Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

Konseling Penyandang Masalah

NARAPIDANA KORUPTOR

KELOMPOK 7

Ana Nurhasanah

Maisaroh

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU

2020
KATA PENGENTAR

Dengan menyebut nama Allah subhanallahu ta’ala yang maha pengasih


lagi maha penyayang, kami ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “NARAPIDANA KORUPTOR” guna memenuhi
tugas mata kuliah “Konseling Penyandang Masalah”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu yang telah


mempercayakan kepada kami untuk pembuatan makalah ini, dan kami juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Terlepas dari itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada pembaca.

Pekanbaru, 2020

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................iii

A.Latar belakang ......................................................................................iii

B.Rumusan Masalah..................................................................................iii

C.Tujuan penulis........................................................................................iv

BAB II: PEMBAHASAN....................................................................................

A. pengertian narapidana koruptor............................................................1

B. maraknya korupsi di Indonesia.............................................................2

C. dilema pembinaan.................................................................................3

D. jalan keluar...........................................................................................4

E. pengawasan masyarakat.............................................................................4

F. korupsi menjadi kejahatan yang luar biasa............................................6

G. Urgensi hukuman mati………………………………………………7

H. tujuan pembinaan …………………………………………………...9

BAB III: PENUTUP............................................................................................11

A.Kesimpulan............................................................................................11

B.Saran......................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan suatu Negara ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan


dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses
perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.
Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentuan oleh dua faktor,
yaitu sumber daya masnusia dan pembiayaan.

Akan tetapi, Negara tercinta ini jika dibandingkan dengan Negara lain di
kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah Negara yang kaya. Malah bisa disebut
Negara miskin. Kenapa dikatakan miskin? Salah satu penyebabnya adalah
rendahnya kulitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari
pengetahuan atau intelektual, tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadian. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat
penyelenggaraan Negara menyebabkan terjadinya korupsi.

Korupsi di Indonesia saat ini sudah menjadi Patologi Sosial (penyakit


sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat. Berbangsa dan bernegara.

Bentuk perampasan uang dan pengurasan keuangan Negara demikian


terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia.. itu merupakan rendahnya moralitas
dan rasa malu.

iii
B. Rumusan Masalah

 Apa yang diamksud dengan narapidana koruptor?

 Bagaimana maraknya korupsi di Indonesia?

 Bagaimana dilema pembinaannya?

 Bagaimana jalan keluarnya?

 Bagaimana bentuk pengawasan masyarakat.?

 Mengapa korupsi menjadi kejahatan yang luar biasa?

 Urgensi hukuman mati

 apa tujuan dari pembinaan

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah KONSELING PENYANDANG MASALAH SOSIAL dan juga untuk
melatih dalam membuat karya ilmiah serta untuk menambah wawasan bagi
penulis, dan pembaca tentang “ NARAPIDANA KORUPTOR”.

iv
v
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NARAPIDANA KORUPTOR

Narapidana secara bahasa berasal dari kata Nara yang berarti orang dan
pidana yang berarti hukuman. Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian di atas dapat
diperoleh pemahaman bahwa narapidana adalah orang yang menjalani pidananya
di lembaga pemasyarakatan1
Sedangkah koruptor adalah orang yang mengutamakan citra, penampilan,
gaya hidup dan prestise dari pada kedalaman makna, subtansi, tujuan hidup, dan
prestasi. Berdasarkan dengan itu koruptor adalah orang yang terjebak dalam
budaya citra dan budaya tontonan sehingga dia tidak mau kalah dalam gaya hidup
maupun penampilan diruang public dengan orang lain. prinsip dasarnya “aku
harus lebih dari yang laindalam hal gaya hidup”.
Koruptor juga bisa diartikan manusia yang lebih mengutamakan
kepemilikan uang yang banyak, tanpa memperhatikan proses yang mendasarkan
pada asas mayoritas korupsi adalah cara instan untuk mendapat uang. Mereka
mengutamakan kepemilikan kekuasaan dengan mengabaikan proses. Prinsip
dasarnya adalah berkuasa. Tentang bagaimana cara memperolehnya tidak
penting.2

Jadi, dapat disimpulan bahwa narapidana koruptor adalah orang yang


menjalani hukuman dan diasingkan dari tengah-tengah masyarakat karena jabatan
yang iya pegang di salahgunakan untuk kesenangan pribadi tanpa memikirkan
orang lain yang menerima akibatnya.

