Anda di halaman 1dari 17

COVER

MAKALAH
TANTANGAN DAN HAMBATAN PEMBERANTASAN
KORUPSI

DOSEN PEMBIMBING:
DR. Maryati Sutarno, S.Pd, S.ST, MARS

Disusun Oleh:
Dewi Wulandari (210604399)
Fany Marsiska (210604106)
Imelda Damanik (210604003)
Intan Nurmala (210604114)
Putri Nurmala Sari (210604132)
Qoriany Muoriz (210604133)
Rasiti Ragilia (210604135)
Winda Mutiasyah (210604146)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTARA


PROGRAM STUDI
SARJANA KEBIDANAN
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Tantangan dan Hambatan Pemberantasan Korupsi ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas DR. Maryati Sutarno, S.Pd, S.ST, MARS pada Mata Kuliah Pendidikan Anti
Korupsi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang korupsi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu DR. Maryati Sutarno, S.Pd,
S.ST, MARS selaku dosen Pendidikan Anti Korupsi yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 12 September 2021

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH...............................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................4
C . TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN...................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. PENGERTIAN KORUPSI...........................................................................5
B. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI..................................................6
C. TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI.......................................7
D. HAMBATAN PEMBERANTASAN KORUPSI.......................................10
BAB III PENUTUP...............................................................................................13
A. KESIMPULAN...........................................................................................13
B. SARAN.......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan
Pancasila sebagai landasan falsafah negara. Indonesia terdiri dari berbagai
macam agama, yaitu Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam, dan Konghuchu
sehingga setiap orang kebanyakan menilai orang dari segi sosial dan
agamanya. Indonesia sekarang disebut negara kebarat-baratan karena sikap
moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai menurun dan ini
termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan
generasi muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik.
Jika seperti itu maka kelanjutan dari pada negara ini tidak akan bisa
dibayangkan, jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan
moral yang kurang baik. Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada
hasilnya, dari mulai Orde Baru sampai Era Reformasi Pancasila yang bersifat
demokratis seperti saat ini Indonesia sudah menerima hasilnya berupa
pemerintahan yang para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan
persepsi sendiri dan mementingkan diri sendiri atau golongan sehingga rakyat
kecil menjadi bingung dan terjadi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya.
Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi
sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan negara ini, jika pemerintah dan
para ahli politik saling bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois
untuk balik modal dalam kampanye yang dilakukan dan bukan semata-mata
karena rakyat, sikap ini sangat amat bahaya sekali.
Fakta yang ada di Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai
dari hukum, lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, petugas pajak dan dari
lembaga independen sekalipun bisa dibeli. Title atau julukan sebagai negara
terkorup tentunya sangat memanaskan telinga untuk didengar karena pasalnya

1
Indonesia telah kalah dengan China, karena China kini sudah bisa untuk
memperbaiki diri.
Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik
sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam
kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai
upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis
kejahatan korupsi. Karena dalam masalah pembuktian dalam tindak pidana
korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana
korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam
perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum
untuk tetap konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab.
Korupsi bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari,
korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh
masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri
atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan (KPK, 2006: 1).
Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya
memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif. Politisi tidak lagi
mengabdi kepada konstituennya. Partai politik bukannya dijadikan alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang untuk
mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi merupakan
masalah yang sangat serius karena tindak pidana korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat,
bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa
karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.
Harus disadari dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian negara
dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana

2
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).
Dengan maraknya korupsi yang ada di Indonesia, maka dibentuklah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
telah dijelaskan mengenai sanksi-sanksi dalam berbagai macam tindak
korupsi. Pada kenyataannya masih saja banyak ditemukan kasus korupsi,
seakan-akan mereka tidak takut dengan hukuman atau sanksi yang akan
mereka dapat setelah terbukti sebagai koruptor nantinya.
Hambatan dan tantangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga anti korupsi yang ditakuti oleh koruptor tidak hanya sebatas pada
pengurangan kewenangan, pembatasan anggaran dan sumber daya manusia,
tetapi juga head to head antar lembaga penegak hukum sebagaimana yang
terjadi dalam kasus ”cicak versus buaya”. Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diibaratkan cicak dan Kepolisian Republik Indonesia sebagai buaya
telah menimbulkan konflik kelembagaan antar penegak hukum. Berbagai
gerakan sosial pun muncul dalam menyikapi masalah tersebut, seperti adanya
aksi ”Save KPK”, ”Save Polri”, dan terakhir ”Save Indonesia”. Termasuk
keterlibatan Presiden di era Susilo Bambang Yudoyono maupun di era Jokowi
sekarang yang masing-masing membentuk tim yang kemudian memberikan
rekomendasi solusi.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari
tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan
aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-
rambu berupa peraturan-peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1998,
kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian yang paling monumental
dan strategis, Indonesia memiliki UU Nomor 30 Tahun 2002, yang menjadi
dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan

3
demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan
nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan dan partisipasi masyarakat
tersebut akan semakin menjauhkan sikap dan pikiran kita dari tindak korupsi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Apa itu Komisi Pemberantasan Korupsi?
3. Apakah tantangan dalam pemberantasan korupsi?
4. Apakah hambatan dalam pemberantasan korupsi?

C . TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN


Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. Memenuhi tugas pada mata kuliah Anti Korupsi
2. Mendeskripsikan tentang pengertian korupsi
3. Mendeskripsikan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
4. Mendeskripsikan tentang tantangan dalam pemberantasan korupsi
5. Mendeskripsikan tentang hambatan dalam pemberantasan korupsi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KORUPSI
Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti hal
merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah
corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan
kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga menamai
pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun menamai pelaku
korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).

Berdasarkan kajian etimologis, kata “korupsi” terdapat dalam Kamus


Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mempunyai arti penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain, dan penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan
pribadi. Pengertian tersebut dapat dimaknai sebagai pola kejahatan yang
direncanakan dan berdampak luas, tidak hanya orang pribadi tetapi juga bisa
bersifat kelompok.

Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-beda.


Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan penggunaan
istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau kebusukan segala
sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan penghancuran bentuk
dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan keutuhan, kerusakan; secara
moral, korupsi berarti penyelewengan atau penghancuran integritas dalam
pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan gratifikasi; dan secara sosial,
korupsi berarti penjungkirbalikan segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian
misalnya penyelewengan lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23)
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukum,
2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

5
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi diantaranya:


1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)
2. Penggelapan dalam jabatan,
3. Pemerasan dalam jabatan,
4. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara), dan
5. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah


penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-
beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

B. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang memerlukan upaya luar biasa (extra ordinary effort) pula untuk
memberantasnya. Oleh karena kejahatan korupsi ini mempunyai dampak yang
sangat luas dan dapat merugikan berbagai aspek, maka diperlukan upaya
pencegahan sejak dini. Di Indonesia, sebagai suatu langkah maju dalam
pemberantasan korupsi, berdasarkan Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dibentuklah lembaga
yang secara khusus menangani hal-hal yang menyangkut korupsi, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

6
KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002). KPK dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi (Pasal 4).

KPK berperan sebagai pendorong atau sebagai trigger mechanism agar


upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Adapun sebagaimana tertuang
dalam Pasal 6 UU No. 19 Tahun 2019, KPK bertugas melakukan:
1. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana
korupsi.
2. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan
pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas
melaksanakan pelayanan publik.
3. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
4. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
5. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
6. Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

C. TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI


Tantangan untuk KPK menghadapi realita dan fenomena korupsi yang
kuat di pusat, dan desentralisasi korupsi di daerah yang seringkali secara
langsung merugikan masyarakat, maka KPK sesungguhnya mendapat
tantangan yang tidak kecil. Selama ini KPK sudah berhasil menangani
sejumlah kasus korupsi besar yang dalam pandangan publik tidak mungkin
pernah terpikirkan akan bisa ditangani tanpa adanya KPK, seperti korupsi
yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur Bank Indonesia, anggota
DPR/DPRD, Kepala Daerah, bahkan bagian dari keluarga Presiden RI.

7
Beban KPK dari waktu ke waktu semakin berat, berbagai tantangan
internal dan eksternal bersiap untuk mengadang kerja pemberantasan korupsi,
tantangan tersebut di antaranya:

1. Konsolidasi oligarkhi, desentralisasi aktor dan wilayah korupsi.


2. Tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.
3. Revisi UU KPK.
4. Presiden yang tidak berpihak kepada KPK dan upaya pemberantasan
korupsi.
5. Korupsi politik oleh oligarki nasional dan lokal.
6. Aparat penegak hukum yang masih korup.
7. Pembentukan hak angket yang bertujuan untuk menghambat kinerja
KPK.
8. Memasukkan orang-orang bermasalah kedalam instansi KPK.

Dalam perjalanannya, bentuk-bentuk tantangan berupa serangan balik


koruptor memiliki berbagai variasi, baik itu dilakukan melalui jalur-jalur
hukum maupun nonhukum. Di bawah ini akan dipaparkan daftar panjang
serangan balik koruptor kepada KPK.
Selama kiprahnya dalam memberantas korupsi di Indonesia, beberapa
pimpinan KPK pernah mengalami kriminalisasi. Pada tahun 2009 dua
pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Candra Hamzah dikriminalisasi
dengan dijerat pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 421 KUHP
Tentang Penyalahgunaan Wewenang. Rekayasa krimanalisasi Bibit-Candra
benar-benar terkuak ketika rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan
sejumlah orang diputar di MK. Rekaman yang berdurasi 4,5 jam itu terdiri
dari 9 bagian yang berisi, mulai dari Anggodo meminta bantuan Kejaksaan
dalam mengkriminalisasi Bibit-Candra, sampai rencana pembunuhan
terhadap Chandra Hamzah.
Tantangan apa sebenarnya yang sedang dihadapi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan agenda
yang patut diistimewakan oleh kandidat pimpinan KPK, pasalnya tanpa
paham tantangan riilnya, KPK akan kesulitan berperang terhadap koruptor.

8
Ibarat pasukan yang hendak terjun ke medan perang, pimpinan pasukan KPK
tentukan wajib tahu medan yang hendak digunakan sebagai ajang
pertempuran serta musuh-musuh yang akan dihadapinya, kecuali pimpinan
hanya mau menuai kekalahan memalukan. Dari medan yang diketahuinya ini,
10 pimpinan KPK produk seleksi bisa menyusun atau merumuskan strategi
yang ampuh untuk berusaha memenangkan pertempuran dan mengalahkan
lawan-lawannya.
Kendala-kendala khususnya di bidang hukum, antara lain:
1. KPK dibenarkan untuk memeriksa rekening bank seseorang jika orang
tersebut telah berstatus ”tersangka”. Berarti sebelum membuka rekening
bank orang tersebut, penyidik sudah harus mempunyai alat bukti yang
kuat, sementara salah satu sumber yang strategis untuk dapat dilacak,
apakah seseorang ada potensi melakukan korupsi atau tidak, justru
melalui rekening banknya. Padahal dalam Undang-Undang No. 30/2002,
KPK tidak dibenarkan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan) sehingga jika seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka,
penyidik harus yakin 99% bahwa tersangka tersebut akan dijatuhi
hukuman oleh Majelis Hakim.
2. Koruptor dewasa ini sangat canggih sehingga kalau mereka merasa
sudah dicurigai oleh instansi penegak hukum, secepat kilat mereka akan
menghilangkan jejak. Dalam konteks ini, KPK dibenarkan untuk
menyita dokumen atau aset tersangka yang terkait dengan dugaan
korupsi, tetapi proses penggeledahan harus seizin Pengadilan Negeri
(PN). Jika izin dari PN dikeluarkan lewat dari sehari saja, pasti tersangka
koruptor sudah menghilangkan berkas atau bukti-bukti dokumen yang
akan menjerat dirinya.
3. KPK diperintahkan oleh Undang-Undang untuk memberi perlindungan
hukum kepada saksi pelapor, tetapi sampai saat ini belum ada Undang-
Undang perlindungan saksi sehingga dengan alasan pencemaran nama
baik, seorang saksi dapat disomasi atau ditahan oleh pejabat terkait. Atas
permintaan KPK, Kapolri telah mengeluarkan surat edaran kepada para
Kapolda agar tuduhan atau somasi terhadap saksi pelapor kasus korupsi

9
tidak diproses sampai masalah pokok diselesaikan. Namun, tetap saja
para pelapor di tingkat kabupaten mengalami intimidasi dan perlakuan
tidak menyenangkan dari aparat atau teman-teman koruptor di daerah
terkait. Keadaan ini tentu memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
yang mau terlibat secara langsung dalam pelaporan kasus dugaan
korupsi.
4. Sebagai lembaga pemberantas korupsi, sesuai dengan namanya, maka
pegawai KPK yang terlibat langsung dalam proses ini adalah penyidik.
Namun, sesuai dengan KUHAP, penyidik harus berasal dari kepolisian
atau kejaksaan, sehingga dengan sendirinya KPK mengalami kendala
dalam memeroleh penyidik, yang selain masalah jumlah juga harus
berkualitas sesuai dengan kriteria KPK sendiri. Tentu KPK dapat secara
leluasa melakukan rekrutmen sendiri untuk mendapatkan penyidik sesuai
dengan yang diperlukan jika keten-tuan KUHAP tersebut sudah diubah.
Atau Majelis Hakim TIPIKOR berani mengambil resiko dengan
mentolerir terobosan yang dilakukan KPK dalam hal rekrutmen penyidik
sendiri.

D. HAMBATAN PEMBERANTASAN KORUPSI


Upaya melakukan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang mudah.
Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi tetapi
masih terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan korupsi. Operasi
Tangkap Tangan (OTT) sering dilakukan oleh KPK, tuntutan dan putusan yang
dijatuhkan oleh penegak hukum juga sudah cukup keras, namun korupsi masih
tetap saja dilakukan. Hambatan dalam pemberantasan korupsi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Hambatan Struktural,
yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan
tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang
termasuk dalam kelompok ini diantaranya egoisme sektoral dan
institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya

10
untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional
secara keseluruhan serta berupaya menutup-nutupi penyimpangan-
penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan;
belum berfungsinya pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi
antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya
sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positif dengan
berbagai penyimpangan dan inefisiensi dalam pengelolaan kekayaan
negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.

2. Hambatan Kultural
yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang
berkembang di masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini di
antaranya masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran di antara aparatur
pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi;
kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran
dan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya
komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap
permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya
pemberantasan korupsi.

3. Hambatan Instrumental
yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen
pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya masih
terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga
menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di
lingkungan instansi pemerintah; keterbatasan personil KPK; belum
adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang
berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.)
yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota
masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; serta
sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi.

11
4. Hambatan Manajemen,
yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak
diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik (komitmen yang
tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya kurang
komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil
pengawasan; lemahnya koordinasi baik di antara aparat pengawasan
maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum;
kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; kurang
profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya
dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi,
serta tidak memadainya sistem.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara umum hambatan dan tantangan pemberantasan korupsi masih
sangat marak dan sulit diatasi. Institusi peradilan masih jadi objek permainan
koruptor. Koruptor sangat pandai memanfaatkan kesempatan. Banyak
diantaranya yang bisa digiring ke proses peradilan, namun saat peradilan
kurang menguntungkannya, segala cara dilakukan dan digunakan untuk
mengelabui aparat penegak hukum, seperti mulai dari pura-pura sakit, surat
panggilan sidang tidak sampai, hingga ada urusan bisnis di luar negeri.

Meskipun pemberantasan korupsi memiliki hambatan dan tantangan


yang berat, namun upaya pemberantasan korupsi harus terus-menerus
dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan dan perbaikan termasuk
dari lingkup kecil dan kesadaran pribadi untuk takut akan hukuman dan dosa
yang diterima untuk seorang koruptor.

Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga


yang menangani korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya
pencegahan juga terus dilakukan, kualitas SDM perlu ditingkatkan,
kesejahteraan para penegak hukum menjadi prioritas, serta hukuman untuk
seorang koruptor harus lebih ditegakkan.

B. SARAN

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.


Pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Memberatkan sanksi
tanpa toleransi untuk para koruptor mungkin bisa lebih efektif untuk
pemberantasan korupsi, sehingga masyarakat atau pejabat berfikir ulang
untuk melakukan korupsi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Endarto. 2014. Kendala KPK Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal lingkar
widyaswara edisi 1 no:3

KPK. 2019. Panduan Insersi Pendidikan Anti korupsi Dalam Mata Kuliah Pancasila.
Jakarta: KPK-Direktorat Pendidikan Dan Pelayanan Masyarakat.

Priyono, Herry. 2018. KORUPSI : Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama

Tap MPR RI No I/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN, Jakarta: Sekretariat negara

Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka

Undang-Undang RI No: 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang RI No: 30 Tahun 2002 Tentang KPK

14

Anda mungkin juga menyukai