Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

DEFENISI PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

Disusun Oleh:
Yonathan Hutagalung (2114021)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

STIKES KESEHATAN BARU


BUKIT INSPIRASI SIPALAKKI
DOLOK SANGGUL 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan
karunianya sehingga makalah yang berjudul “Nilai dan Prinsip Perilaku Anti Korupsi” ini
dapat tersusun hingga selesai. Makalah ini dibuat karena untuk pemenuhan tugas mata kuliah
“Pendidikan Anti Korupsi”. Saya berharap semoga makalah ini mampu menambah
pengalaman serta ilmu bagi para pembaca. Serta dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca. Karena keterbatasan ilmu maupun pengalaman Saya, Saya menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian. Dan semoga untuk ke depannya Saya sanggup memperbaiki bentuk
maupun meningkatkan isi makalah menjadi yang miliki wawasan yang luas dan lebih baik
lagi. Demikian apa yang bisa Saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat
dari makalah ini.

Dolok Sanggul, 15 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................................2
BAB 2 ISI..................................................................................................................................3
2.1 PENGERTIAN KORUPSI DAN SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA.....................3
2.1.1 Pengertian Pendidikan Anti Korupsi Secara Umum...............................................3
2.1.2 Pengertian Korupsi menurut Ahli..............................................................................3
2.1.3 Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang.........................................................5
2.2 SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA.............................................................................5
2.2.1 Era Sebelum Indonesia Merdeka................................................................................5
2.2.2 Era Pasca Kemerdekaan.............................................................................................6
2.2.3 Era Orde Lama............................................................................................................7
2.2.4 Era Orde Baru.............................................................................................................8
2.2.5 Era Reformasi..............................................................................................................9
2.3 PERILAKU KORUPTIF..................................................................................................10
2.4 BENTUK-BENTUK KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN
UU TIPIKOR NO. 20 TAHUN 2001 PERUBAHAN ATAS UU NO. 31 TAHUN 1999
............................................................................................................................................12
2.5 KORUPSI DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN................................................19
2.5.1 Lembaga Anti Korupsi Singapura “Role Model” KAK Dunia Singapura...................19
2.5.2 Pemberantasan Korupsi Hongkong..........................................................................20
2.5.3 Pemberantasan Korupsi Madagascar......................................................................21
2.5.4 Pemberantasan Korupsi Zimbia...............................................................................22
2.5.5 Pemberantasan Korupsi Tanzania...........................................................................22
2.5.6 Pemberantasan Korupsi China.................................................................................23
2.5.7 Pemberantasan Korupsi Thailand............................................................................23
2.5.8 Pemberantasan Korupsi Indonesia...........................................................................24
2.6 STRATEI PEMBERANTASAN KORUPSI....................................................................25
2.7 KASUS................................................................................................................................27
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................................28
3.1 KESIMPULAN..................................................................................................................28
3.2 SARAN...............................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar
biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian,
sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial
kemasyarakatan di negeri ini.

Dilain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum
menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi
seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap sebagai hal
yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan
menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya
pemberantasan korupsi – yang terdiri dari dua bagian besar,

Yaitu: (1) penindakan, dan (2) pencegahan –tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya
dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah
berlebihan jika mahasiswa –sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan
pewaris masa depan– diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia.

Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan
ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat berperan
sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat
berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk
korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa
harus dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain melalui kegiatan
sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan. Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa
bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan
pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Tujuan jangka panjangnya adalah
menumbuhkan budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk
dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian korupsi secara umum (di Indonesia dan Negara Lainnya) ?
2. Bagaimana perilaku koruptif lembaga negara dan warganegara?
3. Apa bentuk-bentuk kejahatan korupsi berdasarkan UU TIPIKOR?
4. Bagaimana perbandingan korupsi di Indonesia dengan negara lain?
5. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi?
6. Apa contoh kasus tentang korupsi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian korupsi dan sejarah koupsi di Indonesia


2. Untuk memahami perilaku koruptif lembaga negara dan warganegara
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kejahatan korupsi berdasarkan UU TIPIKOR
4. Untuk mengetahui perbandingan pemberantasan korupsi di Indonesia dan negara
lain
5. Untuk mengetahui strategi pemberantasan korupsi
6. Untuk memahami cara penyelesaian masalah studi kasus yang diambil

2
BAB 2
ISI

2.1 PENGERTIAN KORUPSI DAN SEJARAH KORUPSI DI


INDONESIA
2.1.1 Pengertian Pendidikan Anti Korupsi Secara Umum
Pendidikan Anti korupsi Adalah Usaha sadar dan sistematis yang diberikan
kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai- nilai, sikap dan keterampilan
yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan
menghilangkan peluang berkembangnya korupsi.
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Menurut Transparency International korupsi adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

2.1.2 Pengertian Korupsi menurut Ahli


Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
a. Menurut “Bank Dunia” korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan
publik untuk mendapatkan ke untungan pribadi.
b. Menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan
hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
c. Menurut Syeh Hussein Alatas pakar sosiologi korupsi dalam Damanhuri
(2010) topologi korupsi ada 7, yaitu :
 Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya
kesepakatan tibal balik antara pihak yang memberi dan
menerima demi keuntungan bersama dimana kedua pihak sama-
sama aktif menjalankan tindak korupsi.
 Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-
bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk
menyuap agar tidak membahayakan diri, kepentingan, orang-
orangnya atau hal-hal lain yang dihargainya.

3
 Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu
penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung
dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain
keuntungan yang di harapkan akan di peroleh di masa datang.
 Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan
khusus pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan
dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain
mengutamakan kedekatan hubungan dan bertentangan dengan
norma dan aturan yang berlaku.
 Korupsi autigenik yaitu korupsi yang dilakukan individu
karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan
dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya
diketahui sendiri.
 Korupsi suportif yaitu korupsi yang menicu penciptaan
suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan
keberadaan tindak korupsi.
 Korupsi defensif yaitu tindak korupsi yang terpaksa di lakukan
dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.
d. Menurut Gibbons (1999) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi:
patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung
dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung
pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria
partisan; membeli suara (money politic); pork-barreling atau menjanjikan
pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut
tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang
membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-
menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar
sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan
kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat
publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye
uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.
e. Menurut Ilmu Politik
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan
jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan
oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat
umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.
f. Menurut Ahli Ekonomi
Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi
didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi
dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara
diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku,
dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang

4
yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan
swasta.
g. Menurut Haryatmoko
Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang
didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan,
pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.
h. Menurut Brooks
Menurut Brooks, korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan
atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa
keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.

2.1.3 Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang


a. Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
b. Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.”

2.2 SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA


Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk. Sejarah Korupsi dapat dibagi menjadi 5 era,
yaitu :

2.2.1 Era Sebelum Indonesia Merdeka


Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-
tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin
berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit


dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para
bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti
atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui
hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi
karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

5
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua
daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada
beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur


pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera. Namun,
bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi
Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan
kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja
korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh
kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum
mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara


saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar
“mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun
tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur


Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama
tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan
lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Hal menarik dalam buku itu
adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa
digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak
lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus
terang, suka menyembunyikan persoalan. Kritik dan saran yang disampaikan di
muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap
kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya
Jawa) cenderung otoriter.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh


Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942)
minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Namun,yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia
yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel
(CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar

6
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat


“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah
yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem
Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen
sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan
“Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

2.2.2 Era Pasca Kemerdekaan


Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi
langsung kepada Presiden.
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-
kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi
ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan,
Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan
tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan
dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang
cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu
pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan
pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi
7
Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden
Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad
Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi.

2.2.3 Era Orde Lama


Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran
tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa
kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali Sastroamidjoyo,Ruslan Abdulgani sang menteri luar negeri,
gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku
memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang
diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.Syamsudin Sutan Makmur, dan
Direktur Percetakan Negara,Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun
1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno. Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang
sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH
Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan
hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan
korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan
korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa
2.2.4 Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16
Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak
mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak
lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk
rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
8
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk
Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen
Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun
komite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan
korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas
korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama
setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup
tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode
atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga
menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring
dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama
sekali.

2.2.5 Era Reformasi


Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya
sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan
dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun yang terjadi justru Orde Baru
lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum
pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki
Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung

9
upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-
pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak
pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat
bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur
didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui
apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata
wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah
DPRD era Reformasi.

2.3 PERILAKU KORUPTIF


Bentuk perilaku Koruptif yang dilakukan oleh pemerintah dan warga negara
dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Antara lain sebagai berikut:
a. Suap Menyuap
Suap merupakan suatu hadiah, penghargaan, pemberian, atau
keistimewaan yang dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau
tingkah laku, terutama dari seorang yang dianggap pejabat publik.
Pemberian uang pelicin merupakan salah satu tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai suap. Sama seperti hadiah, uang pelicin ini dapat
berbentuk barang, jasa, potongan harga, dan sebagainya. Tindakan suap ini
termasuk jenis tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 5 ayat (I) huruf a
UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.
Sebagai contoh, seseorang yang menjadi pedagang ponsel impor.
Ketika barang dari luar negeri telah dikirim dan sampai ke pelabuhan,
ternyata terdapat beberapa dokumen yang tidak dapat ia lengkapi.
Kemudian, ia menghadap kepada petugas atau pegawai Bea Cukai yang
berwenang dan menawarkan beberapa buah ponsel dengan balasan
dokumen yang belum lengkap dianggap sudah memenuhi syarat. Pelaku
tindakan suap menyuap ini akan diganjar penjara maksimal 5 (lima) tahun
dan atau denda maksimal Rp250.000.000.
b. Kerugian Keuangan Negara
Merupakan setiap tindakan melawan hukum dengan melakukan
perbuatan penyalahgunaan wewenang atau sarana untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan
negara.
10
c. Penggelapan Dalam Jabatan
Penggelapan merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan
menyembunyikan barang atau harta orang lain oleh satu orang atau lebih
tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan tujuan untuk mengalih-milik,
menguasai, atau digunakan untuk tujuan lain. Penggelapan juga dapat
berupa penipuan dalam hal keuangan. Misalnya, seorang pegawai
pemerintah diberikan dana agar digunakan untuk perawatan mobil dinas
sebesar Rp2.000.000 (dua juta rupiah). Dana tersebut melebihi nilai
kebutuhan perawatan, sehingga terdapat sisa dari dana tersebut. Sesuai
dengan aturan, maka seharusnya dana tersebut dikembalikan kepada
negara melalui kantor pemerintahan. Namun, jika dana tersebut digunakan
untuk kepentingan pribadi, makapegawai tersebut sudah melakukan
penggelapan dana.

11
d. Pemerasan
Berasal dari kata “chantage” dalam bahasa Perancis, atau “extortion”
dalam bahasa Inggris, yang berarti pemerasan dengan memfitnah.
Pemerasan dapat dikatakan bentuk korupsi yang paling mendasar, karena
pelaku memiliki kekuasaan dan menggunakannya untuk memaksa orang
lain untuk memberikan atau melakukan sesuatu yang dapat
menguntungkan dirinya.
Contoh yang sering kita temui adalah saat kita ingin mengurus
pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Ketika kita datang menghadap
kepada pegawai kelurahan, seringkali kita jumpai pegawai tersebut
meminta sejumlah uang dengan alasan sebagai uang administrasi
pembuatan KTP. Saat kita tidak memberikan, maka pegawai pun tidak
akan membuatkan KTP tersebut hingga kita memenuhi permintaannya.
e. Perbuatan Curang
Merupakan ketidakjujuran dan ketidakadilan terhadap suatu hal. Dalam
konteks bentuk korupsi ini, perbuatan curang dapat diartikan sebagai
tindakan tidak jujur seseorang terhadap apa yang seharusnya dilakukan.
Contohnya, pada proyek pembangunan gedung perkantoran pemerintahan.
Dalam akta perjanjian, tertulis bahwa gedung tersebut akan menggunakan
pondasi cakar ayam yang paling baik untuk konstruksi gedung 4 lantai.
Namun, pada praktiknya justru menggunakan pondasi yang biasa
digunakan untuk gedung 2 lantai.
f. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
Pengadaan merupaka proses, cara, atau tindakan untuk menyediakan
dan mengadakan. Pada konteks ini, pengadaan yang dimaksud adalah
pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk operasional sebuah
instansi. Dan proses pengadaan ini dapat juga melibatkan pihak ketiga
sebagai pemasok, melalui mekanisme tender. Tender merupakan tawaran
untuk mengjaukan harga, memborong pekerjaan, ataupun menyediakan
barang. Hakikatnya, pada proses tender ini dilakukan seleksi terhadap
vendor, dimana vendor tersebut harus memenuhi kriteria yang telah
ditentukan atau sesuai peraturan yang berlaku. Sebagai contoh, tender
pembuatan kertas suara untuk Pilgub (Pemilihan Gubernur) oleh KPU
Daerah.
g. Gratifikasi
Gratifikasi merupakan sebuah hadiah, imbalan, atau balasan atas jasa
atau manfaat yang diberikan secara sukarela, tanpa ajakan atau janji. Pada
dasarnya, gratifikasi ini tidak mengandung unsur korupsi, selama tindakan
ini tidak menimbulkan kecurangan. Maka dari itu, gratifikasi, dalam
konteks bentuk korupsi, harus dilihat pada perspektif kepentingan
gratifikasi.

12
Sebagai contoh, pada saat menjelang Hari Raya Natal, seorang
pegawai instansi menerima paket yang diantarkan langsung ke rumah oleh
kurir. Paket tersebut berasal dari orang atau nasabah yang pernah
bekerjasama sebelumnya sebagai ucapan terimakasih. Pada tahap ini,
gratifikasi yang terjadi akan tergolong gratifikasi yang positif jika pegawai
penerima paket ini melaporkan paket tersebut kepada KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi diterima. Namun, gratifikasi tersebut akan
tergolong sebagai gratifikasi yang negatif (suap), jika penerima paket tak
kunjung melaporkan paket tersebut kepada KPK.

2.4 BENTUK-BENTUK KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA


BERDASARKAN UU TIPIKOR NO. 20 TAHUN 2001
PERUBAHAN ATAS UU NO. 31 TAHUN 1999
Definisi korupsi, bentuk-bentuk dan unsur-unsurnya, serta ancaman
hukumannya telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 20 Tahun 2001
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga
puluh) bentuk/ jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara
karena korupsi. Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis yaitu korupsi terkait keuangan
negara/perekonomian Negara, Suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan  korupsi
terkait gratifikasi. Adapun definisi, bentuk-bentuk dan unsur-unsur, serta ancaman
hukuman dari 7 (tujuh) jenis dalam 30 (tiga puluh ) bentuk tindak pidana korupsi
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Korupsi Terkait Keuangan Negara/Perekonomian Negara (Pasal 2 Dan 3)


Sebagai berikut:

 Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukandalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
13
Pasal 3

(1) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Korupsi terkait Suap-Menyuap, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5


ayat (1) huruf  b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf
b, Pasal 11,  Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat
(2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d. sebagai berikut:

Pasal 5

Ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengankewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Ayat (2): Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6

Ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk


mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
ataub. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
14
Ayat (2):  Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

 Pasal 12 A

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12

15
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian


bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Pasal 13

16
Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukantersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah)

3. Korupsi terkait Penggelapan Dalam Jabatan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9,


Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c. Sebagai berikut:

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat


dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

17
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

4. korupsi terkait Pemerasan, diatur dalam Pasal 12 huruf e, Pasal huruf f,


Pasal 12 huruf g.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud


menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang.

5. Korupsi terkait Perbuatan Curang, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a,
Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d,
Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h.

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a;

18
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan


tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

6. Korupsi terkait Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, diatur dalam


Pasal 12 huruf i.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak


langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Korupsi terkait Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C.

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara


dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan

19
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

UU No. 20 Tahun 2001 perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999 juga mengatur
jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Bentuk-bentuk tindak pidananya mencakup
6 (enam) macam yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, pihak bank yang
tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu,
saksi yang membuka identitas pelapor. 

20
2.5 KORUPSI DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

2.5.1 Lembaga Anti Korupsi Singapura “Role Model” KAK Dunia Singapura

Gerakan pemberantasan korupsi sudah berjalan dalam kurun waktu yang lama
di Singapura. Pemerintah kolonial Inggris, sudah mulai memikirkan strategy
yang tepat untuk mengurangi korupsi yang semakin parah di negara ini.
Hingga tahun 1952, semua kasus korupsi ditangani oleh unit kecil di kesatuan
polisi Singapura yang dikenal sebagai “Unit Anti Korupsi” . Namun unit ini
dianggap kurang mencukupi setelah pada Oktober 1951, ditemukannya
keterlibatan polisi Singapura dalam penyelundupan opium senilai S$ 400 ribu.
Terbongkarnya kasus ini mengawali dibentuknya CPIB (Corrupt Practices
Investigation Bureau)sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah
dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi.
Landasan undang-undang dan dukungan politis yang kuat dalam program
pemberantasan korupsi menjadikan CPIB sebagai pelopor terbentuknya citra
Singapura yang bersih dari korupsi. Wewenang CPIB dalam memberantas
kasus korupsi:

 Menangkap dan menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan


korupsi, tanpa surat perintah penangkapan.
 Mengurus segala kasus hukum, bahkan di luar kasus korupsi. Misalnya
dalam kasus penyalahgunaan wewenang.
 CPIB diberi kewenangan untuk mengatasi kasus korupsi, termasuk
gratifikasi di sektor swasta.

Komitmen pemerintah Singapura dalam pemberantasan korupsi juga


tidak terbatas anya pada kegiatan penindakan namun juga pada kegiatan
pencegahan dan pendidikan masyarakat. Salah satu kegiatan pencegahan yang
pantas diteladani dari Singapura adalah:
 Pemerintah memotong peluang korupsi melalui penyederhanaan
prosedur administrative, menghilangkan berbagai pungutan dan
menghukum kontraktor pemerintah yang terlibat kasus suap.
 Secara periodik mereview “legal framework” yang sudah ada dengan
terus menganalisa perlunya amendemen yang mungkin dibutuhkan
dalam menyikapi perubahan situasi dan kondisi terkini di Singapura.
 Meningkatkan gaji pegawai layanan publik menjadi lebih memadai
dan tidak tertinggal jauh dengan gaji di sektor swasta. Saat ini gaji
pegawai pemerintah di Singapura merupakan gaji pegawai
pemerintahan tertinggi di dunia.

21
2.5.2 Pemberantasan Korupsi Hongkong

Korupsi sudah menjadi masalah sosial di Hongkong, namun


pemerintah Hongkong saat itu seperti tidak berdaya untuk mengatasinya.
Masyarakat mulai kehilangan kesabaran dan mulai mendesak pemerintah
untuk segera mengatasi korupsi. Puncaknya adalah larinya seorang polisi
warga negara asing yang sedang dalam penyidikan. Peter Godber, seorang
Kepala Polisi yang memiliki aset senilai HK$ 4.3 juta yang diduga berasal dari
hasil korupsi berhasil melarikan diri. Hal ini langsung memicu reaksi
masyarakat. Masyarakat melakukan demonstrasi dan menuntut pemerintah
melakukan aksi nyata untuk memberantas korupsi dan menangkap Peter
Godber. Masyarakat yakin kasus ini tidak akan terselesaikan kecuali
pemerintah mendirikan sebuah lembaga anti korupsi yang terpisah dari
kepolisian. Menindak lanjuti laporan Sir Alastair BlairKerr, Gubernur
Hongkong Sir Murray MacLehose pada pidatonya di depan Dewan
Perwakilan mengemukakan bahwa sudah saatnya memiliki Hongkong
memiliki sebuah badan anti korupsi yang independent.
Pada bulan Februari, 1974 didirikanlah Independent Commission
Against Corruption. ICAC memiliki komitmen untuk memberantas korupsi
dengan strategi “3 ujung”, yaitu pencegahan, penindakan, dan pendidikan.
Salah satu tugas awalnya adalah untuk menangkap Peter Godber.
Perkembangan ICAC Hongkong ini sangat pesat, bahkan dijadikan “role
model” bagi pemberantasan korupsi di negara lain. Kunci dari keberhasilan
ICAC adalah komitmen, konsistensi dan pendekatan yang koheren antara
pencegahan dan penindakan. Pencegahan termasuk pendidikan masyarakat
dan peningkatan kesadaran sikap anti korupsi merupakan aktifitas utama (core
activity) dari “model Hongkong”. Kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh
ICAC Hongkong ini mendapat dukungan penuh bahkan dari penyidik yang
sedang melakukan tindakan represif. ICAC Hongkong mengkontrol korupsi di
Hongkong melalui 3 departemen fungsional yakni:
 Investigasi
Departemen terbesar adalah departemen operasional
(investigasi), 75 persen anggaran ICAC dialokasikan untuk
departemen operasional termasuk menggaji staf yang berkualitas di
departemen ini.
 Pencegahan
Departemen pencegahan menginvestasikan sebagian besar
dananya untuk membiayai kegiatan study yang berkaitan dengan
korupsi, menyelenggarakan seminar untuk pebisnis dan membantu
masyarakat dan organisasi swasta dalam mengidentifikasi upaya
strategis untuk mengurangi potensi korupsi. Study yang dilakukan
ICAC Hongkong ini memberikan informasi yang menarik mengenai
22
tingkat dan modus korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan,
sehingga dapat dijadikan acuan dalam merubah hukum dan undang-
undang anti korupsi yang berlaku
 Hubungan masyarakat
Departemen hubungan masyarakat menginformasikan kepada
publik tentang revisi dari Undang Undang dan peraturan yang berlaku.
Departemen ini juga berperan dengan baik dalam meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap bahaya korupsi melalui berbagai
kampanye publik yang sistematis dan terencana.

2.5.3 Pemberantasan Korupsi Madagascar

Pemerintahan presiden Marc Ravalomanana yang mulai berkuasa pada


tahun 2002, mulai memberikan “angin segar” dalam era kepemimpinan yang
baru di Madagascar. Ravalomanana secara aktif mendukung penuh program
pemberantasan korupsi di Madagascar dengan menetapkan dekrit untuk
membentuk lembaga tinggi pemberantasan korupsi, pada September 2003.
Pada bulan January 2004, diadakan pengumpulan pendapat terhadap 6500
pemimpin lokal di Madagascar, yang hasilnya secara penuh mendukung dekrit
ini, sehingga pada July 2004,ditetapkanlah strategy nasional anti korupsi.
September 2004, UU anti korupsi ditetapkan oleh parlemen, sekaligus
menandai beroperasinya Independent Anti Corruption Bureau (BIANCO) di
Madagascar.
Dalam rencana aksinya, BIANCO melakukan pendekatan sektoral.
BIANCO memfokuskan untuk melakukan monitoring dan pembenahan di 5
sektor yakni:
1. sektor yudikatif (lembaga peradilan dan kepolisian)
2. sektor keuangan (pajak, bea cukai, pertanahan, dan perdagangan)
3. sektor sosial
4. sektor ekonomi (pertambangan, pariwisata, perindustrian dan UKM)
5. sektor pendukung (lingkungan hidup, energi, sumberdaya air dan
kehutanan).

2.5.4 Pemberantasan Korupsi Zimbia

Kurang efektifnya gerakan anti korupsi yang sedang berjalan di


Zambia berawal dari minimnya dana yang diberikan oleh pemerintah Presiden
Chiluba dalam mendukung gerakan tersebut. Pada tahun 2001, presiden yang
terpilih saat itu Mwanawasa dengan bantuan dana dari lembaga donor
membentuk satuan kerja pemberantasan korupsi. Tugas utama satker ini
adalah melakukan penyidikan atas dugaan korupsi yang dilakukan oleh
presiden Chiluba. Saat ini pemerintah Zambia mulai berusaha meningkatkan
anggaran bagi ACC secara bertahap. Komitmen ini didukung oleh banyak

23
lembaga donor diantaranya DFID. Dalam membangun pemerintahannya Mwai
Kibaki ini masih banyak menggunakan pejabat pemerintahan lama yang
menjadi tersangka korupsi. Hal inilah yang menyulitkan presiden Mwai
Kibaki untuk secara drastis memerangi korupsi. Program pemberantasan
korupsi hanya akan dapat terjadi jika pejabat tinggi negara yang terlibat
korupsi tersebut ditangkap.

2.5.5 Pemberantasan Korupsi Tanzania

Lembaga Anti Korupsi Tanzania Pemerintahan presiden Benjamin


Mkapa yang terpilih di tahun 1995 dan 2000, mulai melakukan reformasi di
berbagai bidang. Bidang yang menjadi fokus reformasi dari presiden Benjamin
antara lain adalah reformasi di bidang manajemen keuangan publik,
pemerintahan daerah, layanan publik, reformasi hukum dan penerapan strategy
nasional anti korupsi. Program anti korupsi pemerintah diresmikan bersamaan
dengan berdirinya lembaga “Presidential Commission on Corruption” yang
dipimpin oleh hakim Warioba. Lembaga ini melakukan investigasi dampak
korupsi di 4 institusi layanan publik yang penting, yakni kepolisian, peradilan,
pajak dan badan pertanahanLaporan Wariaba yang dipublikasikan pada
Desember 1996 ini melaporkan indikasi korupsi yang meluas di seluruh level
di tiap lembaga tersebut. Menurut publikasi ini beberapa penyebab korupsi di
lembaga pemerintahan tersebut adalah tidak adanya transparansi dan
akuntabilitas administrasi, tidak adanya kemauan politik, dan banyaknya
persekongkolan oknum berperilaku korup untuk menggelapkan pajak,
kegiatan perdagangan ilegal dan melakukan kecurangan dalam perjanjian
pertanahan.
2.5.6 Pemberantasan Korupsi China

Keseriusan pemerintah China dalam memerangi korupsi mulai terlihat


pada masa kepemimpinan Zhu Rongji (1997-2002) dengan ucapannya yang
menyiratkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi, yaitu “Beri
saya 100 peti mati,, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan
satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.” Zhu Rongji
mempopulerkan hukuman mati di China bagi para pelaku korupsi, meskipun
dilakukan oleh pejabat pemerintahan sekalipun. Hukuman berat yang
diterapkan bagi para koruptor tersebut dimaksudkan agar memberikan efek
jera dan rasa takut bagi para koruptor. Namun pemberantasan korupsi di China
dimulai sejak zaman dinasti. China memiliki lembaga penanganan korupsi
Central Commission for Discipline and Inspection. Komitmen dan keseriusan
pemerintahnya dalam memerangi korupsi sangatlah besar. China berhasil
menerapkan penegakkan hukum (law enforcement) tanpa pandang bulu
dengan menghukum mati para koruptor.

24
2.5.7 Pemberantasan Korupsi Thailand

Kesadaran akan bahayanya korupsi pun mulai muncul dalam bentuk


kebijaksanaan negara. Konstitusi Kerajaan Thailand 1974, pasal 66
menyebutkan bahwa: “Negara harus menyusun suatu sistem yang efisien
dalam hal pelayanan publik dan pelayanan lainnya dan harus mengambil
langkah-langkah guna mencegah dan menekan semua perilaku korup.” Pada
tahun 1975 Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai Penanganan
Korupsi dan mendirikan Kantor Penanganan Korupsi (Office of the
Commission of Counter Corruption). Namun, OCCC tidak memiliki banyak
lingkup kewewenangan untuk memberantas korupsi. Tetapi pencegahan
korupsi terus berjalan. Pada tahun 1996 lembaga pembuat undang-undang
terbentuk. Anggotanya adalah anggota masyarakat yang dipilih langsung dari
masing-masing propinsi. Mereka yang terpilih dibawa ke parlemen untuk
dipilih kembali, hasilnya terpilihlah 99 anggota. Anggota lembaga inilah yang
kemudian mensyahkan UU pemberantasan korupsi di tahun 1999.

Undang-undang ini kemudian menjadi landasan bagi berdirinya NCCC


(National Counter Corruption Commision). Adanya NCCC membuka
lembaran baru bagi Thailand dalam penanganan kasus korupsi. Korupsi tidak
ditangani secara biasa namun lebih modern dan komprehensif oleh super body
dengan pendekatan yang “extra ordinary”. NCCC disebut super body karena
diberi keleluasaan wewenang untuk mengusut dan menuntut politisi maupun
pejabat. NCCC tidak hanya melakukan pendekatan represif melalui
penuntutan namun juga punya kewenangan untuk mengajukan pemecatan
terhadap politisi dan memeriksa kekayaan pejabat. Dalam menunjang fungsi
penyelidikannya, NCCC diberi kekuasaan yang besar untuk mendapatkan
dokumen, menangkap dan menahan tertuduh atas permintaan pengadilan.
Dalam fungsi preventif, NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran
masyarakat, dengan melibatkan media dan LSM melalui berbagai pendekatan.
Pendekatan transparansi yan ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan
kekayaan pejabat dan politisi. Untuk menjaring laporan, NCCC juga
melakukan program perlindungan saksi dan penyadaran masyarakat
antikorupsi di tiap wilayah.

2.5.8 Pemberantasan Korupsi Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK


merupakan sebuah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 yang
memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Kehadiran sebuah badan khusus ini
merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk melakukan pemberantasan
korupsi yang telah merajalela di semua lapisan masyarakat dan juga lembaga

25
negara Indonesia. Tugas KPK di Indonesia pada dasarnya, merupakan
lembaga yang bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun dalam melakukan pemusnahan terhadap tindak pidana korupsi. Visi
dan misi Komisi Pemberantasan Korupsi negara Indonesia:
 Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas,
efektif, dan efisien
 Melakukan koordinasi pada instansi terkait dan berwenang untuk
melakukan pemberantasan Korupsi
 Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam
melakukan pemberantasan Tindak pidana korupsi
 Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak
Pidana Korupsi
 Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindakan korupsi
 Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan
negara.

Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK berpegang teguh


kepada lima asas:

 Kepastian (Hukum KPK senantiasa mengutamakan landasan peraturan


perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
menjalankan tugas dan wewenangnya)
 Keterbukaan (KPK senantiasa membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang kinerja lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsinya)
 Akuntabilitas (KPK senantiasa mempertanggungjawabkan setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan lembaga, kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku)
 Kepentingan Umum (KPK senantiasa mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif)
 Proporsionalitas (KPK senantiasa mengutamakan keseimbangan antara
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan
Korupsi).

Dengan demikian Fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang


kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan seperti MPR dan DPR, tetapi
justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem tata negara yang kerangka
dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian sanksi
hukuman untuk para koruptor di Indonesia berdasarkan UU TIPIKOR No. 20
Tahun 2001 yaitu maksimal 20 tahun penjara dengan ketentuan denda yg
berlaku dan masih ada pengurangan remisi masa tahanan. Berdasarkan rilis
terakhir oleh Transparansi Internasional Indonesia, di tahun 2015 Indeks
26
Persepsi Korupsi Indonesia mendapatkan skor 36 yang berarti kenaikan 2 poin
(19 peringkat) di tahun 2015. Skor ini masih terpaut 4 point dari rerata Asean
(termasuk Singapura), namun cukup menjanjikan sekiranya tren positif yang
ada dapat dijaga bahkan ditingkatkan. Faktor Internal dan Ekstrnal yang
menghambat KPK Indonesia:

 Penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan dan pegawai KPK


 Upaya pencegahan dan penindakan oleh KPK belum terintegrasi
 Manajemen SDM kurang efektif
 Lemahnya hukum di Indonesia
 Dukungan politik rendah
 Persepsi dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pada aparat
pengak hukum belum sama
 Rencana reisi UU KUHP dan UU KPK dapat mereduksi kewenangan
KPK
 Perlawanan balik dari para koruptor

2.6 STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI


BPKP dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional , telah menyusun
beberapa
strategi pemberantasan korupsi yang meiuti strategi preventif, detektif dan represif
yang perlu dilakukan, sebagai berikut : 
1. Strategi Preventif
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan
cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang
terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
 Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat
 Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya
 Membangun kode etik di sektor publik
 Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi
Bisnis
 Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan
 Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan
peningkatan  kesejahteraan Pegawai Negeri
 Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas  
kinerja bagi instansi pemerintah
 Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen
 Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) 
 Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat
 Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional
27
2. Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan
korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan :
 Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat
 Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu
 Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik
 Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang
di masyarakat internasional
 Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional
 Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana
korupsi.
3. Strategi Represif
Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan
korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi
represif dapat dilakukan dengan :
 Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi
 Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar
(Catch some big fishes)
 Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang
diprioritaskan untuk diberantas
 Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik
 Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam
sistem peradilan pidana secara terus menerus
 Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana
korupsi secara terpadu
 Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya
 Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik
tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

2.7 KASUS
Korupsi massal yang terjadi di malang atau lebih tepatnya kasus korupsi yang
dilakukan oleh 41 dari 45 orang DPRD malang. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi ( KPK) Saut Situmorang melihat inti permasalahan dari kasus korupsi massal
anggota DPRD Kota Malang adalah lemahnya integritas mereka. KPK telah
menetapkan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka terkait kasus
dugaan suap pembahasan APBN-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. Menurut
Saut, konflik kepentingan para anggota muncul dalam proses penganggaran tersebut
sehingga meruntuhkan integritas 41 anggota DPRD itu. “Jadi kalo Anda tanya,
persoalannya integritas, mau sistemnya kayak apa pun, pengawasannya kayak apa
pun, KPK nungguin kayak apa pun, ya akan bisa terjadi karena ini persoalan
28
integritas.” ujar Saut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/9/2018). Ia
tak mau berspekulasi bahwa praktik serupa terjadi di semua daerah. Namun, ia
melihat kemungkinan korupsi massal dipraktikkan di daerah lain.
Oleh sebab itu, Saut berpesan agar setiap orang terus menjunjung tinggi
integritasnya sebagai anggota pemerintahan. “Jangan lupa ada orang-orang
berintegritas juga di daerah-daerah, yang kemudian bersama dengan KPK, mulai dari
planning-nya sampai pengeluarannya ke belakang itu berintegritas.” katanya.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang
periode 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Hal itu dilakukan setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 22 anggota DPRD Kota
Malang sebagai tersangka kasus dugaan suap pembahasan APBN-P Pemkot Malang
Tahun Anggaran 2015. Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan
penyidikan KPK. Sebelumnya, dalam kasus yang sama, KPK sudah menetapkan 19
tersangka anggota DPRD Kota Malang. Penetapan 22 anggota DPRD Kota Malang
tersebut merupakan tahap ketiga. “Hingga saat ini, dari total 45 anggota DPRD Kota
Malang, sudah ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” papar
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di gedung Merah Putih
KPK, Senin. Dari studi kasus di atas dan juga kasus-kasus korupsi lainnya, Untuk
mengatasi banyaknya praktik korupsi di indonesia , sebenarnya pemerintah sudah
melakukan upaya yang cukup baik yaitu dengan membentuk suatu lembaga
pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi di Indonesia sudah
membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde
Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Beberapa
bentuk tindakan korupsi yaitu seperti suap-menyuap, gratifikasi, penggelapan jabatan,
pemerasan dll. Indonesia sendiri memiliki lembaga anti korupsi yang disebut
29
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun, lembaga pemberantasan korupsi ini
hanya mengusut kasus korupsi sektor pemerintahan saja dan belum mampu menekan
angka kasus korupsi yang besar di Indonesia. Lemahnya hukum di Indonesia juga
menjadi salah satu faktor penyebab merajalelanya kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia. Sehingga pemerintah harus memiliki strategi khusus untuk mengatasi
berbagai macam kasus korupsi yang terjadi di Indonesia seperti strategi preventif,
detektif dan represif.

3.2 SARAN

Mahasiswa sebagai calon penerus bangsa ini sudah selayaknya lebih peka dan peduli
akan kondisi bangsa dan negara. Pendidikan Anti Korupsi yang didapat dari bangku
perkuliahan harusnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila
sudah mengenali dan memahami korupsi, alangkah baiknya kita dapat mencegahnya
mulai dari diri kita sendiri kemudian setelah itu baru mencegah orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.co.id/books/edition/Pendidikan_Anti_Korupsi_Berani_Jujur/rYcOEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=sejarah+pendidikan+anti+korupsi&printsec=frontcover

bnSuyanto, Totok. 205. “Pendidikan Anti Korupsi dan Pengembangan Budaya Sekolah”.
JPIS. Nomor 23 tahun XIII Edisi Juli – Desember 2005.

30
Pohan, S. 2014. PERBANDINGAN LEMBAGA ANTI KORUPSI DI INDONESIA DAN
BEBERAPA NEGARA DUNIA.Jurnal Justitia Vol. 1 No. 03.

Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi
Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya, dan Tanzania). Jakarta:
KPK.
Puspito, Nanang T., et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Ditjen Dikti Kemdikbud RI.

31

Anda mungkin juga menyukai