Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah Bentuk kejahatan yang saat ini marak diperbincangkan adalah Tindak Pidana
Korupsi. Kata “korupsi” ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Walaupun
sebagian besar masyarakat hanya paham dengan arti kata korupsi meski hanya secara umum
sebagai tindakan pejabat negara yang mengambil uang rakyat. Kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia, tiap hari telah mengisi tayangan yang ada di televisi maupun media massa lainnya,
dan bahkan di media cetak pun juga tidak sedikit yang memakai cover bagian depan dengan
menggunakan wajah para pejabat yang melakukan korup dengan judul yang menarik.
Masyarakat seperti benci melihat para pejabat negara kita sendiri maka muncullah
ketidakpercayaan dan ketidakpatuhannya masyarakat terhadap hukum karena ulah para
pejabat yang juga tidak memberi contoh pada masyarakat.

Tindak Pidana Korupsi dapat disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime)
atau kejahatan berdasi. Para pelaku dari perbuatan white collar crime tersebut biasanya terdiri
dari orang-orang terhormat, terpandang, berpendidikan tinggi atau orang-orang yang
mempunyai kekuasaan atau uang, yang biasanya menampakkan dirinya sebagai orang 2 baik-
baik, bahkan di antara mereka yang dikenal sebagai dermawan, yang terdiri dari politikus,
birokrat pemerintah, penegak hukum, serta masih banyak lagi.

Tindak Pidana Korupsi selalu mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan Tindak
Pidana lain karena termasuk merugikan keuangan Negara. Menurut Munir Fuady suatu white
collar crime dapat juga terjadi di sektor publik, yakni yang melibatkan pihak-pihak pemegang
kekuasaan publik atau pejabat pemerintah, sehingga sering disebut juga dengan kejahatan
jabatan (occupational crime). White collar crime ini seperti banyak terjadi dalam bentuk
korupsi dan penyuapan, sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik. Korupsi dan
suap-menyuap yang terjadi di kalangan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim
adalah hal yang sangat gencar dibicarakan di mana-mana, di samping korupsi di kalangan
anggota legislatif dan eksekutif.

1 Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku kejahatan


jalanan (street crime, blue collar crime, blue jeans crime), perbuatan white collar crime ini
jelas merupakan kejahatan kelas tinggi karena sama saja menjarah dana negara yang nilainya
sangat besar. White collar crime ini sangat sulit untuk di ungkap sehingga perlu penanganan
yang ekstra, khusus dan serius untuk ditangani. 1 Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi
Dalam Perspektif HAN, Jakarta: Sinar Grafika,

masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah
korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Korupsi telah menyelinap masuk dari berbagai penjuru dunia sehingga
menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan
masyarakat.
Korupsi mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama
internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya,
diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan suatu pendekatan secara
efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat
memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan Negara, termasuk dengan
memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara efektif. Hal yang sangat sulit untuk dipecahkan di berbagai
Negara di Dunia termasuk juga di Indonesia adalah kejahatan korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat


dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap 4 kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan
telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penanganannya harus
benar-benar didahulukan dari kejahatan biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya
tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan bahwa Indonesia


merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia,
Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi
Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara papua nugini, vietnam,
philipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu pada tingkat dunia, negara-negara yang ber-
IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik.2 Korupsi
yang semakin meluas membuat para petinggi Negara yang tidak pernah diduga-duga pun
melakukan kejahatan ini.

Satu-satu nya kepercayaan terhadap Lembaga Negara ter-Tinggi di Indonesia juga sudah
ter-doktrin untuk melakukan kejahatan ini. Para pejabat negara seperti 2Evi Hartanti, 2005,
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. berlomba-lomba mendapatkan kekayaan
secara instan untuk di simpan di masa tua nanti. Negara ini seperti sudah di butakan oleh
kekuasaan, jabatan dan uang. Sebagian besar oknum-oknum penegak hukum di Indonesia
termasuk dalam instansi pemerintahan seperti sekarang ini sepertinya tidak ada yang tidak
melakukan kejahatan korupsi.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memberantas korupsi namun belum memberikan
hasil yang memuaskan. Korupsi merupakan kasus yang sangat sulit di selesaikan oleh
pemerintah, maka dari itu kasus ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah agar segera
dapat terselesaikan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar permasalahan yang
diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan hukum mencapai tujuan yang hendak dicapai, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam hukum pidana di Indonesia ?

