Anda di halaman 1dari 15

PERILAKU PARA PEJABAT

TERKAIT DENGAN TINDAK


PIDANA KORUPSI
ARTIKEL ILMIAH

Nama : PRICILLIA GRENATA SAMBEKA


Nim : 711341120015

KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat campur tangan-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Artikel Ilmiah dengan judul
“Perilaku Para Pejabat Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi”
Adapun maksud daripada pembuatan Artikel Ilmiah ini adalah sebagai sumbangan
pemikiran bagi para penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus Prospek Pengaturan
Pidana Masyarakat.
Penulisan Artikel Ilmiah ini tentu saja masih banyak kekurangan. Untuk itu demi
kesempurnaannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya konstruktif.
Akhirnya, semoga Artikel Ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan pemberantasan korupsi.

Tobelo, Agustus 2020


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………….………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………………………………….
1.2 Tujuan Penelitian………………………………………………………………………………………………………

BAB II TINJAUAN KRITIS…………………………………………………………………………….


BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………………………….
2.1 Pengertian Korupsi………………………………….………………………………….………………………………

2.2 Jenis-Jenis Korupsi…………………………………………………………..…………………………………………

2.3 Pola Korupsi……………………………………………………………………………………………………………….

2.4 Penyebab Korupsi……………………………………………………………………………………………………….

2.5 Modus Korupsi di Indonesia……………………………………………………………………………………….

2.6 Perilaku Masyarakat Dalam Tindak Pidana Korupsi………………………………………………………

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………………………….

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………….…………..

3.2 Saran…………………………………………………………………………………………………………………………..

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehiduapan. Perkembangan praktek korupsi
dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah
meluas dalam seluruh aspek masyarakat
Meningkatnya tindak pindana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumya. Maraknya kasus tindak pindana korupsi di
Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya
pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik
disektor publik maupun privat, tetapi tindak pindan korupsi sudah menjadi fenomena.
Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk
menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan,
tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan
berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan
kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat.
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lamban. Sementara itu, penanganan tindak pindana
korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya upaya
penegakkan hukum tindak pindana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang
masih rendah, lemahnya koordiansi penegakkan hukum tindak pindana korupsi, serta masih
sering terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat merusak
sendi-sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada kenyataannya, penjatuhan
hukuman kepada pelakunya sangat ringan dibandingkan dengan ancaman pidananya,
sehingga menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya kejahatan dikarenakan para Hakim
memberikan hukuman ringan atas pelaku koruptor. Selain itu, dalam praktek juga masih
terdapat hal-hal yang terbaikan, karena pada pertimbangan putusan Hakim yang tidak
secara jelas dan tegas membedakan nilai nominal kerugian negara yang hilang akibat
perbuatan terpidana. Maksudnya adalah bahwa hakim belum melakukan pembedaan atas
pengertian definisi mengenai unsur memperkaya dan/atau menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi pada setiap kasus pidana korupsi yang diputuskannya,
sehingga mengakibatkan penjatuhan hukuman menjadi tidak proporsional. Selama
Lembaga tersebut tidak memperhatikan akibat dan penjatuhan hukuman, maka akan sulit
untuk menumbuhkan kepercayaan warga masyarakat kepada pengadilan.
Indonesia memang sudah merdeka dari 75 tahun yang lalu. Tetapi, apakah definisi dari
kata merdeka dizaman sekarang? Dizaman yang penuh dengan keegoisan seperti saat ini. Dari
banyaknya penduduk di Indonesia, pelaku terbanyak yang melakukan korupsi adalah dari
golongan pejabat instansi negara. Dimanakah urat malu negara Indonesia? Mana janji pejabat
instansi negara yang berjanji akan mensejahterakan rakyatnya? Memakan hak rakyat. Apakah
yang dinamakan pejabat yang budiman? Sungguh negara yang penuh keegoisan.
Dari hasil survey yang dilakukan oleh badan independen dari 146 negara`Indonesia
tercatat sebagai negara ke-5 sebagai negara terkorup di dunia tahun 2013. Korupsi telah
merajalela di Indonesia., mana kesadaran diri? Prestasi yang dapat memancing pengaruh
negatif dari negara lain. Tidak hanya respon negatif dari negara luar, Indonesia mendapat
respon negatif dari rakyatnya sendiri. Sudah banyak hal yang dilakukan untuk mengatasi
korupsi di negeri ini, adanya Lembaga komisi pemberantasan korupsi (KPK), Lembaga
Mahkamah Konstitusi , dimana ketua dari mahkamah konstitusi sendiri terkait kasus korupsi.
Jadi jangan heran jika Lembaga ini disebut Lembaga legisla-thieves, executhieves, dan judika-
thieves. Dimana kata thieves dalam ejaan inggris artinya para pencuri. Hal ini menunjukkan
bahwa sifat pesimisme masyarakat terhadap Lembaga penegak hukum sudah tidak
terbantahkan lagi.
Dari banyaknya kasus korupsi di Indoensia , seharusnya kita sebgai Mahasiswa Generasi
penerus haruslah memberantas korupsi yang menggila saat ini. Tanamkanlah sifat anti korupsi
saat ini. Korupsi adalah sumber malapetaka bagi kita semua. Kita semakin terbelenggu dengan
kemuskinan dan kesengsaraan. Maka dari itu ayo jadilah generasi penerus yang jujur. “Save our
mation, save our generation, save KPK and save Indonesia”

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut.
1) Mengetahui pengertian korupsi
2) Mengetahui jenis-jenis korupsi
3) Mengetahui pola korupsi
4) Megetahui penyebab korupsi
5) Mengetahui modus korupsi di Indonesia
6) Mengetahui perilaku masyarakat dalam tindak pindana
BAB II
TINJAUAN KRITIS

 DUKUNGAN
Dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperlukan Integritas dan Moral
para Apararat Penegak Hukum dan Penyelenggara Negara serta dukungan dari
masyarakat dalam merubah pola pikir dan budaya anti korupsi guna menanamkan dan
menumbuhkembangkan nilai-nilai anti korupsi di lingkungan masyarakat karena
Pemberantasan Korupsi tidak tergantung pada fungsi penindakan (represif) saja akan
tetapi juga mengedepankan aspek pencegahan (preventif) melalu Tim Pengawal
Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat.
Dalam pernyataan bersama Ketua Panitia KPK Agus Rahardjo, Ketua Umum Pengurus
Pusat Komisariat Jurusan Alumni Teknik Sipil ITS Sutopo Kristanto menyampaikan empat
pernyataan sikap mereka.
1. Mereka menolak segala bentuk dan tindakan upaya memperlemah Lembaga
KPK.
2. Mendukung penuh komitmen Presiden RI terhadap penguatan KPK dalam
menjalankan tugas pencegahan dan penindakan korupsi.
3. Mendukung KPK untuk selalu independen, profesional, dan selalu dapat
bersinergi dengan instansi lainnya, yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas pencegahan dan penindakan
korupsi.
4. Alumni ITS mengajak seluruh komponen masyarakat untuk memberikan
dukungan moral kepada KPK dalam menjalankan tugas konstitusionalnya.
Mereka berpandangan bahwa korupsi sangat menggerogoti mental, moral dan
kepribadian bangsa Indonesia. Hal tersebut bertentangan dengan falsafah hidup
bangsa Indonesia, Pancasila, dan mengkhianati perjuangan dan cita-cita
kemerdekaan bangsa.
Ditengah terjadinya wabah Covid-19 dukungan untuk kebijakan hukuman mati bagi
siapa saja yang memanfaatkan anggaran penanganan dana wabah Covid-19 terus
mengalir. Hukuman mati layak diwacanakan untuk pencegahan korupsi dalam situasi
tertentu seperti saat bangsa ini diguncang masalah wabah Corona. Negara
beerkewajiban menerapkan hukuman maksimal pada orang-orang yang mencederai
kebaikan bersama agar orang lain tidak mengikuti cotnoh buruknya. Hanya dengan
cara ini negara melindungi rakyat mendapatkan hak hidup dan keadilan. Peran Ketua
KPK sangat dibutuhkan untuk berdiri di garda depan untuk memonitor, memangkas
kendali korupsi, memenjarakan dan menuntut mati para bandit korupsi atas nama
negara. Indonesia sangat butuh daya dorong lewat pemimpin semacam ini untuk
menjadi bangsa besar. Dalam pasal 2 ayat 1 menyebut : “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan
paling banyak Rp 1 miliar.” Sedangkan pasal 2 ayat 2 tertulis “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam aya (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Lebih lanjut dalam penjelasan mengenai
pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengungalangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter.

 SANGGAHAN
Hukuman mati mungkin bisa jadi alternatif untuk mengatasi korupsi yang begitu
parah di Indonesia. Ada aktivis yang berpendapat, para koruptor kelas kakap sudah
sepatutnya dihukum mati. Namun, para aktivi HAM menolak hukuman mati terhadap
koruptor. Menurut Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW),
mendukung hukuman mati bagi para koruptor. Dimata Teten, tindak korupsi merupakan
kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Alasannya,
kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan
sistematis. Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan
jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) telah menghancurkan perekonomian negara. Akhirnya, masyarakat yang tidak
menikmati malah ikut menanggung derita. Teten berpendapat, para koruptor yang
harus dihukum mati adalah para koruptor yang ‘merampok’ uang negara miliaran rupiah
seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri
dikantornya. Karena banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah
akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko Tjandra,
Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI Bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI
(Sudjino Timan). Para koruptor tersebut tetap bisa bergentanyangan bebas, lepas dari
jerat hukum.
Namun, para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati,
termasuk terhadap para koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa
hukuman mati bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila. Asmara Nababan,
Direktur Eksekutif Demos mengusulkan agar hukuman mati dicabut. Alasannya,
penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional. Konvenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain
menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup. Hingga 9
Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap konvenan ini.
Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan
ratifikasi/akesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The
Abolition of Death Penalty.
Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua,
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan
Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan
alasan apapun. Menurut Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan
pembalasan dendam kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun,
hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana
lainnya.
Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati karena belum terbukti,
negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu
korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawban. Bhatara
Ibnu Reza, penelitian Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi
langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan,
Negeri China. Bahwa setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi
buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di
dunia.
Sejak 1999, China memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak
pidana korupsi. Pada akhir 2000, China telah membongkar jaringan penyelundupan dan
korupsi yang melibatkan 100 pejabat China di Propinsi Fujian, China Tenggara. Sebanyak
84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati. Pada 9 maret 2001
nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah
permohonan kasasinyaa ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum
mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan
property senilai AS$200.000.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam
shock therapy oleh pemimpin-pemimpin China. Pemberantasan korupsi adalah urusan
hidup dan mati partai. Dan itu telah menjadi semboyan bagi mereka yang terus
didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin China, terutama PM Zhu Rongji, yang di
China dikenal sebagai salah satu “Mr Clean”
Tampaknya Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.
Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak
hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor. Belum lagi, masih ada
beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau
Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih
baik Pemerintah mengefektifkan Lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan
pidana mati.
Presiden Joko Widodo pun, menyanggah pernyataan Prabowo Subianto di forum
internasional, yang menyebut korupsi di Indonesia ibarat penyakit kanker stadium 4.
Menurut Jokowi, capaian indeks persepsi korupsi Indonesia, jauh membaik. Presiden
meminta pihak yang berkomentar harus berdasarkan data. Presiden juga berjanji, terus
memperbaiki system pencegahan dan pemberantasan korupsi.

 SARAN
a. Bagi KPK
1) Optimalisasi prinsip kehati-hatian dalam melakukan penetapan Tersangka
melalui Penyelidik KPK memberikan laporan hasil penyelidikan secara utuh
kepada Pimpnan KPK.
2) Dilakukan konfrontasi bukti permulaan yang cukup Tersangka sebelum
melakukan penetapan Tersangka tindak pidana korupsi.
b. Bagi Hakim Praperadilan
1) Tidak menolak memeriksa bukti permulaan yang digunakan sebagai dasar
penetapan Tersangka tindak pidana korupsi.
2) Memeriksa kualitas alat bukti dan relevansi alat bukti dengan orang yang
dipersangkakan.
c. Bagi Mahkamah Agung
1) Membentuk PERMA yang mengatur beracaranya praperadilan pada
keabsahan penetapan tersangka.
2) Melakukan eksaminasi secara berkala.

BAB III
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi atau rasuah (Bahasa latin: corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara
tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keutungan yang sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:

 Perbuatan melawan hukum,


 Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2.2 JENIS-JENIS KORUPSI
1. Perbuatan Yang Merugikan Negara.
Dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan
hukum dan merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari
keuntungan dan merugikan negara.
2. Suap
Pengertian suap adalah semua bentuk tindakan pemberian uang atau menerima uang
yang dilakukan oleh siapa pun baik itu perorangan atau badan hukum (korporasi).
3. Gratifikasi
Korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Gratifikasi dapat berupa uang, diskon, pinjaman tanpa bunga,
tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya.
4. Penggelapan Dalam Jabatan
Kategori ini sering juga dimaksud sebagai penyalahgunaan jabatan pemerintah yang
dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan,
menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti
yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara.
5. Pemerasan
Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang memberikan
seseorang, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
6. Perbuatan Curang
Perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-proyek pemerintahan, seperti
pemborong, pengawas proyek, dan lan-lain yang melakukan kecurangan dalam
pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
keuangan negara.
7. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan.

2.3 POLA KORUPSI


1. Pola Konvensional
Pola konvensional adalah menggunakan uang kantor atau negara secara langsung
untuk keperluan pribadi. Karena pola konvensional ini justru sudah jarang dilakukan
orang (karena resikonya tinggi).
2. Pola Kuintansi Fiktif
Pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi. Sesuatu yang
kecil dibuat jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang
tidak ada diadakan dan sebagainya. Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan
pada buku kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun
pajak, maka saya menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi
fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan
yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama
sekali tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor
pemerintah, swasta, maupu BUMN.
3. Pola Komisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilaah sering belanja barang
dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-
proyeknya. Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga
baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, saya
bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajamen di kantor
saya jelek, dengan mudah seluruh komisi itu saya makan sendiri. Ini baru baju.
Bagaimana kalua mobil, rumah, pesawat terbang atau kapal tanker? Karena jumlah
komisi ini bisa sangat besar, makanya manajemen yang baik akan selalu mencek:
betulkah cuma segitu komisi yang bisa dilepas? Bisakah ditawar lagi? Dalam keadaan
seperti ini, tentu uang komisi itu akan kembali ke kantor lagi. Lalu mati-kutukah
oknum di bagian pembelian? Tentu tidak! Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh
perusahaan untuk perusahaan adalah 20 persen. Ternyata disamping itu masih ada
“koomisi khusus” 2,5-5 persen yang “diselipkan” ke kantung si petugas pembelian.
Bisakah komisi seperti ini dibuktikan secara hukum dipengadilan; tentu saja sulit.
Bukankah kuitansi atau tanda terimanya tidak ada? Tapi, sangat sulit bukan lalu
berarti mustahil. Kalau kita mampu melakukan pendekatan terhadap pihak pemberi
komisi hingga berhasil membuatnya “menyayi”, maka bukan mustahil para
penerima komisi di kantor kita mengalami banyak kerepotan seperti halnya eks-PM
Jepang Kakeui Tanaka dulu. Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini
menjadi teramat rumit untuk diusut lebih lanjut, manakala komisi yang diberikan
uang sesuai dengan presentase melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya
arloji, video, mobil, rumah, bahkan tak jarang berupa perempuan cantik yang bisa
diajak kencan. Tapi rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih tetap ada peluang
untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.
4. Pola Peti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk hadiah lebaran, natal dan tahun
baru – asalnya selalu dari realasi dan selalu dihitung sesuai dengan presentase nilai
transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun
barang bahkan juga “pacar” datangmya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa
macam-macam. Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan
aman, tidak digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”. Supaya “permainan”
yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan lain-lain. Dalam kondisi
tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang
jumlah upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat malahan si
atasan bisa langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu.
Jadi sifatnya sudah sangat mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang
melakukan. Kalua komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi, sedangkan
upeti adalah anatara bawahan dengan atasan. Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini
bisa berupa makanan atau cenderamata untuk si pengambil keputusan atau si
penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala seseorang akan bertugas keluar
kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini sudah menjadi semacam “budaya”. Saya
sendiri selalu mencoba untuk tidak melakukan hal itu bila kebetulan sedang ada
tugas keluar. Tapi ketika teman-teman yang kebetulan saya beri tugas keluar
melakukan hal itu, terus terang saya jadi agak kerepotan untuk menolaknya.
Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan makanan atau memberikan
cenderamata itu untuk teman yang lain yang kebetulan memang tidak pernah
mendapat tugas keluar.
5. Pola Menjegal Order
Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi. Gaji saya
Rp 300.000 ditambah presentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-
tiba saya mendapatkan order senilai 500 juta rupiah. Presentase yang saya dapat
dari kantor sesuai dengan peraturan pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya
lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya menerima komisi yang lebih besar.
Kalua order ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus saya
ini akan jadi kecil sekali. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah tenaga sales
disebuah perusahaan perxetajan yang dirumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada
pegawai bengkel yang dirumah juga punya usaha perbengkelan dan sebagainya.
Order-order yang dijegal ini sebenanarnya secara hukum adalah milik perusahaan.
Jadi karena pembuktian kasus seperti ini juga tidak sulit penindakannya secara
administrative maupun hukum juga paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum
seperti ini kalua ketahuan akan segera di-PHK. Penjegalan order seperti ini tidak
hanya jadi monopoli para tenaga sales. Resepsionis, penjaga toko, tenaga
administratif, bagian surat pembuka surat, bahkan juga satpam penjaga pintu
gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis menguasai relasi
yang datang lewat telepon, tenaga adminstrasi menguasai pesanan lewat
surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang datang langsung lewat
pintu gerbang. Kasus seperti ini pernah terjadi dikantor saya. Tapi begitu manajemen
dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah boleh dibilang mustahil
untuk dilakukan.
6. Pola Perusahaan Rekaan
Apabila anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu
akan terlalu kentara manakal punya perusahaan yang bisa menangkap order-order
dari kantor anda sendiri. Kalua anda bekerja disebuah kantor penerbitan lalu
dirumah anda punya perusahaan percetakan untuk menampung order dari kaantor,
tentu teman-teman akan rebut lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah
sebabhnya lalu bnayak oknum pejabat yang memberi modal pada si keponakan, si
saudara sepupu, mertuan istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin perusahaan
rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan
deras. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan
merupakan barang baru lagi. Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola
oleh sanak family tadi kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli,
maslahnya sama sekali tidak ada. Boleh-boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi
order itu masih Oom sendiri, masih Pak De sendiri, dam sebgainya, maka hukum
bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara lugas. Terjadilah kemudian
penyimpangan kualitas, waktu, anggaran dan sebagainya.
7. Pola Penyalahgunaan Wewenang
Pola inilah yang oleh msyarakat banyak lazim disebut sebagai pungli, uang semir,
pelican, sogok, suap dan lain-lain. Memang selalu ada anjuran untuk tidak memberi
iming-iming pungli kepada para petugas, agar mereka tidak tergoda. Anjuran ini
mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di loket stasiun dan bukan di calo. Tapi
apa lacur. Karena permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadinya tetap saja
calo masih laku keras terutama di saat-saat ramai seperti di sekitar lebaran. Di
kalangan para petugas/pegawai negeri masalahnya sama saja. Selama mereka diberi
gaji kecil, padahal wewenangnya begitu besar, maka pungli pasti akan jalan terus.
Soalnya, masyrakat memang perlu pelayanan dan tidak mau direpotkan. Mereka
cenderung keluar uang sedikit asal urusan cepat selesai.

2.4 PENYEBAB KORUPSI


1. Faktor Politik
Politik adalah salah satu penyebab korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi
instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih
dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang
merupakan fenomena yang sering terjadi. Korupsi pada level pemerintahan adalah dari
sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-
barang publik untuk kepentingan pribadi tergolong korupsi yang disebabkan oleh
konstelasi politik. Korupsi politik misalnya perilaku curang (poltik uang) pada pemilihan
anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana illegal untuk pembiayaan
kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara illegal dan teknik lobi yang
mneyimpang.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum sebagai penyebab korupsi bisa lihat dari dua sisi, yaitu dari sisi aspek
perundang-undangan dan dari sisi lemahnya penegakan hukum.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab korupsi. Hal ini dapat dijelaskan dari
pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.
4, Faktor Organisasi
Merupakan salah satu penyebab korupsi. Organisasi dalam hal ini adalah organisasi
dalam arti yang luas, termasuk system pengorganisasian lingkungan masyarakat. Aspek-
aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputu:
a) Kurang adanya teladan dari pimpinan,
b) Tidak adanya kultur organisasi yang benar,
c) System akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai,
d) Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

2.5 MODUS KORUPSI di INDONESIA


 Penyalahagunaan Anggaran
 Modus Mark Up
 Modus Suap
 Modus Korupsi dengan pungutan liar
 Modus penggelapan
 Modus laporan fiktif
 Modus penyalahgunaan wewenang
 Modus gratifikasi
 Modus pemotongan anggaran
 Modus anggaran dana
 Modus kegiatan atau proyek fiktif
 Modus mark down

2.6 PERILAKU MASYARAKAT DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


 Bagian a
Menurut saya ini adalah perilaku koruptif karena orang tersebut mamu mempercepat
proses pengurusan surat keterangan dan tindakan ini tidak bermoral bisa saja orang lain
yang sudah lebih dahulu mengurud dan menunggu la,a untuk proses surat keterangan
tapi terus tertunda karena didahulukan oleh oknum yang memberikan Tip kepada
pengurus RT/RW hal ini biasa terjadi dikalangan masyarkat yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan, dan menurut saya Petugas RT/RW bisa saja tidak bersalah karena dari pihak
mereka memang tidak memberikan tarif, tapi tetap saja aka nada orang-orang yang
tidak sabaran akhirnya memberikan Tip kepada Petugas RT/RW agar mempercepat
proses pengeluaran surat keterangan tanpa menunggu lama dan ini bisa saja
meerugikan orang lain.
 Bagian b
Menurut saya ini adalah tindakan perilaku koruptif dimana petugas KUA meminta tarif
khusus di atas tarif resmi yang artinya mendapatkan uang tambahan dari calon
pengantin yang apabila petugas KUA menerima uang dari orang tersebut maka hal ini
sudah termasuk dalam kategori perilaku koruptif dalam pelaksanaan pernikahan yang
dilaksanakan diluar kantor KUA.

 Bagian c
Menurut saya tanda mata yang diberikan kepada guru oleh orang tua murid bukanlah
perilaku koruptif ataupu peristiwa korupsi melainkan merupakan sikap tanda
terimakasih orang tua kepada guru yang sudah berjasa mengajar dan mendidik anaknya.
Dan hal ini sangat wajar untuk dilakukan oleh setiap orang tua murid untuk mebalas jasa
para guru.

 Bagian c
Menurut saya ini adalah perilaku koruptif karena pelanggar tidak ingin dikenakan
sanksi atau proses persidangan sehingga ia memberikan uang pelicin untuk
menghindari hal tersebut. Ini merupakan tindakan yang tidak bermoral karena setiap
pelanggar harus mempertanggungjawabkan ketika telah melanggar ketentuan-
ketentuan yang telah berlaku tanpa adanya kasus suap-menyuap, dan tindakan polisi
juga sangat tidak etis seharusnya polisi tidak mengambil keuntungan, karena polisi
harus menegakkan keadilan dan memberikan sanksi terhadap siapa saja yang
melanggar aturan tanpa menerima uang damai.

BAB IV
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Korupsi bisa diartikan
sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya
pertentangan kepentingan kelalaian dan pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi
yang akan memberikan keuntungan kepada pelakunya, problematika korupsi merupakan
problem nilai yang harus diberantas oleh semua pihak, problematika korupsi yang sudah
mengakar, membudaya serta sudah menjadi pola pikir, dan mental. Dan salah satu cara untuk
melakukan pencegahan mental korupsi sejak dini adalah lewat jalur Pendidikan.

3.2 SARAN
Hukuman mati bukanlah jalan satu-satunya untuk memberantas korupsi yang marak terjadi
di Indonesia. Salah satu metode yang dapat dilakukan yaitu Pemiskinan koruptor bisa dilakukan
karena dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan asset hasil tnidak pidana korupsi
dan penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemikiran
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/19/15334811/alumni-its-beri-dukungan-terhadap-kpk

https://halosemarang.id/dukungan-mengalir-untuk-wacana-hukuman-mati-bagi-koruptor-dana-
bencana-wabah-covid-19

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7486/hukuman-mati-bagi-koruptor-/

https://www.kompas.tv/article/36805/presiden-jangan-ada-yang-bilang-korupsi-kita-stadium-4

https://danielakhyari.wordpress.com/2017/04/10/alur-cerita-korupsi-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai