Anda di halaman 1dari 48

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Logika dan Argumentasi Hukum

Dosen Pengampu :
Rahmadi Indra Tektona, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Ayu Nur Khasanah 170710101288

Kelas :
Logika dan Argumentasi Hukum (A)

Fakultas Hukum
Universitas Jember
2019
PENGERTIAN

a. Pengertian Logika dan Penalaran Hukum

Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti
“berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. 1Kata Latin logos
(logia) berarti perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku
Fundamentals of Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking.
2
Patterson merumuskan logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of
straight thinking). 3Irving M. Copi dalam buku Introduction to Logic merumuskan logika
sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk
membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah’. Sementara penalaran
adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi,
menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar
proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa penalaran merupakan sebuah
bentuk pemikiran.4
Bentuk pemikiran yang lain adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau
pernyataan. Pengertian, proposisi, dan penalaran memiliki hubungan yang tak
terpisahkan. Karena penalaran mensyaratkan proposisi dan proposisi mengandaikan
pengertian. ‘Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa
proposisi’.5
Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam
memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum,
logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan
secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka
istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk
penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam
bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai

1
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008, h. 21.
2
Lihat David Stewart dan H. Gene Blocker, Fundamentals of Philosophy, 4th e., New Jersey: Prentice Hall, 1996, h.
45.
3
Edwin W. Patterson, 1942, Ibid., h. 876.
4
Lihat R. G. Soekadijo, Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, cet. Ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003, h. 3.
5
6 R. G. Soekadijo, op.cit., h. 3.
ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar
logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran
(logika) dalam hukum’.6

b. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Filsafat

penalaran tersebut tidak terlepas dari tiga aspek penting dalam filsafat: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Tinjauan atas ketiga aspek tersebut “hukum” menjadi sisi
nalar melalui beberapa model penalaran, yaitu: empirisme logis, empirisme analitis,
rasionalisme kritis, dan konstruktivisme kritis. Dengan demikian penalaran hukum, tidak
hanya sekedar berpikir teoritis, tetapi juga berpikir praktis untuk mengubah keadaan.
Tentunya, sudut pandang penalaran hukum, akhirnya akan bermuara pada aliran-aliran
filsafat hukum, yang tetap mengikuti ragaan pencabangan filsafat (ontologi, epistemologi,
dan aksiologi). Melalui pencabangan filsafat, penalaran hukum dapat kita temukan
dibeberapa literatur antara lain: aliran hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme,
mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum, teori hukum pembangunan.
Bahkan era postmodern, kembali menghidupkan gerakan realisme dengan critical legal
study movement (CLS), yang mengarahkan untuk penciptaan aliran “hukum ideal”.

c. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Ilmu Hukum

Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam


memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum,
logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan
secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka
istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk
penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam
bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai
ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar
logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran

6
Lihat Irving M. Copi & Cohen Carl, Introduction to Logic, Richmond-Tx., Prentice Hall, 1997, h. 3.
(logika) dalam hukum’.

d. Ruang Lingkup Logika dan Penalaran Hukum

Ruang Lingkup Logika:

Menurut The Liang Gie, logika dibagi menjadi lima macam, yaitu:
1) Logika dilihat dari maknanya
a. Logika makna luas
b. Logika makna sempit

2) Logika dilihat dari prosesnya


a. Logika deduktif (banyak sampel)
b. Logika induktif (sedikit sampel)

3) Logika dilihat dari cara pandangnya


a. Logika material
b. Logika formal

4) Logika murni (tersusun secara sistematis) dan terapan (dipakai dalam keseharian)
5) Logika filsafat dan logika matematika.

Adapun ruang lingkup logika, yaitu:


1) Categoriae (mengenai pengertian-pengertian)
2) De Interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan)
3) Analitica Priora (tentang silogisme)
4) Analitica Posteriora (mengenai pembuktian-pembuktian)
5) Topica (mengenai debat): tesis, antitesis dan sintesis.
6) De Sophistichis elincis (tentang kesalahan berpikir).7

Penalaran (bentuk pemikiran) berkaitan sangat erat dengan aktivitas akal budi
manusia "berpikir." Berpikir itu sendiri merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Semua orang sudah melakukannya.
Dengan berpikir, kita mampu berdialog, menulis, mengkaji, satuan uraian, mendengarkan
penjelasan, dan mencoba menarik kesimpulan dari apa yang kita lihat dan kita dengar.
Karena itu dalam kegiatan berpikir kita dituntut untuk sungguh-sungguh melakukan

7
Aliet Noorhayati Sutrisno, 2015, Pengantar Logika, (Cirebon: CV. Confident).
pengamatan yang kuat dan cermat, supaya sanggup melihat hubungan, kejenggalan dan
kesalahan yang terselubung.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan
yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah
proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi
baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Dalam penalaran proporsi yang di jadikan dasar penyimpulan di sebut premis dan hasil
kesimpulannyadi sebut dengan konklusi di sebut konsekuensi.melalui proses
penalaran kita memperoleh kesimpulan yang berupa asumsi hipotesis atau teori.
penalaran di sini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis
berdasarkan fakta yang relevan.

e. Manfaat Studi Logika dan Penalaran Hukum

Ada 4 kegunaan logika :


Ada beberapa manfaat mempelajari logika hukum:
1. Membantu setiap orang berfikir secara logis( berfikir sesuai apa yang sebenarnya),
sistematis, metodis (metode ilmiah), praktis (tidak berbelit-belit), dan kritis.
2. Agar manusia cinta pada kebenaran, sehingga menghindari kekeliruan
3. Objektif
Logika terbagi kepada:
1. Logika alamiah. Ciri-cirinya:
a. Spontan
b. Subjektif
2. Logika ilmiah (terkait dengan epistemology), cirri-cirinya: memperhalus cara
berfikir (tidak dipengaruhi tendensi-tendensi atau hal-hal lain) yaitu:
a. Kritis
b. Tajam
c. Selalu objektif
d. Sangat sedikit terjadi kekeliruan
Objek berfikir:
· Materil àpenalaran
· Formilà terkait dengan metode ilmiah yang disebut dengan metode deduktif dan
induktif.

Tujuan belajar penalaran hokum

1. Agar bias berfikir secara konstruktif terhadap masalah fenomena hukum


2. Untuk menemukan dan menyelesaikan problem-problem hukum yang terjadi
dimasyarakat
3 Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif
4. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan
mandiri
5. Meningkatkan cinta akan keberanian dan menghindari kekeliruan kesesatan

6. Memelihara dari kesalahan berpikir.


7. Melatih jiwa dan memperhalus jalan pikiran.
8. Menjadikan orang melakukan analisis.

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU SUI GENERIS

• Karakter Normatif Ilmu Hukum

1. Pendekatan dari Sudut Filsafah Ilmu


Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan yaitu pandangan positivistic
yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normative yang melahirkan ilmu
normative. Dari sudut ini ilmu hukum memilki dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu
hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normative dan pada sisi yang lain ilmu
hukum memilki segi-segi empiris. Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum
empiris seperti sociological jurisprudence, dan sosio legal jurisprudence. Dengan
demikian dari sudut pandangan ini, ilmu hukum normative merupakan kajian khas,
sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian
kuantitatif atau kualitatif, tergantung sifat datanya.
2. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga bagian utama, yaitu
dogmatic hukum, teori hukum (dalam arti sempit), dan filsafat hukum. Ketiga lapisan
tersebut akhirnya member dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing
mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya memilki metide yang khas. Persoalan
tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti
sempit). Dengan pendekatan yang objektif seperti tersebut diatas dapat ditetapkan metode
mana yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum.

• Terminologi Ilmu Hukum

Ilmu hukum memilki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam


bahasa belanda, jurisprudence atau legal science (inggris). Dan jurisprudent (jerman).
Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam pengunaan istilah. Istilah ilmu hukum
disejajarkan dengan istilah-istilah asing tersebut.
Sementara Meuwissen, mengunakan istilah rechtsbeoefening (pengembangan hukum)
untuk menunjukan pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan
berlakunya hukum di dalam masyarakat.

• Jenis Ilmu Hukum

Ilmu hukum dari segi segi objek dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang
dikenal dengan ilmu hukum dogmatic (ilmu hukum normative) dan ilmu hukum dalam arti luas,
dalam arti luas ilmu hukum dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari
sudut pandangan tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark
van Hoecke.

Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivism dan normative. Dari sudut
pandang ini dibedahkan menjadi dua yaitu ilmu hukum normative dan empiris. Sifat keilmuan
dapat dilihat dari tiga aspek yaitu; proses, produk dan produsen (ilmuwan)
Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema
berikut.

Pandangan Positivistik Pandangan Normatif


Ilmu Hukum Empirik Ilmu Hukum Normatif

Relasi Inti Subjek-subjek Subjek-subjek

Jenis pengetahuan Obyektif Inter-Subjektif

Sikap ilmuwan Pengamat/penonton Peserta

Persepektif Eksternal Internal

Teori kebenaran Teori korespondensi Teori pragmatic

Proposisi Hanya informative (empiris) Normative dan evaluative

Metode Hanya metode pengalaman inderawi Juga metode lain

Moral Non-kognitif Kognitif

Hubungan hukum-moral Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan

Hanya sosiologi hukum empiris dan


Ilmu teori hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas

• Lapisan Ilmu Hukum


Ada beberapa Lapisan Ilmu Hukum :

1.Filsafat Hukum

Filsafat hukum merupakan induk dari semua disiplin yuridik, karena membahas masalah
masalah fundamental yang yang tidak akan pernah berakhir.
Filsafat ukum tersusun atas proposisi proposisi normative dan evaluative, walaupun
informative juga ada didalamnya.
Karakteristik filsafat hukum yaitu mendasar/radikal, menyeluruh/holistic/totalistic,
spekulatif.

2.Teori Hukum

Teori hukum mempunyai makna ganda yaitu :


Teori hukum sebagai produk, sebab rumusan merupakan hasil kegiatan teoritik bidang
hukum.
Teori hukum sebagai proses, Karena teori hukum merupakan kegiatan teoritik tentang
hukum atau bidang hukum.
Teori hukum adalah jalan ilmiah metodikal untuk memperoleh pemahaman teoritikal dan
memberikan penjelasan secara global tentang gejala gejala hukum.
Ruang lingkup teori hukum menurut (otje salman dan anthon f. susanto) yaitu :
o Mengapa hukum berlaku?
o Apa dasar kekuatan mengikatnya?
o Apa yang menjadi tujuan hukum?
o Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?
o Apa hubungan dilakukan oleh hukum?
o Bagimana hukum yang adil

Persamaan dan Perbedaan Teori Hukum Dengan Filsafat Hukum :


Antara teori hukum dan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan ada kalanya
sangat sulit dibedakan.
Tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai nilai hukum dan postulat
postulatnya hingga dasar dasar filsafatnya yang paling dalam
Filsafat hukum juga membicarakan teori hukum, tetapi filsafat hukum tidak mengajukan
suatu teori hukum
Filsafat hukum dan teori hukum sama sama tidak membatasi diri pada ius constitutum,
melainkan juga pada ius constituendum
Teori hukum bertitik tolak dari suatu teori (hypothesis) filsafat hukum merupakan
diskursus terbuka yang tidak membatasi diri pada postulat,premis atau metode.

3. Dogmatik Hukum
Mempelajari aturan aturan hukum dari sudut pandang technical dan methodical
Bertujuan untuk praktik hukum
Objek kajian pada hukum positif
Mempelajari asas asas dan pengertian hukum.

Karakteristik Lapisan Ilmu Hukum

o Filsafat hukum
Konsep : grondbegrippen
Eksplanasi : reflektif
Sifat : spekulatif
o Teori hukum
Konsep :algemene begrippen
Eksplanasi :analitis
Sifat :normative empiris
o Dogmatic hukum
Konsep : technischjuridisch begrippen
Eksplanasi : teknis yuridis
Sifat : normative

Meuwissen Mengemukakan ada Lima Dalil dari Filsafat Hukum yang Terkait dengan
Teori Hukum dan Dogmatik Hukum, yakni:
Filsafat hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental
dan masalah marginak yang berkaitan dengan gejalan hukum.
Tiga tataran abstraksi refleksi teoretikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum, teori
hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi
semua bentuk pengembanan hukum teoretikal dan pengembanan hukum praktikal.
Pengembanan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam kenyataan
kehidupan sungguh-sungguh mengenal tiga bentuk: pembentukan hukum, penemuan
hukum dan bantuan hukum. Di sini terutama Ilmu hukum dogmatika menunjukkan
kepentingan praktikalnya secara langsung.
Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan dengan hubungan antara hukum dan etika.
Ini berarti bahwa diskusi yang sudah berlangsung sangat lama antara para pengikut
Aliran Hukum Kodrat dan para pengikut Positivisme hingga kini masih tetap aktual.
Hukum dan etika dua-duanya merumuskan kriteria untuk penilaian terhadap perilaku
(tindakan) manusia: namun mereka melakukan hal ini dari sudut titik pandang yang
berbeda. Hukum adalah suatu momen dari etika.
Dalil kelima: filsafat hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari
hukum. “kenyataan hukum” harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari Ide
hukum (cita-hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk:
aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga hukum. Lembaga
hukum terpenting adalah Negara. Tetapi hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum
harus direfleksikan secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah “system terbuka”
yang didalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

4. Praktek Hukum
Praktek hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan
penerapan hukum. Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya
umum kedalam suatu kasus yang sifatnya kongret. Dalam ungkapan klasik disebut De
rechter is bounce de la loi, yang mengandung kiasan hakim adalah corong atau alat
undang-undang.
SILOGISME

A. Silogisme Kategoris Aristotelian

1. Preposisi

Silogisme kategoris adalah silogisme yang terdiri dari tiga proposisi (premis) kategoris.

Contoh:

• Semua manusia adalah makhluk berakal budi (premis mayor)


• Afdan adalah manusia (premis minor)
• Jadi, Afdan adalah makhluk berakal budi (kesimpulan)

2. Segiempat Pertentangan dan Konversinya

a. Menyangkut term-term.

1) Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari
tiga term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya
perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti
yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari
tiga term. Misalnya: Kucing itu mengeong Binatang itu kucing Jadi, binatang itu
mengeong

2) Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini
sebenarnya sudah jelas dari bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan
bagini: term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-
term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu, termantara (M)
hanya berguna dalam premis-premis saja.

3) Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam
premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh
universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini
sebenarnya merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos
quam praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja
dengan ‘generalisasi’.Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan
ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu
luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah kesimpulan
dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya: Kucing adalah makhluk
hidup Manusia bukan kucing Jadi, manusia bukan makhluk hidup

4) Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara


particular baik dalam premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu
menunjukkan bagianbagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu
termantara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan
(memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya: Banyak orang kaya yang kikir Si Fulan
adalah orang kaya Jadi, Si Fulan adalah orang yang kikir8

3. Struktur & Nomenklatur Silogisme Kategoris


Silogisme kategoris adalah silogisme yang premis-premis dan
kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Silogisme ini dapat dibedakan
menjadi:
- Silogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis;
- Silogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis;

4. Tiga Figur Kategoris

Silogisme ini dapat dibedakan menjadi:


- Silogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis;
- Silogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis

Silogisme kategoris tunggal merupakan bentuk silogisme yang terpenting.


Silogisme ini terdiri atas tiga term, yakni subyek (S), predikat (p), dan term-antara
(M). Setiap manusia (M) dapat mati (P) atau M - P Si Fulan (S) adalah manusia

8
Alex Lanur. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius, 1983
(M) atau S - M Jadi, Si Fulan (S) dapat mati (P) atau S - P Term major adalah
predikat dari kesimpulan (kata ‘mati’). Term itu harus terdapat dalam kesimpulan
dan salah satu premis, biasanya dalam premis yang pertama. Premis yang
mengandung predikat itu disebut premis major. Kemudian term minor atau premis
minor adalah subyek dari kesimpulan. Termitu biasanya terdapat dalam premis
yang lain, biasnya dalam premis yang kedua. Premis yang mengandung subyek
itu disebut premis minor. Akhirnya, term-antara ialah term yang terdapat dalam
kedua dalam kedua premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan. Dengan term-
antara ini subyek dan predikat diperbandingkan satu sama lain. Dengan demikian,
subyek dan predikat dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain dalam
kesimpulan. Namun, dalam percakapan sehari-hari, dalam buku-buku atau
tulisantulisan, bagan sepertiitu tidak selalu tampak dengan jelas. Seringkali ada
keputusan yang tersembunyi. Kesulitan yang sama juga terdapat dalam keputusan.
Ketika berbicara berbicara tentang keputusan, sudah dianjurkan supaya keputusan
itu dijabarkan dalam bentuk logis, demikian juga, pemikiran-pemikiran dijabarkan
dalam bentuk silogisme kategoris. Dengan demikian, titik pangkalnya serta jalan
pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diperlihatkan dengan jelas. Untuk itu
perlu menentukan: - Menentukan dahulu kesimpulan mana yang ditarik; -
Mencari apakah alasan yang disajikan (M, term-antara); dan - Menyusun
silogisme berdasarkan subyek dan predikat (kesimpulan) serta term-antara (M).

Susunan silogisme yang lurus. Silogisme yang diuraikan di atas


merupakan bentuk logis dari penyimpulan. Penyimpulan itu tersusun dari tiga
term. Ketiga term itu adalah subyek, predikat, dan term-antara (M). Term-antara
adalah sebagai kunci silogisme; sebab term-antara (M) itulah yang menyatakan
mengapa subyek dipersatukan dengan predikat atau dipisahkan dari padanya
dalam kesimpulan. Kemudian, penyimpulan juga tersusun dari tiga keputusan.
Ketiga keputusan itu adalah premis major, premis minor, dan kesimpulan.
Akhirnya, ketiga keputusan ini dapat dibedakan menurut bentuk dan luasnya.
Pembedaan ini menghasilkan keputusan A, keputusan E, keputusan I, dan
keputusan O.
B. Silogisme Stoik

1. Modus Ponens

premis 1 : p →q

premis 2 : p ( modus ponens)

__________________

Kesimpulan: q

Arti Modus Ponens adalah “jika diketahui p → q dan p, maka bisa ditarik
kesimpulan q“. sebagai contoh :

premis 1 : Jika bapak pulang maka adik gembira

premis 2 : bapak pulang

__________________

Kesimpulan: Adik gembira

2. Modus Tollens

premis 1 : p →q

premis 2 : ~q ( modus tollens)

__________________

Kesimpulan: ~p

Modus Tollens berarti “jika diketahu p → q dan ~q, maka bisa ditarik kesimpulan
~p“. sebagai contoh :

premis 1 : Jika hari hujan, maka adik memakai payung


premis 2 : Adik tidak memakai payung

___________________

Kesimpulan : Hari tidak hujan

3. Silogisme Disjunktif

adalah silogisme dimana premis mayor maupun minornya, baik salah satu maupun
keduanya, merupakan keputusan disjunctive.
Contoh :
Premis Mayor : Kamu atau saya yang pergi
Premis Minor : Kamu tidak pergi
Konklusi : Maka sayalah yang pergi
Silogisme disjungtive mempunyai dua buah corak diantaranya

1. modus ponendo tolles, contoh:


Planet kita ini diam atau berputar.
Karena berputar, jadi bukanlah diam

2. modus tolledo ponens, contoh:


Planet bumi kita ini diam atau berputar
Planit bumi kita ini tidak diam
Jadi . planet bumi kita ini berputar.
Silogisme disjungtif dalam arti sempit maupun arti luas mempunyai dua tipe yaitu :

3. Premis minornya mengingkari salah satu alternative, konklusinya adalah


mengakuialternative yang lain, contoh :
Premis Mayor : Ia berada diluar atau di dalam
Premis Minor : Ternyata tidak berada di luar.
Konklusi : Jadi ia berada di dalam.

4. Premis minor mengakui salah satu alternative, kesimpulannya adalah


mengingkarialternative yang lain, contoh:
Premis Mayor : Budi di masjid atau di sekolah
Premis Minor : Ia berada di masjid.
Konklusi : Jadi ia tidak berada di sekolah

4. Silogisme Konjungtif,

adalah silogisme yang premis mayornya berbentuk suatu proporsi konjungtif.


Silogisme konjungtif hanya mempunyai sebuah corak, yakni akuilah satu bagian di premis
minor, dan tolaklah yang lain di kesimpulan.
Contoh:

• Premis Mayor : Tidak ada orang yang membaca dan tidur dalam waktu yang bersamaan .

• Premis Minor : Sartono tidur

• Konklusi : Maka ia tidak membaca

DEDUKTIF INDUKTIF

a. Pengertian
• Logika Deduktif:
Pengertian logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-
prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang
dihasilkan sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal pikiran yang jernih atau
sehat’. Atau logika deduktif adalah ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hokum-
hukum dalam berfikirm hokum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berfikirnya
benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).
• Dalam kajian logika deduktif, secara umum macam-macam definisi dibedakan menjadi
tiga, yaitu:Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang menjelaskan sebuah istilah’. Definisi
nominalis dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan dengan
memberi arti persamaan dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’;
Sawah-ladang adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan
tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan dari
istilah berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p => q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p
maka q, didefinisikan non (p dan non q); dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan
istilah dengan memberikan uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian
kata ‘filsafat’ berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan
‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.
• Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai oleh suatu istilah’.
Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi essensial, yaitu penjelasan
dengan cara menguraikan bagian penting atau mendasar tentang sesuatu hal yang
didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’, adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad,
jiwa dan ruh; Definisi ‘nilai’, adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman
hidup; (2) definisi deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau
ciri-ciri yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia adalah
‘bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi dan keadilan’, dan sebagainya.
• Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi manfaat dan
tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah ‘pemikiran secara kritis,
sistematis, rasional, logis, mendalam dan menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’;
(2) ‘Universitas atau Institut’ adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan
mencetak sarjana yang berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994;
Maram.R.R. 2007).

