Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH

LESI PRAKANKER SALURAN GENITAL, CA VULVA, CA VAGINA, CA SERVIX, CA


ENDOMETRIUM, CA UTERUS, CA OVARIUM SERTA PENDETEKSIANNYA,
KEMOTERAPI DAN RADIOTERAPI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliag Ginekologi


Dosen Pengampu : Ibu Seni Rahayu, SST., M.Keb.

Oleh :
VIVI ADRIYANI
P17324118009
TK.2B

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG

JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
benar.  Sholawat serta salam kita panjatkan kepada suri tauladan, Nabi besar kita Nabi
Muhammad SAW, tidak lupa pada keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Hanya dengan ridha Allah SWT, makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Ginekologi. Banyak hambatan dan masalah selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

Menyadari sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, wajar
kiranya ditengah penulisan makalah ini terdapat kekurangan.

Bandung, Maret 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................5
C. Tujuan.......................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. Lesi Prakanker Saluran Genital................................................................................................6
B. CA Vulva................................................................................................................................11
C. CA Vagina..............................................................................................................................15
D. CA Servix...............................................................................................................................20
E. CA Endometrium...................................................................................................................34
6. CA Uterus...............................................................................................................................37
7. CA Ovarium...........................................................................................................................44
8. Kemoterapi.............................................................................................................................56
9. Radioterapi.............................................................................................................................62
BAB III..........................................................................................................................................66
PENUTUP.....................................................................................................................................66
A. Kesimpulan.............................................................................................................................66
B. Saran.......................................................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................67

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan pertumbuhan sel-sel
jaringan tubuh tidak normal (tumbuh sangat cepat dan tidak terkendali),
menginfiltrasi/merembes, dan menekan jaringan tubuh sehingga mempengaruhi organ
tubuh. Penyakit kanker menurut Sunaryati merupakan penyakit yang ditandai
pembelahan sel tidak terkendali dan kemampuan selsel tersebut menyerang jaringan
biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis).
Penyakit kanker adalah penyakit yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel
jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker, sedangkan tumor adalah kondisi dimana
pertumbuhan sel tidak normal sehingga membentuk suatu lesi atau dalam banyak kasus,
benjolan di tubuh. Tumor terbagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Tumor
jinak memiliki ciri-ciri, yaitu tumbuh secara terbatas, memiliki selubung, tidak menyebar
dan bila di operasi, dapat dikeluarkan secara utuh sehingga dapat sembuh sempurna,
sedangkan tumor ganas memiliki ciri-ciri, yaitu dapat menyusup ke jaringan sekitarnya,
dan sel kanker dapat ditemukan pada pertumbuhan tumor tersebut.
Tumor adalah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara
autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda. Tuba atau
Tabung Fallopi, yang dikenal juga sebagai oviduk atau buluh rahim, adalah dua buah
saluran yang sangat halus yang menghubungkan ovarium dengan rahim. Tumor tuba
adalah sel tubuh yang tumbuh dan mengalami transformasi pada saluran telur atau
oviduk.
Tuba Fallopi, yang dikenal juga sebagai oviduk atau buluh rahim, adalah dua
buah saluran yang sangat halus dan tipis sebesar ujung pensil, yang menghubungkan telur
dengan rahim. Karena struktur tersebut, maka saluran ini dapat dengan mudah menjadi
tersumbat. Tuba fallopi panjangnya berkisar antara 7 hingga 14 cm. Ketika sebuah sel
telur (ovum) berkembang dalam sebuah indung telur (ovarium), ia diselubungi oleh
sebuah lapisan yang dikenal dengan nama follikel ovarium. Pada saat ovum mengalami

4
kematangan, folikel dan dinding ovarium akan runtuh, membuat ovum dapat berpindah
dan memasuki Tuba Fallopi. Dari sana perjalanan dilanjutkan ke arah rahim, dengan
bantuan pergerakan dari bulu-bulu tipis pada bagian dalam tuba/saluran ini. Perjalanan ini
menghabiskan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Jika ovum dibuahi ketika
berada di dalam Tuba Fallopi, maka ia akan menempel secara normal di dalam
endometrium ketika mencapai rahim, yang merupakan pertanda terjadinya kehamilan.
Terkadang embrio bukannya menempel pada rahim namun menempel pada Tuba Fallopi
sehingga menghasilkan kehamilan ektopik, yang lebih dikenal dengan “kehamilan di luar
kandungan.”
Tumor adneksa kebanyakan diakibatkan oleh infeksi yang menjalar ke atas dari
uterus, peradaangan ini menyebar ke ovarium, peritonium, pembuluh darah pelviks,
dimana kuman itu masuk ke organ pelviks selama hubungan seksual, persalinan, aborsi,
sebagai akibat dari tindakan (kerokan, laparatomi dan sebagainya).
Kanker Saluran Telur adalah tumor ganas pada saluran telur (tuba falopii). Kanker
tuba falopii sangat jarang terjadi, di seluruh dunia dilaporkan kasus sebanyak kurang dari
1500-2000. Kanker biasanya merupakan penyebaran dari organ lain (misalnya
ovarium/indung telur). Kanker saluran telur paling banyak ditemukan pada wanita pasca
menopause, tetapi bisa juga ditemukan pada wanita yang lebih muda. Kebanyakan kanker
saluran telur memiliki gambaran mikroskopik yang sama dengan kanker ovarium. Yang
paling sering ditemukan adalah adenokarsinoma.
Tumor ganas paling jarang diantara keganasan alat reproduksi wanita(<10%).
Ditemukan 1:1000 kasus operasi ginekologik abdominal, dapat dijumpai pada semua
umur (dari 19-80 tahun), dengan rata-rata puncaknya pada usia 52 tahun. Kejadian paling
sering adalah pada kelompok umur seperti pada karsinoma endometrium.
Vulva merupakan bagian luar dari sistem reproduksi wanita, yang meliputi labia,
lubang vagina, lubang uretra dan klitoris. Labia, lubang vagina, lubang uretra, dan klitoris
termasuk pada bagian vulva, bagian terluar dari vagina. Kanker vulva, menyerang pada
bagian tersebut. Kanker ini biasanya menyerang wanita yang telah menopause, tidak haid
lagi. Oleh karena itu, kanker ini banyak di idap perempuan berusia lebih dari 50 tahun.
Kanker vulva adalah suatu keganasan pada pertumbuhan sel pada areavulva yang
menyerang wanita berusia berkisar antara 50 – 70 tahun, umum ditemukan pada

5
penderita golongan sosial ekonomi rendah.Kanker vulva merupakan kanker ginekologi
keempat yang paling umum setelah kanker korpus uterus, ovarium, dan serviks dan
terdiri dari 4 persen keganasan pada saluran alat kelamin perempuan.
Kanker Vagina adalah tumor ganas pada vagina. Vagina adalah saluran sepanjang
7,5-10 cm; ujung atasnya berhubungan dengan serviks (leher rahim/bagian terendah dari
rahim), sedangkan ujung bawahnya berhubungan dengan vulva. Dinding vagina dilapisi
oleh epitelium yang terbentuk dari sel-sel skuamosa. Di bawah epitelium terdapat
jaringan ikat, otot involunter, kelenjar getah bening dan persarafan. Dinding vagina
memiliki banyak lipatan yang membantu agar vagina tetap terbuka selama hubungan
seksual atau proses persalinan berlangsung.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lesi prakanker pada saluran genital ?
2. Apa yang dimaksud dengan CA vulva ?
3. Apa yang dimaksud dengan CA vagina ?
4. Apa yang dimaksud dengan CA Servix ?
5. Apa yang dimaksud dengan CA Endometrium ?
6. Apa yang dimaksud dengan CA Uterus ?
7. Apa yang dimaksud dengan CA Ovarium ?
8. Apa yang dimaksud dengan Kemoterapi ?
9. Apa yang dimaksud dengan Radioterapi ?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu lesi pra kanker pada saluran genital.
2. Mengetahui apa itu CA vulva.
3. Mengetahui apa itu CA vagina.
4. Mengetahui apa itu CA Servix.
5. Mengetahui apa itu CA Endometrium.
6. Mengetahui apa itu CA Uterus.
7. Mengetahui apa itu CA Ovarium.
8. Mengetahui apa itu Kemoterapi.

6
9. Mengetahui apa itu Radioterapi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Lesi Prakanker Saluran Genital


Sebelum terjadinya kanker, akan didahului dengan keadaan yang disebut lesi pra
kanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). NIS merupakan awal dari perubahan
menuju karsinoma serviks uterus. Patogenesa NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum
penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia
berat dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma
invasif. Konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua
lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih
cukup banyak faktor berpengaruh (Andi, 2006)
Terminologi dari lesi preinvasif serviks telah mengalami perubahan beberapa kali.
Terminologi CIN dibagi menjadi 3 derajat:
1. C I N 1 - sesuai dengan displasia ringan (NIS 1)
2. CIN 2 - sesuai dengan displasia sedang (NIS 2)
3. CIN 3 - meliputi displasia berat dan ca insitu, karena acapkali patologis tidak dapat
membedakan keduanya secara tegas (NIS 3).

Terminologi NIS menegaskan kembali konsep bahwa lesi prekursor dari kanker
serviks membentuk suatu rangkaian proses yang berkelanjutan. Semua derajat dari lesi ini
mempunyai potensi untuk menjadi kanker serviks bila dibiarkan tanpa pengobatan.
Karena risiko untuk menjadi progresif dari semua tingkatan lesi prekursor ini tidak dapat
diketahui maka ditegaskan bahwa semua lesi NIS sebaiknya diobati.
Dengan meningkatnya pengertian terhadap biologi lesi preinvasif serviks, akhir-
akhir ini disepakati untuk mengganti ketiga istilah derajat dari CIN 1, 2, dan 3 menjadi
dua tingkatan saja. Agar penemuan histologi mempunyai korelasi dengan penemuan
sitologi maka salah satu klasifikasi yang digunakan mengikuti pembagian sitologi yang
diperkenalkan oleh Bethesda, dengan memakai istilah:

7
1. Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR), meliputi displasia ringan,
koilositotik atypia, koilositosis, flat kondiloma, dan NIS 1.
2. Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Tinggi (LISDT), meliputi NIS 2 dan NIS 3.
Dengan demikian, NIS 1 disebut juga sebagai NIS derajat rendah serta NIS 2 dan
3 disebut sebagai NIS derajat tinggi.
Sebagai tambahan, selain sel endoserviks yang atipik berat (AIS) juga dijumpai
sel endoserviks yang mengalami atipik lebih ringan yang dapat dijumpai pada serviks.
Untuk lesi yang atipiknya lebih ringan tersebut diberikan bermacam-macam nama,
seperti:
1. Endocervicaldysplasia atau atypical hyperplasia.
2. Ada yang menganalogikannya dengan lesi skuamosa serviks sehingga memberinya
nama Cervical Intraepithelial Glandular Neoplasia (CIGN) untuk semua lesi
noninvasif glandular. Dengan menggunakan istilah CIGN ini maka lesi atipikal
hiperplasia digolongkan ke dalam CIGN 1 atau CIGN 2, tergantung dari derajat atipik
dan derajat mitosisnya. Sedangkan AIS digolongkan pada CIGN 3.

Prevalensi NIS di Amerika Serikat pada perempuan yang menjalani skrining


kanker serviks sebesar 4 persen untuk NIS 1 dan 5 persen untuk NIS 2 dan 3. Lesi tingkat
tinggi biasanya didiagnosis pada wanita 25 sampai 35 tahun, sedangkan kanker invasif
lebih sering didiagnosis setelah usia 40, biasanya 8 sampai 13 tahun setelah diagnosis lesi
kelas tinggi. Pada negara yang berkembang seperti di Nigeria usia rata-rata untuk
neoplasia intraepithelial servikal ((NIS) adalah 37,6 tahun. NIS 1 menyumbang 3,6%,
NIS 2 0,8% dan NIS 3 hanya 0,4% (Adekunle, 2012).
Sekitar 15% displasia ringan akan berkembang menjadi displasia sedang, 30%
displasia sedang akan berkembang menjadi displasia berat dan 40% mengalami regresi
menjadi displasia ringan. 45% displasia berat akan berkembang menjadi karsinoma insitu
dan 20% mengalami regresi menjadi displasia sedang. Semua kasus karsinoma insitu
akan berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif kemudian invasif. Dari penelitian
histokimia sulit membedakan pada tingkat mana displasia menjadi irreversibel. Antara
displasia berat dan karsinoma insitu tidak ada perbedaan secara bermakna baik
histopatologi dan sitologi sehingga displasia berat dan karsinoma insitu dimasukkan
dalam NIS 3 (Fasiah, 2010).

8
Pada stadium displasia, masih dapat dilakukan upaya pencegahan, agar tidak
terjadi kanker invasif. Untuk itu diperlukan upaya-upaya deteksi dini baik melalui pap
smear, IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) maupun dengan ginoskop. Pada keadaan
dimana tenaga profesional masih terbatas, maka metode dengan memakai asam asetat 4%
tampaknya lebih feasible. Karena bisa dikerjakan oleh tenaga-tenaga para medis (bidan)
yang telah terlatih, hasilnya bisa langsung diberitahukan kepada pasien dan biayanya
lebih murah. Andrijono pada tahun 2007 melaporkan bahwa dengan metode ini
dilaporkan bahwa dari 100 penderita yang dinyatakan positif, 98 orang (98%) juga
dinyatakan positif dengan pemeriksaan kolposkopi (Andrijono, 2007).
Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa selain infeksi Human Papilloma
Virus (HPV), terdapat beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian pra lesi
kanker yang merupakan cikal bakal kanker serviks yaitu umur pertama kali melakukan
hubungan seksual/kawin usia dini, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan,
jumlah kehamilan, kontrasepsi hormonal, jumlah perkawinan, sosial ekonomi yang
rendah serta kebiasaan merokok (Stracan, 2004).
Berdasarkan faktor risiko kanker serviks yang dijelaskan sebelumnya dapat
digolongan wanita dengan risiko dan wanita tidak tanpa risiko kanker serviks. Wanita
dengan risiko yang indentik dengan pekerja sek komersial (PSK) jika didapati
melakukan hubungan seksual pada usia dini, adanya aktivitas seksual yang sering
berganti-ganti pasangan, kontrasepsi hormonal dan kebiasaan merokok. Sedangkan
wanita tanpa risiko yang indektik dengan ibu rumah tangga jika didapati menikah usia
dini, multiparitas, kontrasepsi hormonal dan sosial ekonomi rendah (pendapatan kurang
dari upah minimum provinsi).
Dalam pengelolaan lesi prakanker, pemilihan terapi harus dipertimbangkan secara
hati-hati, dengan melihat efektivitas terapi serta efek samping yang ditimbulkan.
Sebagian besar lesi NIS umumnya berukuran kecil dan terbatas pada ektoserviks dengan
kedalaman rata-rata 2-3 mm. Namun, sebagian kecil lesi dapat mencapai vagina bagian
atas serta dapat mencapai dasar lipatan (krypte) di kanalis servikalis yang kedalamannya
mencapai 7,8 mm.
1. Krioterapi

9
Merupakan salah satu terapi destruksi untuk pengelolaan lesi prakanker, dengan
mendinginkan serviks sampai temperatur mencapai 50oC di bawah nol yang akan
menyebabkan kematian sel. Akibat dari proses pendinginan tersebut, sel-sel jaringan
akan mengalami nekrosis. Proses nekrosis ini melalui perubahan tingkat vaskular dan
seluler, yaitu :
a. Sel mengalami dehidrasi dan mengerut.
b. Konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu.
c. Syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein.
d. Statis umum mikrovaskular.

Efek terapi dari krioterapi ini mencapai 80% dibandingkan dengan 95%
menggunakan CO2 laser.

Di samping dapat mengakibatkan nekrosis jaringan mencapai kedalaman 7 mm,


krioterapi merupakan metode pengelolaan lesi prakanker yang relatif sedikit
komplikasi dan relatif murah dibandingkan metoda destruksi lainnya. Di samping itu,
jika dilakukan secara tepat, insiden rekurensi displasia cukup rendah (0,41–0,44 %).
Meskipun demikian, semua masih tergantung dari besar lesi dan kedalamannya.
Dengan kata lain, krioterapi lebih tepat digunakan untuk lesi risiko rendah yang
persisten.10,11 Jadi, sebenarnya efektivitas dari krioterapi ditentukan oleh
temperatur yang ditimbulkan, waktu pendinginan, tipe dari probe, perluasan
pembentukan bunga es dari probe, serta ukuran dan grading dari lesi. Dibandingkan
dengan jaringan lain, jaringan epidermal dan lemak mempunyai kemampuan yang
lebih baik dalam merespons pendinginan pada kondisi -90o C sampai -25o C.

Prosedur krioterapi ini hanya mengakibatkan nekrosis jaringan dengan kedalaman


5 – 6 mm, dengan maksimum kedalaman 7,8 mm. Dengan demikian, jika lesi
melibatkan glandula serviks, belum tentu dapat dicapai dengan metode ini. Di
samping itu, sambungan skuamo-kolumner akan tertarik ke dalam kanalis
endoserviks sesudah krioterapi. Hal ini akan menyulitkan saat dilakukan kolposkopi
dan evauasi Papsmear. Keadaan ini tidak terjadi jika dilakukan dengan CO2 laser.
Diketahui bahwa proses re-epitelisasi sering dimulai dari sambungan
skuamokolumner. Kerugian lain adalah jika proses CIN tidak seluruhnya dapat

10
tercapai oleh metode krio, proses akan berlanjut ke dalam menjadi lebih progresif
dan tidak terdeteksi oleh kolposkopi atau sitologi.10-12 Untuk lesi besar dan luas
mencapai lebih dari 30 mm, lesi displasia moderat, dan karsinoma in situ, krioterapi
tidak menguntungkan dibanding dengan laser. Jika dibandingkan dengan laser ablasi,
kegagalan krioterapi lebih besar, 25% untuk krioterapi dan 7,7% untuk laser ablasi.

2. Carrbon Dioxide Laser


Ini merupakan suatu metode penyinaran dengan energi tinggi secara langsung ke
target jaringan. Pada saat penyinaran itu, cairan intrasel akan mendidih dan menguap
dari sel. Seluruh daerah transformasi dan bagian yang dicurigai diharapkan akan
terjadi perubahan karena dirusak. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap
karena cairan intrasel mendidih, sedangkan jaringan di bawahnya mengalami
nekrosisi. Penyembuhan luka juga cepat dan komplikasi yang terjadi tidak lebih berat
dibanding krioterapi atau konisasi. Keberhasilan laser terapi ini tergantung pada
kekuatan dan lamanya penyinaran. Laser terapi ini dapat mencapai pengobatan pada
semua tingkat displasia hingga mencapai 95%. Untuk CIN I dan II dapat mencapai
tingkat kesembuhan 84%, sedangkan angka kegagalan terapi hanya 6% dibanding
29% krioterapi. Untuk lesi kurang dari 30 mm, kegagalan terapi hampir sama jika
dibandingkan dengan krioterapi. Tetapi, jika lesi lebih dari 30 mm, kegagalan terapi
8% dibanding dengan krioterapi yang mencapai 38%.
Keuntungan penggunaan laser dalam pengelolaan CIN ini antara lain:
a. Kerusakan jaringan dapat ditentukan dengan tepat, baik luas maupun
kedalamannya.
b. Penyembuhan luka lebih cepat.
c. Tidak mengubah SSK.
d. Keluhan yang ditimbulkan sedikit.
e. Dapat digunakan pada lesi di vagina karena tidak menimbulkan jaringan parut.
3. Elektrokauter
Diketahui bahwa elektrosurgeri mempunyai 3 fungsi, yaitu diseksi, fulgurasi, dan
desikasi. Elektrokauter merupakan teknik destruksi jaringan dengan menggunakan
panas antara 400oFsampai 1500o F. Elektrokauter ini juga efektif untuk 2/3 CIN 3,
lesi yang melibatkan multipel kuadran dari serviks serta lesi yang mencapai kanalis

11
endoserviks. Tetapi, elektrokauter ini lebih efektif digunakan pada lesi CIN 1,
terutama sewaktu melakukan pemeriksaan kolposkopi. Elektrokauter ini tidak efektif
untuk lesi dengan kedalaman lebih dari 3 mm2.
4. Elektrokoagulasi
Pada CIN 1-2 dapat dilakukan meskipun lesi luas dan telah mencapai kanalis
servikalis. Hal inilah yang membedakannya dengan penggunaan krioterapi.
Sedangkan pada CIN III dilakukan bila ada kontraindikasi operasi, serta dapat
dilakukan pada lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis. Laser dan
elektrosurgeri mempunyai prinsip efek biologi yang sama, di mana cairan seluler
mendapat pengaruh panas yang hebat dan mengakibatkan membran sel pecah. Proses
ini terjadi pada saat cutting , sedangkan pada proses koagulasi terjadi proses
dehidrasi yang lebih lambat.

B. CA Vulva
1. Definisi
Kanker vulva adalah keganasan ginekologi yang jarang pada wanita, Pasien
sering datang dengan keluhan nyeri di vulva, terasa gatal, keputihan dan atau
perdarahan, adanya benjolan di vulva dan atau lipatan paha, serta adanya limfedema
tungkai bawah.
2. Epidemiologi
Jumlah penderita kanker vulva sekitar 3-5% dari semua keganasan pada organ
reproduksi wanita. Angka tersebut mewakili sekitar 1-2% jumlah kanker pada wanita.
Di Amerika Serikat, angka insidensi kanker vulva adalah 1/100.000 penduduk.2,3
Jumlah penderita kanker vulva mencapai 3.580 pasien pada tahun 2009, dengan
angka mortalitas sekitar 900 pasien di tahun yang sama.
3. Etiologi
Etiologi kanker vulva masih belum diketahui secara pasti, namun diketahui bahwa
faktor risiko kanker vulva adalah multifactorial.
4. Faktor resiko
a. Usia lanjut. Median usia pasien yang terdiagnosis kanker vulva adalah 70 tahun.
Namun demikian, terdapat sebagian pasien yang menderita kanker vulva pada

12
usia yang lebih muda. Hal ini dikaitkan dengan adanya faktor risiko lainnya, yaitu
infeksi human papilloma virus (HPV) dan adanya vulvar intraepithelial neoplasia
(VIN).
b. Infeksi HPV subtipe 16, 18 dan 31.
c. Lesi Prekanker / Preinvasive Lessions, dapat berupa vulvar intraepithelial
neoplasia (VIN), Bowen disease dan Paget disease.
d. Merokok.
e. Imunodefisiensi. Penurunan fungsi imunitas pada pasien akan berdampak pada
proses-proses infeksi HPV yang lebih agresif.2-5
f. Lichen Sclerosis. Lichen sclerosis adalah kondisi di mana kulit vulva menjadi
lebih tipis dan gatal, biasanya diikuti dengan adanya macula. Penyebab lichen
sclerosis belum diketahui secara pasti. Sekitar 4% wanita dengan lichen sclerosis
akan berkembang menjadi kanker vulva.
5. Patologi
Sebanyak 80-90% kanker vulva jenisnya adalah karsinoma sel skuamosa. Selain
itu, terdapat jenis histopatologi lainnya, seperti tumor pada kelenjar vestibuler
(kelenjar Bartholin) yang kebanyakan berupa adenokarsinoma dan karsinoma adenoid
kistik. Jenis patologi lain yang lebih jarang adalah melanoma, karsinoma sel basal,
karsinoma neuroendokrin, karsinoma sel Merkel dan sarkoma.
6. Rute Penyebaran
Kanker vulva menyebar melalui 3 jalur: ekstensi lokal, penyebaran lokoregional
terutama secara limfatik, dan metastasis jauh terutama melalui jalur hematogen.
Namun penyebaran melalui jalur hematogen ini lebih sedikit dari dua cara yang
lainnya.3,4 Ekstensi lokal kanker vulva secara umum dengan pola dari distal ke
proksimal, yaitu dari vulva ke distal vagina dan uretra. Penyebaran ke arah lain, yaitu
ke anus, akan memperburuk prognosis dan sudah termasuk dalam Stadium II.
Kelenjar getah bening yang termasuk regional kanker vulva antara lain adalah
KGB inguinal, KGB femoralis, KGB obturator dan KGB iliaka eksterna. Risiko
keterlibatan KGB inguinofemoral adalah sekitar 1050%, dan pada KGB pelvis sekitar
5%. Skematik rute aliran KGB regional pada vulva dapat dilihat pada Gambar 5.
Penyebaran ke KGB dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran tumor yang besar

13
(bulky) ke dalam invasi (>1 mm) dan adanya invasi limfovaskular. Terdapat risiko
penyebaran ke KGB kontralateral sekitar 15% yang bahkan tanpa keterlibatan KGB
ipsilateralnya.2,3 Risiko adanya penyebaran jauh sekitar 66% bila terdapat
keterlibatan >3 KGB regional.
7. Diagnosa
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Keluhan pasien dengan kanker vulva secara umum adalah nyeri,
perdarahan, keputihan, gatal, kulit menjadi tebal atau kasar, dan adanya benjolan
pada vulva. Pada kasus kanker vulva dengan stadium yang lebih lanjut, dimana
ekstensi kanker sudah mencapai uretra, vagina ataupun anus, pasien dapat datang
dengan keluhan seperti gangguan buang air kecil dan buang air besar, serta
gangguan pada saat berhubungan seksual. Sebagian kecil pasien terdapat keluhan
tungkai bengkak, karena penyumbatan pada KGB inguinal.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi dan
periksa dalam. Pada inspeksi, dapat ditemukan adanya benjolan pada vulva,
dengan ukuran bervariasi, tunggal ataupun multipel, dapat eksofitik maupun
endofitik. Pemeriksaan palpasi dilakukan untuk menilai konsistensi tumor, apakah
keras atau lunak, mengetahui ekstensi tumor pada jaringan sekitarnya, yaitu
vagina, uretra dan anus, serta adanya pembesaran KGB inguinal. Pada
pemeriksaan dalam dapat diketahui ukuran klinis tumor dan adanya keterlibatan
vagina bagian proksimal serta serviks. Hasil pemeriksaan dalam dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam perencanaan booster radiasi eksterna atau brakiterapi
paska radiasi eksterna, terutama bila tumor yang tampak sudah mengecil atau
bahkan sudah tidak ada lagi.
b. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada kanker vulva berupa:
1) FNAB: pemeriksaan jarum halus untuk mendapatkan aspirat sampel yang
diperiksa untuk mengetahui jenis sel kanker. FNAB dapat diperiksa pada
massa yang dicurigai sebagai kanker vulva maupun pada KGB, terutama
inguinal yang mengalami pembesaran.7,8
2) Pap smear dapat diperiksa untuk mengetahui adanya keterlibatan serviks pada
pasien dengan kanker vulva. Selain itu, pada kanker vulva dengan stadium

14
lanjut lokal, dapat dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi sesuai
dengan indikasi kecurigaan keterlibatan pada organ tersebut.7,8
3) CT scan dan MRI pelvis dilakukan untuk mengetahui ukuran tumor dan
ekstensinya ke organ sekitarnya. MRI lebih unggul dalam memberikan
gambaran yang lebih tepat pada jaringan lunak dari pada CT scan. Selain itu,
pemeriksaan CT scan dan MRI pelvis juga dapat memberikan data mengenai
keterlibatan KGB regional pada kanker vulva.
8. Stadium kanker vulva
a. I Tumor hanya terbatas pada vulva atau pada vulva dan perineum, dan belum
menyebar.
b. IA Tumor hanya terbatas pada vulva atau vulva dan perineum, berukuran 2 cm
atau kurang, belum menyebar dan tidak lebih dalam dari 1 mm
c. IB Tumor berukuran lebih besar dari 2 cm atau lebih dalam dari 1mm, tapi hanya
terbatas pada vulva atau vulva dan perineum
d. II Tumor ukuran berapapun yang sudah menyebar ke struktur terdekat sekitarnya,
termasuk bagian terbawah uretra, vagina, atau anus. Belum ada penyebaran ke
KGB atau bagian lain dari tubuh.
e. III Kanker telah menyebar ke jaringan sekitarnya, seperti vagina, anus, atau
uretra, dan ke KGB lipat paha. Tidak terdapat metastasis jauh.
f. IIIA Kanker telah menyebar ke jaringan sekitarnya (vagina, anus, atau uretra).
Terdapat 1 atau 2 metastasis ke KGB, tapi berukuran kurang dari 5 mm, atau
terdapat 1 metastasis berukuran 5 mm. Tidak terdapat metastasis jauh.
g. IIIB Kanker telah menyebar ke jaringan sekitarnya (vagina, anus, atau uretra).
Terdapat 3 atau lebih metastasis ke KGB, namun berukuran kurang dari 5 mm,
atau terdapat 2 atau lebih metastasis berukuran 5 mm. Tidak terdapat metastasis
jauh.
h. IIIC Kanker telah menyebar ke jaringan sekitar (vagina, anus, atau uretra) dan ke
1 atau lebih KGB dan kapsul KGB sekitarnya, atau menyelimutinya. Tidak
terdapat metastasis jauh.
i. IV Kanker telah menyebar ke bagian atas vagina atau bagian bawah uretra, atau
telah menyebar ke bagian yang jauh di tubuh.

15
j. IVA Tumor telah menyebar ke bagian atas uretra, vagina, atau anus; kanker telah
menyebar ke KGB regional dan menyebabkan ulserasi; atau telah melekatkan
KGB ke jaringan di bawahnya. Tidak terdapat metastasis jauh.
k. IVB Kanker telah menyebar ke bagian yang jauh di tubuh.
9. Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Tindakan pembedahan pada kanker vulva berupa vulvektomi atau wide
eksisi dengan limfadenektomi KGB inguinofemoral. Indikasinya adalah kanker
vulva dengan stadium T1-T2 (operable). Pada kanker vulva stadium lebih lanjut
atau yang inoperable dapat diberikan kemoradiasi terlebih dahulu. Bila respon
tumor terhadap kemoradiasi baik dan tumor menjadi operable, dapat
dipertimbangkan tindakan pembedahan.
Minimal margin tumor pada tindakan pembedahan adalah 8 mm
berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi. Margin minimal 8 mm dari
tumor lokal dapat meminimalisir kekambuhan lokal. Pada kanker vulva yang
invasi terdalamnya >1 mm, dianjurkan dilakukan diseksi KGB inguinal superfisial
dan profunda.3,6
b. Kemoterapi
Kemoterapi bersama dengan radiasi (kemoradiasi) berperan sebagai terapi
ajuvan paska operasi. Namun pada kanker vulva yang inoperable, kemoradiasi
dapat berperan sebagai terapi induksi atau sebagai terapi definitif. Sedangkan
pada stadium lanjut dengan metastasis jauh, kemoterapi menjadi terapi pilihan
utama. Regimen kemoterapi pilihan pada kanker vulva adalah 5-FU dan
Mitomycin C, atau cisplatin dan 5-FU.
c. Radiasi
Radiasi dapat berperan sebagai terapi ajuvan paska operasi, atau sebagai
menjadi pilihan terapi induksi bersama dengan kemoterapi (kemoradiasi). Radiasi
juga dapat berperan dalam terapi paliatif pada kanker vulva stadium lanjut,
terutama untuk mengatasi keluhan nyeri dan perdarahan. Radiasi dapat diberikan
dengan teknik 2D, 3D atau IMRT, tergantung dari stadium dan ekstensi tumor.

16
Brakiterapi interstisial dapat menjadi pilihan teknik radiasi bila tumor inoperable
dengan invasi tumor yang dalam.

C. CA Vagina
1. Pengertian CA Vagina
Kanker Vagina adalah tumor ganas pada vagina. Vagina adalah saluran sepanjang
7,5-10 cm; ujung atasnya berhubungan dengan serviks (leher rahim/bagian terendah
dari rahim), sedangkan ujung bawahnya berhubungan dengan vulva. 
Dinding vagina dilapisi oleh epitelium yang terbentuk dari sel-sel skuamosa. Di
bawah epitelium terdapat jaringan ikat, otot involunter, kelenjar getah bening dan
persarafan. Dinding vagina memiliki banyak lipatan yang membantu agar vagina
tetap terbuka selama hubungan seksual atau persalinan berlangsung. Ada beberapa
jenis kanker vagina: 
a.Karsinoma sel skuamosa (85-90%)
Berasal dari lapisan epitelium vagina. Lebih banyak ditemukan di vagina
bagian atas. Kanker vagina yang bermula di sel-sel tipis dan datar yang melapisi
permukaan vagina. Jenis ini merupakan jenis yang paling sering terjadi,
walaupun kanker vagina sendiri merupakan kanker yang jarang terjadi.
Karsinoma skuamosa biasanya ditemukan pada wanita berusia 60-80
tahun. Karsinoma verukosa adalah sejenis karsinoma sel skuamosa yang
tumbuhnya lambat. Karsinoma ini tumbuh ke arah rongga vagina dan tampak
seperti kutil atau bunga kol.
Karsinoma sel skuamosa tidak tumbuh secara tiba-tiba, kanker ini
berkembang selama bertahun-tahun dari suatu perubahan prekanker pada vagina
yang disebut neoplasi intraepitel vagina(NIVA). 
b. Adenokarsinoma (5-10%) 
Adenokarsinoma paling sering terjadi pada wanita berusia 12-30 tahun. 
Kanker vagina yang bermula di sel-sel kelenjar pada permukaan vagina.
c. Melanoma maligna (2-3%)
Berasal dari sel-sel penghasil pigmen, lebih banyak ditemukan di vagina
bagian bawah. 
d. Sarkoma (2-3%) 

17
Kanker ini tumbuh jauh di dalam dinding vagina, bukan pada epitelium.
Kanker vagina yang berkembang pada sel-sel jaringan penghubung atau sel-sel
otot pada dinding vagina.
Ada beberapa jenis sarkoma, yang paling sering ditemukan
adalah leiomiosarkoma, yang menyerang wanita berusia 50 tahun ke
atas. Rabdomiosarkoma adalah kanker pada masa kanak-kanak, biasanya terjadi
sebelum usia 3 tahun. Sel-selnya mirip dengan sel otot volunter, yang merupakan
suatu jaringan yang dalam keadaan normal tidak ditemukan pada dinding vagina.

2. Etiologi
Penyebab munculnya kanker pada vagina masih belum diketahui dengan pasti.
Secara umum, kanker muncul ketika sel-sel pada bagian tubuh berubah atau
mengalami mutasi, yang membuat sel tersebut membelah serta memperbanyak diri
terlalu cepat dan tidak terkendali.

3. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya kanker vagina: 
a. Usia 
Sekitar 50% penderita karsinoma skuamosa adalah wanita berusia 60 tahun
keatas. Sebagian besar kasus kanker vagina ditemukan pada wanita yang berusia
50-70 tahun.
b. DES (dietilstilbestrol) 
DES adalah suatu obat hormonal yang banyak digunakan pada tahun 1940-1970
untuk mencegah keguguran pada wanita hamil. Sebanyak 1 diantar 1000 wanita
yang ibunya mengkonsumsi DES, menderita adenokarsinoma sel bersih pada
vagina maupun serviks. Resiko tertinggi terjadi jika ibu mengkonsumsi DES
pada usia kehamilan 16 minggu.2
c. Adenosis vagina 
Dalam keadaan normal vagina dilapisi oleh sel gepeng yang disebut sel
skuamosa. Pada sekitar 40% wanita yang telah mengalami menstruasi, pada
vagina bisa ditemukan daerah-daerah tertentu yang dilapisi oleh sel-sel yang

18
serupa dengan sel-sel yang ditemukan di dalam kelenjar rahim bagian bawah
dan lapisan rahim. Keadaan ini disebut adenosis. 
Hal tersebut terjadi pada hampir semua wanita yang terpapar oleh DES selama
perkembangan janin.
d. Infeksi HPV (human papiloma virus)
HPV adalah virus penyebab kutil kelamin yang ditularkan melalui hubungan
seksual.
e. Hubungan seksual pertama pada usia dini
f. Berganti-ganti pasangan
g. Melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan
h. Kanker serviks
i. Iritsi vagina

4. Diagnosis
a. Tanda dan Gejala :
Kanker vagina menyebabkan kerusakan pada lapisan vagina dan
menyebabkan terbentuknya luka terbuka yang bisa mengalami perdarahan dan
terinfeksi. Penderita mungkin juga mengalami perdarahan melalui vagina
(seringkali setelah melakukan hubungan seksual) atau dari vaginanya keluar
cairan encer. Jika kanker berukuran besar bisa mempengaruhi fungsi kandung
kemih dan rektum sehingga penderita mengalami urgensi untuk berkemih dan
mengalami nyeri ketika berkemih. Gejala lainnya adalah keluar cairan abnormal
dari vagina, terasa ada benjolan, nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Pada
kanker stadium lanjut akan timbul nyeri ketika berkemih, sembelit dan nyeri
panggul yang menetap. 
b. Pemeriksaan fisik :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan panggul akan teraba adanya benjolan. 
c. Pemeriksaan penunjang:
 Kolposkopi (pemeriksaan dinding vagina dengan bantuan kaca pembesar).

19
 Biopsi (pemeriksaan mikroskopik terhadap contoh jaringan vagina).
 Secara histologik, sekitar 80% kasus kanker vagina merupakan karsinoma
sel skuamosa
d. Stadium kanker vagina
Stadium kanker vagina dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
klinis, jika terdapat indikasi dapat dilakukan sistoskopi, anoskopi/proktoskopi,
dan rontgen paru, CT Scan, MRI, dan limfangiografi.

Tabel 1. Klasifikasi Stadium Kanker Vagina

Stadium Kanker Klasifikasi

Stadium 0 Karsinoma in situ


Stadium I Karsinoma terbatas pada dinding vagina
Stadium II Karsinoma meliputi jaringan subvagina tetapi tidak
sampai dinding pelvis
Stadium III Karsinoma meluas hingga ke dinding pelvis
Stadium IV Karsinoma meluas ke pelvis atau sampai ke mukosa
kandung kemih atau rectum, edema bulosa tidak
termasuk kasus yang banyak pada stadium IV
IV A Tumor menginvasi kandung kemih dan/ atau mukosa
rectum dan/atau ekstensi langsung ke pelvis
IV B Menyebar ke organ lain

5. Tatalaksana
Pemilihan pengobatan kanker vagina tergantung dari seberapa jauh penyebarannya.
Berikut ini adalah tiga jenis penanganan kanker vagina:
a. Radioterapi
Ini merupakan cara penanganan utama untuk kanker vagina. Ada dua jenis
radioterapi, yaitu:

20
 Radioterapi eksternal. Mesin radioterapi akan menembakkan sinar berenergi
tinggi ke vagina dan panggul.
 Radioterapi internal. Material radioaktif akan ditanam sementara di area vagina.
Radioterapi internal hanya dapat dilakukan pada kanker vagina stadium awal.
b. Pembedahan
Ada empat jenis pembedahan untuk menangani kanker vagina, yaitu:
 Mengangkat tumor. Tindakan ini dilakukan dengan hanya mengangkat tumor
dan sebagian jaringan vagina yang sehat.
 Vaginektomi parsial. Ini merupakan pembedahan untuk mengangkat sebagian
dari vagina.
 Vaginektomi radikal. Ini merupakan pembedahan untuk mengangkat seluruh
vagina. Vaginektomi dan histerektomi radikal. Ini merupakan pembedahan untuk
mengangkat seluruh vagina, rahim, indung telur, saluran indung telur, dan
kelenjar getah bening panggul.
 Pelvic exenteration. Ini merupakan histerektomi yang dikombinasi dengan
pembedahan untuk mengangkat jaringan tubuh di sekelilingnya, termasuk
kandung kemih dan usus bagian bawah. Lubang buatan (stoma) akan dibuat
sebagai tempat pembuangan urine dan feses.
c. Kemoterapi
Belum jelas manfaat kemoterapi untuk kanker vagina, tetapi biasanya kemoterapi
digunakan sebagai kombinasi dengan radioterapi untuk menguatkan efek
radioterapi. Selain itu, kemoterapi juga digunakan untuk membunuh sel kanker
yang sudah menyebar ke daerah lain.

D. CA Servix
1. Definisi
Kanker leher rahim adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Tanpa memandang usia dan latar belakang, setiap perempuan berisiko terkena kanker
yang disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Kanker serviks adalah
penyakit kanker terbanyak kedua di seluruh dunia yang mencapai 15% dari seluruh
kanker pada wanita dan menyebabkan kematian 300.000 perempuan setiap tahunnya

21
dengan sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Andrijono,
2007).
Kanker ini merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Insiden kanker serviks di Indonesia belum
diketahui, akan tetapi diperkirakan terdapat 180.000 kasus kanker baru pertahunnya
dan angka kematiannya diduga mencapai 75% dalam tahun pertama. Kematian ini
terutama dihubungkan dengan sebagian besar stadium kanker serviks (70% kasus)
adalah stadium invasif, lanjut dan bahkan stadium terminal pada saat diagnosis
ditegakkan. Berdasarkan data dari instalasi Patologi Anatomi FK UNSRI/RSUP Dr.
M. Hoesin urutan kanker terbanyak pada wanita adalah kanker servik. Kankers
serviks dalam periode 1997–2001 masih menduduki peringkat pertama kanker pada
wanita yaitu sebanyak 285 kasus (23,85 %) dan berikutnya adalah kanker payudara
yaitu 23,1 %. Kanker serviks banyak ditemukan pada usia produktif 35–54 tahun,
yaitu sebanyak 65,60%.
2. Epidemiologi
Berdasarkan data Globocan tahun 2012, kanker serviks menempati urutan
keempat penyakit keganasan setelah kanker payudara, kolon, dan lambung. Angka
kejadian kanker serviks mencapai 528.000 kasus baru, dan menyebabkan kematian
sebanyak 266.000 jiwa di seluruh dunia. Negara berkembang menyumbangkan lebih
dari 84,2% jumlah kasus.1Menurut data dari WHO tahun 2004, dari semua kasus
kanker serviks di dunia, 40% terdapat di Asia Tenggara.
Angka insidensi kanker serviks di Asia Tenggara mencapai 15,8 per 100.000
penduduk pada tahun 2011, sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2008. Pada tahun 2010, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter
Spesialis Patologi Indonesia mencatat bahwa kanker serviks menempati urutan kedua
dari kasus keganasan pada perempuan di Indonesia. Di Indonesia, tercatat sebanyak
15.000 kasus baru dan terjadi kematian sebanyak 7.500 jiwa setiap tahunnya. Sistem
registrasi kanker Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) pada tahun 2013
menunjukkan terdapat 446 kasus baru kanker serviks di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo.

22
Di regional Asia Tenggara, kebanyakan penemuan kasus kanker serviks adalah
stadium lanjut (IIB-IVB). Di Indonesia, 70% pasien kanker serviks datang pada
stadium lanjut (diatas stadium IIB) yang memiliki tingkat kelangsungan hidup
rendah. Berdasarkan data registrasi kanker HOGI tahun 2013, 76,68% kasus baru
kanker serviks di RSCM adalah stadium lanjut.
Dalam usaha menurunkan angka kejadian kanker serviks, hal yang paling penting
untuk dilakukan adalah diagnosis sedini mungkin, dan memberikan terapi yang
efektif. Rendahnya angka kejadian dan angka kematian kanker serviks di negara maju
disebabkan karena program deteksi dini berhasil dijalankan dengan baik.Sedangkan
di negara berkembang masih kurangnya kesadaran akan kanker serviks di dalam
populasi, tenaga kesehatan, dan pembuat kebijakan, cakupan perempuan risiko tinggi
untuk deteksi dini kanker serviks masih kurang, terbatasnya akses menuju tenaga
kesehatan, dan kurang baiknya sistem rujukan, membuat angka kejadian kanker
serviks di negara berkembang masih cukup tinggi.
Di sisi lain, kanker serviks merupakan kanker ginekologik yang angka
kejadiannya seharusnya rendah karena dapat dideteksi sedini mungkin. Hal ini
disebabkan karena insiden atau prevalensi cukup tinggi di masyarakat, perkembangan
penyakit cukup lama, terdapat beberapa teknik pemeriksaan yang sensitif dan
spesifik, serta terdapat cara pengobatan yang efektif.
3. Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus Human Papillomavirus
(HPV). Lebih dari 90% kanker sel skuamosa serviks mengandung DNA virus HPV.
HPV adalah virus DNA yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal
dan mukosa. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual. Terdapat lebih
dari 120 tipe HPV yang telah teridentifikasi, dimana 30 diantaranya menginfeksi
epitel skuamosa anogenital bagian bawah laki-laki dan perempuan. Adanya HPV
berkaitan dengan meningkatnya risiko NIS derajat tinggi hingga 250 kali lipat.
Tipe HPV yang berhubungan dengan NIS dan kanker serviks, yang disebut juga
tipe risiko tinggi, antara lain HPV 16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58, 59, 66, dan 68.
Di Indonesia, tipe virus yang menyebabkan kanker adalah tipe 16, 18, dan 52. Tipe
16 adalah yang paling sering ditemukan pada kanker invasif, NIS 2, dan NIS 3,

23
dimana 47% perempuan dengan diagnosis tersebut ditemukan HPV tipe 16.
Dibandingkan tipe 16, tipe 18 lebih spesifik pada kanker invasif karena hanya
ditemukan kurang dari 2% pada perempuan dengan sitologi normal dan hanya 5%
ditemukan pada lesi derajat rendah. Sedangkan tipe HPV yang tidak berhubungan
dengan keganasan, yang disebut juga tipe risiko rendah, antara lain HPV 6,11,42,43,
dan 44, tipe-tipe ini dapat menyebabkan kutil pada genital (kondiloma akuminata),
dimana tipe 6 dan 11 merupakan tipe yang paling sering ditemukan.

4. Faktor Resiko
Faktor penentu infeksi HPV adalah perilaku seksual seperti usia saat hubungan
seks pertama kali, multi partner, dan memiliki partner yang multipartner. Sebagian
besar perempuan yang terinfeksi oleh HPV tipe risiko tinggi tidak berkembang
menjadi kanker. Terdapat beberapa kondisi atau kofaktor yang diperkirakan dapat
membuat infeksi HPV persisten dan progresif menjadi kanker yaitu dari faktor HPV
antara lain tipe virus, infeksi oleh beberapa tipe virus onkogenik yang berlangsung
simultan, dan jumlah virusyang tinggi. Dari faktor pejamu antara lain paritas yang
tinggi dan status imun, sedangkan faktor eksogen antara lain merokok, koinfeksi
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau penyakit menular seksual
lainnya, dan penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang.
a. Perilaku seksual
Terdapat hubungan antara kejadian kanker sel skuamosa serviks dengan
perilaku seksual seperti partner seksual yang banyak dan usia saat melakukan
hubungan seks yang pertama. Seseorang dengan 6 mitra seks atau lebih atau bila
hubungan seks pertama kali dibawah usia 15 tahun maka risiko kanker serviks
meningkat lebih dari 10 kali. Begitu pula dengan seorang perempuan yang
berhubungan dengan laki-laki dengan mitra seks yang banyak atau mengidap
kondiloma akuminatum.
Studi yang dilakukan di Amerika Latin oleh Maribel Almonte dkk 22
mengatakan bahwa risiko untuk terinfeksi oleh HPV tipe non onkogenik, tipe
onkogenik, atau khususnya HPV tipe 16 bagi seorang perempuan dengan mitra

24
seks lebih atau sama dengan 4 orang dibandingkan dengan perempuan yang mitra
seks nya 1 orang akan meningkat dengan OR (oddratio) secara berurutan
sebesar 2,1 (95% CI: 1,7–2,5), 2,5 (95% CI: 2,0– 3,0) and 3,5 (95% CI: 2,4–
5,1)

b. Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap akan
menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbons heterocyclic amine yang sangat
karsinogen dan mutagen maupun yang dikunyah yang akan menghasilkan
nitrosamine. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan DNA epitel
serviks sehingga dapat menyebabkan neoplasma serviks. Merokok tidak saja
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks namun beberapa jenis keganasan
juga berhubungan antara lain kanker paru, rongga mulut, pankreas, ginjal, dan
saluran cerna. Dari analisis 12 studi di seluruh dunia menemukan bahwa merokok
secara signifikan meningkatkan risiko karsinoma sel skuamosa (RR: 1,50 ; 95%
CI: 1,35– 1,66) namun tidak meningkatkan risiko adenokarsinoma (RR: 0,86;
95% CI: 0,70–1,05).
c. Paritas tinggi
Paritas tinggi meningkatkan risiko karsinoma sel skuamosa serviks di
antara perempuan dengan HPV positif. Hal ini dibuktikan oleh Nubia Munoz dkk
yang menemukan bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah kelahiran dan
risiko kanker sel skuamosa serviks, dimana OR untuk kelahiran sebanyak 7 kali
dibandingkan dengan perempuan nulipara sebesar 3,8 (95% CI 2,7–5,5) dan 2,3
(95% CI 1,6-3,2) jika dibandingkan dengan perempuan yang memiliki 1 atau 2
kelahiran. Sedangkan untuk risiko adenokarsinoma atau adenokskuamosa tidak
berhubungan dengan jumlah kelahiran.
d. Koinfeksi dengan HIV dan penyakit menular seksual lainnya
HIV dan HPV berkaitan bukan hanya karena sama-sama ditularkan
melalui hubungan seksual namun juga karena perempuan dengan sistem imun
yang tertekan akan memiliki risiko yang meningkat bagi HPV untuk persisten dan
terjadinya kanker serviks. Studi yang dilakukan di antara PSK (Pekerja Seks
Komersil) di Honduras menemukan prevalensi HPV yang lebih tinggi pada PSK

25
dengan HIV positif dibandingkan dengan yang HIV negatif (56,5% versus
17,9%; p = 0,007)22Pada studi ini pula ditemukan frekuensi sitologi serviks
abnormal yang lebih tinggi pada perempuan dengan HIV positif.
Chlamydia trachomatis (CT) dan Herpes Simplex Virus tipe 2 (HSV-2)
dikatakan pula berkaitan dengan peningkatan risiko kanker serviks di antara
perempuan dengan HPV positif. Hal ini diperkirakan disebabkan karena
induksi inflamasi pada serviks yang dapat menimbulkan kerusakan
genotoksik melalui metabolit oksidatif reaktif. Analisis dari beberapa studi kasus
kontrol di antara perempuan dengan HPV positif, risiko untuk kanker serviks
skuamosa lebih tinggi pada perempuan dengan CT positif (OR 1,8 ; 95%: 1,2-2,7)
setelah menyesuaikan faktor risiko lainnya.
e. Kontrasepsi oral jangka panjang

Penggunaan kontrasepsi oral berkaitan dengan peningkatan risiko


kanker serviks. Dalam suatu meta analisis didapatkan risiko kanker serviks
meningkat pada kelompok yang menggunakan selama 5 tahun atau lebih
dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan (RR 1,90 ; 95% CI:
1,69-2,13). Risiko akan menurun setelah seorang perempuan berhenti
menggunakan kontrasepsi oral dan setelah 10 tahun atau lebih, risikonya
akan kembali seperti kelompok yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi
oral.

Namun informasi ini harus digunakan dengan hati-hati karena dapat


mempengaruhi seorang perempuan dalam memilih metode kontrasepsi, dan
akan berpengaruh dalam angka kejadian kehamilan yang tidak diinginkan,
aborsi tidak aman, dan kematian maternal. Kelompok ahli di
WHOmengatakan bahwa semua metode kontrasepsi memiliki keuntungan
dan kerugian masing-masing, demikian hal nya dengan kontrasepsi oral.
Keuntungan kontrasepsi oral masih lebih tinggi dibandingkan dengan
risikonya karena kemungkinan terjadinya kanker serviks akibat penggunaan
kontrasepsi oral sangat kecil. Sehingga perempuan yang akan memilih untuk
menggunakan kontrasepsi oral tidak boleh dihalangi dan tetap
diperbolehkan.

26
5. Patogenesis
Sebagian besar infeksi HPV bersifat transien dan subklinis pada individu dengan
sistem imun yang kompeten, meskipun seringkali sudah tampak perubahan sitologi
sementara pada serviks mereka.21,25 Pada perempuan muda, median durasi infeksi
dengan mengukur DNA virus yaitu selama 6-8 bulan, 30% diantaranya bertahan
hingga lebih dari 12 bulan dan 10% lebih dari 24 bulan. Bertahannya infeksi oleh
HPV tipe risiko tinggi membuat risiko untuk berkembang menjadi lesi derajat tinggi
dan neoplasma menjadi lebih tinggi, hal ini dipengaruhi oleh usia tua, adanya tipe 16
atau 18, merokok, dan imunodefisiensi, genetik, hormonal, dan infeksi kronik oleh
penyakit menular seksual lainnya. Manifestasi infeksi HPV selain hanya dapat
bersifat transien dan subklinis laten, juga dapat berupa kutil genital, kutil oral,
dan papilomatosis saluran napas (untuk tipe risiko rendah), lesi intraepitel serviks
dan karsinoma (untuk tipe risiko tinggi). Infeksi HPV tipe risiko tinggi yang persisten
jarang ditemukan namun hal ini akan mengakibatkan progresi mejadi lesi prakanker
dan kanker serviks.
Dibutuhkan waktu selama bertahun-tahun bahkan beberapa decade untuk
membuat kelainan histologi awal dari displasia derajat rendah berkembang
menjadi karsinoma sel skuamosa serviks uteri. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk
kelainan sitologi minimal yang disebut Atypical Squamous Cells of Undetermined
Significance (ASCUS) berkembang menjadi lesi derajat rendah sekitar 4 tahun
(namun tergantung apakah terinfeksi oleh HPV tipe risiko rendah atau tinggi, 67
bulan versus 88 bulan). Pasien dengan lesi derajat rendah umumnya akan kembali ke
ASCUS dan akhirnya menjadi normal kembali tanpa pengobatan, dengan waktu
regresi rata-rata 7,8 bulan untuk HPV tipe risiko rendah dan 13,8 bulan untuk HPV
tipe risiko tinggi. Sebagian besar lesi derajat rendah (NIS I) dapat hilang tanpa
pengobatan, terutama jika terjadi pada perempuan muda dan diperkirakan dari 1 juta
perempuan yang terinfeksi, hanya 10% yang akan berkembang menjadi lesi
prakanker serviks. Sekitar 8% dari perempuan yang mengalami perubahan tersebut
akan menjadi karsinoma in situ (KIS) dan 1,6% menjadi kanker bila lesi prakanker
atau KIS tersebut tidak terdeteksi dan diobati. Hanya 10-20% lesi derajat rendah akan
berkembang menjadi lesi derajat tinggi, yang memakan waktu sekitar 4 tahun.

27
Pengobatan klasik untuk lesi derajat tinggi adalah biopsi eksisi cone yang akan
menyembuhkan tahap ini, namun jika pengobatan tidak diberikan, sebagian besar lesi
derajat tinggi akan berkembang menjadi mikro invasif dan karsinoma sel skuamosa.
Perkembangan dari lesi derajat tinggi menjadi kanker serviks umumnya terjadi
setelah 10-20 tahun.
6. Diagnosis
a. Deteksi dini
1) Tes Papanicolaou (pap) Konvensional
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. George Papanicolaou dan
Dr. Aurel Babel pada tahun 1928 sedangkan penggunaan spatula dimulai pada
tahun 1947 sejak diperkenalkan oleh Dr. J. Ernest Ayre. Karena perjalanan
penyakit antara infeksi HPV dengan terjadinya lesi derajat tinggi dan progresi
kanker serviks yang lambat, menyebabkan tes Pap dan pengobatan yang tepat
sedini mungkin terhadap lesi prakanker dapat secara efektif mencegah
perkembangan penyakit ini. Pada pemeriksaan ini sel-sel yang berasal
dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai secara khusus sehingga sel-sel
yang abnormal dapat terlihat di bawah mikroskop.9 Tes Pap (Pap
smear)memberikan bukti secara tidak langsung akan adanya infeksi HPV
dengan dasar perubahan sel epitel pada serviks.
Pada tes Pap, sampel sel diambil dari zona transformasi serviks dengan
menggunakan spatula kayu (spatula ayre) atau sikat (cytobrush), sedangkan
menggunakan kapas lidi sudah tidak dianjurkan lagi. Seluruh bagian zona
transformasi harus dapat diambil karena hampir semua lesi derajat tinggi
berkembang di sini. Kemudian sampel akan dioleskan ke kaca gelas objek dan
secepatnya dilakukan fiksasi dengan alkohol 95% selama 30 menit dan
keringkan. Lalu preparat dikirim ke laboratorium sitologi untuk diwarnai dan
diperiksa menggunakan mikroskop apakah sel-sel serviks masih dalam batas
normal atau tidak yang kemudian diklasifikasikan secara tepat dengan
menggunakan klasifikasi Bethesda atau NIS atau WHO. Tes Pap dilakukan
sekitar 5 menit, tidak nyeri, dan dapat dikerjakan di ruang pemeriksaan rawat
jalan. Tidak dianjurkan untuk melakukan tes Pap jika perempuan tersebut

28
sedang menstruasi, mengalami inflamasi akut, atau sedang hamil. Apusan
yang memuaskan membutuhkan komponen jumlah sel-sel epitel skuamosa
dan endoserviks atau zona transformasi yang adekuat.
Tes Pap telah berhasil menurunkan insiden kanker serviks hingga 79% dan
mortalitas hingga 70% sejak tahun 1950. Namun akurasi tes sitologi ini
tergantung dari kualitas pelayanan termasuk pengambilan sampel, persiapan
dan interpretasi preparat di laboratorium. Dimana dengan kondisi yang sangat
baik dan mendukung, negara berkembang mampu mendeteksi hingga 84%
kasus prakanker dan kanker dengan tes Pap. Di sisi lain, jika keadaan tidak
mendukung seperti di negara berkembang, sensitivitas dapat menurun
hingga 38%.
Spesifisitas pemeriksaan ini berkisar antara 60-95%, umumnya melebihi
90%.16,19 Sensitivitas tes Pap dalam mendeteksi NIS adalah 50-98% sedangkan
spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), dan nilai prediksi negatif (NPN)
masing-masing adalah 93%, 91,3%, dan 80,2%.Terdapat sekitar 30% kasus
kanker serviks baru setiap tahunnya yang didapatkan dari perempuan yang
telah menjalani pemeriksaan tes Pap, namun terdapat kesalahan
pengambilan sampel, proses fiksasi, dan interpretasi. Kesalahan yang sering
terjadi selama pemeriksaan tes Pap, yaitu :

 Sediaan apus terlalu tipis, hanya mengandung sedikit sel, atau terlalu tebal.
 Cairan fiksasi salah atau terlalu encer (alkohol lebih banyak menguap)
 Sediaan apus telah kering karena tidak segera direndam di dalam cairan
fiksasi
 Sediaan apus hanya terdiri dari lendir, sel-sel radang, atau tercampur
banyak darah
 Menggunakan kaca gelas objek yang tidak bersih atau tidak diberi tanda
sehingga dapat tertukar antar pasien.
2) Sitologi Berbasis Cairan
Sejak diperkenalkan pertama kali, tes Pap konvensional digunakan untuk
mendeteksi kanker serviks di seluruh dunia dan dapat menurunkan baik angka

29
kejadian maupun angka kematian sebanyak lebih dari 70% di negara maju.
Namun penggunaan selama ini memperlihatkan bahwa pemeriksaan ini
memiliki angka negatif palsu yang cukup tinggi, dimana dinyatakan negatif
(tidak terdapat sel kanker) namun ternyata positif. Angka negatif palsu di
negara maju sekitar 15- 50% yang sebagian besar disebabkan oleh kesalahan
dalam pengambilan sampel sekret serviks dan cara pembuatan sediaan apus
tes Pap konvensional. Beberapa penelitian menunjukkan hanya sekitar 20%
sel-sel yang tertampung di atas kaca gelas objek,sedangkan sisanya masih
tertinggal di cytobrush dan terbuang. Selain itu pada sediaan apus sering
mengandung darah, mukus, dan sel radang yang dapat mengaburkan sediaan
dan mempersulit skrining sel prakanker atau sel kanker.
Sejak tahun 1996, Food and Drug Administration (FDA) telah
merekomendasikan penggunaan Thin Prep Pap Test, yaitu pemeriksaan tes
Pap cara baru dengan berbasis cairan yang dapat mengatasi masalah hasil
negatif palsu pada tes Pap konvensional. Perbedaan yang mendasar adalah
cara pembuatan sediaan apus. Pada Thin Prep Pap Test, setelah sekret serviks
diambil dengan cytobrush, sekret segera dicelupkan terlebih dahulu ke dalam
cairan pengawet khusus (preservecyt solution) lalu menekan cytobrush ke
dasar botol cairan pengawet dan memutarnya sebanyak 10 kali agar sel-sel
yang terdapat pada cytobrush terlepas semuanya ke dalam cairan fiksasi.
Botol cairan yang telah mengandung sampel sel ini dimasukkan ke dalam
mesin Thin Prep Processor 2000 untuk diproses menjadi sediaan apus di atas
kaca gelas objek secara otomatis dan terkomputerisasi. Dimana mesin ini akan
menyaring darah, mukus, dan eksudat radang yang akan membuat sediaan
apus menjadi bersih, tipis, rata, dan terdiri dari satu lapis sel sehingga
skrining menjadi lebih mudah dan akurat. Hasil pemeriksaan ini dilaporkan
dengan sistem Bethesda.
Pada sebuah penelitian, Thin Prep Pap Test menunjukkan sensitivitas
yang lebih tinggi dalam mendeteksi sel abnormal, membuat kualitas sediaan
menjadi lebih baik, dan menurunkan jumlah sediaan apus yang tidak
memuaskan untuk dievaluasi.

30
3) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
mengamati serviks dan terlebih dahulu memberikan pulasan dengan asam
asetat 3-5% dan hasilnya dilihat langsung dengan mata telanjang. Bila
terdapat kelainan pada epitel serviks, maka akan terlihat daerah yang bewarna
putih yang terbentuk akibat pengaruh asam asetat pada epitel abnormal,
cairan akan tertarik ke luar sel sehingga terjadi peningkatan osmolaritas
ekstraselular. Membran menjadi kolaps dan jarak antar sel semakin dekat dan
akibatnya bila permukaan epitel disinari, maka sinar tersebut tidak dapat
diteruskan ke stroma melainkan akan dipantulkan ke luar sehingga permukaan
epitel yang abnormal terlihat berwarna putih sedangkan pada mukosa serviks
yang normal bewarna merah homogen. Daerah metaplasia juga akan terlihat
berwarna putih namun cepat menghilang. Makin jelas lesi berwarna
putih maka makin tinggi pula derajat kelainan histologiknya.Pada
sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan sensitivitas
IVA mencapai 100% dan spesifisitas 98,77% dengan nilai Kappa 0,5195
(good agreement).
4) Kolposkopi
Pemeriksaan kolposkopi adalah pemeriksaan yang menggunakan alat
kolposkopi yaitu mikroskop binokuler dengan sumber cahaya yang terang
untuk memperbesar gambaran visual serviks sehingga dapat menegakkan
diagnose kanker serviks. Indikasi dari pemeriksaan ini adalah ditemukannya
hasil positif dari pemeriksaan skrining seperti tes Pap dan/atau IVA, lesi yang
mencurigakan dan temuan sitologi yang tidak memuaskan.
Prosedur pemeriksaan ini meliputi aplikasi asam asetat dan visualisasi
serviks dengan menggunakan mikroskop khusus, dimana setelah serviks
dioleskan dengan asam asetat dan terjadi perubahan warna menjadi putih,
maka akan dilakukan biopsi pada daerah tersebut. Dari pemeriksaan ini dapat
diklasifikasikan hasil yaitu temuan kolposkopi normal, abnormal, gambaran
kolposkopi mengarah ke kanker invasif, gambaran kolposkopi tidak
memuaskan, dan temuan kolposkopi miscellaneous.

31
b. Diagnosa
Diagnosis kanker serviks didapatkan melalui pemeriksaan histopatologi
jaringan biopsi. Pada dasarnya jika ditemukan lesi seperti kanker secara kasat
mata maka harus dilakukan biopsi walaupun hasil pemeriksaan tes Pap masih
dalam batas normal sedangkan untuk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata,
dilakukan dengan bantuan kolposkopi. Kecurigaan adanya lesi yang tidak kasat
mata didasarkan dari hasil pemeriksaan sitologi serviks (tes Pap). Sekitar 85-
90%
jenis histopatologi kanker serviks adalah karsinoma sel skuamosa, sisanya
adalah jenis yang lain termasuk adenokarsinoma. Setelah dilakukan biopsi dan
ditentukan jenis keganasannya berdasarkan histopatologinya, maka akan
ditentukan stadium kanker serviks menurut FIGO 2000.
Metode optoelektronik untuk deteksi lesi patologis di serviks pertama kali
dilakukan oleh Coppleson pada tahun 1990. Sebelumnya metode ini telah
diaplikasikan oleh Fricke dan Morse pada tahun 1926 untuk mengukur rambatan
listrik pada tumor payudara. Setelah itu metode optoelektronik kemudian
dikombinasikan dengan biosensor menjadi metode analisa TruScreen. Truscreen
merupakan alat pemindai jaringan serviks portabel dengan menggunakan
prinsip sinyal optik dan elektrik yang terkomputerisasi sehingga diagnosis secara
langsung dapat ditegakkan saat pemeriksaan (real-time) dengan meniru
kemampuan diagnosa oleh manusia. TruScreen terdiri dari sebuah mesin portabel
yang terhubung dengan probe berdiameter 5 mm berbentuk pena sepanjang 17 cm
yang terdiri dari tiga elektroda perifer dan empat sumber cahaya ujung dari probe
ditutup dengan lembaran sekali pakai untuk mencegah infeksi silang serviks.
Alat ini menggunakan kombinasi biosensor dari cahaya yang dipancarkan
secara langsung, cahaya yang dipantulkan balik dan kurva peluruhan elektrik.
Cahaya yang diteruskan ke jaringan serviks akan ditangkap oleh TruScreen untuk
mengidentifikasi topografi dan struktur permukaan serviks, termasuk lapisan
skuamosa superfisial dan adenokarsinoma pada kanalis servikalis distal,
perubahan pada lapisan basal dan stroma termasuk peningkatan sirkulasi darah
dan varian pembuluh darah yang muncul pada lesi prakanker. Cahaya yang

32
diteruskan melalui LED memiliki tiga panjang gelombang yang berbeda (sinar
infra merah 780 nm hingga 1 mm, sinar hijau, dan sinar merah). Kekuatan sumber
cahaya LED adalah 7 hingga 130μW. Sebagai penambahan, sistem optik tersebut
digabungkan dengan pengukuran kurva peluruhan elektrik dimana laju kurva
peluruhan berbanding terbalik dengan proporsi derajat abrnomalitas serviks.
Konduktivitas elektrik bergantung pada komposisi ion pada struktur sel, seperti
membran lapisan lipid bersifat insulator, sedangkan kombinasi substansi intra dan
ekstraselular bersifat kapasitor. Elemen yang lain berfungsi sebagai
semikonduktor.
Setiap jaringan biologis memiliki resistensi dan reaksi yang berbeda pada
tiap individu. Karakteristik antara jaringan yang normal dan patologis akan
terlihat dari perbedaan nilai hambatan keduanya. Epitelium skuamosa berlapis dan
glandular memiliki perbedaan resistensi yang sangat berbeda dibandingkan
dengan jaringan yang terinflamasi dengan metaplasia atau perubahan
neoplastik. Impuls yang diberikan oleh alat optoelektronik adalah 14 kali impuls
sebesar 0.8 Volt selama 350 mikrodetik.
Informasi yang diterima kemudian disaring, sebagian sampel diambil yang
kemudian diproses melalui mikrokomputer pada mesin untuk mengekstraksi
parameter dengan nilai diskriminasi jaringan terbesar yang dicocokkan dengan
basis data komputer. Hasil yang muncul adalah berupa diagnosa normal
(epitelium skuamosa normal, epitelium kolumnar, metaplasia fisiologis, atau
perubahan terkait infeksi HPV laten) atau abnormal (NIS 1-3, kanker invasif).
Teknik pemeriksaan TruScreen adalah mudah dan cepat. Selama
pemeriksaan, operator akan dipandu dengan sinyal “stop and go” pada kamera
probe. Saat lampu yang muncul pada probe berwarna jingga, alat harus diletakkan
pada serviks secara perpendikular dan terpaku pada satu titik. Ujung distal probe
dapat dipindahkan ke titik berikutnya setelah lampu berubah dari jingga menjadi
hijau. Lampu merah menandakan penempelan ujung probe terlalu singkat.16
Langkah ini terus diulangi hingga seluruh bagian ektoserviks dan bagian portio
bawah endoserviks yang terekspos melalui spekulum vagina telah diperiksa. Studi
yang telah dilakukan menyarankan siklus pengukuran adalah 15-25 siklus. Setelah

33
pemeriksaan selesai dilakukan, operator cukup menekan tombol yang ada di
pegangan, dan hasil skrining akan langsung dikalkulasi dan keluar dari mesin.
TruScreen dapat mengklasifikasikan sebanyak 16 kelainan jaringan
serviks dasar, termasuk transisi antara jaringan yang berbeda. Sistem ini telah
dirancang untuk mengenali varian normal dan abnormal jaringan seriks
berdasarkan data sebanyak lebih dari 1500 pasien yang dikumpulkan dari
berbagai sentral. Rancangan sistem ini akan mengenali perubahan karakteristik
jaringan pre-neoplastik dan abnormal termasuk manisfestasi perubahan
selular, mitosis abnormal, dengan atau tanpa perubahan nukleus. Akan
tetapi, alat ini tidak dirancang untuk mengenali perubahan sitopatik terkait
infeksi HPVyang tidak berhubungan dengan perubahan pre-neoplastik. Alat ini
juga dapat membedakan infeksi HPV laten (termasuk infeksi low-risk) dan
perubahan progresif akibat infeksi high-risk.
Penelitian yang dilakukan di RS Whittington menyatakan bahwa
sensitivitas alat TruScreen adalah 70% pada lesi NIS 2-3 yang
terkonfirmasi secara histologi dan 67% pada lesi NIS 1. Hasil yang berbeda
didapatkan pada pemeriksaan sitologi yakni sebesar 69% pada lesi NIS 2-3 dan
45% pada deteksi lesi NIS 1. Kombinasi pemeriksaan keduanya (TrusScreen dan
Pap Smear) memberikan hasil yang lebih baik yaitu 93% untuk lesi NIS 2-3 dan
87% lesi NIS 1. Temuan ini didukung dengan studi yang dilakukan di
Polandia, yaitu sensitivitas metode optoelektronik terhadap NIS 1 adalah sebesar
65,79%, dan NIS 2-3 serta karsinoma planoepithelial mencapai 90,38%.
Spesifisitas metode optoelektronik terhadap jaringan normal mencapai
78,89%, lebih tinggi dibandingkan sensitivitas kolposkopi sebesar 54%. Meskipun
demikian, studi yang dilakukan oleh Allameh dkk tidak menunjukkan hasil sebaik
temuan kedua studi sebelumnya. Sensitivitas diagnostik Truscreen dibandingkan
biopsi adalah sebesar 46,9%, spesifisitas 50,7%, NPP 29,4% dan NPN sebesar
68.5%. Namun, studi ini mendukung kenaikan sensitivitas dan spesifisitas
kombinasi Truscreen dan Pap Smear. Studi lain di kota Shenzhen, Cina oleh oleh
Zhang wei dkk pada 391 wanita menunjukkan hasil yang lebih tinggi yaitu
sensitivitas sebesar 76,47% dan spesifisitas 77,27%.17Singer dkk melakukan studi

34
multisenter sebanyak 651 subjek penelitian. Kesimpulan dari studi tersebut adalah
sensitivitas Truscreen untuk deteksi NIS 1 sebesar 67% dan NIS 2/3 yaitu 70%.
Kombinasi dari pemeriksaan Truscreen dan Pap smear meningkatkan nilai
sensitivitas sebesar 87% untuk NIS 1 (95%CI: 18-66; p=0,002) dan 93% untuk
NIS 2-3 (95% CI: 11-37; p=0,002).
Studi komparatif antara Truscreen dan pap smear yang dilakukan di rumah
sakit Whittington menyatakan bahwa pemeriksaan Truscreen tidak menimbulkan
nyeri dan sensasi tidak nyaman seperti saat dilakukan pemeriksaan sitologi atau
biopsi. Alat optoelektronik ini bersifat objektif, karena hasil yang didapat secara
otomatis dan satu waktu serta dapat terhindar dari kesalahan manusia seperti pada
pemeriksaan sitologi. Sehingga alat ini pada digunakan secara efektif oleh staf
paramedis atau tenaga kesehatan yang dilatih untuk melakukan deteksi kanker
serviks, terlebih pada daerah dengan beban infrastruktur rendah dan biaya untuk
melakukan skrining sitology.

E. CA Endometrium
1. Pengertian
Kanker endometrium adalah kanker yang terjadi pada organ endometrium atau
pada dinding rahim. Endometrium adalah organ rahim yang berbentuk seperti buah pir
sebagai tempat tertanam dan berkembangnya janin. kanker endometrium kadang-
kadang disebut kanker rahim, tetapi ada sel-sel lain dalam rahim yang bisa menjadi
kanker seperti otot atau sel miometrium. kanker endometrium sering terdeteksi pada
tahap awal karena sering menghasilkan pendarahan vagina di antara periode
menstruasi atau setelah menopause.
2. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab kanker endometrium,
tetapi beberapa penelitiian menunjukkan bahwa rangsangan estrogen yang berlebihan
dan terus menerus bisa menyebabkan kanker endometrium. Berikut ini beberapa faktor
resiko yang bisa meningkatkan munculnya kanker endometrium :
a. Obesitas atau kegemukan.

35
Pada wanita obesitas dan usia tua terjadi peningkatan reaksi konversi
androstenedion menjadi estron. Pada obesitas konversi ini ditemukan sebanyak
25-20 kali. Obesitas merupakan faktor resiko utama pada kanker endometrium
sebanyak 2 sampai 20 kali. Wanita dengan berat badan 10-25 Kg diatas berat
badan normal menpunyai resiko 3 kali lipat dibanding dengan wanita dengan
berat badan normal. Bila berat badan lebih dari 25 Kg diatas berat badan normal
maka resiko menjadi 9 kali lipat.
b. Haid pertama (menarche).
Wanita mempunyai riwayat menars sebelum usia 12 tahun mempunyai
resiko 1,6 kali lebih tinggi daripada wanita yang mempunyai riwayat menars
setelah usia lenih dari 12 tahun. Menstruation span merupakan metode numerik
untuk menentukan faktor resiko dengan usia saat menarche, usia menopause dari
jumlah paritas. Menstruasion span (MS) = usia menars – (jumlah paritas x1,5).
Bila MS 39 maka resiko terkena kanker endometrium sebanyak 4,2 kali dibanding
MS < 29. 
c. Tidak pernah melahirkan.
Memiliki resiko terkena kanker endometrium lebih tinggi baik sudah
menikah atau belum dibanding wanita yang pernah melahirkan. Penelitian
menunjukkan bahwa 25% penderita kanker endometrium tidak pernah melahirkan
anak (nulipara). Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa faktor
ketidaksuburan(infertilitas) lebih berperan daripada jumlah melahirkan (paritas).
d. Penggunaan estrogen.
Estrogen sering digunakan sebagai terapi sulih hormon. Peningkatan
penggunaan hormon ini diikuti dengan meningkatnya resiko kanker endometrium.
e. Hiperplasia endometrium.
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebihan dari
jaringan selaput lendir rahim disertai peningkatan vaskularisasi akibat rangsangan
estrogen yang berlebihan dan terus menerus. Disebut neoplasia endometrium
intraepitel jika hiperplasia endometrium disertai sel-sel atipikal dan meningkatkan
resiko menjadi kanker endometrium sebesar 23%.
f. Diabetes mellitus (DM).

36
Diabetes melitus dan tes toleransi glukosa (TTG) abnorml merupakan
faktor resiko keganasan endometrium. Angka kejadian diabetes melitus klinis
pada penderita karsinoma endometrium berkisar antara 3-17%, sedangkan angka
kejadian TTG yang abnormal berkisar antara 17-64%. 
g. Hipertensi.
50% dari kasus endometrium menderita hipertensi dibandingkan dengan
1/3 populasi kontrol yang menderita penyakit tersebut, kejadian hipertensi pada
keganasan endometrium menurut statistik lebih tinggi secara bermakna daripada
populasi kontrol. 
h. Faktor lingkungan dan diet.
Faktor lingkungan dan menu makanan juga mempengaruhi angka kejadian
keganasan endometrium lebih tinggi daripada di negara-negara yang sedang
berkembang. Kejadian keganasan endometrium di Amerika Utara dan Eropa lebih
tinggi daripada angka kejadian keganasan di Asia, Afrika dan Amerika latin.
Agaknya perbedaan mil disebabkan perbedaan menu dan jenis makan sehari-hari
dan juga terbukti dengan adanya perbedaan yang menyolok dari keganasan
endometrium pada golongan kaya dan golongan miskin. Keadaan ini tampak pada
orang-orang negro yang pindah dari daerah rural ke Amerika Utara. Hal yang
sama juga terjadi pada orang-orang Asia yang pindah ke negara industri dan
merubah menu makanannya dengan cara barat seperti misalnya di Manila dan
Jepang, angka kejadian keganasan endometrium lebih tinggi daripada di negara-
negara Asia lainnya.
i. Riwayat keluarga.
Ada kemungkinan terkena kanker endometrium, jika terdapat anggota
keluarga yang terkena kanker ini, meskipun prosentasenya sangat kecil.
j. Tumor memproduksi estrogen.
Adanya tumor yang memproduksi estrogen, misalnya tumor sel granulosa,
akan meningkatkan angka kejadian kanker endometrium.
3. Manifestasi Klinis
Beberapa gejala kanker endometrium adalah sebagai berikut :
a. Rasa sakit pada saat menstruasi.

37
b. Rasa sakit yang parah dan terus menerus pada perut bagian bawah, rasa sakit ini
akan bertambah pada saat berhubungan seks.
c. Sakit punggung pada bagian bawah.
d. Sulit buang air besar atau diare.
e. Keluar darah pada saat buang air kecil dan terasa sakit.
f. Keputihan bercampur darah dan nanah.
g. Terjadi pendarahan abnormal pada rahim.
4. Pemeriksaan Penunjang 
Sebelum tindakan operasi, pemeriksaan yang perlu dilakukan:
a. Foto toraks untuk menyingkirkan metastasis paru-paru
b. Tes Pap, untuk menyingkirkan kanker serviks
c. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah tepi, faal hati, faal
ginjal, elektrolit.
5. Penatalaksaan Medis
Sampai saat ini belum ada metode skrining untuk kanker endometrium.
Hanya untuk pasien yang termasuk dalam risiko tinggi seperti Lynch syndrome tipe 2
perlu dilakukan evaluasi endometrium secara seksama dengan hysteroscopy dan
biopsy. Pemeriksaan USG transvaginal merupakan test non invasif awal yang efektif
dengan negative predictive value yang tinggi apabila ditemukan ketebalan
endometrium kurang dari 5 mm. Pada banyak kasus histeroskopi dengan instrumen
yang fleksibel akan membantu dalam penemuan awal kasus kanker endometrium.
Pada stadium II dilakukan histerektomi radikal modifikasi, salpingo-ooforektomi
bilateral, deseksi kelenjar getah bening pelvis dan biopi paraaorta bila mencurigakan,
bilasan peritoneum, biopsi omenteum (omentektomi partialis),biopsi peritoneum.
Pada stadium III dan IV : operasi dan/atau radiasi dan/atau kemoterapi.
Pengangkatan tumor merupakan terapi yang utama, walaupun telah bermetastasis ke
abdomen.

6. CA Uterus
1. Definisi

38
Kanker Rahim (uterus) atau yang sebenarnya adalah kanker jaringan
endometrium adalah kanker yang sering terjadi di endometrium, tempat dimana janin
tumbuh, sering terjadi pada wanita usia 60-70 tahun.
Penyakit kanker rahim adalah pembunuh nomor satu yang kerap mengintai
korbanya, kaum wanita. Umumnya, hamper semua jenis penyakit kanker rahim sulit
terdeteksi pada stadium awal. Penyakit ini menyerang leher rahim, saluran rahim,
bagian dalam rahim, dan bias juga di luar rahim atau kandungan. Penyakit ini baru
disadari atau dirasakan oleh penderita setelah muncul gejala-gejala kanker atau
tanda-tanda berupa benjolan yang relatif besar, yaitu 2-3cm, terasa mengganjal, dan
mulai teraba oleh tangan.
Carsinoma ovarium merupakan kumpulan tumor dengan histiogenesis yang
beranekaragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast (ektodermal, entodermal dan
mesodermal) dengan sifat-sifat histologis maupun bilogis yang beraneka ragam.
Carsinoma ovarium adalah tumor ganas yang menyerang ovarium.
Carsinoma pada ovarium merupakan kumpulan tumor dengan histigenesis
yang beranekaragam. Tumor ditemukan sebanyak 8,0 %dari tumor ganas
ginekologik, dan 60 % terdapat pada usia ± 50 tahun. 30 % pada masa reproduksi,
dan 10 % apda usia yang lebih muda 15 % dari semua carsinoma ovarium itu ganas
(Prof. Dr. Sarwono Prawiroharjo, 1994, hal. 333).
2. Anatomi Fisiologi Uterus
Uterus, organ muscular berbentuk buah pir, mempunyai panjang 7,5 cm dan
lebar 5 cm pada bagian atasnya. Dindingnya mempunyai tebal sekitar 1,25 cm.
Ukuran dari organ ini beragam tergantung pada partus (jumlah kelahiran hidup) dan
abnormalitas uterus, seperti fibroid, suatu jenis tumor yang dapat merusak uterus.
Wanita nulipara (wanita yang tidak menyeselaikan kehamilan sampai ke tahap janin
hidup) biasanya mempunyai uterus lebih kecil disbanding wanita multipara (wanita
yang sudah menyeselaikan dua atau lebih kehamilan sampai tahap janin hidup).
Uterus mempunyai dua bagian: serviks yang menonjol ke dalam vagina, dan
bagian atas yang lebih besar yaitu fundus atau korpus, yang ditutupi secara posterior
dan anterior (sebagian) oleh peritoneum. Uterus terletak di sebelah  posterior
kandung kemih dan dipertahankan posisinya dalam rongga pelvis oleh beberapa

39
ligament. Ligamentum teres terbentang secara anterior dan lateral disepanjang cincin
internal inguinal dan turun disepanjang kanalis inguinalis, tempat mereka bergabung
dengan jaringan labia mayora. Ligamentum latum adalah lipatan perineum yang
memanjang dari dinding pelvis lateral dan membungkus tuba fallopii. Ligamentum
uterosakral memanjang secara posterior sampai ke sakrum.
Bagian dalam fundus yang berbentuk segitiga menyempit ke dalam kanal
kecil serviks yang mengecil pada setiap ujungnya, disebut sebagai os eksternal dan
os internal. Bagian lateral uterus disebut koruna. Dari tempat ini oviduk atau tuba
fallopii (atau uterus) memanjang kea rah luar, luminanya diteruskan secara internal
oleh rongga uterus,
3. Etiologi
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi tampaknya penyakit ini
melibatkan peningkatan kadar estrogen.Salah satu fungsi estrogen yang normal
adalah merangsang pembentukan lapisan epitel pada rahim. Sejumlah besar estrogen
yang disuntikkan kepada hewan percobaan di laboratorium menyebabkan hiperplasia
endometrium dan kanker.
Wanita yang menderita kanker rahim tampaknya memiliki faktor resiko
tertentu. (faktor resiko adalah sesuatu yang menyebabkan bertambahnya
kemungkinan seseorang untuk menderita suatu penyakit). Wanita yang memiliki
faktor resiko tidak selalu menderita kanker rahim, sebaliknya banyak penderita
kanker rahim yang tidak memiliki faktor resiko. Kadang tidak dapat dijelaskan
mengapa seorang wanita menderita kanker rahim sedangkan wanita yang lainnya
tidak. Penelitian telah menemukan beberapa faktor resiko pada kanker rahim:
a. Usia
Kanker uterus terutama menyeranga wanita berusia 50 tahun keatas.
b. Nulipara  
c. Hiperplasia endometrium
d. Terapi Sulih Hormon (TSH)
TSH digunakan untuk mengatasi gejala-gejala menopause, mencegah
osteoporosis dan mengurangi resiko penyakit jantung atau stroke. Wanita yang
mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron memiliki resiko yang lebih tinggi.

40
Pemakaian estrogen dosis tinggi dan jangka panjang tampaknya mempertinggi
resiko ini.
e. Wanita yang mengkonsumsi estrogen dan progesteron memiliki resiko yang
lebih rendah karena progesteron melindungi rahim.
f. Obesitas
Tubuh membuat sebagian estrogen di dalam jaringan lemak sehingga wanita
yang gemuk memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi. Tingginya kadar
estrogen merupakan penyebab meningkatnya resiko kanker rahim pada wanita
obes.
g. Diabetes (kencing manis)
h. Hipertensi (tekanan darah tinggi)
i. Tamoksifen
Wanita yang mengkonsumsi tamoksifen untuk mencegah atau mengobati kanker
payudara memiliki resiko yang lebih tinggi. Resiko ini tampaknya berhubungan
dengan efek tamoksifen yang menyerupai estrogen terhadap rahim.
Keuntungan yang diperoleh dari tamoksifen lebih besar daripada resiko
terjadinya kanker lain, tetapi setiap wanita memberikan reaksi yang berlainan.
j. Ras
Kanker rahim lebih sering ditemukan pada wanita kulit putih.
k. Kanker kolorektal
l. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun
m. Menopause setelah usia 52 tahun
n. Tidak memiliki anak
o. Kemandulan
p. Penyakit ovarium polikista
q. Polip endometrium.
4. Patofisiologi
Carsinoma ovarium dibagi ke dalam 3 kategori besar tumor epitel, tumor
stroma, tumor sel benih kanker ovarium dapat bermetastasis dengan invasi langsung
ke struktur. Struktur yang berdekatan pada abdomen dan panggul dan melalaui
penyebaran benih tumor melalui cairan poritoneal ke rongga abdomen dan rongga

41
panggul; orites dapat terjadi dan cairan yang mengandung sel-sel ganas melalui
saluran limfe menuju fleura dan akhirnya menyebabkan efusi pleura.
Kebanyakan kanker ovarium adalah dari tumor epitel kanker ovarium
cenderung untuk tumbuh dan menyebar perlahan-lahan (tanpa tanda dan gejala)
sampai akhirnya menekan organ-organ yang berbatasan atau distensi abdomen.
Kanker dapat menginvasi permukaan bawah omentum, hati dan organ lain. Rute
penyebaran melalui limfe, aliran darah dan peritoneal. Pada kanker ovari dapat
terjadi distensi abdomen, sering berkemih, pleura efusion, mal nutrisi, nyeri karena
tekanan yang disebabkan oleh pertumbuhan tumor dan dapat menyababkan obstruksi
saluran urine, konstipasi, asites dengan sesak.
5. Manifestasi Klinis
a. Perdarahan rahim yang abnormal
b. Siklus menstruasi yang abnormal
c. perdarahan diantara 2 siklus menstruasi (pada wanita yang masih mengalami
menstruasi)
d. Perdarahan vagina atau spotting pada wanita pasca menopause
e. Perdarahan yang sangat lama, berat dan sering (pada wanita yang berusia diatas
40 tahun)
f. Nyeri perut bagian bawah atau kram panggul
g. Keluar cairan putih yang encer atau jernih (pada wanita pasca menopause)
h. Nyeri atau kesulitan dalam berkemih
i. Nyeri ketika melakukan hubungan seksual.
6. Test Diagnostik
a. Pap smear
Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat
dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat
kanker serviks menurun sampai lebih 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara
seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani pap smear
secara teratur yaitu 1 kali/tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan
hasil yang normal, Pap smear bisa dilakukan 1 kali/2-3tahun. Hasil pemeriksaan
pap smear menunjukan stadium dari kanker rahim:

42
1) Normal
2) Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas)
3) Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas)
4) Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar)
5) Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks (rahim) yang lebih
dalam atau ke organ tubuh lainnya).
b. Biopsi
Biopsy dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan
atau luka pada serviks,atau jika pap smear menunjukan suatu abnomalitas atau
kanker
c. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
d. Tes Schiller
Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah
menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau
kuning.
e. Laparoskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor berasal
dari ovarium atau tidak, serta dapat menentukan sifat tumor tersebut.
f. USG
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor, apakah tumor
berasal dari uterus, ovarium atau kandung kemih, dan dapat pula dibedakan
antara cairan rongga perut yang bebas atau tidak.
g. Rontgen
Untuk menentukan adanya masalah paru.
h. Pemeriklsaan laboratorium
Pemeriksaan Hct untuk pengkajian adanya komplikasi perdarahan, anemia atau
infeksi.
7. Penatalaksanaan Medis
Pemilihan pengobatan tergantung kepada ukuran tumor, stadium, pengaruh
hormon terhadap pertumbuhan tumor dan kecepatan pertumbuhan tumor serta usia
dan keadaan umum penderita. Metode pengobatan:

43
a. Pembedahan
Kebanyakan penderita akan menjalani histerektomi (pengangkatan rahim).
Kedua tuba falopii dan ovarium juga diangkat (salpingo-ooforektomi bilateral)
karena sel-sel tumor bisa menyebar ke ovarium dan sel-sel kanker dorman (tidak
aktif) yang mungkin tertinggal kemungkinan akan terangsang oleh estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium. .
Jika ditemukan sel-sel kanker di dalam kelenjar getah bening di sekitar
tumor, maka kelenjar getah bening tersebut juga diangkat. Jika sel kanker telah
ditemukan di dalam kelenjar getah bening, maka kemungkinan kanker telah
menyebar ke bagian tubuh lainnya. Jika sel kanker belum menyebar ke luar
endometrium (lapisan rahim), maka penderita tidak perlu menjalani pengobatan
lainnya.
b. Terapi penyinaran (radiasi)
Digunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel kanker.
Terapi penyinaran merupakan terapi lokal, hanya menyerang sel-sel kanker di
daerah yang disinari.
Pada stadium I, II atau III dilakukan terapi penyinaran dan pembedahan.
Penyinaran bisa dilakukan sebelum pembedahan (untuk memperkecil ukuran
tumor) atau setelah pembedahan (untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa).
Ada 2 jenis terjapi penyinaran yang digunakan untuk mengobati kanker rahim:
1) Radiasi eksternal : digunakan sebuah mesin radiasi yang besar untuk
mengarahkan sinar ke daerah tumor. Penyinaran biasanya dilakukan
sebanyak 5 kali/minggu selama beberapa minggu dan penderita tidak perlu
dirawat di rumah sakit. Pada radiasi eksternal tidak ada zat radioaktif yang
dimasukkan ke dalam tubuh.
2) Radiasi internal : digunakan sebuah selang kecil yang mengandung suatu zat
radioaktif, yang dimasukkan melalui vagina dan dibiarkan selama beberapa
hari. Selama menjalani radiasi internal, penderita dirawat di rumah sakit.
c. Kemoterapi
Pada terapi hormonal digunakan zat yang mampu mencegah sampainya
hormon ke sel kanker dan mencegah pemakaian hormon oleh sel kanker.

44
Hormon bisa menempel pada reseptor hormon dan menyebabkan perubahan di
dalam jaringan rahim.
Sebelum dilakukan terapi hormon, penderita menjalani tes reseptor hormon.
Jika jaringan memiliki reseptor, maka kemungkinan besar penderita akan
memberikan respon terhadap terapi hormonal. Terapi hormonal merupakan
terapi sistemik karena bisa mempengaruhi sel-sel di seluruh tubuh. Pada terapi
hormonal biasanya digunakan pil progesteron. Terapi hormonal dilakukan pada:
1) Penderita kanker rahim yang tidak mungkin menjalani pembedahan ataupun
terapi penyinaran
2) Penderita yang kankernya telah menyebar ke paru-paru atau organ tubuh
lainnya
3) Penderita yang kanker rahimnya kembali kambuh. Jika kanker telah
menyebar atau tidak memberikan respon terhadap terapi hormonal, maka
diberikan obat kemoterapi lain, yaitu siklofosfamid, doksorubisin dan
sisplastin.
8. Komplikasi
a. Anemia disebabkan oleh sifat fagosit sel tumor atau adanya perdarahan.
b. Obstruksi khusus disebabkan pembesaran sel-sel tumor yang dapat menekan
usus.
c. Depresi sum-sum tulang disebabkan faktor penghasil sel darah merah dari sum-
sum tulang sebagai sistem imun. Sel darah merah berusaha untuk
menghancurkan sel-sel tumor sehingga kerja sel-sel tumor optimal.
d. Perdarahan disebabkan pembesaran tumor pada ovarium yang dapat
menyebabkan rupture.

7. CA Ovarium
1. Definisi
Kanker merupakan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, mempunyai
kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasi. Kanker ovarium terjadi ketika sel-
sel pada ovarium berubah dan tumbuh tidak terkendali. Banyak jenis tumor yang bisa
berawal di ovarium. Ada tumor yang menyebabkan kanker dan ada pula yang tidak.

45
Beberapa jenis tumor juga bisa keluar dari ovarium dan menyebar ke bagian
tubuh lainnya. Wanita mempunyai peluang lebih tinggi menderita kanker ovarium
jika berusia 40 tahun ke atas, sulit hamil, belum pernah hamil atau melahirkan.
Wanita juga mempunyai peluang lebih tinggi menderita kanker ovarium jika
mengidap kanker payudara atau kanker usus besar, mempunyai anggota keluarga
yang mengidap kanker payudara atau ovarium, menggunakan hormon estrogen tanpa
progesteron setelah masa menopause selama lebih dari 5 tahun, mempunyai latar
belakang Yahudi Eropa Timur.
Tumor ovarium memiliki entitas patologik yang sangat beragam. Keberagaman
ini disebabkan oleh adanya tiga jenis sel yang membentuk ovarium normal yaitu :
epitel
penutup (Coelomic) permukaan yang multipoten, sel germinativum yang totipoten
dan sel stroma multipoten. Setiap jenis sel ini menimbulkan beragam tumor pada
ovarium.
Kanker indung telur atau kanker ovarium adalah tumor ganas pada ovarium (indung
telur) yang paling sering ditemukan pada wanita berusia 50-70 tahun. Kanker
ovarium bisa menyebar ke bagian lain, panggul, dan perut melalui kelenjar getah
bening dan melalui sistem pembuluh darah dapat menyebar ke hati dan paru-paru.
Kanker ovarium sangat sulit didiagnosa dan kemungkinan kanker ovarium ini
merupakan awal dari banyak kanker primer.
Kanker ovarium berasal dari sel-sel yang menyusun, yaitu sel epithelial, sel
germinal, dan sel stromal. Sel kanker dalam ovarium juga dapat berasal dari
metastesis organ lainnya terutama sel kanker payudara dan kanker kolon tapi tidak
dapat dikatakan sebagai kanker ovarium. Klasifikasi kanker ovarium, yaitu terdiri
dari :
a. Tumor Epithelial
Tumor epithelial ovarium berkembang dari permukaan luar ovarium,
umumnya jenis tumor yang berasal dari epithelial adalah jinak, karsinoma adalah
tumor ganas dari epithelial ovarium (EOC’s : Epithelial Ovarium Carcinomas)
merupakan jenis tumor yang paling sering (85-90%) dan penyebab kematian
terbesar dari jenis kankner ovarium. Gambaran tumor epithelial yang secara

46
mikroskopis tidak jelas teridentifikasi sebagai kanker dinamakan sebagai tumor
borderline atautumor yang berpotensi ganas.
b. Tumor Germinal
Tumor sel germinal berasal dari sel yang menghasilkan ovum atau sel
telur, umumnya tumor germinal adalah jinak meskipun beberapa menjadi ganas.
Bentuk keganasan sel germinal terutama adalah teratoma, dysgerminoma dan
tumor sinus endodermal. Insiden keganasan tumor germinal terjadi pada usia
muda kadang di bawah usia 20 tahun. Sebelum era kombinasi kemoterapi,
harapan hidupp satu tahun kanker ovarium germinal stadium dini hanya
mencapai 10-19% sekarang ini 90% pasien kanker ovarium germinal dapat
disembuhkan dengan fertilitas dapat dipertahankan.
c. Tumor Stromal
Tumor ovarium stromal berasal dari jaringan penyokong ovarium yang
memproduksi hormon esterogen dan progesteron. Jenis tumor ini jarang
ditemukan, bentuk yang didapati berupa tumor techa dan tumor sel sartoli leydig
termasuk kanker dengan derajad keganasan yang rendah.
2. Prevelensi
Kanker merupakan penyebab kematian utama kedua yang memberikan kontribusi
13 % kematian dari 22 % kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia.
Masalah penyakit kanker di Indonesia antara lain hampir 70% penderita penyakit ini
ditemukan dalam keadaan stadium yang sudah lanjut. Kenyataan yang ada antara lain
sebagian besar kanker payudara yang berobat ke RS/dokter sudah dalam keadaan
stadium lanjut (>50%). Berdasarkan laporan dari salah satu rumah sakit di Indonesia
(tahun 1968) diketahui bahwa kanker payudara hanya 22% sudah stadium operabel
(Portman stadium I-II) dan 78% kanker payudara stadium inoperabel (Portman III-
IV). Sementara Tjindarbumi (1984) mencatat bahwa stadium operabel 30-35%; dan
inoperabel (lanjut) 65-70% dan selanjutnya Ramli (1991) melaporkan bahwa stadium
operabel sudah 42% dan inoperabel 58%. Demikian pula hasil Collaborative Study
Indonesia Jepang tentang epidemiologi kanker payudara sebagai berikut: stadium I
2%, stadium II 16%, stadium IlIa 23%, stadium IIIb 40% dan stadium IV 19%.

47
Negara yang memiliki angka tertinggi adalah sub sahara Afrika, termasuk Afrika
Selatan (40/100.000). Di Afrika, kebanyakan penderita dengan kanker Ovarium
umumnya terdeteksi pada stadium penyakit yang tinggi (59,3% stadium III). Dimana
penurunan insidens dan kematian kanker Ovarium terdokumentasi di negara maju
seperti Amerika, Kanada, dan Skandinavia, trend ini tidak nyata terlihat pada negara
berkembang dikarenakan kurangnya atau kurang efisiennya program screening
(Moodley M dkk 2008). Namun data terbaru menunjukkan bahwa kanker ovarium
merupakan penyebab kematian kanker dikalangan perempuan di Amerika Serikat
dan Eropa Barat dan memiliki angka kematian tertinggi dari semua kanker
ginekologis (Aletti et al, 2007).
Di Indonesia penyakit kanker merupakan urutan ke 6 dari pola penyakit nasional.
Setiap tahunnya 100 kasus baru terjadi diantara 100.000 penduduk. Meningkatnya
pengguna rokok (57 juta orang), konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan
kurangnya aktifitas fisik/olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian
kanker di Indonesia. Diperkirakan kematian akibat kanker mencapai 4,3 juta per
tahun dan 2,3 juta di antaranya ditemukan di negara berkembang. Penderita baru
diperkirakan 5,9 juta per tahun dan 3,0 juta ditemukan di Negara berkembang. Dari
tahun 1989-1992 terdapat 1726 kasus kanker ginekologik di Departemen Obstetri
dan Ginekologi RSCM, Jakarta dan 13,6% adalah kanker ovarium.
Diperkirakan 70-80% kanker ovarium baru ditemukan setelah menyebar luas atau
telah bermetastasis jauh sehingga hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan.
Parameter tingkat keberhasilan pengobatan kanker termasuk kanker ovarium adalah
angka ketahanan hidup 5 tahun (five-year survival rate) setelah pengobatan. Sampai
saat ini permasalahan kanker ovarium di Indonesia masih demikian komplek. Salah
satunya adalah masih rendahnya daya tahan hidup penderita. Diketahui bahwa Angka
Ketahanan Hidup (AKH) 5 tahun kanker ovarium menurun sejalan dengan
meningkatnya stadium penyakit.
Angka ketahanan hidup pada stadium I sebesar 72,8%, stadium II 46,3%, stadium
III 17,2% dan stadium IV hanya 4,8%. Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
AKH 5 tahun kanker ovarium pada stadium Ia sebesar 65% dan pada stadium IV

48
hanya 3%. Di Indonesia khususnya RSCM Jakarta AKH 5 tahun penderita kanker
ovarium masih belum didapatkan.
Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker (BRK) DepartemenKesehatan
Republik Indonesia tahun 2005 yang diperoleh dari 13 laboratorium pusat patologik
anatomik di seluruh indonesia menunjukkan bahwa frekuensi relatif kanker ovarium
menempati urutan ke 4 diantara 10 tumor tersering menurut tumor primer yang
terjadi pada pria dan wanita (4401 kasus) dan menempati urutan ke 6 tumor tersering
menurut tumor primer yang terjadi pada wanita di jakarta (871 kasus). Selama rentan
waktu lima tahun (2001-2005) terdapat 432 kasus kanker ginekologik di Rumah
Sakit Umum
Wahidin Sudirohusodo, dimana kanker ovarium menempati urutan ketiga sebanyak
23,45%.(Zuraidah E 2005). Sedangkan kejadian kanker ovarium di rumah sakit
umum pusat nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama tahun 2002
sampai 2006 juga menunjukkan proporsi tertinggi diantara jenis kanker ginekologik,
dan kematian yang diakibatkan oleh kanker ovarium juga menunjukkan angka yang
cukup tinggi, yaitu 34,1% dari 327 kasus kematian akibat kanker ginekologik yang
terjadi tahun 2002 sampai 2006.
3. Etiologi
Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, bayak teori
yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium. Adapun penyebab dari kanker
ovarium, yaitu :
1. Hipotesis incessant ovulation
Teori meyatakan bahwa terjadi kerusakan pada sel-sel epitel ovarium
untuk penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi. Proses penyembuhan sel-sel
epitel yang terganggu dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel
tumor.
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki
oleh seorang wanita. Dalam paritas terjadi pelepasan sel ovum dari ovarium
sehingga menyebabkan produksi estrogen untuk poliferasi epitel ovarium.
Walaupun ada beberapa hipotesis yang menghubungkan antara paritas dengan
kanker ovarium namun etiologi pasritas dengan kanker ovarium belum begitu

49
jelas. Beberapa hipotesis mengungkapkan bahwa tingginya paritas justru
menjadi faktor protektif terhadap kanker ovarium, salah satunya adalah adalah
hipotesis incessant ovulation yang menyebutkan bahwa pada saat terjadinya
ovulasi akan terjadi kerusakan pada epitel ovarium. Untuk proses perbaikan
kerusakan ini diperlukan waktu tertentu.
Apabila kerusakan epitel ini terjadi berkali-kali terutama jika sebelum
penyembuhan sempurna tercapai, atau dengan kata lain masa istirahat sel tidak
adekuat,maka proses perbaikan tersebut akan mengalami gangguan sehingga
dapat terjadi transformasi menjadi sel-sel neoplastik. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa wanita yang memiliki paritas = 2 kali akan menurunkan risiko terkena
kanker ovarium. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa hasil bivariat
dengan menggunakan uji Odds Ratio (OR) diperoleh nilai OR = 1,533 dengan
nilai Lower Limit (LL) = 0,797 dan Upper Limit (UL) = 2,948, oleh karena nilai
LL dan UL mencakup nilai 1 maka nilai 1,533 dianggap tidak bermakna.
Sehingga paritas bukan merupakan faktor risiko kanker ovarium.

2. Hipotesis androgen
Androgen mempunyai peranan penting dalam terbentuknya kanker
ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel ovarium
mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan in vitro, androgen dapat
menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel kanker ovarium.
Dalam penelitian sebelumnya diketahui bahwa usia menarkhe dini diduga
merupakan risiko kanker ovarium, hal ini berhubungan dengan produksi hormon
oleh ovarium yaitu estrogen, estrogen sendiri terdiri dari 3 jenis hormon yaitu
estradiol, estriol, dan estrion.
Estradiol dan estriol diduga bersifat karsinogenik, hal ini berhubungan
dengan poliferasi jaringan ovarium dimana kedua hormon ini memegang
peranan penting. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa menarkhe merupakan
pertanda bahwa ovarium telah mulai menghasilkan hormon estrogen. Dan pada
faktanya bahwa usia menarkhe dini (<12 tahun) menyebabkan usia menopause
yang lebih lama, Sehingga keterpaparan estrogen seorang wanita yang memiliki
menarkhe dini lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang memiliki

50
menarkhe normal.
Hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) diperoleh nilai
OR=2,104, pada tingkat kepercayaan (CI)=95% diperoleh nilai Lower Limit
(LL) = 1,061 dan Upper Limit (UP) = 4,174. Oleh karena nilai LL dan UL tidak
mencakup nilai 1 maka nilai 2,104 dianggap bermakna secara statistik, dengan
demikian responden yang menarkhe pada umur < 12 tahun memiliki risiko 2,104
kali lebih besar untuk mengalami kanker ovarium daripada responden yang
menarkhe pada umur = 12 tahun.
Walaupun usia menarkhe yang terlalu dini dikaitkan dengan lamanya
terpapar oleh hormon estrogen dalam meningkatkan risiko kanker ovarium
namun teori yang kuat mengkaitkan menarkhe dengan kanker ovarium adalah
teori gonadrotopin,karena hormon gonadrotopin adalah hormon penting selama
dan pra pubertas, dimana hormon LH berfungsi mematangkan ovarium dan
memicu ovulasi serta sintesis dan sekresi estrogen dan progesteron pada wanita
sehingga pubertasi pada wanita sangat dipengaruhi oleh hormon ini, adapun teori
ini didasarkan pada pengetahuan dari percobaan binatang dan data epidemiologi.
Hormon hiposa diperlukan untuk perkembangan tumor ovarium pada beberapa
percobaan pada binatang rhodentia. Pada percobaan ini ditemukan bahwa jika
kadar estrogen rendah di sirkulasi perifer, kadar hormon gonadotropin
meningkat.
Peningkatan kadar hormon gonadrotopin ini ternyata berhubungan dengan
makin bertambah besarnya tumor ovarium pada binatang tersebut. Walaupun
teori ini telah mencoba menjelaskan pengaruh peningkatan hormon gonadrotopin
terhadap kanker ovarium, namun teori ini masih menjadi perdebatan selain
karena teori ini didasarkan pada uji coba binatang mamalia, namun struktrur
anatomi dan fisiologi tubuh manusia jauh berbeda bila dibandingkan dengan
binatang rodentia, selain itu kadar estrogen rendah pada tubuh manusia memicu
peningkatan kadar hormon gonadrotopin dalam tubuh manusia, dikarenakan
salah satu fungsi hormon gonadrotopin (LH) adalah meningkatkan sintesis dan
pelepasan estrogen dan progestin, sehingga hal ini dapat menyebabkan
peningkatan yang pesat pula pada hormon estrogen.

51
Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit kanker ovarium antara
lain diuraikan sebagai berikut :
a. Merokok
b. Alkohol
c. Diet tinggi lemak dan obesitas
d. Penggunaan bedak talk perineal
e. Riwayat kanker payudara, kolon, atau endometrium
f. Riwayat kelurga dengan kanker payudara atau ovarium
g. Infertilitas
h. Menstruasi dini
i. Tidak pernah melahirkan
4. Patofisiologi
Kanker ovarium disebabkan oleh zat-zat karsinogenik sehingga terjadi tumor
primer, di mana akan terjadi infiltrasi di sekitar jaringan dan akan terjadi implantasi.
Implantasi merupakan ciri khas dari tumor ganas ovarium. Gejala yang terjadi pada
kanker ovarium adalah gejala samar dan ascites. Ascites adalah kelebihan volume
cairan di rongga perut, sedangkan gejala samarnya, yaitu perut sebah, makan sedikit
tapi cepat kenyang, sering kembung, dan nafsu makan menurun.
Manifestasi klinik terutama berupa rasa tidak enak di perut bagian bawah atau
tenesmus. Pada stadium awal dapat timbul acites; dengan cepat kanker tumbuh
melapaui kavum pelvis hingga teraba massa, menstruasi tidak teratur, dapat timubl
pendarahan per vaginam. Tanda dan gejala pada pasien kanker ovarium bervariasi
dan tidak spesifik. Pada stadium awal berupa menstruasi yang tidak teratur,
ketegangan menstrual yang meningkat, menoragia, nyeri tekan pada payudara,
menopause dini, rasa tidak nyaman pada abdomen, dyspepsia, tekanan pada pelvis,
sering berkemih, flatulenes, rasa begah setelah makan makanan kecil, lingkar
abdomen yang terus meningkat.
Banyak tumor ovarium tidak menunjukkan tanda dan gejala, terutama tumor
ovarium kecil. Sebagian tanda dan gejala akibat dari pertumbuhan, aktivitas
hormonal dan komplikasi tumor-tumor tersebut.

52
a. Akibat pertumbuhan, di mana adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa
menyebabkan pembesaran perut, tekanan terhadap alat sekitarnya, disebabkan
oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Selain gangguan miksi, tekanan
tumor dapat mengakibatkan konstipasi, edema, tumor yang besar dapat
mengakibatkan tidak nafsu makan dan rasa sakit.
b. Aktivitas-aktivitas hormonal, di mana pada umumnya tumor ovarium tidak
menganggu pola haid kecuali jika tumor itu sendiri mengeluarkan hormon.
c. Akibat Komplikasi
1) Pendarahn pada kista: Perdarahan biasanya sedikit, kalau tidak sekonyong-
konyong dalam jumlah banyak akan terjadi distensi dan menimbulkan nyeri
perut.

2) Torsi : Torsi atau putaran tangkai menyebabkan tarikan melalui


ligamentum infundibulo pelvikum terhadap peritonium parietal dan
menimbulkan rasa sakit.

3) Infeksi pada tumor : Infeksi pada tumor dapat terjadi bila di dekat tumor
ada tumor kuman patogen seperti appendicitis, divertikalitis, atau
salpingitis akut.

4) Robekan inding kista : Robekan pada kista disertai hemoragi yang timbul
secara akut, maka perdarahan dapat sampai ke rongga peritonium dan
menimbulkan rasa nyeri terus menerus.

5) Perubahan keganasan : Dapat terjadi pada beberapa kista jinak, sehingga


setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang
seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasan. Tumor ganas
merupakan kumpulan tumor dan histiogenesis yang beraneka ragam, dapat
berasal dari ketiga (3) dermoblast (ektodermal, endodermal, mesodermal)
dengan sifat histiologis maupun biologis yang beraneka ragam, kira-kira
60% terdapat pada usia peri menopause 30% dalam masa reproduksi dan
10% usia jauh lebih muda. Tumor ovarium yang ganas, menyebar secara
limfogen ke kelenjar para aorta, medistinal dan supraclavikular. Untuk

53
selanjutnya menyebar ke alat-alat yang jauh terutama paru-paru, hati dan
otak, obstruksi usus da ureter merupakan masalah yang sering menyertai
penderita tumor ganas ovarium.
5. Stadium
Stadium kanker ovarium primer menurut FIGO (Federation International of
Ginecologies and Obstetricians) 1987 adalah :
a. Stadium I
Pada stadium I, pertumbuhan sel kanker terbatas pada ovarium.
1) Stadium 1a
Pertumbuhan terbatas pada suatu ovarium, tidak ada asietas yang berisi sel
ganas, tidak ada pertumbuhan di permukaan luar, kapsul utuh.
2) Stadium 1b
Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak asietas berisi sel ganas,
tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul intak.
3) Stadium 1c
Rumor dengan stadium 1a dan 1b, tetapi ada tumor di permukaan luar atau
kedua ovarium atau kapsul pecah atau dengan asietas berisi sel ganas atau
ddengan bilasan peritoneum positif.
b. Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau dua ovarium dengan perluasan ke panggul.
1) Stadium 2a
Perluasan atau metastesis ke uterus dan atau tuba.
2) Stadium 2b
Perluasan jaringan pelvis lainnya.
3) Stadium 2c
Tumor stadium 2a dan 2b, tetapi pada tumor dengan permukaan satu atau
kedua varium, kapsul pecah atau dengan asitas yangmengandung sel ganas
dengan bilasan peritoneum positif.
c. Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di peritoneum di
luar pelvis dan atau ratroperitonial positif. Tumor terbatas dalam pelvis kecil

54
tetapi sel histologi terbukti meluas ke usus besar atau omentum.
1) Stadium 3a
Tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar getah bening negative tetapi
secara histologi dari konfirmasi secara mikroskopis terdapat adanya
pertumbuhan (seeding) di permukaan peritoneum abdominal.
2) Stadium 3b
Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di permukaan
peritoneum dan terbukti secara mikroskopis, diameter melebihi 2 cm, dan
kelenjar getah bening negatif.
3) Stadium 3c
Implant di abdomen dengan diameter >2 cm dan atau kelenjar getah bening
retroperitoneal atau inguinal positif.
d. Stadium IV
Pertumbuhan dengan mengenai satu atau kedua ovarium dengan metastasis
jauh. Bila efusi pleura dan hasil sitologinya positif dalam stadium 4, begitu juga
metastasis ke permukaan liver. Derajad keganasan kanker ovarium :
1) Derajad 1 : differensiasi baik
2) Derajad 2 : differensiasi sedang
3) Derajad 3 : differensiasi buruk
Dengan derajad differensiasi semakin rendah, pertumbuhan dna prognosis
akan lebih baik.
6. Diagnosis
Sebelum melakukan diagnosis terhadap penyakit kanker ovarium, perlu diketahui
lebih awal tentang gejala-gejala terhadap penyakit kanker ovarium, antara lain
a. Stadium Awal
1) Gangguan haid
2) Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)

3) Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)

4) Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)

5) Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah panggul)

55
6) Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan pada
lapisan rahim, pembesaran payudara atau peningkatan pertumbuhan rambut)
b. Stadium Lanjut

1) Asites

2) Penyebaran ke omentum (lemak perut)

3) Perut membuncit

4) Kembung dan mual

5) Gangguan nafsu makan

6) Gangguan BAB dan BAK

7) Sesak nafas

8) Dyspepsia
Sebagian besar kanker ovarium bermula dari suatu kista. Oleh karena itu, apabila
pada seorang wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat jinak atau ganas (kanker
ovarium). Ciri-ciri kista yang bersifat ganas yaitu pada keadaan :

a. Kista cepat membesar


b. Kista pada usia remaja atau pascamenopause
c. Kista dengan dinding yang tebal dan tidak berurutan
d. Kista dengan bagian padat
e. Tumor pada ovarium

56
Pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat dugaan kea rah kanker ovarium,antara
lain sebagai berikut :

a. Tes darah CA125, di mana CA 125 merupakan protein yang terdapat pada
permukaan sel kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat. CA 125 juga dikenal
sebagi tumor marker terhadap sel kanker ovarium. Kandungan CA-125
meningkat sekitar 80% pada pasien yang terkena kanker ovarium.

epithelial. Akan tetapi metode ini tidak terlalu akurat untuk mendiagnosa kanker
ovarium karena protein CA-125 juga dapat meningkat dalam kondisi non-kanker,
seperti saat terjadi endometriosis dan radang usus buntu.

b. Pemeriksaan Pelvik, yaitu pemeriksaan permukaan vulva, uterus serta ovarium


untuk mencari perubahan abnormal.
c. USG dengan Doppler untuk menentukan arus darah, dengan USG dapat
memastikan letak benjolan pelvis, ukuran, dan sifat, kistik atau substansial.
Pemeriksaan USG dengan cara pemeriksaan transvaginal ultrasound, yaitu
memasukkan alat ultrasound ke dalam vagina. Pemeriksaan juga dapat dilakukan
melalui pemeriksaan ultrasound eksternal di mana alat ultrasound diletakkan di
atas perut. Gambar yang dihasilkan kemudian akan menunjukkan ukuran serta
tekstur dari ovarium Anda, sekaligus kista yang mungkin ada.
d. Jika diperlukan, pemeriksaan CT-Scan/MRI, yaitu dengan pemindaian visual
pada bagian perut, dada dan pelvik ini dapat membantu untuk mendeteksi tanda-
tanda terjadinya kanker pada bagian tubuh yang lain.
e. Pemeriksaan X-Ray, dapat mengetahui letak dan sifat benjolan pelvis,
menentukan stadium tumor, membantu pemeriksaan kekambuhan pasca operasi.
f. Biopsis, dengan laparoskopi mengambil jaringan ovarium untuk diperiksa di
bawah mikroskop. Biopsi adalah satu-satunya cara memastikan diagnosa kanker
ovarium. Diagnosis dini kanker ovarium sangat sulit, gabungan dari berbagai
cara diagnosis membantu mendiagnosis dini kanker ovarium.
g. Pemeriksaan tumor marker seperti Ca-125 dan Ca-724, beta-HCG dan

alfafetoprotein.

57
8. Kemoterapi
1. Definisi
Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak seperti
radiasi atau operasi yang bersifat local, kemoterapi merupakan terapi sistemik, yang
berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel kanker yang telah
menyebar jauh atau metastase ke tempat lain.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single
agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan
potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah
satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya.
2. Tujuan
a. Terapi adjuvant :
kemoterapi yang diberikan sesudah operasi, dapat sendiri atau bersamaan dengan
radiasi, dan bertujuan untuk membunuh sel yang telah bermetastase.
b. Terapi neodjuvan :
kemoterapi yang diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan massa tumor,
biasanya dikombinasi dengan radioterapi.
c. Kemoterapi primer:
digunakan sendiri dalam penatalaksanaan tumor, yang kemungkinan kecil untuk
diobati, dan kemoterapi digunakan hanya untuk mengontrol gejalanya.
d. Kemoterapi induksi:
digunakan sebagai terapi pertama dari beberapa terapi berikutnya.
e. Kemoterapi kombinasi:
mengunakan 2 atau lebih agen kemoterapi.
3. Cara Pemberian
a. Pemberian per oral
Beberapa jenis kemoterapi telah dikemas untuk pemberian peroral, diantaranya
adalah chlorambucil dan etoposide (vp-16)
b. Pemberian secara intra-muskulus

58
Pemberian dengan cara ini relative lebih mudah dan sebaiknya suntikan tidak
diberikan pada lokasi yang sama dengan pemberian dua-tiga kali berturut-turut
yang dapat diberikan secara intra-muskulus antara lain bleomicin dan
methotrexate.
c. Pemberian secara intravena
Pemberian secara intravena dapat dengan bolus perlahan-lahan atau diberikan
secara infuse (drip). Cara ini merupakan cara pemberian kemoterapi yang paling
umum dan banyak digunakan .
d. Pemberian secara intra-arteri
Pemberian intra-arteri jarang dilakukan karena membutuhkan sarana yang cukup
banyak antara lain alat radiologi diagnostic, mesin, atau alat filter, serta
memerlukan keterampilan tersendiri.
4. Cara Kerja
Suatu sel normal akan berkembang mengikuti siklus pembelahan sel yang teratur.
Beberapa sel akan membelah diri dan membentuk sel baru dan sel yang lain akan mati.
Sel yang abnormal akan membelah diri dan berkembang secara tidak terkontrol, yang
pada akhirnya akan terjadi suatu masa yang dikenal sebagai tumor.
Siklus sel secara sederhana dibagi menjadi 5 tahap yaitu:
a. Fase G0, dikenal juga sebagai fase istirahat Ketika ada sinyal untuk berkembang,
sel ini akan memasuki fase G1.
b. Fase G1, pada fase ini sel siap untuk membelah diri yang diperantarai oleh
beberapa protein penting untuk bereproduksi. Fase ini berlangsung 18-30 jam.
c. Fase S, disebut sebagai fase sintesis. Pada fase ini DNA sel akan di kopi. Fase ini
berlangsung selama 18-20 jam.
d. Fase G2, sintesis protein terus berlanjut. Fase ini berlansung 2-10 jam.
e. Fase M. sel dibagi menjadi 2 sel baru. Fase ini berlangsung 30-60 menit.

Siklus sel sangat penting dalam kemoterapi sebab obat kemoterapi mempunyai
target dan efek merusak yang berbeda bergantung pada siklus selnya. Obat kemoterapi
aktif pada saat sel sedang bereproduksi ( bukan pada fase G0 ), sehingga sel tumor
yang aktif merupakan target utama dari kemoterapi namun, oleh karena itu sel yang

59
sehat juga bereproduksi, maka tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan
terpengaruh oleh kemoterapi, yang akan muncul sebagai efek samping obat.
5. Efek Samping
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh :
a. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh
tertentu.
b. Dosis.
c. Jadwal pemberian.
d. Pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
e. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ
tertentu.

Efek samping dari kemoterapi meliputi, anemia, trombositopenia, leucopenia,


mual dan muntah, alopesia (rambut rontok), stomatitis, reaksialergi, neurotoksik, dan
ekstravasasi (keluarnya obat vesikan atau iritan ke jaringan subkutan yang berakibat
timbulnya rasa nyeri, nekrosis jaringan, dan ulserasi jaringan).
a. Efek kemoterapi secara fisik.
Kemoterapi memiliki dampak dalam berbagai bidang kehidupan antara lain
dampak terhadap fisik dan psikologis kemoterapi memberikan efek nyata kepada
fisik pasien, setiap orang memiliki variasi yang berbeda dalam merespon obat
kemoterapi, efek fisik yang tidak diberikan penanganan yang baik dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien, adapun dampak fisik kemoterapi adalah
sebagai berikut :
1) Mual dan muntah
2) Konstipasi
3) Neuropati perifer
4) Toksisitas kulit
5) Kerontokan rambut (alopecia)
6) Penurunan berat badan
7) Kelelahan (fatigue)
8) Penurunan nafsu makan
9) Perubahan rasa dan nyeri.

60
b. Efek Samping Psikologi
Beberapa dampak psikologis pasien kanker diantaranya sebagai berikut:
1) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah kondisi psikologis yang disebabkan oleh
gangguan motivasi, proses kognisi, dan emosi sebagai hasil pengalaman di luar
kontrol organisme. Ketidakberdayaan pada penderita kanker bisa terjadi karena
proses kognitif pada penderita yang berupa pikiran bahwa usahanya selama ini
untuk memperpanjang hidupnya atau mendapatkan kesembuhan, ternyata
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (perasaan mual, rambut
rontok, diare kronis, kulit menghitam, pusing, dan kehilangan energi). Efek
samping yang tidak diinginkan ini dapat muncul berupa proses emosi dimana
penderita tersebut merasa bahwa mereka hanya dijadikan sebagai objek uji
coba dokter. Proses kognisi dan emosi inilah seorang penderita melakukan
suatu reaksi penolakan sebagai gangguan dalam hal motivasi. Munculnya
ketidak berdayaan ini mampu menimbulkan suatu bentuk tingkah laku yang
dapat dilihat oleh semua orang (overt behavior). Bentuk tingkah laku ini bisa
seperti marah dan seolah mencoba mengontrol lingkungan untuk menerima
keberadaan mereka. Ketidakberdayaan dapat meyebabkan penderita kanker
mengalami dampak psikologis lain yaitu depresi (Wijayanti, 2007).
2) Kecemasan
Kecemasan adalah keadaan psikologis yang disebabkan oleh adanya rasa
khawatir yang terus-menerus ditimbulkan oleh adanya inner conflict. Dampak
kecemasan yang muncul pada penderita kanker adalah berupa rasa takut bahwa
usianya akan singkat (berkaitan dengan inner conflict). Inner conflict berupa
kegiatan untuk menjalani pengobatan agar bisa sembuh tetapi tidak mau
menerima adanya risiko bagi penampilannya. Risiko disini dapat berupa
rambut rontok dan kulit menghitam akibat kemoterapi, atau hilangnya
payudara akibat operasi. Kecemasan dapat digolongkan dalam bentuk covert
behavior, karena merupakan keadaan yang ditimbulkan dari proses inner
conflict. Kecemasan dapat pula muncul sebagai reaksi terhadap diagnosis
penyakit parah yang dideritanya. Sebagai seseorang yang awalnya merasa

61
dirinya sehat, tiba-tiba diberitahu bahwa dirinya mengidap penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, tentu saja muncul penolakan yang berupa
ketidakpercayaan terhadap diagnosa. Penolakan yang penuh kecemasan ini
terjadi karena mungkin ia memiliki banyak rencana akan masa depan, ada
harapan pada kemajuan kesehatannya, dan itu seolah terhempas.
3) Rasa malu
Rasa malu merupakan suatu keadaan emosi yang kompleks karena
mencakup perasaan diri yang negatif. Perasaan malu pada penderita kanker
muncul karena ada perasaan dimana ia memiliki mutu kesehatan yang rendah
dan kerusakan dalam organ.
4) Harga diri
Sebagai penderita penyakit terminal seperti kanker, disebutkan bahwa
pada diri penderita mengalami perubahan dalam konsep diri. Harga diri
merupakan bagian dari konsep diri, maka bila konsep diri menurun diartikan
bahwa harga dirinya juga menurun. Terjadinya penurunan harga diri sejalan
dengan memburuknya kondisi fisik, yaitu pasien tidak dapat merawat diri
sendiri dan sulit menampilkan diri secara efektif. Ancaman paling berat pada
psikologisnya adalah kehilangan harga diri. Penurunan dan kehilangan harga
diri ini merupakan reaksi emosi yang muncul pada perasaan penderita kanker.
5) Stres
Stres yang muncul sebagai dampak pada penderita kanker memfokuskan
pada reaksi seseorang terhadap stressor. Stressor dalam hal ini adalah penyakit
kanker. Stres yang muncul ini merupakan bentuk manifestasi perilaku yang
tidak muncul dalam perilaku yang nampak (covert behavior). Stres ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah dukungan sosial.
Dukungan sosial sangat berguna untuk menjaga kesehatan seseorang dalam
keadaan stres.
6) Depresi
Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa

62
putus asa, dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri. Salah satu akibat dari
kecemasan yang berupa usianya akan singkat, menjadikan perasaan putus asa
dalam diri penderita kanker. Ketidakberdayaan yang menjadi dampak
psikologis memicu timbulnya perasaan depresi. Penderita kanker payudara
umumnya mengalami depresi dan hal ini tampak nyata terutama disebabkan
karena rasa nyeri yang tidak teratasi dengan gejala sebagai berikut: Penurunan
gairah hidup, perasaan menarik diri, ketidak kemampuan, dan gangguan harga
diri.Somatis berupa berat badan menurun drastis dan insomnia. Rasa lelah dan
tidak memiliki daya kekuatan
7) Amarah
Seseorang yang mengalami reaksi fisiologis, dapat muncul suatu ekspresi
emosional tidak sengaja yang disebabkan oleh kejadian yang tidak
menyenangkan dan disebut sebagai amarah. Semua suasana sensori ini dapat
berpadu dalam pikiran orang dan membentuk suatu reaksi yang disebut marah.
Reaksi amarah yang muncul ini tentu saja dapat terjadi pada penderita kanker,
karena suatu penyakit merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan.
Munculnya reaksi marah pada penderita kanker dapat muncul karena perasaan
bahwa banyak kegiatan hariannya yang diinterupsi oleh penyakit yang
membuatnya tidak berdaya. Reaksi marah yang muncul bisa berupa reaksi
motorik (overt behavior) seperti tangan mengepal, perubahan raut muka seperti
alis mengkerut.

9. Radioterapi
1. Definisi
Radiasi merupakan perpindahan energi dari sumber radiasi terhadap medium lain,
dan transmisi ini dapat berupa partikel (radiasi partikel) maupun berupa gelombang atau
cahaya (radiasi elektromagnetik). Beberapa jenis radiasi yang dihasilkan dari atom,
seperti radiasi sinar tampak, sinar-X dan sinar-ɣ, dikelompokkan dalam gelombang
elektomagnetik atau dikenal dengan istilah spektrum elektromagnetik. Pada spektrum
ini, gelombang radio dengan panjang gelombang ≥10–7 nm dan memiliki energi <12
eV termasuk ke dalam radiasi non-ionik, seperti sinar inframerah, sinar tampak, sinar

63
ultraviolet, sedangkan gelombang radio dengan energi >12 eV, seperti sinar-X dan
sinar-ɣ disebut radiasi pengion. Dalam radioterapi, digunakan radiasi pengion karena
dapat membentuk ion (partikel bermuatan listrik) dan menyimpan energi ke sel-sel
jaringan yang melewatinya. Energi yang tersimpan ini bisa membunuh sel kanker
atau menyebabkan perubahan genetik yang mengakibatkan kematian sel kanker. Radiasi
pengion adalah radiasi dengan energi tinggi yang mampu melepaskan elektron dari orbit
suatu atom, yang menyebabkan terbentuknya muatan atau terionisasi. Radiasi pengion
terdiri dari radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel.
2. Jenis
Radioterapi dapat digunakan sebagai terapi kuratif, paliatif maupun profilaksis
(preventif). Terapi kuratif biasanya berbentuk terapi tunggal untuk penyembuhan suatu
kanker, contohnya digunakan dalam kasus limfoma Hodgkin tahap awal, kanker
nasofaring, beberapa kanker kulit, dan kanker glotis awal. Terapi paliatif bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara menghilangkan gejala-gejala kanker dengan
menerapkan dosis radiasi paliatif. Penerapannya antara lain pada kasus maternal otak
dan tulang serta sindroma venacava superior. Terapi profilaksis (preventif) merupakan
terapi yang bertujuan untuk mencegah kemungkinan metastasis atau kejadian berulang
melalui penerapan radioterapi, contohnya adalah whole-barin radiotherapy untuk
leukemia limfoblastik akut dan kanker paru-paru sel kecil.
Berdasarkan waktu penggunaannya, radioterapi terdiri dari radioterapi adjuvan
yang diberikan setelah dilakukannya metode pegobatan tertentu, radioterapineoadjuvan,
dan radiokemoterapi. Radioterapineoadjuvan dilakukan sebelum dilakukannya tindakan
dengan metode lain, misalnya radioterapi preoperasi, sedangkan radiokemoterapi yaitu
pemberian radioterapi yang dilakukan bersamaan dengan kemoterapi.
Penghantaran radiasi terhadap lokasi kanker dapat dilakukan dengan dua metode,
yaitu radioterapi eksternal dan brachytherapy (endocurientherapy atau disebut sealed-
source radiotherapy). Radioterapi eksternal adalah radioterapi yang dipaparkan ke tubuh
secara eksternal menggunakan mesin perawatan, sedangkan pada brachytherapy,
sumber radiasi temporer atau permanen ditempatkan ke dalam rongga tubuh, metode ini
digunakan dalam perawatan rutin kanker ginekologi dan prostat serta pada situasi yang
membutuhkan perawatan berulang.

64
3. Mekanisme
Target utama dari terapi radiasi adalah kerusakan molekul DNA pada jaringan
target. Secara umum ada 2 jenis mekanisme kerusakan DNA akibat radiasi pengion,
yaitu ionisasi langsung dan tidak langsung. Kerusakan karena ionisasi langsung
biasanya disebabkan oleh radiasi partikel yang terjadi karena energi kinetik partikel
dapat langsung merusak struktur atom jaringan biologi yang dilewatinya, sedangkan
ionisasi tidak langsung umumnya disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dengan cara
membentuk elektron sekunder/ radikal bebas yang akan berinteraksi dengan DNA
menyebabkan kerusakan. Kerusakan ini dapat berupa single strand breaks (SSB) dan
double strand breaks (DSB). Kerusakan pada salah satu untai DNA (SSB) masih dapat
diperbaiki oleh sel, sedangkan kerusakan pada untai ganda seringkali menyebabkan
kematian sel.
Terapi radiasi dapat mencapai efek terapeutiknya dengan menginduksi kematian sel
melalui beberapa cara, yaitu:
a. Apoptosis
Apoptosis adalah suatu bentuk kematian sel terprogram yang ditandai dengan
kondensasi/ fragmentasi kromatin, penyusutan sel, dan pengelupasan selaput
membran sel. Dalam responnya terhadap radiasi, apoptosis terutama diamati pada sel
sistem hematopoietic.
b. Autofagi
Autofagi merupakan proses sel mencerna bagian dari sitoplasmanya sendiri untuk
menghasilkan makromolekul dan energi. Hal ini ditandai dengan penyerapan protein
dan/ atau organel dalam vesikel autofagi besar yang disebut autophagosomes, lalu
peleburan dari vesikula dengan lisosom menyebabkan pembentukan
autophagolysosomes dan degradasi konten di dalamnya menyediakan bahan untuk
sintesis dan regenerasi de novo. Terdapat hubungan antara autofagi dengan apoptosis
karena autofagi ditemukan pada sel saat gagal mengalami apoptosis dan autofagi
termasuk kematian sel terprogram tipe II (apoptosis adalah tipe I).
c. Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel yang tidak terkontrol, terjadi karena kondisi
ligkungan yang ekstrim seperti perubahan pH ekstrim, kehilangan energi atau

65
ketidakseimbangan ion, dapat terjadi karena infeksi, inflamasi, ataupun iskemia.
Nekrosis ditandai dengan deformasi membran, penggembungan selular, kerusakan
organel, dan pelepasan enzim lisosomal yang menyerang sel. Nekrosis juga sering
diamati pada sel tumor dan dapat terjadi karena kerusakan DNA akibat radiasi
meskipun belum jelas bagaimana mekanisme terjadinya nekrosis pasca radiasi.
d. Senescence
Senescence merupakan keadaan sel secara permanen kehilangan kemampuannya
untuk membelah, akan tetapi sel masih memiliki kemampuan metabolisme dan tidak
menunjukkan perubahan fungsional.
e. Kematian mitosis
Proses ini terjadi ketika sel mengalami proses mitosis yang tidak tepat akibat
kerusakan DNA yang tidak diperbaiki, hal ini sering terjadi setelah proses irradiasi.
Dalam hal ini kematian sel didefinisikan sebagai kehilangan kemampuan replikasi
dan ketidakmampuan sel untuk memisahkan materi genetik dengan benar.
4. Efek Samping
a. Toksisitas kulit akut
Kejadian toksisitas pada kulit dilaporkan pada pasien yang menjalani terapi
Stereotactic Body Radiation Therapy (SBRT), dalam penelitian Hoppe et al. tahun
2008, subjek yang mengalami toksisitas kulit tingkat 1, 2 dan 3 berturut-turut sebesar
38%, 8% dan 4%.27
b. Komplikasi Sistem Saraf Pusat (SSP)
Meskipun perbaikan dalam pengobatan kanker terus menerus dilakukan,
toksisitas SSP tetap menjadi isu penting. Artikel review oleh Soussain et al.
merangkum beberapa jenis komplikasi sistem saraf pusat akibat radioterapi, di
antaranya ensefalopati akut yang memengaruhi hingga 50% pasien setelah pemberian
dosis tinggi atau fraksi radiasi, dan sindrom mengantuk yang terutama
terlihat pada pasien anak, tetapi juga dapat memengaruhi pasien dewasa dalam 2
bulan pertama setelah radioterapi. Gejala yang menonjol adalah kantuk dan tidur
berlebihan, mual, dan anoreksia; focal cerebral and spinal cord radionecrosis yang
merupakan komplikasi akibat radiasi yang parah dan didefinisikan secara
neuropatologis sebagai nekrosis dengan lesi vaskular berat (stenosis, trombosis,

66
perdarahan, nekrosis vaskular fibrinoid). Komplikasi ini jarang terjadi selama 20
tahun terakhir dikarenakan adanya peningkatan keamanan protokol radiasi.
c. Xerostomia dan hiposalivasi
Xerostomia didefinisikan sebagai kekeringan pada mulut karena disfungsi sekresi
kelenjar ludah yang dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, misalnya autoimun
disorder, yang menyebabkan ketidaknyamanan mulut, nyeri dan kesulitan dalam
berbicara. Penelitian Surjadi et al. pada pasien kanker kepala dan leher yang
menjalani radioterapi, hasilnya yaitu 87,6% subjek menunjukkan penurunan laju
salivasi. Dalam sebuah artikel review dikatakan bahwa penurunan (compromise)
dalam fungsi salivasi dapat dilihat dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah
radioterapi dan dapat bertahan setelahnya. Kecuali kerusakannya parah, fungsi
saliva biasanya sembuh dalam waktu 2 tahun dari setelah radioterapi. Disfungsi
kelenjar minimal bisa diamati pada dosis rata-rata 10 sampai 15 Gy dan dosis
rata-rata >40 Gy pada kelenjar parotid menghasilkan suatu penurunan fungsi sebesar
75%. Xerostomia dapat memiliki efek negatif pada kualitas hidup pasien yang
sangat mengganggu kemampuan berbicara, mengunyah, menelan, dan merasakan.
d. Efek samping pada jantung
Kelainan jantung akibat radiasi biasanya disebut dengan istilah radiation induced
heart desease (RIHD) yang menunjukkan keadaan klinis dan kondisi patologis
cedera pada jantung dan pembuluh besar yang dihasilkan dari terapi radiasi kanker.
Kelainan pada jantung dapat terjadi karena radiasi, antara lain kelainan pada
perikardium, kelainan pada miokardium, kelainan pada arteri koroner, kelainan pada
aterosklerosis, dan kelainan pada katup jantung.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lesi merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks uterus. Kanker
vulva adalah keganasan ginekologi yang jarang pada wanita, Pasien sering datang dengan
keluhan nyeri di vulva, terasa gatal, keputihan dan atau perdarahan, adanya benjolan di

67
vulva dan atau lipatan paha, serta adanya limfedema tungkai bawah. Kanker Vagina
adalah tumor ganas pada vagina. Vagina adalah saluran sepanjang 7,5-10 cm; ujung
atasnya berhubungan dengan serviks (leher rahim/bagian terendah dari rahim), sedangkan
ujung bawahnya berhubungan dengan vulva. Kanker leher rahim adalah tumor ganas
yang berasal dari sel epitel skuamosa. Tanpa memandang usia dan latar belakang, setiap
perempuan berisiko terkena kanker yang disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). Kanker endometrium adalah kanker yang terjadi pada organ endometrium atau
pada dinding Rahim. Kanker Rahim (uterus) atau yang sebenarnya adalah kanker
jaringan endometrium adalah kanker yang sering terjadi di endometrium, tempat dimana
janin tumbuh, sering terjadi pada wanita usia 60-70 tahun. Kanker ovarium terjadi ketika
sel-sel pada ovarium berubah dan tumbuh tidak terkendali. Kemoterapi adalah pemberian
obat untuk membunuh sel kanker. Radiasi merupakan perpindahan energi dari sumber
radiasi terhadap medium lain, dan transmisi ini dapat berupa partikel (radiasi partikel)
maupun berupa gelombang atau cahaya (radiasi elektromagnetik).

B. Saran
Disarankan kepada para pembaca khususnya untuk para wanita agar selalu
menjaga kebersihan daerah kewanitaannya selain menjaga para wanita juga bisa
mencegah kanker serviks dengan cara pola hidup sehat, tidak merokok, tidak melakukan
hubungan seksual di usia muda, tidak melahirkan banyak anak, hindari pemakaian DES
tanpa resep dokter, melakukan pap smear ketika sudah memiliki anak.

68
DAFTAR PUSTAKA

Adekunle OO. 2012. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) (Squamous Dysplasia).


Department of Obstetric and Gynaecology. Ahmadu Bello University Teaching Hospital ;
Zaria Kaduna State Nigeria.
Albuquerque K. Part 23 : Vulva Cancer .In: Lu JJ, Brady LW (ed.). Decision Making in
Radiation Oncology Vol. 2. Verlag Berlin Heidelberg : Springer. 2011.pp. 703-24.
Andi DP, Endy MM. 2006. Lesi prakanker serviks. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Andrijono. 2007. Kanker serviks. Edisi I. Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta ; Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Baskar R, Lee KA, Yeo R, Yeoh KW. Cancer and radiation therapy: Current advances and future
directions. Int J Med Sci. 2012;9(3):193–9. doi:10.7150/ijms.3 635.
Baudino TA. Targeted cancer therapy: The next generation of cancer treatment. Curr Drug
Discov Technol. 2015;12(1):3–20.
Bhandare N, Mendenhall WM. A literature review of late complications of radiation therapy for
head and neck cancers: Incidence and dose response. Nucl Med Radiat Ther.
2012;S2:009. doi: 10.4172/2 155-961 9.S2-009.
Bovi JA, White J. Radiation therapy in the prevention of brain metastases. Curr Oncol Rep.
2012;14(1):55-62. doi: 101007/s11912-011-0208-6.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Caruso Ra, Branca G, Fedele F, Irato E, Finocchiaro G, Parisis A, et al. Mechanisms of
coagulative necrosis in malignant epithelial tumors (review). Oncol Lett.
2014;8(4):1397–402. doi: 10.3892/ol.20 14.2345.16(1):56-68.
Campisi J. Aging, Cellular Senescence, and Cancer. Annual review of physiology. 2013;75:685–
705. doi:10.1146/annurev- physiol-030212-183653.
Chan K-S, Koh C-G, Li H-Y. Mitosis- targeted anti-cancer therapies: where they stand. Cell
Death Dis. 2012;3(10):e411. doi:10.1038/cddis.2012.148.
Donges, Marilynn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
Fachlevy, Andi F., Zulkifly Abdullah, Syamsiar S. R. 2011. Faktor Resiko Kanker Ovarium di
RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar. Makassar.
Fasiah, SA. 2010. Waspada Kanker Serviks. Jakarta ; Lintang Aksara.
Gaffikin L, Blumenthal PD, Brechin SJG, editors. Alternatives for cervical cancer screening and
treatment in low-resource settings . Baltimore: JHPIEGO corporation; 1997.
Ganapati NPD, Djakaria H. Tinjauan pustaka: Efek samping radiasi pada jantung. J Indones
Radiat Oncol Soc. 2016;7(1):26–35.
Gondo, Harry K. 2011. Terapi Terkini untuk Kanker Ovarium. Fakultas Kedokteran Udayana-
RS. Sanglah. Denpasar, Bali.
Guedea F. Perspectives of brachytherapy: patterns of care, new technologies, and “new biology”.
Cancer Radiother. 2014; 18(5–6):434–6. doi: 10.1016/j.canrad.20 14.07.143.
Ho K, Lin H, Ann DK, Chu PG, Yen Y. An overview of the rare parotid gland cancer. Head &
Neck Oncol. 2011;3:40. doi:10.1186/1758-3284-3-40.

69
Kang HK, Yun JH, Son YM, Roh JY, Lee JR. Photodynamic Therapy for Bowen’s Disease. Ann
Dermatol 2014: 24 (2) pp. 241-5
Koh WJ, Greer BE, Abu-Rustum NR, Apte SM, Campos SM, Cho KR, et al. Vulvar Cancer.
2016. National Comprehensive Cancer Network. Available at http:// www.nccn.org
Kwame-Aryee. Carcinoma of the cervix The role of Human Papilloma Virus and prospect for
primary prevention. Geneva Foundation for Medical Education and Research.
Postgraduate Course in Reproductive Medicine and Biology, Geneva, Switzerland
Brewer M A. Treatment of Squamous Intraepithelial Lesions. Eifel P J. Levenback C. In :
Cancer of the Female Lower Genital Tract . BC decker Inc . London. 2001: 101 -20.
Liauw SL, Connell PP, Weichselbaum RR. New paradigms and future challenges in radiation
oncology: An update of biological targets and technology. Sci Transl Med.
2013;5(173):173sr2. doi: 10. 1126/scitranslmed.3005148.
Malicki J. Medical physics in radiotherapy: The importance of preserving clinical responsibilities
and expanding the profession’s role in research, education, and quality control. Rep Pract
Oncol Radiother. 2015;20(3):161–9. doi:10.1016/j.rpor.2015.01.001.
Manual book. Management training of pre-cervical cancer lesion. Asia link programe 2000.
Montana GS, Kang SK. Chapter 72 : Carcinoma of the Vulva. In :Perez CA, Brady LW (ed.).
Perez and Brady's Principles and Practice of Radiation Oncology, 5th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.pp. 3272-83.
National Cancer Institute. Common terminology criteria for adverse events (CTCAE) common
terminology criteria for adverse events v4.0 (CTCAE). [diunduh 23 Agustus 2017].
Tersedia pada: https:// evs.nci.nih.gov/ftp1/CTCAE/CTCAE_4.
03_2010-06-14_QuickReference_5x 7pdf.
Netter, F.M. Bab 12. Alat Genitalia Wanita. Dalam : Netter FM. Atlas Anatomi Manusia. Edisi
5. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.
Netter, F.M. Gross Anatomy of the Vulva. Available at http://netterimages.com/female-
perineum-and-externalgenitalia-pudendum-or-vulvar-labeled-anatomy-atlas-5egeneral-
anatomy-frank-h-netter-49347.html
NIH. Treatment for cancer-National Cancer Institute. [diunduh 15 Agustus 2017]. Tersedia dari:
https://www.cancer.gov/ about-cancer/treatment.
Nugroho, Taufan. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. 2012.
Oemiati, R., Ekowati Rahajeng, Antonius Yudi K. 2011. Prevalensi Tumor dan Beberapa Faktor
yang Mempengaruhinya di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Vol.39. No.4.
Orth M, Lauber K, Niyazi M, Friedl AA, Li M, Maihöfer C, et al. Current concepts in clinical
radiation oncology. Radiat Environ Biophys. 2014;53(1):1–29. doi: 10.1007/s00411-013-
0497-2.
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono.
2011.
Proskuryakov SY, Gabai VL. Mechanisms of tumor cell necrosis. Curr Pharm Des.
2010;16(1):56–68.
Rödel C, Trojan J, Bechstein WO, Woeste G. Neoadjuvant short-or long-term
radio(chemo)therapy for rectal cancer: how and who should be treated?. Dig Dis.
2012;30(2):102–8. doi: 10.1159/0003420 38.

70
Round CE, Williams MV, Mee T, Kirkby NF, Cooper T, Hoskin P, et al. Radiotherapy demand
and activity in England 2006–2020. Clin Oncol (R Coll Radiol). 2013;25(9):522–30. doi:
10.101 6/j.clon.2013.05.005
Sihombing, M., Anna Maria Sirait. 2007. Angka Ketahanan Hidup Penderita Kanker Ovarium di
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Artikel Penelitian : Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol.57. No.10.
Stracan T, Read P Andrew. 2004. Cancer genetics. In Human molecular genetics. Third edition.
London-New York; Garland Schenke.
Tan, Tuan Zea., Chai Quek, Geok See Ng, Khalil R. 2008. Ovarian Cancer Diagnosis With
Complementary Learning Fuzzy Neural Network. Artificial Intelligence in Medicine. Vol
43: 207-222.
Tewu Walangare. Karsinoma Epidermoid Vulva yang Menyerupai Kondilomata Akuminata.
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2012.
Treatment of Intraepithelial Lesions and Microinvasive Tumors. In : Shingleton H M, Orr J W.
Cancer of the Cervik. J.B Lippincott Company. Philadelphia. 2005:57 – 69
University of Zimbabwe/JHPIEGO Cervical Cancer Project. Visual inspection with acetic acid
for cervical cancer screening: Test qualities in a primary care setting. Lancet
1999;353:856-7.
White E. The role for autophagy in cancer. J Clin Invest. 2015;125(1):42–6. doi:10.1172/JCI
73941.
Wiknjosastro, H. Ilmu Kandunga Edisi Ketiga. Jakarta; PT. Bina Pustaka;2017
Wong RS. Apoptosis in cancer: from pathogenesis to treatment. J Exp Clin Cancer Res.
2011;30(1):87. doi:10.1186/1 756-9966-30-87.
Zhuang H, Zhao X, Zhao L, Chang JY, Wang P. Progress of clinical research on targeted therapy
combined with thoracic radiotherapy for non-small-cell lung cancer. Drug Des Devel Ther.
2014;8:667–75. doi: 10.2147/DDDT.S61 977.

71

Anda mungkin juga menyukai