Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH PBAK

Penyebab dan Dampak Masif Korupsi


Dosen Pengampu : Indar Widowati, SKep., Ners, M.Kes.

Disusun Oleh :

1. Khaniifah Uppy Aliyyah (P1337420320118)


2. Ameliya Rizqie Dewi (P1337420320119)
3. Afidah Nurul Qomariyah (P1337420320126)
4. Anna Whilliyanti (P1337420320141)
5. Britania Indah Bellyana (P1337420320142)

POLTEKES KEMENKES SEMARANG D III KEPERAWATAN PEKALONGAN

Jl. Perintis Kemerdekaan Pekalongan Telp. (0285) 421642-429373, Fax. (0285) 421642 Email :
d3keperawatan-pkl@poltekkes-smg.ac.id.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta
karunia yang di berikan-Nya, sehingga tugas makalah mata kuliah PBAK tentang Korupsi ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang diharapkan. Tidak lupa ucapan terima
kasih yang sedalam – dalamnya kepada dosen bidang studi yang bersangkutan serta teman - teman
yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan makalah ini. Tidak lupa juga ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua yang telah memberikan dukungan serta
do’a dan perhatian yang luar biasa sehingga tugas ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah yaitu untuk memenuhi tugas dari Ibu Indar
Widowati, SKep., Ners, M.Kes.., dosen pengampu mata kuliah PBAK. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Indar Widowati, SKep., Ners, M.Kes., selaku dosen pengampu mata
kuliah PBAK, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan.

Kami menyadari bahwa makalah yang telah disusun ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan, maka hal itu semua tidak lepas dari ketidaksempurnaan dan kekhilafan yang telah
diperbuat. Oleh karena itu, kritik dan sarandari semua pihak sangatlah diharapkan. Demikian,
semoga makalah ini dapat bermanfaat ke depannya dan dapatmenjadi acuan serta koreksi untuk
lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap Allah S.W.T berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca semua.

Pekalongan, 18 Agustus 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................i


DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2. Tujuan Diskusi ..................................................................................................3
1.3. Permasalahan ....................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................4
2.1. Pengertian Korupsi Secara Teoristis .................................................................4
2.2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ...................................................................4
2.3. Faktor-faktor Penyebab Korupsi .......................................................................6

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................8


3.1. Pembahasan Dan Hasil Diskusi ........................................................................8
BAB IV PENUTUP ......................................................................................................12
4.1. Kesimpulan .......................................................................................................12
4.2. Saran .................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki banyak lembaga hukum yang menaungi
permasalahan yang terjadi di Indonesia. Indonesia memiliki banyak masalah yang semakin lama
semakin meningkat, khususnya maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dan semakin
megkhawatirkan.

Kasus korupsi yang marak di Indonesia saat ini bukan hanya kasus korupsi yang ditimbulkan
oleh pejabat dan petinggi-petinggi negara. Laporan mengenai korupsi pun semakin hari semakin
banyak. Mulai dari yang kecil-kecilan hingga korupsi dana mega proyek pengusaha dan
pemerintah. Pelakunya pun bermacam-macam. Mulai pejabat di tingkat pusat , provinsi,
kabupaten/kota , dan bahkan hingga ke pedesaan.Lembaga hukum tertinggi di Indonesia pun sudah
menunjukkan perannya dalam kasus tersebut seperti kasus yang telah menjerat ketua Mahkamah
Konstitusi yang baru saja terjadi. Korupsi seakan sudah menjadi hal yang tidak biasa bagi
Indonesia, namun hal tersebut sangat merugikan negara Indonesia itu sendiri. Korupsi
menimbulkan banyak kerugian baik untuk negara maupun untuk masyarakatnya. Korupsi
merupakan tindakan yang melanggar hukum.

Dari asal katanya,korupsi berasal dari bahasa latin ‘corruptio’. Kata ini mempunyai kata kerja
corrumpereyang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Sedangkan
menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau
pegawai negeri yang secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya orang-orang
dekat dengan dirinya dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.

Apapun namanya, korupsi tetap korupsi. Sebuah tindakan kriminal yang merugikan negara dan
memperlambat kesejahteraan masyarakat. Tindakan kriminal seperti tindakan tersebut tidak boleh
di diamkan sampai ia berhenti dengan sendirinya. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai pihak yang berkewajiban serta berperan penting dalam mencegah terjadinya kasus
korupsi di Indonesia senantiasa merancang strategi untuk memberantas kasus korupsi.

1
Lantas apa alasan para Pejabat melakukan Tindakan korupsi? Apakah karna gaji dan fasilitas
mereka sebagai pejabat yang kurang memadai? Lalu bisakah peningkatan gaji mencegah korupsi
di Indonesia? Pertanyaan ini pernah disampaikan beberapa waktu lalu salah satunya setelah
pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan
tunjangan dan gaji pegawai, yang menurut mereka dapat mengurangi korupsi. Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menyatakan bahwa walau
meningkatkan gaji dapat membantu mengurangi korupsi kecil-kecilan di antara petugas kepolisian
tingkat rendah dan pegawai negeri sipil lainnya, namun itu tidak akan banyak membantu mengatasi
kasus-kasus korupsi yang lebih besar.

Polisi Nasional Indonesia baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan
tunjangan petugas polisi hingga 70 persen. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, tunjangan
akan berlaku surut dan akan dibayarkan bulan ini. Tito menyatakan keyakinannya bahwa
peningkatan ini tidak hanya akan meningkatkan kinerja petugas kepolisian, tetapi juga dapat
berkontribusi terhadap upaya reformasi institusi dan mengurangi korupsi.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan bahwa ia
sedang mempertimbangkan peningkatan gaji para pemimpin daerah, menyusul serentetan
gubernur dan bupati yang sebelumnya ditangkap karena korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Pada Oktober 2018, 25 pemimpin daerah telah diselidiki.

“Kami sedang melakukan penelitian. Kami juga akan menyampaikan gagasan itu kepada presiden,
karena ia juga memiliki keprihatinan tentang pengaturan gaji, khususnya bagi para pejabat di
daerah,” katanya. Dua pernyataan terpisah itu mendorong pertanyaan yang telah diperdebatkan
oleh banyak analis dan pengamat: “Apakah memberi lebih banyak uang memang cara yang efektif
untuk memberantas korupsi di kalangan pegawai negeri?”. Beberapa kalangan berpendapat bahwa
memang pada awalnya penyebab korupsi adalah kemiskinan, sehingga kemiskinan menjadi akar
dari masalah korupsi, hal ini terlihat dari ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran
konsumtif dari penyelenggara Negara. Namun paradigma tersebut telah bergeser karena ternyata
perbuatan korupsi itu sendiri telah mengarah pada sektor swasta (konglomerat) dan birokrat tinggi
yang level kehidupannya telah bergelimang dengan kekayaan.

2
1.2. Tujuan Diskusi

Penulis membuat makalah ini dengan tujuan :

1. Untuk melatih kemampuan berpikir kritis dalam mendiskusikan kasus korupsi yang
ada di Indonesia
2. Untuk mengetahui penyebab dan dampak masif dari korupsi yang ada di Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya mencegah korupsi dari faktor internal dan
eksternal dalam sebuah kasus korupsi (kasus dalam bahan diskusi kelompok)
4. Untuk memenuhi tugas diskusi dari Dosen ibu Indar Widowati, SKep., Ners, M.Kes.

1.3. Permasalahan

Korupsi menjadi hal yang bisa dikatakan hal yang marak terjadi di Indonesia, dapat dilihat dari
kasus – kasus para Pejabat negara yang banyak berakhir di jeruji besi akibat tindakan mereka
melakukan korupsi. Banyak upaya yang sudah dilakukan negara untuk bisa memberantas korupsi,
namun nyatanya korupsi terus terjadi. Bahkan pejabat yang mulanya membenci dan mengatakan
“TIDAK PADA KORUPSI” kini banyak dari mereka yang sudah terjerumus. Lantas apa yang
membuat mereka dengan mudahnya terjerumus ke dalam Tindakan korupsi? Apa karna gaji dan
fasilitas mereka sebagai pejabat yang kurang memadai? Atau karna keserakahan sehingga mereka
rela mencoreng nama baik mereka dengan melakukan korupsi?

Oleh sebab itu disini kami akan mencoba mendiskusikan tentang sebuah kasus korupsi di
Indonesia dengan tugas tertulis dari Dosen pengampu Mata Kuliah PBAK yakni :

• Buatlah sebuah opini tertulis tentang apakah peningkatan gaji atau fasilitas penyelenggara
negara (Pejabat Negara) dapat mencegahnya berbuat korupsi? Bagaimana upaya
mencegah korupsi dari faktor internal dan eksternal dalam kasus di atas?

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Korupsi Secara Teoristis

Pius Abdillah dan Anwar Syarifudin dalam kamus Bahasa Indonesia korupsi adalah perbuatan
buruk seperti menggelapkan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Jadi secara
etimologis, kata korupsi berarti kemerosotan dari keadaan yang semula baik, sehat, benar, menjadi
penyelewengan, busuk.

Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 26 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengertian korupsi adalah sebagai berikut :
"Korupsi adalah

a) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan


b) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
c) Unsur melawan hukum

Jika dikaitkan dengan masalah yang diteliti tentang sistem pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi. Berarti tindak pidana korupsi sesuai dengan Undang-undang dan juga sesuai
dengan pendapat para pakar hukum khususnya hukum pidana,sebab tindak pidana korupsi
merupakan tindakan atau perbuatan yang diiarang oleh suatu aturan hukum dan layak untuk
dipidana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, penulis semakin kuat ingin meneliti
mengapa sistem pembuktian terbalik tidak segera digunakan.

2.2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana merupakan perilaku atau tindakan yang melanggar hukum terutama hukum pidana,
sedangkan korupsi merupakan perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak
bermoral dll. Jadi bisa disimpulkan tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melanggar hukum
pidana yang berhubungan dengan perbuatan busuk, tidak jujur, dapat disuap.

Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, terdapat berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang dapat didasarkan

4
kepada dasar-dasar pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
motivasiSistem atau teori berdasarkan Undang-undang secara negatif, hat tersebut dapat
disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi : "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah la
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya".

Sistem pembuktian terbalik adalah suatu sistem pembuktan yang dibebankan kepada terdakwa,
yakni terdakwa yang mempunyai hak untuk membuktikan bahwa la tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya clan harta benda istri
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang.

Sedangkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 Pasa1 37 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah :

a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa la tidak melakukan tindak pidana
korupsi
b. Dalam hak terdakwa dapat membuktikan bahwa la tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkannya.
c. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda
istrinya atau suami, anak-anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. ,
d. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
e. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam butir a,b,c, dan d penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwan

Sistem yang selama ini terus digunakan dalam sidang pengadilan terutama sidang yang mengadili
perkara korupsi dirasa kurang efisien dan kurang bisa diharapkan menyelesaikan perkara korupsi
yang sangat sulit dsiselesaikan. Sistem pembuktian terbalik merupakan pilihan yang layak
dilaksanakan dalam sidang korupsi pengadilan terutama dalam bidang pembuktiannya. Kita

5
tinggal melengkapinya dengan aturan-aturan pelaksanaan supaya sistem ini segera bisa digunakan
dan dihandalkan untuk memberantas korupsi.

2.3. Faktor-faktor penyebab korupsi

Fritz Heider menyatakan bahwa, menurutnya perilaku manusia itu dapat disebabkan oleh karena
adanya faktor internal ( dalam psikologi disebut dengan Atribusi Internal ) dan faktor eksternal
atau disebut juga (Atribusi Eksternal)

Selain Fritz Heider, Kelley juga mempunyai definisi sendiri mengenai Teori Atribusi, yaitu
sebagai proses dalam mempersepsikan sifat-sifat dispositional ( yang sudah ada ) pada satuan-
satuan ( entities ) di dalam suatu lingkungan ( environment ).

Dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa Teori Atribusi terbagi menjadi dalam 2 ( dua ) sebab dalam
persepsi sebab-akibat suatu tindakan tertentumenurut kesimpulan individu yaitu :

a. Atribusi Intern

Mencakup semua penyebab intern seseorang, seperti keadaan hati, sikap, ciri kepribadian,
kemampuan, kesehatan, preferensi atau keinginan.

b. Atribusi Ekstern

Mencakup penyebab-penyebab ekstern seseorang, seperti tekanan orang lain, uang, sifat
situasi sosial, cuaca dan seterusnya.

Penggunaan Teori Atribusi merupakan sarana yang tepat, hal ini dikarenakan Teori Atribusi
merupakan teori yang ingin menjelaskan mengenai perilaku ( Behaviour ) seseorang, apakah
perilaku tersebut dipengaruhi oleh faktor dari dalam ( internal ) apakah disebabkan oleh faktor dari
luar (eksternal ).Teori Atribusi mengarahkan pada usaha-usaha individu guna mengetahui faktor-
faktor dalam pengambilan keputusan tentang suatu keadaan yang sedang dihadapinya.Jika
tingkatan dengan masalah yang diteliti yaitu pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi
yang faktanya tindak pidana korupsi sulit diberantas yang disebabkan oleh aparat penegak hukum
yang dipandang kurang serius dalam menjalankan tugas apalagi aparat penegak hukum ikut-ikutan
dan terlibat dalam tindak pidanaa korupsi tersebut. Penegak hukum ini dipengaruhi oleh hambatan

6
yang bersifat intern dan ekstern. Dalam hal hambatan intern penegak hukum ini dipengaruhi
keadaan hati, sikap, kepribadian dan lain–lain. Sedangkan dalam hal eksternnya dipengaruhi oleh
tekanan orang lain, sosial ekonomi dan lain-lain. Semua itu yang mengakibatkan tindak pidana
korupsi sulit diberantas. Dalam hal ini system pembuktian terbalik akan lebih meminimalisasi
adanya suap antara penegak hukum dan terdakwa pelaku tindak pidana korupsi , dengan demikian
tindak pidana korupsi akan mungkin bisa diberantas.

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pembahasan dan Hasil Diskusi

Opini mengenai :

Apakah peningkatan gaji atau fasilitas penyelenggara negara (Pejabat Negara) dapat mencegah
perbuatan korupsi?

Dalam dilema praktik korupsi yang sudah membudaya di Indonesia bahkan dari zaman
sebelum penjajahan, pelaksanaan korupsi tidak hanya meranah pada ruang para pejabat negara
saja, melainkan sudah merebak hingga pada lapisan masyarakat terdalam. Membudayanya praktek
haram ini membuat kemudahan bagi para tikus perogoh untuk melancarkan aksinya meski dalam
ruang terbuka. Segala kenikmatan dengan mudah dan gampangnya akan tercapai dan masuk ke
dalam kantung rahasia koruptor, yang mana mungkin sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi para
jajaran pejabat negara. Profit haram yang diraih tidak main-main, dapat beratus kali lipat dari gaji
mereka pertahun. Akses yang mudah, kurangnya pengawasan, kurangnya iman, adanya
kesempatan, tingginya hasrat konsumtif, lingkungan yang mendukung, tidak dapat dipungkiri
bahwa banyak sekali faktor yang mendorong aksi pencurian gila ini.

Dari penjabaran singkat di atas, kelompok kami menyimpulkan bahwa, kebijakan


peningkatan gaji atau fasilitas bagi pejabat negara untuk mencegah terjadinya korupsi tidaklah
efektif dan justru menghasilkan upaya yang sia-sia. Kita dapat melihat para tikus berdasi yang
sehari-hari menggunakan mobil dinas, dengan kebijakan pendeknya yang tidak juga mampu
mengubah Indonesia menjadi lebih maju, rakyat Indonesia masih banyak yang hanya makan nasi
dan garam, berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, menggunakan sehelai pakaian dalam masa
yang panjang, mengharapkan belas kasih manusia yang lain. Manakala para pejabat diberi fasilitas
meski sekelas Billgates sekalipun, apabila sifat tamak tetap melekat dalam diri mereka, rakyatlah
yang menanggung bebannya, imbas dari kebijakan miring yang dapat membunuh kehidupan
rakyat, karena korupsi akan tetap ada, bahkan dapat lebih buas. Keuntungan dari hasil jerih payah
kotor akan lebih menggiurkan dan lebih nikmat rasanya, dibanding dengan keuntungan bersih yang
harus diperas dengan jerih payah hati dan pikiran murni.

8
Sebagai warga Indonesia yang berlandaskan Pancasila, harus berpegang teguh pada norma
yang ada, terutama sila ke dua Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” bukan hanya bagi seluruh Pejabat Negara Indonesia. Jangan melawan materi kotor
dengan materi mengambang, yang tidak jelas akan berhasil atau tidak, karena akan percuma jika
kita memberi sanjungan kepada mereka namun kita tidak mendapatkan kebenaran “Dari Rakyat,
Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”. Seharusnya, pemberantasan korupsi dimulai dari sisi pengawasan
jalannya praktik penyelenggaraan negara, kemudian mempertegas dalam ranah hukum, jangan
hanya mengurung tetapi sekalian saja mengasingkan, memiskinkan, hingga membuat tikus lain
ketakutan tidak dapat keluar dari sarangnya. Indonesia perlu meningkatkan kualifikasi hukuman
dan mempertegas sanksi sosial kepada para koruptor, seperti memblokir semua kartu kesehatan,
memblokir akses keluar masuk ke luar negeri, memberi sanksi pada keluarganya, pemberlakuan
pengabdian masyarakat pada para koruptor, mengasingkan koruptor ke pulau terpencil, membuat
skema pemberian hukuman yang dapat membuat koruptor dapat merasakan kepelikan masyarakat
kecil yang hartanya sudah dirampas oleh mereka, walaupun nilai materi kecil namun hal tersebut
sangat berarti dalam kehidupan rakyat. Normalnya, setiap manusia memiliki ketamakan dalam
diri, ketidakpuasan akan segala hal di dunia yang dalam salah satu persepsinya yaitu materi. Jadi,
ketika para pejabat diberi kesempatan untuk merasakan kenikmatan materi maka mereka akan
menambah pikiran, untuk bagaimana caranya supaya dapat menambah materi yang harus mereka
dapatkan dan miliki.

Bagaimana upaya mencegah korupsi dari faktor internal dan eksternal dalam kasus di atas?

Upaya-upaya pencegahan terhadap korupsi pejabat ini perlu dilakukan, seperti Nasihat
bijak yang mengatakan “mencegah lebih baik daripada mengobati” maka upaya-upaya pencegahan
korupsi lebih baik daripada upaya penindakan koruptor. Pencegahan ditujukan untuk
mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi pada tata kepemerintahan dan
masyarakat, menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara yang bersih dari korupsi.
Oleh karenanya, upaya pencegahan ini sangat diperlukan sebagai bentuk usaha untuk mencegah
terjadinya korupsi yang semakin marak terjadi di berbagai kalangan. Pencegahan tersebut dapat
dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal itu sendiri
adalah faktor pencegah korupsi yang didapat dari dalam diri seseorang berupa perilaku dan

9
kebiasaan. Sedangkan untuk faktor eksternal sendiri adalah faktor dari luar yang berasal dari
situasi lingkungan yang mencegah seseorang untuk melakukan korupsi.

Upaya pencegahan dalam faktor internal meliputi; pertama, penguatan moral diri. Seorang
dengan nilai moral yang kuat bisa membentengi dirinya sendiri terhadap berbagai hal menyangkut
korupsi berbeda halnya dengan seseorang yang tidak memiliki moral yang kuat cenderung mudah
ketika mendapat godaan. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu. Moral yang kurang kuat salah satu
penyebabnya adalah lemahnya pembelajaran agama dan etika. Maka dari itu, efek totalitas
pembelajaran agama menjadi pendorong seseorang memiliki moral yang kuat sehingga bisa
mendukung pencegahan korupsi. Kedua, menghindari sikap tamak/rakus manusia. Sikap tersebut
menjadi hal mendasar ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan, sementara akses
ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan
korupsi. Sikap ini perlu untuk dilatih sehingga dapat menjadi benteng pertahanan pencegah
korupsi. Ketiga,Ajaran agama diterapkan dengan benar. Semua agama mengajarkan seluruh
umatnya melakukan korupsi karena hal tersebut merupakan tindakan dosa. Keempat, Menghindari
gaya hidup konsumtif. Dengan konteks ini, kehidupan pejabat harusnya tidak menerapkan hidup
konsumtif sebagai bentuk pencegahan diri ketika kebutuhan yang tidak penting itu tetapi
menurutnya menjadi mendesak bisa menjadi titik awal tidakan korupsi.

Dilihat dari faktor eksternalnya, upaya pencegahan korupsi bisa diidentifikasikan sebagai
berikut. Pertama, perbaikan manajeman organisasi sehingga mempersempit adanya tindakan
korupsi. Manajemen adalah sebuah konsep, yang harus dikembangkan oleh pimpinan dan staf
sehingga bisa mencapai tujuan organisasi. Tujuan organisasi harus dipahami dengan baik oleh
pimpinan dan staf sehingga tidak ada tempat untuk melakukan tindakan korupsi. Kedua,
pembuatan instrumen hukum berupa aturan-aturan yang tidak diskriminatif, tidak berpihak, dan
adil, serta rumusan yang jelas sehingga tidak menjadi salah tafsir, menimbulkan kontradiksi dan
overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun lebih tinggi). Masyarakat umum
sudah mulai luntur kepercayaan kepada aparat penegak hukum, karena praktik-praktik penegakan
hukum yang masih diskriminatif, dan tidak jelas tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen

10
hukum yanga ada perlu perbaikan yang tidak sedikit sehingga tidak lagi menginjak hak-hak
masyarakat.
kemudian. Ketiga, Penguatan pengendalian dan pengawasan terhadap pejabat maupun institusi
negara. Pengendalian dan pengawasan ini penting, karena manusia memiliki keterbatasan, baik
waktu, pengetahuan, kemampuan dan perhatian. Pengendalian dan pengawasan sesuai tugas pokok
dan fungsi masing-masing dengan SOP (Standard Operating Procedure) yang jelas. Fungsi
pengawasan dan pengendalian bertujuan agar penggunaan sumber daya dapat lebih diefisienkan,
dan tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan (Muninjaya, 2004).

11
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari penjabaran singkat di atas, kelompok kami menyimpulkan bahwa, kebijakan peningkatan
gaji atau fasilitas bagi pejabat negara untuk mencegah terjadinya korupsi tidaklah efektif dan justru
menghasilkan upaya yang sia-sia. Kita dapat melihat para tikus berdasi yang sehari-hari
menggunakan mobil dinas, dengan kebijakan pendeknya yang tidak juga mampu mengubah
Indonesia menjadi lebih maju, rakyat Indonesia masih banyak yang hanya makan nasi dan
garam, berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, menggunakan sehelai pakaian dalam masa yang
panjang, mengharapkan belas kasih manusia yang lain. Jangan melawan materi kotor dengan
materi mengambang, yang tidak jelas akan berhasil atau tidak, karena akan percuma jika kita
memberi sanjungan kepada mereka namun kita tidak mendapatkan kebenaran “Dari Rakyat, Oleh
Rakyat, Untuk Rakyat”. Seharusnya, pemberantasan korupsi dimulai dari sisi pengawasan
jalannya praktik penyelenggaraan negara, kemudian mempertegas dalam ranah hukum, jangan
hanya mengurung tetapi sekalian saja mengasingkan, memiskinkan, hingga membuat tikus lain
ketakutan tidak dapat keluar dari sarangnya.

Upaya-upaya pencegahan terhadap korupsi pejabat ini perlu dilakukan, karena upaya-upaya
pencegahan korupsi lebih baik daripada upaya penindakan koruptor. Pencegahan ditujukan untuk
mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi pada tata kepemerintahan dan
masyarakat, menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara yang bersih dari korupsi.

Oleh karenanya, upaya pencegahan ini sangat diperlukan sebagai bentuk usaha untuk
mencegah terjadinya korupsi yang semakin marak terjadi di berbagai kalangan. Pencegahan
tersebut dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Tujuan
organisasi harus dipahami dengan baik oleh pimpinan dan staf sehingga tidak ada tempat untuk
melakukan tindakan korupsi. Kedua, pembuatan instrumen hukum berupa aturan-aturan yang
tidak diskriminatif, tidak berpihak, dan adil, serta rumusan yang jelas sehingga tidak menjadi
salah tafsir, menimbulkan kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain . Masyarakat umum

12
sudah mulai luntur kepercayaan kepada aparat penegak hukum, karena praktik-praktik penegakan
hukum yang masih diskriminatif, dan tidak jelas tujuannya.

4.2. Saran

Pemberantasan korupsi dimulai dari sisi pengawasan jalannya praktik penyelenggaraan


negara, kemudian mempertegas dalam ranah hukum, jangan hanya mengurung tetapi sekalian saja
mengasingkan, memiskinkan, hingga membuat tikus lain ketakutan tidak dapat keluar dari
sarangnya. upaya pencegahan ini sangat diperlukan sebagai bentuk usaha untuk mencegah
terjadinya korupsi yang semakin marak terjadi di berbagai kalangan. Praktik-praktik penegakan
hukum yang masih diskriminatif dan tidak jelas tujuannya itu seharusnya bisa diperbaiki lagi agar
kepercayaan masyarakat umum kepada aparat penegak hukum yang sudah luntur tersebut bisa
ditegakkan kembali.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.unika.ac.id
2. https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis
3. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190125194117-12-363960/kpk-tak-jamin-
100-persen-gaji-besar-cegah-korupsi
4. https://www.ui.ac.id/download/kliping/100505/Kenaikan_Gaji_dan_Korupsi.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai