DI SUSUN OLEH :
NPM : P071241110
Tingkat/Semester : I / II
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah yang telah melimpahkan berkat-Nya kepada
kita, sehingga kita masih dapat menghirup nafas kaislaman sampai sekarang ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhirnya kami mengucapkan
terima kasih dan mohon maaf apabila dalam penulisan masih terdapat kalimat
yang kurang dapat dipahami.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde
yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab
terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari
aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap
atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
1
yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan
pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negarater
cinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat
penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia
dewasa ini sudah merupakan penyakit social yang sangat berbahaya yang
mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara
yang sangat besar. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa
malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan kekuasaan.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir
yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.
Tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsure yang sangat
penting dari penegakan hokum dalam suatu Negara adalah perang terhadap
korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas,
permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak
lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga
sebagai control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul.
Contohnya seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum
kita yang seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh
Nyonya Artalita dan yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.
2
Jika ada beberapa pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus
dipertanyakan kembali kepada para pejabat itu, berteriak karena takut ikut
terseret ataukah konpensasi atas kesalahan sendiri? Dan perlu kita
pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika kantong terisi uang
haram?. KPK juga sebagai barometer Negara terhadap pandangan Negara
lain. Mungkin korupsi di Indonesia sebagai fenomena gunung es dan mungkin
hanya 0,5 persen saja yang terbongkar. Tapi justru membanggakan karena
taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita melihatnya takut karena kita selama
ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan menganggap aneh apabila
keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya dilakukan
untuk mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran
ataupun mengamputasi peran KPK secara terselubung.
KPK memang lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal lahirnya
KPK, dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan
korupsi lebih intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik
dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian anggota
parlemen yang “kotor”. Di negeri yang korup, pasti banyak pihak yang begitu
kaget dan berusaha sekuat daya melawan KPK. Adanya upaya penyempitan
peran KPK diindikasikan dengan tidak adanya parpol yang secara institusional
mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi. Itu terjadi karena parpol
gamang dan takut. Kegamangan dan ketakutan ini muncul karena parpol
episentrum korupsi di Indonesia.
Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat
tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim
Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang
hingga kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-
3
tahun memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama
rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik.
Sikap korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-
porandakan perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan
triliunan rupiah telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat
Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu
departemen saja. Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi.
Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa
tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong pribadi ataupun
kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana tersebut untuk
kepentingan sendiri atau kelompok.
Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya.
Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi
BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia
yang khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah
dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak
rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat
berobat serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedikit banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat
dari korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara
akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang
bersih.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah korupsi berasal dari perkataan Latin coruptio atau corruptus2 yang
berarti kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu diberbagai negara, dipakai
juga untuk menunjukan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga
banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti
harfiah dari kata itu ialah tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah dan lain sebagainya.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak
pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dalam
masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi
masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta
moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayannya tindak pidana
5
korupsi tersebut. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul Ke-4
United Nation Convention Against Corruption, 2003 yang berbunyi sebagai
berikut yaitu Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,
melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama Internasional unruk
mencegah dan mengontrollnya esensial. Kegiatan pemberantasan korupsi
akan selalu tetap menjadi bahan yang aktual untuk disajikan sebagai
persoalan jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi
mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi,
dan sosial budaya. Perbuatan korupsi membentuk aneka ragam pola perilaku
dalam suatu siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan
keserasian struktur pemerintahan. Bentuk perbuata korupsi yang beraneka
ragam dan berbagai faktor penyebab timbulnya korupsi itu dalam
pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan dari ciri perbuatan korupsi
dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat merugikan negara
atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan
ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi
dewasa ini selain menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus
dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa. Tidak mengherankan kalau
korupsi dimasa kini dapat menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintah
atau minimal menghambat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Perbuatan korupsi dari segi bentuknya dapat dibagi sebagai berikut: pertama,
yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) yang
dikategorikan korupsi materi. Kedua, berupa perbuatan memanipulasikan
pungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau
campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Ketiga, yang
memanipulasikan ilmu pengetahuan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam
hukum positif Indonesia sebenarnya telah cukup lama, yaitu sejak Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku sebagai kodifikasi atau
unifikasi di Indonesia. Dalam keadaan mendesak dan perlu diaturnya tindak
pidana korupsi ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Terjadinnya
perkembangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang
melibatkan penyelenggara dan pengusaha, Undang-Undang tersebut dirasa
6
tidak sesuai lagi sehingga ditetapkan bahwa Undang-Undang tersebut tidak
berlaku lagi dan diganti menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tersebut telah
mengalami perubahan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
7
mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah
sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.
Adapula pengertian dan ciri-ciri korupsi menurut para pakar lainnya seperti
Menurut Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah Suatu tingkah laku yang
meyimpang dari tugastugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk
memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan
pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian korupsi yang
diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi
negara.
8
masalah politik lebih dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan
(legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan para
pegawai pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat
provinsi dan kabupaten.
Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu Setiap orang yang
dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan
tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Black’s
Law Dictionaryi Pengertian Korupsi adalah Merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi
dengan mempergunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam
menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan
kewajibannya dan juga hak-hak dari pihak lain.
Alatas mengatakan ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi
yaitu:
Penyuapan (bribery),
9
pemerasan (exortion) dan
nepotisme.
Dari Ketiga tipe tersebut berbeda, namun dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu menempatkan kepentingan publik
di bawah kepentingan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan
kesejahteraan, yang dilakukan dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan,
penipuan dan juga pengabaian atas kepentingan publik.
Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada
hampir setua peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak
abad 13. Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan
Majapahit, Mataram hingga kerajaan lainnya di Nusantara.
Lewat catatan itulah jejak mereka yang mengusai jabatan tertentu dalam
memperoleh keuntungan besar mulai terlihat. Sejarawan Ong Hok Ham pun
turut menjelaskan hal itu. Ia mengungkap pungli langgeng karena pejabat
dalam kerajaan tradisional ini tak digaji oleh raja.
Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi
pejabat tanah dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai.
Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber
keungan inilah urusan jabatan dibiayai.
Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham
mencatat mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan,
jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya
telah berdiri sendiri dalam keuangan.
10
Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja
menerima sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi,
jumlah yang diberikan relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk
kantong pribadi pejabat.
“Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu
rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya.
Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi,
juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi
penghasilan mereka – dan mereka semua berhutang padanya,” ujar Ong Hok
Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Kala Hindia-Belanda
“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’
yang paling hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara
Belanda serta menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi
semakin kurus kering dan melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam
saja, tidak mau memberitahukan kesengsaraan mereka untuk minta
diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh ketaatan,” ungkap
Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).
Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker
dalam novel legendarisnya Max Havelaar (1860). Lewat novel itu, Multatuli
kemudian menelanjangi kejamnya pejabat bumiputra dan kolonialisme
Belanda.
11
Runtuhnya VOC
Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari
pejabat bumiputra yang korup. VOC zaman itu hanya memberikan gaji
nominal, sekedar uang pengikat.
“Dirk menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari para pejabat pribumi,
bupati, misalnya hadiah pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun
baru, hadiah buat istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau
menghadap Gubernur di Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di
Hindia-Belanda, setiap kali mendatangi penobatan bupati pribumi yang baru
terpilih dan sebagainya,” cerita Dirk dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi
Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).
Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara yang sering kali hidup
di atas kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu
tumbuh lewat sikap para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta
karena melimpahnya hasil pungli.
12
seharusnya berdagang demi kepentingan majikan, justru bekerja hanya demi
keuntungan sendiri.
Belanda, termasuk hutang dan saldo 134,7 juta gulden. Sejak saat itu,
kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda, yang diakui oleh dunia baik
Ciri-ciri Korupsi
1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang
2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki
7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
13
2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang
paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin
meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal,
maupun nasional. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan
korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah
“penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada
pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup
berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas
terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu,
mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat
dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan,
persamaan dan kesejahteraan yang merata.
14
ayat (5) di atur mengenai hak dan peran serta msyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Peran serta masyarakat ini paling tidak harus memiliki 3 esensi yaitu,
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, kebebasan yang
bertangung jawab bagi masyarakat untuk menggunakan haknya, dan
penciptaan ruang yang leluasa bagi masyarkat untuk berperan serta.
15
tindak kejahatan yang sedang di proses berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.
Mengingat bahwa kejahatan ini di lakukan oleh orang orang yang memiliki
pengaruh yang luar biasa baik di lingkungan kerjanya maupun di lingkungan
masyarakat sehingga dalam proses peradilan tindak pidana korupsi pun,
pengadilan tidak mewajibkan, si pelapor untuk hadir dalam memberikan
informasi dalam sidang. Hal ini juga untuk memberikan perlindungan fisik,
mental maupun perlindungan keamanan bagi keluarga pelapor.
Fakta ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa dalam sistem politik di
Indonesia, organisasi keagamaan justru kadang menjadi saluran
mengorganisasikan proses jual beli suara. "Money politic itu bisa dilakukan
melalui organisasi keagamaan. Daripada partai menghubungi orang satu
persatu, kalau memberikan amplop lebih mudah jika diserahkan pada
organisasi A," kata Kuskrihdho. "Amplop itu kemudian mengalir.
16
Akhirnya organisasi keagamaan seperti juga organisasi lainnya, dia
menyediakan jaringan untuk menjangkau ke publik. Kompas moral organisasi
keagamaan sebagai sumber nilai, itu menjadi sekunder," papar Kuskridho.
Naiknya nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tidak patut
dirayakan berlebihan. Alasannya, di balik kenaikan nilai IPAK, terdapat fakta
bahwa masyarakat terbukti makin permisif terhadap praktik korupsi di
kehidupan sehari-hari.
17
pemberian uang ke pengurus RT/RW jika warga hendak menggelar acara
wajar atau tidak. Kemudian, wajarkah apabila seorang ASN menggunakan
kendaraan dinas untuk keperluan keluarga.
Skor dimensi persepsi ini turun dibanding posisi tahun lalu. Penurunannya
mencapai 0,12 poin menjadi 3,68. Secara sederhana, penurunan ini
menandakan makin permisifnya masyarakat atas perilaku petty corruption.
Dia juga menilai gerak lambat KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dan
kawan-kawan turut berpengaruh terhadap lunturnya semangat antikorupsi
masyarakat. Menurut ICW, KPK di bawah komando Firli belum menunjukkan
prestasi yang berarti dibanding kepemimpinan lembaga antirasuah periode
sebelumnya.
18
Tiga jurus
ICW dan Luvdhy lantas menyebut, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk
memperkuat pemahaman ihwal perilaku koruptif, dan menghapus kebiasaan
buruk dari tengah-tengah masyarakat.
Menurut Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati,
upaya pencegahan korupsi selama ini sudah dan akan selalu dijalankan
lembaganya. Dia menyebut, saat ini KPK memiliki banyak program
pencegahan mulai dari lingkup keluarga hingga birokrasi.
Ipi menyebut, KPK juga selama ini aktif melibatkan seluruh mitra pemangku-
kepentingan dalam menguatkan pencegahan korupsi di masyarakat. Salah
satunya, dengan terus mendorong kepatuhan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) dan gratifikasi.
19
KPK hingga kini masih berupaya memperbaiki sistem dengan melakukan
kajian di semua lembaga negara. Hal ini dilakukan demi menutup celah atau
potensi korupsi.
Dalam fungsi koordinasi dan monitor, KPK diklaim akan terus mendorong
perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh provinsi. ADa
delapan area intervensi perbaikan tata kelola pemerintah daerah yang
didorong berangkat dari sejumlah kasus korupsi; seperti jual beli jabatan,
promosi dan mutasi ASN.
20
- Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan
Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20
tahun 2001)
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara
negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor 20 Tagun 2001)
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001)
21
f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.
22
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan
komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martil” bagi para pelaku
tindak KKN. Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
23
KPK dalam upaya pencegahan korupsi yang didasarkan Pasal 13 UU No.
30 Tahun 2002 Jo. Pasal 16 UU No. 30 Tahun 2002, mewajibkan setiap
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi
melaporkan kepada KPK, dengan cara sebagai berikut :
24
- Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;
- Subbidang Gratifikasi;
25
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN),
Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian
dan Pengembangan;
Direktorat Gratifikasi;
26
“Saya bersumpah / berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu ajanji atau
pemberian”.
27
- Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi
atau golongan;
Salah satu cara konkrit yang dilakukan KPK untuk mencegah tindak
pidana korupsi adalah membangun zona anti korupsi di seluruh provinsi.
Terbentang luas di tengah Khatulistiwa. Terhampar di antara luasnya dua
samudera. Seluas itu pula potensi korupsi yang ada di Indonesia.
Mengatasinya tak cukup hanya dilakukan di ibu kota, upaya penanganan
korupsi haruslah menyentuh seluruh Nusantara. Titik- titik zona antikorupsi
mestilah tersebar di seluruh Indonesia. Dalam konteks itulah, KPK
menggelar koordinasi dan supervisi bidang pencegahan ke seluruh
provinsi di Indonesia. Menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan
Pemerintah (BPKP), KPK kembali bersinergi untuk melanjutkan program
yang telah dimulai sejak 2012 ini.
28
Dengan demikian, pada 2013 kerja sama perlu ditindaklanjuti dengan
menyusun serangkaian aksi rencana tindak, terkait ketiga aspek yang telah
dikoordinasi dan disupervisi di 33 provinsi dan 33 ibu kota provinsi serta
beberapa instansi vertikal pada ibukota provinsi pada tahun sebelumnya.
Aspeknya meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan
barang dan jasa, serta pelayanan publik. KPK dan BPKP melakukan
monitoring terhadap pelaksanaan rencana tindak tersebut.
29
dengan melakukan evaluasi terhadap kelemahan-kelemahan yang
ditemukan, telaah terhadap peraturan-peraturan terkait, dan wawancara
kepada sejumlah pihak berkaitan dengan permasalahan yang ditemukan.
Pada saat semiloka dilaksanakan, hampir semua gubernur dan wali kota
hadir. Dari semiloka tersebut, seluruh elemen masyarakat luas dapat
memahami masalah-masalah yang ada, sehingga selanjutnya dapat
secara aktif mengawal upaya perbaikan yang akan dilakukan namun tetap
proporsional, pemerintah pun akan lebih baik melakukan upaya perbaikan
karena dikawal masyarakat luas.
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat
korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin)
30
cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih
mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan
akan memiliki gengsi sendiri dan imbalan materi tentunya, peristiwa seperti
ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi
dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang menolong
kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan
membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk
masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye
dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari
masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif,
hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan
tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh
oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual
hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal
maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang
harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang,
hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit
bahkan ada sebuah pepatah “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”.
31
mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya,
malah menambah beban rakyat miskin.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua
jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif,
korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas
pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang
‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk
melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam
bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu
Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar
prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat
ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang
kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus
pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh
Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI
akibat korupsi:
32
mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk
mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal,
pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
33
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang
lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara
demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati
peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India
dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya
korupsi.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan
substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya
masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan
adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.
34
saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi
sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan.
Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika
melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan
mengabaikan masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang
dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971.
kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga
negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
35
koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak
cukup bukti.
2.5.1 Langkah-langkah
36
Cara lain penanggulangan korupsi adalah dengan menegakkan hukum itu
sendiri.Adapun UU yang mengaturnya yaitu: – Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. – Rumusan RUU KUHP Tindak pidana
korupsi dalam RUU KUHP ini diatur dalam Bab XXXI, Pasal 681 sampai
dengan 690. Tindak pidana korupsi dalam Rancangan KUHPdibagi dalam dua
jenis tindak pidana yakni, suap dan penyalahgunaan wewenang yang
merugikan keuangan negara. Secara garis besar, Rancangan KUHP dalam
perumusan pasal-pasalnya mengambil pokok-pokok rumusan tindak pidana
dalam Undang-undang Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
2.5.2 ANALISIS
37
ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang yang kemudian membentuk kesadaran
seseorang tersebut. Sehingga pandangan seseorang mengenai dunia
ditentukan oleh posisi ekonominya (Marx: posisi kelasnya). Seseorang yang
berada pada kelas yang terhormat tentu memiliki pandangan dan wawasan
yan berbeda dengan orang yang berada pada kelas bawah. Perbedaan inilah
yang kemudian menimbulkan konflik seperti halnya tindak Korupsi yag
dilakukan oleh kalangan yang berada pada kelas atas sehingga menimbulkan
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang mengenai
status,kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak
mencukupi sehingga tindak korupsipun akan terjadi, karena kepentingan dari
pihak yang berkuasa pasti berbeda dengan kepentingan dari pihak lemah
sehingga ada celah-celah kesempatan untuk bisa melakukan tindak korupsi
tanpa memikirkan kaum yang berada di bawah (kaum lemah). Hal penting
dalam Teori Konflik yang pertama adalah Kekuasaan, di mana setiap
kemampuan untuk memenangkan kemauan sendiri, juga kalau kemauan itu
sendiri harus bertentangan dengan kemauan orang lain, seperti halnya korupsi
yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa itu muncul berawal dari konsep dan
minusnya kekuasaan yang selalu hadir dalam suatu relasi. Yang kedua adalah
Kepentingan, masyarakat terdiri dari kelas-kelas. Kelas yang tentu mempunyai
perbedaan kepentingan dengan kelas yang lain. Pihak penguasa memiliki
kepentingan untuk mempertahankan apa yang dimilikinya, sedangkan pihak
bawah akan cenderung mengadakan suatu perubahan. Bisa saja orang yang
melakukan tindak korupsi yang berada pada kelas atas mempertahankan
jabatan dan wewenang yang dimilikinya sedangkan pihak yang berada pada
kelas bawah ingin melakukan perubahan atas tindakan pihak kelas atas yang
dianggap menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan
pribadi, sehingga pihak bawah merasa keadilan Negara terhadap rakyat kelas
bawah kurang, serta tindakan tersebut dianggap merugikan mereka karena
hak keungan Negara yang harusnya digunakan untuk mensejahterakan
mereka digelapkan oleh pihak kelas atas ang tidak bertanggung jawab.
