Di Susun Oleh:Kelompok 8
Jessica Novita_F23122119
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat TUHAN Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas Makalah pada mata kuliah “Pendidikan
Agama Islam”
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.H. Sarifuddin, M.T. selaku dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
Kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun agar
kedepannya bisa lebih baik lagi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.3 Tujuan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
Perundang-Undangan korupsi........................................................5
III.2 Saran...........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
1
I.2 Rumusan Masalah
3. Delik korupsi Menurut UU NO.31 Tahun 1999 Dan NO.20 Tahun 2001
4. Gratifikasi
I.3 Tujuan
3. Untuk Mengetahi Delik korupsi Menurut UU NO.31 Tahun 1999 Dan NO.20 Tahun 2001
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
2. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003.
7. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
3
Banyaknya peraturan perundang-undangan korupsi yang pernah dibuat dan berlaku di Indonesia
menarik untuk disimak tersendiri untuk mengetahui dan memahami lahirnya tiap-tiap peraturan
perundang-undangan tersebut, termasuk untuk mengetahui dan memahami kekurangan dan
kelebihannya masing-masing.
KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan Belanda. Ia
merupakan kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi, diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober
1915.
Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi disebabkan antara lain oleh buruknya peraturan
yang ada telah dikenal sejak dulu. Dengan demikian pendapat bahwa perbaikan peraturan
antikorupsi akan membawa akibat berkurangnya korupsi tetap menjadi perdebatan.
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang
Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat, temporer, dan berlandaskan Undangundang
Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan
penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Pidana. Namun demikian undangundang ini ternyata dianggap
terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya lebih sulit.
4
usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari
beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.
5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Seiring dengan gerakan reformasi yang timbul dari ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan
Orde baru selama hampir 32 tahun, keinginan untuk menyusun tatanan kehidupan baru menuju
masyarakat madani berkembang di Indonesia. Keinginan untuk menyusun tatanan baru yang
lebih mengedepankan civil society itu dimulai dengan disusunnya seperangkat peraturan
perundang-undangan yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan rakyat sebagaimana
tuntutan reformasi yang telah melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan.
5
2. Delik korupsi yang diambil dari KUHP, yaitu:
Yang dimaksud dengan delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah
delik-delik yang diambil dari KUHP yang diadopsi menjadi delik korupsi sehingga delik
tersebut di dalam KUHP menjadi tidak berlaku lagi. Dengan demikian sebagai konsekuensi
diambilnya delik tersebut dari KUHP adalah ketentuan delik tersebut di dalam KUHP
menjadi tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain, apabila perbuatan seseorang memenuhi
rumusan delik itu maka kepadanya akan diancamkan delik korupsi sebagaimana diatur
dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan bukan lagi sebagaimana
delik itu di dalam KUHP.
Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP adalah Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undangundang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
II.3 DELIK KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN
2001
• Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
6
(2) paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
• Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apa yang dilarang dalam Pasal 3 undang-undang korupsi pada intinya adalah melarang
perbuatan mengambil/mencari untung, yaitu mengambil/mencari keuntungan yang dilakukan
dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
Mencari untung adalah naluri setiap orang sebagai mahluk sosial dan mahluk ekonomi,
tetapi undang-undang melarang perbuatan mencari untung yang dilakukan dengan
menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana. Perbuatan mencari untung dapat
dijelaskan sebagai setiap perbuatan yang bertujuan memperoleh penambahan keuntungan dalam
arti materiil dan keuangan. Keuntungan dalam arti nama baik tidak termasuk dalam pengertian
ini.
Penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seorang yang mempunyai wewenang yang sah, kesempatan, atau sarana, untuk
kemudian wewenang sah, kesempatan, dan sarana mana digunakan oleh pelaku untuk
mendapatkan penambahan materiil dan keuangan. Dengan kata lain, penyalahgunaan wewenang
hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kewenangan yang sah, namun
kewenangan itu disalahgunakan. Demikian pula kesempatan atau sarana, hanya dapat digunakan
oleh mereka yang memang mempunyai kesempatan atau mempunyai sarana, tetapi kemudian
kesempatan atau sarana itu disalahgunakan.
Sama halnya dengan apa yang diatur dalam Pasal 2, unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara dalam Pasal 3 juga tidak mutlak dipersyaratkan telah terjadi. Sekedar
7
perbuatan mencari untung itu telah dilakukan, dan perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara maka Pasal 3 telah dapat diancamkan kepada
pelaku.
• Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Perbuatan utama yang dilarang di dalam Pasal 13 sebagai perbuatan korupsi yang ketiga
adalah memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri. Memberi adalah perbuatan yang baik,
akan tetapi memberikan hadiah kepada seseorang dengan mengingat kekuasaan atau
wewenangnya, yang melekat pada jabatan atau kedudukan orang itu, adalah perbuatan yang
masuk ke dalam pengertian delik korupsi. Pemahaman mendasar yang perlu dipahami adalah
bahwa perbuatan memberi yang dilarang oleh delik ini adalah memberi hadiah atau memberi
janji.
Sebagaimana kita pahami bersama, pada umumnya suatu hadiah diberikan karena seseorang
sebagai penerima telah melakukan suatu prestasi tertentu. Atas prestasi itulah hadiah diberikan.
Pemberian yang tidak mensyaratkan adanya prestasi tidak memenuhi pengertian hadiah. Yang
agak membingungkan adalah pengertian memberi janji. Undangundang tidak menjelaskan
pengertian memberi janji yang dimaksud, oleh karena itu perbuatan memberi janji yang
dimaksud disini dapat diartikan sebagai setiap, semua, dan segala perbuatan memberi janji,
termasuk yang dalam aktivitas sehari-hari kita kenal sebagai “janjian”!
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita memberikan sesuatu kepada seeorang pegawai
negeri, terutama pejabat, dengan memandang jabatan dan atau kewenangan yang melekat
kepada jabatan atau kedudukannya. Doktrin anti korupsi tidak menghendaki perbuatan memberi
yang seperti itu. Hubungan dengan pegawai negeri, pejabat, orang yang punya kekuasaan dan
atau kewenangan tidak perlu mendapat tempat yang istimewa. Delik ini hanya dapat diancam
kepada seorang pemberi, adapun penerima akan diancam dengan pasal lain.
8
II.4 Gratifikasi
Gratifikasi hanya ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai
penerima suatu pemberian. Pemberian itu akan dianggap sebagai suap apabila dapat dibuktikan
bahwa diberikan berhubung dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Sifat pidana gratifikasi akan hapus dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi itu
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada prinsipnya gratifikasi adalah pemberian biasa dari seseorang kepada
seorang pegawai negeri yang memberikan gagasan lenggara negara. Dalam praktek, pem-
mengenai gratifikasi sebagai berikut : “Para berian seperti ini kerap dijadikan mo- pelayan
bangsa harus memberikan pelayanan mereka dus untuk ‘membina’ hubungan baik tanpa
menerima hadiah-hadiah. Mereka yang dengan pejabat sehingga dalam hal se- membangkang,
kalau terbukti bersalah, harus seorang tersangkut suatu masalah yang dibunuh tanpa upacara”
menjadi kewenangan pejabat tersebut, kepentingan orang itu sudah terlindungi karena ia sudah
berhubungan baik dengan pejabat tersebut.
9
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi . Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.
III.2 Saran
Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Namun perlu
dipertimbangkan lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
10
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno (1994), Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Edisi Baru, Cetakan ke-18, Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan perundang-Undangan:
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubhanan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003.