Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FAKTOR DAN PENYEBAB KORUPSI


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Korupsi
Dosen mata kuliah:Drs.Anasis, M.Ag.

DISUSUN OLEH : FERY ARGA SANDI


NIM : 1188030072
KELAS: SOSIOLOGI B/5

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PRODI SOSIOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji dan syukur kehadirat-Nya. Karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya penulis melalui tantangan dan hambatan.
Akan tetapi dengan kerja keras yang sangat baik, tantangan dan hambatan tersebut dapat
teratasi. Dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan laporan ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan tangan terbuka, kami menerima segala
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikanmanfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Belitung,5 Januari 2020

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

ii
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

A. Pengertian Korupsi......................................................................................................3
B. Kenapa Korupsi Terjadi...............................................................................................4
C. Aturan Tentang Pertanggung Jawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi......................5
D. Jenis Korupsi................................................................................................................6
E. Dampak Korupsi..........................................................................................................7

BAB III PENUTUP.......................................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi dari bahasa latin : corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.1 Secara harfiah
korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang
korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-
segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.

Korupsi bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul
dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi
hadiah kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan
(KPK, 2006: 1). Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil
korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai
Politik bukannya dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak,
melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana
korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-nilai
Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana
korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan
perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan
tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak hak ekonomi
masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan

1
biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”,tetapi
dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary crimes).

Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh
aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan
kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hukum disertai pola perbuatan yang
sedemikian rapi. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu
untuk mengantisipasi korupsi tersebut. Karena korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas
masalah, antara lain masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup serta budaya,
lingkungan sosial, sistem ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam menghadapi karakteristik
demikian maka salah satu cara memberantas tindak pidana korupsi yang selama ini diketahui
adalah melalui sarana hukum pidana sebagai alat kebijakan kriminal dalam mencegah atau
mengurangi kejahatan

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu korupsi?
2. Mengapa korupsi dapat terjadi ?
3. Apa aja aturan yang mengatur tentang korupsi ?
4. Apa saja jenis korupsi ?
5. Bagaimana dampak korupsi bagi masyarakat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari korupsi
2. Mengetahui penyebab terjadinya korupsi
3. Mengetahui aturan tentang korupsi
4. Mengetahui jenis jenis tindak pidana korupsi
5. Mengetahui dampak dari kasus korupsi bagi masyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.1
Korupsi juga berasal dari kata corrupt lis yang berarti perubahan tingkah laku dari
baik menjadi buruk (to change ji-om good to bad in morals. manners. or actions): rot. spoil7
(rontok, rusak); dan lain-lain. Secara hukum, korupsi adalah "sebuah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud memberikan keuntllngan yang tidak seslIai dengall tllgas resmi
dan hak orang lain" (an ael done H'ilh an intent to give sume advantage inconsistent with
official duty and the right of others) Pasal 2 ayat (I) UU No. 21 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa orang yang dapat dipidana
karena tindak pidana korupsi adalah "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka
memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka
yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan
terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian
sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna
kepentingan pribadi. Nye mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari
tugas formal sebagai pegawai publik untuk mendapatkan keuntungan finansial atau
meningkatkan status. Selain itu, juga bisa diperoleh keuntungan secara material, emosional,
atau pun simbol.2 Kata korupsi telah dikenal luas oleh masyarakat, tetapi definisinya belum
1
Muhammad Shoim, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga
Peradilan di Kota Semarang), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2009, hal 14
2
Nadiatus Salama, Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses Terjadinya Korupsi), Pusat Penelitian
IAIN Walisongo Semarang, 2010, h. 16-17.

3
tuntas dibukukan. Pengertian korupsi berevolusi pada tiap zaman, peradaban, dan teritorial.
Rumusannya bisa berbeda tergantung pada titik tekan dan pendekatannya, baik dari
perspektif politik, sosiologi, ekonomi dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan
dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah
secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh
Machiavelli, telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral
corruption).3

