Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

“KELEMAHAN PENCEGAHAN KORUPSI DI INDONESIA”

Disusun oleh :

1. Paizer Turrahman (2201020028)


2. Lendrik Ando S. (2201020059)
3. Dina Margareta (2201020027)
4. Dava Aulia K. (2201020016)
5. Virra Utmami (2201020032)
6. Reza Meifa (2201020017)
7. Dian Rahma Nabila (2201020029)
8. Eva Triyani (2201020021)

Kelompok : 3 (Tiga)
Kelas : 1 A1 Akuntansi
Dosen Pengampu : Wawan Fransisco, M.H
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi

FAKULTAS EKONOMI DAN SOSIAL HUMANIORA


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS BINA INSAN
KOTA LUBUKLINGGAU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
i
Terimakasih kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karena kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Semua itu hanya karena kehendaknya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah kami yang berisi tentang Kelemahan
Pencegahan Korupsi di Indonesia.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu


yang tidak bisa kami sebut satu per satu. Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat
bernilai baik, dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah selanjutnya.
Sesudah dan sebelumya kami ucapkan terimakasih.

Penyusun

Kelompok 3

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL................................................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6

2.1. Pengertian Variabel.........................................................................................6

2.2.Peraturan yang Relevan ......................................................................................6

BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................7

3.1.Persoalan yang timbul dan Dampak korupsi di Indonesia bagi masyarakat.......7

3.2. persoalan korupsi dikalangan birokrasi dan pelayanan publik............................8

3.3. penyebab kelemahan pencegahan korupsi di Indonesia.....................................9

BAB IV PENUTUP...............................................................................................................11

3.1. Kesimpulan........................................................................................................11

3.2. Saran..................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila sebagai
landasan falsafah Negara. Indonesia terdiri dari berbagai macam Agama yaitu Hindu, Budha,
Kristen, Katholik, Islam dan Konghuchu sehingga setiap orang kebanyakan menilai orang
dari segi sosial dan Agamanya. Pada masa ORLA dan ORBA penduduk Indonesia dikatakan
sebagai penduduk yang bersifat ketimur-timuran karena sifatnya memang seperti orang-orang
timur, maksudnya adalah sikap orang Indonesia pada saat itu bersikap sopan, santun, baik,
ramah tamah dan jujur serta rasa sosialis yang tinggi. Tapi, pada awal era Reformasi sekitar
tahun 2000-an penduduk Indonesia seketika berubah tapi bukan tidak melalui proses.
Penduduk Indonesia telah terkena demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai
Negara yang ketimur-timuran kini berubah menjadi Negara yang kebarat-baratan. Disebut
Negara kebarat-baratan karena sikap moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai
menurun dan ini termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan
generasi muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik, jika seperti itu
maka kelanjutan dari pada Negara ini tidak akan bisa dibayangkan, betapa koprol nya nanti
Negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan moral yang kurang baik.
Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada hasilnya, dari mulai ORBA sampai Era
Reformasi Pancasila yang bersifat demokratis seperti saat ini Indonesia sudah menerima
hasilnya berupa pemerintahan yang koprol. Koprol dalam artian adalah para pemimpin dan
ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri dan mementingkan diri sendiri atau
golongan sehingga rakyat kecil menjadi bingung dan terjadi KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya.
Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi sungguh sangat
berbahaya bagi kelangsungan Negara ini, jika pemerintah dan para ahli politik 2 saling
bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal dalam kampanye
yang dilakukan dan bukan semata-mata karena rakyat, sikap ini sangat amat bahaya sekali.
Penyakit ini jika penulis samakan dalam penyakit manusia adalah sama halnya dengan
penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah gejala yang terjadi akan terasa
setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh. Begitupun dengan penyakit Negara kita saat ini yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
yang dampaknya akan kelihatan dalam selang waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura
pernah mengecap Indonesia sebagai the envelope country, jika diterjemahkan secara bebas
artinya adalah sebuah Negara Amplop. Menurut penulis wajar Singapura mengecap
Indonesia dengan sebutan itu dan seharusnya para Aparatur Negara tanpa terkecuali
seharusnya berkaca dari ucapan itu dan bukan malah menuntut Singapura. Mengapa
demikian?, jelas karena fakta yang ada di Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli
mulai dari hukum, lisensi, tender, Wartawan, Hakim, Jaksa, petugas pajak dan dari lembaga
Independen sekalipun bisa dibeli. Title atau julukan sebagai Negara terkorup tentunya sangat
memanaskan telinga untuk didengar karena pasalnya Indonesia telah kalah dengan China,
karena China kini sudah bisa untuk memperbaiki diri. Bahkan China mengambil langkah

1
yang tegas dengan menghukum mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi atau
penyalahgunaan kekuasaan. Jika terdapat pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan
tindakan seperti itu?, jawabannya adalah tentu saja Indonesia tidak akan mengambil tindakan
setegas itu karena merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia dan menurut Dr. Iyus Akhmad
Haris, M.Pd,. menjelaskan bahwa permasalahan sosial yang terjadi di lain daerah walaupun
pokok permasalahannya sama tapi belum tentu solusinya sama. Lantas, apa yang harus
dilakukan pemerintah ? pertanyaan ini menjadi tanda tanya besar bagi Indonesia karena
sampai saat ini pun Indonesia belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi ini, seperti
contoh kasus Bank Century. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan
menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya
dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. 3 Berbagai upaya pemberantasan sejak
dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah
pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena
pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian
dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap
konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden
Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan cara
pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi bukan hal yang baru bagi
bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan
wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai Negeri atau
keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan (KPK, 2006: 1). Korupsi telah dianggap
sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki
rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif.Politisi
tidak lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai Politik bukannya dijadikan alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang untuk mengeruk harta
dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius,
karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan
masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan
dapat pula merusak Nilai-nilai Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayanya tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas
kerugian Negara dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan
luar biasa (extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan “secara biasa”,tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
crimes). 4 Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbedabeda dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak

2
jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat
solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Partai Politik ada yang legal di satu tempat
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Korupsi ternyata dilakukan oleh orang yang
berpendidikan tinggi. Rasanya sungguh tidak pantas, seseorang yang berpendidikan
melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Korupsi tidak boleh dilakukan karena
akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan hanya memberikan keuntungan kepada
pihak yang korupsi atau biasa disebut dengan koruptor. Faktanya korupsi dilakukan oleh
orang yang mempunyai kekuasaan. Misalnya dalam pemerintahan, mereka menyalahgunakan
kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi. Bisa dilihat dari kasus korupsi wisma atlet yang
menjerat Angelina Sondakh, yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai
wakil rakyat seharusnya mengemban baik-baik tugas dan amanah yang telah dipercayakan
oleh rakyat. Namun pada kenyataannya mereka mementingkan keinginan mereka sendiri,
melupakan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Dengan maraknya korupsi yang ada
di Indonesia, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu 5
KPK juga merupakan lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh dalam
melaksanakan tugasnya, seperti yang tercantum pada Pasal 3 UndangUndang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Mereka para koruptor bisa dikatakan pemberani, karena
tidak takut dengan sanksi yang akan mereka dapatkan. Sanksi dibuat agar memberikan efek
jera dan tidak akan mengulangi korupsi lagi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 telah dijelaskan mengenai sanksi-sanksi dalam berbagai macam
tindak korupsi. Pada kenyataannya masih saja banyak ditemukan kasus korupsi, seakan-akan
mereka tidak takut dengan hukuman atau sanksi yang akan mereka dapat setelah terbukti
sebagai koruptor nantinya. Hukuman dan sanksi yang telah dirumuskan untuk para pelaku
korupsi rasanya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Karena hal tersebut muncul gagasan
mengenai hukuman mati bagi koruptor untuk memberikan efek jera, namun gagasan tersebut
menimbulkan pro dan kontra. Kondisi Negara yang menderita kerugian akibat kasus korupsi
sangat memprihatinkan. Ketika upaya pemberantasan korupsi dengan membebankan sanksi
yang berat kepada koruptor belum juga mampu membuat korupsi lenyap, maka upaya
pencegahan mulai dipertimbangkan. Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Selain
itu bila hanya menekankan pada hukuman yang diberikan pada koruptor tidak akan ada
habisnya. Kasus korupsi akan selalu muncul, dari generasi ke generasi. Korupsi sangat
berkaitan dengan kesadaran, kesadaran akan hukum tiaptiap orang tentu saja berbeda. Tetapi
bila dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang ada, bisa disimpulkan bahwa kesadaran
hukum warga Indonesia cukup rendah. Perlu adanya penanaman kesadaran serta nilai-nilai
positif lain sejak dini, agar generasi muda nantinya akan mampu membawa bangsa Indonesia
menjadi lebih baik. Banyak faktor pendorong terjadinya korupsi di Indonesia, yakni
diantaranya : Konsentrasi kekuasan dipengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab

3
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratis;
Gaji yang masih rendah; kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi
yang lamban; Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan 6 yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah; Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan
pemerintah; Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal; Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.;
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”; Lemahnya
ketertiban hukum; Lemahnya profesi hukum; Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;
Rakyat yang apatis, masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah dibohongi; Ketidakadaannya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan. Korupsi memberikan dampak buruk bagi
Negara. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di
sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga)
dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan
baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan
“lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan
sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. 7 Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi
publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau
aturanaturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Indonesia,
sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus
berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah
memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan – peraturan, antara lain Tap MPR XI
tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU
Nomor 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi

4
(KPK). Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan
Nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan dan partisipasi masyarakat tersebut akan
semakin menjauhkan sikap dan pikiran kita dari tindak korupsi. Masyarakat Indonesia bahkan
dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah
prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah
KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia. Berbagai upaya
pemberantasan korupsi, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan
upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju
pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa saja persoalan korupsi yang timbul di Indonesia dan dampaknya bagi
masyarakat?
2. Apa saja persoalan korupsi dikalangan birokrasi dan pelayanan publik?
3. Apa penyebab kelemahan pencegahan korupsi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui persoalan korupsi yang timbul di Negara ini serta dampaknya bagi
Negara dan masyarakat.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku korup di kalangan
pelaku birokrasi dan kalangan usaha.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai solusi pemecahan
masalah dalam pemberantasan korupsi

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Variabel

Menurut sudut pandang hukum, Pencegahan adalah suatu proses, cara, tindakan
mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu hal tidak terjadi.

Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan
yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran lainnya.

2.2. Peraturan yang Relevan

Adapun peraturan perundang undangan yang terkait dengan pencegahan korupsi di


Indonesia sebagai berikut:

a. Undang-undang No. 30 tahun 2022 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi

1) Pasal 27

(a) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

(b) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan
4 (empat) Dewan Eksekutif yang terdiri atas:

1. Bidang Pencegahan;

2. Bidang Penindakan;

3. Bidang Informasi dan Data; dan

4. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

(c) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan:

1. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara


Negara;

2. Subbidang Gratifikasi;

3. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan

4. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1.Persoalan yang timbul dan Dampak korupsi di Indonesia bagi masyarakat

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Korupsi


mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi,
meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Korupsi juga dapat
menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara. salah satu contoh kasus korupsi
yang terjadi di indonesia yaitu kasus korupsi oleh PT. Jiwasraya. Kasus korupsi PT Asuransi
Jiwasraya (Persero) terungkap setelah mereka gagal membayar polis kepada nasabah terkait
investasi Saving Plan sebesar Rp 12,4 triliun. Sebanyak enam orang telah divonis bersalah,
yaitu Hary Prasetyo (Direktur Keuangan Jiwasraya), Hendrisman Rahim (mantan Direktur
Utama Jiwasraya), Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya),
Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra), Benny Tjokrosaputro (Direktur Utama PT
Hanson International) dan Heru Hidayat (Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT
Maxima Integra).Akibat kasus korupsi ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8
triliun.

Dampak korupsi di indonesia bagi masyarakat:

1. Merusak Kedisiplinan

Sebagai contoh korupsi merusak sikap disiplin misalnya orang tua menyogok sekolah
agar anaknya bisa sekolah di tempat yang dia inginkan, sehingga anaknya menjadi
sombong dan seenaknya dalam belajar dikarenakan semuanya bisa dibayar dengan
uang.

2. Menghambat Profesionalisme

Korupsi bisa menghambat nilai profesionalisme. Misalnya, seorang staf perusahaan


tidak berprestasi, dengan sogokan bisa menempati posisi yang penting. Sementara itu,
staf yang berprestasi, jujur dan tidak mau menyogok karirnya “mentok” karena tidak
mendapatkan promosi yang profesional.

3. Biaya Ekonomi yang Tinggi

Korupsi dapat menyebabkan biaya tinggi contohnya biaya perijinan usaha yang
birokratis sehingga untuk mendapatkan izin, tiap meja harus mengeluarkan uang. Ada
lagi kasus seperti pembuatan SIM menjadi mahal tidak masuk akal. Semua tes
dipersulit agar peserta bisa melalui jalur pintas.

7
4. Kekacauan Politik

Pembuat aturan atau Undang-Undang kerap merugikan kepentingan masyarakat


dikarenakan kekuatan para pengusaha yang mempunyai kepentingan terhadap aturan
tersebut.

5. Kebencian Sosial

Para koruptor akan diingat selamanya oleh masyarakat bahwa dia adalah pencuri uang
rakyat dan penjahat bangsa.

3.2. persoalan korupsi dikalangan birokrasi dan pelayanan publik?

Dalam banyak kasus, korupsi terjadi di dalam birokrasi karena ada pihak yang ingin
mendapatkan privilege dalam proses pelayanan, dan pada saat bersamaan oknum-oknum
dalam birokrasi dengan sengaja ingin mengeruk keuntungan secara ilegal. Bagi pejabat
publik, posisi dan bisa menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan yang
dilakukan oleh birokrasi di dalam memberikan pelayanan publik, atau ketika birokrasi
terlibat dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber yang ada di negara atau daerah
(Kacung Marijan 2010). Menurut Philp (2002), korupsi dalam institusi (birokrasi)
terjadi ketika birokrat (pejabat publik) menerima manfaat/keuntungan melalui proses
politik yang diperoleh dari posisinya sebagai politisi atau pejabat dalam birokrasi tersebut.
Sebagaimana diuraikan dalam hasil survei BPS tahun 2015, sektor pelayanan publik
memberikan andil yang cukup signifikan terhadap indeks perilaku anti korupsi
masyarakat Indonesia yang cukup rendah. Hal ini yang menyebabkan masyarakat seakan
sulit untuk tidak melakukan korupsi dalam berbagai bentuknya. Sebagian besar
masyarakat menyadari bahkan membenci tindakan korup, akan tetapi faktanya
masyarakat belum bisa menghindari aksi-aksi yang justru bertentangan dengan persepsi
mereka tentang korupsi. Hasil survei BPS tersebut menunjukkan bahwa masyarakat rata-
rata memiliki pengalaman terlibat dalam tindakan korupsi ketika berurusan dengan
masalah pelayanan publik. Perilaku korupsi yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan
birokrasi dapat dilihat pada beberapa aspek berikut ini:

a. Memberikan uang melebihi ketentuan yang diatur.

b.Memberikan uang/barang untuk Sekolah agar anaknya dapat diterima

c.Memberikan uang dalam pengurusan SIM dan STNK

d.Pelanggar lalu lintas memberikan uang damai

8
3.3. penyebab kelemahan pencegahan korupsi di Indonesia

a). Hambatan Pemberantasan Korupsi

Upaya melakukan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang mudah. Meskipun sudah
dilakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi, tetapi masih terdapat beberapa
hambatan dalam pemberantasan korupsi. Operasi tangkap tangan (OTT) sering dilakukan
oleh KPK, tuntutan dan putusan yang dijatuhkan oleh penegak hukum juga sudah cukup
keras, namun korupsi masih tetap saja dilakukan. Bahkan ada pendapat yang menyatakan
bahwa yang kena OTT adalah orang yang “sial atau apes”. Hambatan dalam pemberantasan
korupsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Hambatan Struktural,

yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan


pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: egoisme sektoral dan
institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan
instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya
menutup-nutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang
bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi
antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian
intern yang memiliki korelasi positif dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam
pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.

2. Hambatan Kultural,

yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di


masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: masih adanya ”sikap sungkan”
dan toleran di antara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana
korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan
melindungi pelaku korupsicampur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam
penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara
tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap
upaya pemberantasan korupsi.

3. Hambatan Instrumental,

yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk
peraturan perundangundangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: masih
terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih21 sehingga menimbulkan
tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum
adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua
keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang
penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan
korupsi; serta sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi.

9
4. Hambatan Manajemen,

yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-
prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan
akuntabel) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: kurang komitmennya manajemen
(Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik di antara
aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya
dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya
organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang
adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak
memadainya sistem kepegawaian di antaranya sistem rekrutmen, rendahnya ”gaji formal”
PNS, penilaian kinerja dan reward and punishment.

10
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi
rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi
dan penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk
mengurangi tindak pidana korupsi.

2. Pemiskinan koruptor di Indonesia belum dilaksanakan secara tegas. Para penegak hukum
yang dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak menjalankan sanksi pidana pemiskinan
koruptor dalam memberantas tindak pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan
pidana berpegang teguh pada undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam
menjatuhkan vonis berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana
pemiskinan koruptor hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang
besarnya disesuaikan dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat dikatakan
memiskinkan koruptor karena hanya aset yang berasal dari tindak pidana korupsi saja yang
dirampas dan belum tentu si koruptor akan menjadi miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan
dengan 69 perampasan seluruh benda-benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi
dan/atau dengan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian
keuangan negara yang diambil dan yang timbul dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan
koruptor belum menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak hukum di Indonesia dalam
memberantas tindak pidana korupsi.

4.2. Saran

Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Namun
perlu dipertimbangkan lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis
sumbangkan, yaitu: 1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor.
Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai
konsep pemiskinan koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan
sebagai suatu terobosan hukum yang memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi. 2.
Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan koruptor. Contohnya
seperti pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas dari para penegak hukum agar para
penegak hukum di Indonesia melaksanakan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam upaya
pembera ntasan tindak pidana korupsi.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/berita-terbaru/3026-tindak-
pidana-korupsi-pengertian-dan-unsur-unsurnya.html#:~:text=Dalam%20Black%20Law
%20Dictionary%20di,kepercayaan%20seseorang%20yang%20mana%20dengan

http://repository.unimar-amni.ac.id/4148/1/BAB%202%20-%20Revisi%20harusnya
%20fix.pdf

file:///C:/Users/62853/Downloads/makalah%20fik%20tinggal%20kirim%20ke%20OSF
%202-1.pdf

https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf

https://smpm8bandung.sch.id/7-dampak-korupsi-bagi-kehidupan-masyarakat/

file:///C:/Users/62853/Downloads/Revisi%2520UU%2520KPK%2520versi%2520Baleg
%2520DPR.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai