PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“SISTEM KONSTITUSI”
DOSEN PENGAMPU : A. AHMAD TENRILIWENG, S.ST., M. Si
OLEH
KELOMPOK 3
ROSMUNDA MOGO (K021221001)
A. SITI NURHALIZAH MS (K021221016)
PUTRI DWI MUFIDAH (K021221023)
TRI HANDAYANI (K021221032)
NABILAH NUR INAYAH (K021221037)
TITA ALIFIYAH (K021221045)
Puji syukut kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “SISTEM KONSTITUSI”
dengan batas waktu yang telah ditentukan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Bapak A. Ahmad Tenriliweng, S.ST., M. Si selaku Dosen Pendidikan Kewarganegaraan yang
telah memberikan tugas kepada kami untuk menulis makalah ini guna memperluas
pengetahuan dan pemahaman kami tentang Pendidikan Kewarganegaraan.
Makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui mengenai konsep, realita,
masalah, dan solusi pada system konstitusi di Indonesia terkhususnya terkait mengenai
Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................
1.3. Tujuan...............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................
3.2. Saran................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sacral dan tidak dapat diubah, akhir-
akhir ini mengalami beberapa kali revisi. Permohonan amandemen UUD 1945 pada
hakikatnya merupakan permohonan penataan Kembali tata kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atau, dengan kata lain, sebagai upaya untuk memulai “Kekompakan
Sosial” baru antara rakyat dan pemerintah menuju tujuan yang dianut bersama dan
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusi). Amandemen konstitusi ini juga
berupaya mengubah system dan kondisi negara otoriter menjadi demokrasi dengan
ikatan yang harmonis antar lembaganya. Akibatnya, mengubah konstitusi menjadi isu
yang mendesak. Hal ini menjadi syarat dan krusial bagi demokratisasi suatu negara.
Realitas yang muncul saat itu sebenarnya telah mengungkapkan keinginan
pemersatu seluruh lapisan masyarakat untuk mengubah UUD 1945. Elemen yang
menarik dan penting dari proses ini adalah bagaimana melaksanakan komitmen itu,
siapa yang memiliki kekuatan untuk mencapainya, dan dalam kondisi apa
transformasi itu terjadi. Oleh karena itu, dapat ditentukan apakah hasil-hasil tersebut
secara akurat mencerminkan keinginan rakyat dan apakah itu mempengaruhi
bagaimana Indonesia akan berkembang di masa depan. Nilai-nilai keadilan social,
kesejateraan manusia, dan pluralism tercermin di luar Indonesia yang demokratis dan
pluralistic. Kita akan dapat menentukan apakah formulasi penyesuaian yang
dihasilkan benar-benar dapat dianggap lebih baik dan lebih sempurna dengan melihat
Kembali hasil dari perubahn tersebut. Sejauh mana perumusan perubahan telah
menangkap kensensus umum. Perubahan yang membentuk landasan fundamental dan
berdampak signifikan terhadap perubahan yang mnegikutinya. Karena konstitusi
dapat dipandang sebagai titik ketika sebuah pergeseran berhasil.
4
4. Bagaimana Rancangan Undang-Undnag Pidana?
5. Bagaimana Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP)?
1.3. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
Korupsi secara harfiah berarti kejahatan yang merusak. Padahal ketika kita
berbicara mengenai korupsi, kita bisa menemukan kenyataan seperti itu karena
korupsi mencakup dimensi moral, sifat situasi korupsi, status hadiah, faktor ekonomi
dan politik, dan penempatan dalam layanan keluarga dan kelompok, serta posisi
otoritas. Dari sini secara harfiah kita daoat menyimpulkan bahwa istilah korupsi
sebenarnya memiliki arti yang sangat luas.
Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi menyebabkan
hilangnya peoses demokrasi dan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Dalam
perkembangannya, korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan merajalela, karena
terjadi di mana-mana baik di lembaga pemerintah amaupun non pemerintah.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan memerlukan upaya pencegahan
dan penyelidikan yang luar biasa pula. Dibutuhkan tekad dan upaya yang kuat dari
seluruh pelosok tanah air, baik pejabat pemerintah maupun masyarakat luas pada
umumnya. Seperti yang terjadi sekarang ini, kebanyakan orang hanya sibuk
memfitnah dan meneriaki tindakan dan kasus korupsi mereka di Indonesia. Maka dari
itu diperlukan langkah-langkah lebih konkrit yang harus dilakukan di seluruh lapisan
masyarakat untuk mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karena itu, Komisi
Pemberantasan Korupsi sejk awal diberkahi dengan kekuatan luar biasa untuk
mengungkap konspirasi keji dan menembus benteng-benteng korupsi yang paling
kuat sekalipun.
Di Indonesia, badan khusus pemberantasan korupsi dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Korupsi
yang merupakan lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas tanpa adanya pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi Pemberatasan Korupsi ini memeliki empat bidang , yakni :
a. Deputi Bidang Pencegahan
b. Deputi Bidang Penindakan
c. Deputi Bidang Informasi dan Data
d. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
6
Kasus korupsi di Indonesia masih ada. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2021,
Indonesia menempati urutan ke-96 dari 180 negara korupsi di dunia. Sementara itu,
Indeks Tindak Pidanan Korupsi berada pada kisaran 3,88% pada tahun 2021, menurut
Studi Badan Pusat Statistik (BPS). Korupsi adalah kejahatan kolosal yang
mempengaruhi masyarakat dan merusak bangsa. Contoh kasus korupsi terbesar di
Indoensia adalah kasus Jiwasraya, Asabri, dan Bank Century.
Hingga Juni 2022, berbagai upaya telah dilakukan oleh KPK untuk menangani
tindak pidana korupsi. Dalam situs resmi KPK melaporkan bahwa pada paruh pertama
tahun 2022, KPK melakukan 66 penyelidikan, 60 penyidikan, 71 dakwaaan, 59 kasus,
dan 51 putusan. KPK telah menetapka 68 tersangka dari total 61 surat perintah
penyelidikan (sprindik). Secara khusus, jumlah saat ini di babak pertama adalah 99
kasus, di mana 63 adalah carry over, 36 kasus adalah baru, dan 61 spindic
dikeluarkan.
7
memiliki beberapa prioritas yang dimana diantaranya fokus pada area. Fokus area
yang dimaksud di sini yakni fokus pada Sumber Daya Alam (SDA) yang bertujuan
untuk menutup kerugian besar pemerintah akibat korupsi.
RUU Cipta Kerja yang bertujuan untuk menarik investasi dan memperkuat
perekonomian nasional ternyata mendapati banyak kritikan dari berbagai pihak,
terutama buruh. Permasalahan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus Law ialah
terdapat penghapusan cuti melahirkan serta Pemberian Pesangon Kepada Pekerja
8
Yang Di PHK. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa harus ada cuti bagi wanita yang melahirkan dan pemutusan
hubungan kerja ialah pemutusan hubungan kerja yang disebabkan satu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan
pengusaha. Cuti melahirkan ialah hak bagi wanita, sedangkan pesangon merupakan
pembayaran kepada pekerja akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja. Kedua hal
ini seharusnya tertulis didalam kontrak kerja sebagai dasar adanya perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha. Permasalahan lainnya ialah para buruh menolak
adanya pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, PWKT atau
kontrak seumur hidup tidak memiliki batas waktu kontrak, dan waktu kerja
eksploitatif. Secara yuridis permasalahan ini akan semakin mempersempit ruang
gerak para buruh untuk memperjuangkan hak-hakya dan memberikan dominasi kaum
pengusaha untuk melakukan eksploitasi terhadap buruh.
Namun pemerintah tak hanya diam, mereka justru menegaskan bahwa dengan
adanya omnibus law ini akan mendorong para buruh untuk bekerja lebih produktif
dan dapat melindungi para pekerja. Dijelaskan juga bahwa RUU Cipta kerja ini
bertujuan untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah yang menghambat
peningkatan dari suatu investasi dan pembukaan lapangan kerja dengan dilakukannya
sistem birokrasi dan perizinan.
Didalam RUU Cipta Kerja juga sudah diatur bonus yang akan diterima oleh buruh
berbasis kinerja kerja mereka. Dijelaskan kembali juga bahwa RUU Cipta kerja tidak
menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah teratur didalam UU
ketenagakerjaan.
9
Dunia dikejutkan oleh pandemi COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) yang
melanda pada tahun 2020. Penyebaran Corona Virus Disease 2019 yang telah
merenggut nyawa di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia dan menimbulkan
kekhawatiran bagi Kesehatan masyarakat luas. Pandemi COVID-19 yang berdampak
parah terhadap perekonomian pada sebagian besar negara di dunia, termasuk
Indonesia juga telah mengganggu aktivitas perekonomian secara signifikan.
10
Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) memerlukan
kebijakan dan Tindakan yang luar biasa (extraordinary) di bidang keuangan negara,
termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, serta sector keuangan, yang
harus diambil oleh Pemerintah dan instansi terkait dalam rangka penanggulangannya.
Hal ini antara lain disebabkan oleh menurunnya penerimaan negara dan
ketidakpastian ekonomi global.
Maka dari itu, BPK memberikan sejumlah rekomendasi atau solusi kepada
pemerintah berdasarkan hasil dan kesimpulan tersebut. Diantaranya Menyusun
strategi luas rencana kerja Gugus Tugas COVID-19 yang lebih jelas dan terukur serta
menghasilkan daftar barang dan jasa yang dibutuhkan untuk penanganan COVID-19.
11
pemenuhan dan pelaporan pendistribusian alat Kesehatan, serta penetapan kewajaran
harga mitra.
RUU KUHP juga merupakan salah satu rancangan UU yang disusun dengan
tujuan untuk memperbaiki atau meng-update KUHP yang berasal dari Wetboek van
Srafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum,
keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
pada saat ini. Selain itu juga, RUU disusun dengan tujuan untuk mengatur
keseimbangan antara kepentingan umum,negara atau kepentingan tersendiri, antara
melindungi seorang pelaku terhadap pelaku dan juga korban atas tindakan pidana,
antara unsur perbuatan dan juga sikap batin, antara hukum tertulis dan hukum yang
hidup dalam masyarakat, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.
RUU KUHP juga telah disusun pada tahun 1968 dan juga mempunyai 628
pasal didalamnya. Tetapi karna di dalam penyusunannya selalu disesuaikan
perkembangan kehidupan bermasyarakat selama lebih dari 50 tahun, maka tidak
dipungkiri ada beberapa pasal yang mungkin dianggap kurang sesuai dengan
kehidupan masyarakat milenial saat ini dan dianggap sebagai pasal-pasal
kontroversial.
Tujuan isu krusial dalan RKUHP akan di bahas pada juli 2019
Hukum Adat
- Pasal 2 ayat 2
- Pasal 12 ayat 2
- Pasal 618
Pidana Mati
- Pasal 64 huruf c
12
- Pasal 67
Kesusilaan
- Pasal 426
- Pasal 433
- Pasal 621
- Pasal 622
- Pasal 623
Pidana Maksimum seumur hidup atau sampai mati
Korupsi
- Pasal 624
- Pasal 638
- Pasal 626
Maksimal 20 tahun atau seumur hidup
Narkotika
- Pasal 630
- Pasal 631
- Pasal 634
- Pasal 635
- Pasal 645
Maksimal 20 tahun atau seumur hidup atau mati
Ketentuan Peralihan
13
- Pasal 426
Penggantian atau penyamaan istilah dalam KUHP
Ketentuan Penutup
- Pasal 643
- Pasal 645
Penetapan KUHP paling lama 3 tahun sejak disahkan dan pemberlakuan terhadap UU
pengadilan HAM,UU Terorisme, UU Tipikor, Dan UU pencucian uang.