2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Tipikor Semarang dalam


menjatuhkan putusan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Sragen dan
dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi ?

C. Tujuan dan manfaat hasil penelitian

Berdasarkan pembahasan masalah di atas penelitian yang hendak dilakukan harus memiliki
tujuan yang jelas dan terarah. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah bagi pelaksanaan
penelitian agar mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak
dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam hukum pidana di


Indonesia

2. Untuk mengetahui apa yang mendasari hakim pengadilan Tipikor Semarang dalam
menjatuhkan putusan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sekretaris daerah sragen
dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Dalam setiap penelitian diharapkan adanya
suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari sebuah penelitian, khususnya bagi 9
ilmu pengetahuan pada bidang penelitian tersebut. Adapun yang menjadi manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya

b. Dapat bermanfaat sebagai literatur dan bahan informasi ilmiah dalam konteks kasus
tindak pidana korupsi

c. Dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang
berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti.

b. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan membentuk pola pikir ilmiah
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang
diperoleh.
c. Dapat memperkaya wacana keilmuan terkait Tindak Pidana Korupsi khususnya di
Indonesia.

D. Kerangka pemikiran

Indonesia menjamin setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam
hukum (equality before the law). Tidak ada perbedaan perlakuan si kaya dengan si miskin di
depan hukum. Hal ini ditegaskan dalam konstitusi Negara yang menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum (recht state) dan dijalankan sepenuhnya berdasarkan Undang-
undang. Dalam alinea ke empat pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik khusus maupun umum. Secara
khusus.

Tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara
umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.5 Apabila kita mengingat bahwa kedudukan pegawai
negeri dalam kehidupan bangsa dan negara pada masa-masa pembangunan ini, mempunyai
posisi yang penting dan kompleks, bukankah kegiatan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan pada dasarnya dilakukan oleh pegawainegeri sebagai aparatur negara.
BAB II

PEMBAHASAN

Eksistensi yuridis ‘White Collar Crime’ Di Indonesia

Makna ‘White Collar Crime’ adalah kejahatan kerah putih. Kejahatan ini terkait
dengan jabatan yang sah, sehingga seolah-olah kemakmuran yang dimilikinya berasal dari
jabatannya tersebut. Simbol “kerah putih” ini menandakan adanya jabatan yang sah. Pada
perkembangannya, interpretasi atas jabatan sudah bukan lagi jabatan yang diperoleh dari
negara, namun termasuk juga jabatan dalam badan hukum (korporasi). Seseorang yang
memperoleh jabatan akan mendapat wewenang atau kuasa untuk melakukan sesuatu. Melalui
Teori Clinard dan Yeager, meningkatnya peran pemerintah dalam ekonomi diperkirakan akan
mempengaruhi kegiatan bisnis dalam politik karena perusahaan-perusahaan berusaha
memelihara lingkungannya untuk menjamin hasil yang menguntungkan. Salah satu faktor
lain yang berpengaruh bagi terjadinya kejahatan korporasi selain struktur organisasi yang
semakin luas, lingkungan ekonomi dan lingkungan politik adalah faktor budaya korporasi.
Faktor budaya tersebut dan faktor lain yang sudah disebutkan saling mempengaruhi
terjadinya kejahatan korporasi.

Hukum dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan sistemik yang diakibatkan oleh ‘White


Collar Crime’, terutama dengan status korporasi. Melalui kajian kriminologi, akan dijelaskan
sebab-musabab (faktor) penyebab terjadinya kejahatan ‘White Collar Crime’ di Indonesia.
Penyebab pertama dari segi sejarah, berdasarkan fakta sejarah masa penjajahan Belanda pada
era VOC telah terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme besar-besaran. Serikat dagang VOC
menjadi bubar karena perilaku KKN. Perilaku dan situasi KKN pada masa VOC secara tidak
langsung mendidik mental bangsa Indonesia ke arah KKN. Teori Differential Association
dari Shuterland (1955) menjelaskan bahwa kejahatan itu dapat dipengaruhi oleh lingkungan
melalui proses pembelajaran. Suatu ruang lingkup lingkungan yang berbeda (secara norma)
membuat suatu kebiasaan baru. Anggota VOC dianggap sebagai orang yang mempunyai
jabatan, sehingga dikategorikan sebagai ‘White Collar Crime’. Shuterland (1955)
menggolongkan association sebagai suatu kelompok.

Kelompok pada sudut pandang Shuterland ini mengerucut pada suatu kelompok yang
melakukan perbuatan menyimpang dari norma (kejahatan). Oleh karena itu, disebut sebagai
‘differential association’, yakni kelompok yang berbeda dengan yang lain. Pada kelompok
differential association ini, perbuatan kriminal diperoleh dari proses belajar. Belajar pada
situasi ini bukanlah aktivitas belajar formal sebagaimana pelajar dan mahasiswa. Proses
belajar lebih ke arah proses peniruan dari suatu perbuatan kriminal yang dilakukan oleh salah
satu anggota kelompok tersebut. Misalkan dalam suatu golongan pejabat di dalamnya
terdapat beberapa pejabat korup, kumpulan dari pejabat korup inilah yang disebut sebagai
differential association. Perbuatan korup dan kolusi dapat dipelajari melalui peniruan yang
dilakukan oleh masing-masing anggotanya. Pada perjalanannya, proses meniru ini ternyata
menularkan perbuatan yang seperti ini di luar kelompok terutama pada masyarakat.
Oknum dapat berada pada organisasi swasta maupun pemerintah. Ross menjabarkan
bahwa kejahatan kerah putih menjadikan penjahat mampu bergerak lebih leluasa daripada
penjahat konvensional. Keleluasaan ini dapat dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu
sebagai kebebasan melakukan kejahatan dan kekuasaan. Penyebab ketiga sekaligus penyebab
utama adalah dari sifat alami manusia. Kalimat “tidak ada manusia yang sempurna” mungkin
memang benar adanya. Bahwa sejujur-jujurnya manusia, pasti pernah mengalami khilaf atau
kesalahan. Manusia dimulai dari Nabi Adam pernah membuat kesalahan fatal (dianggap
sebagai kejahatan), sehingga diturunkan ke bumi. Kisah maupun wahyu dari beberapa agama
ini memberikan peringatan bagi manusia bahwa semua manusia memiliki potensi untuk
melakukan khilaf (kesalahan/kejahatan). Potensi tersebut dapat dicegah melalui kontrol atas
diri, etika dan norma agama. Penyebab yang lain masih atas faktor manusia adalah faktor
keserakahan. Kejahatan elite ‘White Collar Crime’ (WCC) digolongkan sebagai kejahatan
individu di tempat pekerjaannya (individual occupational). Kejahatan jenis ini memang sulit
diberantas karena kausa atau sebab kejahatan adalah keserakahan (greed) pelaku (Djatmika,
2013:2). Mayoritas penyebab kejahatan terutama kejahatan biasa orientasinya adalah
kebutuhan hidup, berbeda dengan kejahatan kerah putih yang berorientasi pada faktor
keserakahan. Jika orientasinya adalah kebutuhan, saat kebutuhan itu cukup, maka akan
berhenti melakukan. Akan tetapi jika orientasi adalah keserakahan, maka tidak akan pernah
berhenti dan tidak akan ada rasa puas.

Bentuk konkret dari kejahatan kerah putih antara korporasi dan birokrasi adalah
berupa illegal intervention in the political process (Hatrik dalam Setiyono, 2004: 63).
Tindakan ini dapat berupa pemberian dana kampanye politik secara tidak sah. Praktik money
politics merupakan simbiosis mutualisme antara korporasi dan birokrasi. Korporasi
menganggap pemberian dana tidak REFORMASI E-ISSN 2407-6864 Vol. 6, No. 1, 2016
www.jurnal.unitri.ac.id 93 sah seperti dana kampanye sebagai “modal” yang dikemudian hari
dapat diambil hasilnya.

Hasil yang diambil pada birokrasi tidak selalu dalam bentuk uang. Hasil itu dapat
berupa keberpihakan dalam tender/lelang proyek, kemudahan perijinan dan penggunaan
kekuasaan tidak langsung yang berakibat pada kerugian pihak lain. Hambatan dari penegakan
ini adalah adanya anggota masyarakat yang bersifat apatis-egois. Adanya masyarakat
bersikap apatis karena korporasi memberikan timbal balik berupa kompensasi pada
masyarakat yang tinggal di daerah sekitar korporasi. Adanya masyarakat yang bersifat egois
karena hanya menyetujui segala aspek korporasi, meskipun melanggar hukum hanya untuk
mendapatkan kompensasi tersebut. Bukan rahasia umum lagi bahwa legal staff atau public
relation dari suatu korporasi sering melakukan lobi-lobi pada warga sekitar demi kelancaran
perseroannya. Hukum tidak akan berjalan apabila salah satu sub- sistemnya yaitu masyarakat
macet, seperti yang dikemukakan oleh Friedmann. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
memiliki banyak celah untuk diintervensi dari luar. Kewenangan peradilan yang terletak pada
polisi, jaksa dan hakim membuat masing-masing lembaga ini mempunyai kuasa untuk
mempermainkan perkara.
            Suatu kejahatan dapat didekati dari dua pendekatan utama, yaitu yuridis dan
kriminologis. Secara yuridis, kejahatan diartikan sebagai setiap perbuatan yang
melanggar undang-undang atau hukum pidana yang berlaku di masyarakat. Sedangkan
secara kriminologis, kejahatan bukan saja perbuatan yang melanggar undang-undang atau
hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu mencakup perbuatan yang antisosial, yang
merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur dalam hukum pidana.

Dalam dunia kriminal, dikenal istilah White Collar Crimes (Kejahatan ”kerah putih”)


dan Street Crimes (Kejahatan jalanan). Kejahatan kerah putih berbenturan dengan kejahatan
jalanan. Contoh dari jenis kejahatan kerah putih, antara lain korupsi, penyuapan, penggelapan
pajak, penipuan, dll. Jika kejahatan kerah putih dilakukan oleh para profesional di bidangnya
dan ”terhormat”, maka kejahatan jalanan banyak dilakukan oleh pelaku yang berstatus sosial
rendah. Hal ini berarti, para pelakunya kebanyakan berpendidikan rendah, berpenghasilan
rendah, dan pekerja rendah atau pengangguran.

Selain itu, korban kejahatan kerah putih biasanya tidak tampak dan dampak
yang ditimbulkannya membutuhkan waktu lama. Hal ini berbeda dengan kejahatan jalanan
di mana korbannya bersifat individu atau kelompok, dan korban kejahatannya jelas
dan langsung terasa dampak kerugiannya, karena kebanyakan jenis kejahatan ini
menggunakan kekerasan fisik untuk melukai korbannya. Hal inilah yang menjadikan
kejahatan jalanan menjadi jenis kejahatan yang meresahkan dan menimbulkan reaksi sosial
yang keras dari masyarakat.

            Kejahatan jalanan awalnya istilah yang dipakai untuk menjelaskan


kejahatan kekerasan di area publik. Dalam perkembangannya, sekarang berbagai kejahatan
”gaya lama” yang terjadi secara umum sering disebut sebagai kejahatan jalanan,
seperti pencurian, penjambretan, prostitusi, dan transaksi narkoba. Banyak yang
beranggapan bahwa kejahatan jalanan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan kejahatan
kerah putih, namun sebenarnya bila dilihat dari dampak yang ditimbulkan, korban dari
kejahatan kerah putih lebih banyak dan kerugian material yang diakibatkan juga lebih besar,
meski tidak terdeteksi karena korban dari jenis kejahatan ini tidak merasakan dampaknya
secara langsung. Setiap hari masyarakat, melalui media massa selalu dihadapkan pada
peristiwa kejahatan, baik kejahatan kerah putih maupun kejahatan jalanan. Kejahatan
dengan dampak yang luas di masyarakat, maupun kejahatan dengan ruang lingkup kecil
yang terjadi di daerah. Peristiwa kejahatan tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah berita.
Bentuk-bentuk kejahatan kerah putih, biasanya mencakup pencucian uang,
pembobolan bank, rekayasa laporan keuangan, bidang perpajakan, transaksi elektronik, dan
korupsi anggaran publik. Selain di bidang ekonomi, kejahatan kerah putih juga dapat berupa
kejahatan terhadap lingkungan. Apa yang dilakukan oleh penjahat kerah putih selalu sejalan
dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Rekayasa laporan keuangan, pencucian
uang, kejahatan perbankan, dan kejahatan perpajakan, misalnya, jelas memanfaatkan celah
yang ada dalam sistem laporan keuangan. Demikian pula kejahatan transaksi elektronik,
memanfaatkan celah di tengah kecanggihan teknologi informasi.
Oleh karenanya, kejahatan kerah putih umumnya baru terbongkar setelah
menimbulkan banyak korban. Sebab, tak mudah mengendusnya, karena sifatnya yang
melebur dalam sistem, sehingga korban dan publik tak bisa melihatnya secara kasat mata.
Seperti modus yang dilakukan Melinda, yang memanfaatkan kepercayaan nasabah kelas
premium yang menjadi kliennya. Tanpa disadari pemilik dana, Melinda telah mengalihkan
dana-dana mereka melalui transaksi fiktif.
Daya tangkap aparat keamanan terhadap modus-modus kejahatan kerah putih
memang sangat rendah. Penjahat kerah putih selalu beberapa langkah lebih maju dibanding
aparat dan aturan hukum, sehingga tak mudah untuk menjerat mereka, bahkan untuk
membuktikannya. Sebab, para pelaku umumnya berada dalam sistem dan menguasai
kecanggihan modus yang digunakan. Di sisi lain, belum ada penegak hukum dengan keahlian
yang sebanding untuk mendeteksi apalagi menangkalnya. Persoalan lain yang melingkupi
kejahatan kerah putih, para pelaku umumnya sulit dijerat hukum. Perlakuan yang diterima
juga terlihat istimewa jika dibandingkan penjahat konvensional.
Ironisnya, penanganan kasus kejahatan kerah putih timbul tenggelam. Contohnya
seperti kasus Gayus, yang sudah lama tak terdengar perkembangan penyidikan yang
dilakukan Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Artalyta yang terbukti
menyuap jaksa Urip pun tak perlu berlama-lama menanti remisi dari pemerintah. Ini semua
bisa terjadi karena penjahat kerah putih menancapkan kukunya ke oknum petinggi di
pemerintahan dan aparat penegak hukum. Tak hanya itu, mereka juga “merangkul” elite
politik yang jika dibutuhkan, bisa memberi tekanan terhadap pemerintah dan penegak hukum.
Mereka lihai melancarkan “politik sandera” dalam lingkaran kejahatan kerah putih. Dengan
demikian, hukum pun takluk di hadapan penjahat berdasi.
Inilah dampak terburuk dari kejahatan kerah putih, yakni hancurnya sistem hukum.
Kejahatan kerah putih mampu menciptakan labirin penegakan hukum. Manakala hal ini
dibiarkan terus terjadi, akan semakin sulit untuk mengurainya, sehingga pulihnya supremasi
hukum semakin jauh dari harapan. Oleh karenanya, aparat penegak hukum harus secepatnya
membangun daya tangkal terhadap segala jenis kejahatan, terutama kejahatan kerah putih.
Hal ini juga harus diimbangi berfungsinya pengawasan internal yang melekat di lembaga
pemerintah dan korporasi.
Tantangan yang lebih besar tentu menutup celah interaksi negatif aparat penegak
hukum dan pejabat pemerintah, serta elite politik, agar mereka tidak dijadikan tameng
penjahat kerah putih. Diperlukan sosok pemimpin politik dan penegak hukum yang tidak
memiliki beban untuk memberantas kejahatan kerah putih.
BAB III
PENUTUP

. KESIMPULAN

Faktor-faktor penyebab White Collar Crime kejahatan antara lain:

1. Faktor sejarah: sejarah dari masa Kolonial Belanda yang ditularkan kepada masyarakat;

2. Faktor budaya: salah satu budaya masyarakat yang disalahgunakan dan menjadi suatu
kebiasaan; serta

3. Faktor potensi (sifat) manusia: masing-masing manusia memiliki potensi untuk melakukan
kejahatan, terutama jika muncul sifat keserakahan. Upaya preventif dapat dilakukan, antara
lain:

1. Kerja sama menyeluruh dari semua sub-sistem hukum, yaitu: masyarakat,


pemerintah dan penegak hukum;

2. Meningkatkan kesadaran dari pribadi manusia itu sendiri, baik melalui etika dan
agama; dan

3. Memberikan kewenangan khusus pada Lembaga Penegakan Korupsi, sebagai


lembaga khusus di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

BBC Indonesia. 2015. Kebakaran Hutan: Anak Perusahaan APP Bebas, Pemerintah Banding.
Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 darihttp://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/
2015/12/151230_indonesia_kebakaran_huta n.

Bosu. 1986. Sendi-Sendi Kriminologi. Surabaya: Usaha Nasional. CNN. 2015. Survei Populi:
DPR dan Polri Lembaga Terkorup. Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi- dpr-dan-polri-
lembaga-terkorup

/ Djatmika, Prija. 20 Mei, 2013. Aku Serakah Maka Aku Ada. Jawa Pos, hal. 2. Friedman, W.
2007. Legal Theory, dalam Teori Hukum. Jakarta: Bernard Genta Publishing

Anda mungkin juga menyukai