Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANG – UNDNAGAN


DI INDONESIA

HALAMAN SAMPUL

Dosen Pengampu: Dr. Abdul Majid Mahmud, SH

FDD

DI SUSUN OLEH :

FEIRMAN NOUR RAHMAN S. 210711559

MUHAMMAD FAHMI HARYADI 210711538

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Tindak Pidana Korupsi Dalam Peraturan
Perundang – Undangan di Indonesia “ Ini tepat Pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini guna untuk memenuhi tugas yang telah di
berikan. Selain itu makalah ini juga berfungsi untuk menambah wawasan tentang “ Tindak
Pidana Korupsi Dalam Peraturan Perundang – Undangan di Indonesia ” bagi para pembaca
juga penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada bapak/ibu dosen selaku yang telah


memberikan tugas ini sehingga saya dapat menambah wawasan tentang dan pengetahuan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya
menyadari bahwa makalah yang saya tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

19 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
2.1 Perkembangan Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi......................................4
2.2 Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang Undangan Korupsi.............7
BAB III PENUTUP..................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................9
3.2 Saran.................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan
luar biasa, tetapi konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan
persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus
menggunakan cara-cara luar biasa. Pemberantasan tindak korupsi di Indonesia merupakan
upaya yang terus berkembang sepanjang sejarah negara ini (Helena Hestaria et al., 2022).

Selama masa pemerintahan Soeharto, korupsi menjadi masalah serius di Indonesia.


Namun, sangat sedikit kasus korupsi yang diungkapkan karena otoritarianisme rezim
tersebut. Keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 membuka jalan bagi reformasi politik
dan pemberantasan korupsi. Presiden BJ Habibie membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada tahun 2002 sebagai lembaga independen untuk mengatasi korupsi. KPK menjadi
garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga ini berhasil mengusut
dan menindak berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, politisi, dan
bisnis. Namun, KPK juga menghadapi tantangan politis dan upaya untuk melemahkan
independensinya. Pada tahun 2020, DPR Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang
KPK yang kontroversial, yang dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya melemahkan
kekuasaan KPK. Ini memicu protes dan perdebatan di seluruh negeri (Naufaliz, 2022).

Pemberantasan korupsi di Indonesia tetap menjadi perjuangan yang berkelanjutan.


Banyak pihak yang terus berupaya untuk memastikan bahwa tindak korupsi dihentikan dan
penegakan hukum yang adil dilakukan. Delik korupsi dalam perundang-undangan memiliki
latar belakang yang kompleks dan berkembang seiring waktu. Berikut adalah beberapa faktor
dan latar belakang yang berperan dalam lahirnya delik korupsi dalam perundang-undangan.
Korupsi bukanlah fenomena baru dan telah ada dalam berbagai budaya dan masyarakat
sepanjang sejarah. Praktik korupsi seringkali muncul sebagai akibat dari sistem politik dan
ekonomi yang tidak transparan.

4
Pembentukan negara dan hukum yang mengatur tindakan-tindakan ilegal seperti
korupsi adalah langkah kunci dalam melawan korupsi. Negara harus memiliki kerangka
hukum yang jelas untuk menentang korupsi. Tekanan dari masyarakat internasional,
organisasi seperti PBB, dan negara-negara lainnya juga dapat memainkan peran dalam
mendorong negara-negara untuk mengesahkan undang-undang anti-korupsi yang lebih ketat.
Beberapa kasus korupsi besar-besaran yang terjadi dalam sejarah seringkali menjadi pemicu
perubahan dalam undang-undang anti-korupsi. Kasus-kasus seperti ini bisa menciptakan
tekanan publik yang besar untuk mengambil tindakan tegas.

Kesadaran publik tentang dampak negatif korupsi terhadap masyarakat dan ekonomi
juga dapat mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan. Protes dan gerakan sipil
seringkali menjadi faktor penting dalam mendorong reformasi hukum. Globalisasi telah
meningkatkan kompleksitas keuangan internasional, yang memungkinkan pelaku korupsi
untuk menyembunyikan aset mereka di luar negeri (Alhakim & Soponyono, 2019). Hal ini
memerlukan kerja sama lintas negara dan undang-undang yang lebih ketat untuk mengatasi
korupsi lintas batas. Teknologi informasi telah memengaruhi cara korupsi terjadi, dengan
transaksi korupsi yang lebih sering terjadi secara digital. Oleh karena itu, undang-undang
harus diperbarui untuk mengikuti perkembangan teknologi. Perubahan dalam undang-undang
anti-korupsi seringkali merupakan respons terhadap kombinasi faktor-faktor ini. Seiring
berjalannya waktu, undang-undang ini dapat mengalami perubahan dan peningkatan untuk
lebih efektif dalam melawan korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia


dari masa ke masa, dan bagaimana hal tersebut tercermin dalam perubahan
perundang-undangan?
2. Apa latar belakang munculnya delik korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia,
dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi terbentuknya regulasi khusus terkait tindak
pidana korupsi?

