Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MERAJALELANYA KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Arifin Maksum, M.Pd.

Disusun oleh :

Fariha Nidaul Hasanati


(1107623092)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
I

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dengan
judul "Merajalelanya Kasus Korupsi di Indonesia". Makalah ini dibuat dengan
tujuan untuk memenuhi tugas akhir semester ini dalam mata kuliah Konsep Dasar
Ilmu Pengetahuan Sosial. Berkat tugas yang diberikan ini saya dapat
memperdalam wawasan berkaitan dengan topik yang diberikan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
proses penyusunan makalah ini. Saya juga menyadari bahwa dalam penyusunan
dan penulisan masih terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, mohon maaf atas
kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.
Saya mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat menambah wawasan
dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta, 28 November 2023


II

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB II KAJIAN TEORI........................................................................................................

2.1 Pengertian Korupsi......................................................................................3

2.2 Tinjauan Pustaka......................................................................................4

BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................

3.1 Bentuk-bentuk
Korupsi.......................................................................................6

3.2 Faktor Pemicu Terjadinya Korupsi..................................................................10

3.3 Pencegahan Korupsi.................................................................................15

3.4 Kasus Korupsi di Indonesia....................................................................16

3.5 Dampak Korupsi....................................................................................19

BAB IV PENUTUP................................................................................................................

3.1 Kesimpulan............................................................................................23

3.2 Saran.......................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
III
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi bukan menjadi persoalan baru dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Sebab sejak zaman Belanda menjajah Indonesia, korupsi sudah
berkembang pesat sehingga menyebabkan kongsi dagang Belanda bangkrut pada
tahun 1602. Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan, persoalan korupsi belum
juga selesai mengingat karakter dasar manusia yang tidak pernah puas. Sehingga
meski sudah memperoleh kedudukan tinggi sekalipun, ketika ada peluang
melakukan korupsi ditambah system hukum yang lemah, menyebabkan korupsi
masih berkembang pesat. (Saputra, 2017).
Pada saat Indonesia mengalami masa Orde Baru, korupsi semakin berjalan
sistemik dan melibatkan para pejabat yang berkuasa dan mendapatkan pembiaran
dari penegak hukum. Koruptor dengan berbagai cara menguras anggaran negara
demi memperkaya kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kondisi ini masih
berlanjut sampai sekarang ketika nafas kebebasan di era reformasi sudah
berhembus kencang.
Pasca reformasi tidak menyurutkan berbagai tindakan korupsi bahkan
semakin terasa marak korupsi yang terjadi. Melihat kondisi bangsa yang semakin
terpuruk menghadapi korupsi di Indonesia, tentunya menjadi penting untuk
melihat sejauh mana korupsi menabrak fitrah manusia sebagai makhluk yang
memiliki etika dan akhlak mulia, Seorang koruptor secara nyata telah merugikan
kepentingan masyarakat, menghambat kemajuan ekonomi, merusak moralitas dan
memperlemah perekonomian nasional. Sehingga sangat tepat jika disebut korupsi
adalah sarana yang dapat menghancurkan sebuah bangsa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan bentuk-bentuk dari korupsi?
2. Apa saja factor pemicu terjadinya korupsi?
3. Bagaimana pencegahan korupsi?
2

4. Apa saja kasus-kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia?


5. Apa dampak terjadinya korupsi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian korupsi
2. Memaparkan bentuk-bentuk korupsi
3. Menjelaskan factor pemicu terjadinya korupsi
4. Mejelaskan pencegahan korupsi
5. Memaparkan dampak dari terjadinya kasus korupsi.
6.
3

