Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PBAK

DAMPAK KORUPSI

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6:

1. BETI OKTAVIANI

2. ELMIZA OCTAVIANA

3. EGGY ANUGRAH PRATAMA

4. FETI ANGGRAINI

5. IRA SARTIKA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

JURUSAN DIII ANALIS KESEHATAN

TAHUN AJARAN 2016/2017


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,

dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang dampak

korupsi.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan

terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki

makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang dampak korupsi dapat

memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bengkulu , 30 Agustus 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..…………………................................................................... i

Daftar Isi ….….………………......................................................................... ii

Bab I. Pendahuluan …….……..………............................................................ 1

1.1. Latar Belakang ………..…………………...................................................1

Bab II. Tinjauan Pustaka ………….……………………………………….... 4

Bab III Pembahasan ………………………………........................................... 7

3.1. Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi ...................………. ....................... 7

3.2. Dampak Korupsi Terhadap Sosial Kemiskinan ....................................... 14

3.3. Dampak Korupsi Terhadap Birokasi Pemerintahan …............................. 16

3.4. Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi ..…………............... 18

3.5. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum ………............................ 20

3.6. Dampak Korupsi Terhadap Pertahanan Keamanan .…............................ 21

3.7. Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan ……......................... 23

Bab IV Kesimpulan Dan Saran ........................................................................ 26

A. Kesimpulan ................................................................................................ 26

B. Saran ..............................................................................................………. 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari

sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih

berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab

korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah

faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari

aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku

misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong

seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi

misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas

politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen &

organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam

buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial

yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya

dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang

direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan

pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-
orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.

Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia

merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber

daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di

kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang

miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya

manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi

juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara

menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi

social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil

keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah

terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh

kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan

lainsebagainya di luar batas kewajaran.

Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di

seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu,

sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah

dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi

harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi

sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu

mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang

maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara
ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah

penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya

korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan

dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang

diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya

pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,

terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti

penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam

hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk

membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya

dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih

tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),

“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah

adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian.


Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia,

adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”.

Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk

kepentingan sendiri dan sebagainya;

2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

sebagainya; dan;

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah

sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi

menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan

instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena

pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan

ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie

adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah

korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang

berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang

kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and

deliction injurious to the economy are often labeled corrupt”.

Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan

kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang

menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi

merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai

macam modus.

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur

bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna

yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan

kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari

kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara

dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan

hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang

dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan

pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan

bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari

seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang

menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan

hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim

menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang

pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang

yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi

Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam

bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan

dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan,

misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan

mendorong terjadinya inefisiensi.

Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang

produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya

menyumbangkan negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost

memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh

konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada

kesejahteraan masyarakat yang turun.

Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan

pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal

ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.

Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses

demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa

transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka
atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi

dalam kasus Indonesia.

Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan

program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi

juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi

(2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi

dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa

mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia,

perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap

tenaga kerja).

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction

effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi

sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara

korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi,

pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan

kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi

memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi

korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif.

Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan

jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi,

yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan

maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi

yang semakin tertata, namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian

secara umum. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran
ekonomi, justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke

kantong pribadi pejabat.

Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila

korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak ekonomi yang akan terjadi,

yaitu:

1. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi

Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi

dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi

dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga

karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat

korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.

Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA)

yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana,

karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain

masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC (Political and Economic Risk

Consultancy) pada akhirnya hal ini akan menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia,

khususnya investasi asing karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal ini jelas karena

terjadinya tindak korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan yang secara langsung

maupun tidak mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk

menanamkan investasinya ke Indonesia.

Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional

meninggalkannya, karena investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena

memiliki ‘biaya siluman’ yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan

dampak korupsi pada pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara

langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi
ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu

negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.

2. Penurunan Produktifitas

Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat

disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan

terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan

pengembangan kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan

yang lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari

penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.

3. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik

Ini adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat kita yang tidak perlu terjadi

apabila kualitas jalan raya baik sehingga tidak membahayakan pengendara yang

melintasinya. Hal ini mungkin juga tidak terjadi apabila tersedia sarana angkutan umum yang

baik, manusiawi dan terjangkau. Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan

tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah

yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan

masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan

sekolah, merupakan serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat

korupsi. Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan

mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah tersedia

lebih banyak.

Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk

menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi berakibat
menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-

syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan,

lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan

pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran

pemerintah.

4. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak

Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat

penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa

publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi negara. Di

Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan

Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk

mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi pendapatan, di

mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan, dan

pembukaan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak

sangat penting bagi kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga

pada akhirnya.

Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa

banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan

pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila

ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat

juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak

ketidakadilan tersebut.

5. Meningkatnya Hutang Negara


Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua

negara termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa negara-negara tersebut

untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena

resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur

penting. Bagaimana dengan hutang Indonesia?

Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang

semakin besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang,

Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei 2011

mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah angka yang

fantastis. Hutang tersebut terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman sebesar US$69,03 miliar

(pinjaman luar negeri US$68,97 miliar) dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar

US$132,05 miliar. Berdasarkan jenis mata uang, utang sebesar US$201,1 miliar tersebut

terbagi atas Rp956 triliun, US$42,4 miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi

utang pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang

dibukukan pemerintah sebesar US$169,22 miliar (Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010,

jumlahnya kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar (Rp1.676,85 triliun). Posisi

utang pemerintah saat ini juga naik dari posisi per April 2011 yang sebesar US$197,97 miliar.

Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun, maka rasio utang

Indonesia tercatat sebesar 26%.

Sementara untuk utang swasta, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai

utang pihak swasta naik pesat dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722 miliar

pada kuartal I 2011 atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja, pinjaman luar negeri

swasta telah meningkat 12,6% atau naik dari US$75,207 pada kuartal I 2010. Dari total utang

pada tiga bulan pertama tahun ini, utang luar negeri swasta mayoritas disumbang oleh pihak
non-bank sebesar US$71,667 miliar dan pihak bank sebesar US$13,055 miliar

(www.metronews.com /read/news/ 2011,14 Juni 2011).

Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan

untuk kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan untuk

menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa

membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini

digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi secara besar-besara

3.2 Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi

Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India

menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia.

Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda.

Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik

yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor

indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss,

Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi

dengan berkurangnya korupsi.

Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap

pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun

1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah

tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi

2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat

merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi

tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu

negara.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi.

Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam

demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan

pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan

korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan

umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

3.3 Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum

Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya

Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang

tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal

ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai

dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat

prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan

ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun

keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika

melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu

hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat.

Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap

lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001

sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah

dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah

lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka

diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut

dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah

menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai

pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-

undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan

politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun

1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara

terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi

dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum

tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-

pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk

mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang

korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan

pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga

banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

3.4 Dampak Korupsi Terhadap Peratahanan dan Keamanan

Korupsi di Bidang Pertahanan dan Keamanan belum dapat disentuh oleh agen-agen

pemberantas kosupsi. Dalam bidang Pertahanan dan Keamanan, peluang korupsi, baik uang

maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan

di tubuh angkatan bersenjata dan kepolisian serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus

berhadapan dengan oknum TNI/Polri yang seringkali berlindung di balik institusi Pertahanan

dan Keamanan.

Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria

Samego (1998) mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
1. Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan

bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi

nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI

memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya

ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN

2. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para

pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang

lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit

secara keseluruhan.

3. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga

menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang

sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer,

mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI

memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.

4. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat

profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan

berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,

sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal

kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh

bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih

menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah

ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan

terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara

perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi

komersial.
3.5 Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan

Kebanyakan manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan

eksploitasi untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera

dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan lingkungan hidup

sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang

menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan

fatal yang berujung kepada berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun

dikuatkan oleh Emil Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus

dihadapi gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah

penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian meningkat, baik

air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua, merosotnya kualitas tanah dan hutan

akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan.

Ketiga, menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya habitat lingkungan berbagai tumbuh-

tumbuhan dan hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang terakhir adalah meningkatnya

jumlah kota-kota berpenduduk banyak.

Melihat kerusakan lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat

negara ini menindak dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan lingkungan,

terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah lingkungan hidup yang

patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari kalangan pemodal

besar seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di sektor kehutanan maupun

pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam

sebuah worksop investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-

perusahaan yang melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka

mengantongi izin usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah
proses kontrol administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut

beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat.

Lalu menurut beliau, perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun

pada RKAT tahun berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka

patut dicurigai perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka

tanam melainkan dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.

Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,

seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus

mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan

itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas

ganti rugi materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa

diperbaiki hanya dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja

kerusakan tersebut tidak akan bisa diperbaiki.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Semua bentuk korupsi dicirikan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap

kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan

keuntungan material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang

mencangkup penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme

Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran

terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara

dan publik.

4.2 Saran

Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat

memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar

kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang

intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.


DAFTAR PUSTAKA

MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari
Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana.

http://forester-untad.blogspot.co.id/2014/05/makalah-dampak-tindakan-korupsi.html.

http://nothing-page.blogspot.co.id/2013/09/korupsi-data-makalah.html.

Anda mungkin juga menyukai