Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

“TINDAKAN PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANGAN DI


INDONESIA”

Dosen Pengampu : Ir.H. Sarifuddin, M.T.

Di Susun Oleh:Kelompok 8

Muh Ibnu Hajar_F23122121

Muh Ihsan Samsah_F23122118

Fikri Haeqal Fahreza_F23122126

Jessica Novita_F23122119

Novi Astirah Lasaudju_F23122122

Nur Anisya S. Hamadi_F23122120

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH KOTA

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat TUHAN Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas Makalah pada mata kuliah “Pendidikan
Agama Islam”

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.H. Sarifuddin, M.T. selaku dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
Kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun agar
kedepannya bisa lebih baik lagi.

Palu, 5 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang.................................................................................1

I.2 Rumusan masalah.............................................................................2

I.3 Tujuan..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ...........................3

II.2 Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam

Perundang-Undangan korupsi........................................................5

II.3 Delik Korupsi Menurut UUD NO 31 tahun 1999 Jo.

UU NO. 20 Tahun 2001...........................................................6

II.4 Gratifikasi .....................................................................................9

BAB III PENUTUP

III.1 Kesimpulan .................................................................................10

III.2 Saran...........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Sejarah pemberantasan korupsi yang cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa


pemberantasan tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra keras dan
membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa.
Politik pemberantasan korupsi itu sendiri tercermin dari peraturan perundang-undangan yang
dilahirkan pada periode pemerintahan tertentu. Lahirnya undang-undang yang secara khusus
mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya tidaklah cukup untuk
menunjukkan keseriusan atau komitmen pemerintah. Perlu lebih dari sekedar melahirkan suatu
peraturan perundang-undangan, yaitu menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-
undang dengan cara mendorong aparat penegak hukum yang berwenang untuk memberantas
korupsi dengan cara-cara yang tegas, berani, dan tidak pandang bulu. Keberadaan undang-
undang pemberantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak upaya memberantas korupsi
dengan sungguh-sungguh. Di samping peraturan perundangundangan yang kuat, juga diperlukan
kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi. Kesadaran masyarakat hanya dapat timbul
apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi
yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu sosialisasi undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi, khususnya mengenai delik korupsi yang diatur di dalamnya, perlu terus
dilakukan secara simultan dan konsisten. Pengetahuan masyarakat akan delik korupsi mutlak
diperlukan mengingat ketidaktahuan akan adanya peraturan perundang-undangan tidak dapat
dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum.

1
I.2 Rumusan Masalah

1. Sejarah pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang-Undangan Korupsi

3. Delik korupsi Menurut UU NO.31 Tahun 1999 Dan NO.20 Tahun 2001

4. Gratifikasi

I.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahi Sejarah pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Untuk Mengetahi Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam


Perundang-Undangan Korupsi

3. Untuk Mengetahi Delik korupsi Menurut UU NO.31 Tahun 1999 Dan NO.20 Tahun 2001

4. Untuk Mengetahi Gratifikasi

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.I Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berbagai Upaya Pemberantasan Tindakan korupsi dilakukan oleh pemerintah sejak


kemerdekaan, baik Tindak pidana korupsi bukan merupakan dengan menggunakan peraturan
perundang- barang baru di Indonesia. Sejak jaman undangan yang ada maupun dengan mem-
kerajaan-kerajaan terdahulu, korupsi bentuk peraturan perundang-undangan baru telah terjadi
meski tidak secara khusus yang secara khusus mengatur mengenai pem- menggunakan istilah
korupsi. Setelah berantasan tindak pidana korupsi. Di antara jaman kemerdekaan, ketika
Indonesia mulai peraturan perundang-undangan yang pernah membangun dan mengisi
kemerdekaan, korupsi terus mengganas sehingga digunakan untuk memberantas tindak pidana
mengganggu jalannya pembangunan korupsi adalah:

1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
2. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003.
7. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

3
Banyaknya peraturan perundang-undangan korupsi yang pernah dibuat dan berlaku di Indonesia
menarik untuk disimak tersendiri untuk mengetahui dan memahami lahirnya tiap-tiap peraturan
perundang-undangan tersebut, termasuk untuk mengetahui dan memahami kekurangan dan
kelebihannya masing-masing.

1. Delik Korupsi dalam KUHP

KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan Belanda. Ia
merupakan kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi, diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober
1915.

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/


Peperpu/013/1950.

Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi disebabkan antara lain oleh buruknya peraturan
yang ada telah dikenal sejak dulu. Dengan demikian pendapat bahwa perbaikan peraturan
antikorupsi akan membawa akibat berkurangnya korupsi tetap menjadi perdebatan.

3. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang
Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat, temporer, dan berlandaskan Undangundang
Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan
penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Pidana. Namun demikian undangundang ini ternyata dianggap
terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya lebih sulit.

4. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Sejarah tidak mencatat banyak perkara tindak pidana korupsi pada periode 1960-1970.
Tidak diketahui apakah karena undang-undang tahun 1960 tersebut efektif ataukah karena pada
periode lain sesudahnya memang lebih besar kuantitas maupun kualitasnya. Dalam periode
1970-an, Presiden membentuk apa yang dikenal sebagai Komisi 4 dengan maksud agar segala

4
usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari
beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.

5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Seiring dengan gerakan reformasi yang timbul dari ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan
Orde baru selama hampir 32 tahun, keinginan untuk menyusun tatanan kehidupan baru menuju
masyarakat madani berkembang di Indonesia. Keinginan untuk menyusun tatanan baru yang
lebih mengedepankan civil society itu dimulai dengan disusunnya seperangkat peraturan
perundang-undangan yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan rakyat sebagaimana
tuntutan reformasi yang telah melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan.

II.2 LATAR BELAKANG LAHIRNYA DELIK KORUPSI DALAM PERUNDANG-


UNDANGAN KORUPSI
Untuk memahami delik korupsi yang diatur dalam undang-undang tentang pemberantasan
korupsi perlu meninjau latar belakang lahirnya ketentuan-ketentuan delik tersebut mengingat
munculnya undang-undang korupsi yang lebih baru adalah untuk memperbaiki kekurangan yang
ada pada undang-undang sebelumnya, termasuk adanya kelemahan pengaturan mengenai
rumusan delik. Secara umum, lahirnya delik-delik korupsi di dalam perundang-undangan
korupsi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bagian utama, yaitu:

1. Delik korupsi yang dirumuskan oleh pembuat undang undang.


Delik korupsi yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang adalah delik delik yang
memang dibuat dan dirumuskan secara khusus sebagai delik korupsi oleh para pembuat
undang-undang. Menurut berbagai literatur, delik korupsi yang dirumuskan oleh pembuat
undang-undang hanya meliputi 4 pasal saja yaitu sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5
2. Delik korupsi yang diambil dari KUHP, yaitu:

a. Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP.

Yang dimaksud dengan delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah
delik-delik yang diambil dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi sehingga delik
tersebut di dalam KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Dengan demikian sebagai konsekuensi
diambilnya delik tersebut dari KUHP adalah ketentuan delik tersebut di dalam KUHP
menjadi tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain, apabila perbuatan seseorang memenuhi
rumusan delik itu maka kepadanya akan diancamkan delik korupsi sebagaimana diatur
dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan lagi sebagaimana
delik itu di dalam KUHP.

Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undangundang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

II.3 DELIK KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN
2001

Berdasarkan undang-undang, kita dapat membedakan 30 perbuatan yang masuk kategori


sebagai delik korupsi. 30 perbuatan korupsi itu diatur dalam 13 pasal. Untuk mempermudah
pemahaman, penjelasan atas delik-delik korupsi dalam undang-undang dilakukan berdasarkan
perumusan delik sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, yaitu delik korupsi yang
dirumuskan oleh pembuat undang-undang dan delik korupsi yang ditarik dari KUHP baik secara
langsung maupun tidak secara langsung. Namun tidak semua delik korupsi di dalam undang-
undang yang akan dijelaskan disini, tetapi beberapa perbuatan korupsi yang utama dan umum
saja termasuk mengenai gratifikasi yang belum banyak dipahami oleh masyarakat. Adapun delik-
delik korupsi yang diatur dalam undang-undang

• Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

6
(2) paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

• Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apa yang dilarang dalam Pasal 3 undang-undang korupsi pada intinya adalah melarang
perbuatan mengambil/mencari untung, yaitu mengambil/mencari keuntungan yang dilakukan
dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.

Mencari untung adalah naluri setiap orang sebagai mahluk sosial dan mahluk ekonomi,
tetapi undang-undang melarang perbuatan mencari untung yang dilakukan dengan
menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana. Perbuatan mencari untung dapat
dijelaskan sebagai setiap perbuatan yang bertujuan memperoleh penambahan keuntungan dalam
arti materiil dan keuangan. Keuntungan dalam arti nama baik tidak termasuk dalam pengertian
ini.
Penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seorang yang mempunyai wewenang yang sah, kesempatan, atau sarana, untuk
kemudian wewenang sah, kesempatan, dan sarana mana digunakan oleh pelaku untuk
mendapatkan penambahan materiil dan keuangan. Dengan kata lain, penyalahgunaan wewenang
hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kewenangan yang sah, namun
kewenangan itu disalahgunakan. Demikian pula kesempatan atau sarana, hanya dapat digunakan
oleh mereka yang memang mempunyai kesempatan atau mempunyai sarana, tetapi kemudian
kesempatan atau sarana itu disalahgunakan.

Sama halnya dengan apa yang diatur dalam Pasal 2, unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara dalam Pasal 3 juga tidak mutlak dipersyaratkan telah terjadi. Sekedar

7
perbuatan mencari untung itu telah dilakukan, dan perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara maka Pasal 3 telah dapat diancamkan kepada
pelaku.

• Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Perbuatan utama yang dilarang di dalam Pasal 13 sebagai perbuatan korupsi yang ketiga
adalah memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri. Memberi adalah perbuatan yang baik,
akan tetapi memberikan hadiah kepada seseorang dengan mengingat kekuasaan atau
wewenangnya, yang melekat pada jabatan atau kedudukan orang itu, adalah perbuatan yang
masuk ke dalam pengertian delik korupsi. Pemahaman mendasar yang perlu dipahami adalah
bahwa perbuatan memberi yang dilarang oleh delik ini adalah memberi hadiah atau memberi
janji.

Sebagaimana kita pahami bersama, pada umumnya suatu hadiah diberikan karena seseorang
sebagai penerima telah melakukan suatu prestasi tertentu. Atas prestasi itulah hadiah diberikan.
Pemberian yang tidak mensyaratkan adanya prestasi tidak memenuhi pengertian hadiah. Yang
agak membingungkan adalah pengertian memberi janji. Undangundang tidak menjelaskan
pengertian memberi janji yang dimaksud, oleh karena itu perbuatan memberi janji yang
dimaksud disini dapat diartikan sebagai setiap, semua, dan segala perbuatan memberi janji,
termasuk yang dalam aktivitas sehari-hari kita kenal sebagai “janjian”!

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita memberikan sesuatu kepada seeorang pegawai
negeri, terutama pejabat, dengan memandang jabatan dan atau kewenangan yang melekat
kepada jabatan atau kedudukannya. Doktrin anti korupsi tidak menghendaki perbuatan memberi
yang seperti itu. Hubungan dengan pegawai negeri, pejabat, orang yang punya kekuasaan dan
atau kewenangan tidak perlu mendapat tempat yang istimewa. Delik ini hanya dapat diancam
kepada seorang pemberi, adapun penerima akan diancam dengan pasal lain.

8
II.4 Gratifikasi

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 . Undang-


undang Nomor 20 tahun 2001 memperkenalkan suatu perbuatan yang dikenal sebagai
gratifikasi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 B.Di dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1)
disebutkan pengertian gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian
uang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi hanya ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai
penerima suatu pemberian. Pemberian itu akan dianggap sebagai suap apabila dapat dibuktikan
bahwa diberikan berhubung dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Sifat pidana gratifikasi akan hapus dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi itu
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada prinsipnya gratifikasi adalah pemberian biasa dari seseorang kepada
seorang pegawai negeri yang memberikan gagasan lenggara negara. Dalam praktek, pem-
mengenai gratifikasi sebagai berikut : “Para berian seperti ini kerap dijadikan mo- pelayan
bangsa harus memberikan pelayanan mereka dus untuk ‘membina’ hubungan baik tanpa
menerima hadiah-hadiah. Mereka yang dengan pejabat sehingga dalam hal se- membangkang,
kalau terbukti bersalah, harus seorang tersangkut suatu masalah yang dibunuh tanpa upacara”
menjadi kewenangan pejabat tersebut, kepentingan orang itu sudah terlindungi karena ia sudah
berhubungan baik dengan pejabat tersebut.

9
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi . Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.

III.2 Saran

Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Namun perlu
dipertimbangkan lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:

1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor.Rekonseptualisasi


dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan
koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu
terobosan hukum yang memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno (1994), Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Edisi Baru, Cetakan ke-18, Jakarta: Bumi Aksara

Peraturan perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubhanan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003.

Anda mungkin juga menyukai