B. MARAKNYA KORUPSI DI INDONESIA


1
Ika Fita Yulistyana, Skripsi: “Bimbingan Islam Bagi Narapidana Terorisme Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Semarang” (Semarang:UIN Walisongo Semarang, 2018), hlm. 28
2
Anantawikrama Tungga Atmadja dan Nengah Bawa Atmadja. Sosiologi Korupsi (Jakarta:Kencana,
2019), hlm. 230

1
Korupsi sepertinya sudah merupakan penyakit kronis bagi bangsa
Indonesia yang sangat sulit untuk memberantasnya karena pengadilan sebagai
benteng terakhir orang mencari keadilan, para hakim dan paniteranya juga terbelit
masalah korupsi. Sebetulnya sudah sejak zaman Orde Lama maupun Orde Baru,
banyak pejabat negara, pejabat, dan pengusaha yang terindikasi melakukan tindak
pidana korupsi, namun kenyataannya pada masa itu tidak terlalu banyak yang
diproses sampai ke pengadilan. Hal tersebut berbeda pada era reformasi di mana
para pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, semua diproses di pengadilan dan
akhirnya masuk LP.

Walaupun banner atau pamflet yang berisi seruan anti korupsi terpasang atau
terpampang di setiap sudut ruang perkantoran, pelayanan publik, dan ruang
terbuka umum, demikian juga sudah dilakukan pendeklarasian wilayah bebas
korupsi, pengawasan yang ketat, tetapi toh korupsi masih merajalela. Belum
selesai persidangan sebuah perkara tindak pidana korupsi di pengadilan tipikor,
sudah menyusul lagi ada pejabat negara, pejabat, atau pengusaha yang tertangkap
tangan karena diduga melakukan korupsi, maupun mereka yang masih menjalani
proses penyelidikan maupun penyidikan. Berdasarkan laporan tahunan Kejaksaan
Agung tahun 2015 menunjukkan terdapat ribuan kasus korupsi yang ditangani
kejaksaan, baik pusat maupun daerah. Tahun lalu sebanyak 1.873 kasus korupsi
diselidiki kejaksaan. Dari jumlah itu, sebanyak 1.717 kasus ditingkatkan statusnya
ke penyidikan. Namun kasus yang dilanjutkan ke penuntutan berkurang menjadi
1.511 perkara. Sebanyak 206 kasus tak beranjak dari tingkat penyidikan. Jumlah
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan temuan Indonesia Corruption Watch
(ICW), terdapat 652 kasus korupsi yang ditangani kejaksaan, kepolisian, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mangkrak saat berada dalam tahap
penyidikan. Dari jumlah itu, 391 kasus berada di kejaksaan. Sebetulnya para pelaku

tindak pidana korupsi itu bukanlah orang yang secara materi kekurangan,
bahkan kalau boleh dikata mereka sudah sangat berkecukupan. Demikian juga
kalau dilihat pendidikannya, mereka ratarata berpendidikan sarjana, bahkan ada
yang bergelar profesor doktor.

C. DILEMA PEMBINAAN

2
Setelah penjahat tersebut masuk LP, mereka ditempatkan di dalam sel
yang berbeda. Maling ayam dan penjambret ditempatkan satu sel bersama-sama
dengan para maling ayam dan penjambret lainnya, tetapi kadang-kadang mereka
juga dicampur dengan maling-maling lainnya dan bahkan para pembunuh.
Demikian juga koruptor akan menjalani hari-hari kehidupannya di dalam sel
bersama koruptor lainnya. Hanya dalam prakteknya banyak koruptor yang
ditempatkan sendirian dalam satu sel, seperti yang terjadi di LP Sukamiskin,
Bandung. Penempatan narapidana dalam sel dengan komposisi seperti itu pasti
ada pertimbangan tersendiri. Pasal 12 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyebutkan, dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar:

 Umur
 Jenis kelamin
 Lama pidana yang dijatuhkan
 Jenis kejahatan
 Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.

Dengan demikian penempatan narapidana di dalam sel LP tidak ada unsur


subyektif, seperti unsur jabatan, pangkat, harta, saudara, maupun rasa ewuh
pakewuh, semuanya didasarkan pada ketentuan dan prosedur yang ada. Namun
harus diakui bahwa opini sebagian besar masyarakat berpendapat miring atau
mencurigai, khususnya terhadap narapidana koruptor, yang menganggap adanya
perlakuan istimewa terhadap mereka dalam penempatannya di sel LP. Pendapat
tersebut sah-sah saja karena secara kasat mata dalam prakteknya masih terlihat
para koruptor itu sepertinya hanya pindah tidur saja dari rumah ke LP. Mereka
dapat menata dan mengisi ruangan sel sesuai dengan seleranya sendiri.3

D. JALAN KELUAR

3
Agus Hariadi, “Suatu Dilema Dalam Pembinaan Narapidana Koruptor Di Lembaga
Pemasyarakatan”. Legilasi Indonesi, Vol.13 No.03,2016.hlm 299

3
Dalam ilmu politik dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas
cenderung melakukan korupsi. Masyarakat meyakini bahwa korupsi sudah
merupakan bagian dari romantika kekuasaan sejak lama di Indonesia, tetapi
karena pada masa Orde Lama dan Orde Baru demokrasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya, maka jarang sekali kasus-kasus korupsi yang muncul ke
permukaan. Era Reformasi memberikan harapan besar kepada rakyat untuk
sebuah pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Alhamdulillah, dalam masa pemerintahan yang sekarang ini sudah dimulai
penyingkapan kasus-kasus korupsi.

Sungguhpun demikian, masih menjadi pertanyaan masyarakat, apakah


usaha ini akan berjalan terus atau akan berhenti di tengah jalan, atau bersifat pilih
kasih dengan menindak pihak-pihak tertentu saja dan membiarkan pihak-pihak
tertentu pula. Penegakan hukum adalah jalan keluar yang dapat diusulkan untllk
pemberantasan korupsi di Indonesia. Asas yang utama dalam hukum adalah
reward and punishment dengan pengertian orang yang menaati hukum harus
dihargai dan orang yang melanggar hukum harus dihukum. di luar itu berlaku asas
tak bersalah, bahwa seseorang tetap dipandang tidak bersalah selama tidak
terbukti melalui pengadilan yang bebas dan adil bahwa ia tidak bersalah. Selain
itu, pengawasan masyarakat terhadap pejabat dan pegawai pemerintah dan
pendidikan ketaqwaan yang dapat membentengi masyarakat dari perbuatan
melawan norma moral dan norma.

E. PENGAWASAN MASYARAKAF

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita akhir-akhir ini banyak


pihak yang merasakan lemahnya segi pengawasan terhadap lembaga-lembaga
publik. Banyak aset negara dan sumber daya alam dan manusia yang sering tersia-
sia karena lemahnya fungsi pengawasan. Sebagian masyarakat bahkan sering
mengeluhkan bahwa lembaga seperti kepolisian dan sekolah yang seharusnya
menjadi pengawas keamanan masyarakat dan anak didik, malah masih periu
diawasi. ibarat pagar makan tanaman.

4
Dalam sebuah negara, kita mengenal tiga lembaga yaitu legislatif,
eksekutif dan Yudikatif yang terkenal dengan nama Trias Politika. Secara teoritis,
ketiga lembaga tersebut diawasi oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara, tetapi dalam prakteknya, mekanisme pengawasan oleh
rakyat tersebut sering tidak berjalan dengan baik. PEnyebabnya antara lain karena
kurangnya kesadaran masyarakat secara umum tentang peran mereka sebagai
pengawas aparat negara dan kecenderungan sebagian orang yang hanya
mementingkan keselamatan diri sendiri. · di Indonesia, Secara teoritis juga
lembaga eksekutif atau pemerintah diawasi oleh lembaga legislatif atau DPR, dan
lembaga yudikatif (pengadilan) diawasi oleh Komisi Yudisial yang sudah
terbentuk. Pertanyaan yang timbul sekarang, lalu siapa yang mengawasi lembaga
legislatif? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat belakangan ini sebagian
anggota DPR mendapat sorotan masyarakat karena tindakan melanggar norma-
norma masyarakat dan/atau norma-norma hukum yang mereka lakukan.

Pimpinan dan anggota DPR di berbagai daerah, misalnya bahkan menjadi


terdakwa dalam perkara pidana korupsi dan sebagiannya sedang menjalani
hukuman. Sampai sekarang masih belum terpikirkan lembaga yang akan
mengawasi DPR dan bila lembaga pengawas wakil-wakil rakyat ini terwujud,
maka akan muncul permasalahan khusus bahwa DPR sebagai perwakilan rakyat
masih memerlukan pengawasan rakyat. Karena itu, perlu dipikirkan bentuk-
bentuk pengawasan baru yang tidak hanya mengawasi para anggota DPR dan
aparat negara, tetapi sekaligus mengawasi setiap individu dalam masyarakat.

Dalam sosiologi dikenal dua bentuk pengawasan masyarakat (social


control). Pertama adalah melalui internalisasi norma-norma yang dipegang teguh
masyarakat. Kedua adalah melalui penggunakan sanksi terhadap tingkah langku
yang menyimpang (de vial ion) dari norma-norma tersebut, baik sanksi moral,
misalnya dengan pengucilan oleh masyarakat, maupun sanksi penghukuman
melalui peraturan perundang-undangan atau penghargaan untuk anggota
masyarakat yang berjalan sesuai norma-norma.4

4
Rifyal Ka'bah, “Korupsi Di Indonesia” Hukum dan Pembangunan. Vol.1,hlm 81

5
F. KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA

Suburnya kejahatan korupsi di negeri kita tentu telah melahirkan berbagai


efek negatif, bukan hanya terhadap negara, tapi juga terhadap masyarakat luas.
Selain merusak kinerja birokrasi pemerintahan, kejahatan korupsi telah
menyebabkan kehancuran yang luar biasa hebat bagi kelangsungan hidup bangsa,
utamanya watak dan moralitas generasi bangsa ini selanjutnya. Artinya, tindak
pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.5 Hal
ini berarti secara yuridis perbuatan korupsi tersebut, menurut UU ini, juga harus
diberantas secara luar biasa. Perlawanan terhadap korupsi saat ini tidak layak lagi
menggunakan instrumen hukum biasa (konvensional), melainkan cara yang luar
biasa, dengan mengategorikan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, di mana
penanganannya juga dengan menggunakan instrumen, teknis, dan prosedural
regulasi pelanggaran HAM.

Dengan begitu, korupsi bukan lagi merupakan persoalan domestik suatu


negara saja melainkan menjadi urusan setiap orang tanpa dibatasi oleh sekat
negara dan bangsa. Karenanya, bangsa di dunia memiliki hak untuk turut serta
melawan dan mewaspadainya sebagai su atu kejahatan yang harus diperangi
secara bersama.6 Hal itulah yang menjadikan korupsi seperti bahaya laten yang
sulit diberantas. Adanya undang-undang dan budaya malu yang pernah menjadi
karakter bangsa kita, masih belum mampu memberikan terapi kejut (shock
therapy) bagi orangorang yang melakukan kejahatan korupsi di negeri ini. Bisa
dikatakan, korupsi telah menjadi sumber bencana atau kejahatan (the roots of all
evils) yang sebenarnya relatif lebih berbahaya dibanding terorisme.

6
G. URGENSI HUKUMAN MATI

bagi Koruptor Jika dilihat dari bahaya yang ditimbulkannya, pelaku


kejahatan korupsi memang pantas untuk dihukum mati. Pertimbangannya,
kejahatan ini ternyata menyebabkan kehancuran yang luar biasa hebat bagi
kelangsungan hidup bangsa. Masyarakat hingga anak cucu bangsa ini di kemudian
hari menderita dan menanggung akibatnya. Keberadaan bangsa ini pun menjadi
terpojok dan dipermalukan di dunia internasional, karena maraknya budaya
korupsi yang tak terkendali. Secara yuridis formal, penerapan hukuman mati di
Indonesia memang dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman
mati. Di luar KUHP, tercatat setidaknya ada enam peraturan perundang-undangan
yang memiliki ancaman hukuman mati, semisal UU Narkotika, UU Anti Korupsi,
UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM, UU Intelijen dan UU Rahasia
Negara. Selain itu, secara filosofis, penerapan hukuman mati juga diakui dan
diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa
hukuman mati di Indonesia tetap eksis dalam tata peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Lebih dari itu, eksekusi hukuman mati di Indonesia menunjukkan
kecenderungan meningkat sejak era reformasi. Meski masih mempertahankan
hukuman mati dalam sistem hukum positifnya, namun sebagai negara yang
menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman
mati secara khusus, hati-hati, dan selektif.

Dalam konteks demokrasi, penetapan hukuman mati dalam beberapa UU


di Indonesia pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang
notabene adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat
Indonesia. Menurut van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada
dasarnya hukum secara menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat
yang di dalamnya dinyatakan kehendak bersama. Jika terdapat tingkah laku yang
menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana, maka hal itu sejak awal harus
diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan
untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian
masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya

7
ke dalam wadah bersama itu. Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya
hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak
bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis
(undang-undang).

Hal itu berarti bahwa ketentuan hukuman mati dalam undang-undang di


negara Indonesia pada dasarnya telah sesuai dengan teori perjanjian masyarakat
ataupun konsitusi. Maka, sangat relevan mengaitkan ketentuan Pasal 28A dan
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 28J UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal
28J UUD 1945 menentukan:

- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dengan demikian, ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
tersebut keberlakuannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Karena itu,
untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, seharusnya
dalam memahami ketentuan pidana atau hukuman mati di Indonesia tidak hanya
membaca ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945, tetapi harus pula
memperhatikan dan mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.

Jadi, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi bisa dibenarkan, baik
secara hukum (undang-undang) maupun secara kemanusiaan (kepentingan
publik). Hal ini mengingat kejahatan korupsi berkaitan dengan terampasnya hak
kesejahteraan masyarakat luas, sehingga penanganannya pun harus berorientasi
pada perlindungan hak publik tersebut. Sekiranya hukuman mati tidak memiliki

8
implikasi atau tidak ada nilainya bagi si pelaku, maka nilainya terletak pada
kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.5

H. TUJUAN PEMIDANAAN

Didalam liberator ilmu pengetahuan hukum pidana, lazimnya dikenal 3


teori tentang tujuan pemidanaan (strafecets theorieen), yaitu teori pembalasan,
(absoluts theorieen/doeltheorieen), teori tujuan, (reltive theorieen), dan teori
gabungan. Menurut teori pembalasan, tujuan pemidanaan adalah untuk
pembalasan, dan dikenal pada akhir abad ke-18. Teori bersifat subjektif, yang
pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat tercela. Dan ada yang
bercorak obyektif, yang pembalasannya ditunjukkan sekedar pada perbuatan apa
yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

Disisi lain, teori tujuan/prevensi berpendapat bahwa tujuan dari


pemidanaan itu sendiri yaitu untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Prevensi itu ada yang:

- Bersifat umum yaitu pencegahan ditunjukkan kepada semua orang


agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyaraka.
- Ada yang bersifat khusus yaitu mencegah si penjahat untuk
mengulangi lagi perbuatannya.
- Ada yang memperbaiki si pembuat kejahatan agar manusia menjadi
manusia yang baik.
- Ada yang menyingkirkan penjahat, yang ditunjukan terhadap penjahat
tertentu yang tidak dapat diperbaiki lagi.

Menurut teori gabungan, pemidanaan didasarkan atas tujuan unsure-unsur


pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsur tanpa menghilangkan
unsure yang lain, maupun pada semua unsur yang sama.

5
Khaeron Sirin, “Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Korupsi Di Indonesia:
Analisis Pendekatan Teori Maqàshid Al-Syarì’ah”. Hukum Islam .Vol. 12 No. 1, Juni 2013

9
Ketiga teori diatas dapat dipadatkan menjadi dua golongan, yaitu teori
pembalasan dan teori kemanfaatan. Teori pembalasan lebih mengutamakan
kepentingan sikorban atau pihak yang dirugikan. Maka sebagai akibatnya si
narapidana harus menerima hukuman sebagai wujud pembalasan atas atas
kesalahannya.6

6
. Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Permasyarakatan
(Yogyakarta:Liberty,1985),hlm75-76

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

jadi dapat disimpulkan bahwa narapidana koruptor adalah orang yang


sedang mengalami hukuman atau diasingkan dari tengah-tengah masyarakat,
karena salah menggunakan jabatan yang ia pegang. Mengambil manfaat untuk
pribadi tanpa memikirkan kerugian orang lain. hukuman yang dijalanipun sesuai
dengan apa yang ia perbuat.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang
semuanya membutuhkan tambahan-tambhan materi dan sistematika penulisan,
agar makalah ini dapat dikatakan sedikit mendekati kesempurnaan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Anantawikrama, Tungga dan Nengah, Bawa, Atmadja. Sosiologi


Korupsi. Jakarta:Kencana

Ika Fita Yulistyana. (201)8. “Bimbingan Islam Bagi Narapidana Terorisme Di


Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang”. Skrisi. Dakwah dan Komunikasi.
Bimbingan dan Penyuluhan Islam. UIN Walisongo. Semarang.

Poernomo, Bambang. 1985 Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem


Permasyarakatan. Yogyakarta: Liberty

Hariadi, Agus. (2016). Suatu Dilema Dalam Pembinaan Narapidana


Koruptor Di Lembaga Pemasyarakatan. Legilasi Indonesia, 1

Ka’bah, Rifyal. Korupsi Indonesia. Hukum dan Pembangunan.

Sirin, Khaeron. (2013). Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan


Korupsi Di Indonesia: Analisis Pendekatan Teori Maqàshid Al-Syarì’ah. Hukum Islam, 1

12

Anda mungkin juga menyukai