Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kejahatan merupakan hal yang menjadi perhatian penting bagi setiap negara
terutama di Inonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan dimaksudkan
sebagai suatu perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang telah disahkan
oleh hukum tertulis. Menurut Bonger dalam bukunya Inleiding tot de Criminologie
berpendapat bahwa kejahatan adalah sebagian dari perbuatan-perbuatan amoral (tanpa
susila). Pada negara-negara modern dapatlah dikatakan bahwa setiap perbuatan yang
dicap sebagai kejahatan oleh warganya akan dipandang juga sebagai perbuatan-
perbuatan tanpa susila. Namun demikian mungkin saja terdapat perbedaan perasaan di
antara para warga tentang seberapa besar sifat amoral dari suatu perbuatan. Menurut
Durkheim, mengartikan kejahatan sebagai gejala yang normal pada masyarakat,
apabila tingkat keberadaannya tidak melampaui tingkat yang dapat dikendalikan lagi
berdasarkan hukum yang berlaku (Bonger, W.A, 2012: 95).

Dilihat dari segi hukum, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan manusia


yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum,
tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum,
dan tidak memenuhi atau melawan perintahperintah yang telah ditetapkan dalam
kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat
tinggal (Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 2017: 29). Banyak bentuk kejahatan
yang terjadi dalam lingkungan masyarakat baik dari golongan masyarakat atas
maupun golongan masyarakat bawah tergantung kepentingan dan keuntungan yang
ingin dicapai dari tindak kejahatan tersebut. Bentuk kejahatan yang saat ini sering
menjadi sorotan publik adalah “kejahatan kerah putih” atau “white collar crime”.
Seorang sosiolog Amerika, Edwin Sutherland pertama kali memperkenalkan konsep
"kejahatan kerah putih" atau white collar crime (WCC) pada konferensi American
Sociological Association pada tahun 1939, yaitu istilah yang secara singkat mulai
dikenal sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status
tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya. Pada kemunculannya, white collar
crime dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaianrapi (dengan jas dan
kemeja berkerah putih), sehingga “kerah putih”disimbolkan sebagai jabatan yang
melekat pada orang tersebut.

Di Indonesia sendiri, fenomena white collar crime sudah merajalela, baik di


sektor pemerintahan maupun swasta. Kejahatan kerah putihumumnya melibatkan
suatu skema fraud yang meliputi korupsi, penyalahgunaan aset, dan fraud pada
laporan keuangan. Kerugianyangditimbulkan sebagai akibat dari kejahatan ini tidak
dapat terlihat secaralangsung seperti tindakan kejahatan pada umumnya yang
memiliki bukti 4 kejahatan (evidence) yang jelas. Oleh karenanya, white collar crime
atau kejahatan kerah putih umumnya baru terbongkar setelah menimbulkan banyak
korban, sebab tidak mudah untuk mengetahuinya, karena sifatnya yang melebur
dalam sistem, sehingga korban dan publik tidak bisa melihatnya.

1. Permaslahan dan Identifikasi Permasalahan


Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat
dalam makalah ini adalah “Mengapa  ‘White Collar Crime’ sebagai kejahatan menjadi
terus ada dan berkembang di Indonesia dan bagaimana upaya pencegahannya?”.

Berdasarkan permasalahn di atas maka dapat diidentifikasi permasalahanya yaitu :


1. Bagaimana sejarah perkembangan dari white collar crime
2. Karakteristik dari white collar crime
3. Penyebab munculnya white collar crime
4. Kenapa white collar crime dapat berkembang di Indonesia
5. Bagaimana upaya pencegahan white collar crime
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan White Collar Crime