1.3 Tujuan Penulisan

5
1. Tujuan utama penulisan adalah menganalisis sejarah pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
bagaimana upaya pencegahan dan penindakan korupsi telah berkembang seiring
waktu.
2. Untuk menelusuri asal mula inklusi delik korupsi dalam perundang-undangan
Indonesia, dengan mengidentifikasi peristiwa atau kondisi khusus yang mendorong
pembentukan norma hukum terkait korupsi.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia membentang sepanjang


masa, menelusuri akar permasalahan hingga upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan lembaga terkait untuk mengatasi gejala korupsi (Rahmat, 2020).

1. Masa Kerajaan: Perilaku Korupsi dalam Pajak dan Upeti


Pernahkah terbayangkan bahwa sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia dimulai sejak masa Kerajaan. Pada masa tersebut, perilaku korupsi sudah
muncul dalam bentuk pungutan berupa pajak atau upeti yang memaksa rakyat.
Meskipun dalam konteks sosial dan ekonomi yang berbeda, inti dari korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok sudah ada sejak
dulu.
2. Era Kemerdekaan: Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
Pada tahun 1957 setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah menghadapi
tantangan baru terkait korupsi. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah membentuk
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) berdasarkan UU Keadaan Bahaya.
PARAN diinisiasi sebagai langkah awal dalam upaya restrukturisasi aparat negara
guna memberantas praktek-praktek korupsi yang merajalela. Namun, perlu dicatat
bahwa upaya PARAN belum sepenuhnya efektif dalam memberantas korupsi.
Beberapa faktor, seperti ketidaksempurnaan struktur organisasi dan kurangnya
mekanisme pengawasan, membuat upaya tersebut belum mampu meraih hasil
optimal.
3. Era Reformasi: Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
Masuk ke era Reformasi pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan
Abdurrahman Wahid menunjukkan komitmen seriusnya dalam pemberantasan korupsi
dengan pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) pada tahun 2000. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tuntutan
masyarakat akan perubahan dan keadilan. TGPTPK menjadi langkah signifikan
menuju pendekatan yang lebih terkoordinasi dalam menangani tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian, masih terdapat kendala-kendala, termasuk isu-isu politik dan

7
kelemahan dalam implementasi kebijakan, yang terus mempengaruhi efektivitas
upaya pemberantasan korupsi.

Landasan hukum menjadi pondasi utama dalam pemberantasan korupsi. Indonesia


memiliki dasar-dasar hukum yang mengatur pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, antara lain UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. UU ini memberikan landasan yang kuat untuk menindak dan
menghukum pelaku korupsi serta menjadikan pencegahan sebagai bagian penting dari strategi
pemberantasan. Seiring perkembangan waktu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi di Indonesia. Beberapa kasus
korupsi terbesar, seperti kasus BLBI, Asabri, dan Jiwasraya, berhasil diungkap oleh KPK.
Keberhasilan ini tidak hanya menciptakan efek jera bagi pelaku korupsi tetapi juga membawa
isu korupsi ke permukaan, memicu tuntutan reformasi lebih lanjut (Syamsuddin, 2020).

KPK menjadi lembaga yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat dan sejumlah
elemen bangsa. Namun, perjalanan KPK juga tidak lepas dari berbagai tantangan dan
kontroversi, terutama terkait independensinya dalam menangani kasus-kasus korupsi yang
melibatkan pejabat tinggi pemerintahan. Meskipun telah ada upaya yang signifikan dalam
sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tantangan tetap ada. Isu-isu seperti
politisasi, lambannya proses hukum, dan ketidakseimbangan dalam penanganan kasus masih
menjadi perhatian. Namun, progres yang telah dicapai, terutama melalui lembaga KPK,
menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi terus berlanjut.

Melalui perjalanan panjang sejarah ini, tergambar gambaran bahwa pemberantasan


korupsi bukanlah perjuangan yang instan. Ini melibatkan komitmen yang kuat dari
pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan terus
menjalankan langkah-langkah pemberantasan yang terarah, Indonesia berpotensi untuk
membangun masyarakat yang lebih adil, transparan, dan bebas dari korupsi. Sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi cermin bagi bangsa ini untuk terus bergerak
maju menuju tatanan yang lebih baik (Harefa, 2022).

Selain upaya pemberantasan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga penegak
hukum, penting juga untuk menggarisbawahi peran edukasi dan kesadaran masyarakat dalam
memerangi korupsi. Pendidikan tentang etika, integritas, dan anti-korupsi sejak dini dapat
membentuk karakter yang kuat dan menjadikan masyarakat lebih peka terhadap tindak pidana
korupsi.

8
Inisiatif untuk meningkatkan literasi hukum di kalangan masyarakat juga menjadi kunci
dalam memastikan bahwa hak dan kewajiban terkait pemberantasan korupsi dipahami secara
luas. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat berperan aktif dalam
mendukung upaya pencegahan dan memberantas korupsi. Seiring dengan perjalanan sejarah
pemberantasan korupsi, penting untuk menggali akar permasalahan yang melatarbelakangi
munculnya praktik korupsi. Reformasi struktural dan administratif dalam aparat negara
menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang tidak menyediakan celah bagi tindakan
korupsi. Hal ini mencakup peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan reformasi birokrasi
untuk mengurangi peluang korupsi.

Perubahan kebijakan yang lebih menyeluruh dan terkoordinasi dapat membantu


mengatasi ketidaksempurnaan dalam sistem, sehingga korupsi tidak hanya dihukum secara
pribadi tetapi juga diperbaiki pada tingkat struktural. Reformasi ini perlu menjadi komitmen
jangka panjang untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien. Sejarah pemberantasan
tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa perlindungan bagi pelapor korupsi, atau
whistleblower, sangat penting dalam mendukung upaya pemberantasan (Kumayas, 2021).
Menciptakan mekanisme yang aman dan efektif untuk melaporkan tindak pidana korupsi
dapat memberikan insentif bagi individu yang memiliki informasi penting untuk berbicara
tanpa takut represalias. Perlindungan hukum dan identitas bagi whistleblower tidak hanya
akan membantu mengungkapkan lebih banyak kasus korupsi tetapi juga menciptakan budaya
di mana ketidaksetujuan terhadap praktik korupsi dihargai dan didukung.

Dalam menghadapi tantangan korupsi yang semakin canggih, penggunaan teknologi


dan keuangan digital menjadi penting. Penerapan teknologi seperti analisis data, kecerdasan
buatan, dan blockchain dapat membantu mendeteksi dan mencegah tindak pidana korupsi. Di
samping itu, pengembangan sistem keuangan digital yang transparan dan terawasi dapat
mengurangi peluang penyalahgunaan dana publik. Pemerintah dan lembaga terkait harus
beradaptasi dengan perubahan teknologi ini untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
Dengan memanfaatkan inovasi-inovasi ini, Indonesia dapat membangun sistem yang lebih
tangguh dan responsif terhadap tuntutan pemberantasan korupsi di era digital.

Dari pembahasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia mengajarkan kita bahwa upaya ini tidak boleh berhenti.
Perjalanan menuju masyarakat yang adil dan bermartabat memerlukan komitmen, kerjasama,
dan inovasi dari semua pihak terkait. Dengan terus memperkuat landasan hukum,

9
memperbaiki sistem administratif, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memanfaatkan
teknologi, Indonesia dapat melangkah maju sebagai negara yang bersih dari korupsi. Sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia adalah cerita tentang perjuangan, harapan, dan komitmen
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana integritas dan transparansi menjadi
pilar utama pembangunan.

2.2 Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi Dalam Perundang Undangan Korupsi

Sejarah latar belakang lahirnya delik korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia


mencerminkan evolusi hukum yang mencoba menanggapi dan mengatasi gejala korupsi yang
telah mengakar dalam struktur pemerintahan sejak masa kerajaan. Dalam tulisan ini, kita
akan mengupas perjalanan hukum yang mengatur tindak pidana korupsi, dari UU Nomor 31
Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 hingga perubahan signifikan dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan menjadi UU No. 1 Tahun
2023 tentang KUHP pada tahun 2023 (Hayy Nasution & Lakshana, 2022).

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia tidak dapat dipahami tanpa menggali


akar permasalahan yang telah ada sejak masa kerajaan. Pada masa tersebut, perilaku korupsi
sudah muncul dalam bentuk pungutan, seperti pajak atau upeti, yang memaksa rakyat. Ini
menciptakan dasar untuk praktek-praktek korupsi yang kemudian terus berkembang seiring
berjalannya waktu. Perilaku korupsi di masa kerajaan memunculkan kesadaran akan
pentingnya regulasi yang jelas dan sanksi yang tegas untuk menanggapi tindakan yang
merugikan masyarakat dan merusak integritas pemerintahan.

Perjalanan pemberantasan tindak pidana korupsi secara resmi dimulai dengan


dikeluarkannya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. UU ini menjadi
tonggak penting dalam upaya pemerintah Indonesia untuk menanggulangi korupsi. Dalam
undang-undang ini, dirumuskan 30 jenis tindak pidana korupsi dari 13 Pasal yang mengatur
berbagai aspek, mulai dari suap, gratifikasi, hingga pencucian uang. Keberadaan UU ini
menandai keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan memberikan dasar hukum
yang kuat untuk menangani pelaku korupsi. Namun, tantangan tetap ada dalam implementasi
dan penegakan hukum yang konsisten.

Pada tahun 2023 terjadi perubahan signifikan dengan diaturkannya delik korupsi
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kemudian disahkan
menjadi UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Perubahan ini mengubah status tindak pidana

10
korupsi dari extraordinary crime menjadi tindak pidana umum (Helena Hestaria et al., 2022).
Implikasi dari perubahan ini perlu dicermati secara mendalam. Apakah perubahan status ini
akan membawa dampak positif dalam penanganan kasus korupsi atau justru membuka celah
untuk perlakuan yang kurang tegas terhadap pelaku korupsi. Penilaian ini perlu dianalisis
dengan melibatkan perspektif hukum, sosial, dan politik.

Meskipun telah ada landasan hukum yang kuat tantangan tetap menghadang dalam
implementasi pemberantasan korupsi. Kurangnya koordinasi antarlembaga, isu politisasi, dan
lambannya proses hukum masih menjadi hambatan yang perlu diatasi. Progres yang telah
dicapai, terutama melalui lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan
bahwa perubahan hukum hanya satu sisi dari koin yang kompleks. Penting untuk melakukan
tinjauan mendalam terhadap faktor-faktor penghambat dan mencari solusi yang lebih efektif
agar implementasi hukum pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih optimal.

Seiring dengan perubahan hukum, penting juga untuk membangun fondasi


pencegahan korupsi melalui pendidikan dan kesadaran masyarakat. Menciptakan budaya anti-
korupsi melibatkan kerjasama semua pihak, termasuk lembaga pendidikan, masyarakat sipil,
dan sektor swasta. Dengan meningkatkan literasi hukum dan memberikan pengetahuan
tentang dampak negatif korupsi, masyarakat dapat menjadi agen perubahan yang aktif
(Muqorobin & Arief, 2020).

Dalam konteks era digital, pemanfaatan teknologi menjadi penting dalam mendukung
pemberantasan korupsi. Sistem keuangan digital yang transparan, analisis data, dan teknologi
kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mendeteksi dan mencegah tindak pidana korupsi.
Pemerintah dan lembaga terkait harus terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi
untuk menjaga ketangguhan sistem pemberantasan korupsi. Sejarah latar belakang lahirnya
delik korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang
dalam upaya memberantas gejala ini. Dari masa kerajaan hingga perubahan status tindak
pidana korupsi dalam RKUHP, Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam memerangi
korupsi. Namun, tantangan tetap ada, dan perlu ada upaya bersama dari semua pihak untuk
menciptakan masyarakat yang adil, transparan, dan bebas dari korupsi.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sejarah dan perkembangan latar belakang tindak pidana korupsi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia membentang sebagai kisah perjuangan panjang untuk
menciptakan masyarakat yang bersih, adil, dan bermartabat. Dari masa kerajaan hingga
perubahan signifikan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP),
upaya pemberantasan korupsi terus menjadi fokus utama pemerintah dan lembaga penegak
hukum. Perjalanan ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk melawan praktek-praktek
korupsi yang merugikan masyarakat dan mengancam fondasi keadilan. UU Nomor 31 Tahun
1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 telah menjadi tonggak penting dengan merumuskan 30
jenis tindak pidana korupsi, menciptakan landasan hukum yang kuat untuk menindak pelaku
korupsi.