14
Pembelaan terpaksa adalah salah satu diantara alasan pembenar yang
ketentuannya diatur dalam pasal 49 ayat 1 KUHP. Dengan demikian , pembelaan
terpaksa dapat dijadikan sebagai pembelaan yang sah di muka pengadilan dan sebagai
pertimbangan hakim dalam memberikan putusan suatu kasus tindak pidana. Seorang
hakim menyelidiki kasus pidana sebelum persidangan untuk melihat apakah orang
tersebut telah dihukum sampai berdasarkan keyakinan hakim sendiri dan bukti.
Hakim harus memiliki dasar berdasarkan bukti dan keputusan yang tegas untuk
memutuskan perkara pidana yang diajukan kepada mereka dan memperhatikan serius
nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi cipta, rasa, karsa dan karya
seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan
semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tata masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur berdasarkanketuhanan, kemanusiaan, kesatuan,
kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial. Pengusulan mengenai RUU HIP
inimenuai pro dan kontra dari berbagai kalangan dan masyarakat umum.Beberapa
kalangan menilai bahwa tujuan RUU ini sebagaimana disebutkan di dalam
naskah akademik masih belum jelas dan tidak memilik urgensi yang tepat
15
Haluan Ideologi Pancasila dijelaskan sebagai pedoman bagi cipta, rasa, karsa,
dan karya seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial
dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tata
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan,
kesatuan, kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial.
Faktor lain yang juga menjadi polemik adalah dasar hukum dari RUU
HIP yang tidak mencantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MRR) NoXXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI),
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan
Paham atau Ajaran Komunis/ Marxisme-Leninisme.
16
dan kebutuhan masyarakat.Oleh karena itulah, Pancasila dijadikan sebagai dasar
dan cita-cita hukum Negara dan menempati posisi paling tinggi
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sacral dan tidak dapat diubah, akhir-
akhir ini mengalami beberapa kali Amandemen. Amandemen konstitusi ini berupaya
mengubah system dan kondisi negara otoriter menjadi demokrasi dengan ikatan yang
harmonis antar lembaganya. Akibatnya, mengubah konstitusi menjadi isu yang
mendesak. Hal ini menjadi syarat dan krusial bagi demokratisasi suatu negara. Di
Indonesia, telah terjadi berbagai macam masalah yang dihadapi, baik itu terkait
korupsi, RUU Cipta Kerja, Tindak pidana, dan Haluan Ideologi Pancasila. Namun
tidak sedikit pula di antaranya masih ada beberapa masalah yang belum menemukan
solusi yang tepat terkait masalah tersebut.
3.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh dari
kata sempurna, kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan tentang
makalah dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat lebih dipertanggung
jawabkan.
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Neununy, D. J. (2021). Urgensi Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja) Terhadap Hak
Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir. Balobe Law Journal, I(2), 119-131.
Sandi, F. (2020). 7 Alasan Buruh Tolak Omnibus Law: Benar PHK tak Ada Pesangon?.
Diakses pada 15 Oktober 2022, dikutip dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201005131005-4-191944/7-alasan-buruh-
tolak-omnibus-law-benar-phk-tak-ada-pesangon
Syahputri, S. F., Widya, E. A., Nabiela, N., Attarsyah, A. A., & M. Pimada, L. (2021).
Perspektif Ekonomi: Stimulus Pandemi Covid-19Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020. Journal of Economic, Management, Accounting and Technology
(JEMATech), Vol. 4, No. 2, 139-142.
Pebrianto, F., & Silaban, M. W. (2021). BPK Ungkap Lagi Dana Rp 2,94 Triliun Covid-19
yang Bermasalah, Apa Saja?. Diakses pada 14 Oktober 2022, dikutip dari
https://bisnis.tempo.co/read/1505955/bpk-ungkap-lagi-dana-rp-294-triliun-covid-19-
yang-bermasalah-apa-saja?page_num=2:
19
Bahri, S. (2021). Problema dan Solusi Peradilan Pidana yang Berkeadilan dalam Perkara
Pembelaan Terpaksa. Jurnal Wawasan Yuridika, vol. 5, No. 1, 132-134.
20