Seorang sosiolog Amerika, Edwin Sutherland pertama kali memperkenalkan


konsep "kejahatan kerah putih" atau white collar crime (WCC) pada konferensi
American Sociological Association pada tahun 1939, yaitu istilah yang secara singkat
mulai dikenal sebagai perbuatankejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki
status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya. Pada kemunculannya, white
collar crime dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaian rapi (dengan
jas dan kemeja berkerah putih), sehingga “kerah putih” disimbolkan sebagai jabatan
yang melekat pada orang tersebut
Herbert Edelhertz mendefinisikan white collar crime sebagai “tindakan ilegal
atau serangkaian tindakan ilegal yang dilakukan dengan cara non fisik dan dengan
penyembunyian atau tipu muslihat, untuk mendapatkan uang atau properti, untuk
menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau property dan untuk memperoleh
bisnis ataukeuntungan pribadi."Dictionary of Criminal Justice Data Terminology
mendefinisikan white collar crime sebagai non-violent crime dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang
memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, profesional atausemi profesional dan
menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya.
Indonesia sendiri, white collar crime telah diatur secara yuridis di dalam Pasal
3 UU No. 31 Tahun 1999 walau tidakdisebutkan secara eksplisit bahwa tindakan
tersebut merupakan white-collar crime. Pasal ini berbunyi, “Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah
gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluhjuta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah). “Setidaknya satu kriminolog terkemuka telah menyebut konsep
kejahatan kerah putih sebagai "perkembangan paling signifikan dalam kriminologi,
terutama sejak Perang Dunia II." Akar konsepnya kembali ke tahun 1939, ketika
Edwin Sutherland pertama kali menciptakan istilah kejahatan kerah putih dalam
pidato kepresidenannya di American Sociological Association.
2. Karakteristik Kejahatan White Collar Crime

Perlu diketahui bahwa ada beberapa karakteristik dari white-colla rcrime yang
membedakannya dengan kejahatan lain pada umumnya, antara lain:

1. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuhkeahlian tertentu.
2. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yangbertanggung jawab,
biasanya diarahkan ke atasan karena tidakmencegah, atau kepada bawahan karena
tidak mengikuti perintahatasan.
3. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korbantidaksecara langsung
berhadapan.
4. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak.
5. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.

Meskipun begitu, tidaklah cukup menentukan suatu tindak pidanasebagai


white-collar crime jika hanya dilihat dari karakteristik white-collar crime itu saja.
Suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai bentukdari white-collar crime jika
memenuhi unsur-unsur berikut ini :

1. Dengan sengaja melakukan perbuatan bersifat melawan hukum.


2. Merugikan negara dan masyarakat.
3. Tindakannya dilarang di dalam hukum pidana.
4. Dilakukan oleh orang-orang tertentu, yakni orang-orang yang memiliki
jabatan atau posisi yang dihormati.

Setelah menentukan suatu tindak pidana sebagai white-collar crime,


selanjutnya adalah menentukan tindak pidana tersebut digolongkan ke dalam bentuk
white-collar crime jenis apa. Maka dari itu, white-collar crime dalam pelaksanaannya
juga dibagi menjadi beberapa bentuk yang lebih spesifik antara lain kejahatan
korporasi dan kejahatan keuangan.

3. Penyebab Munculnya White Collar Crime Menurut Para Ahli

Ketika Edwin H. Sutherland pertama kali menciptakan istilah kejahatan kerah


putih, dia menulis, “Diperlukan hipotesis yang akan menjelaskan kriminalitas kerah
putih dan kriminalitas kelas bawah. ”Jawaban yang diberikan Sutherland terhadap
tantangannya sendiri adalah bahwa “kriminalitas kerah putih, seperti halnya
kriminalitas sistematis lainnya, dipelajari.” Dia melanjutkan untuk menerapkan
elemen-elementeorinya yang terkenal tentang asosiasi diferensial untuk white-collar
crime, dikatakan bahwa “hal itu dipelajari dalam hubungan langsung atau tidak
langsung dengan mereka yang sudah mempraktikkan perilaku tersebut.” Menurut
Travis Hirschi dan Michael Gottfredson, penjahat kerah putih dimotivasi oleh
kekuatan yang sama yang mendorong penjahat lain: kepentingan diri sendiri,
mengejar kesenangan, dan menghindari rasa sakit.
Hirschi dan Gottfredson menyimpulkan, bahwa kriminolog keliru dalam
mengasumsikan bahwa kriminalitas kerah putih adalah hal yang umum atau bahwa itu
sama biasa dengan bentuk kriminalitas yang ditemukan di kalangan kelas bawah.
Mereka beralasan bahwa karakteristik pribadi sebagian besar pekerja kerah putih
persis seperti yang kita harapkan untuk menghasilkan konformitas dalam perilaku.
Tingkat pendidikan yang tinggi, komitmen terhadap status quo, motivasi pribadi
untuk berhasil, rasa hormat kepada orang lain, perhatian pada penampilan
konvensional, dan aspek-aspek lain yang melekat pada konformitas sosial semuanya
cenderung mencirikan mereka yang bekerja pada tingkat kerah putih. bukanlah jenis
karakteristik pribadi yang terkait dengan komisi kejahatan.
Perspektif pelengkap oleh kriminolog Australia John Braith waite mengatakan
bahwa penjahat kerah putih sering dimotivasi oleh perbedaan antara tujuan
perusahaan dan peluang terbatas yang tersedia bagi pebisnis melalui praktik bisnis
konvensional. Ketika ditekan untuk mencapai tujuan yang mungkin tidak dapat
dicapai dalam kerangka kerja yang ada undang- undang dan peraturan yang
melingkupi bidang usaha mereka, pejabat perusahaan yang inovatif dapat beralih ke
kejahatan untuk memenuhi tuntutan organisasi. Braith waite percaya bahwa teori
umum yang mencakup baik white-collar crime dan bentuk kejahatan lainnya dapat
dikembangkan dengan berfokus pada ketidak setaraan sebagai variabel penjelas utama
dalam semua aktivitas kriminal. Jenis peluang kriminal baru dan jalan baru menuju
kekebalan dari pertanggung jawaban muncul dari konsentrasi kekayaan dan
kekuasaan yang tidak adil. Ketimpangan dengan demikian memperburuk kejahatan
kemiskinan yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup serta kejahatan
kekayaan yang dimotivasi oleh keserakahan.

4. Kenapa White Collar Crime Dapat Berkembang di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk


yang sangat tinggi. Kepadatan penduduk dengan pemerataan ekonomi yang tidak
menyeluruh menyebabkan Indonesia memiliki kesenjangan sosial yang sangat tinggi
hal ini menyebabkan tingkat kemiskinan Indonesia sangat tinggi. Kesenjangan sosial
ini dapat disebabkan oleh adanya white collar crime dimana pelaku tindakan
kejahatan ini rata-rata masyarakat golongan menengah ke bawah yang dimana saat
melaksanakan kejahatan jenis ini yang menjadi korban adalah masyarakat bawah
sehingga di Indonesia kesenjangan sosial sangat tinggi dan menyebabkan kemiskinan
ada seluruh penjuru wilayah Indonesia salah satu tindak kejahatan white collar crime
yang sering terjadi di Indonesia adalah korupsi. White collar crime dapat berkembang
di Indonesia karena adanya tiga faktor antara lain sejarah, budaya dan sifat alami
manusia yang dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Faktor penyebab pertama yaitu diferential association theory (teori asosiasi


diferensial). Sutherland berpendapat bahwa kejahatan dipelajari dari tingkah
laku manusia yang dapat diambil dari faktor sejarah, sehingga dapat
menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Ia menjelaskan bahwa
kejahatan itu dapat dipengaruhi oleh lingkungan melalui proses pembelajaran.
Sementara Gabriel Tarde berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan
seseorang merupakan hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang telah
ada dalam masyarakat. Di Indonesia hal ini sering terjadi dalam segi apapun
tdan ini menciptakan suatu kebiasaan yang dianggap sudah wajar dilakuakn
termasuk tindak kejahatan white collar crime.

2. Teori kedua yang menjadi faktor penyebab white-collar crime adalah


subculture theory (teori subbudaya) yang disebabkan oleh budaya Indonesia.
Mantan Wakil Presiden, Moh. Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah
menjadi budaya di Indonesia. Seiring dengan perkembangan, budaya korupsi
dalam birokrasi juga merambah pada korporasi. Semenjak masa orde baru
yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah terjadi korupsi, kolusi, dan
nepotisme selama kurang lebih 32 tahun oleh para pejabat atau petinggi di
dalamnya. Berdasarkan teori Clinard dan Yeager, dengan bertambah luasnya
struktur organisasi, maka penyimpangan yang terjadi akan semakin besar.
Pada organisasi baik di sektor pemerintah maupun swasta, orang-orang yang
melakukan penyimpangan ini disebut dengan oknum.

3. Selanjutnya faktor penyebab yang ketiga adalah neutralization theory (teori


netralisasi) yang menyatakan bahwa setiap manusia berpotensi untuk
melakukan kekhilafan, terutama bagi orang-orang yang telah memiliki jabatan,
karena keserakahan menjadi salah satu sifat alami manusia yang mendorong
terjadinya white-collar crime. Potensi tersebut dapat dicegah melalui kontrol
atas diri, etika dan norma agama. Penyebab yang lain masih atas faktor
manusia adalah faktor keserakahan. Kejahatan elite white-collar crime
digolongkan sebagai kejahatan individu di tempat pekerjaannya (individual
occupational). Kejahatan jenis ini memang sulit dihapuskan karena kausa atau
sebab kejahatan adalah keserakahan pelaku (Djatmika, 2013:2). Mayoritas
penyebab kejahatan terutama kejahatan biasa orientasinya adalah kebutuhan
hidup, berbeda dengan kejahatan kerah putih yang berorientasi pada faktor
keserakahan. Jika orientasinya adalah kebutuhan, saat kebutuhan itu cukup,
maka akan berhenti melakukan. Akan tetapi jika orientasi adalah keserakahan,
maka tidak akan pernah berhenti dan tidak akan pernah puas.

5. Upaya Pencegahan White Collar Crime

White collar crime merupakan tindakan kaum golongan atas yang dapat
menimbulkan kerugian negara dan menciptakan kemiskinan karena sebgain besar
kejahatan ini mengambil hak milik orang lain. Pemerintah Indonesia telah berupaya
dalam pemebrantasan jenis kejahatan ini namun faktanya masih belum dapat
mencegah bahkan menghilangkanya karena hal ini telah mandarah daging bagi oknum
pelaku dan menganggap ini merupakan hal yang wajar untuk dilakukan serta sifat
alami manusia yang tidak pernah puas. Kejahatan jenis ini memang sangat sulit untuk
dicegah bahkan diberantas, hal ini menjadi tantangan bagi seluruh negara di dunia
khususnya Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan white collar crime.
rime yang tinggi terutama dalam kejahatan korupsi yang banyak dilakukan
oleh oknum pejabat.
Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di
kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai
Indeks Persepsi Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara
papua nugini, vietnam, philipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu pada tingkat
dunia, negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang
sedang mengalami konflik. Hal ini tentu saja menjadi tamparan keras bagi Indonesia
dan telah tiba saatnya Indonesia untuk berbenah diri terutama dalam upaya
pencegahan tindak kejahatan white collar crime. Adapun beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam pencegahan kejahatan white collar crime antara lain :

1. Pendidikan Mental Terutama Bagi Generasi Muda

Pendidikan tidak hanya dalam mencari nilai yang tinggi dan baik namun
pendidikan yang penting sejatinya adalah pendidikan kepribadian yang
berhubungan dengan pembentukan mental yang baik dan jujur. Hal ini
harus ditanamkan dalam ruang lingkup palin kecil yaitu keluarga dimana
orang tua memiliki peran dalam mendidik anaknya dengan memberikan
pembekalan ajaran agama dan kepribadian yang dapat meciptakan mental
anak yang baik terutama memiliki sifat yang jujur dan bijaksana. Apabila
seorang anak telah dapat bertindak secara jujur baik melalui perkataan
maupun perbuatan maka niscaya akan terhindar dari tindakan white collar
crime yang sangat erat hubunganya dengan keserakahan. Selanjutnya
pendidikan mental ini pun sangat penting dilanjutkan dalam setiap jenjang
pendidikan yang diamana disini berperan adalah para guru yang dapat
mendidik siswa dan siswinya agar dalam setiap tindakanya selalu
dialndaskan dengan kejujuran agar nantinya dapat menjadi orang yang
berguna dan dapat mengubah kehidupan bangsa ini. Sebab generasi muda
atau generasi selanjutnya merupakan generasi yang akan melanjutkan
tongkat estafet dalam pemerintahan Indonseia dimana oknum kejahatan
white collar crime banyak ditemukan di Lembaga-lembaga pemerintahan
Indonesia dimana kejahatanya dalam bentuk korupsi. Sehingga pendidikan
baik di keluarga maupun jenjang pendidikan formal sangat mempengaruhi
untu terciptanya kepribadian yang baik dan jujur demi terciptanya negara
Indonesia yang lebih baik dan terbebas dari kejahatan white collar crime
terutama korupsi.
2. Penanaman Nilai Pancasila Sejak Dini

Pancasiila dalam kedudukannya sebagai kristalisasi nilai-nilai yang


dimiliki dan diyakıni kebenarannya oleh bangsa Indonesia, telah
dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang Undang Dasar
1945. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, memiliki fungsi
utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam kedudukannya yang
demikian Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, sebagai
sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar
nasional dalam tata hukum di Indonesia. Pancasila dalam kedudukannya
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum dasar
nasional, menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum yang
berlaku di negara Indonesia. Hukum yang dibuat dan berlaku di negara
Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Hukum di Indonesia harus menjamin dan
merupakan perwujudan serta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 dan interpretasinya dalam tubuh UUD 1945
tersebut. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia telah mewakili
semua aspek kehidupan berbangsa dan negara yang adil dan Makmur
sehingga konsep Pancasila ini harus ditanamkan sejak dini bagi generasi
muda yang diawali di ruang lingkup keluarga dimana orang tua harus
mengerti konsep Pancasila terlebih dahulu lalu kemudian ditanamkan
kepada anaknya begitu pula hal ini dilakukan pada jenjang pendidikan
formal dimana nilai Pancasila harus ditanamkan dimana hal ini dapat
diwujudkan dengan diberikanya mata pelajaran khusus mengenai
Pancasila sehingga generasi muda dapat mengerti pentingnya nilai-nilai
Pancasila beserta sejarahnya. Dengan ditanamkanya nilai Pancasila ini
maka diyakinkan dapat mencegah terjadinya kejahatan white collar crime.

3. Mengubah Sistem Pemerintahan dan Korporasi serta Mempertegas


Hukum di Indonesia

Sejatinya tidak ada yang salah dengan sistem pemerintahan maupun


korporasi di Indonesia namun oknum-oknum di dalam pemerintahan dan
korporasi yang menyalahgunakan kewenanganya sehingga banyak
menimbulkan kejahatan yang merugikan masyarakat terutama tindak
kejahatan white collar crime. Untuk memperbaiki sumber daya manusia
agar menjadi lebih berkualitas dan bermutu baik dari segi ilmu
pengetahuan serta kepribadian yang berperan adalah sistem pendidikan
dari keluarga hingga jenjang pendidikan formal. Apabila telah terbentuk
SDM yang berkualitas maka yang perlu diperbaiki adalah sistem
pemerintahan di Indonesia, dimana sistem pemerintahan dan korporasi di
Indonesia terlalu rumit dan banyak Lembaga-lembaga yang tidak
menjalankan peranya secara maksimal dan ini hanya merugikan keuangan
negara dan mempermudah timbulnya tindak kejahatan white collar crime.
Berdasarkan teori Clinard dan Yeager, dengan bertambah luasnya struktur
organisasi, maka penyimpangan yang terjadi akan semakin besar, maka
dari itu struktur organisai perlu disederhanakan dan birokrasi sebagai
pelayanan masyarakat perlu dipermudah tanpa dikenakan biaya sedikit pun
untuk menghindari terjadinya pungli. Selain itu untuk mendisiplinkan para
pegawai baik pegawai negeri, BUMN maupun swasta yang berpotensi
melakukan tindak kejahatan white collar crime perlu diadakanya sidak
dalam bentuk upaya pengawasan terhadap kinerjanya. Selain sistem yang
diubah harus diikuti dengan pelaksanaan hukum yang tegas. Indonesia
telah menarapkan atau memberlakukan hukum secara yuridis yang
berhubungan dengan white collar crime walaupun tidak tersirat secara
langsung yaitu Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Namun hukuman belum
begitu tegas diberlakukan seakan akan hukum di Indonesia tajam ke bawah
dan tumpul keatas dengan artian hukum lebih tegas menghukum para
pelaku kejahatan menengah kebawah sedangkan kurang tegas menghukum
para pelaku kejahatan menengah keatas terbukti dari para koruptor yang
menerima hukuman tidak sebanding denga apa yang telah dilakukanya
terhadap negara dan setelah dihukum mendpatkan fasilitas yang tergolong
bagus saat berada dalam Lembaga pemasyarakatan, tentunya hal ini tidak
dapat membuat jera para pelaku white collar crime terutama pelaku tindak
korupsi. Jadi sebaiknya hukum yang telah dibuat diberlakukan secara tegas
bahkan koruptor yang merugikan negara dengan jumlah yang besar
diberikan hukuman seumur hidup atau hukuman mati sebagai efek jera
bagi oknum-oknum yang lain.