• Logika Induktif

Logika induktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip


penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum
yang bersifat boleh jadi’
Pemakaian logika induktif ini berbahaya karena bisa terjadi terlalu cepat mengambil
kesimpulan yang berlaku umum, sementara jumlah kasus yang digunakan dalam premis
kurang memadai. Selain itu pula, kemungkinan premis yang digunakan kurang memenuhi
kaedah-kaedah ilmiah.

b. Perbedaan Karakter Penalaran Induktif dan Deduktif

Tabel Perbandingan

Deduktif Induktif

Pengenalan Penalaran deduktif, juga disebut Pemikiran induktif, juga disebut


(dari logika deduktif, adalah proses logika induksi atau bottom-up,
Wikipedia) penalaran dari satu atau lebih membangun atau mengevaluasi
pernyataan umum mengenai apa proposisi umum yang berasal dari
yang diketahui untuk mencapai contoh-contoh spesifik.
kesimpulan logis secara pasti.

Argumen Argumen dalam logika deduktif Argumen dalam penalaran induktif


bisa valid atau tidak valid. bisa kuat atau lemah. Argumen
Argumen tidak valid selalu tidak lemah selalu tidak masuk akal.
masuk akal. Argumen yang valid Argumen kuat hanya meyakinkan
hanya terdengar jika premis yang jika premis-premisnya didasarkan
mereka tempatkan itu benar. pada kebenaran.

Validitas dari Kesimpulan dapat dibuktikan valid Kesimpulan mungkin salah


Kesimpulan jika premis tersebut diketahui meskipun argumennya kuat dan
benar. premisnya benar.

Alasan deduktif menerapkan aturan umum untuk membuat kesimpulan tentang kasus tertentu.
Alasan induktif mengamati pola dalam kasus tertentu untuk menyimpulkan kesimpulan tentang
peraturan umum.
Misalnya: Semua manusia fana. John adalah seorang pria. Oleh karena itu John adalah fana. Ini
adalah contoh penalaran deduktif yang valid. Di sisi lain, inilah contoh penalaran induktif:
Kebanyakan pria dengan tangan kanan. John adalah seorang pria. Karena itu, John harus dengan
tangan kanan. Kekuatan argumen induktif ini bergantung pada persentase orang kidal dalam
populasi. Bagaimanapun, kesimpulannya mungkin berakhir tidak valid karena penalaran induktif
tidak menjamin validitas kesimpulan.
c. Generalisasi
Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang
dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali
hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti.
Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa,
kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki
pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula
ragukan.9 Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan
dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi
tidak lengkap10. Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak
memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan
adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau
premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua
premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil
suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap.11 Bahkan manakala
seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian mengeneralisasikannya, maka
sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar
mungkin pula salah, namun yang lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah
kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada
sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati.
Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.

d. Analogi Retroduksi

Penalaran ini digunakan sebagai pemecahan masalah. Melalui proses penalaran,


kita diajak untuk memecahkan ragam persoalan yang terdapat dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam proses penalaran terdapat dua macam penalaran, yakni proses penalaran
induktif dan deduktif.

9
Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,
1994), 135
10
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, 86.
11
Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher Epistemologi, 135.
Robert J. Strenberk (2008; 444) menjelaskan bahwa penalaran induktif merupakan
sebuah penalaran yang tidak mempunyai kesimpulan logis yang hendak dikejar.
Seringkali juga, penalaran induktif dimaksudkan sebagai penarikan fakta-fakta atau
observasi-observasi spesifik menuju kesimpulan umum yang hanya digunakan untuk
menjelaska ragam fakta yang ada. Dalam kata lain, penarikan pemahaman (penalaran)
dari khusus ke umum. Sedangkan penalaran deduktif, sebaliknya, penarikan fakta-fakta
umum ke khusus. Penalaran deduktif merupakan proses penalaran yang melibatkan
pencapaian kesimpulan dari seperangkat proposisi bersyarat atau dari sebuah pasangan
silogisme premis-premis.
Lebih dapat dicerna apabila saya korelasikan kedua metode penalaran tersebut dengan
metode penelitian, yakni penelitian kuantitatif dan kualitatif. Ragam yang dikembangkan
kedua penelitian tersebut berbeda satu sama lain. Penelitian kuantitatif lebih
menenakankan pada penalaran deduktif, sehingga persoalannya berkaitan dengan
perbandingan-perbandingan atau hubungan satu sama lain, hanya sebatas perbandingan
tidak mengetahui lebih dalam. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak
dibatasi oleh tema, peneliti bebas menjabarkan secara keseluruhan berkaitan dengan
masalah atau tema penelitiannya. Hal tersebut merujuk kemudian pada metode yang
memang digunakan dalam penelitian kulitatif adalah penalaran induktif.
Begitupun juga dalam konteks problematika yang terjadi dalam keseharian, dalam
penyelesaiannya cenderung menggunakan kedua metode tersebut yakni melalui penalaran
induktif dan deduktif.

e. Testimoni

Baik penalaran induktif ataupun deduktif kesemuanya memiliki kekurangan dan


kelebihannya masing-masing. Yang mana keduanya telah ikut memberikan corak cara
berfikir ilmiah modern saat ini. Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu pengetahuan
akan berada dalam suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka
maka ia tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan negatif dari
keduanya, orang kemudian mencoba mengkolaborasikan, memodifikasi, dan
mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini
(scientific method), atau dalam istilah John Dewey dikenal dengan berpikir reflektif
(reflective thinking).12 Dan yang oleh Anderson dirumuskanlah langkah-langkah metode
ilmiah tersebut, yang meliputi: 1) Perumusan masalah. 2) Penyusunan hipotesis. 3)
Melakukan eksperimen/pengujian hipotesis. 4) Pengumpulan dan pengolahan data. 5)
pengambilan kesimpulan. Artinya, lahirlah ilmu yang memiliki kerangka penjelasan yang
masuk serta mencerminkan kenyataan yang sebenarnya13

MAZHAB-MAZHAB PENALARAN HUKUM

A. Mazhab Hukum Alam

Hukum alam adalah hukum yang ditemukan pada alam dimana hukum itu sesuai
dan bersinergi dengan alam. Hukum Alam sendiri sebenarnya bukan merupakan jenis
hukum, tetapi itu merupakan penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokan
dalam satu nama, yaitu hukum alam. Ini berarti dalam hukum alam sendiri terdapat
beberapa teori hukum yang memiliki persamaan dan perbedaan. Dalam teori hukum alam
terdapat ke khasan yaitu tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral.
Penganut aliran ini memandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan
secara internal dan eksternal kehidupan manusia dan hubungan sesama manusia.
sumber hukum Alam :

· Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (Irrasionalisme)

· Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia (Rasionalisme)

· Hukum alam yang bersumber dari panca indera manusia (Empirisme)

B. Mazhab Hukum Positif

Ada begitu banyak tokoh yang menganut aliran/mazhab positivisme hukum


dengan pandangan dan pemikirannya masing-masing. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:
1. Mazhab Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)

12
D. Van Dalen, Understanding Educational Research (New York: Mc Graw Hill Book, 1973), 13.
13
R.D. Anderson, Developing Children Thinking through Science (New Jersey: Prentice Hall, 1970), 5. Mujamil
Qomar, Epistemologi Pendidikan,15.
John Austin adalah seorang positivis yang utama mempertahankan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan
ilmu hukum (yurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang
secara nyata ada dari sistem hukum moderen.
Dalam filsafat hukum, pemikiran Jeremy Bentham (1748-1832) memengaruhi pemikiran
Austin, tokoh penyebar benih (seminal figure) dalam legal positivisme dan analitic
yurisprudence Inggris dan Amerika. Dalam teorinya, Austin mulai dengan membedakan
“law properly so called” dan “law improperly so called”. Yang disebut pertama, adalah
selalu “a species of command”, suatu ekspresi dari keinginan (wish) atau hasrat,
pertanggungjawaban, untuk menerima hukuman atau sanksi dan superioritas. Sanksi
menurut Austin adalah semata-mata sebagai suatu bentuk membebankan penderitaan
(punishment bukan reward). Yang disebut terakhir, membawa Austin pada analisisnya
tentang “kedaulatan” yang terkenal dan berpengaruh; “law strictly so called” (kaidah-
kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari mereka yang secara politik
berkedudukan lebih tinggi (political superiors) kepada mereka yang secara politik
berkedudukan lebih rendah (political inferiors).
Pada dasarnya sebenarnya Austin mereduksi hukum dengan menjelaskan bahwa hukum
adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga-lembaga yang superior
adalah upaya untuk mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain negara, terutama keuatan-
kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.
Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1790-1859), Austin
menyatakan, hukum adalah perintah yang mengatur orang perorang. Hukum berasal dari
pihak superior (penguasa) untuk mengikat atau mengatur pihak inferior. hukum adalah
perintah yang memaksa dan mengikat, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya.

C. Mazhab Utilitarisme

Mengapa dikatakan “utilitarianisme”? karena utilitarianisme berasal dari kata


“utility” bermanfaat, berguna. Maka istilah inipun kemudian ditemukan dalam tujuan
hukum yakni “kemanfaatan”. Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian
tujuan filsufisnya, adalah juga harus bermanfaat, sebagaimana yang diharapkan oleh
Jeremey Bentham (1748-1832) “The Gretest Happiness of the Greates Number”

Maksud dari Bentham mengemukakan ide tersebut tidak lain memandang bahwa
ukuran baik-buruk suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu
mengandung kebahagiaan atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham
(M.P Golding, 1978:75) suatu pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan
dan betapa kerasnya pidan itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk
mencegah dilakukannya penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila
ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.

Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill (1806-
1873), namun Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan
sebagai salah satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas
‘kemanfaatan” semata, melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan
perasaan simpati.

Sebagaimana dikemukakan oleh Bodenheimer (1974: 88) menguraikan


pandangan Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan
simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan,
tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai
kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan mencakup
semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan manusia.

Pendapat Bentham dapat diklasifikasikan sebagai utilitarianisme individual,


sedangkan Rudolf Von Jhering (1818-1889) kemudian menganut utilitarianisme sosial.
Jika diamati rangkain teori Jhering merupakan kombinasi pemikiran tiga pemikir dalam
aliran pemikiran ilmu hukum yakni Bentham, Mill dan John Austin sebagaimana ia
menolak anggapan aliran sejarah yang berpendapat, hukum adalah hasil kekuatan-
kekuatan historis murni yang direncanakan dan tidak disadari. Menurut Jhering, hukum
mesti dibuat oleh negara atau dasar sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.
D. Mazhab Sejarah

Mazhab sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan salah satu aliran pemikiran


Hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran mazhab ini
adalah das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat,
tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Penganut madzhab sejarah fokusnya
mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bengsa (Volksgeist).

Ada dua pendapat yang menyatakan tentang kelahiran mazhab ini, bahwa mazhab ini lahir
sekitar awal abad ke-19. Ada juga yang mengatakan bahwa mazhab ini lahir sekitar abad
ke-18. Menurut penulis, bahwa kelahiran mazhab ini lebih tepat pada awal abad ke-19,
sebab pelopor dari mazhab ini yang dikenal adalah Friedrich Carl von Savigny hidup pada
tahun 1770-1861, begitu juga pelopor lainnya Puchta yang hidup pada tahun 1798-1846,
dan Henry Sumner Maine hidup pada tahun 1822-1888. Sekalipun Friedrich Carl von
Savigny lahir tahun 1770, namun kecil kemungkinan jika gagasan itu dimunculkan ketika
berusia muda. Selain itu dalam buku Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa dampak pemikiran
hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap
perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan
Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman
tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Dan baru pada tahun 1900 negeri Jerman
mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch. Dengan
demikian satu abad dari 1900 (lahirnya Burgerliches Gesetzbuch) adalah awal abad ke-19.

E. Mazhab Sociological Jurisprudence

Aliran Sociological jurisprudence adalah aliran Hukum yang menilai bahwa


hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat.
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum
yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis)
positivisme hukum dan (antitesis) madzhab sejarah.
Sebagaimana diketahui, positivisme dalam hukum memandang tiada hukum
kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya
madzhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan
masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih
mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama
pentingnya.

Aliran sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli


Hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika
dengan pelopor Roscoe Pound.

Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan
dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode
fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini
dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional”
seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara sociological
jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).

F. Pragmatic Legal Realism

Aliran Realisme Hukum yang berkembang dalam wakrtu yang bersamaan


dengan Sosiological Jurisprudence. Friedmann memasukkannya sebagai bagian dari aliran
Positivisme Hukum, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari
Neopositivisme, yakni ahli hukum bernama Huijbers. Realisme Hukum skandinavia
banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya. Pragmatic
Legal Realism lebih diidentikan dengan realisme Hukum Amerika karena memang sikap
pragmatisme yang terkandung dalam realisme itu lebih banyak muncul di Amerika. Akar
realism Hukum Amerika adalah empirisme, khususnya pengalaman-pengalaman yang
dapat ditimba dari pengadilan. Dalam hal ini jelas system hukum Amerika Serikat sangat
kondusif dan terbukti kaya dengan putusan hakimnya.

Aliran hukum ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan non-
hukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat
hukum tentunya tidak mudah namun juga tidak sulit. Bagi kalangan paktisi hukum dalam
mempelajari filsafat hukum adalah suatu perimbangan dalam menjalankan tugas profesinya
dalam hukum positif.

2. Faktor perkembangan sosial dan politik:

- Aturan hukum yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan
hakim karena masing-masing fakta hukum dalam masing-masing kasus yang bersangkutan
bersifat unik.

- Karena itu, dalam memutus perkara, hakim perlu membuat hukum yang baru.

- Kebutuhan putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral dari hakim itu sendiri, bukan berdasarkan
pertimbangan hukum.

ANALISA TERHADAP KONSEP-KONSEP HUKUM

a. Hak

Pengertian hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak-pihak lainnya berkewajiban untuk memiliki hak melaksanakan apa
yang menjadi haknya itu. Tentang hak, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua jenis,
yakni hak mutlak (hak absolut) dan hak nisbi (hak relatif).

a. Hak Mutlak

Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan
suatu perbuatan. Hak tersebut dapat dipertahankan kepada siapapun juga, dan sebaliknya
setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. Ada tiga hak mutlak:

1) Hak Asasi Manusia (misalnya, hak seorang untuk dengan bebas bergerak dan tinggal
dalam suatu negara.

