Anda di halaman 1dari 26

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

TINDAK PIDANA KORUPSI


Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Budaya Anti
Korupsi
Dosen Pembimbing
Rahmayshinta Putri Rindharso, S.ST
NIP.19901017 201503 2002

DISUSUN OLEH :
1.RindianTikaKurniasari : P07125119067
2.Ronika : P07125119071
3.Sari Rahmawati : P07125119073
4.SayidatulRofifah : P07125119074
5.SherlyAmalia : P07125119077
6.SitiAzizah : P07125119078
7.SitiMelda Sari : P07125119079
8.WeniHidayati : P07125119084
9.WidiaMulia: P07125119085

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
PRODI D III KESEHATAN GIGI
JURUSAN KEPERAWATAN GIGI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan
rahmat serta anugerah dari-Nya penulis mampu untuk menyelesaikan makalah ini
dengan judul ”TINDAK PIDANA KORUPSI” Penulis tentu menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat
memberikan maanfaat bagi kita semua.

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................1
Daftar Isi.......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................3
A.Latar Belakang...........................................................................................3
B.Rumusan Masalah......................................................................................4
C.Tujuan.........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................5
A.Pengertian Tindak Pidana Korupsi............................................................5
B.Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Indonesia...........................................7
C.Lembaga Penegak Hukum.........................................................................17
D.Pemberantasan & Pencegahan Korupsi.....................................................20
E.Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi............................22
BAB III PENUTUP......................................................................................24
A.Kesimpulan................................................................................................24
B.Saran...........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................25

2
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tindak pidana korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan
tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Dampak
yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan
masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta
dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan ini
seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur.
Tidak hanya pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan tindak
pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi
sudah menjadi suatu fenomena. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan
Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih
dibandingkan tindak pidana lainnya. Penyelenggara negara yang bersih menjadi
penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktik-praktik korupsi yang tidak
saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang
apabila dibiarkan, rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.
Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi tidak
hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar negara, melainkan juga
penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha,
sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
serta membahayakan eksistensi negara.
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa
korupsi di Indonesia sudah merupakan virus yang menyebar keseluruh tubuh
pemerintah sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih
tersendat sampai sekarang. Selanjutnya, dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula
dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Oleh karena itu,
korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa (extra ordenary crime). Hal ini dikarenakan, metode
konvensional yang selama ini digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan
korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga
harus menggunakan caracara luar biasa (extra-ordenary).
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis
multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan
ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional
yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas
dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya
pemerintah dan aparat penegak hukum. Pemberantasan korupsi secara hukum adalah

3
dengan mengandalkan diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat
repressif. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Undang-
Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dicermati dari awal sampai akhir tujuan khusus yang hendak dicapai adalah bersifat
umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan
seluruh warga negara Indonesia, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak
hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat
negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Polisi, Jaksa, KPK dan Hakim merupakan empat unsur penegak hukum
yang masingmasing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Ketika menjalankan tugasnya 5 unsur
aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana.
B.Rumusan Masalah
1.Apa pengertian tindak korupsi ?
2.Menjelaskan sejarah pemberantasan korupsi di indonesia ?
3.Menjelaskan apa itu lembaga penegak hukum ?
4.Menjelaskan apa itu pemberantasan & pencegahan korupsi?
5.Menjelaskan bagaimana tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-
undangan di indonesia ?
C.Tujuan
1.Untuk mengetahui pengertian tindak korupsi.
2.Untuk mengetahui sejarah pemberantasan korupsi di indonesia.
3.Untuk mengetahui lembaga penegak hukum,pemberantasan & pencegahan korupsi.
4.Untuk mengetahui apa itu pemberantasan & pencegahan korupsi.
5.Untuk mengetahui tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Tindak Korupsi
Pengertian tindak pidana, Tindak Pidana adalah tindakan yang tidak hanya
dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak
pidana. Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan
Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat
dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal
20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK. (Lilik Mulyadi,
Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung,
2008, halaman 186). Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak
korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU
PTPK, sehingga sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu
memperlancar upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain: (Lilik Mulyadi, Bunga
Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung, 2008,
halaman 186)
A.Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat
dalam Pasal 2 UU PTPK yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus
juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah. Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati
dapat dijatuhkan.
B.Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan
pasal 3 UU PTPK yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh
juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
C.Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan
pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal
KUHP yang kemudian sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi
tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan
menghilangkan redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam
pasalpasal….KUHP” seperti formulasi dalam ketentuan Undang-Undang nomor 31
tahun 1999.

5
Apabila dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1.Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209, 210, 418, 419, dan
Pasal 420 KUHP.
2.Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415, 416, dan pasal 417
KUHP.
3. Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, extortion), yakni pasal
423, dan 425 KUHP.
4.Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir dan
rekanan, yakni pasal 387, 388, dan 435 KUHP.
D.Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi
percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana
atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar
wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan
percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena
perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang
menuntut efisiensi tinggi sehingga percobaan melakukan tindak pidana korupsi
dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat
sifat dari tindak pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana
penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.
E.Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah
bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan
Pasal 24 UU PTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:
1.Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
2.Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal
36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar. 3.Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430
KUHP. Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24
UU PTPK tersebut berturut-turut dari poin (A) sampai (D) adalah sebagai berikut:
A.Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
B.Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
C.Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
D.Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).

6
Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, yaitu:
A.Tindak pidana korupsi yaitu bahwa setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan Negaraatau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup ataupidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahundan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyakPp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)(Pasal 2
ayat (1)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
B.Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana ….”. Ketentuan lain yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi yaitu:
A.Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik sebagai
tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung
menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP.
B.Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
B. Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak
orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar
suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar
negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di
Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga
kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat
peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal
ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
korupsi yang sudah di tangani di Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di
Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman pra
kemerdekaan yaitu masa pemerintahan kerajaan : singosari,majapahit,demak,banten.
Dan pasca kemerdekaan yaitu ; orde lama,orde baru,reformasi.
Pertama, fase zaman pra kemerdekaan. Budaya korupsi di Indonesia pada
prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan
kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-
kerajaan kuno. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara
perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut
kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan

7
Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng
Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia- Analis Informasi
LIPI).Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya
watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang
suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem
dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik
simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan
opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu
besar dalam tatanan pemerintahan kita dikemudian hari.
Kedua, fase pasca kemerdekaan.nFase perkembangan praktek korupsi di zaman
modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial,
tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-
pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang
akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru
Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar)
Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Di Indonesia langkah-
langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah
dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa
perubahan perundang- undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum
positif indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab
undang-undang hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan
unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi
dan diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
A.Pra Kemerdekaan
Pra Kemerdekaan : Masa Pemerintahan Kerajaan :Singosari,Majapahit,Demak
& Banten.
Pertama, fase zaman kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur
sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno
(Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada kita
bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian
kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan
tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang
antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut
kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa
Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang
menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan
Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur
akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi
sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan
persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang. Dan ada juga Kerajaan
Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.

8
B.Pasca Kemerdekaan
Pasca Kemerdekaan : Orde lama,Orde baru,Reformasi.
A. Orde Lama
Kabinet Djuanda, dimasa orde lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang keadaan bahaya,
lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin
oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data
mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah
ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi
keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara
langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tetapi
langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, PARAN berakhir
tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada
Kabinet Djuanda. Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan
Presiden Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang
pada saat itu menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/
KASAB, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaan perusahaan negara
serta lembaga negara lainya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Lagi-
lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina
yang bertugas ke luar negeri dan direksi lainya menolak karena belum adanya surat
tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M.
Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio
kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(KONTRAF) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring
dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali
masuk kejalur lambat, bahkan macet.
Cara Pemberantasan Korupsi Pada Fase Orde Lama
Sejarah Pemberantasan Korupsi telah dilaksanakan sejak pemerintahan Orde
Lama, ketika usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah
penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan
perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa
perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan. Pada
masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat
mencemaskan. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru
yang oleh masyarakat dinamakan korupsi dan ternyata dirasakan tidak efektif.
Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang
tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan
yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bertolak dari
kenyataan tersebut di atas, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat,

