A. Latar Belakang
Masalah Bentuk kejahatan yang saat ini marak diperbincangkan adalah Tindak Pidana
Korupsi. Kata “korupsi” ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Walaupun
sebagian besar masyarakat hanya paham dengan arti kata korupsi meski hanya secara umum
sebagai tindakan pejabat negara yang mengambil uang rakyat. Kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia, tiap hari telah mengisi tayangan yang ada di televisi maupun media massa lainnya,
dan bahkan di media cetak pun juga tidak sedikit yang memakai cover bagian depan dengan
menggunakan wajah para pejabat yang melakukan korup dengan judul yang menarik.
Masyarakat seperti benci melihat para pejabat negara kita sendiri maka muncullah
ketidakpercayaan dan ketidakpatuhannya masyarakat terhadap hukum karena ulah para
pejabat yang juga tidak memberi contoh pada masyarakat.
Tindak Pidana Korupsi dapat disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime)
atau kejahatan berdasi. Para pelaku dari perbuatan white collar crime tersebut biasanya terdiri
dari orang-orang terhormat, terpandang, berpendidikan tinggi atau orang-orang yang
mempunyai kekuasaan atau uang, yang biasanya menampakkan dirinya sebagai orang 2 baik-
baik, bahkan di antara mereka yang dikenal sebagai dermawan, yang terdiri dari politikus,
birokrat pemerintah, penegak hukum, serta masih banyak lagi.
Tindak Pidana Korupsi selalu mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan Tindak
Pidana lain karena termasuk merugikan keuangan Negara. Menurut Munir Fuady suatu white
collar crime dapat juga terjadi di sektor publik, yakni yang melibatkan pihak-pihak pemegang
kekuasaan publik atau pejabat pemerintah, sehingga sering disebut juga dengan kejahatan
jabatan (occupational crime). White collar crime ini seperti banyak terjadi dalam bentuk
korupsi dan penyuapan, sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik. Korupsi dan
suap-menyuap yang terjadi di kalangan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim
adalah hal yang sangat gencar dibicarakan di mana-mana, di samping korupsi di kalangan
anggota legislatif dan eksekutif.
masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah
korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Korupsi telah menyelinap masuk dari berbagai penjuru dunia sehingga
menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan
masyarakat.
Korupsi mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama
internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya,
diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan suatu pendekatan secara
efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat
memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan Negara, termasuk dengan
memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara efektif. Hal yang sangat sulit untuk dipecahkan di berbagai
Negara di Dunia termasuk juga di Indonesia adalah kejahatan korupsi.
Satu-satu nya kepercayaan terhadap Lembaga Negara ter-Tinggi di Indonesia juga sudah
ter-doktrin untuk melakukan kejahatan ini. Para pejabat negara seperti 2Evi Hartanti, 2005,
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. berlomba-lomba mendapatkan kekayaan
secara instan untuk di simpan di masa tua nanti. Negara ini seperti sudah di butakan oleh
kekuasaan, jabatan dan uang. Sebagian besar oknum-oknum penegak hukum di Indonesia
termasuk dalam instansi pemerintahan seperti sekarang ini sepertinya tidak ada yang tidak
melakukan kejahatan korupsi.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk memberantas korupsi namun belum memberikan
hasil yang memuaskan. Korupsi merupakan kasus yang sangat sulit di selesaikan oleh
pemerintah, maka dari itu kasus ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah agar segera
dapat terselesaikan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar permasalahan yang
diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan hukum mencapai tujuan yang hendak dicapai, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
Berdasarkan pembahasan masalah di atas penelitian yang hendak dilakukan harus memiliki
tujuan yang jelas dan terarah. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah bagi pelaksanaan
penelitian agar mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak
dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut :
2. Untuk mengetahui apa yang mendasari hakim pengadilan Tipikor Semarang dalam
menjatuhkan putusan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sekretaris daerah sragen
dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Dalam setiap penelitian diharapkan adanya
suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari sebuah penelitian, khususnya bagi 9
ilmu pengetahuan pada bidang penelitian tersebut. Adapun yang menjadi manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya
b. Dapat bermanfaat sebagai literatur dan bahan informasi ilmiah dalam konteks kasus
tindak pidana korupsi
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang
berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti.
b. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan membentuk pola pikir ilmiah
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang
diperoleh.
c. Dapat memperkaya wacana keilmuan terkait Tindak Pidana Korupsi khususnya di
Indonesia.
D. Kerangka pemikiran
Indonesia menjamin setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam
hukum (equality before the law). Tidak ada perbedaan perlakuan si kaya dengan si miskin di
depan hukum. Hal ini ditegaskan dalam konstitusi Negara yang menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum (recht state) dan dijalankan sepenuhnya berdasarkan Undang-
undang. Dalam alinea ke empat pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik khusus maupun umum. Secara
khusus.
Tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara
umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.5 Apabila kita mengingat bahwa kedudukan pegawai
negeri dalam kehidupan bangsa dan negara pada masa-masa pembangunan ini, mempunyai
posisi yang penting dan kompleks, bukankah kegiatan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan pada dasarnya dilakukan oleh pegawainegeri sebagai aparatur negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Makna ‘White Collar Crime’ adalah kejahatan kerah putih. Kejahatan ini terkait
dengan jabatan yang sah, sehingga seolah-olah kemakmuran yang dimilikinya berasal dari
jabatannya tersebut. Simbol “kerah putih” ini menandakan adanya jabatan yang sah. Pada
perkembangannya, interpretasi atas jabatan sudah bukan lagi jabatan yang diperoleh dari
negara, namun termasuk juga jabatan dalam badan hukum (korporasi). Seseorang yang
memperoleh jabatan akan mendapat wewenang atau kuasa untuk melakukan sesuatu. Melalui
Teori Clinard dan Yeager, meningkatnya peran pemerintah dalam ekonomi diperkirakan akan
mempengaruhi kegiatan bisnis dalam politik karena perusahaan-perusahaan berusaha
memelihara lingkungannya untuk menjamin hasil yang menguntungkan. Salah satu faktor
lain yang berpengaruh bagi terjadinya kejahatan korporasi selain struktur organisasi yang
semakin luas, lingkungan ekonomi dan lingkungan politik adalah faktor budaya korporasi.
Faktor budaya tersebut dan faktor lain yang sudah disebutkan saling mempengaruhi
terjadinya kejahatan korporasi.
Kelompok pada sudut pandang Shuterland ini mengerucut pada suatu kelompok yang
melakukan perbuatan menyimpang dari norma (kejahatan). Oleh karena itu, disebut sebagai
‘differential association’, yakni kelompok yang berbeda dengan yang lain. Pada kelompok
differential association ini, perbuatan kriminal diperoleh dari proses belajar. Belajar pada
situasi ini bukanlah aktivitas belajar formal sebagaimana pelajar dan mahasiswa. Proses
belajar lebih ke arah proses peniruan dari suatu perbuatan kriminal yang dilakukan oleh salah
satu anggota kelompok tersebut. Misalkan dalam suatu golongan pejabat di dalamnya
terdapat beberapa pejabat korup, kumpulan dari pejabat korup inilah yang disebut sebagai
differential association. Perbuatan korup dan kolusi dapat dipelajari melalui peniruan yang
dilakukan oleh masing-masing anggotanya. Pada perjalanannya, proses meniru ini ternyata
menularkan perbuatan yang seperti ini di luar kelompok terutama pada masyarakat.
Oknum dapat berada pada organisasi swasta maupun pemerintah. Ross menjabarkan
bahwa kejahatan kerah putih menjadikan penjahat mampu bergerak lebih leluasa daripada
penjahat konvensional. Keleluasaan ini dapat dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu
sebagai kebebasan melakukan kejahatan dan kekuasaan. Penyebab ketiga sekaligus penyebab
utama adalah dari sifat alami manusia. Kalimat “tidak ada manusia yang sempurna” mungkin
memang benar adanya. Bahwa sejujur-jujurnya manusia, pasti pernah mengalami khilaf atau
kesalahan. Manusia dimulai dari Nabi Adam pernah membuat kesalahan fatal (dianggap
sebagai kejahatan), sehingga diturunkan ke bumi. Kisah maupun wahyu dari beberapa agama
ini memberikan peringatan bagi manusia bahwa semua manusia memiliki potensi untuk
melakukan khilaf (kesalahan/kejahatan). Potensi tersebut dapat dicegah melalui kontrol atas
diri, etika dan norma agama. Penyebab yang lain masih atas faktor manusia adalah faktor
keserakahan. Kejahatan elite ‘White Collar Crime’ (WCC) digolongkan sebagai kejahatan
individu di tempat pekerjaannya (individual occupational). Kejahatan jenis ini memang sulit
diberantas karena kausa atau sebab kejahatan adalah keserakahan (greed) pelaku (Djatmika,
2013:2). Mayoritas penyebab kejahatan terutama kejahatan biasa orientasinya adalah
kebutuhan hidup, berbeda dengan kejahatan kerah putih yang berorientasi pada faktor
keserakahan. Jika orientasinya adalah kebutuhan, saat kebutuhan itu cukup, maka akan
berhenti melakukan. Akan tetapi jika orientasi adalah keserakahan, maka tidak akan pernah
berhenti dan tidak akan ada rasa puas.
Bentuk konkret dari kejahatan kerah putih antara korporasi dan birokrasi adalah
berupa illegal intervention in the political process (Hatrik dalam Setiyono, 2004: 63).
Tindakan ini dapat berupa pemberian dana kampanye politik secara tidak sah. Praktik money
politics merupakan simbiosis mutualisme antara korporasi dan birokrasi. Korporasi
menganggap pemberian dana tidak REFORMASI E-ISSN 2407-6864 Vol. 6, No. 1, 2016
www.jurnal.unitri.ac.id 93 sah seperti dana kampanye sebagai “modal” yang dikemudian hari
dapat diambil hasilnya.
Hasil yang diambil pada birokrasi tidak selalu dalam bentuk uang. Hasil itu dapat
berupa keberpihakan dalam tender/lelang proyek, kemudahan perijinan dan penggunaan
kekuasaan tidak langsung yang berakibat pada kerugian pihak lain. Hambatan dari penegakan
ini adalah adanya anggota masyarakat yang bersifat apatis-egois. Adanya masyarakat
bersikap apatis karena korporasi memberikan timbal balik berupa kompensasi pada
masyarakat yang tinggal di daerah sekitar korporasi. Adanya masyarakat yang bersifat egois
karena hanya menyetujui segala aspek korporasi, meskipun melanggar hukum hanya untuk
mendapatkan kompensasi tersebut. Bukan rahasia umum lagi bahwa legal staff atau public
relation dari suatu korporasi sering melakukan lobi-lobi pada warga sekitar demi kelancaran
perseroannya. Hukum tidak akan berjalan apabila salah satu sub- sistemnya yaitu masyarakat
macet, seperti yang dikemukakan oleh Friedmann. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
memiliki banyak celah untuk diintervensi dari luar. Kewenangan peradilan yang terletak pada
polisi, jaksa dan hakim membuat masing-masing lembaga ini mempunyai kuasa untuk
mempermainkan perkara.
Suatu kejahatan dapat didekati dari dua pendekatan utama, yaitu yuridis dan
kriminologis. Secara yuridis, kejahatan diartikan sebagai setiap perbuatan yang
melanggar undang-undang atau hukum pidana yang berlaku di masyarakat. Sedangkan
secara kriminologis, kejahatan bukan saja perbuatan yang melanggar undang-undang atau
hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu mencakup perbuatan yang antisosial, yang
merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur dalam hukum pidana.
Selain itu, korban kejahatan kerah putih biasanya tidak tampak dan dampak
yang ditimbulkannya membutuhkan waktu lama. Hal ini berbeda dengan kejahatan jalanan
di mana korbannya bersifat individu atau kelompok, dan korban kejahatannya jelas
dan langsung terasa dampak kerugiannya, karena kebanyakan jenis kejahatan ini
menggunakan kekerasan fisik untuk melukai korbannya. Hal inilah yang menjadikan
kejahatan jalanan menjadi jenis kejahatan yang meresahkan dan menimbulkan reaksi sosial
yang keras dari masyarakat.
. KESIMPULAN
1. Faktor sejarah: sejarah dari masa Kolonial Belanda yang ditularkan kepada masyarakat;
2. Faktor budaya: salah satu budaya masyarakat yang disalahgunakan dan menjadi suatu
kebiasaan; serta
3. Faktor potensi (sifat) manusia: masing-masing manusia memiliki potensi untuk melakukan
kejahatan, terutama jika muncul sifat keserakahan. Upaya preventif dapat dilakukan, antara
lain:
2. Meningkatkan kesadaran dari pribadi manusia itu sendiri, baik melalui etika dan
agama; dan
BBC Indonesia. 2015. Kebakaran Hutan: Anak Perusahaan APP Bebas, Pemerintah Banding.
Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 darihttp://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/
2015/12/151230_indonesia_kebakaran_huta n.
Bosu. 1986. Sendi-Sendi Kriminologi. Surabaya: Usaha Nasional. CNN. 2015. Survei Populi:
DPR dan Polri Lembaga Terkorup. Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi- dpr-dan-polri-
lembaga-terkorup
/ Djatmika, Prija. 20 Mei, 2013. Aku Serakah Maka Aku Ada. Jawa Pos, hal. 2. Friedman, W.
2007. Legal Theory, dalam Teori Hukum. Jakarta: Bernard Genta Publishing