Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KEJAHATAN WHITE COLLAR CRIME DI INDONESIA DAN


UPAYA PENCEGAHANNYA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kriminologi


Dosen Pengampu: Felizia Novi Kristanti

Disusun oleh:
JENNYC STEVANIA

PRODI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS TERBUKA
JUNI 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa
atas berkat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan di
dalamnya. Makalah ini membahas mengenai Kejahatan White Collar Crime di
Indonesia dan Upaya Pencegahannya. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata pelajaran Kriminologi. Penulis juga berharap semoga
pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah
wawasan dan pengetahuan.
Keberhasilan penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu, yaitu:
1. Ibu Felizia Novi Kristanti selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Kriminologi
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan semangat.
3. Semua pihak yang telah membantu demi terselesainya tugas makalah ini.
Al insanu makhallul khotho’ wa an-nisyan, manusia itu tempatnya salah dan
lupa. Oleh karena itu, kami berharap pemberian maaf atas kekurangan dan
kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Saran dan kritik
sangat kami harapkan agar kami dapat memperbaiki makalah-makalah selanjutnya.

Kediri, 11 Juni 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan ...........................................................................................2
D. Permasalahan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Ruang Lingkup White Collar Crime .................................................................3
1. Pengertian White Collar Crime .........................................................................3
2. Unsur-Unsur White Collar Crime .....................................................................6
3. Bentuk-Bentuk White Collar Crime .................................................................7
4. Penegakan Hokum terhadap White Collar Crime .............................................9
B. Contoh Kejahatan Dunia Perbankan sebagai Kategori White Collar Crime ..11
C. Upaya Penanggulangan Kasus Kejahatan Perbankan di Indonesia ................21
BAB III PENUTUP ..............................................................................................24
A. Kesimpulan ......................................................................................................24
B. Saran.................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di negara Indonesia, kejahatan kerah putih atau white collar crime sudah
menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah
putih atau white collar crime tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas,
dan mendurhakai rakyat yang ditandai dengan lemahnya tampilan penegak hukum
di tanah air. Kejahatan kerah putih (white collar crime) yang endemik dan sistemik
di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Hukum
dengan mudah diperjual belikan dengan harga kompromi. White collar crime
(kejahatan kerah putih) merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai status sosial ekonomi tinggi dan mempunyai kedudukan terhormat di
masyarakat. White collar crime ini sangat berbeda dengan kejahatan konvensional
pada umumnya, dimana pelakunya adalah orang-orang yang berasal dari kelas
sosial ekonomi yang rendah. Pelaku white collar crime meliputi kalangan
pengusaha, pejabat, dan kalangan profesional.
Contoh-contoh dari white collar crime antara lain malpraktek oleh dokter,
pengacara atau notaris, korupsi di kalangan pejabat, kolusi penguasa dengan
pengusaha, iklan yang menyesatkan, persaingan curang, manipulasi pajak,
makanan dan obat-obatan yang membahayakan lingkungan. Modus operasi dari
kejahatan kerah putih atau white collar crime dilakukan secara terselubung,
terorganisir, dan berdasarkan suatu keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Munir
Fuady mengatakan bahwa suatu white collar crime dapat juga terjadi di sektor
publik, yakni yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau
pejabat pemerintah, sehingga sering disebut juga dengan kejahatan jabatan
(occupational crime). White collar crime ini seperti banyak terjadi dalam bentuk
korupsi dan penyuapan, sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Korupsi dan suap menyuap yang terjadi di kalangan penegak hukum, seperti polisi,
jaksa dan hakim adalah hal yang sangat gencar dibicarakan di mana-mana,
disamping korupsi di kalangan anaggota legislatif dan eksekutif. Eksistensi white

1
collar crime yang lain yang lain adalah kejahatan korporasi. Kejahatan jenis ini
sangat jarang berlanjut ke meja hijau ranah pidana.
Kejahatan kerah putih atau white collar crime terkait dengan jabatan yang
sah, sehingga seolah-olah kemakmuran yang dimilikinya berasal dari jabatannya
tersebut. Simbol “kerah putih” ini menandakan adanya jabatan yang sah. Pada
perkembangannya interpretasi atas jabatan sudah bukan lagi jabatan yang diperoleh
dari negara, namun termasuk juga jabatan dalam badan hukum (korporasi).
Seseorang yang memperoleh jabatan akan mendapat wewenang atau kuasa untuk
melakukan sesuatu. Oleh karenanya, kejahatan white collar crime atau kejahatan
kerah putih umumnya baru terbongkar setelah menimbulkan banyak korban, sebab
tidak mudah untuk mengetahuinya, karena sifatnya yang melebur dalam sistem,
sehingga korban dan publik tidak bisa melihatnya secara kasat mata. Seperti modus
yang dilakukan Melinda, yang memanfaatkan kepercayaan nasabah kelas premium
yang menjadi kliennya. Tanpa disadari pemilik dana, Melinda telah mengalihkan
dana-dana mereka melalui transaksi fiktif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud kejahatan white collar crime?
2. Apa contoh tindak kejahatan white collar crime dan bagaimana cara
menanggulanginya?

C. Tujuan
1. Mengetahui kejahatan white collar crime.
2. Mengetahui contoh tindak kejahatan white collar crime dan cara
menanggulanginya.

D. Permasalahan
1. Kasus kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia yaitu kasus bank
Lippo yang mengakibatkan kerugian materiil dan atau immateriil bagi
perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup White Collar Crime


1. Pengertian White Collar Crime
Kajian white collar crime mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland
pada tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological
Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai
perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta
berhubungan dengan pekerjaannya. Adapun pengertian dari white collar crime
dibagi menjadi dua, yaitu pengertian secara etimologi dan pengertian secara yuridis.
a. Pengertian White Collar Crime secara etimologi
Pada dasarnya istilah White Collar Crime mempunyai pengertian kejahatan
kerah putih. Kerah putih merupakan simbol dari jabatan. Pada kemunculannya,
kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaian
rapi (dengan jas dan kerah putih), sehingga “kerah putih” disimbolkan sebagai
jabatan yang melekat oleh orang tersebut. Beberapa para Ahli Kriminologi yang
mengemukakan tentang White Collar Crime, diantaranya:
1) E. A Ross pada tahun 1907 mengemukakan tentang criminaloid
Orang yang memperoleh kemakmuran dengan melakukan tindakan yang
memalukan, tetapi belum merupakan tindakan yang dilarang oleh masyarakat.
Sesungguhnya mereka bersalah menurut kacamata hukum, namun karena di mata
masyarakat dan menurut dirinya sendiri adalah tidak bersalah, tindakannya tidak
lagi disebut sebagai kejahatan. Pelanggar hukum ini dapat saja menyatakan
tindakannya yang tidak benar tersebut sebagai kejahatan, namun karena moralitas
berpihak kepadanya, Mereka luput dari hukuman dan celaan.
2) Albert Morris pada tahun 1935 mengemukakan tentang Penjahat Kelas Atas
Penjahat kelas atas adalah kelompok penjahat yang tidak pernah secara jelas
teridentifikasi karena posisi sosial, intelegensia, dan teknik kejahatan
membolehkannya untuk dapat bergerak bebas di antara warga masyarakat lainnya,
yang tak pelak lagi luput dari sorotan dan punishment sebagai penjahat. Antara
masyarakat dan penjahat kelas atas tidak terdapat jurang perbedaan, hanya ada

3
wilayah abu-abu yang membentuk bayangan ketidaksadaran, perbedaan antara
hitam dan putih. Di wilayah bayangan tersebut terdapat orang-orang bukan penjahat
tetapi yang standar etikanya diragukan. Di antara mereka juga terdapat orang- orang
yang nyaris dapat disebut sebagai penjahat, yang walaupun selalu tunduk hukum,
bekerja dengan cara-cara yang menyebabkan penderitaan seperti para pelaku
kejahatan konvensional (misalnya pencopet dan rampok).
3) Shuterland pada tahun 1940 mengemukakan tentang White Collar Crime
Melalui Teori Differential Assotiation, Shuterland mengemukakan bahwa
kejahatan merupakan proses belajar. Ketika para pelanggar tersebut belajar bisnis,
maka mereka juga belajar teknik-teknik melanggar hukum. Dari sini, timbullah
penyelewengan hukum.
4) M.B. Clinard dan P.C Yeager pada tahun 1980 mengemukakan tentang
Kejahatan korporasi
Korporasi harus dilihat sebagai organisasi berskala besar yang melakukan
tingkah laku yang melanggar hukum. Luasnya tanggung jawab dan menyebarnya
tanggung jawab, struktur organisasi korporasi yang luas mendorong adanya
penyimpangan oleh organisasi. Selain lingkungan ekonomi yang saling
berhubungan dengan kejahatan korporasi, lingkungan politik juga saling
bergantung dengan kejahatan korporasi.
b. Pengertian White Collar Crime secara yuridis
White Collar Crime secara ius constitutum telah diatur dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Pasal 3, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)”.
Dictionary of Criminal Justice Data Terminology mendefinisikan white
collar crime sebagai nonviolent crime dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang memiliki

4
status pekerjaan sebagai pengusaha, profesional atau semi profesional dan
menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya. Atau
perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial menggunakan
tipu muslihat dan dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan khusus dan
pengetahuan profesional atas perusahaan dan pemerintahan, terlepas dari
pekerjaannya.
Beberapa karakteristik white collar crime yang membedakannya dengan
kejahatan lain yaitu pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan
maka korban tidak akan sadar.
1) Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian
tertentu.
2) Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab,
biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan
karena tidak mengikuti perintah atasan.
3) Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara
langsung berhadapan.
4) Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak.
5) Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.
6) Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan.
7) Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.
Jo Ann Miller, seorang kriminolog dari Purdue University merinci
pengkategorian white collar crime menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1) Organizational Occupational Crime (kejahatan yang dilakukan oleh organisasi
atau perusahaan).
2) Government Occupational Crime (kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah
atau atas nama pemerintah).
3) Professional Occupational Crime (kejahatan yang berkenaan dengan profesi).
4) Individual Occupational Crime (kejahatan yang dilakukan secara individu).
Bloch dan Geis membagi white collar crime dalam 5 (lima) bagian, yaitu:
1) Sebagai individual (dilakukan oleh profesional seperti pengacara, dokter).
2) Pekerja terhadap perusahaan atau bisnis (contohnya korupsi).

5
3) Petugas pembuat kebijakan untuk perusahaan (contohnya dalam kasus anti
monopoli).
4) Pekerja perusahaan terhadap masyarakat umum (contohnya penipuan iklan).
5) Pelaku bisnis terhadap konsumennya (contohnya penipuan konsumen).
Edelhertz, membuat pembagian white collar crime dalam 4 (empat) bagian,
yaitu:
1) Kejahatan yang dilakukan oleh perorangan yang dilakukan secara individu
dalam situasi yang khusus atau ad hoc (contohnya pelanggaran pajak, penipuan
kartu kredit).
2) Kejahatan yang dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya dan
dilaksanakan oleh mereka yang menjalankan suatu bisnis, pemerintahan atau
lembaga lainnya dengan melanggar kewajiban untuk loyal maupun kesetiaan
kepada majikan atau nasabah (contohnya penggelapan, pencurian oleh
karyawan, pemalsuan daftar pengupahan).
3) Kejahatan sesekali terhadap dan dalam rangka melaksanakan bisnis tetapi tidak
merupakan kegiatan utama bisnis (contohnya penyuapan).
4) White collar crime sebagai bisnis atau sebagian kegiatan pokok (merupakan
kejahatan profesional yaitu kegiatan seperti penipuan dalam asuransi
kesehatan, kontes pura-pura, pembayaran palsu.

2. Unsur-Unsur White Collar Crime


Suatu tindak pidana dikatakan sebagai white collar crime, harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
b. Merugikan masyarakat dan atau negara
c. Dilarang oleh aturan hukum pidana
d. Perbuatannya diancam dengan pidana
e. Dilakukan oleh orang-orang tertentu
Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum artinya perbuatan
yang dilakukan adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akibat
dari perbuatan yang dilakukan tidak hanya merugikan perorangan atau sekelompok
kecil saja, tetapi dapat merugikan masyarakat luas. Baik secara langsung maupun

6
tidak langsung, dapat merugikan keuangan negara, perbuatan itu dilarang oleh
hukum pidana, serta atas perbuatan tersebut diancam dengan hukum pidana dan
pelakunya adalah termasuk ke dalam golongan intelektual.
Perbedaan utama antara white collar crime dan tindak pidana biasa antara
lain terletak pada pelakunya dan penggunaan harta hasil kejahatan yang dilakukan
serta cara kerjanya. Pelakunya pada kejahatan yang tergolong white collar crime
adalah dilakukan oleh orang yang tergolong intelektual dan terkait dengan pengaruh
kekuasaan, jabatan serta keuangan dan dengan pengaruh tersebut mereka lantas
beranggapan bahwa “mereka kebal terhadap hukum, dan cemooh masyarakat”.
Pada tindak pidana biasa pelakunya tidak tergolong kelompok intelektual mereka
termasuk orang kebanyakan yang tidak memiliki jabatan tertentu dalam
pemerintahan maupun dalam badan usaha.
Penggunaan hasil kejahatan yang termasuk white collar crime biasanya
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder seperti mobil mewah, rumah
mewah membeli barang-barang lux, investasi tanah, disimpan di Bank dalam negeri
maupun luar negeri, dll. Sedangkan pada kejahatan biasa hasil yang diperoleh
biasanya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum,
serta kebutuhan biologis lainnya.

3. Bentuk-Bentuk White Collar Crime


Ada berbagai bentuk white collar crime berdasarkan pengertian mengenai
white collar crime, diatas yaitu suatu hasil kejahatan atau tindakan illegal yang
dilakukan oleh individu-individu yang intelek sehubungan dengan jabatan atau
kedudukan atau suatu badan hukum yang mempunyai kekuatan keuangan yang
sangat kuat. Bentuk white collar crime akan dapat meliputi bidang
Ipoleksosbudhankam (bidang Ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan). Oleh karena itu white collar crime mempunyai tujuan tertentu yang
sangat besar serta dapat merusak kehidupan bangsa dan negara.
Bentuk Kejahatan white collar crime akan dipaparkan dalam 3 (tiga) bentuk:
a. Pemalsuan Surat
Kejahatan pemalsuan surat diatur dalam KUHP melalui pasal 263 s/d pasal
276, pasal 263 (1) KUHP menyebutkan bahwa barang siapa membuat surat palsu

7
atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hal. Sesuatu perikatan atau
sesuatu pembebasan hutang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi
sesuatu perbuatan dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan surat-surat itu seolaholah surat itu asli, dan tidak palsu diancam jika
pemalsuan tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama 6 bulan.
Misalnya: ada seorang pejabat di salah satu Bank yang ingin membobol
milik seorang nasabah yang disimpan di Bank, dimana pejabat tersebut bekerja.
Untuk memudahkan usahanya pejabat tersebut memerintah kepada orang lain agar
membuka rekening di salah satu Bank kemudian menentukan bilyet giro nasabah
pemilik uang serta mengisi nomor bilyet giro nasabah pemilik uang melalui bilyet
giro palsu, kemudian uang milik nasabah yang dikliringkan di bank dimana orang
diajak bekerjasama membuka rekening.
b. Korupsi
Kejahatan korupsi diatur dalam UU No. 3 / 1971 jo UU No. 20 / 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi, adapun yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU tersebut, salah
satu contoh misalnya yang disebutkan dalam pasal 1 (1) sub b yang selengkapnya
berbunyi “barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau
sarana-sarana yang ada padanya karena jabatan / kedudukan yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara, dan / atau perekonomian
negara.” Atas pasal pelanggaran pasal 1 (1) sub b, bertujuan pelakunya dapat
diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20
tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 juta rupiah, selain itu dapat dijatuhkan
hukuman tambahan yang berupa perampasan barang yang merupakan hasil
kejahatan korupsi serta membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari korupsi (pasal 28 jo pasal 34 sub a, b, c UU No. 3
/ 1971).
Misalnya: ada seorang pejabat yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek
pembangunan gedung di lingkungan kantornya, dalam menjalankan pekerjaannya
pejabat tersebut tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Atas jabatan /

8
kedudukan yang dipercayakan kepadanya, pejabat tersebut memerintahkan
merubah / mengganti barang yang digunakan dengan barang lain yang tidak sesuai
dengan standar yang ditentukan dalam rencana pembangunan, sehingga hasilnya
jelek, disamping itu pejabat tersebut membuat kuitansi fiktif serta membebankan
kepada anggaran kantor untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
c. Penyuapan
Penyuapan diatur dalam UU No. 11 / 1980 tentang Tindak Pidana Suap,
pada pasal (2) disebutkan “barang siapa member atau menjanjikan sesuatu dengan
seseorang dengan membujuk supaya orang lain itu berbuat sesuatu dalam tugasnya,
yang berlawanan dengan kewenangannya atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan hukuman penjara
selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000 (lima
belas juta rupiah)”. Pasal 3 disebutkan “barang siapa menerima sesuatu atau janji,
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu / janji
itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat seuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangannya atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum dipidanakan karena menerima suap dengan
hukuman penjara selamalamanya 3 (tiga) tahun atau denda Rp. 15.000.000 (lima
belas juta rupiah)”.
Misalnya: Pada suatu pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia
dengan kesebelasan negara lain, dalam pertandingan ternyata terjadi keganjilan,
oleh sebab itu pengurus atau pemainnya diduga keras telah terjadi perbuatan
curang, dalam hal ini apabila dugaan tersebut benar, maka pengurus maupun
pemain dapat dikenakan Tindak Pidana Suap. Akibat faktor pengetahuan,
teknologi, keberanian dan kesempatan yang tersedia mendorong seseorang untuk
melakukan white collar crime dengan memilih bank sebagai sasarannya, karena
dengan memilih bank akan memperoleh keuntungan yang sangat besar dengan
resiko yang sangat relatif kecil.

4. Penegakan Hukum terhadap White Collar Crime


Penegakan hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana bertujuan untuk
menanggulangi setiap kejahatan, hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan-tindakan

9
yang melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan serta membuat
kehidupan menjadi terganggu dapat untuk ditangulangi, sehingga kehidupan
masyarakat menjadi aman, tenteram dan terkendali serta masih dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Setiap komponen dalam setiap sistem peradilan pidana
masyarakat dituntut untuk selalu bekerjasama, hal ini seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa keempat komponen sistem
peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal
justice system”.
Kejahatan yang dilakukan oleh narapidana kejahatan kerah putih secara
umum dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan, namun diiringi dengan
kecurangan, penyesatan dan menyembunyikan kejahatan akal-akalan ataupun lewat
berbagai upaya untuk mengelak dari peraturan. Dalam rangka mewujudkan sanksi
dan penghukuman yang efektif bagi para pelaku tindak kejahatan white collar
crime, maka harus diperhatikan beberapa syarat / hal sebagai berikut :
a. Adanya suatu perubahan dan reformasi yang spesifik.
b. Tindakan manajerial yang nyata dan kasat mata.
c. Penegakan hukuman.
d. Bentuk penghukuman yang keras dan terpublikasikan kepada masyarakat luas
bagi setiap terdakwa pelaku tindak kejahatan white collar crime.
Beberapa pemikiran yuridis agar sanksi atau hukuman terhadap pelaku
tindak kejahatan white collar crime dapat efektif dan memiliki efek penjeraan atau
mencegah (deterrent) agar tindak kejahatan yang sama tidak terulang kembali,
antara lain:
a. Pelaku Dipermalukan di Muka Umum
Hukuman ini dianggap paling efektif mengingat walau bagaimanapun
seorang pejabat seorang pejabat maupun eksekutif dari suatu perusahaan tidak ingin
dirinya dipermalukan di muka umum. Oleh karena itu, individu tersebut (pejabat
maupun eksekutif), harus diupayakan maksimal mungkin agar dapat dibawa ke
pengadilan, dimana individu yang bersangkutan akan menjalani sidang yang
terbuka untuk umum, dan bahkan biasanya juga diliput oleh berbagai media massa.

10
b. Pengucilan terhadap Pejabat atau Eksekutif Tersebut
Pejabat atau eksekutif yang dinyatakan bersalah sebaiknya dikucilkan dari
pekerjaan dan dua bisnis yang bersangkutan serta dimasukkan ke dalam daftar
orang tercela.
c. Denda Diperberat
Besar dan beratnya seharusnya jauh berkali-kali lipat dari keuntungan yang
didapat dari hasil kejahatannya, sehingga hal tersebut akan memaksa mereka untuk
berpikir 2 (dua) kali bilamana ingin mengulangi kembali kejahatan yang sama.
d. Pelayanan Masyarakat
Hukuman yang berupa pelayanan wajib kepada masyarakat, dalam hal ini
diberikan kesempatan bagi para pelaku tindak pidana kejahatan white collar crime
untuk memperbaiki diri sehingga, sehingga pada akhirnya mereka diharapkan dapat
sadar akan perbuatan jahat yang telah dilakukannya.
e. Intervensi Pemerintah / Pengadilan
Harus diupayakan adanya kewenangan pemerintah / pengadilan untuk
masuk ke dalam institusi atau perusahaan bilamana didalamnya telah terjadi hal-hal
yang melenceng dari ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hal ini ditujukan untuk mencegah agar kerugian pihak-pihak tertentu tidak semakin
besar atau parah Dalam suatu jurnal diungkapkan bahwa perbedaan antara pelaku
tindak kejahatan konvensional dan white collar crime terletak pada konsep atau
sudut pandang yang bersangkutan dalam memandang diri-sendiri, dimana pelaku
tindak kejahatan white collar crime, jarang sekali bersedia menganggap dirinya
sebagai seorang penjahat dan tetap menganggap dirinya sebagai seorang
warganegara terhormat. Status social menengah keatas yang mereka sandang yang
mempersulit masyarakat luas untuk memandangnya sebagai seorang penjahat.
Kontak social lewat pengenaan stigmatisasi dan labeling sebagai seorang penjahat
bagi pelaku tindak pidana kejahatan white collar crime akan sangan berguna dalam
rangka mengawasi dan membatasi perilaku menyimpang yang mereka lakukan.

B. Contoh Kejahatan Dunia Perbankan sebagai Kategori White Collar Crime


Menurut Munir Fuadi, yang dimaksud dengan tindak pidana perbankan atau
yang disebut juga dengan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis

11
kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan, baik dengan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat
dan produk perbankan, sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau
immateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga
lainnya.
Awal berkembangnya kejahatan perbankan yang merupakan kejahatan
kerah putih (white collar crime) adalah pada saat kolapsnya bank-bank di Indonesia
disaat terjadinya krisis moneter tahun 1998 yang lalu. Penyebab kolapsnya bank-
bank tersebut seringkali diawali dengan adanya pelangaran oleh bankir terhadap
peraturan yang berlaku di bidang perbankan tersebut. Karena itu, operasional bank
harus diawasi secara ketat dan hal tersebut sudah merupakan hukum yang berlaku
secara universal.
Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 90% (sembilan puluh persen)
kejahatan dunia perbankan dilaksanakan melalui kerjasama antara orang luar dan
orang dalam bank, dimana urusan dengan bank selalu identik dengan uang sehingga
bank selalu diincar oleh para penjahat yang tergiur dengan uang tersebut, tetapi
tanpa mau berusaha untuk mendapatkannya secara halal dan wajar. Uniknya orang
dalam tersebut terdiri dari para young urban profession (yuppies) Indonesia, dengan
cirri-ciri yang sama: muda, pintar, gesit, workaholic, ambisius, punya posisi baik,
punya penghasilan dan memiliki angan-angan tinggi, tetapi kurang bermoral.
Terkadang mereka menggunakan komputer bahkan internet sebagai sarana
kejahatannya.
Bentuk-bentuk banking crimes adalah adalah misaplikasi dari dana bank,
false bank entries, laporan palsu kepada pemerintah, kredit palsu atau warkat. Palsu,
yang tidak kesemua bentuk kejahatan tersebut dapat diakomodasikan oleh hukum
positif Indonesia saat ini. Jadi, salah satu kejahatan bank adalah pemalsuan warkat
bank. Dalam hal ini yang dipalsukan atau digunakan secara tidak benar adalah kartu
kredit, travelers check, bilyet giro, kartu ATM, atau uang kertas. Cek juga sering
disalahkan dalam bentuk cek kosong. Sindikat mafia sering terlibat, baik secara
nasional, regional, maupun internasional dalam kejahatan sejenis.
Kasus white collar crime dalam dunia perbankan yang terjadi di
Indonesia yaitu Kasus Bank Lippo yang terjadi pada tahun 2003

12
Salah satu contoh kasus white collar crime dalam dunia perbankan yang
terjadi di Indonesia dan menjadi perhatian besar yang mempengaruhi perekonomian
nasional yaitu Kasus Bank Lippo yang terjadi pada tahun 2003 dengan munculnya
skandal laporan keuangan ganda dari Bank Lippo, hal ini menunjukkan bahwa
kelompok Lippo ini memang lihai dalam bermain trik di pasar modal. Tidak sia-sia
jika Lippo merupakan sedikit diantara group konglomerasi yang mengkhususkan
diri di bidang keuangan dan perbankan, sehingga sangat paham untuk mengutak-
atik masalah keuangan, perbankan dan pasar modal tersebut. Bank Lippo telah
melakukan penggorengan saham secara “terang-terangan”. Melihat pada fakta-
fakta yang ada di Indonesia saat ini, mengakibatkan makraknya kejahatan bank
yang terjadi di Indonesia.
Penyebab kejahatan bank tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu sebagai
berikut:
1. Faktor Internal Perbankan
Terdapat beberapa faktor internal yang menjadi penyebab kejahatan
perbankan di Indonesia meliputi: a) pelayanan yang kurang tepat, b) kurangnya
pengamanan terhadap giral, c) kurang memperhatikan referensi pihak lain
terhadap nasabah baru, d) keterbatasan pengawasan, e) kurangnya informasi
antar bank, f) kelemahan peraturan, g) mudahnya pembatalan sepihak terhadap
bilyet giro, h) jeleknya mental para banker, i) kelemahan analisis kredit, j)
banyaknya banker karbitan bermental pedagang pasar tanah abang, k)
banyaknya terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), l) terlalu otoriternya
pimpinan bank, m) sikap gampang percaya pada bawahan dan nasabah, n)
Garbage in garbage out (GIGO) dari komputer perbankan, o) bank saling
berebutan masalah, p) penyalahgunaan rahasia bank, q) sikap skeptis dari dan
kepada penyidik, r) mobilitas pelaku kejahatan yang tinggi, s) terlalu saling
percaya dintara sesama banker dan pegawai bank, t) penerimaan pegawai bank
yang tidak benar, u) Diskriminasi terhadap pegawai (karena agama, suku,
golongan, gender, asal alumni dan lain-lain).
2. Faktor Eksternal Perbankan
Terdapat beberapa faktor internal yang menjadi penyebab kejahatan
perbankan di Indonesia meliputi: a) hukum yang lemah, b) mental aparat

13
hukum yang jelek, c) kentalnya masuk unsur politik ke dalam perbankan, d)
pengetahuan masyarakat tentang perbankan yang lemah, e) keengganan
masyarakat untuk melapor jika terjadi kejahatan perbankan.
Rekayasa keuangan yang merugikan negara dan masyarakat, khususnya
investor-investor kecil dilakukan berulang kali oleh para pemilik dan pengelola
korporasi Lippo tanpa sanksi yang berarti. Para penasehat keuangan, perusahaan
jasa penilai, dan auditor melakukan apa saja sesuai dengan keinginan nasabahnya
asalkan dibayar mahal. Konflik kepentingan (conflict of interest) yang merupakan
unsur pokok yang harus dihindarkan dalam penerapan good corporate governance
sedemikian sangat merajalelanya. Sepak terjang para pelaku di balik kejahatan yang
sangat biadab ini semakin tak terbendung karena topangan para pemilik otoritas
(Bank Indonesia, Bappepam, Bursa Efek Jakarta, BPPN) dan penguasa yang
serakah. Aparat penegak hukum yang korup membuat sempurna kerusakan
peradaban ekononomi di Indonesia. Kita berharap skandal Lippo bisa menjadi
momentum untuk mulai membenahi kebobrokan paripurna yang sudah tak bisa
ditoleransikan lagi.
Kasus Lippo ini tak boleh dimarjinalkan sekedar sebagai kasus Bank Lippo,
saja, melainkan sebagai kasus kejahatan korporasi Lippo Group yang jalin menjalin
dengan penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi kalau direduksi sebagai kasus pribadi
antara Lin Che Wei dengan salah seorang komisaris Bank Lippo, Rudi T. Bachrie.
Walaupun skandal Lippo boleh jadi bukanlah yang terbesar ditinjau dari besarnya
kerugian negara, namun kasus ini sangat unik, multidimensional, dan sekaligus bisa
sebagai momentum untuk mengungkapkan beragam skandal kerugian negara dan
kebobrokan korporasi yang telah lama berlangsung hingga sekarang.
Alasan pertama, skandal Lippo tak terpisahkan dari praktek-praktek masa
lalu prakrisis yang antara lain ditandai oleh kentalnya kedekatan pengusaha dengan
penguasa (pola patron-klien). Pengusaha memperoleh perlindungan dari segala
perbuatan pelanggaran hukum, termasuk terhadap pemilik bank yang melanggar
ketentuan BMPK (batas maksimum pemberian kredit). Dengan keyakinan yang
sangat tinggi saya memandang Bank Lippo telah melakukan pelanggaran atas
ketentuan BMPK. Kalau para pemilik dan pengelola Bank Lippo lolos dari jeratan
hukum, itu karena “kecerdikan” mereka untuk meliuk-liuk dari lemahnya peraturan

14
perundang-undangan serta “kongkalikong” dengan penguasa dan otoritas
pengawas.
Alasan kedua, keterlibatan yang sangat dalam dari Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN). Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas aset-
aset negara yang dikuasainya, BPPN justru telah menjadi bagian tak terpisahkan
dari strategi penjarahan uang negara. Entah kurang informasi apa lagi untuk
menunjukkan betapa sebetulnya para petinggi BPPN—bukan institusi BPPNnya—
yang sekarang ini sudah tidak memiliki basis moral untuk mengamankan aset-aset
negara. Bagaimana mungkin pemerintah masih mempercayai segelintir petinggi
BPPN yang selama ini sudah kerap melakukan kebohongan publik. Kalaulah
Minutes Meeting dari hasil pembahasan Rencana Strategis PT. Bank Lippo, Tbk
antara komisaris dan direksi Bank Lippo dengan BPPN yang dipimpin Syafruddin
A. Tumenggung pada 30 Oktober 2002 bisa dijadikan bukti hukum yang sah, maka
Kebohongan publik yang tak bisa ditoleransikan lagi ialah penyangkalan Ketua
BPPN bahwa ia tak pernah menyetujui right issue. Bahkan, di dalam minutes
meeting ini, Ketua BPPN tak sekedar “merestui” dilakukannya right issue,
melainkan seluruh langkah untuk melancarkan skenario komprehensif yang
berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Hal ini terlihat dari saran Ketua
BPPN untuk menambahkan ke dalam agenda Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB) tanggal 22 November hal-hal berikut: lelang atas Aktiva Yang
Diambil Alih (AYDA), antisipasi kemungkinan merosotnya capital adequacy ratio
(CAR) dengan melakukan peningkatan modal melalui proses right issue. Jadi, jelas
kiranya bahwa Ketua BPPN telah turut mendorong dan merestui skenario besar
yang telah dirancang oleh manajemen Bank Lippo.
Ketiga, sejalan dengan dengan kalimat pembuka tulisan ini, kemerosotan
kinerja Bank Lippo, setidaknya yang terlihat dari indikator harga saham dan
keterkaitannya dengan nilai asset, tidak berlangsung dalam sekejap, melainkan
melalui suatu proses yang cukup panjang. Karena proses ini gagal dimonitor oleh
pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk itu, maka terjadilah kesan seolah-
olah kinerja Bank Lippo terperosok dalam. Kemerosotan yang bermula dari nilai
AYDA pada akhirnya membuat CAR terpuruk sangat tajam dari di atas 20 persen
manjadi hanya 4 persen saja. Pertanyaannya ialah: bagaimana tanggung jawab

15
komisaris sebagai suatu institusi yang seharusnya mengamankan kepentingan para
pemilik saham? Mengingat pemilik saham terbesar adalah pemerintah (60%),
sepatutnya para komisaris yang mewakili kepentingan pemerintah
mempertanggungjawabkan keberadaannya sebagai pengawas Bank Lippo. Kita
berharap pejabat publik yang pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat, mau
membuka lebar-lebar seluruh informasi yang mereka miliki dan menjelaskan secara
terbuka apa yang terjadi di dalam tubuh Bank Lippo. Hal yang “menggelikan” ialah
kenyataan bahwa masyarakat sebagai pemilik 30 persen saham Bank Lippo sama
sekali tak terwakili. Memang Mochtar Riyadi yang menjabat komisaris utama
secara formal berstatus komisaris independen yang lazimnya mewakili para
pemegang saham minoritas yang tak mengendalikan manajemen. Namun, siapa pun
tahu bahwa figur Mochtar Riyadi telah melekat di dalam Lippo Group dan juga
Bank Lippo, sehingga keberadaannya cenderung akan selalu memenangkan
kepentingan pemilik lama dan manajemen Bank Lippo. Anehnya pemerintah,
khususnya BPPN dan Menteri Negara BUMN, tak terusik dengan fakta yang
melampaui batas-batas kewajaran dalam kerangka penerapan good corporate
goovernance. Quo vadis mengamankan aset-aset negara. Bagaimana mungkin
pemerintah masih mempercayai segelintir petinggi BPPN yang selama ini sudah
kerap melakukan kebohongan publik. Kalaulah Minutes Meeting dari hasil
pembahasan Rencana Strategis PT. Bank Lippo, Tbk antara komisaris dan direksi
Bank Lippo dengan BPPN yang dipimpin Syafruddin A. Tumenggung pada 30
Oktober 2002 bisa dijadikan bukti hukum yang sah, maka Kebohongan publik yang
tak bisa ditoleransikan lagi ialah penyangkalan Ketua BPPN bahwa ia tak pernah
menyetujui right issue. Bahkan, di dalam minutes meeting ini, Ketua BPPN tak
sekedar “merestui” dilakukannya right issue, melainkan seluruh langkah untuk
melancarkan skenario komprehensif yang berpotensi merugikan negara triliunan
rupiah. Hal ini terlihat dari saran Ketua BPPN untuk menambahkan ke dalam
agenda Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) tanggal 22
November hal-hal berikut: lelang atas Aktiva Yang Diambil Alih (AYDA),
antisipasi kemungkinan merosotnya capital adequacy ratio (CAR) dengan
melakukan peningkatan modal melalui proses right issue. Jadi, jelas kiranya bahwa
Ketua BPPN telah turut mendorong dan merestui skenario besar yang telah

16
dirancang oleh manajemen Bank Lippo. Ketiga, sejalan dengan dengan kalimat
pembuka tulisan ini, kemerosotan kinerja Bank Lippo, setidaknya yang terlihat dari
indikator harga saham dan keterkaitannya dengan nilai asset, tidak berlangsung
dalam sekejap, melainkan melalui suatu proses yang cukup panjang. Karena proses
ini gagal dimonitor oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk itu, maka
terjadilah kesan seolah-olah kinerja Bank Lippo terperosok dalam.
Kemerosotan yang bermula dari nilai AYDA pada akhirnya membuat CAR
terpuruk sangat tajam dari di atas 20 persen manjadi hanya 4 persen saja.
Pertanyaannya ialah: bagaimana tanggung jawab komisaris sebagai suatu institusi
yang seharusnya mengamankan kepentingan para pemilik saham? Mengingat
pemilik saham terbesar adalah pemerintah (60%), sepatutnya para komisaris yang
mewakili kepentingan pemerintah mempertanggungjawabkan keberadaannya
sebagai pengawas Bank Lippo. Kita berharap pejabat publik yang pada akhirnya
bertanggung jawab kepada rakyat, mau membuka lebar-lebar seluruh informasi
yang mereka miliki dan menjelaskan secara terbuka apa yang terjadi di dalam tubuh
Bank Lippo.
Hal yang “menggelikan” ialah kenyataan bahwa masyarakat sebagai
pemilik 30 persen saham Bank Lippo sama sekali tak terwakili. Memang Mochtar
Riyadi yang menjabat komisaris utama secara formal berstatus komisaris
independen yang lazimnya mewakili para pemegang saham minoritas yang tak
mengendalikan manajemen. Namun, siapa pun tahu bahwa figur Mochtar Riyadi
telah melekat di dalam Lippo Group dan juga Bank Lippo, sehingga keberadaannya
cenderung akan selalu memenangkan kepentingan pemilik lama dan manajemen
Bank Lippo. Anehnya pemerintah, khususnya BPPN dan Menteri Negara BUMN,
tak terusik dengan fakta yang melampaui batas-batas kewajaran dalam kerangka
penerapan good corporate goovernance. Quo vadis pemerintah. Alasan keempat
ialah kenyataan bahwa seluruh otoritas pengawas dan instansi pemerintah yang
terlibat baru bereaksi setelah skandal Lippo terkuak lewat serangkaian tulisan dan
komentar para analis, khususnya saudara Lin Che Wei. Ini bukti bahwa lembaga-
lembaga itu selama ini mandul. Mereka saling menyalahkan satusama lain dan
saling “melempar bola”. Peristiwa ini sudah cukup untuk membuka mata
pemerintah dan DPR untuk berbuat lebih serius dengan mereformasi total institusi

17
ekonomi dan keuangan yang ada. Tanpa langkah nyata segera, kredibilitas pasar
modal, pasar keuangan, dan dunia korporasi Indoensia akan semakin hancur. Tanpa
pembenahan birokrasi secara mendasar, kredibilitas perekonomian kita jadi
taruhannya. Akhirnya, pemulihan ekonomi hanya akan jadi harapan maya.
Dalam dunia investasi dan pasar modal kasus Bank Lippo telah menjadi
kasus yang menimbulkan kontroversi pandangan dalam masyarakat karena ada
dugaan manipulasi laporan pembukuan. Kenapa dikatakan demikian? karena
kelompok Lippo ini lihai dalam bermain trik di Pasar Modal. Permainan dan triknya
sangat kompleks, tetapi kasar bahkan cenderung naïf yaitu menyangkut dengan
rekayasa pemilik kelompok Lippo untuk kembali menguasai Bank Lippo, dengan
jalan “neko-neko” dan mereka berkesimpulan bahwa tahun 2003-lah masa yang
paling tepat untuk masuk kembali menguasai Bank Lippo yang diambil alih
pemerintah, dimana pada tahun 2003 tersebut mayoritas saham Bank Lippo
dipegang oleh pemerintah, khususnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) sebanyak 59, 26 % dari saham Bank Lippo, hal ini disebabkan Bank Lippo
mengalami kolaps akibat krisis moneter pada tahun 1998 dan Pemerintah masuk ke
Bank Lippo untuk menyelamatkan bank tersebut dari kehancurannya dengan cara
menyuntik dana (lewat obligasi) sebesar + Rp.6.050.000.000.000,- (enam trilliun
lima puluh milyar rupiah). Tentu saja, agar menguntungkan pemilik lama Bank
Lippo, mereka harus dapat masuk ke Bank Lippo dengan pengeluaran biaya
sehemat-hematnya. Maka untuk itu, mulailah dirancang siasat-siasat yang
kemudian tercium oleh masyarakat, sehingga menjadi skandal yang
menghebohkan. Ironisnya, karena Bank Lippo sudah merupakan bank publik
(terbuka), mau tidak mau sarana pasar modal terpaksa dipermainkannya, yang
berarti semakin banyak investor publik yang menunggu giliran untuk dikorbankan
oleh mereka.
Ini bukan pertama kali grup Lippo membuat berita miring di media massa,
karena sebelumnya kelompok Lippo juga pernah menghebohkan dunia pasar modal
dalam kasus Lippo e-Net. Kasus ini terjadi tahun 1999. Awal mulanya adalah
pengumuman dari perusahaan asuransi PT. Lippo life Tbk yang menyatakan akan
mengubah bisnisnya dari bisnis asuransi ke bisnis internet, dengan suntikan dana
segar triliunan rupiah. Dengan demikian namanya pun berubah dari PT. Asuransi

18
Lippo e-Net. Meskipun sebenarnya pertukaran bisnis satu ke bisnis lainnya bagi
suatu perusahaan wajar-wajar saja, tetapi ada yang tidak wajar dalam masalah
Lippo e-Net ini. Soalnya, perubahan bisnis ini tidak transparan, dengan berita di
pasar yang simpang-siur. Pasar modal hendak dibuat seperti pasar burung, dimana
banyak suara kicau-berkicau tanpa jelas benar apa maksudnya, sehingga membuat
masyarakat investor bingung. Konsekuensinya harga saham Lippo e-Net ini
mendadak naik dari Rp. 450,- (empat ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp. 950,-
(sembilan ratus lima puluh rupiah), tetapi kemudian turun lagi. Dan ada indikasi
kuat bahwa pihak Lippo mengambil manfaat dari fluktuasi harga tersebut.
Penyelesaian kasus ini cukup carut marut dan setelah controversial berjalan cukup
lama dan melelahkan yakni setelah tidak kurang dari delapan bulan, tim penyelidik
dari Badan Pengawas Pasar Modal (bapepam) menyimpulkan bahwa Lippo ada
masalah dalam hal disclosure, dimana sebanyak tidak kurang dari 9 keterangan
yang diberikannya (antara Januari-Februari 2000), ternyata tidak tuntass dan tidak
didukung oleh fakta. Mereka ternyata hanya banyak jual kecap. Dan akhirnya
turunlah sanksi dari BAPEPAM selaku badan pengawas bahwa:
1. Denda Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk Lippo e-Net.
2. Denda Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk afiliasinya Lippo
Securities.
3. Denda Rp.5.000.000.000,- (lima milliar rupiah) untuk direksi dan
komisarisnya.
Dari analisis Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tersebut kelihatan
dengan jelas bahwa ada informasi orang dalam (inside information) yang tidak
sepenuhnya dibuka untuk umum dan sesuai dengan dengan berita di media massa
bahwa indikasi kuat bahwa orang-orang Lippo (insider) yang mengetahui informasi
tersebut melakukan perdagangan (trading) dalam fluktuasi harga saham tersebut,
sehingga mendapat keuntungan yang besar. Karena itu, diduga kuat yang terjad
adalah tindak pidana insider trading yang diancam dengan hukuman maksimum 10
(sepuluh) tahun penjara dan denda maksimum Rp.15.000.000.000,- (lima belas
miliar rupiah). Namun, sayangnya waktu itu BAPEPAM tidak bergerak sampai
sejauh itu sehingga terjadi lagi kasus Lippo yang kedua dimana para pemegang
saham lippo mempunyai siasat licik agar mereka dapat menguasai kembali Bank

19
Lippo di Pasar Modal dilakukan dengan “memaksa” Bank Lippo untuk melakukan
Right Issues dan “paksaan” pemerintah untuk tidak mengambil rights yang menjadi
haknya dan hal ini pasti dapat dilakukan karena pemerintah saat itu memang tidak
mempunyai dana ditangannya dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah tidak
mengizinkan lagi adanya rekavitalisasi tambahan. Kemudian, kelompok Lippo
masuk lewat pembelian rights dimana pemerintah sudah tidak lagi mayoritas di
Bank Lippo tersebut. Akan tetapi, sebelum membeli rights tersebut, harga saham
(termasuk juga harga rights) harus ditekan pada harga serendah-rendahnya sehingga
pemilik lama bank Lippo hanya memerlukan beberapa ratus miliar rupiah saja
untuk menguasai kembali (secara mayoritas) saham-saham dari Bank Lippo.
Dari beberapa fakta yang telah terjadi, berkembang di masyarakat beberapa
perkiraan dan kecurigaan mengenai intensi direksi Bank Lippo dalam kasus ini.
Adalah fakta bahwa, pertama, Bank Lippo menerbitkan dua laporan keuangan yang
berbeda, dan salah satunya diklaim telah diaudit, tapi nyatanya belum. Sangat tidak
masuk akal kalau itu dikatakan kesalahan atau keteledoran biasa, mengingat direksi
suatu bank publik pasti tahu pengaruh kesalahan atau keteledoran demikian bagi
publik, investor, dan para regulator, termasuk BI dan Bapepam. Kedua, penilaian
AYDA menyebabkan turunnya atau diduga dapat menurunkan CAR Bank Lippo
menjadi 4,23 persen-suatu rasio yang di bawah rasio minimum yang ditetapkan oleh
BI (8 persen). Ketiga, begitu kesalahan itu (adanya dua laporan keuangan yang
berbeda tadi) dan turunnya, atau dugaan turunnya, CAR tersebut terjadi, tidak ada
upaya dari direksi Bank Lippo untuk segera mengumumkan kepada publik ada
suatu informasi penting menyangkut Bank Lippo yang bisa mempengaruhi
keputusan pemodal dalam menjual atau membeli saham Bank Lipposebagaimana
diharuskan peraturan Bapepam tentang informasi penting yang harus diumumkan
kepada masyarakat. Keempat, kemudian setelah semua pihak bicara dan menuding
direksi, komisaris, dan mantan pemegang saham mayoritas dengan segala macam
pelanggaran dan intensi negatif, bahkan mengancam mereka agar dimasukkan ke
daftar orang tercela, suatu public expose tidak juga digelar Bank Lippo untuk
menjelaskan kepada publik apakah gerangan yang sedang terjadi.
Fakta-fakta di atas menimbulkan kecurigaan khalayak ramai. Ada tuduhan,
dengan menukiknya CAR Bank Lippo, para pemegang saham harus memberikan

20
suntikan modal baru, yang hanya bisa dilakukan melalui rekapitalisasi oleh
pemerintah, atau penambahan modal melalui proses rights issue. Karena negara
sulit melakukan rekavitalisasi kedua atas Bank Lippo, suntikan modal hanya dapat
dilakukan melalui rights issue (penawaran umum terbatas). Buat pemerintah sama
saja, mempertahankan rasio pemilikan sahamnya melalui rights issue ini juga
mengharuskannya mengeluarkan dana segar-satu hal yang hampir pasti akan
dihadang DPR. Kalau pemerintah tidak mengambil bagiannya, pasti sahamnya akan
terdilusi secara signifikan. Baru saja pemerintah melakukan rekap dan mendadak
menjadi minoritas tentu menyedihkan. Rumor yang beredar mengatakan ada usaha
untuk menjatuhkan harga saham Bank Lippo secara terencana dalam perdagangan
saham belakangan ini. Apalagi dengan kondisi pasar yang sangat lemah sekarang
ini, harga penawaran dalam rights issue pasti juga akan terdorong rendah. Dicurigai,
mereka yang mengambil saham baru dalam rights issue akan membeli saham
dengan sangat murah, dan dicurigai pula lewat jalan inilah para mantan pemilik
saham mayoritas Bank Lippo akan menguasai kembali banknya.
Dari skandal Bank Lippo ini ada beberapa pelanggaran hukum yang
dilakukan diantaranya:
1. Goreng menggoreng saham (market manipulation) dan kemungkinan juga ada
insider trading ketika saham digoreng-goreng yang diancam dengan hukum
pidana.
2. Laporan keuangan palsu, keterbukaan informasi yang tidak benar yakni dengan
adanya 2 (dua) pembukuan yang berbeda 100 derajat.
3. Kemungkinan rendahnya moral eksekutif dari bank Lippo yang senang
merekayasa tersebut (hubungan dengan fit and proper test bagi eksekutif bank).
Mestinya sudah cukup alasan untuk masuk ke dalam Daftar Orang Tercela
(DOT) dari BI. Akan tetapi dalam hal ini BI masih belum bergeming.
4. Kemungkinan pelanggaran hukum dalam hubungan dengan pengambilalihan
AYDA (Agunan Yang Diambil Alih).

B. Upaya Penanggulangan Kasus Kejahatan Perbankan di Indonesia


Kasus Bank Lippo menjadi headlines selama masa lebih dari satu bulan di
media massa/surat kabar Bisnis Indonesia tanggal 16 April 2003 dan untuk kasus

21
ini, BAPEPAM selaku pengawas pasar modal hanya menjatuhkan sanksi denda
terhadap manipulasi laporan pembukuan dan keuangan Bank Lippo tanpa diikuti
dengan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan pemeriksaan di
persidangan.
Sebelum dapat memastikan bahwa atas kasus PT. Bank Lippo Tbk dalam
aktivitas Pasar Modal dapat didakwa sebagai Tindak Pidana Korupsi, dibawah ini
akan disampaikan beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya di dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
1. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : “ Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana… “
2. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 “.
3. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi: “Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-
undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini “.
4. Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, dibawah judul,
Ketentuan Pidana, Sanksi Administratif, Ganti Rugi : “ Setiap pejabat Negara
atau pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya baik secara langsung atai tidak langsung yang merugikan
keuangan negars diwajibkan mengganti kerugian negara dimaksud.
Bertitik tolak pada keempat ketentuan UU tersebut di atas, bahwa Undang-
Undang No.8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal sendiri tidak memiliki ketentuan
secara tegas menyatakan pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut sebagai

22
Tindak Pidana Korupsi, sehingga secara normatif sulit untuk diterapkan atau
didakwakan Kasus PT. Bank Lippo Tbk dalam aktivitas Pasar Modal didakwa
sebagai Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 2, 4 dan 14 dalam
UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-
Undang No.20 Tahun 2001, serta sesuai ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-
Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagaimana dijelaskan di
atas. Demikianlah, untuk kasus Bank Lippo ini, denda yang dijatuhkan oleh
BAPEPAM adalah sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah)
bagi direksi Bank Lippo atas kekuranghati-hatiannya, yakni mencantumkan kata
“audit” pada iklan laporan keuangan bulan September 2002 dan kepada akuntannya
dijatuhkan denda administratif sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu
rupiah) saja karena kelalainya berupa keterlambatannya selama 35 (tiga puluh lima)
hari menyampaikan peristiwa penting dan material dalam hal penurunan AYDA PT
Bank Lippo Tbk tersebut.
Untuk menyelesaikan kasus bank lippo ini, Tim penyelidik Kejaksaan
Agung (Kejagung) berjanji akan meningkatkan status perkara Bank Lippo dari
tingkat penyelidikan ke tingkat penyidikan dalam waktu dua minggu ke depan.
Penyidikan nantinya akan dilakukan oleh Bagian Tindak Pidana Khusus (Pidsus).
Penyidikan akan diarahkan pada adanya indikasi tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan negara triliunan rupiah, menyangkut manipulasi laporan
keuangan ganda, penurunan nilai aset dan "penggorengan" harga saham Bank
Lippo.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindak pidana-tindak pidana yang tergolong dalam white collar crime atau
kejahatan kerah putih berdasarkan 3 (tiga) tipologi pelakunya yaitu dilihat dari
status sosial pelaku, apakah berasal dari status terhormat atau tidak, tindak
kejahatan yang dilakukan memerlukan keahlian di bidang komputerisasi atau tidak,
tindak kejahatan yang dilakukan pelaku bertujuan untuk menguntungkan individu
atau kelompok, maka kejahatan kerah putih (white collar crime) itu banyak jenisnya
antara lain: Korupsi; Penyuapan; Penghindaran/penggelapan Pajak; Penipuan dan
Terorisme.
Penegakan hukum terhadap pelaku white collar crime adalah sesuai dengan
tindak pidana yang dilakukan yang pada umumnya terdapat pengaturannya di
dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terdapat di luar
KUHP. Selain itu, untuk mencegah tindakan tersebut terulang kembali, terdapat
sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan white collar crime dan
memiliki efek jera, antara lain dengan cara pelaku di permalukan di muka umum,
pengucilan terhadap pejabat atau eksekutif tersebut, denda diperberat, pelayanan
masyarakat, intervensi pemerintah atau pengadilan.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada pembahasan ini yaitu white collar
crime yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasi, orang-orang yang
mempunyai status kehidupan kelas menengah ke atas, orang-orang yang
mempunyai kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan, orang-orang yang
mempunyai pendidikan tinggi seharusnya mendapatkan hukuman yang tinggi atau
berat sebab mereka melakukan suatu kejahatan dengan sadar dan sengaja dan benar-
benar mengetahui akibatnya serta menghendakinya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Eleanora, Fransiska Novita. 2013. White Collar Crime Hukum dan Masyarakat.
Jurnal Forum Ilmiah. Vol. 10 (2).

Firdausi, Firman dan Asih Widi Lestari. 2016. Eksistensi ‘White Collar Crime’ di
Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal
REFORMASI. Vol. 6. (1). E-ISSN 2407-6864.

Laoh, Clinten Trivo. 2019. Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana
White Collar Crime. Jurnal Lex Crimen. Vol. 8 (12).

Muchtar, Henni. 2010. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan


Kejahatan di Dunia Perbankan. Jurnal Demokrasi. Vol. 9 (1).

https://www.scribd.com/document/389118247/makalah-kerah-putih, diakses pada


tanggal 12 Juni 2022, pukul 16.30.

25

Anda mungkin juga menyukai