi. Implikasi lain atas lemahnya pengawasan ini berimbas pula pada tingkat kriminalitas di Lapas. Hal ini bermuara kepada proses pembinaan yang justru memicu masalah pengulangan tindak pidana (recidive) atau masalah labeling atau stigmatisasi bagi seorang mantan narapidana. Overcapacity juga berpengaruh terhadap anggaran negara karena biaya makan penghuni menjadi meningkat. Sarana pembinaan yang sebelumnya sudah sangat minim menjadi semakin minim, karena dana terkonsentrasi untuk menanggulangi makan narapidana. Sebagai akibat lanjutan, pelayanan dan pengamanan narapidana tidak maksimal. Dampak lainnya yang muncul akibat dari kondisi overcapacity antara lain adalah munculnya kasus-kasus pelecehan seksual, masalah kesehatan dan masalah kekerasan.. Beberapa kebijakan dalam rangka mengurangi overcapacity tampaknya telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan penyederhanaan persyaratan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, asimilasi, dan cuti menjelang bebas. Kebijakan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi virus corona (Covid-19) telah menekan angka kondisi kelebihan penghuni (overcapacity) hingga 30 persen di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka tampaknya harus dilakukan upaya lain dalam upaya mengatasi masalah overcapacity narapidana dalam Lapas. Beberapa tindakan yang bersifat non-institutional antara lain pidana bersyarat, probation, pidana yang ditangguhkan, kompensasi, restitusi dan sebagainya. Dalam perkembangan yang terkini melalui model restorative justice tampaknya dapat mengurangi populasi napi dalam Lapas dan aspek keadilan tetap dapat tercapai dengan baik. Selain itu para hakim juga harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sehingga diharapkan tidak menjatuhkan pidana penjara apabila ditemukan keadaan yang memungkinkan narapidana mendapatkan pembinaan/rehabilitasi di luar Lapas. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah mendorong Pemerintah untuk segera menyelesaikan penyusunan Rancangan Undang-Undang KUHP dan segera melakukan pembahasan RUU tersebut bersama dengan DPR. Salah satu substansi dalam RUU KUHP yang sangat berpengaruh terhadap rehabilitasi narapidana adalah mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan ini dapat menjadi parameter bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana yang tepat bagi terpidana.