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Korupsi


Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, atau “corruptus” dari
asal katanya corrumpere. Dari kata Latin inilah kemudian menjelma dalam bahasa
Eropa: corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), corruptie atau
korruptie (Belanda). Secara harfiah kata “korupsi” (Arab: risywah, Malaysia:
resuah) mengandung banyak pengertian yang bersifat negatif, yakni kebusukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Nicolas Tarling
(2005) dalam Corruption and Good Government in Asia menjelaskan kata
korupsi dari kata benda “corruption”, yang di dalam kamus English Oxford
mengandung pengertian kejahatan atau penyimpangan integritas akibat tindakan
penyuapan; dan perilaku menyimpang dari kesucian.
Korupsi adalah suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi jabatannya dalam negara, di mana untuk memperoleh keuntungan status
atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut
tingkah laku pribadi. (Robert Klitgaard)
Korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang
melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau
menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan,
penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang
dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan,
penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya
dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing langsung atau tidak
langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. (Juniadi
Suwartojo, 1997).
Korupsi berasal dari Bahasa latin “corruption” atau “corruptus” yang
berarti kerusakan atau kebobrokan. Secara harafiah korupsi adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang,
4

penerimaan uang dan sebagainya. Korupsi dapat pula dijelaskan sebagai korup,
artinya busuk, suka menerima suap, memakai kekuasaan untuk kepentingan
pribadi dan sebagainya. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
(Saputra, 2017)
Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

2.2 Tinjauan Pustaka


Syed Husein Alatas sejalan dengan pendeketan yang digunakan Willian J.
Chambliss dan Dillon melihat korupsi sebagai bagian yang integral dari setiap
birokrasi sebagai akibat dari Konflik kepentingan antara segelintir pengusaha,
penegak hukum, birokrat dan politisi. Teori yang dikemukakan Alatas adalah
hasil refleksi dari gejala korupsi di Asia.
Pendekatan Chambliss merupakan sebuah refleksi terhadap munculnya
“cabal” (jejaring) di sebagian besar kota-kota di Amerika Serikat. Chambliss
menyebut korupsi sebagai kejahatan yang terorganisir dan bukan bagian yang
terpisah, melainkan semacam birokrasi pemerintah yang berbentuk jejaring yang
terdiri dari birokrat, politisi, pengusaha, dan aparat penegak hukum.
Sedangkan Djilas menggali persoalan korupsi dan koruptor dari sistem
ekonomi sosialis, yangkemudian menimbulkan “kelas baru” dalam sebuah
Negara. Hal ini mirip dengan zaman Orde Baru di Indonesia, dengan partai
tunggalnya Golkar.
Sementara Alatas menekankan kepada tiga tipe fenomena yang tercakup
dalam istilah korupsi: penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan
nepotisme. Terdapat tiga lapis korupsi menurut kerangka teori Alatas,
Chambliss, dan Djilas. Korupsi lapisan pertama berupa suap (bribery) dan
pemerasan (extortion). Korupsi lapisan kedua, nepotisme dan kronisme. Lapisan
ke tiga jejaring yang meliput pemerintah, politisi, pengusaha, dan aparat penegak
hukum. Namun bila dilihat lebih jauh ketiga kerangka teori ini bergerak untuk
level dan skala yang besar. Meskipun dalam skala kecil ia merupakan bagian
yang intergral dari korupsi skala besar.
5

Menurut budayawan Mochtar Lubis, penyebab korupsi merajalela di


Indonesia adalah “birokrasi patrimonial”, yaitu ketika dalam birokrasi orang-
orang (aparat birokrasi) lebih mengutamakan hubungan hubungan irrasional
daripada hubungan yang rasional, misalnya: sanak famili dan teman dekat, serta
tidak adanya nilai yang memisahkan secara tajam antara milik masyarakat
dengan milik pribadi. Oleh karena itu menurutnya strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan malakukan transformasi budaya melalui pendidikan dan
pemberian teladan. Namun yang menjadi persoalan adalah di lembaga
pendidikan itu sendiri penuh dengan korupsi, dan di sisi lain siapakah yang dapat
menjadi pemberi teladan tersebut.
6

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Bentuk-bentuk Korupsi


Korupsi bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban
manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak
2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama
Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante yang
pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak
kejahatan. Bahkan seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai
bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi
dari sejarawan Inggris, Lord Acton, yaitu ”power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely”, hal ini menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di
mana saja tanpa memandang ras, geografi maupun kapasitas ekonomi. (Badjuri,
2011).

Korupsi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan


merusak tatanan hidup bernegara. Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra
ordinary crime karena telah merusak, tidak hanya keuangan negara dan juga
potensi ekonomi suatu negara, namun juga sudah merusak pilar-pilar sosial
budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional negara. Oleh
karena itu, pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu saja dan tidak
bisa dengan pendekatan parsial. Hal itu harus dilakukan secara komprehensif dan
bersama-sama, oleh lembaga penegak hukum, lembaga pemasyarakatan, dan
setiap individu sebagai anggota masyarakat. (Suroto, 2015).

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan


dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasalpasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan
yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis
tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
7

1. Kerugian keuangan negara


Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi. Pelakunya memiliki tujuan menguntungkan
diri sendiri serta menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada. Misalnya, seorang pegawai pemerintah melakukan mark up
anggaran agar mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut.
Tindakan ini merugikan keuangan negara karena anggaran bisa
membengkak dari yang seharusnya.

2. Suap-menyuap
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Aparatur Sipil
Negara, penyelenggara negara, hakim, atau advokat dengan maksud
supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Suap
menyuap bisa terjadi antarpegawai maupun pegawai dengan pihak luar.
Suap antarpegawai misalnya dilakukan untuk memudahkan kenaikan
pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar misalnya ketika
pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar
dimenangkan dalam proses tender.

3. Penggelapan dalam jabatan


Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan
menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan
lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam
Pasal 8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c
UU 20/2001.
Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001
memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
8

a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu;
b. Dengan sengaja;
c. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau
membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan
perbuatan itu;
d. Uang atau surat berharga;
e. Yang disimpan karena jabatannya.
Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti
pencurian. Bedanya dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di
tangan pencuri. Sedangkan dalam penggelapan, barang sudah berada di
tangan pencuri waktu dimilikinya barang tersebut.

4. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif
menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk
mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki
unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.

5. Perbuatan curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi
yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU
20/2001 seseorang yang melakukan perbuatan curang diancam pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta.
Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang:
1. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
9

2. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan


bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
3. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
atau
4. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
TNI dan atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di
atas.

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12


huruf (i) UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara
negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.

Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai


pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses
tender dan mengupayakan kemenangannya.

7. Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya. Misalnya, seorang
pengusaha memberikan hadiah mahal kepada pejabat dengan harapan
mendapatkan proyek dari instansi pemerintahan. Jika tidak dilaporkan
kepada KPK, maka gratifikasi ini akan dianggap suap.
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan; Yang nilainya Rp10 juta atau
lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
10

dilakukan oleh penerima gratifikasi; Yang nilainya kurang dari Rp10 juta,
maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut
umum. Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun
dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan
paling banyak Rp1 miliar.

Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan


gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal
gratifikasi diterima, maka sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi
tidak berlaku.

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih
ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang
tertuang pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau


memberikan keterangan palsu

6. Saksi yang membuka identitas pelapor

3.2 Faktor Pemicu Korupsi


Faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi yang bisa
11

diunduh di sini, faktor internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi,
sedang faktor eksternal karena sebab-sebab dari luar.

a). Faktor Internal

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia

Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa
cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang
menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau
jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi
memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan
korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan
hidup berkecukupan.

2. Gaya hidup konsumtif

Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong
internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah
dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi
bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai.

3. Moral yang lemah

Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu
melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi
yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman
setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk
melakukannya.

b). Faktor Eksternal

1. Aspek Sosial

Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi,


terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga
12

malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka.


Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung
korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan
yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.

Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi


merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga
menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton, kondisi sosial di
suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi kesempatan-
kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.

Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld.
Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan
keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk membantu
dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan seseorang,
seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah
nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.

2. Aspek Politik

Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi


faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada
akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa
memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau
anggota-anggota partai politiknya. Pejabat yang berkuasa dengan politik uang
hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi
kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics
tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah
bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda. Balas jasa politik
seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong
pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa
13

akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar
upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.

3. Aspek Hukum

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-
undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di
perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum
yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani
dan korupsi terus terjadi. Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak
produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada
kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi
yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat
sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang
negara.

4. Aspek Ekonomi

Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya


tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta
juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-
pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan
berpendidikan tinggi. Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang
ditangkap karena korupsi. Mereka korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi
karena sifat serakah dan moral yang buruk.

Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai


sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi
pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya.
Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak partisipatif, tidak
transparan dan tidak akuntabel.

5. Aspek Organisasi

Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor


berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena
membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari
14

pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau


lemahnya sistem pengendalian manajemen.

Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa


mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan
bermain di antara celah-celah peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan
cara ini untuk membiayai organisasi mereka. Pencalonan pejabat daerah juga
menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda
organisasi, pada akhirnya terjadi money politics dan lingkaran korupsi kembali
terjadi.

Penyebab korupsi juga disampaikan Donald R Cressey dalam teori Fraud


Tiangle. Teori Segitiga Kecurangan ini melihat potensi kecurangan yang bisa
terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk lingkungan sekitar. Menurut
Cressey, ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, yaitu:

1. Pressure (tekanan)

Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan,


salah satunya karena motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-
benar ada, hanya pelaku saja yang berpikir kalau mereka merasa tertekan dan
tergoda pada bayangan insentif.

2. Opportunity (kesempatan)

Adanya kesempatan membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat
dari lemahnya sistem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku
melakukan korupsi.

3. Rationalization (rasionalisasi)

Para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan


korupsi. Rasionalisasi ini ternyata dapat menipiskan rasa bersalah yang dimiliki
pelaku dan merasa dirinya tidak mendapatkan keadilan. Sebagai contoh "saya
korupsi karena tidak digaji dengan layak". Sebagaimana yang diutarakan Cressey,
korupsi terjadi kalau ada kesempatan melakukannya. Tak heran, jika banyak yang
melakukan tindakan culas tersebut.
15

Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai
Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila
belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat
pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal
nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah
berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

3.3 Pencegahan Korupsi


1. Pembentukan Lembaga Anti Korupsi
Salah satu cara memberantas korupsi adalah dengan mendirikan organisasi
independen yang didedikasikan untuk pemberantasan korupsi. Misalnya, di
beberapa negara telah dibentuk organisasi yang disebut ombudsman.

Organisasi ini pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia sebagai Justitie
ombudsman nen pada tahun 1809. Peranan ombudsman kemudian berkembang
di negara lain termasuk menyediakan fasilitas bagi ombudsman, orang-orang
yang ingin mengadukan apa yang dilakukan oleh organisasi pemerintah dan
pegawainya.

Selain itu, lembaga ini juga memberikan pendidikan kepada pemerintah dan
masyarakat serta mengembangkan standar perilaku dan kode etik bagi
organisasi pemerintah dan hukum yang membutuhkan.
Salah satu peran ombudsman adalah mendidik masyarakat dan menyadarkan
mereka akan hak mereka atas perlakuan yang baik, jujur dan efektif dari
pegawai pemerintah.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah peningkatan efisiensi
sistem peradilan di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan penjara.
Pengadilan adalah jantung penegakan hukum dan harus tidak memihak, jujur
dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak masuk ke hukum karena sistem
peradilan yang sangat buruk berfungsi.

Jika kinerjanya buruk karena dia tidak mampu (tidak mungkin) itu masih bisa
dimaklumi. Artinya, pengetahuan dan keterampilan aparat penegak hukum
perlu ditingkatkan. Persoalannya, mereka tidak memiliki kemauan atau
kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat
dalam berbagai kasus korupsi.

2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik


16

Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat
publik untuk menyatakan dan mengungkapkan jumlah kekayaan mereka
sebelum dan sesudah menjabat.

Dengan demikian, masyarakat dapat memantau kewajaran peningkatan


kekayaan mereka, terutama jika terjadi peningkatan kekayaan setelah
selesainya tugas. Kesulitan muncul ketika kekayaan yang diperoleh melalui
korupsi ditransfer ke orang lain, seperti anggota keluarga.

Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat,


daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi
adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara terbuka.

Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat memantau dan
memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus
dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk
ikut memantau ataupun memonitor hal ini.

Cara kedua, untuk kontrak kerja atau pembelian barang di pemerintah pusat,
daerah dan militer, salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan korupsi
adalah dengan melakukan lelang atau tender publik.

Masyarakat harus memiliki kewenangan atau akses untuk dapat melacak dan
memantau hasil lelang atau penawaran. Untuk itu perlu dikembangkan suatu
sistem yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pemantauan atau
pengawasan.

Korupsi juga sering terjadi dalam perekrutan pegawai negeri sipil dan personel
militer baru. Situasi ini sering terjadi dengan korupsi, kolusi dan otokrasi.
Sistem rekrutmen pegawai negeri sipil dan anggota TNI yang transparan dan
akuntabel juga harus dikembangkan.

3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat


Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan hak akses
informasi kepada masyarakat. Harus ada sistem agar publik (termasuk media)
berhak meminta semua informasi mengenai kebijakan pemerintah yang
berdampak pada kehidupan banyak orang.

Hal ini dapat meningkatkan kemauan pemerintah untuk mengembangkan


kebijakan dan mengimplementasikannya secara transparan. Pemerintah
berkewajiban mensosialisasikan atau mensosialisasikan berbagai kebijakan
yang telah dan akan dilaksanakan.Argumen tentang Dinamika Pancasila
sebagai Sistem Etika

3.4 Kasus Korupsi di Indonesia


17

Dalam Laporan Tren Penindakan Korupsi 2022 oleh Indonesia


Corruption Watch, salah satu temuan umum yang disorot adalah adanya kerugian
negara senilai Rp42,747 triliun.
Angka tersebut berasal dari pemantauan berbagai kasus korupsi baik
yang sudah inkrah maupun yang belum selama periode 1 Januari hingga 31
Desember 2022. Data diolah dari kasus korupsi yang ditindak oleh Kejaksaan,
Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berikut adalah rekaman kasus-kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar di


Indonesia dalam beberapa tahun terakhir:

1). Kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit

Kasus korupsi dengan catatan kerugian negara terbesar terjadi di sektor


kehutanan. Kasus ini penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit
seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Lahan tersebut digarap tanpa izin oleh Grup Duta Palma sepanjang 2003-2022.
Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp104,1 triliun.

Angka tersebut, menurut hasil pemeriksaan bersama dengan Badan Pengawasan


Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berasal dari kerugian keuangan negara
senilai Rp4,9 triliun dan kerugian perekonomian negara sebanyak Rp99,2 triliun.

“Kerugian perekonomian negara cakupannya lebih luas, sehingga nilainya cukup


besar,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dikutip
dari Tempo.co.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan vonis terhadap kasus ini.
Pertama terhadap Surya Darmadi, pemilik Grup Duta Palma. Perusahaan ini
memanfaatkan lahan negara secara ilegal. Melalui putusan No.
62/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt.Pst, ia divonis pidana penjara selama 15 tahun dan
denda sebesar Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. Juga, pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun dan pembayaran
kerugian perekonomian negara sebesar Rp39 triliun.
18

Selain korupsi, Surya juga ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana pencucian
uang. Surya menyerahkan diri ke Kejaksaan Agung pada 15 Agustus 2022.

Selanjutnya, terhadap Raja Thamsir Rachman, mantan Bupati Indragiri Hulu.


Hakim menjerat dengan ancaman pasal tindak pidana korupsi kerugian keuangan
negara karena membantu memperkaya Surya Darmadi. Melalui putusan No.
24/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI, ia divonis pidana penjara selama sembilan tahun
dan denda sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.

2). Pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur

Kasus korupsi selanjutnya terjadi di sektor minyak dan gas (migas). Yaitu,
penunjukan langsung penjualan minyak mentah (kondensat) bagian negara sejak
23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011.

Kerugian negara dalam kasus ini mencapai US$ 2,7 miliar atau setara Rp35
triliun. Mereka yang dihukum dalam kasus ini, antara lain mantan Kepala BP
Migas Raden Priyono, mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP
Migas Djoko Harsono, dan mantan Direktur Utama PT Trans Pacific
Petrochemical Indonesia (TPPI) Honggo Wendratno.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menetapkan Honggo dengan pidana penjara
selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan, serta
pembayaran ganti rugi kepada negara sebesar Rp97 miliar.

Lalu, Raden Priyono dan Djoko Harsono divonis pidana penjara selama empat
tahun dan denda sebesar Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan.

3). Pengelolaan dana pensiun di PT Asabri

Kasus korupsi ketiga terjadi di sektor finansial. Yaitu, kasus penyimpangan dana
investasi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang
merugikan negara sebesar Rp22,78 triliun.

Nilai kerugian timbul sebagai akibat dari penyimpangan atau perbuatan melawan
hukum dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri secara tidak
sesuai ketentuan antara 2012 hingga 2019, menurut Badan Pemeriksa Keuangan
RI.
19

Mereka yang terjerat kasus ini, antara lain kakak-beradik Benny Tjokrosaputro
selaku Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) dan Teddy
Tjokrosaputro selaku pemilik PT Hokindo Mediatama.

Benny sebelumnya telah dijatuhi pidana seumur hidup dalam perkara PT Asuransi
Jiwasraya, sehingga Pengadilan Tipikor Jakarta menihilkan vonisnya pada kasus
ini. Sementara itu, Teddy divonis hukuman pidana penjara selama 17 tahun dan
denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Mahkamah Agung.

Lalu, Direktur Utama PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi divonis 10 tahun


penjara, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat divonis nihil
karena sebelumnya telah divonis seumur hidup dalam kasus PT Jiwasraya.

Jajaran PT Asabri yang terlibat dalam kasus ini, antara lain mantan Dirut PT
Asabri periode 2012-2016 Mayjen TNI (Purn) Adam Rachmat Damiri divonis 20
tahun penjara (putusan banding menjadi 15 tahun) dan Dirut PT Asabri periode
2016-2020 Letjen TNI (Purn) Sonny Widjaja divonis 20 tahun penjara (putusan
banding menjadi 18 tahun penjara).

Selanjutnya, Direktur Keuangan PT ASABRI periode 2008-2014 Bachtiar Effendi


dan Direktur Investasi dan Keuangan PT ASABRI periode 2013-2019 Hari
Setianto sama-sama dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun. Terakhir, Kepala
Divisi Investasi PT Asabri periode Juli 2012-Januari 2017 Ilham W Siregar.
Belum sempat dijatuhi hukuman oleh pengadilan, Ilham telah meninggal dunia
pada 31 Juli 2021.

3.5 Dampak Korupsi


1. Dampak Korupsi di Bidang Ekonomi

Korupsi berdampak buruk pada perekonomian sebuah negara. Salah satunya


pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat dari multiplier effect rendahnya tingkat
investasi. Hal ini terjadi akibat investor enggan masuk ke negara dengan tingkat
korupsi yang tinggi. Ada banyak cara orang untuk tahu tingkat korupsi sebuah
negara, salah satunya lewat Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
20

Dikutip dari buku Modul Integritas Bisnis Seri 3: Dampak Sosial Korupsi, korupsi
juga menambah beban dalan transaksi ekonomi dan menciptakan sistem
kelembagaan yang buruk. Adanya suap dan pungli dalam sebuah perekonomian
menyebabkan biaya transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi. Hal ini
menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian.

Melambatnya perekonomian membuat kesenjangan sosial semakin lebar. Orang


kaya dengan kekuasaan, mampu melakukan suap, akan semakin kaya. Sementara
orang miskin akan semakin terpuruk dalam kemelaratan.

Tindakan korupsi juga mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para
koruptor, akibatnya uang pembelanjaan pemerintah menjadi lebih sedikit. Ujung-
ujungnya rakyat miskin tidak akan mendapatkan kehidupan yang layak,
pendidikan yang baik, atau fasilitas kesehatan yang mencukupi.

2. Dampak Korupsi di Bidang Kesehatan

Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, korupsi di bidang kesehatan akan


semakin terasa dampaknya. Korupsi proyek dan anggaran kesehatan kerap terjadi
di antara pejabat pemerintah, bahkan menteri. Sudah dua mantan dua mantan
menteri kesehatan Indonesia yang ditahan karena korupsi, yaitu Achmad Suyudi
dan Siti Fadilah Supari.

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi jadi biang keladi
buruknya pelayanan kesehatan, dua masalah utama adalah peralatan yang tidak
memadai dan kekurangan obat. Korupsi juga membuat masyarakat sulit
mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Dampak dari korupsi bidang kesehatan adalah secara langsung mengancam nyawa
masyarakat. ICW mencatat, pengadaan alat kesehatan dan obat merupakan dua
sektor paling rawan korupsi. Perangkat medis yang dibeli dalam proses korupsi
berkualitas buruk, pelayanan purnajualnya juga jelek, serta tidak presisi. Begitu
juga dengan obat yang pembeliannya mengandung unsur korupsi, pasti
keampuhannya dipertanyakan.

3. Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan


21

Salah satu sektor yang paling banyak dikorupsi adalah pembangunan dan
infrastruktur. Salah satu modus korupsi di sektor ini, menurut Studi World Bank,
adalah mark up yang sangat tinggi mencapai 40 persen. KPK mencatat, dalam
sebuah kasus korupsi infrastruktur, dari nilai kontrak 100 persen, ternyata nilai riil
infrastruktur hanya tinggal 50 persen, karena sisanya dibagi-bagi dalam proyek
bancakan para koruptor.

Dampak dari korupsi ini tentu saja kualitas bangunan yang buruk sehingga dapat
mengancam keselamatan publik. Proyek infrastruktur yang sarat korupsi juga
tidak akan bertahan lama, cepat rusak, sehingga harus dibuka proyek baru yang
sama untuk dikorupsi lagi.

KPK mencatat, korupsi di sektor ini terjadi dari tahapan perencanaan, proses
pengadaan, hingga pelaksanaan. Di tahap perencanaan, koruptor sudah mencari
celah terkait kepastian anggaran, fee proyek, atau cara mengatur pemenang tender.
Pada pelaksanaan, terjadi manipulasi laporan pekerjaan atau pekerjaan fiktif,
menggerogoti uang negara.

4. Korupsi Meningkatkan Kemiskinan

Kemiskinan berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik dibagi menjadi empat


kategori, yaitu:

a). Kemiskinan absolut

Warga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup memenuhi
kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang
dibutuhkan untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak.

b). Kemiskinan relatif

Merupakan kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan yang dapat


menyebabkan ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan relatif ditentukan dan
ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat.

c). Kemiskinan kultural


22

Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau budaya yang
membelenggu sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.

d). Kemiskinan struktural

Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan seseorang atau


sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem yang tidak adil sehingga mereka
tetap terjebak dalam kemiskinan.

Korupsi yang berdampak pada perekonomian menyumbang banyak untuk


meningkatnya kemiskinan masyarakat di sebuah negara. Dampak korupsi melalui
pertumbuhan ekonomi adalah kemiskinan absolut. Sementara dampak korupsi
terhadap ketimpangan pendapatan memunculkan kemiskinan relatif.

Alur korupsi yang terus menerus akan semakin memunculkan kemiskinan


masyarakat. Korupsi akan membuat masyarakat miskin semakin menderita,
dengan mahalnya harga pelayanan publik dan kesehatan. Pendidikan yang buruk
akibat korupsi juga tidak akan mampu membawa masyarakat miskin lepas dari
jerat korupsi.

5. Dampak Korupsi Terhadap Budaya

Korupsi juga berdampak buruk terhadap budaya dan norma masyarakat. Ketika
korupsi telah menjadi kebiasaan, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai
hal lumrah dan bukan sesuatu yang berbahaya. Hal ini akan membuat korupsi
mengakar di tengah masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya.

Beberapa dampak korupsi terhadap budaya pernah diteliti oleh Fisman dan
Miguel (2008), Barr dan Serra (2010). Hasil penelitian Fisman dan Miguel (2008)
menunjukkan bahwa diplomat di New York dari negara dengan tingkat korupsi
tinggi cenderung lebih banyak melakukan pelanggaran parkir dibanding diplomat
dari negara dengan tingkat korupsi rendah. Perilaku ini dianggap sebagai indikasi
budaya. Sementara hasil penelitian Barr dan Serra (2010) menunjukkan bahwa
data di Inggris memberikan hasil serupa yaitu adanya hubungan positif antara
tingkat korupsi di negara asal dengan kecenderungan para imigran melakukan
penyogokan. Ketika masyarakat permisif terhadap korupsi, maka semakin banyak
23

individu yang melanggar norma antikorupsi atau melakukan korupsi dan semakin
rendah rasa bersalah.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pernyataan diatas dampak korupsi demikian besar, sehingga mampu
mengurangi kualitas kesejahteraan masyarakat dan tidak menjalankan nilai
etika pancasila sesuai amanah Pancasila, tingginya kerugian Negara akibat
korupsi akan berdampak pada kewajiban negara dalam memberikan hak
kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah peran serta masyarakat dalam
pencegahan tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang
sangat penting sebagai bentuk dari kontrol sosial, sehingga mempersepit ruang
gerak untuk melakukan tindakan pidana korupsi.
Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan melalui
Pendidikan yang kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk
menanamkan jiwa anti korupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di
sekolah maupun non-formal di luar sekolah. Di perguruan tinggi penguatan
terhadap nilai etika agar tidak terjebak oleh tindakan pidana korupsi tersebut
dapat dilakukan melalui pendidikan kepribadian.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
Pembaca maupun penulis sebaiknya meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman tentang pendidikan pancasila secara utuh dan mendalam,
dengan tidak hanya sekadar menghafal pancsila, tetapi juga memahami
24

makna, konteks, dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Diharapkan juga


para generasi bangsa untuk peduli, sadar, dan berempati pada masalah-
masalah yang mengancam keutuhan NKRI, seperti korupsi ini. Sudah
banyak pejabat dan petinggi negara yang melakukan korupsi, jangan
sampai hal ini dibiarkan bahkan dianggap wajar. Para generasi muda harus
bertindak dan mempersiapkan amunisi untuk memberantas korupsi yang
telah merajalela ini.

Menyadari bahwa saya masih jauh dari kata sempura, untuk kedepannya
saya sebagai penulis akan berusaha untuk menbuat makalah dengan ebih
baik lagi. Demikianlah makalah ini saya buat, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca sekalian. Saya memohon maaf jika ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas.
kurang dimengerti dan lugas. Dan saya juga mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca sekalian demi kesempuraan makalah ini
25

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Tim Penyusun Pusat Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa Indoensia. Jakarta. Balai
Pustaka.

https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Formil/article/viewFile/2974/2509

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220520-kenali-bahayanya-
dampak-korupsi-di-berbagai-bidang-ini
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20231120-tiga-kasus-korupsi-
dengan-kerugian-negara-terbesar-di-indonesia
https://www.idntimes.com/business/economy/yogama-wisnuoktyandito/
pengertian-korupsi-menurut-para-ahli?page=all
https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-bentuk-korupsi-dan-aturannya-di-
indonesia-lt5e6247a037c3a
ACHMAD UBAILLAH.FISIP.pdf

Anda mungkin juga menyukai