9
selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No. Prt/PM-
06/1957. Namun pada perkembangannya ternyata peraturan penguasa militer ini
dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan tentang
pemilikan harta benda yang kemudian diatur dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh
hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas
korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan
terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya
diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan. Berlakunya Undang-undang
No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, menjadi
dasar bagi Kabinet Djuanda pada masa Orde Lama untuk membentuk badan
pemberantasan korupsi yang disebut sebagai Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang
anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Berlakunya Undang-
undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya kemudian membuat ketiga
peraturan penguasa militer yang ada sebelumnya diganti dengan Peraturan Penguasa
Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan
Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda bagi
wilayah yang dikuasai Angkatan Darat dan bagi daerah-daerah yang berada dalam
wilayah kekuasaan Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan
Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58).
Meski kedua peraturan penguasa perang tersebut dibuat agar dalam tempo yang
singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat
merajalela namun dalam tataran praktis Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
banyak mendapat perlawanan dari para pejabat korup sehingganya tidak mampu
berbuat banyak dan diserahkan kembali pelaksanaan tugas ke Kabinet Djuanda.
Dalam rentang waktu dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat
diberlakukan, pemerintah kemudian pada tanggal 9 Juni 1960 mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran
Negara No. 72 Tahun 1960 dan pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1
Tahun 1961, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun
1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun
1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960  Bambang Poernomo dalam hubungan itu
mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang
No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya
pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan
mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya.
Kemudian pada tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963
dicanangkanlah apa yang disebut sebagai Operasi Budhi, dalam operasi ini
pemerintah kembali menunjuk A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan dan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro.
Melalui Operasi Budhi pemerintah berharap pelaku korupsi dapat diseret
kepengadilan utamanya pelaku korupsi dalam tubuh perusahaan-perusahaan serta

10
Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek korupsi dan Kolusi. Alasan
politis menyebabkan kemandekan dan efektifitas dalam pelaksanaan Operasi Budhi,
seperti pada pengusutan kasus Direktur Utama Pertamina yang kabur ke Luar Negeri
dan Direksi Pertamina lainnya menolak untuk diperiksa dengan alasan belum adanya
surat tugas dari atasan. Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara mencapai
lebih kurang Rp. 11 Miliar, Operasi Budhi kemudian dibubarkan melalui
pengumuman yang dibacakan oleh Subandrio dan digantikan oleh Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden Soekarno sebaga
ketua serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Meski telah beberapa
kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan dan beberapa kali dibentuk
Lembaga Pemberantasan Korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-
1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus
berlangsung dengan hebat. 
B. Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus
1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak mampu
memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana,
pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata,
ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto
untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap
bersih dan berwibawa, seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan
A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Empat tokoh bersih
ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya,
sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi
alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah operasi tertib dengan tugas antara lain juga memberatas
korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom
up atau top down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga operasi tertib pun hilang seiring
dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana orde baru.
Cara Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan dimuka anggota DPR/MPR
pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama,
yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang
terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dikeluarkannya Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi maka dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang
diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) mulai dipertanyakan karena praktis Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) tidak
melakukan apapun sebagaimana diharapkan. Perusahaan-perusahaan negara seperti
Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi ditambah ketidak transparannya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) ketika melakukan pemeriksaan terhadap Ibnu Sutowo Direktur

11
Pertamina yang tidak pernah melaporkan laporan keuangan tahunan yang memicu
berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun
1970. Melihat kondisi yang terjadi, pemerintah kemudian malakukan kajian terhadap
hambatan pelaksanaan pemberantasan korupsi dan berakhir pada kesimpulan bahwa
penyebab terhambatnya upaya pemberantasan korupsi antara lain adalah karena
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai
korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif
maupun preventif, terutama mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam
undang-undang yang mensyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan kejahatan
atau pelanggaran sehingganya pemeritah memandang perlu mengadakan
pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun
1960. Untuk memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Presiden No.
R. 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada
dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah rancangan undang-
undang tersebut dimaksudkan untuk mencabut dan mengganti Undang- Undang No.
24 Prp. Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru. Setelah
beberapa tahap pembahasan dalam persidangan di lembaga legislatif, akhirnya pada
sidang pleno tanggal 12 Maret 1971 rancangan undang-undang tersebut di atas
disetujui oleh DPRGR untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian
rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 Maret
1971 menjadi undang-undang, yaitu Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1971 No. 19. Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Soeharto melalui kebijakannya menunjuk
Komite 4 (empat) yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa, seperti Prof. Johanes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto,
dimana mantan wakil presiden M. Hatta ditinjuk sebagai penasehat persiden, untuk
melakukan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin,
PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun lemahnya posisi tawar
Komite 4 (empat) membuat Komite ini tidak mampu berbuat banyak utamanya dalam
penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah, sehingga
ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, melalui inpres Nomor 9
Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban pemerintah kemudian menganjurkan untuk
membentuk Operasi Tertib dengan tugas antara lain memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat kemudian muncul utamanya mengenai metode pemberantasan
korupsi yang bottom up atau top down dan cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
C. Di Era reformasi
Usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi
atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),
KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)

12
melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya ke Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, nasib serupa tapi tidak sama dialami oleh KPKPN dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga
Pemberantasan Korupsi Terbaru yang kian bertahan.
Cara Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi
Reformasi merupakan perubahan radikal guna mencapai perbaikan dalam masyarakat
atau negara tanpa disertai cara-cara dan kondisi kekerasan. Pemberantasan korupsi
adalah salah satu agenda besar yang diperjuangan dalam gerakan reformasi sampai
pada kemenangannya pada 20 Mei 1988. Di Era reformasi, usaha pemberantasan
korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan Ketetapan Mejelis Permusyawratan Rakyat
(MPR) Nomor: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi yang ditindak lanjuti dengan menetapkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Kemudian melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII / MPR/ 2001 Tentang
Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, secara khusus pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No.30
Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat. Namun dengan
seluruh perangkat aturan yang ada BJ Habibie gagal mengusut dengan cepet dugaan
korupsi yang dilakukan Soeharto, Habibie tidak hanya tidak berhasil menyeret kasus
Soeharto ke pengadilan justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gusdur), segera setelah dilantik melalui Keppres
No. 44 Tahun 2000 Tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman dan
berdasarkan Kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan IMF maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK),
namun, setalah melalui judicial review di Mahkamah Agung, Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan karena dianggap tidak
selaras dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Padahal Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 juga banyak menimbulkan permasalahan khususnya mengenai
tidak adanya  Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga pelaku
korupsi pada Orde Baru, berdasarkan asas bahwa hukum tidak berlaku surut maka
mereka tidak dapat dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya
yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 telah mendorong munculnya berbagai
macam perubahan dalam sistem ketatanegaraan, akibat adanya Perubahan Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD’45). Salah satu

13
hasil dari perubahan dimaksud adalah beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi Supremasi konstitusi
memposisikan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi
kekuasaan lembaga-lembaga Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut
memengaruhi perubahan struktur kelembaga karena dianggap tidak lagi relevan
mengingat fakta bahwa tiga fungsi kekuasaan yang selama ini ada tidak mampu
menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini kemudian
mendorong negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat
lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara dalam bentuk dewan,
komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan
wewenangnya. Salah satu lembaga baru yang dibentuk pada masa Pemerintahan
Presiden Megawati adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum
dibentuknya KPK, pemerintah telah melakukan kajian secara mendalam terhadap
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang ternyata banyak mengandung kelemahan
oleh karenanya kemudian diubah  dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui undang-undang yang baru
tersebut in casu Pasal 43, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk Komisi
Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), namun di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata
wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum
dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu,
Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun
Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada
konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak
serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah
masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi
andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional ketika Pemerintahan berada dalam
tampuk kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono Jusuf Kalla (SBY-JK), ekspektasi
masyarakat akan pemberantasan korupsi di Indonesia kembali tinggi mengingat
dalam visi-misinya, Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat ini
berupaya “Menciptakan Kepastian Hukum, Peraturan Dan Rasa Aman Untuk
Berusaha Dan Bekerja”. SBY-JK dalam program 100 (seratus) hari pertama kerja
Kabinet Indonesia Bersatu mencanangkan pemberantasan korupsi secara spesifik
merupakan satu dari tiga agenda besar dengan tema “Mewujudkan Indonesia yang
Adil dan Demokratis”. SBY-JK kemudian mengaktualisasikan  dukungannya melalui
maklumatnya dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tertanggal 9 Desember
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi guna membantu Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman
dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara). 
Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 setidaknya terdapat 12 instruksi
khusus dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi yang ditujukan kepada

14
menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, dan Gubernur serta Bupati/Walikota
sesuai peran dan tanggung jawab masing-masing. Berdasarkan Inpres tersebut
BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) kemudian mengeluarkan
sebuah dokumen resmi rencana pemberantasan korupsi yang lebih sistematis yang
diberi nama Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) tahun 2004-
2009. RAN PK ini menekankan pada tiga elemen : Pencegahan Korupsi, Represi
Kasus-kasus Korupsi serta Monitoring dan Evaluasi keduanya, baik Pencegahan
maupun Represi. Untuk mewujudkan tujuan pembentukannya, maka strategi yang
digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi
yang dimaksud adalah dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:
A.Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang
korupsi;
B.Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi
dalam waktu sesingkat mungkin;
C.Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah
diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan putusan pengadilan.
Beberapa Departemen dan Non Departemen lain juga merespon Inpres tersebut,
misalnya langkah Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang melakukan
peninjauan langsung/inspeski mendadak (sidak) ke sejumlah Lembaga
Pemasyarakatan dan melihat bagaimana sistem yang berlaku disana, khususnya yang
berkaitan dengan penahanan para tersangka kasus korupsi kemudian Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, Abdul Rahman Saleh SH, mengeluarkan Surat Edaran
Jaksa Agung RI No. 007 Tahun 2004 tentang Percepatan Proses Penanganan Perkara
Korupsi di seluruh Indonesia yang meminta kepada Kejati dan Kejari di seluruh
Indonesia untuk menuntaskan perkaraperkara korupsi dalam waktu 3 bulan,
mengutamakan kasus korupsi yang mendapat perhatian masyarakat dan menjaga
jaksa untuk menjaga integritas moralnya dalam menangani kasus korupsi. Namun
pemberantsan korupsi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan,
mengingat tingkat korupsi Indonesia belum beranjak dari ranking bawah. Hasil
survai Transparency Internationa mendudukkan Indonesia pada urutan ke-137 dari
145 negara yang dinilai, dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,0 dan negara paling
terkorup di antara 12 negara Asia dengan nilai hampir menyentuh angka mutlak 10
dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup) oleh karenanya
tidak sampai satu tahun sejak Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dikeluarkan,
pemerintah kembali mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11
Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat
(Timtas Tipikor). Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga
pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung
jawab secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2005
utamanya dalam penyelesaian 21 kasus korupsi termasuk kasus “big fish” yang
melibatkan elit politik dalam lingkaran SBY. Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi
ini keanggotaanya terdari dari 48 orang Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Pemerintah juga meratifikasi United Nations Convention Againts

15
Corruption (Konvensi Persirakatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, UNCAC) 2003
melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Tahun 2006 No. 32,
Tambahan Lembaran Negara 4620). Progres yang ditunjukan cukup signifikan
dimana dalam kurun waktu dua tahun Timtas Tipikor telah menangani sebanyak 72
perkara yang terdiri dari tujuh perkara telah diputus, upaya hukum naik banding
maupun kasasi sebanyak dua perkara, di tingkat penuntutan ada 11 perkara, tingkat
penyidikan 13 perkara, dan di tingkat penyelidikan ada 39 kasus diantaranya yang
menyangkut jajaran direksi bank, dan menteri agama. Selain itu, ada kasus yang
diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara sebanyak 45 kasus dan ke
Kementerian BUMN sebanyak dua kasus serta laporan masyarakat ada 233 kasus.
Sedangkan laporan masyarakat yang ditangani oleh Kejati dan Kapolda di bawah
supervisi Timtas Tipikor adalah satu perkara sudah dieksekusi, di tingkat upaya
hukum 15 perkara, tingkat penuntutan 25 perkara, di tingkat penyidikan 26 kasus dan
penyelidikan 141 kasus, sehingga jumlahnya 208 kasus yang ditangani di tingkat
daerah. Sementara itu, selama dua tahun menjalankan tugasnya, Timtas Tipikor
mengkalim telah menyelamatkan keuangan negara di pusat sebesar Rp 3,946 triliun
dan keuangan/aset negara di daerah sebesar Rp 4,105 miliar. Jumlah keungan negara
yang diselamatkan seluruhnya adalah Rp 3,950 triliun. Sedangkan dari alokasi
anggaran untuk Timtas Tipikor sebesar Rp 41.200.860.000, yang diserap adalah Rp
25.008.427.587 atau sebesar 60,6 persen. Meskipun mampu membawa perubahan,
’keberhasilan’ Timtas Tipikor ternyata menghadapi banyak tantangan, di
antaranya: Pertama, independensi Timtas Tipikor terhadap intervensi politis dan
konflik kepentingan di kalangan eksekutif. Walaupun secara terbuka saat dilantik
sebagai Ketua Timtas Tipikor, Hendarman Supanji mengatakan bahwa Presiden
mendukung sepenuhnya penyelidikan dan penyidikan korupsi, independensi dan
keberanian Timtas Tipikor masih harus ditunggu. Apalagi dalam dua kasus dugaan
korupsi besar, yaitu Bank Mandiri dan PLN, menyeret sejumlah tersangka yang
memiliki keterkaitan dengan pejabat tinggi. Konflik kepentingan di pucuk pimpinan
eksekutif bisa menghentikan kasusi. Kedua, Timtas Tipikor juga terhambat oleh
rendahnya kinerja penyidik. Ketiga, korupsi di peradilan atau mafia peradilan juga
turut menghambat keberhasilan Timtas Tipikor. Seperti terjadi dalam kasus Abdullah
Puteh yang ditangani oleh KPK, Addullah Puteh diduga terlibat dalam transaksi
pembelian helikopter dari Rusia (Mi-2) dengan kerugian negara sekitar Rp 10 miliar
dan juga terlibat dalam dugaan korupsi di balik pembelian genset listrik senilai Rp 30
milyar dan telah divonis bersalah pada pengadilan tingkat pertama justru bisa bebas
dengan alasan sakit. Belakangan KPK berhasil menangkap basah upaya penyuapan
yang dilakukan oleh salah seorang pengacara Abdullah Puteh. Oleh karenanya
keberadaan Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak lagi relevan untuk
dipertahankan, maka dengan dalil tidak efektif dan tegas serta kewenangannya
tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan
KPK pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 10 Tahun 2007 tentang
Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Korupsi. Pada bulan Mei 2011 Preseiden SBY memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun
2011 Tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
yang dilanjutkan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan

16
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Melalui kedua Inpres ini, fokus utama dalam
aksi adalah pencegahan korupsi pada lembaga penegak hukum, hal ini dilakukan
dengan menungkatkan akuntabilitas, keterbukaan informasi, kapasitas dan pembinaan
sumber daya manusia serta koordinasi antar lembaga. Keseriusan dalam
pemberantasan korupsi juga ditunjukan oleh KPK, secara internal organisasional,
KPK telah menyusun Road Map KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Tahun 2011-2023. Hal ini dilakukan untuk menjadi kesinambungan dan memberikan
arah serta ispirasi bagi keberlangsungan pemberantasan korupsi mengingat dokumen
perencanaan yang selama ini ada hanya mencakup strategi jangka pendek dan
menengah. Kemudian dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi pada 23
Mei 2012 kembali dikeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 Tentang
Strategi Nasional Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Pangjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dengan visi dan misi
terwujudnya kehidupan bangsa dan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi. Untuk
mengimplementasikan visi dan misi dimaksud maka dalam Peraturan Presiden No. 55
Tahun 2012 telah disusun 6 (enam) strategi yakni ;
(1). Melaksanakan upaya-upaya pencegahan
(2). Melaksanakan langkah-langkah strategis dibidang penegakan hukum
(3). Melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-
undangan pemberantasan korupsi dan sektor lain
(4). Melaksanakan kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipior
(5). Meningkatkan pendidikan dan budaya anti korupsi dan
(6) Melaksanakan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya
pemberantasan korupsi.
Selajutnya dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012
khususnya menyangkut strategi pertama, melalui maklumat dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Aksi Pencegahan Dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2013 pemerintah mengintruksikan kepada Para
Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Sekretaris Kabinet, JaksaAgung,  Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Para Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian, Para Sekretaris Jenderal pada Lembaga Tinggi Negara, Para Gubernur
dan  Para Bupati/Walikota yang pada pokoknya harus bahu membahu dalam upaya
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
C.Lembaga Penegak Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan
hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa
saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

17
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,
aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari
segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara
formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti
‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna
pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara
hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah
‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian di atas
jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih
merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil
yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam
setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun
oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-
batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya
membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya
saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai
keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Lembaga Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi :
Kepolisian,Kejaksaan,Komisi Pemberantasan Korupsi,Pengadilan Tipikor.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum
dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum
yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
kepolisian,kejaksaan,komisi pemberantasan korupsi,pengadilan tipikor. Setiap aparat

18
dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya
aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu
secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan
berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya
juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum
hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang
mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau
belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian
besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan
hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada
empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu :
(i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’)
(ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law.
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law) ketiganya membutuhkan dukungan.
(iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang
dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda
tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian
pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam
pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi
dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam
rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusankeputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di
seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika
sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas
terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang

19
bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.
D.Pemberantasan & Pencegahan Korupsi
Kpk di bentuk berdasarkan UU NO 30 tahun 2002. Undang-undang ini terbit dengan
pertimbangan penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Saat ini korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga
harus di tangani secara luar biasa(extra ordinary measures).
Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan & Pencegahan Korupsi:
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
1.Upaya pencegahan (preventif).
2.Upaya penindakan (kuratif).
3.Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
4.Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
1.Upaya Pencegahan (Preventif)
1.Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
2.Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
3.Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tang-gung jawab yang tinggi.
4.Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
5.Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi.
6.Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
7.Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
8.Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

20
2.Upaya Penindakan (Kuratif): Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka
yang terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh
KPK :
1.Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov
Rusia milik Pemda NAD (2004).
2.Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.

3.Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda


DKI Jakarta (2004).
4.Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
5.Dugaan korupsi pada penyalahgunaan
fasilitaspreshipment  danplacement deposito dari BI kepada PT Texmaco
Group melalui BNI (2004).
6.Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
7.Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
8.Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
9.Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
10.Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3.Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1.Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
2.Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3.Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan
desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
4.Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5.Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

21
4.Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
1.Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia
dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca
Soeharto yang bebas korupsi.
2.Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang
bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai
organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak
menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal
adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan,
Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari
Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar.Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
E. Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi
Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan dengan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:
a) Delik-delik Korupsi dalam KUHP.
b) Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan
Laut).
c) Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan tindak
Pidana Korupsi.
d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
f) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dariperkembangan dan proses
pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri
erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, terutama sejak
proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti
sekarang ini. Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi
dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik,
maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek
kebijakan, baik kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminalpolicy)

22
maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal lawenforcement)
Dasar Hukum dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
1) TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang
Bersih dan Bebas KKN
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU)
3) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCLC 2003
5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Korupsi
6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi
7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dari
KKN
8) Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi tahun 2014
9) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi tahun 2013
10) Instruksi Presiden Nomor 56 Tahun 2012 Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2012 – 2025
11) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi tahun 2012
12) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi
13) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Peran Aktif Masyarakat.

23
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tindak pidana korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan
tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Dampak
yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan
masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta
dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan ini
seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur. Korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan
pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan”
ataudishonest (ketidakjujuran). Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama
sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi
di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik,
sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas
tindak korupsi di Indonesia, antara lain: upaya pencegahan (preventif), upaya
penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat).
B.Saran
Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang terjadi di
indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik apapun
sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun aparat akan
percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan korupsi pasti
masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus menyadarkan para pemimpin
untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka
sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang amanah dan bermental baik serta siap
susah demi rakyat. Kita sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa sudah
seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan tidak berubah menjadi
mental koruptor.

24
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. (1986). “A.Z. Abidin Farid dalam”, “Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi”. Jakarta: Pradnya Paramita Kamus Pusat
Bahasa. (2008). “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Pusat Bahasa KPK.
(2006). “Memahami untuk Membasmi. Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi”. Jakarta : KPK KPK. (2015). “Pengaduan Masyarakat Terindikasi Tipikor”
Jakarta: KPK
http://digilib.unila.ac.id/537/7/BAB%20II.pdf
https://www.scribd.com/document/338283404/Sejarah-Pemberantasan-Tindak-
Pidana-Korupsi
http://hukumpalembang.blogspot.com/2015/03/sejarah-pemberantasan-korupsi-
di.html?m=1
http://digilib.unila.ac.id/5421/8/BAB%20II.pdf
http://eprints.ums.ac.id/41967/3/BAB%20I.pdf
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
 Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan.
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi

25

Anda mungkin juga menyukai