Perubahan status tindak pidana korupsi dalam RKUHP menjadi UU No. 1 Tahun 2023
tentang KUHP pada tahun 2023 membuka diskusi baru. Transformasi ini menjadi titik pijak
yang memerlukan tinjauan kritis terkait implikasi dan dampaknya terhadap efektivitas
pemberantasan korupsi di Indonesia. Penting untuk terus memperkuat kerangka hukum,
memperbaiki sistem administratif, dan memastikan implementasi kebijakan pemberantasan
korupsi yang konsisten dan adil. Tantangan-tantangan seperti politisasi, kurangnya koordinasi
antarlembaga, dan lambannya proses hukum harus diatasi secara sistematis.

Pendidikan dan kesadaran masyarakat memiliki peran krusial dalam membangun


fondasi pencegahan korupsi. Masyarakat yang dilengkapi dengan pengetahuan tentang
kerugian korupsi dan nilai-nilai integritas akan menjadi kekuatan positif yang dapat
membantu memerangi praktek-praktek korupsi. Di era digital pemanfaatan teknologi dan
inovasi menjadi kunci. Sistem keuangan digital yang transparan, analisis data, dan teknologi
kecerdasan buatan dapat meningkatkan deteksi dan pencegahan tindak pidana korupsi.
Pemerintah dan lembaga terkait harus terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi
untuk menjaga ketangguhan sistem pemberantasan korupsi.

3.2 Saran

12
Sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebuah perjalanan
yang menggambarkan tekad bangsa ini untuk melawan praktek-praktek yang merugikan.
Dengan menggali akar permasalahan, memperkuat landasan hukum, dan melibatkan semua
elemen masyarakat, Indonesia memiliki potensi untuk membangun masyarakat yang bersih,
adil, dan bermartabat. Tantangan dan perubahan adalah bagian dari evolusi ini, dan dengan
keterlibatan semua pihak, masa depan tanah air dapat membentuk narasi pemberantasan
korupsi yang lebih kuat dan berkelanjutan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alhakim, A., & Soponyono, E. (2019). Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 1(3), 322–336. https://doi.org/10.14710/jphi.v1i3.322-336
Harefa, A. (2022). Problematika Penegakan Hukum Pidana Mati Pada Tindak Pidana Korupsi
dalam Perspektif Perlindungan HAM. Jurnal Panah Keadilan, 1(2), 105.
Hayy Nasution, A., & Lakshana, I. G. A. A. (2022). Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 Ayat (1) Jo. Pasal 6 Ayat (1) dan Undang-Undang
No.19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 1 Ayat (6) dalam Proses
Peradilan Pidana Indonesia. Focus, 3(2), 92–101. https://doi.org/10.37010/fcs.v3i2.830
Helena Hestaria, Made Sugi Hartono, & Muhamad Jodi Setianto. (2022). Tinjauan Yuridis
Penerapan Prinsip Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka
Penyelamatan Keuangan Negara. Jurnal Komunitas Yustisia, 5(3), 112–128.
https://doi.org/10.23887/jatayu.v5i3.51892
Kumayas. (2021). EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-
UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 KAITANNYA DENGAN HAK ASASI
MANUSIA. Lex Crimen, X(2), 235–242.
Muqorobin, M. K., & Arief, B. N. (2020). Kebijakan Formulasi Pidana Mati dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Masa Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) Berdasarkan Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, 2(3), 387–398. https://doi.org/10.14710/jphi.v2i3.387-
398
Naufaliz, A. (2022). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABORATOR
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN. Jurnal Verstek, 10(1), 1–15.
http://dx.doi.org/10.1016/j.biochi.2015.03.025%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/
nature10402%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/nature21059%0Ahttp://
journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127%0Ahttp://
dx.doi.org/10.1038/nrmicro2577%0Ahttp://
Rahmat, D. (2020). Formulasi Kebijakan Pidana Denda Dan Uang Pengganti Dalam
Penegakan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan
Keadilan, 8(1), 79. https://doi.org/10.29303/ius.v8i1.686
Syamsuddin, A. R. (2020). Pembuktian Penyalahgunaan Wewenang Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa. Jambura Law Review, 2(2), 161–181.
https://doi.org/10.33756/jlr.v2i2.5942

14

Anda mungkin juga menyukai