Semua cara pencegahan di atas tidak dapat berjalan dengan maksimal


apabila hanya dilaksanakan oleh pemerintah saja, begitu pula apabila
hanya dilakukan oleh masyarakat. Jadi seharusnya masyarakat dan
pemerintah saling bekerja sama dan bergotong royong untuk menciptakan
Indonesia yang lebih baik, jujur, makmur dan sejahtera.
BAB III

PENUTUP

Dilihat dari segi hukum, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan manusia yang
melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya
perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum, dan tidak
memenuhi atau melawan perintahperintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum
yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal. Bentuk
kejahatan yang saat ini sering menjadi sorotan publik adalah “kejahatan kerah putih” atau
“white collar crime”. Seorang sosiolog Amerika, Edwin Sutherland pertama kali
memperkenalkan konsep "kejahatan kerah putih" atau white-collar crime (WCC) pada
konferensi American Sociological Association pada tahun 1939, yaitu istilah yang secara
singkat mulai dikenal sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan
memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya.

Indonesia sendiri, white-collar crime telah diatur secara yuridis di dalam Pasal 3
UU No. 31 Tahun 1999 walau tidakdisebutkan secara eksplisit bahwa tindakan tersebut
merupakan white-collar crime. White collar crime dapat berkembang di Indonesia karena
adanya tiga faktor antara lain faktor sejarah, faktor budaya dan sifat alami manusia. Hasil
survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia,
Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi
Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara papua nugini, vietnam,
philipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu pada tingkat dunia, negara-negara yang
ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik.
Hal ini tentu saja menjadi tamparan keras bagi Indonesia dan telah tiba saatnya Indonesia
untuk berbenah diri terutama dalam upaya pencegahan tindak kejahatan white collar
crime. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pencegahan kejahatan white
collar crime antara lain : pendidikan mental terutama bagi generasi muda, penanaman
nilai Pancasila sejak dini, perubahan sistem pemerintahan dan korporasi serta
mempertegas hukum di Indonesia.

Pencegahan diatas dapat dilakukan secara bertahap dengan sistem yang


diberlakuakan secara komprehensif dan berkesinambungan agar dapat menjadi budaya
baru di Indonesia. Semua cara pencegahan di atas tidak dapat berjalan dengan maksimal
apabila hanya dilaksanakan oleh pemerintah saja, begitu pula apabila hanya dilakukan
oleh masyarakat. Jadi seharusnya masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama dan
bergotong royong untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, jujur, makmur dan
sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Buamona, Syahdi. 2019. “White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih) dalam
Penegakan Hukum Pidana”. Jurnal Madani Legal Review (Vol. 3, No. 1). Maluku: STAI
Babussalam Sula Maluku Utara

Eleanora, Fransiska Novita. 2013. “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”.
Forum Ilmiah (Vol. 10, No. 2). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas MpuTantular

Firdausi, Firman dan Asih Widi Lestari. 2016. “Eksistensi “White-Collar Crimedi
Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif”. Jurnal Reformasi (Vol. 6, No.
1). Malang: Universitas Tri bhuwana Tungga dewi Malang Harkrisnowo,

Harkristuti. 2004. “Transnational Organize Crime:Dalam Perspektif Hukum Pidana


dan Kriminologi”. Jurnal Hukum Internasional (Vol. 1, No. 2). Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia

Juniartha, I. W. 2020. “Korupsi sebagai Transnational Crime: PalermoConvention”.


Jurnal Kertha Wicara, (Vol. 9, No. 10). Badung: Fakultas Hukum Universitas Udayana

Laoh, Clinten Trivo. 2019. “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana White
Collar Crime”. Jurnal Lex Crimen (Vol. 8, No. 12). Manado: Fakultas Hukum Universitas

Sam Ratulangi Rizanizarli. 1996. “Keberadaan Kejahatan Terorganisasi di


Indonesia”. Kanun Jurnal Ilmu Hukum (No. 13). Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas
Syiah Kuala

Schmalleger, Frank. 2009. “Criminology Today an Integrative Introduction”. NYC:


Pearson.

Sutherland, Edwin H. 1955. “Principles of Criminology”. Los Angeles: J.BL ippincott


Company

Anda mungkin juga menyukai