38
2.6 STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Menurut Dr. Jan Hoesada, CPA Berdasar Perpres No. 55-2012: Stranas
PPK Untuk Wujudkan Pemerintahan Bebas Korupsi, disusnlah Strategi
Nasional Pencegahan dan pemerantasan Korupsi. Strategis Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2014, yang diluncurkan
oleh Wakil Presiden (Wapres) Boediono di Istana Wapres, merupakan
acuan langkah-langkah strategis Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah untuk memastikan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, sesuai Peraturan Presiden
Nomor 55 Tahun 2012. Perpres tersebut dimaksudkan untuk mempercepat
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan sejalan dengan
komitmen Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun
2003, yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,
dengan menyusunnya dalam 2 (dua) strategi, yaitu Strategi Nasional
Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014. Stranas
PPK memuat visi, misi, sasaran, strategi, dan focus kegiatan prioritas
pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-
2025, dan jangka menengah tahun 2012-2014, serta peranti anti korupsi.
Dalam Perpres ini ditegaskan, bahwa Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah harus menjabarkan dan melaksanakan Stranas PPK
melalui Aksi PPK yang ditetapkan setiap 1 (satu) tahun. Penetapan Aksi
PPK untuk Kementerian/Lembaga dilakukan dengan berkoordinasi dengan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Presiden juga
menugaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala
Bappenas untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaaan Aksi PPK,
dan memerintahkan Kementerian/Lembaga menyampaikan laporan
pelaksanaan Aksi PPK sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan sekali
kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Selanjutnya Menteri PPN/Kepala
Bappenas menympaikan hasil pelaksanaan Stranas PPK kepada Presiden
setiap 1 (satu) tahun sekali.
39
Dalam melaksanakan Stranas PPK itu, Presiden meminta
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk melibatkan peran
serta masyarakat. Pelibatan itu dapat dimulai dari tahap penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Visi Stranas PPK dalam dua jangka waktu adalah sebagai berikut
Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap tiga
pilar PPK, yakni di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat madani, dan
dunia usaha.
40
4. Membangun dan menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata
kepemerintahan dan masyarakat.
TUJUAN
TANTANGAN
41
5. Rendahnya penanganan pengaduan masyarakat dan
pelaporan (whistleblowing) yang ditindaklanjuti akibat belum
optimalnya mekanisme dan infrastruktur pengaduan publik;
42
STRANAS PPK YANG KEDUA : PENEGAKAN HUKUM
TUJUAN
Menuntaskan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum positif yang
berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum yang berkeadilan dan transparan.
TANTANGAN
3. Penerapan zero tolerance pada tipikor dan sanksi hukum yang lebih
tegas di semua strata pemerintahan (eksekutif-legislatif-yudikatif).
43
STRANAS PPK YANG KETIGA : HARMONISASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
TUJUAN
TANTANGAN
44
3. Mekanisme monitoring (pemantauan) dan evaluasi peraturan
perundang-undangan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang tumpang tindih dan tidak konsisten;
TUJUAN
TANTANGAN
45
5. Mekanisme internal dalam proses pengembalian aset perlu diperbaiki
agar proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal.
TUJUAN
46
Memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis dan
berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero
tolerance terhadap korupsi. Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif
pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu mempengaruhi
keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari
dirinya sendiri.
TANTANGAN
Dengan persamaan cara pandang dan pola pikir bahwa korupsi sangat
merugikan masyarakat, diharapkan prakarsa-prakarsa positif yang
mengarah pada perbaikan dapat terjadi. Hal ini dapat diakomodasi dalam
fokus kegiatan berjangka menengah antara lain:
47
5. Menggalang kerja sama dengan media dalam mengembangkan nilai
anti korupsi dan karakter berintegritas, termasuk melalui berbagai
media kreatif;
TUJUAN
48
TANTANGAN
49
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
Korupsi.
51