Anda di halaman 1dari 24

MENGANALISIS PERMASALAHAN HUKUM SERTA UPAYA PENANGANAN

DALAM MENDUKUNG GERAKAN ANTIKORUPSI

Nama Dosen : Agung Suprayitno, M. Pd


Mata Kuliah : Kewarganegaraan
Kelompok : Kelompok 6 (Enam)
Nama Kelompok :
1. Alya Nurryta Putri - 225010
2. Shevia Dwi Nugraheni - 225012
3. Shinta Annastasia - 225016
4. Ananda Agustin Margareta - 225020
5. Nur Afifah - 225021
6. Widya Lailatur Rofida - 225023
7. Syahfira Nur Jannah - 225024
8. Sendi Fantri Aprilia - 225025
9. Dewi Anggih Surya Permatasari - 225030
10. Nuril Khabibatul Jamilah - 225034
11. Adela Ulfia Widodo - 225038

Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan


Institut Teknologi Sains Dan Kesehatan Rs. dr. Soepraoen
Tahun Ajaran 2022 / 2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Menunjukkan Etika Berdasarkan Nilai
Pancasila” dapat selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas Pancasila semester 1 Tingkat 1A
dari Bapak Agung Supriyanto M.Pd.. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca tentang menunjukkan etika berdasarkan nilai pancasila.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Agung Supriyanto M.Pd.
selaku guru mata kuliah Pancasila. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah
wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Malang, 24 September 2022

Anggota Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1 Pengertian Etika....................................................................... 3
2.2 Konsep Dan Urgensia Pancasila Sebagai
Sistem Etika.............................................................................. 4
2.3 Alasan Dan Argumen Tentang Nilai Pancasila
Sebagai Sistem Etika................................................................ 5
2.4 Esensi Pancasila Sebagai Nilai Etika...................................... 7
BAB III PENUTUP....................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................... 8
3.2 Saran ......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita tentang korupsi makin
gencar. Berbagai harian (surat kabar) di Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan
peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi tidak hanya melanda kehidupan politik, tetapi juga
ekonomi dan sosial. Pelaku yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga
mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula kalangan
kampus perguruan tinggi dan sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang beras, pedagang buah,
kondektur bus, sopir angkutan, dan tukang becak pun turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi
tampaknya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.

Korupsi sesungguhnya menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia
tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang
memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan. Perhatian masyarakat
internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan
pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank,
ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC.

Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga modern
tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada
level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bahkan secara universal boleh dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak
sejak adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul menyertai kelahiran
negara, sebab negara memiliki kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah
diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton dalam pernyataannya yang terkenal
“power tend to corrupt and absolute power tend corrupts absolutely”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan ciri-ciri dari korupsi dan anti korupsi?
2. Bagaimana bentuk dan jenis-jenis korupsi?
3. Apa saja faktor penyebab dan dampak dari korupsi?
4. Apa saja lembaga-lembaga anti korupsi yang ada di indonesia?
5. Bagaimana upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dalam lintas sejarah?
6. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung gerakan anti korupsi?
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa lebih memahami tentang Definisi Korupsi dan Anti korupsi.
2. Untuk mengetahui Bentuk dan Jenis korupsi yang ada di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Faktor penyebab dan Dampak Korupsi di Indonesia.
4. Untuk mengetahui lembaga Anti Korupsi yang ada di Indonesia.
5. Untuk mengetahui cara Pemberantasan Korupsi di Indonesia dalam Lintas Sejarah
Indonesia.
6. Untuk mengetahui bagaimana Partisipasi masyarakat dalam mendukung gerakan Anti
Korupsi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Ciri-Ciri Korupsi


Dalam sejarah kehidupan manusia, korupsi bukan hal yang baru lagi. Sejak manusia
hidup bermasyarkat, sudah tumbuh perilaku koruptif atau menyimpang, yang tidak sesuai
dengan norma sosial yang berlaku. Perilaku koruptif manusia yang dimaksud adalah untuk
menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya memiliki variasi yang beranekaragam,
sehingga pola-pola tindakan korupsi juga banyak variasinya. Oleh karena itu korupsi bukan
konsep sederhana. Sebagaimana dinyatakan oleh Phil Williams, meningkatnya ragam korupsi
akibat kecanggihan para pelaku yang menyebabkan pendefinisian terus dikaji ulang agar
mendapat pemahaman yang sistematis.
Korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau coruptus. Coruuptio berasal dari
kata corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu
corruption, corrupt. Dari bahasa Perancis yakni corruptie dan dari bahasa Belanda yaitu
corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie dierap dalam bahasa
Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai, korupsi dinamkan gin moung, yang
artinya makan bangsa. Sedangkan dalam bahasa China, tanwu, artinya keserakahan bernoda,
dan dalam bahasa Jepang, oshuku, yang berarti kerja kotor.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata Korup artinya:
buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat digosok
(memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Dalam kamus tersebut, korupsi
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan
sebagainya) untuk keuntugan pribadi atau orang lain. Dari istilah istilah tersebut, korupsi
dapat dipahami sebagai perbuatan busuk, kotor, menggunakan uang atau barang milik lain
(perusahaan atau negara) secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri).
 Pengertian korupsi menurut beberapa ahli:
1. Nurdjana (1990)
Korupsi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu
"corruptio", yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat
disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma
agama material, mental dan hukum.
2. Juniadi Suwartojo (1997)
Korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang
melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau
menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan,
penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya
yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau
kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau
jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing
langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan
negara/masyarakat.
3. Haryatmoko
Korupsi adalah upaya menggunakan kemampuan campur tangan
karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh,
uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.
4. Mubyarto
Korupsi adalah suatu masalah politik lebih daripada ekonomi yang
menyentuh keabsahan atau legitimasi pemerintah di mata generasi muda,
kaum elite terdidik, dan para pegawai pada umumnya. Akibat yang akan
ditimbulkan dari korupsi ini yakni berkurangnya dukungan pada pemerintah
dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.
5. Syed Hussein Alatas.
Korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
yang diakukan dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan, dan
kemasabodohan dengan akibat yang diderita oleh rakyat.
6. Gunnar Myrdal.
Korupsi adalah suatu masalah dalam pemerintahan karena kebiasaan
melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar
korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar.
7. Robert Klitgaard.
Korupsi adalah suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi jabatannya dalam negara, di mana untuk memperoleh keuntungan status
atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang
menyangkut tingkah laku pribadi.
 Ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum
5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum
6) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan
7) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat.
 Pengertian Antikorupsi
Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan
peluang bagi berkembangnya korupsi (Maheka, t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud
adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi
dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Menurut Maheka (t.th: 31),
peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan cara melakukan
perbaikan sistem (hukum dan kelembagaan) dan perbaikan manusianya.
Langkah-langkah antikorupsi:
1. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku untuk mengantisipasi
perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal-pasal karet yang sering
digunakan koruptor melepaskan diri dari jerat hukum.
2. Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadisederhana (simpel) dan
efisien.
3. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi serta
memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan
umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi.
4. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara
tegas.
5. Penerapan prinsip-prinsip good governance.
6. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dan memperkecil terjadinya human error.
Nilai-nilai antikorupsi yang perlu disemaikan kepada generasi muda:
1. Kejujuran
2. Tanggung Jawab
3. Keberanian
4. Keadilan
5. Keterbukaan
6. Kedisiplinan
7. Kesederhanaan
8. Kerja Keras
9. Kepedulian
Pendidikan Antikorupsi
Secara umum, pendidikan antikorupsi diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya
yang bertujuan untuk mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik
(Suyanto, 2005 : 43). Setiap upaya pendidikan memiliki tujuan tertentu, demikian pula
pendidikan antikorupsi.

Tujuan pendidikan antikorupsi adalah:


1. Pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi dan
aspek-aspeknya.
2. Perubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi.
3. pembentukani keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan
korupsi.
Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dicermati bahwa pendidikan antikorupsi melibatkan 3
domain penting yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif
menekankan pada kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari,
bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru.
Kedua, domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada level
menerima atau menolak sesuatu. Ketiga yaitu domain psikomotorik menekankan pada tujuan
melatih kecakapan dan keterampilan Untuk membekali peserta didik agar terbiasa berperilaku
antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan pendidikan antikorupsi ketiga domain di atas harus
diselaraskan atau diintegrasikan dalam target kurikulum baik yang eksplisit maupun implisit.

2.2 Bentuk Dan Jenis-Jenis Korupsi


Sebagaimana telah disebutkan dalam 2.1 , definisi korupsi diuraikan panjang lebar
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sebanyak 13 pasal menjelaskan bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yang dapat dilakukan
penindakan terhadapnya. Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30
bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci tentang
perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena kasus korupsi.
Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3.
Contoh:

 Melawan hukum dan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.
 Menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.

2) Suap menyuap :
Terdapat pada Pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf b, pasal 5 ayat
(2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1) huruf b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal
12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 12 huruf c, pasal 12 huruf d dan pasal 13.
Contoh:

 Menyuap pegawai negeri .


 Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya.
 Pegawai negeri menerima suap.
 Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya.
 Menyuap Hakim.
 Menyuap advokat.
 Hakim dan advokat menerima suap.

3) Penggelapan dalam jabatan


Terdapat pada pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, pasal 10 huruf b, dan pasal 10
huruf c.
Contoh:

 Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan atau


membantu melakukan perbuatan itu.
 Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.
 Pegawai negeri merusakkan bukti.
 Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti.
 Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.

4) Pemerasan
Terdapat pada pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g.
Contoh:

 Pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang


memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan,
atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya.
 Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain.

5) Perbuatan curang
Terdapat pada pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat
(1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h.
Contoh:

 Pemborong/ahli bangunan berbuat curang.


 Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang.
 Rekan TNI/Polri berbuat curang.
 Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
 Penerima barang untuk keperluan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
 Pegawai negeri menyerobot tanah negara, sehingga merugikan orang lain.

6) Benturan-benturan dalam pengadaan


Terdapat pada pasal 12 huruf i.
Contoh:

 Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

7) Gratifikasi
Terdapat pada pasal 12 B, dan pasal 12 C.
Contoh:

 Pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan/kewenangangannya


menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK dalam jangka waktu 30 hari.

 Jenis-jenis korupsi
Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko mengutip pendapat
Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Korupsi jalan pintas,
terlihat dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan
politik, pembayaran untukkeuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai
politik, dan money politik.
b. Korupsi upeti
merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Karena
jabatan yang disandangnya, seseorang mendapatka persentase keuntungan dari
berbagai kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari
bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
c. Korupsi kontrak,
yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar. Termasuk dalam kategori
ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
d. Korupsi pemerasan,
terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern dan ekstern.
Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human resources
department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris
perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan.
Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu:
1. Ghulul atau penggelapan.
2. Risywah atau penyuapan.
3. Ghashab atau perampasan.
4. Ikhtilas atau pencopetan.
5. Sirqah atau pencurian.
6. Hirabah atau perampokan.
Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti
menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk
kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa berlangsung karena seseorang memiliki
jabatan atau kedudukan di kantor.
2. Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengaruhi
keputusan yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok.
3. Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan
yang tidak berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan
karena kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan.
Dilihat dari sifatnya jenis pelaku dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Korupsi Individual:
 Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga korupsi menjadi kebutuhan
atau korupsi adalah jalan satu-satunya untuk membiayai kebutuhan (need
corruption).
 Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya atau adanya
motif serakah (greed corruption).
2. Korupsi Terlembagakan:
 Telah terjadi dalam waktu sekian lama melalui media administrasi dan
birokrasi yang ada, sehingga terjadi dalam proses yang lama dan telah berurat
berakar dalam lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan hampir semua
komponen yang ada dalam birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi bahwa
korupsi adalah sesuatu yang lumrah.
 Pelaku korupsi kemudian enggan dan kehilangan semangat untuk melakukan
pemberantasan korupsi di lingkungannya bahkan mereka melakukan
legitimasi dan toleransi atas praktik korupsi yang terjadi.
3. Korupsi Politis:
 Adanya praktik konspiratif dan kolutif diantara para pemegang otoritas politik
dengan pengambil kebijakan dan penegak hukum.
 Adanya praktik pembiaran (ignoring) terhadap praktik korupsi yang diketahui,
baik yang terjadi di lingkungannya maupun di tempat lain.
Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga)
tipe korupsi, yaitu:
1. Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk pejabat-pejabat terpilih)
dimana mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi.
2. Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat yang
diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun
kepentingan mereka sendiri.
3. Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang mungkin
dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh kelompok kepentingan
tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan
dengan aset.

Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu:
1. Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar
dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak
dan kebutuhannya.
2. Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang untuk memengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan sebesarbesarnya.
3. Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak,
keponakan dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.
4. Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh
pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat
membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan.

Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu:
1. Transactive Corruption (Korupsi transaksi) muncul karena adanya kesepakatan timbal
balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak.
2. Exortive Corruption adalah pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal yang dihargai.
3. Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung
dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di
masa yang akan datang.
4. Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang
memberikan perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain
kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada.
5. Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi dengan
dalih untuk mempertahankan diri.
6. Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa melibatkan
orang lain.
7. Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakantindakan yang dilakukan untuk
melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.

2.3 Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Korupsi


Korupsi terjadi karena sebagai sebab atau faktor. Faktor-faktor itu diantaranya politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam korupsi yang bersifat sistemik, faktor-faktor tersebut
terjalin berkelindan menentukan terjadinya korupsi. Meskipun dalam beberapa hal perbuatan
korupsi mendatangkan manfaat, tetapi dampak negatif korupsi lebih besar daripada
kegunaannya. Dampak negatif korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian
negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara.
A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di negara-negara yang sistem
ekonominya sangat monopolistik. Kekuasaan negara dirangkai dengan informasi orang dalam
turut menciptakan kesempatan-kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk mempertinggi
kepentingan mereka beserta sekutu-sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berkaitan dengan
faktor birokrasi, di mana dalam suasana demikian kebijakan ekonomi pemerintah
diimplementasikan, dikembangkan, dan dimonitor, dengan cara yang tidak partisipatif, tidak
transparans, dan tidak akuntabel.
Kenyataan juga menunjukan bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang yang
ekonominya pas-pasan untuk bertahan hidup, tetapi saat ini korupsi juga dilakukan oleh
orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. Rendahnya pendapatan dan gaji tidak serta merta
mendorong orang untuk melakukan korupsi. Banyaknya pemimpin nasional dan darah, serta
para anggota legislatif di tingkat nasional dan di level daerah yang dipidana, karena telah
terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Mereka korupsi tidak karena
kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan yang kurang (by need). Mereka melakukan
korupsi karena mental buruk, tidak bermoral, sehingga berjiwa serakah (by greed) untuk
menggambil harta negara guna menambah pundi-pundi kekayaannya.
ICW memaparkan faktor politik, hukum, ekonomi, dan transnasional sebagai faktor
penyebab korupsi. Mashal (2011) memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai
penyebab korupsi. Mengutip pandangan Mauro, Mashal (2011) menyebutkan enam hal yang
menyebabkan korupsi bisa berlangsung:
1. Motivasi untuk mencari penghasilan dengan cara yang ekstrim, berhubungan dengan
kondisi kemiskinan, upah yang rendah, dan resiko tinggi dari pekerjaan (karena
penyakit, kecelakaan, dan pengangguran)
2. Kesempatan untuk terlibat dalam korupsi, karena disebabkan oleh banyak regulasi
yang mendorong kesempatan tinggi untuk melakukan korupsi.
3. Sistem legislatif dan peradilan yang lemah.
4. Penduduk sedikit dengan jumlah sumber daya alam yang melimpah.
5. Hukum dan prinsip-prinsip etik yang lemah.
6. Instabilitas politik dan lemahnya kemauan politik.
Mencari akar penyebab terjadinya korupsi dapat ditelusuri dengan memahami
sejumlah teori yang terkait dengannya. Pertama, adalah teori means-ends scheme yang
diperkenalkan oleh Robert Merton. Menurut teori ini, korupsi merupakan suatu perilaku
manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-
norma. Sebagaimana setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia berusaha untuk
mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Dalam teori Merton ini
ditunjukkan bagaimana kebudayaan terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi
kesempatan-kesempatanuntuk mencapainya, akan menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.
Teori kedua, adalah teori partikularismeyang dikembangkan oleh Edward Banfeld. Teori
tersebut berkaitan erat dengan keluarga, dimana korupsi merupakan ekspresi dari
partikularisme.
B. Dampak Korupsi
Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi merupakan kejahatan yang secara langsung
menggerogoti sendi-sendi bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa. Virus korupsi yang
menyerang suatu negara atau pemerintahan membuat daya tahan dan daya hidup suatu negara
menjadi lemah. Virus tersebut mengancam integrasi dan kohesivitas nasional, sehingga
konflik sosial mudah meletup dan sulit dikendalikan. Fundamen ekonomi pun dibuatnya
rapuh dan rentan terhadap goncangan sekecil apa pun. Secara politik, korupsi telah
meruntuhkan wibawa dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat, sehingga partisipasi rakyat
menjadi rendah. Korupsi memengaruhi persepsi rakyat, dimana rakyat percaya bahwa
produk perundang-undangan lahir memang untuk di langgar karena adanya berbagai
kesepakatan di bawah tangan baik dengan pendekatan kekuasaan maupun uang. Rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum, menyebabkan rendahnya kepatuhan
mereka terhadap hukum yang berlaku.
Dampak negatif korupsi juga dikemukakan rusaknya sendi-sendikehidupan
bermasyarakat, terhambatnya ekonomi dan daya saing, serta terhambatnya upaya
pengentasan kemiskinan dan penegakan hak asasi manusia, merupakan dampak negatif dari
tindak pidana korupsi.

2.4 Lembaga-Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia


Ekstensi korupsi di Indonesia bertalian dengan system dan kultus yang tidak
memberikan ruang gerak yang cukup bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sejak kejatuhan pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto pada tahun1998
yang lalu, kondisi bangsa dan Negara menjadi terpuruk. Akibat krisis dan kejatuhan
Soeharto, kemiskinan meningkat tajam, jumlah karyawan yan di PHK meningkat,
pengangguran bertambah, penggusuran menjadi-jadi, kelaparan meningkat, dan moralitas
pemimpin makin merosot terutama diperlihatkan dari meningkatnya tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh para pemangku jabatan Negara atau publik. Dalam kaitannya dengan
upaya melawan korupsi, peran strategis LSM dan ORNOP didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, secara nominal struktural, independensi LSM/ORNOP dari pemerintah atau
masyarakat kalangan bisnis relatif memungkinkan mereka lebih banyak memiliki kebebasan
untuk mengkritis kebijakan Negara dan sector bisnis. Kedua, pemerintah dan bisnis tidak
dapat mengendalikan, mengontrol atau mendikte LSM/ORNOP karena mereka tidak
tergantung kepada lembaga Negara atau pun masyarakat bisnis dalam hal sumber dana.
Selain munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi
terhadap upaya pemberantasan korupsi, pada level Negara telah dibentuk lembaga
independen, yaitu komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
a) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
KPK dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 pada tanggal
29 Desember 2003. KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang selama ini
menangani perkara tidak memberantas tindak pidana korupsi. KPK dibentuk dengan
tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnta, KPK berasakan
pada prinsip-prinsip kepastian hokum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proporsionalitas.

b) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)


YLBHI mulanya bernama Lembaga Bantuan Hukum(LBH), yang didirikan
berdasarkan idea atau gagasan yang berkembang dalam kongres Ketiga Advokat
Indonesia (Peradin) pada tahun 1969. Organisasi YLBHI diselenggarakan
berdasarkan prinsip bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan hokum,
sosial, ekonomi, dan politik.
YLBHI merupakan lembaga non-pemerintah yang secara spesifik melakukan
advokasi dan pembelaan hokum kepda golongan lemah tertindas. YLBHI juga
merupakan satu-satunya LSM yang secara tegas melawan ketidakadilan structural
yang dibangun rezim orde baru.

c) Indonesia Corruption Watch (ICW)


Sesuai dengan manisfesto gerakan antikorupsi. ICW adalah lembaga nirlaba
yang terdiri dari sekomopulan orang-orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat atau
berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi. ICW lahir di
Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tenagh derasnya gerakan reformasi.

d) Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI)


MTI adalah penegakan transparansi di semua lini masyarakat, mulai dari
persoalan sosial, politik, ekonomi hingga pertahanan keamanan. Dalam pandangan
MTI untuk mewujudkan visi misinya meliputi : mensosialisasikan pengertian dan
hakikat transparansi kepada masyarakat luas dan menanamkan keyakinan tentang
pentingnya transparasi dalam berbagai bidang kehidupan, melakukan berbagai
penelitian dan pengkajian mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsepsi
transparansi, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dalam berbagai bentuk
untuk mengkaji dan merumuskan strategipelaksaan transparansi di bidang hokum,
politik, sosial-budaya, ekonomi-bisnis, dan hankam.

e) Transparency International Indonesia (TII)


TII merupakan lembaga cabang nasional dari Transparency International
(TII) yang merupakan gerakan global menetang korupsi yang berkantor di Berlin
Jerman. Transparency International Indonesia (TII) bertujuan mempromosikan
transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintah dan sector usaha.

f) Rangkuman
Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi yang
memiliki peran besar dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat
independen mampu memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam
melakukan pemberantasan korupsi.

2.5 Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia dalam Lintas Sejarah


a. Pemberantasan Korupsi Masa Orde Lama
Sejarah pemberantasan korupsi khususnya sejarah perundangundangan
antikorupsi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Bahkan Andi Hamzah
dengan meyakinkan mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara pertama di
Asia yang memiliki Pendidikan Antikorupsi 123 undang-undang antikorupsi
(Muslimin, 2006: 138). Pada tahun 1957 penguasa militer mengeluarkan Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Satu tahun kemudian, Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat
Jenderal Abdul Haris Nasution mengeluarkan peraturan antikorupsi, yaitu Peraturan
Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/C13/1958
tertanggal 16 April 1958. Sehari setelah keluarnya peraturan tersebut, muncul
peraturan serupa yang dikeluarkan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Laut Nomor Prt/Z.I./1/7.
Yang menarik dari semua itu, mengapa bukan pemerintah yang mengambil
inisiatif dengan mengeluarkan undang-undang atau peraturan antikorupsi, justru
penguasa militer yang notabene karakternya cenderung otoriter dan tertutup yang
dengan berani menetapkan peraturan antikorupsi. Tidak ada jawaban terhadap hal
ini, tetapi yang patut dicatat bahwa TNI telah menorehkan prestasi tentang obsesinya
untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih. Pada waktu itu muncul
kasus besar ketika Jaksa Agung waktu itu, yaitu Agung Suprapto untuk membawa
Menlu Roslan Abdul Gani ke meja hijau karena adanya dugaan korupsi (Muslimin,
2006: 139). Meskipun akhirnya upaya Jaksa Agung gagal, namun ketegasan sikap
dan tekad pantang menyerah dari Suprapto selaku Jaksa Agung pantas dicatat
dengan tinta emas dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Menjelang
berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah,
yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
(Muslimin, 2006: 139). Selain peraturan antikorupsi yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah dan penguasa militer, pemerintah atas dasar saran dari penguasa militer
membentuk lembaga antikorupsi sebanyak dua kali. Pertama, dibentuklah Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Lembaga tersebut dibentuk melalui perangkat
aturan UU Keadaan Bahaya yang dipimpin oleh A.H. Nasution dengan dibantu 2
orang anggota, yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Berdasarkan aturan
tersebut, semua pejabat negara harus mengisi formulir tentang harta kekayaannya.
Upaya tersebut ditentang Pendidikan Antikorupsi 125 keras oleh pejabat yang korup.
Karena kekacauan politik, paran tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan
menyerahkan pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Kedua, dibentuk
Operasi Budhi berdasarkan Keppres Nomor 275 Tahun 1963. A.H. Nasution mantan
Ketua Paran ditunjuk oleh pemerintah menjadi ketua operasi Budhi, dibantu Wirjono
Prodjodikoro untuk menjalankan tugas menyeret pelaku korupsi ke pengadilan.
Sasaran utama lembaga ini adalah perusahaan negara dan lembaga-lembaga negara
dianggap rawan praktik korupsi. Seperti halnya yang dialami oleh Paran, lembaga
ini juga mengalami kesulitan untuk menangkap pelaku korupsi. Perlawanan
koruptor, seperti yang dilakukan oleh Direktur Utama Pertamina dengan menolak
diperiksa, menyebabkan lembaga ini mandul. Meskipun Operasi Budhi berhasil
menyelamatkan uang negara senilai kurang lebih Rp 11 miliar, namun tidak urung
dibubarkan pemerintah dan sebagai gantinya dibentuk Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (Kontrar) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dengan
dibantu 2 orang anggota, yaitu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

b. Pemberantasan Korupsi Pada Orde baru


Dibandingkan dengan hasil yang dicapai, peraturan antikorupsi pada masa
orde lama tidak signifikan sebagai senjata pamungkas dalam memberantas korupsi.
Sistem kepemimpinan yang otoriter, buruknya kinerja pemerintah dalam hubungan
luar negeri, ditambah kompetisi tidak sehat antarpartai politik pada masa itu
menyebabkan pemerintah lebih berkonsentrasi untuk mengendalikan situasi politik
dan keamanan dalam negeri. Hal ini berdampak pada lemahnya pengendalian
terhadap perilaku 126 Dr. Eko Handoyo, M.Si. aparat pemerintah dan elit politik.
Peraturan antikorupsi yang dibuatnya pun menjadi tidak efektif. Berangkat dari
buruknya kinerja pemerintah orde lama, pemerintah orde baru yang mengklaim diri
sebagai orde pengoreksi bertekad melakukan perubahan-perubahan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar, termasuk melaksanakan
pemberantasan korupsi. Pada tahun 1967, pemerintah orde baru membentuk Tim
Pemberantas Korupsi berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 (Muslimin,
2006: 140; Sudjana, 2008: 182). Tim tersebut diketuai oleh Jaksa Agung Sugiharto,
dilengkapi dengan satuan tugas dari unsur kejaksaan, TNI dan Polri, ahli ekonomi,
keuangan dan perbankan, pers, dan kesatuan-kesatuan aksi. Tim ini memiliki
penasihat, yaitu Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan, dan
Kapolri. Tim yang dibentuk Soeharto tersebut tidak efektif, karenanya pada tanggal
31 Januari 1970 berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 1970 dibentuk Komisi
Empat. Tugas utama komisi ini adalah memberantas korupsi (Muslimin, 2006: 140).
Tugas rincinya adalah menghubungi pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil
atau militer, meminta dokumen-dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-
lain dengan meminta bantuan kepada aparatur negara pusat dan daerah (Sudjana,
2008: 183). Ketua Komisi ini dijabat oleh Mr. Wilopo, dengan anggota IJ. Kasimo,
Prof. Johannes dan Anwar Cokroaminoto. Sekretaris Komisi dijabat oleh Mayjen
Sutopo Yuwono. Mantan Wapres, Drs. M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi.

c. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Reformasi


Pada masa orde baru, pemerintah mencanangkan pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila. Idealisasi pembangunan tersebut diwujudkan dalam
rencana-rencana pembangunan nasional. Untuk mencapai cita-cita, tujuan nasional,
dan sebagai realisasi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,
pemerintah orde baru menetapkan rancangan pembangunan dalam dua tahap. Setiap
tahap memakan waktu 25 hingga 30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang Tahap
(PJPT) Pertama sampai dengan pertengahan tahun 1997 telah menunjukkan hasil
yang dapat dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Namun malapetaka
menimpa Indonesia, yakni dengan munculnya krisis moneter pada pertengahan
tahun 1997. Krisis keuangan tersebut meluas menjadi krisis ekonomi, dan pada
tahun-tahun berikutnya meluas dan membesar menjadi krisis multidimensi, tidak
hanya ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, dan keamanan. Bahkan dalam
sewindu sejak krisis 1997, moralitas dan nasionalisme bangsa Indonesia mengalami
penurunan sangat tajam.

d. Rangkuman
Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah
dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus diberantas. Oleh
karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan berbagai
cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Pada masa orde lama, Tentara
Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran besar dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa militer pada saat itu dengan mengeluarkan
peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas
tentara terhadap korupsi, tahun 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1960. Pada tahun-tahun berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi
Budhi guna mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru
dibentuk lembaga uang bertugas memberantas korupsi. Demikian pula, dikeluarkan berbagai
peraturan untuk memberantas korupsi. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967
dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang Pendidikan Antikorupsi 143 diketuai Jaksa Agung
Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi Empat yang diketuai Wilopo dan juga dibentuk
Komisi Antikorupsi. Untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dikeluarkan
UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guna
meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto juga membentuk tim
operasi tertib, yang salah satunya berfungsi untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Era reformasi merupakan era emas pemberantasan korupsi, utamanya pada
masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum SBY menjadi presiden, telah ditetapkan
TAP MPR Nomor XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme. Dalam UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa,
yang tugasnya melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana
korupsi. Komisi ini bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-
Undang ini kemudian diperbarui lagi dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan pemerintah SBY, pemerintah menetapkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya RAN pemberantasan korupsi tahun
2010-2015. 144 Dr. Eko Handoyo, M. Si. dari berbagai fakta dan data tentang
aktivitas pemberantasan korupsi di Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi,
menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Masyarakat pada era reformasi memberikan dukungan penuh terhadap upaya
pemberantasan korupsi. Buktinya, banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang
bergerak pada bidang pemberantasan korupsi.

2.6 Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi


KPK menyadari bahwa sumber daya dan infrastruktur yang mereka miliki tidak
memungkinkan untuk menggarap semua kasus korupsi yang terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia. Jumlah hakim pengadilan khusus tindak pidana korupsi juga
relatif sangat kurang. Kondisi ini tentu berimplikasi pada sedikitnya kasus korupsi
yang dapat ditangani oleh KPK dibandingkan jumlah kasus yang masuk ke KPK
atau jumlah pengaduan dari masyarakat
A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sebagai pihak eksternal, kehadiran masyarakat sangat dibutuhkan, sebab biasanya
mata luar lebih awas daripada mata yang ada di dalam. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat merupakan strategi kunci bagi upaya pemberantasan
korupsi.
Mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini
beralasan, karena masyarakat pun memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi
tumbuh suburnya korupsi. Kegiatan - kegiatan publik tidak dilakukan dalam situasi
vakum. Masyarakatlah yang sering memberi suap. Titik singgung antara sektor
swasta dan sektor publik juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-
menyuap. Contoh yang paling telanjang adalah penyuapan yang dilakukan oleh
pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan
pelanggaran lalu lintas.
Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi
memiliki landasan hukum yang jelas. Partisipasi tersebut tidak hanya diatur dalam
UU Korupsi, tetapi juga diatur dalam UU tentang Penyelenggara Negara. Dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme dijelaskan bahwa peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab
masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih. Dalam pasal
9 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa peran serta masyarakat untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang bersih diwujudkan dalam bentuk :
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggara
negara
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara
negara
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelenggara negara
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal: melaksanakan haknya
sebagaimana dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3 serta diminta hadir dalam
proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
Pendidikan Antikorupsi 211 Dr. Eko Handoyo, M.Si.
perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar
Komisi dan Instansi KPK, 2006: 156).
Dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi, peran serta masyarakat
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk :
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: (a) melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2, 3, dan (b) diminta hadir
dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (KPK, t.th.: 67)
Dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, “penegak hukum atau komisi wajib
merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor atau isi informasi,
saran, atau pendapat yang disampaikan” (KPK, t.th.: 121). Selanjutnya dalam ayat
214 (2) disebutkan, “apabila diperlukan, atas permintaan pelapor, penegak hukum
atau komisi dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun
keluarganya.” Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka partisipasi tersebut
harus dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menciptakan koalisi
strategis antar-elemen masyarakat.
Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka partisipasi tersebut harus
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menciptakan koalisi strategis
antar-elemen masyarakat. Sejumlah tokoh masyarakat dan figur dari berbagai
kalangan yang berpengaruh, seperti pekerja seni, artis, musisi, guru, dosen, pekerja
sosial, pendeta, ulama, mahasiswa, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya dapat
bekerjasama untuk menjadi kekuatan penekan (pressure power) terhadap keseriusan
pemerintah dalam memberantas korupsi atau setidaknya sebagai kekuatan sipil
dalam mengembangkan benih-benih perilaku antikorupsi yang dalam jangka panjang
dapat menciptakan generasi dan masyarakat berbudaya antikorupsi.
B. Pemberian Penghargaan
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah
memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu
upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi
(Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006:
149).
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, setiap
orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat yang telah berjasa
dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana
korupsi berhak mendapat penghargaan. Penghargaan tersebut berupa premi atau
piagam.
Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa baik dalam kegiatan
penindakan maupun pencegahan, tentu saja tidak terbatas pada apa yang telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas. KPK bisa mengembangkan 1.001 cara
untuk mendorong masyarakat agar membantu pemerintah dan KPK dalam
memberantas korupsi. Misalnya dengan memberikan penghargaan melalui ajang
KPK Award. Kategori penghargaan dapat bervariasi, misalnya kategori anggota
Dewan terbersih, menteri terbersih, gubernur terbersih, bupati atau wali kota
terbersih, guru terjujur, dosen terjujur, pengusaha terjujur, LSM antikorupsi tergiat,
pokja antikorupsi perguruan tinggi tergiat, dan sebagainya. Dengan pemberian
penghargaan tersebut, akan mendorong mereka yang bekerja tanpa pamrih tersebut
untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi kepada nusa, bangsa, dan negara.
Yang paling penting pula adalah sel-sel antikorupsi tetap hidup dan bermutasi lebih
banyak lagi menyebarkan virus antikorupsi di semua lapisan masyarakat.
C. Rangkuman
Korupsi terjadi di berbagai bidang dan berbagai level masyarakat, sehingga
dalam pemberantasannya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
utamanya lembaga penegak hukum dan keadilan, tetapi juga harus didukung oleh
seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga
antikorupsi dalam melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku
korupsi. Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi, karena
masyarakat memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya
korupsi. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat juga menjadi pelaku dan lahan
subur bagi tumbuh dan berkembangnya korupsi. Tidak jarang masyarakatlah yang
sering memberi suap. Titik singgung antara sektor swasta dan sektor publik juga
sering menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-menyuap. Contoh yang paling
telanjang adalah penyuapan yang dilakukan oleh pengendara motor atau mobil
kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Upaya
antikorupsi tanpa melibatkan masyarakat, akan sia-sia karena masyarakat merupakan
salah satu pendukung yang paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas
korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut memberdayakan
masyarakat agar mereka semakin sadar dan tidak terlibat korupsi.

BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
1. Korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk,
rusak, kotor, serta menggunakan uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara)
secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
2. Antikorupsi adalah kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi (Maheka, t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah
bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan
bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara.
3. Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam. Masing-masing negara
dengan kultur masing-masing memahami korupsi dengan cara yang berbeda. Di
Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
korupsi dapat mengambil bentuk berupa suatu tindakan melawan hukum yang (1)
merugikan keuangan negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4)
berupa pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturan- benturan dalam
pengadaan, dan (7) gratifikasi. Bentuk korupsi lainnya, diatur lebih lanjut dalam
undang-undang tersebut.
4. Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam misalnya menyebutkan ada
4 jenis korupsi, yaitu korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Sementara itu, dilihat dari pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan
dalam tiga hal, yaitu korupsi individual, korupsi terlembagakan, dan korupsi politis.
5. Korupsi bersifat multidimensional. Korupsi disebabkan oleh banyak faktor, baik
politik, hukum, ekonomi, organisasi, maupun budaya. Faktor ekonomi, seperti gaji
rendah, kerugian yang diderita, kemiskinan, dan yang lain sering dianggap sebagai
faktor dominan. Padahal, faktor politik, utamanya perselingkuhan antara elit politik
dan pengusaha, merupakan faktor kunci yang menyebabkan terjadinya korupsi.
6. Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi yang memiliki peran
besar dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat independen mampu
memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam melakukan pemberantasan
korupsi.
7. Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah
dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus diberantas.
Oleh karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan
berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

3.2 Saran
Di negeri yang konon dijuluki negeri kleptokrasi. Meskipun banyak setan haus uang,
yang menggerogoti anggaran APBN dan APBD, masih ditemukan orang-orang bersih yang
masih memiliki hati nurani untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Tokoh-
tokoh bersih tersebut di antaranya adalah Jokowi, Tri Rismaharini, Yusuf Wally, La Tinro,
Amran Nur, Muda Mahendrawan, Abdul Kholiq Nur, Herman Sutrisno, dan Dahlan Iskan.
Jika tokoh-tokoh ini mampu menularkan virus antikorupsi maka kita sebagai masyarakat juga
harus mampu mendukung gerakan anti korupsi.

Anda mungkin juga menyukai