Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH MATA KULIAH ANTI KORUPSI

PEMBERANTASAN KORUPSI DI JEPANG

MIRJAM NILSSON

DisusunOleh :
1. Dyan Joko Santoso ( 21.23.005)
2. Teti Mimorthinnilawati (21.23.006)
3. Nurlaita (21.23.012)
4. Aditya TrisaktiErlangga (21.23.018)
5. Melita Kurnia (21.23.020)
6. DoniJulianto (21.23.025)
7. Suhaimi (21.23.028)
8. Dendy Hartansyah (21.23.029)
9. Frans Yoba (21.23.030)
10. Kaprawi (21.23.035)
11. WirzanFahreza (21.23.045)
12. Rizki Amelia (21.23.053)
13. DepriApriansyah (21.23.056)
14. Melisa Afrianti (21.23.058)

UNIVERSITAS BINA INSAN


TAHUN AJARAN 2022
1. PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakangMasalah

Jepang adalah sebuah negara Monarki Konstitusional dengan luas wilayah 377.944
km2 yang memiliki penduduk berjumlah sekitar 126,7 juta jiwa dan pendapatan per
kapita sebesar USD39.321 atau setara Rp450.000.000 merupakan salah satu negara
temaju di dunia.

Kemakmuran dan kemajuan Republik Jepang tidak terlepas dari komitmen rakyat
dan pemerintahannya untuk mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini terlihat dari
hasil survey Lembaga Transparansi Jnternasional yang memberikan peringkat ke-18
dunia untuk Jepang dengan Skor 74 pada tahun 2013.

Dengan skor tersebut, Jepang lebih unggul dari segi pencegahan dan pemberantasan
korupsi dibandingkan dengan Indonesia yang bertengger pada peringkat ke-114 dengan
skor 32 pada tahun 2013.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Anti Korupsi, sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui langkah apa
saja yang diambil dalam pemberantasan korupsi di negara Jepang.

1.3. PerumusanMasalah

Perumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk menjawab kerangka konseptual
makalah sebagai berikut:

- Korupsi di Negara Jepang


- Bagaimana kebijakan maupun peraturan perundangan yang dibuat?
- Badan yang dibuat untuk melakukan pemberantasan korupsi ? Bagaimana
Strukturnya ?
- Faktor Budaya yang mempengaruhi pemberantasan korupsi ?
2. LANDASAN TEORI
2.1. Gambaran Umum Korupsi

Korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Ia lahir berbarengan
dengan umur manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah
awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumberdaya alam oleh
segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan saling menguasai.
Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam
dan politik ini lah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan
hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya semakin terbatas. Sejak saat
itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang mengarah pada keadilan berubah
menjadi kehidupan saling menguasai dan mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat
menemukan banyak catatan yang terkait dengan kondisi tersebut.

Apabila kita mengunjungi website Webster Dictionary dan meng-klik kata


corruption, definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or
offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards and behavior (the
corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman Empire).” Definisi
tersebut terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas
korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi dan sosial-budaya).

Definisi lain dari korupsi yang paling banyak di acu, termasuk oleh World Bank
dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih
luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan public untuk kepentingan
pribadi atau privat yang merugikan public dengan cara-cara bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Definisi ini merupakan konsensus yang banyak di acu
para pakar di bidang anti-korupsi. Walau demikian, definisi ini belum sempurna meski
cukup membantu dalam membatasi pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan
definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sector publik, serta
definisi yang tidak mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama
merugikan publik.

Dalam dua decade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.
Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari tingkat nasional,
regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan
ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai
permasalahan moral semata, tetapi sebagai permasalahan multi dimensional (politik,
ekonomi, social dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi,
yang diikuti dengan timbulnya berbagai kerjasama antarbangsa untuk memerangi
korupsi.
2.2. Peta Korupsi Dunia dan Regional

Korupsi dapat terjadi dimana saja. Ketika politisi lebih mengutamakan kepentingan
pribadi mereka diatas kepentingan publik, secara tidak sadar bibit-bibit korupsi telah
tumbuh. Kita mengetahui bahwa korupsi merupakan masalah global. Namun seberapa
buruk hal tersebut terjadi, dan apalangkah kita untuk mengatasinya?.

Indeks Persepsi Korupsi mengukur tingkat terjadinya korupsi di belahan dunia ini.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, suatu negara diberikan score 0 (sangat buruk)
dan 100 (sangat baik). Beberapa negara mencetak nilai yang sangat memuaskan, namun
tidak ada negara yang benar-benar bersih dari korupsi ini. Dua pertiga dari 176 negara
yang dirangking pada tahun 2012 mencetak index score dibawah 50, hal tersebut
menunjukan bahwa institusi publik di negara tersebut harus lebih transparan dan lebih
akuntable dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Indeks persepsi korupsi bias member gambaran terhadap negara-negara di dunia


mengenai seberapa parah korupsi telah terjadi, hal tersebut bias menjadi reminder bagi
negara tersebut untuk mencari solusi terhadap korupsi yang terjadi di tubuh mereka.
Selain itu indeks persepsi korupsi juga membantu masyarakat untuk lebih mengetahui
kinerja dari pemimpin mereka.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Korupsi di Negara Jepang

Negara Jepang tidak memiliki Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi seperti di Indonesia. Hukum di Jepang mengenal tindakan penyuapan,
penggelapan uang negara, dan penipuan. Namun tindak pidana korupsi tersebut hanya
menjadi bagian dari tindak pidana umum saja. Berikut ini nilai-nilai budaya yang
tertanam pada orang Jepang pada umumnya, yaitu:
• Malu
Kultur hukum "malu" yang masih besar dari masyarakat Jepang sangat efektif sebagai
alat preventif melawan korupsi.
• Jujur
Masih terkait dengan poin sebelumnya yaitu budaya malu, bagi masyarakat Jepang,
kepercayaan adalah sesuatu yang sangat berharga.
• Tertib dan Disiplin
Masyarakat Jepang juga terkenal dengan sikap tertib dan patuh terhadap aturan.
• Setia
Masyarakat Jepang terkenal dengan loyalitas yang tinggi.

Peraturan yang Berlaku di Jepang


Jepang tidak memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur Tindak Pidana
Korupsi. Kejahatan penyimpangan yang berbau korupsi akan dihukum sesuai dengan
hukum pidana yang berlaku di Jepang. Namun demikian dalam rangka praktik bisnis
yang bersih, Jepang mempunyai Undang-undang Anti Monopoli dan Undang-undang
Anti Bid Rigging yang berfungsi untuk mencegah terjadinya nepotisme dan kolusi dalam
bisnis dan kegiatan bisnis yang terkait dengan administrasi pemerintahan.

MekanisMe Penegakan Hukum di Jepang


Kualitas birokrasi Jepang sangat efisien, efektif, bersih dan memudahkan
tumbuhnya dunia usaha. Transparansi dalam pelayanan sektor publik dan penegakan
hukum dapat membangun akuntabilitas dan mencegah tindakan koruptif. Walaupun
Jepang tidak mempunyai lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi namun
Jepang memiliki lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman) yang
kuat.

Isu Terkait Penanganan Korupsi:


Jepang memiliki isu-isu yang sering kali menjadi risiko yang menghambat
penanganan korupsi, antara lain:
• Hubungan yang erat antara politisi, perusahaan-perusahaan Jepang ,universitas, dan
organisasi pemerintah, melembagakan korupsi dan sangat mempengaruhi pelaksanaan
tender untuk kontrak-kontrak pemerintah.
• Whistle blower baik pada sektor publik maupun swasta memiliki risiko diturunkan,
dipecat, dan dilecehkan, meskipun keduanya dilindungi asas hukum praduga tak
bersalah.
• Jepang tidak cukup menegakkan hasil Konvensi Anti-Suap OECD (Organization of
Economic Cooperation and Development).
• Budaya terimakasih, bisa menjadi bibit dari risiko gratifikasi.
• Budaya malu yang sudah mengakar pada sanubari setiap orang Jepang seringkali
menghambat penanganan sebuah kasus korupsi yang mungkin melibatkan banyak
pihak dengan kompleksitas kasus yang tinggi.
• Biaya hidup yang tinggi di Jepang, menjadi risiko lain yang dapat menimbulkan
tindakan koruptif.

Keunikan Dalam Penegakan Hukum di Jepang


• Patung Dewi Keadilan di Jepang meskipun juga tangan kanannya memegang "pedang
keadilan’” dan tangan kirinya memegang timbangan, tetapi berbeda dengan patung
"Dewi Keadilan" kita di Indonesia yang matanya ditutup kain hitam, maka "sang Dewi
Keadilan Jepang" matanya terbuka.
• Pengacara di Jepang tidak seperti pengacara di Indonesia yang terbiasa
memutarbalikan fakta dengan segala cara agar kliennya terlihat tidak bersalah, namun
lebih mendesak sang klien untuk mengakui kesalahan yang dilakukan.

Banyak orang yang berpandangan bahwa Jepang adalah negara yang nihil atau
minim korupsi, bahkan kejujuran orang Jepang sudah sangat masyur di mana-mana.
Tetapi belakangan kebanyakan rakyat Jepang menjadi tahu kebobrokan lembaga atau
institusi yang dibiayai pajak rakyat Jepang.

Seperti dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi besar seperti Menteri Jasa
Keuangan Jepang Tadahiro Matsushita ditemukan gantung diri di kediamannya pada
Senin pagi, 11 September 2012. Kematiannya ini terjadi di tengah penyelidikan korupsi
dan suap di kementerian yang dipimpinnya. Diberitakan oleh Japan Times, Matsushita
ditemukan tewas gantung diri oleh pengawalnya di kediamannya di Tokyo. Polisi tidak
memberikan banyak keterangan mengenai kematian Matsushita. Sebuah sumber
mengatakan bahwa pria 73 tahun ini meninggalkan secarik pesan terakhir. Kematiannya
ini terjadi pada saat penyelidikan skandal bursa saham yang melibatkan stafnya dan
perusahaan pialang terbesar Jepang Nomura Holding Inc sedang berlangsung. Dua
pejabat tinggi Nomura sebelumnya menyatakan mengundurkan diri pada Juli 2012 lalu
setelah Badan Pengawas Keuangan Jepang (FSA) mencium keterlibatan keduanya dalam
skandal tersebut. Rencananya, Matsushita akan memberikan keterangan kepada FSA
pada sore hari, namun kematiannya terungkap pagi hari sebelum dia sempat memberikan
keterangan tersebut.
3.2 Peraturan Perundangan Mengenai Korupsi di Negara Jepang

Terdapat beberapa peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah Jepang


dalam rangka pemberantasan korupsi antara lain :

1. Ethic Act

Dalam peraturan ini dibentuk Ethics Board dan member kekuatan hokum terhadap
badan tersebut untuk melakukan investigasi. Tujuan dari Ethic Acts adalah untuk
memastikan kepercayan publik pada lembaga publik dan untuk menghalangi aktivitas
yang menimbulkan kecurigaan atau ketidakpercayaan kepada lembaga public atas
pelaksanaan tugas dan fungsinya. Peraturan ini mengharuskan pegawai lembaga public
untuk melaporkan kepada kepala kementerian atau badan ketika mereka menerima
uang, hadiah, natura, atau kompensasi dengan nilai lebih dari JPY5000 (sekitar
50USD) dari siapa saja. Laporan tersebut akan dirahasiakan hingga pemberian tersebut
bernilai lebihdari JPY20.000(sekitar USD200)

2. The National Public Service Code (Ethics Code)\


Adalah suatu penjabaran dari Ethics Act. Yang membatasi pemberian dari pihak yang
terkait dengan operasional lembaga public tersebut antara lain:
 Menerima hadiah dari pihak yang terkait dengan operasional suatu Lembaga;
 Meminjam uang kepada pihak ketiga dengan bunga yang lebih rendah dari market
rate;
 Melakukan jamuan dengan pihak ketiga yang terkait;
 Melakukan olahraga seperti golf dengan pihak ketiga, peraturan diberlakukan
bahkan ketika pegawai lembaga public membayar dengan uangnya sendiri;
 Melakukan perjalanan wisata dengan pihak ketiga baik dengan uang pegawai
tersebut sendiri ataupun ditanggung pihak ketiga.

3. The Penal Code mengatur hukuman yang terkait dengan tindakan criminal penyuapan
kepada lembaga publik. Terdapat revisi atas Unfair Competition Prevention Act atas
penyuapan terhadap lembaga public luar negeri sebagai sebuah pelanggaran.

4. The Antimonopoly Act


Melarang kolusi dalam tawar menawar lelang, serta melarang keterlibatan pegawai
lembaga public dalam proses tersebut.

5. The Public Offices Election Act mengatur mengenai hukuman terkait dengan
pemilihan umum.

6. The Act on Prevention of Transfer of Criminal Proceeds disahkan pada bulanMaret


2008. Peraturan baru ini memberikewajiban kepada lembaga keuangan untuk
mematuhi prosedur yang benar untuk mengidentifikasi pelanggan (seperti meminta
kartu identitas yang valid) dan bertugas melaporkan transaksi yang mencurigakan.
Kewajiban tersebut juga berlaku bagi lembaga non financial.
7. The Act on Punishment of Organized Crimes and Control of Crime Proceeds (Anti
Organized Crime Act)melarang tindakan pencucian uang, seperti penyembunyian dan
penerimaan dari hasil kejahatan.
8. The Act of Punishment of Public Officials melarang penerimaan suap dan bersedia
mempengaruhi suatu perusahaan dimana kepemilikan saham lebih dari 50% oleh
pemerintah. Peraturan ini juga melarang seseorang menawarkan suap kepada pemilik
saham atau manajemen untuk tujuan tersebut.

3.3. Kelembagaan Dalam Pemberantasan Korupsi

Di Jepang terdapat beberapa lembaga anti korupsi, yaitu :

1. Japan Financial Intelligence Centre (JAFIC)

Badan ini berttanggungjawab untuk mencegah praktek money laundering dan terrorist
financing. Semua Institusi baik financial maupun non finansial, pemerintahan, maupun
sector privat wajib menyampaikan laporan apabila JAFIC menemukan transaksi yang
mencurigakan. Jika telah terbukti maka JAFIC akan melaporkannya keotoritas
penegak hokum seperti National Police Agency dan Securities and Exchange Survei
lance Commision yang kemungkinan pelaku akan mendapatkan denda administrative
atau bahkan diduga telah terjadi tindakan criminal sehingga harus dilakukan
investigasi lebih mendalam.

2. Japan Fair Trade Commission (JFTC)


Badan ini bertanggungjawab untuk pasar khususnya sector privat agar kompetisi
terjadi secara adil dan bebas. JTFC juga mempunyai kekuatan hokum untuk
melakukan pemeriksaan administrative atau bahkan investigasi mengenai dugaan
pelanggaran pidana. Jika terdapat tidakan yang menyebabkan gangguan atau hambatan
investigasi dapat dikenakan hukuman maksimal 1 tahun dan denga maksimal
JPY3.000.000 (sekitar USD30.000). bila diperlukan maka JTFC berhak meminta
tersangka dan saksi untuk menghadiri sidang di Fair Trade Commision untuk ditanyai
dan akan dilakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang didapatkan. Bila perlu
JTFC juga bias melakukan kunjungan lapangan, pencarian dan penangkapan
berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Fair Trade Commision. Dan jika
terbukti terjadi tindakan criminal maka JTFC akan memproses kasus tersebut kepada
Public Prosecutor Office.

3. Board of Audit, mengaudit pemerintahan dan perusahaan negara.

Board of Audit ini akan mengaudit suatu perusahaan jika kepemilikan pemerintah
lebih dari 50%. Jika ditemukan korupsi selama audit, badan ini akan melaporakannya
pada public prosecutor office sehingga akan dilakukan investigasi kriminal.
4. Ethics Board, mengawasi etika/perilaku dari pejabat publik.

Badan ini dinaungi oleh National Public Service Ethics Art. Dalam melakukan
tugasnya badan ini bias bekerjasama dengan pihak yang terkait dengan pelayananan
publik (pemerintahan dan perusahaan negara) atau bekerja secara independen untuk
melakukan investigasi dalam pengumpulan laporan yang diperlukan atau material lain
yang relevan untuk terhadap suspect yang diduga melanggar prinsip- prinsip
pelayanan publik. Jika terdapat kesalahan dalam pengungkapan pelanggaran tersebut
maka pegawai yang bertanggung jawab atas investigasi suatu kasus akan mendapatkan
hukuman seperti diberhentikan, pengurangan gaji, maupun teguran.

Tindakan suap dilakukan dalam hal pelaksanaan tugas pejabat publik. Pada
dasarnya tindakan penyuapan tersebut oleh pemberi suap dilakukan agar ia memperoleh
manfaat dari pemberian suap tersebut sehingga motif maupun manfaat yang ingin
diperolehakan mempengaruhi hukuman. Selain itu percobaan suap maupun ketika suap
itu diterima dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Dalam setiap kasus, baik orang
yang melakukan percobaan suap dan pejabat publik yang menerimanya akan dihukum,
selain itu seorang petugas yang bersekongkol membantu percobaan suap tersebut dapat
dikenakan pidana.

1. Pada dasarnya sangsi bagi tidakan criminal tidak diaplikasikan jika tidak berhubungan
dengan jepang. Namun The Penal Codes menjadikan penerimaan suap di luar jepang
sebagai sebuah tindakan pidana.

2. JTFC, The Ethics Board, dan Board of Audit tidak mempunyai kewenangan untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka. Hal tersebut harus dilakukan melalui
kerjasama dengan National Police Agency atau Public Prosecutor Office.

3. Badan yang terkait dengan pemberantasan korupsi diatas dapat melakukan penyitaan
terhadap asset atau properti yang terkait dengan kasus suap merupakan atas perintah
dari pengadilan maupun Public Prosecutor office dengan pertimbangan karena
dipercaya asset maupun property tersebut terkait dengan penyuapan dan agar asset
maupun property tersebut tidak hilang selama proses hukum.

4. Tersangka juga diberi hak untuk menyewa pengacara, serta mendapatkan perlindungan
hokum dari tindak kekerasan.

5. Suatu badan yang bersifat privat dapat dikategorikan sebagai badan public karena
karakteristik operasionalnya sehingga dapat dikenai hukuman berdasarkan peraturan
yang ada.
Sanksi dan Hukuman di jepang

1. Hukuman maksimal berdasarkan The Penal Code adalah penjara 20 Tahun untuk
pejabat publik, serta penjara 3 tahun bagi pihak yang menyuap pejabat public serta
denda maksimal JPY2.500.000 (sekitar USD25.000)

2. Untuk penyuapan yang sederhana seperti pejabat publik yang menerima, meminta atau
dijanjikan suap sehubungan dengan jabatannya akan dikenai hukuman maksimal 5
tahun dan jika pejabat public setuju untuk melakukan suatu tidak karena permintaan
tertentu hukuman maksimal menjadi 7 tahun. Jika tindakan telah dilakukan maka
hukuman maksimal menjadi 20 tahun.

3. Jika seseorang menyuap


 Pejabatpublik
 Orang yang bekerja pada perusahaan dengan kepemilikan saham pemerintah diatas
50%
 Orang yang bekerja di lembaga internasional yang dibentuk oleh pemerintah

Dapat diberikan dengan maksimal JPY5.000.000 (sekitar USD50.000) atau penjara


dengan paksaan untuk bekerja keras selama 5 tahun.

4. JTFC juga bias memberikan penalty kepada perusahaan yang terbukti telah melakukan
pelanggaran dalam proses tawar menawar lelang senilai 10% dari prosentase nilai
barang atau jasa yang dilelang.

3.4. FaktorBudaya

Terdapat berbagai nilai budaya dari negara Jepang yang sangat berperan dalam
kesuksesan pemberantasan korupsi di Jepang antara lain:

1. Etos Kerja

Di Jepang terdapat kebiasaan kerja masyarakat yang dapat menumbuhkan etos


kerja anti korupsi. Salah satunya adalah budaya “Hansei” yang terungkap dalam
perilaku dan perkataan “Sumimasen” dan “Gomenasai”. Perkataan ini selalu
diucapkan orang Jepang apabila telah melakukan suatu tindakan yang dianggapnya
merugikan orang lain atau melakukan kesalahan. Makna yang terkandung didalamnya
suatu bentuk self-retrospection; yang menguji diri sendiri apakah sudah berbuat yang
sesuai dengan aturan dan diakhiri dengan keinginan kuat untuk tidak melakukan hal
yang sama di kemudian hari.Wujud dari budaya Hansei ini jelas terungkap dalam
kehidupan sehari-hari di segala sector masyarakat termasuk dalam bidang
pemerintahan. Menurut hemat penulis budaya Hansei ini adalah salah satu alas an
mengapa pemerintahan PM Koizumi melakukan proses reformasi pemerintahan yang
salah satunya sangat terkenal yaitu postal privatization.[3]
2. Budaya Malu

Ada kultur hokum baik dari warga masyarakat Jepang maupun dari para penegak
hokum Jepang yang lebih efektif ketimbang ancaman hukuman mati dalam undang-
undang pemberantasan korupsi kita di Indonesia. Kultur hukum “malu” yang masih
besar darimasyarakat Jepang sangat efektif sebagai alatpreventif maupun penindak
terhadap perilaku tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih sangat
bermoral di kalangan pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan
pengacara Jepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar, dan yang benar
menjadi salah. Konon, umumnya pengacara Jepang senantiasa berusaha membujuk
“klien”-nyauntuk mengakui kesalahannya, dan setelah itu mengembalikan hasil
kejahatannya.

Di dalam praktik hukum di Jepang, pejabat yang masih diindikasikan melakukan suatu
tindak pidana, umumnya langsung mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun
tidak diminta oleh masyarakat, apalagi jika sudah dituntut mundur oleh
masyarakatnya. Nilai kejujuran masih sangat kuat melekat dalam kesadaran
masyarakat Jepang, termasuk kejujuran untuk mengakui kejahatannya sendiri.

3. Budaya Bunuh Diri

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh
diri dengan menusuk kanpisau keperut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika
mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah
ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang
terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya
mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek
atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan
memutar dari pada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di
tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar
peraturan atau punnorma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
4. KESIMPULAN
a. Negara Jepang adalah salah satu negara yang sampai sekarang tidak memiliki
regulasi khusus terkait korupsi. Penanganan kasus korupsi mengandalkan hukum
pidana reguler. Namun demikian komitmen dan perfoma dari lembaga tersebut
sangat baik, sehingga kasus korupsi dapat ditangani dengan efektif.
b. Selain itu, mental dan kepribadian masyarakat Jepang tergolong jujur dan
berintegritas. Masyarakat Jepang juga sangat menjunjung budaya malu dan sangat
menjaga harga diri.
c. Namun demikian, masih terdapat beberapa risiko yang bisa menyebabkan
terjadinya korupsi, yaitu budaya terima kasih yang juga sangat tinggi dapat
menimbulkan risiko gratifikasi.
d. Kondisi perekonomian yang stabil, dan gaji pegawai negeri yang tinggi menjadi
faktor lain yang dapat mencegah tindakan korup dari para aparatur negara.
e. Kesuksesan pemberantasan korupsi di suatu negara dipengaruhi oleh beberapa
factor antara lain, pemerintah yang mendukung melalui instrumen-instrumen
kebijakan yang dibuat untuk memberantas korupsi, lembaga penegak hukum yang
independen dan bersih, serta sinergi antara lembaga tersebut dengan pemerintah
dalam pembuatan strategi-strategi yang relevan agar pemberantasan korupsi dapat
berjalan efektif dan efisien
f. Di Jepang terdapat factor budaya yang sangat berpengaruh pada pemberantasan
korupsi antara lain etos kerja yang tinggi, budaya malu yang begitu kental yang
menyebabkan adanya budaya bunuh diri atau lebih dikenal sebagai hara-kiri.

Anda mungkin juga menyukai