2) Hak Publik Mutlak (contoh: Hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya)
3) Hak Keperdataan, misalnya:

a) Hak Marital, yaitu hak-hak yang timbul antara suami dan istri dalam rumah tangga.

b) Hak/kekuasaan Orang Tua (Ouderlijke Macht).

c) Hak perwalian (Voogdij).

d) Hak pengampunan (Curatele).

b. Hak Nisbi

Hak nisbi/relatif merupakan hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau
beberapa orang tertentu, untuk menuntut supaya seseorang atau beberapa orang
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak ini sebagaian
besar terdapat dalam hukum perikatan, yang timbul dari persetujuan pihak-pihak yang
bersangkutan.

Contoh: Dari persetujuan jual-beli terdapat hak relatif seperti:

1) Hak penjual untuk menerima pembayaran dan kewajibannya untuk menyerahkan barang
kepada pembeli.

2) Hak pembeli untuk menerima barang dan kewajibannya untuk melakukan pembayaran
kepada penjual.

b. Kewajiban

Sebagaimana telah kita lihat, hak merupakan topik yang masih agak baru dalam
literatureetika umum. Sebaliknya, pembahasan tentang kewajiban mempunyai tradisi yang
sudah lamasekali. Dalam buku-buku etika sejak dulu banyak dibicarakan tentang kewajiban
terhadap Tuhan, agama, raja / penguasa, Negara, kelompok khusus di mana orang menjadi
anggota (keluarga, kalangan profesi, dan sebagainya). Bahkan dalam sejarah etika tidak
jarang uraian etis dulu diisihampir seluruhnya dengan penjelasan tentang kewajiban saja.
Dipandang sepintas lalu, rupanya ada hubungan erat antara hak dan kewajiban. Sering kita
lihat
bahwa bahasa hak dapat “diterjemahkan” ke dalam bahasa kewajiban. Jika orang A berhak

mendapatkan benda X dari orang B, akan disimpulkan begitu saja bahwa orang B
berkewajibanmemberikan benda X kepada A. Hal ini mempunyai kesan bahwa hak
memungkinkan untuk

“menagih” kewajiban. Kesan spontan ini diperkuat lagi, dengan pernyataan bahwa
hakmerupakan suatu “klaim”. Kalau memang benar hak merupakan suatu klaim, bukanlah
hal itu

dengan sendirinya berarti juga klaim terhadap seseorang? Di sini akan ditelaah lebih
mendalam

c. Hubungan Hukum

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan


dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-
undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.

Ada dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh karena hukum,
dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak
kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh
karena hukum memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta
hukum harus tetap berguna; sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai, apabila
hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem
yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan
hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-
istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Dalam prakteknya, apabila kepastian
hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama
lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan
prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan
prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan.
Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi
keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.14

Persoalan logika hukum dengan sebuah metode dan penerapan penemuan hukum oleh
hakim, baik melalui penafsiran hukum atau konstruksi hukum merupakan persoalan yang
penting dalam penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Perkembangan-perkembangan
terakhir dalam metode penemuan hukum sangat dibutuhkan oleh para hakim di negeri yang
sedang berjuang keras untuk kembali menegakkan rule of law melalui sarana penegakan
hukum (law enforcement). Penguasaan terhadap metode mutakhir penemuan hukum
mempunyai peran esensial untuk mendukung para hakim mewujudkan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum secara optimal.

Kepesatan perkembangan pendekatan pasif diperlihatkan oleh lebih dulunya peristiwa-


peristiwa hukum yang menuntut kepastian ketimbang hukumnya sendiri, karena
interpretasi nas mungkin berbeda. Pemecahan-pemecahannya mudah sekali diucapkan
tetapi sulit sekali dirumuskan. Pendekatan logika pasif berprinsip bahwa segala sesuatu
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu berarti hukum Islam.

Adanya logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum
dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak langsung
juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.

d. Akibat Hukum

Adanya prinsip sebab akibat yang berdiri dibalik seluruh realitas yang ada dan terjadi itu
membuat eksistensi sesuatu dapat dibaca-diraba dan difahami oleh akal fikiran manusia,
sehingga lalu diatas landasan prinsip hukum kausalitas itu berdirilah prinsip prinsip dasar

14
La Jaudi. 2013. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai dasar Hukum Dalam Masyarakat
ilmu logika. Dengan kata lain pada dasarnya ilmu logika dapat berdiri karena sebelumnya
manusia mengenal prinsip hukum kausalitas dibalik segala suatu yang eksist. walau kelak
ilmu logika dikembangkan dengan beragam kategori baru yang lebih kompleks tetapi
prinsip hukum kausalitas adalah penopang utamanya yang paling klasik dan mendasar
setelah prinsip dualisme tentunya, sebab prinsip sebab -akibat itu sendiri adalah bagan dari
prinsip dualisme

Sesuatu yang sebab akibatnya dapat dibaca dan difahami oleh logika akal manusia maka
dikategorikan sebagai 'logis atau rasional', contoh ; bila seseorang dipermalukan didepan
umum (sebab) maka suatu yang logis apabila lalu ia menampakkan kemarahan (akibat),
Sedang bila sesuatu tidak dapat dibaca atau sulit difahami sebab akibat nya maka sesuatu
itu dikategorikan sebagai 'ganjil-tidak logis atau irrasional'. contoh; bila ada yang
berprinsip bahwa wujud yang terdesain dapat lahir secara kebetulan tanpa peran sang
pendesain.artinya prinsip demikian tidak bisa direkonstruksi oleh prinsip hukum sebab
akibat dan karena itu prinsip demikian disebut sebagai 'tidak logis' karena makna 'logis'
adalah : sesuatu yang dapat direkonstruksi oleh prinsip sebab akibat.

e. Tanggung Jawab

Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep hak dan kewajiban. Konsep
hak merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengertian hak yang berpasangan
dengan pengertian kewajiban.15 Pendapat yang umum mengatakan bahwa hak pada
seseorang senantiasa berkorelasi dengan kewajiban pada orang lain.

Sebuah konsep yang berkaitan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung
jawab (pertanggung jawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum
atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, artinya dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan dengan peraturan yang
berlaku.

15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000, hlm 55
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa
seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia
memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu
sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.

Teori tradisional dibedakan dua jenis tanggung jawab (pertanggung jawaban) yaitu:
tanggung jawab yang didasarkan atas unsur kesalahan, dan tanggung jawab mutlak.

Situasi tertentu, seseorang dapat dibebani tanggung jawab untuk kesalahan perdata yang
dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal
semacam ini dikenal dengan sebagai tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain. Teori tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh orang lain tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) ketegori sebagai berikut:

▪ Tanggung jawab atasan

▪ Tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan orang-orang dalam tanggungannya

▪ Tanggung jawab pengganti dari barang-barang yang berada di bawah tanggungannya.

KUHPerdata menjelaskan beberapa pihak yang harus menerima tanggung jawab dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain sebagai berikut:

▪ Orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas tidakan yang dilakukan oleh anak-anak
di bawah tanggungannya atau di bawah perwaliannya.

▪ Majikan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pekerjanya.

▪ Guru bertanggung jawab atas muridnya.

▪ Kepala tukang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pekerja yang berada
dibawahnya.

▪ Pemilik binatang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh binatang
peliharaannya.
▪ Pemilik gedung bertanggung jawab atas ambruknya gedung kerena kelalaian dalam
pemeliharaan atau karena cacat dalam pembangunan maupun tatanannya.

INTERPRETASI

a. Pengertian

suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam
arti memperluas maupun membatasi/ mempersempit pengertian hukum yang ada dalam
rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang
dihadapi. Istilah lain untuk penafsiran hukum adalah interpretasi hukum.

b. Jenis-Jenis Interpretasi

a. Penafsiran Gramatikal (Taatkundige Interpretatie)


Istilah yang terdapat dalam perundangan-undangan sesuai dengan kaidah bahasa yang
berlaku, karena itu hakim harus memahami suatu teks dalam peraturan perundang-
undangan, dengan merujuk makna teks kepada makna yang telah dibakukan dalam
kaidah bahasa. “Dalam hal ini yang dijadikan sebagai pedoman adalah arti perkataan,
kalimat menurut tata bahasa atau kebiasaan.16Contoh: Kata menggelapkan artinya
menghilangkan. Meninggalkan artinya menelantarkan. Dalam implementasi dapat
dipakai salah satu arti dari arti tersebut.
b. Penafsiran Sejarah (Historische Interpetatie)
Hukum ditafsirkan dengan merujuk kepada catatan proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan tersebut. Hakim dapat memahami maksud dan tujuan pembuat
undang-undang tadi melalui sejarah, riwayat peraturan perundang-undangan tersebut. 17

16
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 59.
17
Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 347.
c. Penafsiran Sistematis (Sistematische Interpetatie)
Penafsiran suatu peraturan dengan menghubungkan dengan peraturan lain dengan
keseluruhan sistem hukum. Misalnya pengertian “Dewasa” dalam KUHP tidak
ditemukan tetapi ditemukan dalam KUHPerdata, maka bisa ditafsirkan dengan
ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata. “Interpretasi sistematis adalah metode
yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari seluruh sistem perundang-
undangan. Artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut,
ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lainnya.”

d. Penafsiran Sosiologis (Teleologis Interpetatie)


Aturan hukum ditafsirkan dengan hal-hal yang konkret yang ditemui dalam masyarakat.
Pada dasarnya penafsiran teleologis/sosiologis ini adalah penafsiran dengan mengingat
maksud dan tujuan undang-undang itu. HaI ini penting karena kebutuhan-kebutuhan
masyarakat berubah menurut masa dan tempat, sedangkan bunyi undang-undang kaku
dan tidak berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang sama saja ‘tetap
tidak berubah’. Peraturan perundang-undangan itu disesuaikan dengan hubungan dan
situasi sosial yang baru.

e. Penafsiran Autentik
Penafsiran ini adalah penafsiran terhadap teks peraturan perundang-undangan dengan
makna yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Sudarsono menyebut
penafsiran ini dengan penafsiran sahih (autentik, resmi) yaitu penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu sebagaimana diberikan oleh pembentuk undang-undang.
f. Penafsiran Futuristik
Penafsiran futuristik merupakan penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang
menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) yang berpedoman
kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constuendum).
Seperti rancangan suatu undang-undang (RUU) yang masih dalam pembahasan di DPR,
tetapi hakim yakin RUU itu akan diundangkan (dugaan politis).
g. Penafsiran Restriktif
Penafsiran dengan pembatasan cakupan. Contoh: Kata tetangga, dibatasi sebagai orang
yang memiliki rumah, dan anak kos tidak disebut tetangga karena anak kos hanya
sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Contoh lain, “Kerugian, tidak termasuk
kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya”.
h. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran dengan perluasan cakupan suatu ketentuan. Misalnya: tetangga diartikan
sebagai orang yang memilih rumah dan yang menempati rumah, maka anak kos pun
dianggap sebagai tetangga, karena anak kos tidak pemilik rumah, hanya menempati
saja. Perluasan arti kata-kata tersebut di dalam penafsiran ekstensif ini terkait erat
dengan Pasal 326 KUHPidana, yaitu: Barang siapa mengambil sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

i. Penafsiran Interdisipliner
Metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila dia melakukan analisis
terhadap kasus yang ternyata menyangkut berbagai disiplin kekhususan dalam lingkup
ilmu hukum, seperti hukum pidana, hukum administrasi, hukum internasional.
Penafsiran dengan menggunakan berbagai sudut pandang hukum. Artinya suatu
peristiwa hukum ditinjau dari berbagai pandangan hukum. Contoh: AQJ dalam kasus
kecelakaan di tol Jagorawi yang mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia. Peristiwa
itu termasuk peristiwa pidana, tetapi AQJ masih di bawah umur, maka dia dikenakan
UU Perlindungan Anak. Sementara Ahmad Dani orang tua AQJ membiarkan anaknya
mengemudikan mobil tanpa SIM. Dilihat dari KUHP dengan membiarkan tersebut
termasuk keikutsertaan.

j. Penafsiran Multidisipliner
Penafsiran dengan mempergunakan ilmu-ilmu lain di luar ilmu hukum, seperti
penafsiran dengan ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu psikologi, dan sebagainya.
Contoh: Kasus Aborsi harus melibatkan ilmu kedokteran. Dalam metode interpretasi
multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang
dihadapinya, seorang hakim harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai
masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.

TEORI KEBENARAN
a. Pengertian
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila
terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan

b. Jenis-Jenis Teori Kebenaran

Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat tergantung
dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Dalam menguji
suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi
sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori
tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

1. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)

Teorikebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-


pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan)
adalah benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori
ini sering diasosiasikan denganteori-teori empiris pengetahuan.

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57).

Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai
dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di sebelah barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan
fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu salah (Jujun,
1990:237).

Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung
dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.”

Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran


yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini
menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu
mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”,
Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.

Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan
demikian kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara
pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan
yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi
actual.

Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey dan Tarski.
Mengenai teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
"Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan
itu sendiri".

2. Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu
pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai
benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian
sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu
kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.

Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan fakta
atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu.

Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang di anggap benar".

Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah
suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam
akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.

Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling
berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran
adalah konsistensi, kecocokan.”

Teorikebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria


koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55).

Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara
pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten
dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk
menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya
interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-
tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut
(Titus,1987:239)

3. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah
yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah
berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat
Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun,
1990:57).

Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu
pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak ada
kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan
tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.

Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu dikembangkan
teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar karena
fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan,
dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat
bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa
kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai
nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-
akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi
oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil
atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan
teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek
permasalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-
keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan
manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat
eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin
bagi manusia.

4. Teori Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian
yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas
tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti
empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin
adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa
kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil
dan sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari
pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada
adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran.

5. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya
paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama
yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua
anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai


bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma
berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya
perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam
memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat
menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.
6. Teori Kebenaran Sintaksis

Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.

7. Teori Kebenaran Semantis

Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari
segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya
pengacu (referent) yang jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi
atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.

8. Teori Kebenaran Non-Deskripsi

Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat


fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan
mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu
(mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).

9. Teori Kebenaran Logik

Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan
suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa— pernyataan—yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya.

10. Agama sebagai Teori Kebenaran

Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.

KESESATAN BERPIKIR
a. Pengertian
Fallacy berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Fallacy
didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh
ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja
maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan
berpikir ‘ngawur’.

b. Jenis-Jenis Kesesatan Berpikir


Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam
penalaran.Secara sederhana kesesatan berpikir dapat dibedakan dalam dua kategori,
yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
1. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran
yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (hukum-
hukum silogisme).
2. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi)
penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang
menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena
memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya
(kesesatan relevansi).
Berikut ini adalah beberapa jenis fallacy dari jenis “Kesesatan Relevansi” (Kesesatan
Material) yang sering dilakukan oleh kaum sofis sejak masa Yunani kuno:
1. Fallacy of Dramatic Instance, yaitu kecenderungan untuk melakukan analisa
masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen
yang bersifat general atau umum (over generalisation).
Contoh: “Semua yang menentang hukuman mati para terpidana narkoba berarti adalah
pelaku atau pendukung kejahatan narkoba. Saya melihat sendiri dengan mata kepala
saya bahwa tetangga saya kemarin begitu ngotot menentang hukuman mati bagi
pengedar narkoba, eh, ternyata seminggu kemudian ia tertangkap polisi karena
mengedarkan narkoba.”
Pembuktian Sesat Pikir: Satu-dua kasus yang terjadi terkait pengalaman pribadi kita
dalam satu lingkungan tertentu tidak bisa dengan serta merta dapat ditarik menjadi satu
kesimpulan umum yang berlaku di semua tempat.
2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse): Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi
ketika argumentasi yang diajukan tidak tertuju pada persoalan yang sesungguhnya,
tetapi justru menyerang pribadi yang menjadi lawan bicara.
Contoh: Saya tidak ingin berdiskusi dengan Anda, karena Anda seorang anak kecil
yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Argumen Anda menjadi benar, bukan dengan
membodohi atau menganggap remeh orang lain, tetapi karena argumen Anda disusun
berdasarkan kaidah logika yang benar dan bukti-bukti atau teori yang telah diakui
kebenarannya secara ilmiah.
3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial): Berbeda dari argumentum
ad hominem tipe I, maka sesat pikir tipe II ini menyerang pribadi lawan bicara
sehubungan dengan keyakinan seseorang dan atau lingkungan hidupnya, seperti:
kepentingan kelompok atau bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan
SARA.
Contoh 3: “Saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan olehnya terkait dengan agama
Islam, karena ia bukan orang Islam.”
Pembuktian Kesesatan Berpikir: Ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran dari
argumentasi yang logis, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.
4. Argumentum Auctoritatis: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika nilai
penalaran ditentukan semata oleh keahlian atau kewibawaan orang yang
mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya
karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena
keahliannya.
Contoh: “Saya meyakini bahwa pendapat dosen itu benar karena ia seorang guru
besar.”
Pembuktian Sesat Pikir: Kebenaran suatu pendapat bukan tergantung pada siapa yang
mengucapkannya, meski ia seorang guru besar sekalipun, tetapi karena ketepatan
silogisme yang digunakan berdasarkan aturan logika tertentu dan atau berdasarkan
verifikasi terhadap fakta atau teor ilmiah yang ada.
5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc): Ini adalah jenis
sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan
sebab-akibat. Orang yang mengalami sesat pikir jenis ini biasanya keliru menganggap
satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa
yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa
pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat
dari peristiwa pertama–padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya
menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Contoh: Anda membuat surat untuk seseorang yang anda cintai dengan menggunakan
pulpen A, dan ternyata cinta Anda diterima. Kemudian pulpen A itu anda gunakan
untuk ujian, dan Anda lulus. “Ini bukan sembarang pulpen!” kata anda. “Pulpen ini
mengandung keberuntungan.”
Pembuktian Sesat Pikir: Cinta Anda diterima oleh sebab orang yang Anda cintai juga
menerima cinta Anda, bukan karena pena yang Anda gunakanuntuk menulis surat cinta.
Anda lulus ujian, bukan karena pena yang Anda gunakan mengandung keberuntungan,
tetapi karena Anda menguasai dengan baik materi yang diujikan dan dapat menjawab
dengan benar sebagian besar materi ujian dengan tepat waktu.
6. Argumentum ad Baculum: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika argumen
yang diajukan berupa ancaman dan desakan terhadap lawan bicara agar menerima suatu
konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif terhadap
dirinya
Contoh: “Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, maka Anda akan
terkena azab Tuhan. Karena yang saya ungkapkan ini bersumber dari ayat-ayat suci dari
agama yang kita yakini.”
Pembuktian Sesat Pikir: Tuhan tidak mengazab seseorang hanya karena orang itu tidak
menyetujui pendapat Anda atau tafsir Anda terhadap ayat-ayat kitab suci.
7. Argumentum ad Misericordiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika
argumen sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara
dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan atau keinginan tertentu.
Contoh: “Hukuman mati terhadap pengedar narkoba itu harus dilakukan, karena
alangkah sedihnya perasaan mereka yang keluarganya menjadi korban narkoba. Betapa
beratnya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga korban narkoba untuk
menyembuhkan dan merawat korban narkoba, belum lagi bila keluarga mereka yang
kecanduan narkoba itu meninggal. Betapa hancur hati mereka. Karena itu hukuman
mati bagi pengedar narkoba itu adalah hukuman yang sudah semestinya.”
Pembuktian Sesat Pikir: Hukuman mati bagi penjahat narkoba itu tidak dijatuhkan
berdasarkan penderitaan keluarga korban, tetapi karena pelaku tersebut terbukti
melanggar perundangan-undangan yang berlaku di dalam satu proses pengadilan yang
sah, bersih, dan adil.
8. Argumentum ad Ignorantiam: Ini adalah jenis sesat pikir yang terjadi ketika
seseorang memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada oleh sebab kita tidak mengetahui
apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya.
Contoh: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak ada gunanya, karena sampai
sekarang korupsi masih terus terjadi.”
Pembuktian Sesat Pikir: KPK dibutuhkan bukan ketika korupsi sudah berhasil
diberantas, tetapi justru saat korupsi masih merajalela di tingkat aparat penegak hukum
lainnya (mafia peradilan), aparat birokrasi, dan pejabat politik.
DAFTAR PUSTAKA

Rifai,Ahmad.2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif.


Jakarta: Sinar Grafika.
Lanur, Alex. 1983. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.
Stewart, David dan H. Gene Blocke. 1996. Fundamentals of Philosophy. New Jersey:
Prentice Hall.
Dalen, D. Van.1973. Understanding Educational Research. (New York: Mc Graw Hill
Book, 1973), 13.
Hamersma,Harry.2008. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Copi, Irving M. & Cohen Carl. 1997. Introduction to Logic. Richmond-Tx:Prentice
Hall.
Hardono, Hadi,Protasius dan Kenneth T. Gallagher. 1994. Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius.

Anderson, R.D.1970. Developing Children Thinking through Science. New Jersey:


Prentice Hall.

R. G. Soekadijo. 2003. Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif, cet. Ke-3,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sudarsono. 2002. Kamus Hukum, Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
R. G. Soekadijo, op.cit., h. 3.
La Jaudi. 2013. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai dasar Hukum Dalam
Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai