NARAPIDANA KORUPTOR
KELOMPOK 7
Ana Nurhasanah
Maisaroh
RIAU
2020
KATA PENGENTAR
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada pembaca.
Pekanbaru, 2020
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................iii
B.Rumusan Masalah..................................................................................iii
C.Tujuan penulis........................................................................................iv
C. dilema pembinaan.................................................................................3
D. jalan keluar...........................................................................................4
E. pengawasan masyarakat.............................................................................4
A.Kesimpulan............................................................................................11
B.Saran......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akan tetapi, Negara tercinta ini jika dibandingkan dengan Negara lain di
kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah Negara yang kaya. Malah bisa disebut
Negara miskin. Kenapa dikatakan miskin? Salah satu penyebabnya adalah
rendahnya kulitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari
pengetahuan atau intelektual, tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadian. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat
penyelenggaraan Negara menyebabkan terjadinya korupsi.
iii
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah KONSELING PENYANDANG MASALAH SOSIAL dan juga untuk
melatih dalam membuat karya ilmiah serta untuk menambah wawasan bagi
penulis, dan pembaca tentang “ NARAPIDANA KORUPTOR”.
iv
v
BAB II
PEMBAHASAN
Narapidana secara bahasa berasal dari kata Nara yang berarti orang dan
pidana yang berarti hukuman. Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian di atas dapat
diperoleh pemahaman bahwa narapidana adalah orang yang menjalani pidananya
di lembaga pemasyarakatan1
Sedangkah koruptor adalah orang yang mengutamakan citra, penampilan,
gaya hidup dan prestise dari pada kedalaman makna, subtansi, tujuan hidup, dan
prestasi. Berdasarkan dengan itu koruptor adalah orang yang terjebak dalam
budaya citra dan budaya tontonan sehingga dia tidak mau kalah dalam gaya hidup
maupun penampilan diruang public dengan orang lain. prinsip dasarnya “aku
harus lebih dari yang laindalam hal gaya hidup”.
Koruptor juga bisa diartikan manusia yang lebih mengutamakan
kepemilikan uang yang banyak, tanpa memperhatikan proses yang mendasarkan
pada asas mayoritas korupsi adalah cara instan untuk mendapat uang. Mereka
mengutamakan kepemilikan kekuasaan dengan mengabaikan proses. Prinsip
dasarnya adalah berkuasa. Tentang bagaimana cara memperolehnya tidak
penting.2
1
Korupsi sepertinya sudah merupakan penyakit kronis bagi bangsa
Indonesia yang sangat sulit untuk memberantasnya karena pengadilan sebagai
benteng terakhir orang mencari keadilan, para hakim dan paniteranya juga terbelit
masalah korupsi. Sebetulnya sudah sejak zaman Orde Lama maupun Orde Baru,
banyak pejabat negara, pejabat, dan pengusaha yang terindikasi melakukan tindak
pidana korupsi, namun kenyataannya pada masa itu tidak terlalu banyak yang
diproses sampai ke pengadilan. Hal tersebut berbeda pada era reformasi di mana
para pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, semua diproses di pengadilan dan
akhirnya masuk LP.
Walaupun banner atau pamflet yang berisi seruan anti korupsi terpasang atau
terpampang di setiap sudut ruang perkantoran, pelayanan publik, dan ruang
terbuka umum, demikian juga sudah dilakukan pendeklarasian wilayah bebas
korupsi, pengawasan yang ketat, tetapi toh korupsi masih merajalela. Belum
selesai persidangan sebuah perkara tindak pidana korupsi di pengadilan tipikor,
sudah menyusul lagi ada pejabat negara, pejabat, atau pengusaha yang tertangkap
tangan karena diduga melakukan korupsi, maupun mereka yang masih menjalani
proses penyelidikan maupun penyidikan. Berdasarkan laporan tahunan Kejaksaan
Agung tahun 2015 menunjukkan terdapat ribuan kasus korupsi yang ditangani
kejaksaan, baik pusat maupun daerah. Tahun lalu sebanyak 1.873 kasus korupsi
diselidiki kejaksaan. Dari jumlah itu, sebanyak 1.717 kasus ditingkatkan statusnya
ke penyidikan. Namun kasus yang dilanjutkan ke penuntutan berkurang menjadi
1.511 perkara. Sebanyak 206 kasus tak beranjak dari tingkat penyidikan. Jumlah
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan temuan Indonesia Corruption Watch
(ICW), terdapat 652 kasus korupsi yang ditangani kejaksaan, kepolisian, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mangkrak saat berada dalam tahap
penyidikan. Dari jumlah itu, 391 kasus berada di kejaksaan. Sebetulnya para pelaku
tindak pidana korupsi itu bukanlah orang yang secara materi kekurangan,
bahkan kalau boleh dikata mereka sudah sangat berkecukupan. Demikian juga
kalau dilihat pendidikannya, mereka ratarata berpendidikan sarjana, bahkan ada
yang bergelar profesor doktor.
C. DILEMA PEMBINAAN
2
Setelah penjahat tersebut masuk LP, mereka ditempatkan di dalam sel
yang berbeda. Maling ayam dan penjambret ditempatkan satu sel bersama-sama
dengan para maling ayam dan penjambret lainnya, tetapi kadang-kadang mereka
juga dicampur dengan maling-maling lainnya dan bahkan para pembunuh.
Demikian juga koruptor akan menjalani hari-hari kehidupannya di dalam sel
bersama koruptor lainnya. Hanya dalam prakteknya banyak koruptor yang
ditempatkan sendirian dalam satu sel, seperti yang terjadi di LP Sukamiskin,
Bandung. Penempatan narapidana dalam sel dengan komposisi seperti itu pasti
ada pertimbangan tersendiri. Pasal 12 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyebutkan, dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar:
Umur
Jenis kelamin
Lama pidana yang dijatuhkan
Jenis kejahatan
Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
D. JALAN KELUAR
3
Agus Hariadi, “Suatu Dilema Dalam Pembinaan Narapidana Koruptor Di Lembaga
Pemasyarakatan”. Legilasi Indonesi, Vol.13 No.03,2016.hlm 299
3
Dalam ilmu politik dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas
cenderung melakukan korupsi. Masyarakat meyakini bahwa korupsi sudah
merupakan bagian dari romantika kekuasaan sejak lama di Indonesia, tetapi
karena pada masa Orde Lama dan Orde Baru demokrasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya, maka jarang sekali kasus-kasus korupsi yang muncul ke
permukaan. Era Reformasi memberikan harapan besar kepada rakyat untuk
sebuah pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Alhamdulillah, dalam masa pemerintahan yang sekarang ini sudah dimulai
penyingkapan kasus-kasus korupsi.
E. PENGAWASAN MASYARAKAF
4
Dalam sebuah negara, kita mengenal tiga lembaga yaitu legislatif,
eksekutif dan Yudikatif yang terkenal dengan nama Trias Politika. Secara teoritis,
ketiga lembaga tersebut diawasi oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara, tetapi dalam prakteknya, mekanisme pengawasan oleh
rakyat tersebut sering tidak berjalan dengan baik. PEnyebabnya antara lain karena
kurangnya kesadaran masyarakat secara umum tentang peran mereka sebagai
pengawas aparat negara dan kecenderungan sebagian orang yang hanya
mementingkan keselamatan diri sendiri. · di Indonesia, Secara teoritis juga
lembaga eksekutif atau pemerintah diawasi oleh lembaga legislatif atau DPR, dan
lembaga yudikatif (pengadilan) diawasi oleh Komisi Yudisial yang sudah
terbentuk. Pertanyaan yang timbul sekarang, lalu siapa yang mengawasi lembaga
legislatif? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat belakangan ini sebagian
anggota DPR mendapat sorotan masyarakat karena tindakan melanggar norma-
norma masyarakat dan/atau norma-norma hukum yang mereka lakukan.
4
Rifyal Ka'bah, “Korupsi Di Indonesia” Hukum dan Pembangunan. Vol.1,hlm 81
5
F. KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA
6
G. URGENSI HUKUMAN MATI
7
ke dalam wadah bersama itu. Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya
hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak
bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis
(undang-undang).
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
tersebut keberlakuannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Karena itu,
untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, seharusnya
dalam memahami ketentuan pidana atau hukuman mati di Indonesia tidak hanya
membaca ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945, tetapi harus pula
memperhatikan dan mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.
Jadi, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi bisa dibenarkan, baik
secara hukum (undang-undang) maupun secara kemanusiaan (kepentingan
publik). Hal ini mengingat kejahatan korupsi berkaitan dengan terampasnya hak
kesejahteraan masyarakat luas, sehingga penanganannya pun harus berorientasi
pada perlindungan hak publik tersebut. Sekiranya hukuman mati tidak memiliki
8
implikasi atau tidak ada nilainya bagi si pelaku, maka nilainya terletak pada
kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.5
H. TUJUAN PEMIDANAAN
5
Khaeron Sirin, “Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Korupsi Di Indonesia:
Analisis Pendekatan Teori Maqàshid Al-Syarì’ah”. Hukum Islam .Vol. 12 No. 1, Juni 2013
9
Ketiga teori diatas dapat dipadatkan menjadi dua golongan, yaitu teori
pembalasan dan teori kemanfaatan. Teori pembalasan lebih mengutamakan
kepentingan sikorban atau pihak yang dirugikan. Maka sebagai akibatnya si
narapidana harus menerima hukuman sebagai wujud pembalasan atas atas
kesalahannya.6
6
. Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Permasyarakatan
(Yogyakarta:Liberty,1985),hlm75-76
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
12