Anda di halaman 1dari 6

Inisiasi 7

Inisiasi ini disadur dari Modul 7


Teori Kriminologi (SOSI4302)
Kejahatan Tertentu dalam Konteks Struktur Sosial

White collar crime


Kejahatan sebagai salah satu bentuk akibat dari disorganisasi sosial,
memberikan pemahaman bahwa struktur sosial/masyarakat memiliki
kontribusi terhadap timbulnya suatu kejahatan. Struktur sosial tertentu dapat
merupakan prevalensi terjadinya/timbulnya kejahatan.
Struktur sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan munculnya
beberapa kejahatan tertentu, di mana kejahatan tersebut didukung oleh
perbedaan struktur sosial itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah
oleh kelompok tertentu yang berada di dalam struktur sosial dapat
menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu, yang dapat digolongkan
sebagai kejahatan. Perbuatan itu, menurut orang yang bersangkutan,
dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur sosial
tersebut. Kejahatan tertentu yang akan diuraikan dalam inisiasi ini, adalah
white collar crime di mana eksistensinya dimungkinkan oleh keberadaan
pelaku dalam struktur sosialnya, sedangkan kejahatan lain dalam bentuk
domestic violence harap dipelajari sendiri.
Jika kita berbicara tentang kejahatan, pada umumnya kita selalu
menunjuk pada jenis kejahatan yang biasa disebut sebagai kejahatan
konvensional, seperti kejahatan terhadap harta benda, misalnya pencurian,
perampokan, atau pembunuhan, perkosaan, serta berbagai jenis kejahatan
yang dapat digolongkan sebagai kejahatan kekerasan. Dalam inisiasi ini
akan membahas suatu jenis kejahatan lain, yang karena sifat dan
kecenderungannya berbeda dengan jenis kejahatan konvensional. Dalam
kasanah kriminologi, kejahatan dimaksud disebut sebagai white collar
crime.

Pengertian White Collar Crime


Secara harafiah white collar crime dapat diartikan sebagai kejahatan
kerah putih. Istilah white collar crime pertama kali dikemukakan oleh Edwin
H. Sutherland dalam pidatonya di muka American Sociological Society pada
tahun 1939. Naskah pidato tersebut kemudian dimuat dalam American
Sociologocal Review pada bulan Februari tahun 1940.
Sampai sejauh ini banyak versi yang mencoba mendefinisikan jenis
kejahatan ini, namun pada dasarnya semua definisi itu satu sama lain saling
melengkapi, karena intinya adalah sama. White collar crime adalah kejahatan
yang melibatkan orang-orang yang dihormati dan berstatus sosial tinggi
dalam memburu kedudukan mereka (Sutherland dan Cressey, 1960). Versi
lain mengatakan bahwa kejahatan orang berdasi adalah penyalahgunaan
kepercayaan oleh mereka yang pada umumnya dipandang sebagai warga
yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari (Adams, 1987).
Dari dua definisi di atas terlihat ada persamaan kategori kejahatan
dimaksud, yaitu bahwa kejahatan tersebut dilakukan orang yang memiliki
status tertentu dan kejahatannya menunjukkan pola yang sejenis. Akan lebih
jelas lagi apabila dilihat siapa sebenarnya white collar criminals. White
collar criminals adalah orang-orang yang pantas dihormati dan berstatus
sosial tinggi yang terlibat dalam kejahatan yang berkaitan dengan
pekerjaannya (Short Jr, 1973).

Sumber: Short Jr, 1973.


Penjahat berdasi adalah orang-orang terbaik: orang terhormat, jarang ada yang
miskin dan sering kaya raya; dalam banyak contoh, mereka tergolong orang yang
paling berkuasa dan bergengsi dalam masyarakat.

