Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI, NARKOBA DAN DERADIKALISASI


“TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH:
DHEA NUR FADILA 2022010104140
NELIYANTI 2022010104119
SUPRIADIN 2022010104128

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
KENDARI
2023

1
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa sholawat kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari jalan
kegelapan menuju jalan yang benar. Terima kasih saya ucapkan kepada
Bapak Drs.Yoserizal,M.Si selaku dosen dalam mata kuliah Pendidikan anti
korupsi dan juga dukungan orang tua yang selalu mendukung kami dalam moral
maupun materi. Penyusunan makalah yang berjudul ’Tindak Pidana Korupsi
dalam perundang-undangan di Indonesia’ disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah Pendidikan Anti Korupsi, Narkoba dan Deradikalisasi. Dalam
makalah ini kami membahas terkait bagaimana bentuk tindak pidana
korupsi itu. Berharap dengan makalah ini kami dapat sedikit banyaknya
mengetahui seputar Pendidikan Anti Korupsi.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini dapat terselesaikan berkat
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan menyediakan tempat
untuk melakukan penelitian ini. Kami menyadari dalam penulisan karya tulis
ini masih jauh dari kata sempurna. Maka, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membantu memperbaiki lagi karya tulis agar menjadi lebih
baik. Akhir kata, kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangsih dalam mengembangkan pengetahuan pembaca.

Kendari, 2 April 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................5
1.3 TUJUAN........................................................................................................5
1.4 MANFAAT....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
2.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi.................................................................6
2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi.............................................................8
2.3 Sejarah Tindak Pidana Korupsi......................................................................9
2.4 Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang-Undangan
Korupsl...............................................................................................................13
2.5 Gratifikasi.....................................................................................................14
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
3.1 Kesimpulan...................................................................................................15
3.2 Saran.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan
yang ekstra keras dan membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan
serius dari pernerintah yang berkuasa. Politik pemberantasan korupsi itu
sendiri tercerrnin dari peraruran perundang-undangan yang dilahirkan pada
periode pernerintahan tertentu. Lahirnya undang-undang yang secara khusus
mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya tidak
lah cukup untuk menunjukkan keseriusan atau komitmen pemerintah, Perlu
lebih dari sekedar melahirkan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu
menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang dengan cara
rnendorong aparat penegak hukum yang berwenang untuk memberantas
korupsi dengan cara-cara yang tegas, berani, dan tidak pandang bulu.
Keberadaan undang-undang pemberancasan korupsi hanyalah saru dari
sekian banyak upaya mernberanras korupsi dengan sungguh-sungguh. Di
samping peraruran perundang – undangan yang kuat juga diperlukan
kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi. Kesadaran masyarakat
hanya dapat timbul apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan
pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-
undang. Untuk itu sosialisasi undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi, khususnya mengenai delik korupsi yang diatur di dalamnya, perlu
terus dilakukan secara stimulan dan konsisten. Pengetahuan masyarakat akan
delik korupsi mutlak diperlukan mengingat ketidaktahuan akan adanya
peraturan perundang-undangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar
dari tanggung jawab hukum.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.1.1 Apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi ?
1.1.2 Apa saja unsur-unsur tindak pidana korupsi ?
1.1.3 Bagaimana sejarah tindak pidana korupsi di Indonesia ?
1.1.4 Bagaimana latar belakang lahirnya delik korupsi dalam perundang-
undangan korupsi ?
1.1.5 Bagaimana gratifikasi di Indonesia ?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi ?
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur tindak pidana korupsi ?
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana penjelasan tentang subjek tindak pidana
korupsi ?
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya delik korupsi
dalam perundang-undangan korupsi ?
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana gratifikasi di Indonesia ?
1.4 MANFAAT
1.3.6 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi ?
1.3.7 Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur tindak pidana korupsi ?
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana sejarah tindak pidana korupsi di
Indonesia ?
1.3.9 Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya delik korupsi
dalam perundang-undangan korupsi ?
1.3.10 Untuk mengetahui bagaimana gratifikasi di Indonesia ?

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.
Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral, sifat dan keadaan
yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatannya. Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio
= penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan
negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidak beresan lainnya.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang
berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan
dengan diundangkannya Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan
dalam konsiderans menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya.
Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah
hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara
dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. (2) Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

6
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan
secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk
pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti
meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana
korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap di pidana sesuai dengan Penjelasan
Pasal 4 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Penjelasan dari pasal tersebut adalah
dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku
tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara,
yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya
merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek
tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak
diatur sebelumnya yakni dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Undang-undang ini bertujuan dalam
memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan-ketentuan pidana yang
berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana
minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang
merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga pidana
penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan
berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18. Kemudian apabila

7
terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim
gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. Sedangkan proses
penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus
perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa (sesuai dengan Pasal
26 dan Pasal 27).
2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi, maka ditemukan beberapa unsur sebagai berikut:
a. Secara melawan hukum.
b. Memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang dimaksud dengan
secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Memperhatikan
perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dapat diketahui bahwa unsur melawan
hukum dari ketentuan tindak pidana korupsi tersebut merupakan sarana untuk
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan
menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang
dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.

8
2.3 Sejarah Tindak Pidana Korupsi
a. Delik Korupsi Dalam Kuhp
KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918
rnerupakan warisan Belanda. Ia merupakan kodifikasi dan unifikasi yang
berlaku bagi semua golongan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi,
diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober
1915. Sebagai hasil saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, berarti
34 tahun lamanya baru terjelma unifikasi berdasar asas konkordansi ini.
Dalam perjalanannya KUHP telah diubah, ditambah, dan diperbaiki oleh
beberapa undang-undang nasional seperti Undang-undang Nomor 1 tahun
1946, Undang-undang Nomor 20 tahun 1946, dan Undang-undang Nomor 73
tahun 1958, termasuk berbagai undang-undang mengenai pemberantasan
korupsi yang mengatur secara lebih khusus beberapa ketentuan yang ada di
KUHP.
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/
Peperpu/013/1950
Peraturan yang secara khusus mengatur pernberantasan korupsi
adalah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor
Prc/Peperpu/01311950, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Penguasa
Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prr/ PM/06/1957, tanggal 27 mei
1957 Nomor Prc/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nornor
Prc/PM/011/1957.
c. Undang-Undang N0.24 (Prp) Tahun 1960 Tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peracuran Penguasa
Perang Pusat centang Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat,
temperer, dan berlandaskan Undang undang Keadaan Bahaya. Dalam
keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan
penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-undang
Nornor 24 (Prp) tahun 1960 tencang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk Peraturan Pernerintah

9
Pengganti Undang-undang. Perubahan utama dari Peraturan Penguasa
Perang Pusat ke dalam Undang-undang ini adalah diubahnya istilah
perbuatan menjadi tindak pidana. Namun demikian undang undang ini
ternyata dianggap terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat
pembuktiannya lebih sulit.
d. Undang-Undang N0.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tlndak Pldana Korupsl
Dalam periode 1970-an, Presiden membentuk apa yang
dikenal sebagai Komisi 4 dengan maksud agar segala usaha memberantas
korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari
beberapa orang yaicu Wilopo, S.H., l.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan
Anwar Tjokroaminoco. Adapun tugas Komisi 4 adalah: a. Mengadakan
penelitian dan penilaian terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang telah
dicapai dalam pemberantasan korupsi. b. Memberikan pertimbangan
kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan
dalam pemberantasan korupsi. Dalam penyusunannya, Undang-undang
Nomor 3 tahun 1971 ini relatif lancar tidak mengalami masalah
kecuali atas beberapa hal seperti adanya pemikiran untuk memberlakukan
asas pembuktian terbalik dan keinginan untuk memasukkan ketentuan berlaku
surut.
e. Tap Mpr No. Xi/Mpr/1998 Tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR,
disusunlah TAP No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di
dalamnya memuat banyak amanat untuk rnembentuk perundang-undangan
yang akan mengawal pembangunan orde reformasi, termasuk amanat untuk
menyelesaikan masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto beserta
kroni-kroninya.
f. Undang-Undang N0.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme

10
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 mempunyai judul yang sama
dengan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang Penyelenggara negara
yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisrne. Lahirnya undang-
undang ini memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru atau
kriminalisasi atas pengertian Kolusi dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini
diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana, yaitu adalah permufakatan
atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara, atau
antara penyelenggara negara dan pihak lain, yang merugikan orang lain,
masyarakat, dan atau Negara. Sedangkan tindak pidana nepotisme didefinisikan
sebagai adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, clan Negara.
g. Undang-Undang N0.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tlndak Pidana Korupsi
Lahirnya undang-undang pemberanrasan korupsi Nomor 31
rahun 1999 dilatar belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa
sesuai dengan bergulirnya orde reformasi Dianggap perlu meletakkan
nilai-nilai baru atas upaya pernberantasan korupsi, dan kedua undang
undang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah
terlalu lama dan tidak efektif lagi. Apa yang diatur sebagai tindak pidana
korupsi di dalam Undang-undang Nomor 31 rahun 1999 sebetulnya
tidak sungguh-sungguh suatu yang baru karena pembuar undang
undang masih banyak menggunakan ketentuan yang terdapat di
dalam undang-undang sebelumnya.

h. Undang-Undang No. 20tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Un Dang-


Un Dang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-undang Nornor 20 tahun 2001 merupakan undang-
undang yang lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan

11
undang-undang terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa
kelemahan tersebut kemudian direvisi di dalam undang undang baru.
i. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 merupakan amanat
dari Undang-undang Nomor 31 cahun 1999 yang menghendaki
dibentuknya suacu komisi pemberancasan tindak pidana korupsi. Sebagai
suatu Tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime),
pemberancasan korupsi dianggap perlu dilakukan dengan cara-cara
yang juga luar biasa. Cara-cara pernberantasan korupsi yang luar biasa
itu sebetulnya telah tercantum di dalam Undang undang Nomor 31
cahun 1999 di antaranya mengenai alat-alat bukti yang dapar dijadikan
sebagai dasar pembuktian di pengadilan termasuk adanya beban
pembuktian terbalik terbatas atau berimbang di mana pelaku tindak
pidana korupsi juga dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana korupsi.
j. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Un Lted
Nation Convention Again St Corrupt Ion (U Ncac) 2003
Pemerintah Indonesia yang sedang menggalakkan pemberantasan
korupsi merasa perlu berpartisipasi memperkuat UNCAC, oleh karena
melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Ratifikasi dikecualikan
(diterapkan secara bersyarat) terhadap ketentuan Pasal 66 ayar (2)
cencang Penyelesaian Sengketa. Diajukannya Reservation (pensyaracan)
terhadap Pasal 66 ayat (2) adalah berdasarkan pada prinsip untuk tidak
menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah
Internasional kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.
k. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Peran Serta Masyarat
Dan Pemberian Penghargaan Da.Lam Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 merupakan
amanat Undang-undang Nomor 31 rahun 1999 yang mengatur adanya

12
peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. PP No. 71 tahun
2000 dibentuk untuk mengatur lebih jauh rata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat sehingga apa yang diatur di dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah tersebut pada dasarnya memberikan hak kepada masyarakat
untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan
korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, atau kepada KPK).
l. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi
lnsrruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 lahir dilator belakangi oleh
keinginan untuk mempercepat pernberantasan korupsi, mengingat situasi pada
saat terbitnya lnpres pernberantasan korupsi mengalami hambatan clan semacam
upaya perlawanan/serangan balik dari koruptor. Melalui In pres ini Presiden
merasa perlu memberi instruksi khusus untuk membantu KPK dalam
penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan LHKPN
(Laporan Harra Kekayaan Penyelenggara Negara). Presiden mengeluarkan 12
instruksi khusus dalam rangka percepatan pernberanrasan korupsi. Adapun
instruksi itu secara khusus pula ditujukan kepada menteri-rnenteri tertentu,
Jaksa Agung, Kapolri, termasuk para Gubernur dan Bupati/Walikora,
sesuai peran dan tanggungjawab masing-masing.
2.4 Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang-Undangan
Korupsl
Lahirnya delik-delik korupsi di dalam perundang-undangan korupsi apat
dibagi ke dalam 2 (dua) bagian utama yaitu:
a. Deukkorupsi Yang Dirumuskan Oleh Pembuat Undang Undang
Delik korupsi yang dirumuskan oleh pernbuat undang-undang adalah
delik-delik yang memang dibuat dan dirumuskan secara khusus sebagai
delik korupsi oleh para pembuat undang-undang. Menurut berbagai lireratur,
delik korupsi yang dirumuskan oleh pernbuat undang-undang hanya
meliputi 4 pasal saja yairu sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 13, dan Pasal 15 Undang-undang Nornor 3 tahun 1999 juncto

13
Undang-unclang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun apabila kita perhatikan secara seksama apa yang diatur dalam
Pasal 15 undang-undang tersebut sesungguhnya bukanlah murni rumusan
pembuat undang-undang akan tetapi mengambil konsep sebagaimana yang
diatur di dalam KUHP.
b. Delik Korupsi Yang Diambil Dari Kuhp Delik Mana Dapat Kita Bagl
Menjadl 2 Baglan, Yaltu:
(1) Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP. Yang dimaksud
dengan delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah delik-
delik yang diambil dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi sehingga
delik tersebut di dalarn KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Dengan
demikian sebagai konsekuensi diambilnya delik tersebut dari KUHP adalah
kerentuan delik tersebut di dalam KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Atau
dengan kata lain, apabila perbuatan seseorang memenuhi rumusan delik
itu maka kepadanya akan diancamkan delik korupsi sebagaimana diatur
dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan
lagi sebagaimana delik itu di dalam KUHP. Delik korupsi yang ditarik
secara mutlak dari KUHP adalah Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (2) Delik korupsi yang
ditarik tidak secara mutlak dari KUHP.
2.5 Gratifikasi
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31
tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 memperkenalkan suatu
perbuatan yang dikenal sebagai gratifikasi, sebagaimana diatur di dalam
Pasal 12 B. Di dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) diseburkan
pengertian gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, melipuci
pemberian uang, rabac (diskon), komisi, pinjaman ranpa bunga, tiker
perjalanan, fasiliras penginapan, perjalanan wisara, pengobaran Cuma cuma,

14
dan fasiliras lainnya. Grarifikasi hanya ditujukan kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara sebagai penerirna suatu pemberian.. Pemberian
itu akan dianggap sebagai suap apabila dapat dibuktikan bahwa
diberikan berhubung dengan jabatannya yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya. Sifat pidana grariflkasi akan hapus dengan
dilaporkannya penerimaan grarifikasi itu oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara kepada Komisi Pemberanrasan Korupsi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas,dapat kita simpulkan bahwa korupsi
merupakan tindakan yang melanggar atau melawan hukum yang dapat
merugikan keuangan dan perekonomian negara. Agar tindak pidana korupsi
tidak merajalela dan mengakar di dalam kehidupan masyarakat, pemerintah
perlu mengambil langkah yang tepat dalam mengatasinya. Pemberantasan
tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra keras
dan perlu perhatian yang serius dari pemerintah yang berkuasa.Oleh karena
itu diciptakannya undang-undang mengenai tindak pidana korupsi yang
mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi agar tindakan-tindakan
ini dapat diberantas dan juga dapat dicegah agar tidak terus berkembang dan
menjadi suatu budaya di dalam kehidupan masyarakat.Peraturan perundang-
undangan yang telah dibuat oleh pemerintah memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam pelaksanaan.Oleh karna itu,masih perlu dilakukan nya
perbaikan-perbaikan terhadap peraturan tersebut agar Pemberantasan Tindak
Korupsi dapat dilakukan secara maksimal.
3.2 Saran
Setelah menyelesaikan makalah ini, Penulis berharap bahwa pembaca
dapat memahami dan dapat meningkatkan minat dalam membaca serta lebih
kritis terhadap permasalahan yang ada. Penulis menyadari bahwa makalah ini

15
masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu jika ada kesalahan penulisan, kesalahan
ejaan kata dalam makalah ini, sangat dimohon kan kritik dan sarannya dari ibu
dosen dan semua pihak yang terkait. Karena kritik dan saran yang membangun
akan sangat membantu demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan
datang. Semoga penulisan makalah ini dapat berguna dan dimanfaatkan dengan
sebaik dan sebagaimana mestinya, terutama bagi penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Moeljarno (1994), Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Edisi Baru, Cetakan
ke-LB,Jakarta: Bumi Aksara
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 rentang Pemberancasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-undang No. 20 tahun 2001 renrang Perubahan atas Undang-undang No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 30 rahun 2002 renrang Komisi Pemberanrasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 7 rahun 2006 centang Pengesahan United Nation Convention
Against.Corruption (UNCAC).2003
Hartanti, E. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
Kartono, K. 2003. Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 80
Suhartono, E. 2001. Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi.
Buletin Pengawasan No. 28 & 29. http/www/google.com/korupsi,
Diakses tanggal 2 April 2023
Wiyono, R. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta, hal. 30.

16

Anda mungkin juga menyukai