Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH

STRATEGI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PBAK)

DI SUSUN OLEH :

Nama : HANA S. KILIKILY

NPM : P071241110

Tingkat/Semester : I / II

Dosen Pembimbing : Vina Dwi Wahyunita, M.Keb

POLTEKKES KEMENKES MALUKU

PRODI KEBIDANAN SAUMLAKI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah yang telah melimpahkan berkat-Nya kepada
kita, sehingga kita masih dapat menghirup nafas kaislaman sampai sekarang ini.

Dengan mengucap syukur kami dapat menyusun makalah yang berjudul


“STRATEGI DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI”. Kami ucapkan banyak
terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam
setiap materi tentang PBAK, tidak lupa teman-teman yang senantiasa kami
banggakan yang semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhirnya kami mengucapkan
terima kasih dan mohon maaf apabila dalam penulisan masih terdapat kalimat
yang kurang dapat dipahami.

Saumlaki, 08 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ……………………………………………………………..

1.2 TUJUAN …………………………………………………………………………..

1.3 RUANG LINGKUP MATERI ……………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Akar sejarah Korupsi di Indonesia ……………………………..


2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi ………………………………………….

2.3 Peranan KPK Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia …………………..

2.4 Dampak korupsi …………………………………………………………………….

2.5 Cara pemberantasan korupsi ………………………………………………………

2.6 STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

STRATEGI MEMBANGUN PEMERINTAHAN BEBAS KORUPSI …………

BAB III PENUTUP

4.1 KESIMPULAN ……………………………………………………………………

4.2 KRITIK DAN SARAN …………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde
yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab
terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari
aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap
atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.

Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara


negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia sudah
merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang
mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara
yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya
perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif
oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang
pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Oleh karena itu, kita
harus membangkitkan dorongan yang lebih kuat dalam diri kita masing –
masing untuk membasmi korupsi. Meskipun pemerintah sudah membentuk
sebuah organisasi yang bertujuan besar untuk membebaskan Negara ini dari
kasus korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun kenyataanya
korupsi masih meraja lela di negeri kita.

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan


keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan
sebagaisuatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang

1
yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan
pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negarater
cinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi
pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat
penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia
dewasa ini sudah merupakan penyakit social yang sangat berbahaya yang
mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara
yang sangat besar. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa
malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan kekuasaan.
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir
yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.
Tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsure yang sangat
penting dari penegakan hokum dalam suatu Negara adalah perang terhadap
korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas,
permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.

KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak
lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga
sebagai control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul.
Contohnya seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum
kita yang seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh
Nyonya Artalita dan yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.

2
Jika ada beberapa pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus
dipertanyakan kembali kepada para pejabat itu, berteriak karena takut ikut
terseret ataukah konpensasi atas kesalahan sendiri? Dan perlu kita
pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika kantong terisi uang
haram?. KPK juga sebagai barometer Negara terhadap pandangan Negara
lain. Mungkin korupsi di Indonesia sebagai fenomena gunung es dan mungkin
hanya 0,5 persen saja yang terbongkar. Tapi justru membanggakan karena
taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita melihatnya takut karena kita selama
ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan menganggap aneh apabila
keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya dilakukan
untuk mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran
ataupun mengamputasi peran KPK secara terselubung.

KPK memang lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal lahirnya
KPK, dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan
korupsi lebih intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik
dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian anggota
parlemen yang “kotor”. Di negeri yang korup, pasti banyak pihak yang begitu
kaget dan berusaha sekuat daya melawan KPK. Adanya upaya penyempitan
peran KPK diindikasikan dengan tidak adanya parpol yang secara institusional
mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi. Itu terjadi karena parpol
gamang dan takut. Kegamangan dan ketakutan ini muncul karena parpol
episentrum korupsi di Indonesia.

Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hokum


bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat
untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek
korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika hingga hari
ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik
yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan
yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya
manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.

Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat
tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim
Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang
hingga kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-

3
tahun memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama
rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik.

Sikap korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-
porandakan perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan
triliunan rupiah telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat
Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu
departemen saja. Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi.
Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa
tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong pribadi ataupun
kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana tersebut untuk
kepentingan sendiri atau kelompok.

Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya.
Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi
BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia
yang khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah
dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak
rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat
berobat serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedikit banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat
dari korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara
akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang
bersih.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :

1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?

2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi?

3. Apa saja peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?

4. Apa dampak dari korupsi?

5. Bagaimana cara pemberantasan korupsi?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Akar sejarah Korupsi di Indonesia

Kata “korupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti


penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Perbuatan korupsi
selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28Tahun 1999 tentang
Penyelewengan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme disebutkan bahwa korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pidana korupsi. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai
menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan
atau administrasinya. Balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau
tidak, adalah kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat.
Kompromi dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitann dengan jabatan
tertentu dalam jajaran birokrasi di Indonesia inilah yang dirasakan sudah
sangat mengkhawatirkan.

Istilah korupsi berasal dari perkataan Latin coruptio atau corruptus2 yang
berarti kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu diberbagai negara, dipakai
juga untuk menunjukan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga
banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti
harfiah dari kata itu ialah tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah dan lain sebagainya.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak
pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dalam
masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi
masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta
moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayannya tindak pidana

5
korupsi tersebut. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul Ke-4
United Nation Convention Against Corruption, 2003 yang berbunyi sebagai
berikut yaitu Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,
melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama Internasional unruk
mencegah dan mengontrollnya esensial. Kegiatan pemberantasan korupsi
akan selalu tetap menjadi bahan yang aktual untuk disajikan sebagai
persoalan jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi
mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi,
dan sosial budaya. Perbuatan korupsi membentuk aneka ragam pola perilaku
dalam suatu siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan
keserasian struktur pemerintahan. Bentuk perbuata korupsi yang beraneka
ragam dan berbagai faktor penyebab timbulnya korupsi itu dalam
pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan dari ciri perbuatan korupsi
dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat merugikan negara
atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan
ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi
dewasa ini selain menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus
dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa. Tidak mengherankan kalau
korupsi dimasa kini dapat menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintah
atau minimal menghambat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Perbuatan korupsi dari segi bentuknya dapat dibagi sebagai berikut: pertama,
yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) yang
dikategorikan korupsi materi. Kedua, berupa perbuatan memanipulasikan
pungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau
campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Ketiga, yang
memanipulasikan ilmu pengetahuan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam
hukum positif Indonesia sebenarnya telah cukup lama, yaitu sejak Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku sebagai kodifikasi atau
unifikasi di Indonesia. Dalam keadaan mendesak dan perlu diaturnya tindak
pidana korupsi ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Terjadinnya
perkembangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang
melibatkan penyelenggara dan pengusaha, Undang-Undang tersebut dirasa

6
tidak sesuai lagi sehingga ditetapkan bahwa Undang-Undang tersebut tidak
berlaku lagi dan diganti menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tersebut telah
mengalami perubahan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu nampaknya


sangat berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman
dahulu maupun di zaman modern ini. Adapun pengertian korupsi yang
berkaitan dengan kekuasaan, pertama kali telah dipopulerkan oleh E. John
Emerich Edward Dalberg Alton (Lord Alten). Ia adalah seorang pakar sejarah
Inggris yang mmperkenalkan kata-kata berupa dalil korupsi yang termasyur:
The Power Tends To Corrupt, But Absolute Power Corrupts Absolutely
(kekuasaan cenderung Korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan
mengakibatkan korupsi berlebihan pula.

Di Indonesia pemberian hadiah yang dilakukan oleh para pejabat atau


pemegang kekuasaan negara sering diidentikkan dengan korupsi, namun tidak
semua pemberian hadiah merupakan korupsi. Hadiah yang sah biasanya
dapat dibedakan dengan uang suap (korupsi). Hadiah dapat diberikan secara
terbuka di depan orang ramai sedangkan uang suap (korupsi) tidak.
Pembedaan ini dilakukan karena orang biasanya berkelit ketika dipaksa
mengaku telah memberikan suap kepada orang lain maka alasan yang
digunakan supaya lebih aman adalah bahwa yang diberikan adalah hadiah.

Transparency Internasional mendefinisikan korupsi sebagai


menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan
pribadi.

J.s.Nye berpendapat bahwa korupsi adalah Perilaku yang menyimpang dari


atau melanggar peraturan kewajiban normal peran,instansi pemerintah
dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status dan gengsi untuk
kepentingan pribadi.

Carl J fresrich, berpendapat bahwa Korupsi dari kepentingan umum apabila


seseorang yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk
melakukan hal-hal tertentu mengharapkan imbalan uang atau semacam
hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan Undang-Undang Membujuk untuk

7
mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah
sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.

Menurut Sudarto tindak pidana korupsi sebagai berikut Melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan, bersifat melawan
hukum baik secara formil maupun materildan perbuatan itu secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian
negara atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat
bahwa merugikan negara atau perekonomian negara.

Selo Sumardjan merumuskan korupsi yaitu : Korupsi,kolusi dan nepotisme


adalah dalam suatu napas karena ketigannya elanggar kaidah kejujuran dan
norma hukum adapun faktor pendukung korupsi kolusi dan nepotisme (KKN)
adalah

1) Pranata- pranata sosial kontrol tidak efektif lagi,

2) penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta,

3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan


pembangunan nasional

Adapula pengertian dan ciri-ciri korupsi menurut para pakar lainnya seperti
Menurut Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah Suatu tingkah laku yang
meyimpang dari tugastugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk
memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan
pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian korupsi yang
diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi
negara.

Korupsi menurut The Lexicon Webster Dictionary adalah Kebusukan,


keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.

Korupsi menurut Gunnar Myrdal adalah Suatu masalah dalam pemerintahan


karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan
membongkar korupsi dan tindakantindakan penghukuman terhadap
pelanggar. Tindakan pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar
utama terhadap KUHP Militer. Korupsi menurut Mubyarto adalah Suatu

8
masalah politik lebih dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan
(legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan para
pegawai pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat
provinsi dan kabupaten.

Pengertian korupsi yang diungkapkan Mubyarto yaitu menyoroti korupsi dari


segi politik dan ekonomi.

Syeh Hussein Alatas mengemukan pengertian korupsi sebagai berkut.


Menurut beliau korupsi ialah subordinasi kepentingan umum di bawah
kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma, tugas dan
kesejahteraan umum, yang dilakukan dengan kerahasian, penghianatan,
penipuan dan kemasabodohan akan berakibat panjang yang akan diderita oleh
rakyat itu sendiri .

Pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, Kata "korupsi" berasal dari


bahasa latin yaitu "corruptio atau corruptus". Namun kata "corruptio" itu berasal
pula dari kata asal "corrumpere", yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang
lebih tua. Dari bahasa latin ini kemudian turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris yaitu corruption, Prancis yaitu corruption, Belanda yaitu corruptie. Dari
bahasa Belanda inilah yang kemudian turun ke bahasa Indonesia, sehingga
menjadi korupsi.

Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu Setiap orang yang
dengan sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan
tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Black’s
Law Dictionaryi Pengertian Korupsi adalah Merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi
dengan mempergunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam
menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan
kewajibannya dan juga hak-hak dari pihak lain.

Alatas mengatakan ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi
yaitu:

 Penyuapan (bribery),

9
 pemerasan (exortion) dan
 nepotisme.

Dari Ketiga tipe tersebut berbeda, namun dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu menempatkan kepentingan publik
di bawah kepentingan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan
kesejahteraan, yang dilakukan dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan,
penipuan dan juga pengabaian atas kepentingan publik.

Akar Sejarah Korupsi di Indonesia

Korupsi adalah penyakit kambuhan bangsa Indonesia. Akar sejarah korupsi


lewat pungutan liar (pungli) bermula sejak kerajaan Nusantara eksis.
Selanjutnya, pejabat kongsi dagang Belanda, VOC mengikuti.

Seperti yang diungkap sastrawan Goenawan Mohamad, "Korupsi itu


menghasilkan sesuatu yang berlebihan —uang, kekuasaan, nama baik, juga
kekejaman— yang secara berlebihan pula merugikan orang lain yang sedang
ada dalam status dan posisi lain. Bagi Indonesia, korupsi tak pernah jadi
masalah perseorangan. Melainkan korupsi jadi masalah bersama-sama.

Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada
hampir setua peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak
abad 13. Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan
Majapahit, Mataram hingga kerajaan lainnya di Nusantara.

Lewat catatan itulah jejak mereka yang mengusai jabatan tertentu dalam
memperoleh keuntungan besar mulai terlihat. Sejarawan Ong Hok Ham pun
turut menjelaskan hal itu. Ia mengungkap pungli langgeng karena pejabat
dalam kerajaan tradisional ini tak digaji oleh raja.

Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi
pejabat tanah dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai.
Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber
keungan inilah urusan jabatan dibiayai.

Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham
mencatat mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan,
jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya
telah berdiri sendiri dalam keuangan.

10
Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja
menerima sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi,
jumlah yang diberikan relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk
kantong pribadi pejabat.

“Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu
rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya.
Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi,
juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi
penghasilan mereka – dan mereka semua berhutang padanya,” ujar Ong Hok
Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

Kala Hindia-Belanda

Kebiasaan pungli semakin langgeng kala sistem tanam paksa (cultuur


stelsel) diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den
Bosch (1830–1833) pada 1830. Aturan itu mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya
kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur berlangsungnya
aksi pungli paling hebat.

“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’
yang paling hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara
Belanda serta menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi
semakin kurus kering dan melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam
saja, tidak mau memberitahukan kesengsaraan mereka untuk minta
diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh ketaatan,” ungkap
Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).

Selebihnya, para bupati sendiri kelihatannya hanya menutup mata terhadap


penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Mereka hanya berlomba-lomba
memeras rakyat untuk dapat dipuji sebagai bupati yang baik dan diberi bintang
jasa oleh penjajah, sembari tetap melanggeng pungli.

Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker
dalam novel legendarisnya Max Havelaar (1860). Lewat novel itu, Multatuli
kemudian menelanjangi kejamnya pejabat bumiputra dan kolonialisme
Belanda.

11
Runtuhnya VOC

Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari
pejabat bumiputra yang korup. VOC zaman itu hanya memberikan gaji
nominal, sekedar uang pengikat.

Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya hanya digaji 80 gulden


sebulan. Oleh sebab itu, kebanyakan di antaranya melakukan praktik curang.
Mereka harus berdagang demi kepentingan majikannya, justru berusaha
berdagang demi keuntungan sendiri.

Menurut penuturan seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp (1761-


1822), ia melihat sendiri pungutan yang diambil oleh pejabat VOC banyak
berasal dari denda barang-barang yang overweight (melampaui batas) milik
orang-orang China dan Jawa, keuntungan penjualan opium, hadiah-hadiah
dan sebagainya.

“Dirk menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari para pejabat pribumi,
bupati, misalnya hadiah pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun
baru, hadiah buat istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau
menghadap Gubernur di Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di
Hindia-Belanda, setiap kali mendatangi penobatan bupati pribumi yang baru
terpilih dan sebagainya,” cerita Dirk dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi
Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).

Selain terjadi manipulasi harga, pejabat VOC juga melakukan penjualan


kedudukan dan penjualan monopoli seperti candu, garam, serta hasil alam
lainnya. Dampaknya, para pejabat VOC semakin kaya raya. Sedangkan, VOC
sendiri semakin miskin.

Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara yang sering kali hidup
di atas kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu
tumbuh lewat sikap para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta
karena melimpahnya hasil pungli.

Lebih lengkapnya terkait foya-foya pejabat VOC, kami pernah mengulasnya


dalam artikel “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda”. Pada akhirnya, sejarah mencatat keruntuhan kongsi dagang
Belanda VOC, salah satunya gara-gara keseringan korupsi. Pejabat VOC yang

12
seharusnya berdagang demi kepentingan majikan, justru bekerja hanya demi
keuntungan sendiri.

“Tepat setelah dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan,

keputusan dan wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan

Belanda, termasuk hutang dan saldo 134,7 juta gulden. Sejak saat itu,

kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda, yang diakui oleh dunia baik

secara de jure maupun de facto,” tutup Miftakhuddin dalam buku Kolonialisme:

Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni (2019).

Ciri-ciri Korupsi

Menurut Syed Hussein Alatas memberikan ciri-ciri korupsi, sebagai berikut :

1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang

membedakan antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.

2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang

melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.

3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

Kewajiban dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.

4. Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.

5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki

kekuasaan atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya

pada badan publik atau pada masyarakat umum.

7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif

dari mereka yang melakukan tindakan tersebut.

8. Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan

kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.

13
2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang
paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin
meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal,
maupun nasional. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan
korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah
“penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada
pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup
berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas
terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu,
mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat
dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan,
persamaan dan kesejahteraan yang merata.

Kita ketahui bersama bahwa komisi pemaberantasan korupsi merupakan


lembaga negara Yang bersifat independen dalam menjalankan tugasnya
bebas dari kekuasaan manapun Olehkarena itu, komisi pemberantasan
korupsi tidak bisa bekerja sendirian untuk memberantas korupsi. Peran
masyrakat dibutuhkan sebagaimana yang di atur dalam undang- undang
pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam pasal 41 ayat (5) dan pasal 42

14
ayat (5) di atur mengenai hak dan peran serta msyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Peran serya masyarakat di wujudkan dalam bentuk antara lain, mencari ,


memperoleh, memberakan data, atau informasi terkait tindak pidana korupsi.
Masyarakat juga memiliki hak untuk menyampaikan saran dan pendapat serta
melaporkan dugaan tindak pidana korupsis.

Peran serta masyarakat ini paling tidak harus memiliki 3 esensi yaitu,
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, kebebasan yang
bertangung jawab bagi masyarakat untuk menggunakan haknya, dan
penciptaan ruang yang leluasa bagi masyarkat untuk berperan serta.

Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang untuk memenuhi hak


masyarakat, komisi pemberantasan korupsi memiliki direktorat pengaduan
masyarakat yang menyediakan layanan pengaduan masyarakat. Layanan
tersebut tersedia dari beberapa medium, seperti layanan komunikasi secara
langsung, telepon, email hingga aplikasi kpk yang menjamin kerahasiaan
identitas pelapor yang ingin mengadukan adanya dugaan tindak pidana
korupsi adanya medium yang berfariasi juga di ciptakan agar masyarakat
memiliki akses yang memadai dalam melakukan pengaduan dugaan tindak
pidana korupsi.dalam penyampaian laporan, setiap pelapor di beikan
perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya,
sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun
jiwanya.

Hal ini sesuai dengan prinsip kerahasiaan dalam pengaduan masyarakat


sesuai identitas orang yang melaporkan harus di rahasiakan kecuali yang
bersangkutan menghendaki sebaliknya.

Perlindungan hukum ini berlandaskan pada peraturan komisi pemberantasan


korupsi mempunyai kewajiban untuk melindungi identitas pelapor bahkan
pelapor juga berhak mendapatkan penghargaan dari negara atas
pengakuantindak pidana korupsi yang telah iya lakukan, dengan syarat bahwa
kasus yang di ajukan bisa di tindak lanjuti sampai penuntutan dan vonis.

Perlindunagn hukum di berikan di karenakan pelapor merupakan salah satu


bagian penting dalam menentukan validitas dan kebenaran suatu perkara

15
tindak kejahatan yang sedang di proses berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.

Mengingat bahwa kejahatan ini di lakukan oleh orang orang yang memiliki
pengaruh yang luar biasa baik di lingkungan kerjanya maupun di lingkungan
masyarakat sehingga dalam proses peradilan tindak pidana korupsi pun,
pengadilan tidak mewajibkan, si pelapor untuk hadir dalam memberikan
informasi dalam sidang. Hal ini juga untuk memberikan perlindungan fisik,
mental maupun perlindungan keamanan bagi keluarga pelapor.

Mengenai tata cara pengadudan masyarakat, secara khusus telah di atur


tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian
penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
peraturan ini juga di jadikan pedoman oleh komisi pemberantasan korupsi
dalam menjalankan prosedur pengaduan masyarakat.

Semua laporan masyarakat terkait dugaan tindak pidanan korupsi, ada


beberapa hal harys di perhatikan semua laporan yang di sampaikan
masyarakat ke komisi pemberantasan korupsi akan di ferivikasi terlebih
dahulu verifikasi di lakukan untuk menentukan apakah laporan tersebut
merupakan kewenangan komisi pemberantasan korupsi atau tidak.

Dalam sejarah, sudah ada dua menteri agama di Indonesia dipenjarakan


karena melakukan korupsi. Mereka adalah Said Agil Husein Al Munawar yang
masuk penjara pada 2006, dan Suryadharma Ali yang menerima vonis pada
2016.

Proyek yang dikorupsi tidak main-main, yaitu biaya penyelenggaraan ibadah


haji dan angkanya ratusan miliar. Ada juga kasus pengadaan kitab suci.Atau,
kepala daerah digelandang KPK dan diketahui menggunakan sebagian dana
yang dikorupsi untuk menyumbang rumah ibadah atau melakukan perjalanan
keagamaan.

Fakta ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa dalam sistem politik di
Indonesia, organisasi keagamaan justru kadang menjadi saluran
mengorganisasikan proses jual beli suara. "Money politic itu bisa dilakukan
melalui organisasi keagamaan. Daripada partai menghubungi orang satu
persatu, kalau memberikan amplop lebih mudah jika diserahkan pada
organisasi A," kata Kuskrihdho. "Amplop itu kemudian mengalir.

16
Akhirnya organisasi keagamaan seperti juga organisasi lainnya, dia
menyediakan jaringan untuk menjangkau ke publik. Kompas moral organisasi
keagamaan sebagai sumber nilai, itu menjadi sekunder," papar Kuskridho.

Survei ini dilakukan terhadap 1.520 responden di seluruh Indonesia. Beberapa


temuan, antara lain bahwa masyarakat percaya pemerintah melakukan
banyak upaya memerangi korupsi. Tetapi masyarakat juga meyakini angka
korupsi di Indonesia masih tinggi. Menurut pengalaman responden, tiga
urusan yang paling sering menimbulkan korupsi adalah dengan kepolisian,
pengadilan dan pendaftaran Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sekitar 25 persen responden menjadi anggota organisasi keagamaan dan 28


persen aktif di organisasi sekuler. Survei menemukan fakta, anggota
organisasi sekuler bersikap lebih anti-korupsi dibandingkan dengan
responden yang menjadi anggota organisasi keagamaan.

Naiknya nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tidak patut
dirayakan berlebihan. Alasannya, di balik kenaikan nilai IPAK, terdapat fakta
bahwa masyarakat terbukti makin permisif terhadap praktik korupsi di
kehidupan sehari-hari.

Semakin terbukanya masyarakat menerima perilaku korupsi terlihat dari


rincian IPAK 2020 yang baru dirilis Badan Pusat Statistik,. Secara umum, nilai
IPAK naik 0,14 poin dari tahun sebelumnya menjadi 3,84. Kenaikan ini bisa
dilihat sebagai pertanda positif karena semakin tinggi angkanya, maka
masyarakat diasumsikan makin antikorupsi.

Kenaikan IPAK tahun ini terjadi lantaran indikator dimensi pengalaman


meningkat drastis nilainya. Indikator ini mencerminkan ada/tidaknya perilaku
korupsi yang ditemui masyarakat saat mengakses layanan publik dan lainnya.

Nilai dimensi pengalaman korupsi di 2020 naik menjadi 3,91. Setahun


sebelumnya, skor dimensi pengalaman masih ada di posisi 3,65.

Meski secara pengalaman naik, namun masyarakat terbukti makin bersikap


terbuka atas perilaku koruptif. Hal ini terlihat dari indikator lain yang digunakan
dalam menyusun IPAK, yakni dimensi persepsi.

Dimensi persepsi memotret pandangan masyarakat melihat perilaku korupsi


di kehidupan sehari-hari. Contohnya, masyarakat diminta menilai apakah

17
pemberian uang ke pengurus RT/RW jika warga hendak menggelar acara
wajar atau tidak. Kemudian, wajarkah apabila seorang ASN menggunakan
kendaraan dinas untuk keperluan keluarga.

Skor dimensi persepsi ini turun dibanding posisi tahun lalu. Penurunannya
mencapai 0,12 poin menjadi 3,68. Secara sederhana, penurunan ini
menandakan makin permisifnya masyarakat atas perilaku petty corruption.

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah, IPAK


2020 harus dijadikan bahan evaluasi pemerintah. Negara disebutnya harus
kembali melihat, sudah sejauh mana upaya pemberian pemahaman
antikorupsi kepada masyarakat dilakukan.

Wana mengaku tidak kaget dengan temuan penurunan persepsi masyarakat


terhadap korupsi. Dia menganggap kenaikan ini sedikit banyak dipengaruhi
sejumlah peristiwa dalam skala nasional.

Salah satunya, dia menganggap sikap masyarakat yang semakin terbuka


dengan perilaku korupsi terjadi lantaran adanya upaya pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penerbitan UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Kalau kita lihat dari aspek penegakan hukum, selepas KPK dilucuti habis-
habisan kewenangannya, semangat masyarakat terhadap antikorupsi juga
ikut redup," ujar Wana kepada Lokadata.id, Selasa (16/6).

Dia juga menilai gerak lambat KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dan
kawan-kawan turut berpengaruh terhadap lunturnya semangat antikorupsi
masyarakat. Menurut ICW, KPK di bawah komando Firli belum menunjukkan
prestasi yang berarti dibanding kepemimpinan lembaga antirasuah periode
sebelumnya.

Pergerakan indikator dimensi persepsi dan pengalaman dalam pengukuran


Indeks Perilaku Anti Korupsi 2020 Badan Pusat Statistik / BPS

Pandangan lain disampaikan Pengamat Sosial lulusan S2 University of


Leicester Luvdhy Sarwo Edi. Dia menilai penurunan dimensi persepsi timbul
lantaran lekatnya perilaku korupsi dengan masyarakat di aktivitas sehari-hari.

"Kesadaran (untuk menilai) bahwa suatu perilaku koruptif atau berpotensi


korupsi harus dibangun di dalam masyarakat," ujar Luvdhy
kepada Lokadata.id.

18
Tiga jurus

ICW dan Luvdhy lantas menyebut, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk
memperkuat pemahaman ihwal perilaku koruptif, dan menghapus kebiasaan
buruk dari tengah-tengah masyarakat.

Pertama, penguatan pemahaman ihwal korupsi bisa dilakukan dengan


memasukkan materi pendidikan antikorupsi ke kurikulum di setiap jenjang
pendidikan. Pemberian materi antikorupsi secara tepat dari satuan pendidikan
terendah menjadi penting apabila kita melihat data BPS. Berdasarkan
paparan BPS, terlihat bahwa pemahaman dan perilaku antikorupsi
masyarakat sangat tergantung dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki.

Kedua, ICW menyarankan pemerintah agar serius memperbaikan regulasi


dan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Menurut Wana, hingga kini belum
ada peraturan yang benar-benar menguatkan upaya pemberantasan korupsi.

Ketiga, Luvdhy menganggap penguatan perilaku antikorupsi bisa didorong


dengan menggencarkan penegakan hukum pada kasus-kasus rasuah yang
ada.

"Kalau mau meningkatkan persepsi publik pada antikorupsi, maka bukan


cuma edukasi tapi juga pada tindakan penegakan hukum pada kasus korupsi
yang ada. Tanpa kedua hal itu jangan harap persepsi masyarakat akan naik.
Masyarakat butuh bukti, bukan cuma janji,".

Menurut Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati,
upaya pencegahan korupsi selama ini sudah dan akan selalu dijalankan
lembaganya. Dia menyebut, saat ini KPK memiliki banyak program
pencegahan mulai dari lingkup keluarga hingga birokrasi.

Ipi menyebut, KPK juga selama ini aktif melibatkan seluruh mitra pemangku-
kepentingan dalam menguatkan pencegahan korupsi di masyarakat. Salah
satunya, dengan terus mendorong kepatuhan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) dan gratifikasi.

“Kegiatan edukasi dan kampanye antikorupsi juga dilakukan untuk mendorong


pembangunan sistem pencegahan korupsi menjadi wilayah bebas korupsi,
mendorong praktik pemerintahan yang baik, atau membangun manajemen
anti suap pada perusahaan BUMN,”

19
KPK hingga kini masih berupaya memperbaiki sistem dengan melakukan
kajian di semua lembaga negara. Hal ini dilakukan demi menutup celah atau
potensi korupsi.

Dalam fungsi koordinasi dan monitor, KPK diklaim akan terus mendorong
perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh provinsi. ADa
delapan area intervensi perbaikan tata kelola pemerintah daerah yang
didorong berangkat dari sejumlah kasus korupsi; seperti jual beli jabatan,
promosi dan mutasi ASN.

“Area intervensi lainnya misalnya pengadaan barang dan jasa pemerintah


(PBJ) mengingat modus suap dalam PBJ menjadi salah satu kasus terbanyak
yang ditangani KPK. Kemudian, terkait pelayanan terpadu satu pintu (PTSP)
berangkat dari kasus suap dalam proses perizinan, dan area intervensi
lainnya,” ujarnya.

2.2.1 Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif


Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001,maka tindak Pidana Korupsi itu
dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif, Adapun
yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
- Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999)
- Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau
dapat merugikan keuangan Negara,atau perekonomian Negara
(Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999)

20
- Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan
Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20
tahun 2001)
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara
negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor 20 Tagun 2001)
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001)

2.2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Unsur - unsur tindak pidana
korupsi berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu

a. Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum.

b. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.

c. Dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain.

d. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara


atau patut diduga merugikan keuangan negara.

e. Memberi atau menjanjikan sesuatau kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negaradengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.

21
f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.

g. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan


maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadannya untuk diadili.

h. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang


menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.

i. Adannya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinnya


perbuatan curang tersebut.

j. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang


ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara dengan menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain atau membantu melakukan perbuatan
tersebut.

k. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima


hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

2.3 Peranan KPK Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam


mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang

22
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan
komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martil” bagi para pelaku
tindak KKN. Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.

2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan


mewujudkan good governance.

3. Membangun kepercayaan masyarakat.

4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

A. Dasar – Dasar Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Melakukan


Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK)


berdasarkan Pasal 6 huruf d Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga tertera dalam misi KPK
adalah “melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi”.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPK berdasarkan Pasal 13 UU No.


30 Tahun 2002 berwenang melaksanakan langkah atau upaya
pencegahan sebagai berikut :

a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta


kekayaan penyelenggara negara;

b) menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap


jenjang pendidikan;

d) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi


pemberantasan tindak pidana korupsi;

e) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

f) melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan


tindak pidana korupsi.

23
KPK dalam upaya pencegahan korupsi yang didasarkan Pasal 13 UU No.
30 Tahun 2002 Jo. Pasal 16 UU No. 30 Tahun 2002, mewajibkan setiap
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi
melaporkan kepada KPK, dengan cara sebagai berikut :

a) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir


sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.

b) Formulir sekurang-kurangnya memuat :

Ø nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;

Ø jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Ø tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;

Ø uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan

Ø nilai gratifikasi yang diterima.

KPK dalam waktu paling lama 30 hari kerja setelah laporan


tersebut diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi
disertai pertimbangan dengan mengeluarkan Keputusan
Pimpinan KPK. Keputusan tersebut dapat berupa penetapan
status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau
menjadi milik negara, dan paling lama 7 hari kerja setelah
ditetapkan status tersebut harus diserahkan kepada penerima
gratifikasi. Apabila status kepemilikan gratifikasi menjadi milik
penerima maka diserahkan ke penerima, sedangkan apabila
ditetapkan menjadi milik negara harus diserahkan paling lama 7
hari kerja setelah ditetapkan kepada Menteri Keuangan. Dalam
menetapkan status kepemilikan gratifikasi, KPK dapat
memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan
berkaitan dengan penerimaan gratifikasi. (vide Pasal 17 UU No.
30 Tahun 2002)

KPK mempunyai unit khusus dibidang pencegahan sebagaimana yang


diatur dalam Pasal 26 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2002, yang mebawahi :

24
- Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;

- Subbidang Gratifikasi;

- Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan

- Subbidang Penelitian dan Pengembangan.

Dalam kelembagaan KPK, bidang khusus pencegahan tersebut disebut


Deputi Bidang Pencegahan yang mempunyai tugas menyiapkan
rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi.

Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:

 Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan


Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP
LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta
Penelitian dan Pengembangan;

 Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran


dan pemeriksaan LHKPN;

 Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan


dan penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara

 Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi,


sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye
antikorupsi;

 Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan


pengembangan pemberantasan korupsi;

 Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada


instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik;

 Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya


di lingkungan Deputi Bidang Pencegahan.

 Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan


hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan

25
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN),
Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian
dan Pengembangan;

 Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan


bidangnya.

Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh Deputi Bidang Pencegahan


dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan
KPK;

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pencegahan


dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari
satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pencegahan
yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pencegahan.

Deputi Bidang Pencegahan membawahkan:

 Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan


Penyelenggara Negara (PP LHKPN);

 Direktorat Gratifikasi;

 Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat;

 Direktorat Penelitian dan Pengembangan;

 Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan

KPK sebagai lembaga yang mempunyai tugas mencegah tindak pidana


korupsi sudah seharusnya juga menjadi pedoman bagi lembaga atau
orang lain. Dalam Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia Nomor: Kep-06/P.KPK/02/2004 Tentang Kode Etik
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, yang
dapat menjadi pedoman bagi lembaga atau orang lain dalam hal
mencegah tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a) Dalam Asas Organisasi, yaitu yang berbunyi sumpah/ janji :

“Saya bersumpah / berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk


melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.

26
“Saya bersumpah / berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu ajanji atau
pemberian”.

“Saya bersumpah / berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau


tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan
siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan
wewenang saya yang diamanatkan kepada saya”.

b) Dalam nilai – nilai dasar Pribadi, Pimpinan KPK dalam mencegah


tindak pidana korupsi harus terbuka, transparan dalam pergaulan
internal maupun eksternal, serta tangguh, tegar dalam menghadapi
berbagai godaan, hambatan, tantangan, ancaman, dan intimidasi dalam
bentuk apapun dan dari pihak manapun.

c) Dalam hal kewajiban Pimpinan KPK, antara lain :

- Taat terhadap aturan hukum dan etika;

- Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif dan


tepat;

- Tidak berpihak dalam melaksanakan tugas, fungsi dan


wewenangnya;

- Mengenyampingkan kepentingan pribadi atau golongan demi


tercapainya tujuan yang ditetapkan bersama;

- Menahan diri terhadap godaan yang berpotensi mempengaruhi


substansi keputusan;

- Memberitahukan kepada Pimpinan lainnya mengenai pertemuan


dengan pihak lain yang akan dan telah dilaksanakan, baik sendiri
atau bersama, baik dalam hubungan dengan tugas maupun tidak;

- Menolak dibayari makan, biaya akomodasi, dan bentuk


kesenangan (entertainment) lainnya oleh atau dari siapapun;

- Membatasi pertemuan di ruang publik seperti di hotel, restoran


atau lobi kantor atau hotel, atau di ruang publik lainnya.

d) Dalam hal yang dilarang dilakukan Pimpinan KPK, yaitu dilarang :

27
- Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi
atau golongan;

- Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yang


berkaitan dengan fungsi KPK;

- Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapapun dalam


bentuk apapun yang memiliki potensi benturan kepentingan
dengan KPK;

- Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara


langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil
apapun.

Pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan


terhadap kode etik tersebut dikenakan sanksi sesuai tingkat
kesalahannya.

B. Membangun Zona Anti Korupsi di Seluruh Provinsi

Salah satu cara konkrit yang dilakukan KPK untuk mencegah tindak
pidana korupsi adalah membangun zona anti korupsi di seluruh provinsi.
Terbentang luas di tengah Khatulistiwa. Terhampar di antara luasnya dua
samudera. Seluas itu pula potensi korupsi yang ada di Indonesia.
Mengatasinya tak cukup hanya dilakukan di ibu kota, upaya penanganan
korupsi haruslah menyentuh seluruh Nusantara. Titik- titik zona antikorupsi
mestilah tersebar di seluruh Indonesia. Dalam konteks itulah, KPK
menggelar koordinasi dan supervisi bidang pencegahan ke seluruh
provinsi di Indonesia. Menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan
Pemerintah (BPKP), KPK kembali bersinergi untuk melanjutkan program
yang telah dimulai sejak 2012 ini.

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengadakan evaluasi


terhadap hasil koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah) yang
dilakukan pada 2012. Dari hasil evaluasi didapati bahwa kegiatan
korsupgah memperlihatkan dampak yang cukup efektif dalam mendorong
upaya-upaya pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan
publik.

28
Dengan demikian, pada 2013 kerja sama perlu ditindaklanjuti dengan
menyusun serangkaian aksi rencana tindak, terkait ketiga aspek yang telah
dikoordinasi dan disupervisi di 33 provinsi dan 33 ibu kota provinsi serta
beberapa instansi vertikal pada ibukota provinsi pada tahun sebelumnya.
Aspeknya meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan
barang dan jasa, serta pelayanan publik. KPK dan BPKP melakukan
monitoring terhadap pelaksanaan rencana tindak tersebut.

Namun demikian, masih ditemukan beberapa permasalahan di lapangan


terkait ketiga aspek tersebut. Di antaranya: kualitas layanan publik perlu
terus ditingkatkan, masih lemahnya perencanaan penganggaran APBD,
serta lemahnya perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa.

Untuk itulah, korsupgah 2013 dilakukan dengan verifikasi terhadap


rencana tindak yang telah dibuat. Sekaligus mengetahui sejauh mana
rencana tindak tersebut telah diimplementasikan. Jika ditemukan adanya
beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam rencana tindak maupun
implementasinya, rekomendasi dapat segera diberikan. Selain BPKP, KPK
juga melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Ombudsman Republik
Indonesia. KPK berharap dengan menggandeng banyak pihak, korsupgah
dapat dilaksanakan semakin optimal untuk bersama-sama melakukan
perbaikan sistem dan peraturan.

Penajaman terhadap sejumlah aspek yang diamati dilakukan pada 2013


ini. Di sektor pengelolaan APBD misalnya, fokus pada 2013 adalah pada
APBD Perubahan. Sedangkan terkait pengadaan barang dan jasa lebih
spesifik dan strategis yang dibutuhkan masyarakat, misalnya terkait
infrastruktur.

Bidang yang menjadi fokus area juga diamati. Seperti di sektor


pertambangan, ketahanan pangan, dan penerimaan negara. Harapannya,
peningkatan akuntabilitas proses dan kualitas pelayanan serta
transparansi pada sektor-sektor tersebut akan berkontribusi secara
signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tanpa membuang waktu, tim gabungan tersebut segera menyebar ke 33


provinsi. Pengamatan secara komprehensif dilakukan. Di antaranya

29
dengan melakukan evaluasi terhadap kelemahan-kelemahan yang
ditemukan, telaah terhadap peraturan-peraturan terkait, dan wawancara
kepada sejumlah pihak berkaitan dengan permasalahan yang ditemukan.

Pengamatan juga dilakukan dengan mengidentifikasi sistem pengendalian


internal yang ada. Jika ditemukan adanya kelemahan dalam sistem
tersebut, dilayangkanlah usulan perbaikan. Yang berujung pada
kesepakatan rencana tindak pengendalian dan evaluasi terhadap hasil
pelaksanaan perbaikan.

Seusai pengamatan, langkah selanjutnya adalah melakukan ekspose


melalui semiloka dengan mengundang para kepala daerah dan berbagai
elemen masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi,
mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan jurnalis.

Pada saat semiloka dilaksanakan, hampir semua gubernur dan wali kota
hadir. Dari semiloka tersebut, seluruh elemen masyarakat luas dapat
memahami masalah-masalah yang ada, sehingga selanjutnya dapat
secara aktif mengawal upaya perbaikan yang akan dilakukan namun tetap
proporsional, pemerintah pun akan lebih baik melakukan upaya perbaikan
karena dikawal masyarakat luas.

Pada akhir tahun, dilaksanakanlah seminar nasional korsupgah di Jakarta.


Untuk memberikan gambaran kepada para pemimpin daerah seberapa
jauh upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di seluruh
daerah di Indonesia. Sekaligus mendapatkan masukan bagaimana
langkah-langkah yang telah berhasil di beberapa daerah.

Proses tabulasi dan kompilasi hasil pengamatan juga dilakukan di akhir


tahun. Sehingga mempermudah langkah tindak lanjut yang akan dilakukan.
Untuk lebih mengefektifkan korsupgah, juga dilakukan workshop
peningkatan kapasitas dan kompetensi tim.

2.4 Dampak korupsi

1. Dampak Korupsi Terhadap Sosial Kemiskinan

Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat
korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin)

30
cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih
mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan
akan memiliki gengsi sendiri dan imbalan materi tentunya, peristiwa seperti
ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi
dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang menolong
kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan
membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk
masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye
dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari
masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif,
hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan
tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh
oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual
hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal
maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang
harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang,
hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit
bahkan ada sebuah pepatah “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”.

Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan


masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan
Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk
mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan
pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM.
Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya
kenaikan BBM tersebut harga-harga kebutuhan pokok seperti beras
semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran
bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali
kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar
kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak
tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak
diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk
kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui
kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk
kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat
miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk

31
mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya,
malah menambah beban rakyat miskin.

2. Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan

Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang


paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat
kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan
semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International,
lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara
sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan
publik untuk kepentingan pribadi.

Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua
jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif,
korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas
pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang
‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk
melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.

Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam
bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu
Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar
prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat
ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang
kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus
pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.

Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun


kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan
keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya
hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali
berlindung di balik institusi militer.

Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh
Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI
akibat korupsi:

 Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang


kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih

32
mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk
mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal,
pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.

 Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan


dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan
ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara
keseluruhan.

 Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada


gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang
tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang
mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI
memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.

 Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin


melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian
perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas
nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,
sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat,
sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan
pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun
akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi
pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira
menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan
Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara
masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang
profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang
berorientasi komersial.

3. Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi

Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012,


India menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand,
Maroko, dan Zambia. Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi
tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di Singapura,

33
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang
lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara
demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati
peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India
dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya
korupsi.

Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh


terhadap pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi
negara demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga
pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas
sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi
2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya,
masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru,


demokrasi tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan
kualitas demokrasi di suatu negara.

Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan
substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya
masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan
adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat


meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural
dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka
menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

4. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum

Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah


diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal
29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada
waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu
berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna
yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang
seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada

34
saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi
sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan.
Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika
melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan
mengabaikan masyarakat.

Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang
dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971.
kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga
negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.

Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih


sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan
atau menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang
terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja
aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai
pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi
ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan aparat
penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang
melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang
tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat
atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan
urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses
jalannya peradilan.

Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di


Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-
pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak
berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam
domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege
karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos,
hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak

35
koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak
cukup bukti.

2.5 Cara pemberantasan korupsi

Korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu


dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi
yang komprehensif. Presiden melalui inpres no 5 tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi menyatakan langkah-langkah efektif dalam
memberantas korupsi adalah sebagai :

1. Membersihkan kantor keprisidenan kantor wapres sekretariat negara serta


yayasan-yayasan.

2. Mengawasi pengadaan barang disemua departemen.

3. Mencegah penyimpanan proyek rekonstruksi Aceh.

4. Mencegah penyimpangan dalam pembangunan infrastruktur ke depan.

5. Menyelidiki penyimpangan di lembaga negara seperti departemen dan


BUMN.

6. Memburu terpidana korupsi yang kabur ke luar negeri.

7. Meningkatkan intensitas pemberantasan penebangan liar.

8. Meneliti pembayar pajak dan cukai.

2.5.1 Langkah-langkah

Langkah yang dapat dilakukan untuk pemberantasan korupsi adalah :

1. Penyesuaian kompetensi dengan jabatan

2. Rasionalisasi jumlah PNS

3. Perbaikan gaji dan tunjangan jabatan

4. Sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan

5. Penonaktifan pejabat yang diduga sedang terlibat KKN

6. Penggantian pejabat yang mementingkan kepentingan kelompok/ pribadi/


golongan.

36
Cara lain penanggulangan korupsi adalah dengan menegakkan hukum itu
sendiri.Adapun UU yang mengaturnya yaitu: – Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. – Rumusan RUU KUHP Tindak pidana
korupsi dalam RUU KUHP ini diatur dalam Bab XXXI, Pasal 681 sampai
dengan 690. Tindak pidana korupsi dalam Rancangan KUHPdibagi dalam dua
jenis tindak pidana yakni, suap dan penyalahgunaan wewenang yang
merugikan keuangan negara. Secara garis besar, Rancangan KUHP dalam
perumusan pasal-pasalnya mengambil pokok-pokok rumusan tindak pidana
dalam Undang-undang Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

2.5.2 ANALISIS

Peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi silih berganti,


selalu orang yang belakangan yang memperbaiki dan menambahkan, namun
korupsi dalam segala bentuknya dirasakan masih tetap merajalela. Istilah
korupsi sebagai istilah hukum pengertian korupsi adalah perbuatan-perbuatan
yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara atau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran yang lain dari
masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada perbuatan korupsi. Oleh karena
itu, Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana korupsi telah
masuk dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara dan daerah, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan
pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
- Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi (Preventif)
- Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi (Deduktif)
- Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi (Represif)
Dalam tulisan Marx, German Ideology,beliau merumuskan suatu
premis dasar bahwa bidang ekonomi menentukan pemikiran manusia,
Mengapa ekonomi? Karena Marx hendak konsisten dengan dalilnya
mengenau dialektika materi. Baginya materi ini dapat diidentikan sebagai

37
ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang yang kemudian membentuk kesadaran
seseorang tersebut. Sehingga pandangan seseorang mengenai dunia
ditentukan oleh posisi ekonominya (Marx: posisi kelasnya). Seseorang yang
berada pada kelas yang terhormat tentu memiliki pandangan dan wawasan
yan berbeda dengan orang yang berada pada kelas bawah. Perbedaan inilah
yang kemudian menimbulkan konflik seperti halnya tindak Korupsi yag
dilakukan oleh kalangan yang berada pada kelas atas sehingga menimbulkan
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang mengenai
status,kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak
mencukupi sehingga tindak korupsipun akan terjadi, karena kepentingan dari
pihak yang berkuasa pasti berbeda dengan kepentingan dari pihak lemah
sehingga ada celah-celah kesempatan untuk bisa melakukan tindak korupsi
tanpa memikirkan kaum yang berada di bawah (kaum lemah). Hal penting
dalam Teori Konflik yang pertama adalah Kekuasaan, di mana setiap
kemampuan untuk memenangkan kemauan sendiri, juga kalau kemauan itu
sendiri harus bertentangan dengan kemauan orang lain, seperti halnya korupsi
yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa itu muncul berawal dari konsep dan
minusnya kekuasaan yang selalu hadir dalam suatu relasi. Yang kedua adalah
Kepentingan, masyarakat terdiri dari kelas-kelas. Kelas yang tentu mempunyai
perbedaan kepentingan dengan kelas yang lain. Pihak penguasa memiliki
kepentingan untuk mempertahankan apa yang dimilikinya, sedangkan pihak
bawah akan cenderung mengadakan suatu perubahan. Bisa saja orang yang
melakukan tindak korupsi yang berada pada kelas atas mempertahankan
jabatan dan wewenang yang dimilikinya sedangkan pihak yang berada pada
kelas bawah ingin melakukan perubahan atas tindakan pihak kelas atas yang
dianggap menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan
pribadi, sehingga pihak bawah merasa keadilan Negara terhadap rakyat kelas
bawah kurang, serta tindakan tersebut dianggap merugikan mereka karena
hak keungan Negara yang harusnya digunakan untuk mensejahterakan
mereka digelapkan oleh pihak kelas atas ang tidak bertanggung jawab.

38
2.6 STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

STRATEGI MEMBANGUN PEMERINTAHAN BEBAS KORUPSI

Menurut Dr. Jan Hoesada, CPA Berdasar Perpres No. 55-2012: Stranas
PPK Untuk Wujudkan Pemerintahan Bebas Korupsi, disusnlah Strategi
Nasional Pencegahan dan pemerantasan Korupsi. Strategis Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2014, yang diluncurkan
oleh Wakil Presiden (Wapres) Boediono di Istana Wapres, merupakan
acuan langkah-langkah strategis Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah untuk memastikan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, sesuai Peraturan Presiden
Nomor 55 Tahun 2012. Perpres tersebut dimaksudkan untuk mempercepat
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan sejalan dengan
komitmen Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun
2003, yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,
dengan menyusunnya dalam 2 (dua) strategi, yaitu Strategi Nasional
Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014. Stranas
PPK memuat visi, misi, sasaran, strategi, dan focus kegiatan prioritas
pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-
2025, dan jangka menengah tahun 2012-2014, serta peranti anti korupsi.
Dalam Perpres ini ditegaskan, bahwa Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah harus menjabarkan dan melaksanakan Stranas PPK
melalui Aksi PPK yang ditetapkan setiap 1 (satu) tahun. Penetapan Aksi
PPK untuk Kementerian/Lembaga dilakukan dengan berkoordinasi dengan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Presiden juga
menugaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala
Bappenas untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaaan Aksi PPK,
dan memerintahkan Kementerian/Lembaga menyampaikan laporan
pelaksanaan Aksi PPK sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan sekali
kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Selanjutnya Menteri PPN/Kepala
Bappenas menympaikan hasil pelaksanaan Stranas PPK kepada Presiden
setiap 1 (satu) tahun sekali.

39
Dalam melaksanakan Stranas PPK itu, Presiden meminta
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk melibatkan peran
serta masyarakat. Pelibatan itu dapat dimulai dari tahap penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.

Hasil pelaksanaan Stranas PPK menjadi bahan pelapran pada forum


Konferensi Negara-Negara Peserta (Conference of the State
Parties) Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, sesuai Pasal 10 Ayat
1 Perpres Nomor 55 Tahun 2012 .

VISI STRANAS PPK

Visi Stranas PPK dalam dua jangka waktu adalah sebagai berikut

1. Visi Jangka Panjang (2012-2025): “Terwujudnya kehidupan bangsa


yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang
berintegritas.”

2. Visi Jangka Menengah (2012-2014): “Terwujudnya tata


kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas
pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas.”

Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap tiga
pilar PPK, yakni di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat madani, dan
dunia usaha.

MISI STRANAS PPK

Dalam rangka mewujudkan Visi tersebut, dirumuskan serangkaian Misi


Stranas PPK berikut:

1. Membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas


pencegahan, dan penindakan korupsi yang terpadu secara nasional.

2. Melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional yang


mendukung pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten,
terkonsolidasi, dan tersistematis.

3. Membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme


penyelamatan aset hasil korupsi melalui kerja sama nasional dan
internasional secara efektif.

40
4. Membangun dan menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata
kepemerintahan dan masyarakat.

5. Mengembangkan dan mempublikasikan sistem pelaporan kinerja


implementasi Stranas PPK secara terintegrasi.

STRANAS PPK YANG PERTAMA : LAYANAN PUBLIK BEBAS KKN

TUJUAN

Mempersempit peluang terjadinya tipikor pada tata kepemerintahan dan


masyarakat menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara
yang bersih dari korupsi.

TANTANGAN

1. Belum tuntasnya reformasi birokrasi yang menyeluruh. Hal ini


ditunjukkan antara lain oleh: belum memadainya mekanisme
pemberian reward and punishment bagi pelayanan publik, minimnya
integritas, sistem karir dan penggajian yang belum sepenuhnya
berbasis kinerja, serta belum tersusunnya manajemen kinerja dan
standar pelayanan minimal;

2. Masih minimumnya badan publik yang menerapkan keterbukaan


informasi menyangkut administrasi dan pelayanan publik, termasuk
penanganan perkara, kendati UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik telah diberlakukan;

3. Layanan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah oleh badan


publik masih belum sepenuhnya menerapkan Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
termasuk belum diterapkannya e-procurement secara menyeluruh;

4. Terbatasnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan


keuangan negara di tingkat pusat maupun tingkat daerah, termasuk
sulitnya memperoleh akses informasi terkait pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);

41
5. Rendahnya penanganan pengaduan masyarakat dan
pelaporan (whistleblowing) yang ditindaklanjuti akibat belum
optimalnya mekanisme dan infrastruktur pengaduan publik;

6. Proses perizinan yang masih tertutup dengan banyak human


interaction yang dapat membuka ruang korupsi.

FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

1. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi &


layanan publik, pengelolaan keuangan negara, penanganan perkara
berbasis teknologi informasi (TI), serta pengadaan barang dan jasa
berbasis TI di pusat/daerah.

2. Peningkatan efektifitas sistem pengawasan dan partisipasi masyarakat


dalam penyelenggaraan pemerintahan & keuangan negara, serta
memasukkan nilai integritas dalam sistem penilaian kinerjanya;

3. Peningkatan efektifitas pemberian izin terkait kegiatan usaha,


ketenagakerjaan, dan pertanahan yang bebas korupsi;

4. Peningkatan efektifitas pelayanan pajak dan bea cukai yang bebas


korupsi;

5. Penguatan Komitmen anti korupsi di semua elemen pemerintahan


(eksekutif), yudikatif, maupun legislatif;

6. Penerapan sistem seleksi/penempatan/promosi pejabat publik melalui


assesment integritas (tax clearance, clearance atas transaksi
keuangan, dan lain-lain) dan pakta integritas

7. Mekanisme penanganan keluhan/pengaduan anti korupsi secara


nasional;

8. Peningkatan pengawasan internal & eksternal, serta memasukkan nilai


integritas ke dalam sistem penilaian kinerja;

9. Peningkatan transparansi dan akubtabilitas pengelolaan keuangan


serta kinerja menuju opini audit Wajar tanpa Pengecualian dengan
Kinerja Prima;

10. Pembenahan sistem kepemerintahan melalui Reformasi Birokrasi;

11. Pelaksanaan e-government.

42
STRANAS PPK YANG KEDUA : PENEGAKAN HUKUM

TUJUAN

Menuntaskan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum positif yang
berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum yang berkeadilan dan transparan.

TANTANGAN

1. Tipikor semakin marak. Tidak sedikit penyelenggara negara yang


tersangkut dan diproses hingga ke tingkat peradilan.

2. Absennya tingkat kepercayaan (trust) di tengah masyarakat


melahirkan ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta
aparaturnya.

3. Peraturan perundang-undangan masih banyak yang tumpang-tindih,


padahal penegakan hukum perlu dukungan kerangka regulasi yang
memadai.

4. Pengawasan terhadap lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi


terkait penegakan hukum, masih lemah.

5. Partisipasi masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi, whistle


blowing, masih belum didukung oleh keterjaminan mereka atas
perlindungan hukum yang sepatutnya diterima. Ditambah lagi,
mekanisme pengaduan masyarakat juga belum memadai.

FOKUS KEGIATAN DAN PRIORITAS KEGIATAN

1. Memperkuat mekanisme kelembagaan dan kerja sama antar lembaga


penegak hukum dalam rangka mengoptimalkan proses penegakan
hukum terhadap tipikor.

2. Memperkuat sarana pendukung berbasis TI untuk koordinasi antar


lembaga penegak hukum dalam penanganan kasus dan proses
peradilan (e-law enforcement).

3. Penerapan zero tolerance pada tipikor dan sanksi hukum yang lebih
tegas di semua strata pemerintahan (eksekutif-legislatif-yudikatif).

43
STRANAS PPK YANG KETIGA : HARMONISASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

TUJUAN

1. Menyusun dan merevisi peraturan perundang-undangan anti korupsi di


bidang tipikor maupun di bidang strategis lain yang berpotensi
membuka peluang korupsi, agar tercipta tatanan regulasi yang
harmonis dan memadai bagi PPK, dan

2. Tercapainya kesesuaian antara ketentuan-ketentuan di dalam UNCAC


dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

TANTANGAN

1. Peraturan perundang-undangan pada sektor-sektor lain yang


membuka peluang korupsi masih belum teridentifikasi secara
komprehensif.

2. Ketentuan-ketentuan UNCAC banyak yang masih belum terakomodasi


dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

3. Peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum dan


penanganan perkara dalam sistem peradilan harus diperbaiki dan
disempurnakan.

FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

Isu utama dalam menghadapi tumpang-tindih regulasi terkait upaya


pemberantasan korupsi adalah harmonisasi dan penyusunan peraturan
perundang-undangan dalam rangka implementasi UNCAC. Kegiatan
berjangka panjang dalam strategi ini difokuskan pada:

1. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai


dengan kebijakan nasional dan kebutuhan daerah yang berhubungan
dengan sumber daya alam;

2. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan


penyusunannya dalam rangka modernisasi penegakan hukum dalam
sistem peradilan pidana;

44
3. Mekanisme monitoring (pemantauan) dan evaluasi peraturan
perundang-undangan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang tumpang tindih dan tidak konsisten;

4. Melakukan pemetaan dan revisi peraturan perundang-undangan


terkait proses penegakan hukum, antara lain; perlindungan saksi dan
pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), serta menghalangi
proses hukum (obstruction of justice);

5. Harmonisasi berikut penyusunan peraturan perundang-undangan


dalam rangka implementasi UNCAC dan peraturan pendukung lainnya;

6. Penyederhanaan jumlah dan jenis perizinan dalam kapasitas daerah;

7. Harmonisasi terhadap pengawasan atas pelaksanaan regulasi terkait


pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah.

STRANAS PPK YANG KEEMPAT : KERJA SAMA INTERNASIONAL &


PENYELAMATAN ASET HASIL TIPIKOR

TUJUAN

Meningkatkan pengembalian aset untuk mengganti kerugian negara yang


ditempuh melalui peningkatan kerja sama internasional dalam rangka PPK,
khususnya dengan pengajuan bantuan timbal-balik masalah pidana,
peningkatan koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta
peningkatan kapasitas aparat lembaga penegak hukum

TANTANGAN

1. Masih rendahnya tingkat sukses pengembalian aset, baik dari luar


maupun dalam negeri dan bentuk permintaan bantuan timbal balik
masalah pidana lainnya.

2. Masih rendahnya tingkat sukses permintaan ekstradisi dari negara lain.

3. Masih lemahnya informasi jalur keuangan untuk membuktikan


keterkaitan aset hasil tipikor yang perlu dirampas oleh negara.

4. Belum optimalnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan


kapasitasnya dalam menangani kerja sama internasional, khususnya
pengembalian aset.

45
5. Mekanisme internal dalam proses pengembalian aset perlu diperbaiki
agar proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal.

6. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur


pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain.

7. Pengelolaan aset hasil pengembalian masih belum terselenggara.

FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan meningkatkan kerja sama


internasional dalam rangka pencegahan, pengembalian aset, dan
penyelesaian tindak pidana lainnya, Langkah itu dilakukan melalui
penyusunan instrumen hukum dan mekanisme kerja sama (internasional,
bilateral dan regional), khususnya dalam pengajuan MLA terkait masalah
pidana, koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta
peningkatan upaya dan kemampuan diplomasi aparat lembaga penegak
hukum dimana fokus-fokusnya adalah sebagai berikut:

1. Memastikan dan menguatkan lembaga pelaksana Otoritas Pusat untuk


tipikor;

2. Perbaikan mekanisme MLA dalam rangka pemberantasan korupsi;

3. Memastikan terbentuknya unit pengelolaan aset (asset management


unit) hasil tipikor guna mendukung proses penegakan hukum dan
transparansi pengelolaan aset terkait lainnya sebagai bentuk
pemanfaatan pengelolaan aset tipikor;

4. Pelatihan dan asistensi teknik pada lembaga penegak hukum, baik


kualitatif dan kuantitatif, dalam rangka penyelamatan aset hasil korupsi,
termasuk perihal intelijen/forensik keuangan;

5. Peningkatan kerja sama dengan penegak hukum asing dalam rangka


Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), dan;

6. Pembentukan Unit Penyelamatan Aset, termasuk di setiap lembaga


terkait.

STRANAS PPK YANG KE LIMA : PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI


KORUPSI (PBAK)

TUJUAN

46
Memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis dan
berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero
tolerance terhadap korupsi. Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif
pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu mempengaruhi
keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari
dirinya sendiri.

TANTANGAN

1. Masih adanya sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor;


sanksi sosial bagi pelaku tipikor perlu diperkuat untuk menghasilkan
efek deteren. Sikap permisif tersebut juga seringkali ditunjukkan
dengan pasifnya individu dalam menghadapi adanya tindakan koruptif
dari individu lain di dalam lingkungannya.

2. Absennya strategi komunikasi dalam pendidikan budaya anti korupsi.


Hal ini ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun cara
penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada masyarakat.

3. Belum terintegrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum


sekolah maupun perguruan tinggi.

FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

Dengan persamaan cara pandang dan pola pikir bahwa korupsi sangat
merugikan masyarakat, diharapkan prakarsa-prakarsa positif yang
mengarah pada perbaikan dapat terjadi. Hal ini dapat diakomodasi dalam
fokus kegiatan berjangka menengah antara lain:

1. Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi dalam pelbagai


aktifitas tiga pilar PPK yakni Masyarakat, Sektor Swasta, dan Aparat
Pemerintah;

2. Pengembangan nilai-nilai anti korupsi dalam berbagai aktifitas


pendidikan yakni; di sekolah, perguruan tinggi, dan lingkup sosial, demi
menciptakan karakter bangsa yang berintegritas, termasuk melalui
kurikulum dan kegiatan di luar kurikulum;

3. Kampanye anti korupsi secara menyeluruh;

4. Strategi komunikasi, informasi dan edukasi yang jelas dan terencana;

47
5. Menggalang kerja sama dengan media dalam mengembangkan nilai
anti korupsi dan karakter berintegritas, termasuk melalui berbagai
media kreatif;

6. Keterpaduan manajemen kampanye anti korupsi (penyebarluasan


jejaring AC Forum/ToT Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Pemberantasan Korupsi, koordinasi anggaran untuk kebutuhan
kampanye);

7. Publikasi dan sosialisasi hasil-hasil masukan masyarakat kepada


publik oleh Kementerian/Lembaga dan Pemda terkait;

8. Publikasi praktik-praktik terbaik anti korupsi (jaringan pendidikan


integritas);

9. Memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam upaya


pemberantasan korupsi dengan melaksanakan diseminasi anti korupsi
oleh masyarakat (CSO-NGO, CBO).

STRANAS PPK YANG KEENAM : MEKANISME PELAPORAN


PELAKSANAAN PEMBERANTASAN KORUPSI

TUJUAN

1. Memastikan ketersediaan laporan rutin dan informasi terkait


pelaksanaan ketentuan UNCAC dan kegiatan PPK di Indonesia
beserta capaian-capaiannya;

2. Memastikan bahwa para pihak, pelaksana ketentuan UNCAC dan aksi


PPK, berkontribusi aktif melaporkan kinerja dan capaian-capaiannya
yang telah, tengah, dan akan dilaksanakan secara rutin;

3. Terlaporkan dan terpublikasikannya usaha-usaha yang telah, tengah,


dan akan dilaksanakan pemerintah, legislatif, yudikatif, dan
masyarakat, berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UNCAC dan
PPK secara periodik;

4. Terpenuhinya (seratus persen) semua kewajiban dalam pelaporan


terkait pelaksanaan ketentuan UNCAC.

48
TANTANGAN

1. Informasi dan koordinasi terkait pelaksanaan PPK, kendati merupakan


isu yang sering dibahas di berbagai pertemuan lintas K/L, namun minim
pelaksanaan, konsistensi, serta kesinambungannya sulit terjaga;

2. Pengumpulan informasi, pelaporan, dan publikasi informasi, sering


tersendat akibat minimnya catatan, dokumentasi, serta kedisiplinan
para pihak dalam pelaporan;

3. Diperlukan penemuan format (bentuk) laporan dan publikasi yang


efektif sehingga dapat digunakan oleh masyarakat untuk
berpartisipasidalam PPK, termasuk pemantauannya;

FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

Dalam strategi ini dibangun mekanisme pengkajian dan pelaporan


nasional/internal yang menyajikan informasi pelaksanaan ketentuan
UNCAC serta informasi mengenai upaya PPK lainnya di Indonesia kepada
masyarakat luas. Kegiatan tersebut berdasarkan sistem monitoring
(pemantauan) dan evaluasi yang berbasis pada hasil dan pencapaian yang
terukur dalam konteks PPK. Stakeholder dalam mekanisme ini meliputi
aparat K/L hukum dan organisasi non pemerintah. Kegiatan berjangka
menengah dalam strategi ini adalah:

1. Memperluas dan mempermudah akses informasi berbagai upaya


dalam rangka proses PPK dari masing-masing K/L;

2. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,


pemantauan aksi dan pelaporan kinerja PPK;

3. Penyusunan payung hukum dan kebijakan yang mendukung


kelancaran penyusunan laporan serta publikasi pelaksanaan PPK
nasional secara rutin dan konsisten;

4. Penyusunan mekanisme kerja para pihak untuk mendukung pelaporan


dan publikasi PPK Nasional, dan;

5. Penyiapan sarana dan prasarana pendukung penyusunan dan


publikasi laporan PPK.

49
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Korupsi adalah suatu tindakan memperkaya diri yang secara langsung


merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam
perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain,
ketiadaan dan kelemahan pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika,
kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku
korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi. Dampak
korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi,
ekonomi, dan kesejahteraan negara. Oleh karena itu, korupsi adalah
musuh bersama yang harus dibasmi bukan dilestarikan, karna korupsi
bukan budaya.

2. Saran

Dengan penulisan makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca


agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan
sebagai kegiatan motivasi agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi.
Karena korupsi bisa berawal dari hal-hal kecil yang dianggap sepele.

50
DAFTAR PUSTAKA

Hehaahua, Abdullah., “Pemberantasan Korupsi Harus Simultan”, “Kata


Pengentar”, dalam Rafi, Abu Fida’ Abdur., Terapi penyakit
korupsi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Jakarta:
Republika, 2004.

Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004


tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

-------, Undang-Undang RI Nomor 201 tentang Perubahan atas


Undang-Undang

Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

-------, Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan

Korupsi.

Johnston, Michael., “Konsekuensi politik dari korupsi: suatu penilaian


kembali”, dalam Korupsi politik; Penyunting, Mochtar Lubis.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Klitgaard, Robert., Membasmi korupsi; Penerjemah, Hermoyo. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Lembaga Administrasi Negara, Percepatan pemberantasan


korupsi:Modul diklat Prajabatan Gol. III Eks Honorer. Jakarta:
LAN, 2007.

Maheka, Arya. Mengenali dan memberantas korupsi. Jakarta: KPK, (t.t.).

McWalters, SC. Memerangi korupsi: sebuah peta jalan unutk Indonesia;


Penerjemah, Joko Pitono, Nurul Retno Hapsari, Yenny Arghanty.
Surabaya: JPBooks, 2006.

51

Anda mungkin juga menyukai