Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah berkenan memberi
petunjuk dan kekuatan kepada kami sehingga makalah, Pendidikan Anti Korupsi di
Indonesia ini dapat diselesaikan. Tugas makalah ini Mengenai pembahasan Upaya
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan,
bimbingan dan arahan kepada penyusun.
Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada
umumnya.
Padang, 25 Mei2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................1
Daftar Isi.............................................................................................................2
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................................4
Bab II Pembahasan
A. Pengertian korupsi..................................................................................5
Sejarah korupsi di Indonesia..............................................................................5
2.3 Dampak masif korupsi..........................................................................7
2.4 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia.....................................11
2.5 Fenomena korupsi di Indonesia.............................................................12
2.6 Kebijkan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.............................13
2.7 Peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.............................14
2.8 Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi................14
2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi..................15
2.10 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi.......16
2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia..............................17
2.12 Nilai dan Prinsip Anti Korupsi..............................................................18
2.13 Peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi..........18
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan.............................................................................................20
3.2 Saran......................................................................................................21
Daftar Pustaka.....................................................................................................22
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah perbincangan
umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat
Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke
tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
mempengaruhi kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan
sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap
rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum
pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan
demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah penguasa yang korup dan derita rakyat.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor. Hal
ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap
perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi
dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara menyeluruh,
mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi
sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa
kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas
kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi dan sinkronisasi telah dilakukan, akan
tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita
sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata
masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat kuantitas. Keberadaan lembaga-lembaga yang
mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal
tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengahsetengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena
boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi. Hal ini tentu saja sangat
memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti
melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di
BAB II
PEMBAHASAN
untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang
begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di
Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek
korupsi ini muncul dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai
asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerahdaerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau
sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih
terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 (tiga)
fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang
ini.
Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
1. Fase Zaman Kerajaan
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan
atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada
zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten
dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk
memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama
kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara
bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu
Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang
sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik
yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal
dengan Perang Paregreg yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan
Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada
juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah
mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi
orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan abdi dalem.
Abdi dalem
dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja
atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan
opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam
tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
2. Fase Zaman Penjajahan
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem
budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial
(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokohtokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah untuk menjalankan daerah
adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi),
dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda
untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari
rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan
kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung,
Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia.
3. Fase Zaman Modern
Seperti yang telah diketahui, pada saat sekarang ini banyak terdapat penyalahgunaan
kekuasaan oleh para pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi,
keluarga ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang yang ada dibawahnya.
2.3 Dampak masif korupsi
a. Dampak Korupsi terhadap Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects)
terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak
langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya harga jasa berbagai
pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering terjadinya
pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik
publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan
sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. Dampak yang tidak langsung
ini umumnya memiliki pengaruh atas langgengnya sebuah kemiskinan.
Secara sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat dikategorikan dalam dua
kategori, yakni :
1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat terus menerus;
2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya adalah
menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu akibat perubahan yang
terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural, maka adalah
naif jika kita beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah
buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty). William Ryan, seorang
sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari berkurangnya
semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat berprestasi, fatalis. Pendekatan ini dapat disebut
sebagai blaming the victim (menyalahkan korban).
Pada tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in Indonesia andthe World
Bank telah melaksanakan proyek Corruption and the Porr. Proyek ini memotret wilayah
permukiman kumuh di Makassar, Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin menjelaskan
bagaimana korupsi mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan mengaplikasikan suatu metode the
Participatory Corruption assessment (PCA), di setiap lokasi penelitian, tim proyek melakukan
diskusi bersama 30-40 orang miskin mengenai pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi.
Kegiatan ini juga diikuti dengan wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui
dimana dan bagaimana korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan dan
pemahaman yang holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan sosial orang miskin pun
didapat.
Para partisipan program PCA ini mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi, yakni :
1. Ongkos finansial (financial cost)
Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban yang lebih
berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
2. Modal manusia (human capital)
Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah, pelayanan
kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya berpengaruh pada
kesehatan orang miskin dan keahliannya.
Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo jika bisa dibuat sulit, mengapa
harus dipermudah. Semakin tidak efisien birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak
sah atas institusi negara ini. Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah
yang tidak terhitung banyaknya. Singkatnya, korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang
menyeluruh di dalam birokrasi.
Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum : yang
menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi tidak saja
terbatas pada transaksi yang korup yang dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih,
melainkan juga meliputi berbagai akibat dari perilaku yang korup, homo venalis.
Transparency International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu :
1. Korupsi administratif
Secara administratif, korupsi bisa dilakukan sesuai dengan hukum, yaitu meminta imbalan
atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang bertentangan dengan
hukum yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi administratif berwujud uang pelicin dalam mengurus
berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte
lahir, dan paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat
ini memang harus diproses dengan cepat.
2. Korupsi politik
Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk uang damai. Misalnya, uang yang diberikan
dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke pengadilan.
Manajemen kerja birokrasi yang efisien sungguh merupakan barang yang langka di tanah air.
Menurut HS. Dillon, birokrasi hanya dapat digerakkan oleh politikus yang berkeahlian dalam
bidangnya. Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari kalangan profesi atau akademikus tanpa
pengalaman dan pemahaman tentang kerumitan birokrasi.
d. Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan
Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik
atau pemerintahan.
a. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada dasarnya, isu korupsi
lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi
tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si
koruptor bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang berdampak
sosial sering bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih
nyata.
b. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait
dengan tindak korupsi.
c. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi
dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik telah dikorupsi untuk kepentingan
yang sempit (vested interest). Sering terdengar tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis
bahwa lembaga multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan Bank Dunia
adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni global yang ingin
mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini sangat mungkin menimpa
pejabat publik yang memperalat suatu lembaga politik untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi
hukum yang kuat dapat meminimalisir terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah, sebagai
pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan
tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor sering mengabaikan
kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini
dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya
menimbulkan bencana bagi rakyat.
e. Dampak terhadap kerusakan lingkungan
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas pemerintah
yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tindakan pemerintah.
Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa
hormat rakyat dengan sendirinya akan luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik
korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada
pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan
masyarakat.
2.4 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp
1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya Operasi Budhi dan Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin
langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan Operasi
Tertibyang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib),
namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga
Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas
dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga
puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas
tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
3.
Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkag langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
1. Mendesain ulang layanan publik .
2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan
Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
2.7 Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas
korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi martir bagi para
pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good
governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
2.8 Peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi:
Bentuk bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut
UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat
2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi:
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia,
antara lain sebagai berikut :
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab
yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan
liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara
Rp 10 milyar lebih (2004).
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI
kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c)
Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang mengawasi dan
melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk
terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah
gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi
korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi
non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI
yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005,
Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar
dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari
Kongo,
Kenya,
Pakistan,
Paraguay,
Somalia,
Sudan,
Angola,
Nigeria,
Haiti
&
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus
yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh
jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang
semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah
yang diemban.
2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
b. Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi
yang lamban dan sebagainya.
c. Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah.
d. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
e. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
politik yang normal.
f. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
g. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
h. Lemahnya ketertiban hukum.
i. Lemahnya profesi hukum.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kejujuran
Kepedulian
Kemandirian
Kedisiplinan
Tanggung jawab
Kerja Keras,
Sederhana,
Keberanian, dan
Keadilan.
Upaya lain untuk menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di lingkungan kampus adalah
mahasiswa bisa membuat koperasi atau kantin jujur. Tindakan ini diharapkan agar lebih
mengetahui secara jelas signifikansi resiko korupsi di lingkungan kampus.
Mahasiswa juga bisa berinisiatif membentuk organisasi atau komunitas intra kampus yang
berprinsip pada upaya memberantas tindakan korupsi. Organisasi atau komunitas tersebut
diharapkan bisa menjadi wadah mengadakan diskusi atau seminar mengenai bahaya korupsi.
Selain itu organisasi atau komunitas ini mampu menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan
internal kampus.
b. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi.
Memberikan penyuluha serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti
(berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka.
Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang
relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan
mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh
lapisan masyarakat.
c. Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam
pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa
kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat
dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk
menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang
terbaik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang
yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang
terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat
pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik
hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan
terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya.
Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah
diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman.
Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi
dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi jalan tak ada ujung, melainkan
jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi
dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak
manusia.
3.2 Saran
a. Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b. Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya
di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Memiliki sifat takut dalam melakukan korupsi.
d. Jangan menghancurkan orang lain demi kepentingan pribadi.
e. Berusaha bersikap jujur didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Mengetahui dampak terjadinya korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan
dan Keadilan.
Mochtar. 2009. Efek Treadmill Pemberantasan Korupsi : Kompas
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi (Chaerudin,SH.,MH. Syafudin
Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif Fadillah,SH.,MH.)
Modus Operandi Pelanggaran Keppres No. 80 tahun 2003 dari Perspektif KPK
(http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html ) Budiyanto,
Drs. MM. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga
Drs.Joko Budi santoso. Pendidikan kewarganegaraan untuk SMK Kelas X
http://harissoekamti.blogspot.com/
http://wawasanfadhitya.blogspot.com/2012/08/upaya-pemberantasan-korupsi-diindonesia.html#ixzz2BmyhoUVF
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada
Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi
Tahun 2008.
www.wikipedia.com