Anggota Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1 Pengertian Etika....................................................................... 3
2.2 Konsep Dan Urgensia Pancasila Sebagai
Sistem Etika.............................................................................. 4
2.3 Alasan Dan Argumen Tentang Nilai Pancasila
Sebagai Sistem Etika................................................................ 5
2.4 Esensi Pancasila Sebagai Nilai Etika...................................... 7
BAB III PENUTUP....................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................... 8
3.2 Saran ......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi sesungguhnya menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia
tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang
memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan. Perhatian masyarakat
internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan
pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank,
ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC.
Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga modern
tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada
level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bahkan secara universal boleh dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak
sejak adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul menyertai kelahiran
negara, sebab negara memiliki kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah
diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton dalam pernyataannya yang terkenal
“power tend to corrupt and absolute power tend corrupts absolutely”.
BAB II
PEMBAHASAN
Melawan hukum dan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.
Menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.
2) Suap menyuap :
Terdapat pada Pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf b, pasal 5 ayat
(2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1) huruf b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal
12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 12 huruf c, pasal 12 huruf d dan pasal 13.
Contoh:
4) Pemerasan
Terdapat pada pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g.
Contoh:
5) Perbuatan curang
Terdapat pada pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat
(1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h.
Contoh:
7) Gratifikasi
Terdapat pada pasal 12 B, dan pasal 12 C.
Contoh:
Jenis-jenis korupsi
Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko mengutip pendapat
Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Korupsi jalan pintas,
terlihat dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan
politik, pembayaran untukkeuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai
politik, dan money politik.
b. Korupsi upeti
merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Karena
jabatan yang disandangnya, seseorang mendapatka persentase keuntungan dari
berbagai kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari
bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
c. Korupsi kontrak,
yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar. Termasuk dalam kategori
ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
d. Korupsi pemerasan,
terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern dan ekstern.
Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human resources
department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris
perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan.
Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu:
1. Ghulul atau penggelapan.
2. Risywah atau penyuapan.
3. Ghashab atau perampasan.
4. Ikhtilas atau pencopetan.
5. Sirqah atau pencurian.
6. Hirabah atau perampokan.
Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti
menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk
kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa berlangsung karena seseorang memiliki
jabatan atau kedudukan di kantor.
2. Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengaruhi
keputusan yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok.
3. Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan
yang tidak berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan
karena kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan.
Dilihat dari sifatnya jenis pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Korupsi Individual:
Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga korupsi menjadi kebutuhan
atau korupsi adalah jalan satu-satunya untuk membiayai kebutuhan (need
corruption).
Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya atau adanya
motif serakah (greed corruption).
2. Korupsi Terlembagakan:
Telah terjadi dalam waktu sekian lama melalui media administrasi dan
birokrasi yang ada, sehingga terjadi dalam proses yang lama dan telah berurat
berakar dalam lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan hampir semua
komponen yang ada dalam birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi bahwa
korupsi adalah sesuatu yang lumrah.
Pelaku korupsi kemudian enggan dan kehilangan semangat untuk melakukan
pemberantasan korupsi di lingkungannya bahkan mereka melakukan
legitimasi dan toleransi atas praktik korupsi yang terjadi.
3. Korupsi Politis:
Adanya praktik konspiratif dan kolutif diantara para pemegang otoritas politik
dengan pengambil kebijakan dan penegak hukum.
Adanya praktik pembiaran (ignoring) terhadap praktik korupsi yang diketahui,
baik yang terjadi di lingkungannya maupun di tempat lain.
Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga)
tipe korupsi, yaitu:
1. Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk pejabat-pejabat terpilih)
dimana mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi.
2. Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat yang
diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun
kepentingan mereka sendiri.
3. Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang mungkin
dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh kelompok kepentingan
tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan
dengan aset.
Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu:
1. Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar
dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak
dan kebutuhannya.
2. Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang untuk memengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan sebesarbesarnya.
3. Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak,
keponakan dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.
4. Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh
pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat
membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan.
Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu:
1. Transactive Corruption (Korupsi transaksi) muncul karena adanya kesepakatan timbal
balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak.
2. Exortive Corruption adalah pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal yang dihargai.
3. Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung
dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di
masa yang akan datang.
4. Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang
memberikan perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain
kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada.
5. Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi dengan
dalih untuk mempertahankan diri.
6. Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa melibatkan
orang lain.
7. Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakantindakan yang dilakukan untuk
melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.
f) Rangkuman
Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi yang
memiliki peran besar dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat
independen mampu memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam
melakukan pemberantasan korupsi.
d. Rangkuman
Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah
dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus diberantas. Oleh
karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan berbagai
cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Pada masa orde lama, Tentara
Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran besar dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa militer pada saat itu dengan mengeluarkan
peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas
tentara terhadap korupsi, tahun 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1960. Pada tahun-tahun berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi
Budhi guna mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru
dibentuk lembaga uang bertugas memberantas korupsi. Demikian pula, dikeluarkan berbagai
peraturan untuk memberantas korupsi. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967
dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang Pendidikan Antikorupsi 143 diketuai Jaksa Agung
Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi Empat yang diketuai Wilopo dan juga dibentuk
Komisi Antikorupsi. Untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dikeluarkan
UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guna
meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto juga membentuk tim
operasi tertib, yang salah satunya berfungsi untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Era reformasi merupakan era emas pemberantasan korupsi, utamanya pada
masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum SBY menjadi presiden, telah ditetapkan
TAP MPR Nomor XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme. Dalam UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa,
yang tugasnya melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana
korupsi. Komisi ini bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-
Undang ini kemudian diperbarui lagi dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan pemerintah SBY, pemerintah menetapkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya RAN pemberantasan korupsi tahun
2010-2015. 144 Dr. Eko Handoyo, M. Si. dari berbagai fakta dan data tentang
aktivitas pemberantasan korupsi di Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi,
menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Masyarakat pada era reformasi memberikan dukungan penuh terhadap upaya
pemberantasan korupsi. Buktinya, banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang
bergerak pada bidang pemberantasan korupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
1. Korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk,
rusak, kotor, serta menggunakan uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara)
secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
2. Antikorupsi adalah kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi (Maheka, t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah
bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan
bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara.
3. Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam. Masing-masing negara
dengan kultur masing-masing memahami korupsi dengan cara yang berbeda. Di
Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
korupsi dapat mengambil bentuk berupa suatu tindakan melawan hukum yang (1)
merugikan keuangan negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4)
berupa pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturan- benturan dalam
pengadaan, dan (7) gratifikasi. Bentuk korupsi lainnya, diatur lebih lanjut dalam
undang-undang tersebut.
4. Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam misalnya menyebutkan ada
4 jenis korupsi, yaitu korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Sementara itu, dilihat dari pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan
dalam tiga hal, yaitu korupsi individual, korupsi terlembagakan, dan korupsi politis.
5. Korupsi bersifat multidimensional. Korupsi disebabkan oleh banyak faktor, baik
politik, hukum, ekonomi, organisasi, maupun budaya. Faktor ekonomi, seperti gaji
rendah, kerugian yang diderita, kemiskinan, dan yang lain sering dianggap sebagai
faktor dominan. Padahal, faktor politik, utamanya perselingkuhan antara elit politik
dan pengusaha, merupakan faktor kunci yang menyebabkan terjadinya korupsi.
6. Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi yang memiliki peran
besar dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat independen mampu
memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam melakukan pemberantasan
korupsi.
7. Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah
dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus diberantas.
Oleh karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan
berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
3.2 Saran
Di negeri yang konon dijuluki negeri kleptokrasi. Meskipun banyak setan haus uang,
yang menggerogoti anggaran APBN dan APBD, masih ditemukan orang-orang bersih yang
masih memiliki hati nurani untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Tokoh-
tokoh bersih tersebut di antaranya adalah Jokowi, Tri Rismaharini, Yusuf Wally, La Tinro,
Amran Nur, Muda Mahendrawan, Abdul Kholiq Nur, Herman Sutrisno, dan Dahlan Iskan.
Jika tokoh-tokoh ini mampu menularkan virus antikorupsi maka kita sebagai masyarakat juga
harus mampu mendukung gerakan anti korupsi.