Penjahat berdasi adalah orang terbaik, mereka adalah orang terhormat,


jarang ada yang miskin dan umumnya kaya raya. Dalam banyak hal, mereka
tergolong orang yang paling berkuasa dan bergengsi dalam masyarakat.
Tetapi mereka berbohong, mencuri, dan menipu (Adams, 1987). Jelas bahwa
orang yang terlibat dalam kejahatan ini bukanlah orang yang miskin atau
berstatus sosial rendah (lower class). Mereka adalah -orang yang berasal dari
kalangan atas (upper class) dan berkedudukan tinggi di dalam pekerjaannya.
Namun di sini perlu ditekankan bahwa white collar crime jangan dikacaukan
dengan pengertian kejahatan biasa yang dilakukan oleh mereka dari kalangan
atas.
Orang kalangan atas yang melakukan white collar crime perlu dibedakan
dengan orang kalangan atas yang melakukan kejahatan biasa, yang juga
dilakukan oleh mereka dari kalangan rendah di mana penuntutan pidananya
didasarkan pada hukum kejahatan yang biasa pula. Jika orang kalangan atas
melakukan pembunuhan, perampokan, perkosaan, pencurian biasa, atau
kejahatan lain di bawah kejahatan biasa, mereka semata-mata digolongkan ke
dalam penjahat biasa dan dituntut sebagai penjahat biasa pula. Tidak berarti
bahwa para penjahat yang tergolong ke dalam white collar semata-mata
hanya karena mereka adalah orang kalangan atas (Vold, 1979).
Tipologi dalam White Collar Crime
Cukup banyak referensi yang membahas tentang tipologi dari white
collar crime ini, namun dalam modul ini akan dijelaskan tipologi yang
diajukan oleh Clinard dan Quiney (1967) dan tipologi dari Conklin (1989).
Menurut Clinard dan Quinney (1967), white collar crime dapat
dikelompokkan dalam dua macam prilaku, yaitu occupational criminal
behavior dan corporate criminal behavior.
Occupational criminal behavior adalah suatu perbuatan jahat yang
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai pekerjaan tertentu, dan oleh
karenanya mempunyai jabatan tertentu. Perbuatan jahat yang dilakukannya
biasanya berhubungan dengan pekerjaannya yang sah menurut hukum.
Dengan kata lain, karena jabatannyalah seseorang dapat melakukan suatu
perbuatan jahat. Sedangkan Corporate criminal behavior adalah perbuatan
jahat yang dilakukan oleh korporasi. Corporate criminal behavior biasa juga
disebut sebagai organizational occupational crime.

Kemudian, tipologi yang diajukan oleh Conklin (1989) tentang white


collar crime mencakup:
1. Kejahatan korporasi
Beberapa contoh perilaku penyimpangan atau kecurangan yang pada
akhirnya dapat diwujudkan dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi antara lain adalah (a) iklan yang menyesatkan, yang dapat
merugikan konsumen demi meraih keuntungan pribadi/korporasi; (b)
penipuan/penggelapan pajak, seperti memberikan keterangan tidak benar
dalam bea masuk, keterangan tidak benar dalam perbankan atau pasar modal,
memberikan keterangan palsu dalam proses penilaian kredibilitas
perusahaan, dan sebagainya; (c) penyuapan terhadap berbagai pihak untuk
melancarkan ijin operasi, dan sebagainya; (d) eksploitasi tenaga buruh yang
nyata-nyata mengabaikan aturan perburuhan; (e) memproduksi barang yang
membahayakan; (f) pencemaran lingkungan oleh pabrik; dan (g)
penyimpangan dan pencurangan di bidang asuransi
2.

Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai perusahaan.


Beberapa contoh kejahatan yang dilakukan oleh pegawai perusahaan
karena pekerjaan dan jabatan yang dimiliki antara lain adalah: (a)
penggelapan uang/membuat biaya tidak benar/fiktif, seperti membuat
pembukuan ganda, membuat neraca laba rugi secara tidak benar, serta
beberapa bentuk penyimpangan dan kecurangan akutansi lainnya; serta (b)
pencurian oleh pegawai
3.

Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah


Kejahatan jenis ini sebagian besar sama dengan jenis kejahatan yang
dijelaskan pada butir kedua. Namun dari segi kerugian, apabila
penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah tersebut
menyangkut masalah kebijakan umum, maka akan berdampak luas dan
mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi. Beberapa jenis penyimpangan
dan kecurangan yang dapat disebutkan, antara lain adalah kebrutalan polisi
(police brutality), menerima suap, penggelapan uang. Khusus penyimpangan
atau kecurangan yang terkait dengan penyuapan suap, jika hal tersebut
dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka akan sangat mempengaruhi
penegakkan hukum yang seyogyanya justru diperlukan untuk menanggulangi
white collar crime (serta kejahatan jenis lainnya). Secara langsung atau tidak

langsung, pihak yang seyogyanya dapat menanggulangi white collar crime


kini justru telah menjelma menjadi white collar criminal.
White Collar Crime: Suatu Konsekuensi Bisnis atau Kejahatan?
Hingga saat ini masih sering diperdebatkan tentang masalah apakah
white collar crime ini adalah kejahatan atau bukan, khususnya dalam
merujuk white collar crime sebagai kejahatan korporasi. Sering kali mereka
yang dipandang oleh satu pihak sebagai white collar criminals tidak merasa
bahwa dirinya adalah seorang penjahat atau telah melakukan suatu perbuatan
yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan (Short Jr, 1973).
Tidak dapat dielakkan bahwa ada sementara ungkapan yang berkembang
di kalangan bisnis bahwa dalam mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya
haruslah dengan mempergunakan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Hal ini
membawa dampak bagi timbulnya upaya para pengusaha untuk dapat
menerobos peluang atau lubang dari hukum atau aturan yang ada. Dengan
demikian para pengusaha cenderung akan mengembangkan sifat yang
menghiraukan apakah perbuatannya akan merugikan orang lain atau tidak.
Bagi mereka setiap usaha haruslah dititikberatkan pada bagaimana mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Malangnya, andaikata sebagian
masyarakat juga telah dirasuki dan terpengaruh oleh persepsi bisnis semacam
ini, pada gilirannya akan dapat menyetujui perbuatan semacam ini
berkembang luas.
Untuk menjawab hal ini, Sutherland (Vold, 1979) mengemukakan
dalilnya bahwa pelanggaran jenis ini (white collar crime) tetap dapat
dianggap sebagai kejahatan, karena beberapa karakteristik yang dimilikinya,
antara lain:
1. Pelanggaran tersebut diakui oleh hukum sebagai perbuatan yang
merugikan masyarakat;
2. Memiliki sanksi yang sah yang memerintahkan pemberian hukuman
untuk pelanggaran itu;
3. Tingkah laku yang termasuk di dalamnya pada umumnya dilakukan
dengan sengaja dalam arti bukan secara kebetulan dan dilakukan secara
sadar oleh si pelanggar.
Setelah membahas masalah white collar crime dalam waktu yang
sesingkat ini, maka harapan kita semua tentunya adalah kita akan lebih sadar
dan mawas diri bahwa di sekitar kita ada suatu sosok kejahatan yang siap

muncul sewaktu-waktu. Sosok kejahatan tersebut, pada satu sisi akan sangat
menyenangkan dan berguna bagi kita, namun pada sisi lain akan dapat
menjebak kita untuk menjadi seorang pelaku kejahatan atau sebagai seorang
white collar criminal.
Adal layar yang sangat tipis yang memisahkan dua sisi di atas,
menikmati atau menghindari kemungkinan kita menjadi seorang white collar
criminal. Makin tipis layar tadi makin tidak jelas sesuatu itu baik atau tidak,
dan pada gilirannya akan lebih menambah sikap permisif masyarakat
terhadap kehadiran segala bentuk white collar criminal.
Suatu renungan tentang peristiwa kejahatan yang berbeda akan penulis
contohkan. Jika kita mendengar ada suatu perampokan atau perkosaan, kita
akan dengan leluasa dan antusias membicarakannya, entah mengutuk si
pelaku entah menerka-nerka latar belakang dilakukannya perampokan atau
perkosaan tersebut. Namun jika kita mendengar ada penyelewengan
perusahaan atau korupsi yang dilakukan oleh atasan kita di kantor, kita akan
malas membicarakan, karena kita anggap sudah wajar bila seseorang pejabat
dapat melakukan korupsi atau penyelewengan lain. Sikap yang demikian itu
jika berkembang terus di dalam masyarakat, maka akan lebih menyuburkan
timbulnya white collar crime itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai