Dosen Pengampu :
Rahmadi Indra Tektona, S.H., M.H.
Disusun Oleh :
Ayu Nur Khasanah 170710101288
Kelas :
Logika dan Argumentasi Hukum (A)
Fakultas Hukum
Universitas Jember
2019
PENGERTIAN
Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti
“berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. 1Kata Latin logos
(logia) berarti perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku
Fundamentals of Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking.
2
Patterson merumuskan logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of
straight thinking). 3Irving M. Copi dalam buku Introduction to Logic merumuskan logika
sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk
membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah’. Sementara penalaran
adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi,
menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar
proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa penalaran merupakan sebuah
bentuk pemikiran.4
Bentuk pemikiran yang lain adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau
pernyataan. Pengertian, proposisi, dan penalaran memiliki hubungan yang tak
terpisahkan. Karena penalaran mensyaratkan proposisi dan proposisi mengandaikan
pengertian. ‘Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa
proposisi’.5
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam
memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum,
logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan
secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka
istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk
penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam
bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai
1
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008, h. 21.
2
Lihat David Stewart dan H. Gene Blocker, Fundamentals of Philosophy, 4th e., New Jersey: Prentice Hall, 1996, h.
45.
3
Edwin W. Patterson, 1942, Ibid., h. 876.
4
Lihat R. G. Soekadijo, Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, cet. Ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003, h. 3.
5
6 R. G. Soekadijo, op.cit., h. 3.
ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar
logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran
(logika) dalam hukum’.6
penalaran tersebut tidak terlepas dari tiga aspek penting dalam filsafat: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Tinjauan atas ketiga aspek tersebut “hukum” menjadi sisi
nalar melalui beberapa model penalaran, yaitu: empirisme logis, empirisme analitis,
rasionalisme kritis, dan konstruktivisme kritis. Dengan demikian penalaran hukum, tidak
hanya sekedar berpikir teoritis, tetapi juga berpikir praktis untuk mengubah keadaan.
Tentunya, sudut pandang penalaran hukum, akhirnya akan bermuara pada aliran-aliran
filsafat hukum, yang tetap mengikuti ragaan pencabangan filsafat (ontologi, epistemologi,
dan aksiologi). Melalui pencabangan filsafat, penalaran hukum dapat kita temukan
dibeberapa literatur antara lain: aliran hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme,
mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum, teori hukum pembangunan.
Bahkan era postmodern, kembali menghidupkan gerakan realisme dengan critical legal
study movement (CLS), yang mengarahkan untuk penciptaan aliran “hukum ideal”.
6
Lihat Irving M. Copi & Cohen Carl, Introduction to Logic, Richmond-Tx., Prentice Hall, 1997, h. 3.
(logika) dalam hukum’.
Menurut The Liang Gie, logika dibagi menjadi lima macam, yaitu:
1) Logika dilihat dari maknanya
a. Logika makna luas
b. Logika makna sempit
4) Logika murni (tersusun secara sistematis) dan terapan (dipakai dalam keseharian)
5) Logika filsafat dan logika matematika.
Penalaran (bentuk pemikiran) berkaitan sangat erat dengan aktivitas akal budi
manusia "berpikir." Berpikir itu sendiri merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Semua orang sudah melakukannya.
Dengan berpikir, kita mampu berdialog, menulis, mengkaji, satuan uraian, mendengarkan
penjelasan, dan mencoba menarik kesimpulan dari apa yang kita lihat dan kita dengar.
Karena itu dalam kegiatan berpikir kita dituntut untuk sungguh-sungguh melakukan
7
Aliet Noorhayati Sutrisno, 2015, Pengantar Logika, (Cirebon: CV. Confident).
pengamatan yang kuat dan cermat, supaya sanggup melihat hubungan, kejenggalan dan
kesalahan yang terselubung.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan
yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah
proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi
baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Dalam penalaran proporsi yang di jadikan dasar penyimpulan di sebut premis dan hasil
kesimpulannyadi sebut dengan konklusi di sebut konsekuensi.melalui proses
penalaran kita memperoleh kesimpulan yang berupa asumsi hipotesis atau teori.
penalaran di sini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis
berdasarkan fakta yang relevan.
Ilmu hukum dari segi segi objek dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang
dikenal dengan ilmu hukum dogmatic (ilmu hukum normative) dan ilmu hukum dalam arti luas,
dalam arti luas ilmu hukum dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari
sudut pandangan tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark
van Hoecke.
Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivism dan normative. Dari sudut
pandang ini dibedahkan menjadi dua yaitu ilmu hukum normative dan empiris. Sifat keilmuan
dapat dilihat dari tiga aspek yaitu; proses, produk dan produsen (ilmuwan)
Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema
berikut.
1.Filsafat Hukum
Filsafat hukum merupakan induk dari semua disiplin yuridik, karena membahas masalah
masalah fundamental yang yang tidak akan pernah berakhir.
Filsafat ukum tersusun atas proposisi proposisi normative dan evaluative, walaupun
informative juga ada didalamnya.
Karakteristik filsafat hukum yaitu mendasar/radikal, menyeluruh/holistic/totalistic,
spekulatif.
2.Teori Hukum
3. Dogmatik Hukum
Mempelajari aturan aturan hukum dari sudut pandang technical dan methodical
Bertujuan untuk praktik hukum
Objek kajian pada hukum positif
Mempelajari asas asas dan pengertian hukum.
o Filsafat hukum
Konsep : grondbegrippen
Eksplanasi : reflektif
Sifat : spekulatif
o Teori hukum
Konsep :algemene begrippen
Eksplanasi :analitis
Sifat :normative empiris
o Dogmatic hukum
Konsep : technischjuridisch begrippen
Eksplanasi : teknis yuridis
Sifat : normative
Meuwissen Mengemukakan ada Lima Dalil dari Filsafat Hukum yang Terkait dengan
Teori Hukum dan Dogmatik Hukum, yakni:
Filsafat hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental
dan masalah marginak yang berkaitan dengan gejalan hukum.
Tiga tataran abstraksi refleksi teoretikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum, teori
hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi
semua bentuk pengembanan hukum teoretikal dan pengembanan hukum praktikal.
Pengembanan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam kenyataan
kehidupan sungguh-sungguh mengenal tiga bentuk: pembentukan hukum, penemuan
hukum dan bantuan hukum. Di sini terutama Ilmu hukum dogmatika menunjukkan
kepentingan praktikalnya secara langsung.
Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan dengan hubungan antara hukum dan etika.
Ini berarti bahwa diskusi yang sudah berlangsung sangat lama antara para pengikut
Aliran Hukum Kodrat dan para pengikut Positivisme hingga kini masih tetap aktual.
Hukum dan etika dua-duanya merumuskan kriteria untuk penilaian terhadap perilaku
(tindakan) manusia: namun mereka melakukan hal ini dari sudut titik pandang yang
berbeda. Hukum adalah suatu momen dari etika.
Dalil kelima: filsafat hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari
hukum. “kenyataan hukum” harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari Ide
hukum (cita-hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk:
aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga hukum. Lembaga
hukum terpenting adalah Negara. Tetapi hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum
harus direfleksikan secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah “system terbuka”
yang didalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
4. Praktek Hukum
Praktek hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan
penerapan hukum. Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya
umum kedalam suatu kasus yang sifatnya kongret. Dalam ungkapan klasik disebut De
rechter is bounce de la loi, yang mengandung kiasan hakim adalah corong atau alat
undang-undang.
SILOGISME
1. Preposisi
Silogisme kategoris adalah silogisme yang terdiri dari tiga proposisi (premis) kategoris.
Contoh:
a. Menyangkut term-term.
1) Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari
tiga term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya
perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti
yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari
tiga term. Misalnya: Kucing itu mengeong Binatang itu kucing Jadi, binatang itu
mengeong
2) Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini
sebenarnya sudah jelas dari bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan
bagini: term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-
term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu, termantara (M)
hanya berguna dalam premis-premis saja.
3) Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam
premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh
universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini
sebenarnya merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos
quam praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja
dengan ‘generalisasi’.Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan
ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu
luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah kesimpulan
dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya: Kucing adalah makhluk
hidup Manusia bukan kucing Jadi, manusia bukan makhluk hidup
8
Alex Lanur. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius, 1983
(M) atau S - M Jadi, Si Fulan (S) dapat mati (P) atau S - P Term major adalah
predikat dari kesimpulan (kata ‘mati’). Term itu harus terdapat dalam kesimpulan
dan salah satu premis, biasanya dalam premis yang pertama. Premis yang
mengandung predikat itu disebut premis major. Kemudian term minor atau premis
minor adalah subyek dari kesimpulan. Termitu biasanya terdapat dalam premis
yang lain, biasnya dalam premis yang kedua. Premis yang mengandung subyek
itu disebut premis minor. Akhirnya, term-antara ialah term yang terdapat dalam
kedua dalam kedua premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan. Dengan term-
antara ini subyek dan predikat diperbandingkan satu sama lain. Dengan demikian,
subyek dan predikat dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain dalam
kesimpulan. Namun, dalam percakapan sehari-hari, dalam buku-buku atau
tulisantulisan, bagan sepertiitu tidak selalu tampak dengan jelas. Seringkali ada
keputusan yang tersembunyi. Kesulitan yang sama juga terdapat dalam keputusan.
Ketika berbicara berbicara tentang keputusan, sudah dianjurkan supaya keputusan
itu dijabarkan dalam bentuk logis, demikian juga, pemikiran-pemikiran dijabarkan
dalam bentuk silogisme kategoris. Dengan demikian, titik pangkalnya serta jalan
pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diperlihatkan dengan jelas. Untuk itu
perlu menentukan: - Menentukan dahulu kesimpulan mana yang ditarik; -
Mencari apakah alasan yang disajikan (M, term-antara); dan - Menyusun
silogisme berdasarkan subyek dan predikat (kesimpulan) serta term-antara (M).
1. Modus Ponens
premis 1 : p →q
__________________
Kesimpulan: q
Arti Modus Ponens adalah “jika diketahui p → q dan p, maka bisa ditarik
kesimpulan q“. sebagai contoh :
__________________
2. Modus Tollens
premis 1 : p →q
__________________
Kesimpulan: ~p
Modus Tollens berarti “jika diketahu p → q dan ~q, maka bisa ditarik kesimpulan
~p“. sebagai contoh :
___________________
3. Silogisme Disjunktif
adalah silogisme dimana premis mayor maupun minornya, baik salah satu maupun
keduanya, merupakan keputusan disjunctive.
Contoh :
Premis Mayor : Kamu atau saya yang pergi
Premis Minor : Kamu tidak pergi
Konklusi : Maka sayalah yang pergi
Silogisme disjungtive mempunyai dua buah corak diantaranya
4. Silogisme Konjungtif,
• Premis Mayor : Tidak ada orang yang membaca dan tidur dalam waktu yang bersamaan .
DEDUKTIF INDUKTIF
a. Pengertian
• Logika Deduktif:
Pengertian logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-
prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang
dihasilkan sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal pikiran yang jernih atau
sehat’. Atau logika deduktif adalah ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hokum-
hukum dalam berfikirm hokum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berfikirnya
benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).
• Dalam kajian logika deduktif, secara umum macam-macam definisi dibedakan menjadi
tiga, yaitu:Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang menjelaskan sebuah istilah’. Definisi
nominalis dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan dengan
memberi arti persamaan dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’;
Sawah-ladang adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan
tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan dari
istilah berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p => q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p
maka q, didefinisikan non (p dan non q); dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan
istilah dengan memberikan uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian
kata ‘filsafat’ berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan
‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.
• Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai oleh suatu istilah’.
Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi essensial, yaitu penjelasan
dengan cara menguraikan bagian penting atau mendasar tentang sesuatu hal yang
didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’, adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad,
jiwa dan ruh; Definisi ‘nilai’, adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman
hidup; (2) definisi deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau
ciri-ciri yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia adalah
‘bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi dan keadilan’, dan sebagainya.
• Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi manfaat dan
tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah ‘pemikiran secara kritis,
sistematis, rasional, logis, mendalam dan menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’;
(2) ‘Universitas atau Institut’ adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan
mencetak sarjana yang berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994;
Maram.R.R. 2007).
• Logika Induktif
Tabel Perbandingan
Deduktif Induktif
Alasan deduktif menerapkan aturan umum untuk membuat kesimpulan tentang kasus tertentu.
Alasan induktif mengamati pola dalam kasus tertentu untuk menyimpulkan kesimpulan tentang
peraturan umum.
Misalnya: Semua manusia fana. John adalah seorang pria. Oleh karena itu John adalah fana. Ini
adalah contoh penalaran deduktif yang valid. Di sisi lain, inilah contoh penalaran induktif:
Kebanyakan pria dengan tangan kanan. John adalah seorang pria. Karena itu, John harus dengan
tangan kanan. Kekuatan argumen induktif ini bergantung pada persentase orang kidal dalam
populasi. Bagaimanapun, kesimpulannya mungkin berakhir tidak valid karena penalaran induktif
tidak menjamin validitas kesimpulan.
c. Generalisasi
Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang
dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali
hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti.
Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa,
kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki
pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula
ragukan.9 Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan
dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi
tidak lengkap10. Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak
memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan
adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau
premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua
premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil
suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap.11 Bahkan manakala
seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian mengeneralisasikannya, maka
sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar
mungkin pula salah, namun yang lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah
kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada
sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati.
Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.
d. Analogi Retroduksi
9
Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,
1994), 135
10
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, 86.
11
Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher Epistemologi, 135.
Robert J. Strenberk (2008; 444) menjelaskan bahwa penalaran induktif merupakan
sebuah penalaran yang tidak mempunyai kesimpulan logis yang hendak dikejar.
Seringkali juga, penalaran induktif dimaksudkan sebagai penarikan fakta-fakta atau
observasi-observasi spesifik menuju kesimpulan umum yang hanya digunakan untuk
menjelaska ragam fakta yang ada. Dalam kata lain, penarikan pemahaman (penalaran)
dari khusus ke umum. Sedangkan penalaran deduktif, sebaliknya, penarikan fakta-fakta
umum ke khusus. Penalaran deduktif merupakan proses penalaran yang melibatkan
pencapaian kesimpulan dari seperangkat proposisi bersyarat atau dari sebuah pasangan
silogisme premis-premis.
Lebih dapat dicerna apabila saya korelasikan kedua metode penalaran tersebut dengan
metode penelitian, yakni penelitian kuantitatif dan kualitatif. Ragam yang dikembangkan
kedua penelitian tersebut berbeda satu sama lain. Penelitian kuantitatif lebih
menenakankan pada penalaran deduktif, sehingga persoalannya berkaitan dengan
perbandingan-perbandingan atau hubungan satu sama lain, hanya sebatas perbandingan
tidak mengetahui lebih dalam. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak
dibatasi oleh tema, peneliti bebas menjabarkan secara keseluruhan berkaitan dengan
masalah atau tema penelitiannya. Hal tersebut merujuk kemudian pada metode yang
memang digunakan dalam penelitian kulitatif adalah penalaran induktif.
Begitupun juga dalam konteks problematika yang terjadi dalam keseharian, dalam
penyelesaiannya cenderung menggunakan kedua metode tersebut yakni melalui penalaran
induktif dan deduktif.
e. Testimoni
Hukum alam adalah hukum yang ditemukan pada alam dimana hukum itu sesuai
dan bersinergi dengan alam. Hukum Alam sendiri sebenarnya bukan merupakan jenis
hukum, tetapi itu merupakan penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokan
dalam satu nama, yaitu hukum alam. Ini berarti dalam hukum alam sendiri terdapat
beberapa teori hukum yang memiliki persamaan dan perbedaan. Dalam teori hukum alam
terdapat ke khasan yaitu tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral.
Penganut aliran ini memandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan
secara internal dan eksternal kehidupan manusia dan hubungan sesama manusia.
sumber hukum Alam :
12
D. Van Dalen, Understanding Educational Research (New York: Mc Graw Hill Book, 1973), 13.
13
R.D. Anderson, Developing Children Thinking through Science (New Jersey: Prentice Hall, 1970), 5. Mujamil
Qomar, Epistemologi Pendidikan,15.
John Austin adalah seorang positivis yang utama mempertahankan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan
ilmu hukum (yurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang
secara nyata ada dari sistem hukum moderen.
Dalam filsafat hukum, pemikiran Jeremy Bentham (1748-1832) memengaruhi pemikiran
Austin, tokoh penyebar benih (seminal figure) dalam legal positivisme dan analitic
yurisprudence Inggris dan Amerika. Dalam teorinya, Austin mulai dengan membedakan
“law properly so called” dan “law improperly so called”. Yang disebut pertama, adalah
selalu “a species of command”, suatu ekspresi dari keinginan (wish) atau hasrat,
pertanggungjawaban, untuk menerima hukuman atau sanksi dan superioritas. Sanksi
menurut Austin adalah semata-mata sebagai suatu bentuk membebankan penderitaan
(punishment bukan reward). Yang disebut terakhir, membawa Austin pada analisisnya
tentang “kedaulatan” yang terkenal dan berpengaruh; “law strictly so called” (kaidah-
kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari mereka yang secara politik
berkedudukan lebih tinggi (political superiors) kepada mereka yang secara politik
berkedudukan lebih rendah (political inferiors).
Pada dasarnya sebenarnya Austin mereduksi hukum dengan menjelaskan bahwa hukum
adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga-lembaga yang superior
adalah upaya untuk mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain negara, terutama keuatan-
kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.
Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1790-1859), Austin
menyatakan, hukum adalah perintah yang mengatur orang perorang. Hukum berasal dari
pihak superior (penguasa) untuk mengikat atau mengatur pihak inferior. hukum adalah
perintah yang memaksa dan mengikat, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya.
C. Mazhab Utilitarisme
Maksud dari Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa
ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu
mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham
(M.P Golding, 1978:75) suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan
dan betapa kerasnya pidan itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk
mencegah dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila
ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.
Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-
1873), namun Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan
sebagai salah satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas
‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan
perasaan simpati.
Ada dua pendapat yang menyatakan tentang kelahiran mazhab ini, bahwa mazhab ini lahir
sekitar awal abad ke-19. Ada juga yang mengatakan bahwa mazhab ini lahir sekitar abad
ke-18. Menurut penulis, bahwa kelahiran mazhab ini lebih tepat pada awal abad ke-19,
sebab pelopor dari mazhab ini yang dikenal adalah Friedrich Carl von Savigny hidup pada
tahun 1770-1861, begitu juga pelopor lainnya Puchta yang hidup pada tahun 1798-1846,
dan Henry Sumner Maine hidup pada tahun 1822-1888. Sekalipun Friedrich Carl von
Savigny lahir tahun 1770, namun kecil kemungkinan jika gagasan itu dimunculkan ketika
berusia muda. Selain itu dalam buku Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa dampak pemikiran
hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap
perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan
Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman
tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Dan baru pada tahun 1900 negeri Jerman
mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch. Dengan
demikian satu abad dari 1900 (lahirnya Burgerliches Gesetzbuch) adalah awal abad ke-19.
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan
dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode
fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini
dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional”
seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara sociological
jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
Aliran hukum ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan non-
hukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat
hukum tentunya tidak mudah namun juga tidak sulit. Bagi kalangan paktisi hukum dalam
mempelajari filsafat hukum adalah suatu perimbangan dalam menjalankan tugas profesinya
dalam hukum positif.
- Aturan hukum yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan
hakim karena masing-masing fakta hukum dalam masing-masing kasus yang bersangkutan
bersifat unik.
- Karena itu, dalam memutus perkara, hakim perlu membuat hukum yang baru.
- Kebutuhan putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral dari hakim itu sendiri, bukan berdasarkan
pertimbangan hukum.
a. Hak
Pengertian hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak-pihak lainnya berkewajiban untuk memiliki hak melaksanakan apa
yang menjadi haknya itu. Tentang hak, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua jenis,
yakni hak mutlak (hak absolut) dan hak nisbi (hak relatif).
a. Hak Mutlak
Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan
suatu perbuatan. Hak tersebut dapat dipertahankan kepada siapapun juga, dan sebaliknya
setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. Ada tiga hak mutlak:
1) Hak Asasi Manusia (misalnya, hak seorang untuk dengan bebas bergerak dan tinggal
dalam suatu negara.
2) Hak Publik Mutlak (contoh: Hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya)
3) Hak Keperdataan, misalnya:
a) Hak Marital, yaitu hak-hak yang timbul antara suami dan istri dalam rumah tangga.
b. Hak Nisbi
Hak nisbi/relatif merupakan hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau
beberapa orang tertentu, untuk menuntut supaya seseorang atau beberapa orang
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak ini sebagaian
besar terdapat dalam hukum perikatan, yang timbul dari persetujuan pihak-pihak yang
bersangkutan.
1) Hak penjual untuk menerima pembayaran dan kewajibannya untuk menyerahkan barang
kepada pembeli.
2) Hak pembeli untuk menerima barang dan kewajibannya untuk melakukan pembayaran
kepada penjual.
b. Kewajiban
Sebagaimana telah kita lihat, hak merupakan topik yang masih agak baru dalam
literatureetika umum. Sebaliknya, pembahasan tentang kewajiban mempunyai tradisi yang
sudah lamasekali. Dalam buku-buku etika sejak dulu banyak dibicarakan tentang kewajiban
terhadap Tuhan, agama, raja / penguasa, Negara, kelompok khusus di mana orang menjadi
anggota (keluarga, kalangan profesi, dan sebagainya). Bahkan dalam sejarah etika tidak
jarang uraian etis dulu diisihampir seluruhnya dengan penjelasan tentang kewajiban saja.
Dipandang sepintas lalu, rupanya ada hubungan erat antara hak dan kewajiban. Sering kita
lihat
bahwa bahasa hak dapat “diterjemahkan” ke dalam bahasa kewajiban. Jika orang A berhak
mendapatkan benda X dari orang B, akan disimpulkan begitu saja bahwa orang B
berkewajibanmemberikan benda X kepada A. Hal ini mempunyai kesan bahwa hak
memungkinkan untuk
“menagih” kewajiban. Kesan spontan ini diperkuat lagi, dengan pernyataan bahwa
hakmerupakan suatu “klaim”. Kalau memang benar hak merupakan suatu klaim, bukanlah
hal itu
dengan sendirinya berarti juga klaim terhadap seseorang? Di sini akan ditelaah lebih
mendalam
c. Hubungan Hukum
Ada dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh karena hukum,
dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak
kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh
karena hukum memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta
hukum harus tetap berguna; sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai, apabila
hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem
yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan
hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-
istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Dalam prakteknya, apabila kepastian
hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama
lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan
prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan
prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan.
Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi
keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.14
Persoalan logika hukum dengan sebuah metode dan penerapan penemuan hukum oleh
hakim, baik melalui penafsiran hukum atau konstruksi hukum merupakan persoalan yang
penting dalam penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Perkembangan-perkembangan
terakhir dalam metode penemuan hukum sangat dibutuhkan oleh para hakim di negeri yang
sedang berjuang keras untuk kembali menegakkan rule of law melalui sarana penegakan
hukum (law enforcement). Penguasaan terhadap metode mutakhir penemuan hukum
mempunyai peran esensial untuk mendukung para hakim mewujudkan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum secara optimal.
Adanya logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum
dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak langsung
juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.
d. Akibat Hukum
Adanya prinsip sebab akibat yang berdiri dibalik seluruh realitas yang ada dan terjadi itu
membuat eksistensi sesuatu dapat dibaca-diraba dan difahami oleh akal fikiran manusia,
sehingga lalu diatas landasan prinsip hukum kausalitas itu berdirilah prinsip prinsip dasar
14
La Jaudi. 2013. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai dasar Hukum Dalam Masyarakat
ilmu logika. Dengan kata lain pada dasarnya ilmu logika dapat berdiri karena sebelumnya
manusia mengenal prinsip hukum kausalitas dibalik segala suatu yang eksist. walau kelak
ilmu logika dikembangkan dengan beragam kategori baru yang lebih kompleks tetapi
prinsip hukum kausalitas adalah penopang utamanya yang paling klasik dan mendasar
setelah prinsip dualisme tentunya, sebab prinsip sebab -akibat itu sendiri adalah bagan dari
prinsip dualisme
Sesuatu yang sebab akibatnya dapat dibaca dan difahami oleh logika akal manusia maka
dikategorikan sebagai 'logis atau rasional', contoh ; bila seseorang dipermalukan didepan
umum (sebab) maka suatu yang logis apabila lalu ia menampakkan kemarahan (akibat),
Sedang bila sesuatu tidak dapat dibaca atau sulit difahami sebab akibat nya maka sesuatu
itu dikategorikan sebagai 'ganjil-tidak logis atau irrasional'. contoh; bila ada yang
berprinsip bahwa wujud yang terdesain dapat lahir secara kebetulan tanpa peran sang
pendesain.artinya prinsip demikian tidak bisa direkonstruksi oleh prinsip hukum sebab
akibat dan karena itu prinsip demikian disebut sebagai 'tidak logis' karena makna 'logis'
adalah : sesuatu yang dapat direkonstruksi oleh prinsip sebab akibat.
e. Tanggung Jawab
Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep hak dan kewajiban. Konsep
hak merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengertian hak yang berpasangan
dengan pengertian kewajiban.15 Pendapat yang umum mengatakan bahwa hak pada
seseorang senantiasa berkorelasi dengan kewajiban pada orang lain.
Sebuah konsep yang berkaitan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung
jawab (pertanggung jawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum
atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, artinya dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan dengan peraturan yang
berlaku.
15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000, hlm 55
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa
seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia
memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu
sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.
Teori tradisional dibedakan dua jenis tanggung jawab (pertanggung jawaban) yaitu:
tanggung jawab yang didasarkan atas unsur kesalahan, dan tanggung jawab mutlak.
Situasi tertentu, seseorang dapat dibebani tanggung jawab untuk kesalahan perdata yang
dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal
semacam ini dikenal dengan sebagai tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain. Teori tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh orang lain tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) ketegori sebagai berikut:
▪ Tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan orang-orang dalam tanggungannya
KUHPerdata menjelaskan beberapa pihak yang harus menerima tanggung jawab dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain sebagai berikut:
▪ Orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas tidakan yang dilakukan oleh anak-anak
di bawah tanggungannya atau di bawah perwaliannya.
▪ Kepala tukang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pekerja yang berada
dibawahnya.
▪ Pemilik binatang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh binatang
peliharaannya.
▪ Pemilik gedung bertanggung jawab atas ambruknya gedung kerena kelalaian dalam
pemeliharaan atau karena cacat dalam pembangunan maupun tatanannya.
INTERPRETASI
a. Pengertian
suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam
arti memperluas maupun membatasi/ mempersempit pengertian hukum yang ada dalam
rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang
dihadapi. Istilah lain untuk penafsiran hukum adalah interpretasi hukum.
b. Jenis-Jenis Interpretasi
16
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 59.
17
Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 347.
c. Penafsiran Sistematis (Sistematische Interpetatie)
Penafsiran suatu peraturan dengan menghubungkan dengan peraturan lain dengan
keseluruhan sistem hukum. Misalnya pengertian “Dewasa” dalam KUHP tidak
ditemukan tetapi ditemukan dalam KUHPerdata, maka bisa ditafsirkan dengan
ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata. “Interpretasi sistematis adalah metode
yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari seluruh sistem perundang-
undangan. Artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut,
ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lainnya.”
e. Penafsiran Autentik
Penafsiran ini adalah penafsiran terhadap teks peraturan perundang-undangan dengan
makna yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Sudarsono menyebut
penafsiran ini dengan penafsiran sahih (autentik, resmi) yaitu penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu sebagaimana diberikan oleh pembentuk undang-undang.
f. Penafsiran Futuristik
Penafsiran futuristik merupakan penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang
menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) yang berpedoman
kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constuendum).
Seperti rancangan suatu undang-undang (RUU) yang masih dalam pembahasan di DPR,
tetapi hakim yakin RUU itu akan diundangkan (dugaan politis).
g. Penafsiran Restriktif
Penafsiran dengan pembatasan cakupan. Contoh: Kata tetangga, dibatasi sebagai orang
yang memiliki rumah, dan anak kos tidak disebut tetangga karena anak kos hanya
sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Contoh lain, “Kerugian, tidak termasuk
kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya”.
h. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran dengan perluasan cakupan suatu ketentuan. Misalnya: tetangga diartikan
sebagai orang yang memilih rumah dan yang menempati rumah, maka anak kos pun
dianggap sebagai tetangga, karena anak kos tidak pemilik rumah, hanya menempati
saja. Perluasan arti kata-kata tersebut di dalam penafsiran ekstensif ini terkait erat
dengan Pasal 326 KUHPidana, yaitu: Barang siapa mengambil sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
i. Penafsiran Interdisipliner
Metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila dia melakukan analisis
terhadap kasus yang ternyata menyangkut berbagai disiplin kekhususan dalam lingkup
ilmu hukum, seperti hukum pidana, hukum administrasi, hukum internasional.
Penafsiran dengan menggunakan berbagai sudut pandang hukum. Artinya suatu
peristiwa hukum ditinjau dari berbagai pandangan hukum. Contoh: AQJ dalam kasus
kecelakaan di tol Jagorawi yang mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia. Peristiwa
itu termasuk peristiwa pidana, tetapi AQJ masih di bawah umur, maka dia dikenakan
UU Perlindungan Anak. Sementara Ahmad Dani orang tua AQJ membiarkan anaknya
mengemudikan mobil tanpa SIM. Dilihat dari KUHP dengan membiarkan tersebut
termasuk keikutsertaan.
j. Penafsiran Multidisipliner
Penafsiran dengan mempergunakan ilmu-ilmu lain di luar ilmu hukum, seperti
penafsiran dengan ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu psikologi, dan sebagainya.
Contoh: Kasus Aborsi harus melibatkan ilmu kedokteran. Dalam metode interpretasi
multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang
dihadapinya, seorang hakim harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai
masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.
TEORI KEBENARAN
a. Pengertian
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila
terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan
Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat tergantung
dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Dalam menguji
suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi
sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori
tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57).
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai
dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di sebelah barat.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu salah (Jujun,
1990:237).
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung
dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.”
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan
demikian kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara
pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan
yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi
actual.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey dan Tarski.
Mengenai teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
"Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan
itu sendiri".
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu
pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai
benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian
sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu
kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan fakta
atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu.
Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang di anggap benar".
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah
suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam
akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling
berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran
adalah konsistensi, kecocokan.”
Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara
pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten
dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk
menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya
interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-
tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut
(Titus,1987:239)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah
yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah
berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat
Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun,
1990:57).
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu
pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak ada
kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan
tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.
Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu dikembangkan
teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar karena
fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan,
dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat
bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa
kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai
nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-
akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi
oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil
atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan
teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek
permasalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-
keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan
manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat
eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin
bagi manusia.
4. Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian
yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas
tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti
empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin
adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa
kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil
dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari
pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada
adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran.
5. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya
paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama
yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua
anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.
Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari
segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya
pengacu (referent) yang jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi
atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan
suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa— pernyataan—yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya.
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.
KESESATAN BERPIKIR
a. Pengertian
Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy
didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh
ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja
maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan
berpikir ‘ngawur’.
R. G. Soekadijo. 2003. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, cet. Ke-3,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sudarsono. 2002. Kamus Hukum, Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
R. G. Soekadijo, op.cit., h. 3.
La Jaudi. 2013. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai dasar Hukum Dalam
Masyarakat