B. Kenapa Korupsi Terjadi


Korupsi terjadi karena beberapa hal Pertama, hal ini dikarenkan korupsi menyangkut
uang rakyat atau harta negara yang harus digunakan sesuai kehendak rakyat atau
peraturan perundang-undangan yang dibuat negara. Bila menyangkut uang atau kekayaan
pribadi, maka itu adalah kejahatan biasa yang disebut pencurian, penipuan. pcrampokan
dan lain-lain. Bila terbukti, maka kejahatan seperti ini dihukum dengan hukum biasa yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana biasa, Sementara itu. kejahatan korupsi
adalah kejahatan luar biasa yang harus ditangani secara Iuar biasa. melalui pengadilan
khusus. dengan hakim yang dilatih khusus. dan dengan hukuman yang lebih berat. Ini
antara lain dibunyikan dalam pertimbangan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. bahwa '''tindak
pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa." Dalam penjelasannya antara lain dinyatakan bahwa
"pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus. antara
lain penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada
terdakwa. " Kedua. korupsi adalah penyakit masyarakat yang akan menghancurkan
sebuah negara bila tidak segera dibendung. Sebagai penyakit, maka penyelesaiannya tidak
hanya dengan menghukum para pelakunya, tetapi tertama sekali adalah dengan
menyembuhkan penyakit masyarakat yang menyebabkan tingkah laku korup. Setelah
kejahatan korupsi ditumpas melalui penegakan hukum yang benar, maka tugas negara dan
masyarakat selanjutnya adalah membina masyarakat melalui pendidikan formal,
pendidikan masyarakat dan pendidikan rumah tangga . Membawa koruptor ke meja hijau
adalah sebuah tugas berat, dan membina masyarakat anti koruspi merupakan tugas yang
lebih berat lagi. Ketiga, korupsi melibatkan orang-orang yang seharusnya menjadi
panutan masyarakat karena mereka adalah tokoh yang dipilih dan terpilih, dari kalangan
3
Albert Hasibuan, Titik Pandang Untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h. 342-347.

4
terpelajar dan bahkan berpengetahuan seperti ulama, disumpah menurut agama dan
kepercayaannya sebelulll memangku jabatan, dan lain-lain. Membiarkan korupsi
merajalela akan melahirkan krisis kepercayaan, sikap putus asa, kehilangan
kepemimpinan publik dan lain-lain sehingga negara akan mati secara perlahan-Iahan.
Selanjutnya akan berlaku apa yang disebut "the decline of civilization" oleh Arnold .
Toyenbee dalam A Study of' History dan " peradaban tllmbuh silih berganti" seperti yang
diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah.
Selain hal itu Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat
mengedepankan ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang
bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka
seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, banyak orang yang mudah
tergoda dengan kekayaan. Persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan
seseorang, menyebabkan seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan
bagaimana kekayaan tersebut diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang
melakukan korupsi adalah (1) Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika, (2) tidak
adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi, (3) tidak adanya suatu sistem
pemerintahan yang transparan (good governance), (4) faktor ekonomi, (5) manajemen
yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien serta, (6)
Modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nila kehidupan yang berkembang dalam
masyarakat.4
C. Aturan Tentang Pertanggung Jawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-437 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi KUHP, selain itu ada juga
peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi diluar KUHP yaitu yang
terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia
seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UndangUndang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 1, 2 ,3 dan
4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia
sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi seperti yang terdapat dalam Pasal 23
4
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak pidana khusus, Sinar Grafika, Jakarta. hal 15

5
ayat 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 38 ayat 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan kesempatan banding tidak ada.
Perumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama yang terdapat dalam Pasal 1
ayat 1 butir a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penafsiran kata “menggelapkan” pada
delik penggelapan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP oleh yurisprudensi baik di Belanda
maupun di Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana
tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001. Pemeriksaan terhadap tindak
pidana korupsi dapat dilakukan melalui persidangan dan pemberian putusan juga dapat
dilakukan tanpa kehadiran terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat 1 sampai
dengan 4 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu pula bagi orang yang sudah meninggal
sebelum adanya putusan, tidak bisa diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi,
hakim atas tuntutan penuntut umum, dapat menuntaskan perampasan barang-barang yang
telah disita (Pasal 23 ayat 5 ).5 Dalam hal ini putusan bandingnya tidak ada karena orang
yang sudah meninggal tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan saat masih hidup,
namun pertanggung jawabannya hanya dibatasi sampai perampasan pada barang-barang
yang telah disita.
D. Jenis Korupsi
Jenis-jenis Korupsi Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam
tujuh jenis yang berlainan, yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan
timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada
pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,
kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.

5
Andi Hamzah, 2014, Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta. h.
82

6
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan
akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau
tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan
peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan pemerasan.
Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan oleh seseorang
seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan untuk
memperkuat korupsi yang sudah ada.
Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan dalam tiga
bentuk:
1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena mereka
mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya para
bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain
di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud agar dapat
mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau membuat keputusan yang
dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok.
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang
tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan
“nepotis” dan “kekerabatan”.
korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi dua yaitu:
a.Korupsi individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa
orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika
ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman yang bisa disudutkan, dijauhi, dicela, dan
bahkan diakhiri nasib karirnya.
b. Korupsi sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar (kebanyakan)
orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang).
E. Dampak Korupsi

7
Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena
telah terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Penyimpangan anggaran yang terjadi akibat korupsi telah menurunkan kualitas pelayanan
negara kepada masyarakat. Pada tingkat makro, penyimpangan dana masyarakat ke dalam
kantong pribadi telah menurunkan kemampuan negara untuk memberikan hal-hal yang
bermanfaat untuk masyarakat, seperti: pendidikan, perlindungan lingkungan, penelitian,
dan pembangunan. Pada tingkat mikro, korupsi telah meningkatkan ketidakpastian
adanya pelayanan yang baik dari pemerintah kepada masyarakat.6
Dampak korupsi yang lain bisa berupa:7
1. Runtuhnya akhlak, moral, integritas, dan religiusitas bangsa.
2. Adanya efek buruk bagi perekonomian negara.
3. Korupsi memberi kontribusi bagi matinya etos kerja masyarakat.
4. Terjadinya eksploitasi sumberdaya alam oleh segelintir orang.
5. Memiliki dampak sosial dengan merosotnya human capital.
Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan
pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan
publik terhadap proses politik melalui money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi
pengambilan keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik serta
menafikan the rule of law. Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek
pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah serta tidak sesuai dengan
kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat pembangunan jangka panjang
yang berkelanjutan.8
Dalam dunia birokrasi Kebocoran keuangan negara yang paling besar di
lingkungan lembaga negara adalah melalui Pengadaan Barang dan Jasa, lemahnya
pengawasan dan kurangnya penerapan disiplin serta sanksi terhadap penyelenggara
negara dalam melaksanakan tugas-tugas negara berdampak birokrasi pemerintahan
yang buruk.
Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan
mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Kehancuran birokrasi pemerintah
merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada
masyarakat. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam

6
Nadiatus Salama, op.cit., h. 25
7
ibid
8
bnu Santoso, Memburu Tikus-Tikus Otonom, Penerbit Gava Media, Yogyakarta, Cet I, 2011, h. 9

8
birokrasi. Tidak efisiennya birokrasi ini, menghambat masuknya investor asing ke
negara tersebut.
Negara yang tingkat korupsinya tinggi akan memiliki citra negatif dari negara
lain, sehingga kehormatan negara tersebut akan berkurang. Sebaliknya, negara yang
tingkat korupsinya rendah akan mendapat pandangan positif dari negara lain dan
memiliki citra yang baik di dunia internasional sehingga kedaulatan dan kehormatan
negara itu akan dilihat baik oleh negara lain. Bahkan, apabila negara memiliki tingkat
korupsi yang sangat rendah biasanya akan menjadi tempat studi banding dari negara
lain untuk memperoleh pembelajaran.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan
hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan kemampuan
berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hukum disertai pola perbuatan yang sedemikian
rapi.

Korupsi terjadi karena beberapa hal Pertama, hal ini dikarenkan korupsi menyangkut
uang rakyat atau harta negara yang harus digunakan sesuai kehendak rakyat atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat negara.

Kedua. korupsi adalah penyakit masyarakat yang akan menghancurkan sebuah negara
bila tidak segera dibendung.

Ketiga, korupsi melibatkan orang-orang yang seharusnya menjadi panutan masyarakat


karena mereka adalah tokoh yang dipilih dan terpilih, dari kalangan terpelajar dan bahkan
berpengetahuan seperti ulama, disumpah menurut agama dan kepercayaannya sebelulll
memangku jabatan, dan lain-lain.

Penyebab terjadinya korupsi yang banyak terjadi di Indonesia karena seseoarang


beranggapan bahwa jika kekayaan didapat maka orang tersebut dapat dikatakan sukses. Maka
dari itu orang akan melakukan cara apapun untuk mendapatkan kekayaan tersebut termasuk
dengan cara korupsi yang merugikan masyarakat banyak dan negara. Lemahnya pendidikan
agama, moral, dan etika juga merupakan penyebab lain yang mengakibatkan orang
melakukan korupsi.

Persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan


seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut
diperoleh.

10
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413- 437 KUHP,
selain itu ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di luar KUHP
yaitu yang terdapat pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari
hukum pidana umum, karena pelaku dalam tindak pidana korupsi tetap
mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun pelaku telah meninggal dunia tetapi
hanya dibatasi sampai perampasan pada barangbarang yang telah disita.

Jenis-jenis Korupsi Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam
tujuh jenis yang berlainan, yaitu:
6. Korupsi transaktif.
7. Korupsi yang memeras.
8. Korupsi investif.
9. Korupsi perkerabatan.
10. Korupsi defensive.
11. Korupsi otogenik.
12. Korupsi dukungan.
Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan dalam tiga bentuk:
1. Graft.
2. Briberry.
3. Nepotisme.
korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Korupsi individualis
2. Korupsi sistemik
Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah
terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penyimpangan
anggaran yang terjadi akibat korupsi telah menurunkan kualitas pelayanan negara kepada
masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA
Shoim Muhammad, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat
Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang,
2009.

Salama Nadiatus, Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses Terjadinya
Korupsi), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010.

Hasibuan Albert, Titik Pandang Untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.

Syamsuddin Aziz, Tindak pidana khusus, Sinar Grafika, Jakarta,2011.

Hamzah Andi, Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali
Pers, Jakarta, 2014

Santoso Ibnu, Memburu Tikus-Tikus Otonom, Penerbit Gava Media, Yogyakarta, Cet I, 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai