Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pancasila
Dosen pengampu : Amri Azizah

Disusun Oleh :
1. Melinda Sherly Fedita (2001021227)
2. Melisa Yuli Wiyanti (2001021190)
3. Nelly Agustin Ananda S. (2001021193)
4. Nurul Istiqomah (2001021194)
5. Thoriq Aginta Lintang (2001021229)

PRODI AKUNTANSI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS AHMAD DAHLAN LAMONGAN
TAHUN AJARAN 2021/2022

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Hukuman mati bagi
koruptor ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Ibu
Amri Aziza pada pancasila prodi akuntansi pagi. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Hukuman mati bagi koruptor.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Amri Aziza pada pancasila prodi
akuntansi pagi yang telah memberikan tugas ini sehinga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu kritik dan saran yang membangun kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Lamongan, November 2021

Kelompok V

ii
Abstrak:

Kejahatan korupsi di Indonesia telah menyebabkan kehancuran yang sangat besar bagi
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi kejahatan korupsi juga telah merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas. Kejahatan ini sangat sulit diberantas, karena seringkali dilakukan secara sistematis dan
melibatkan orang-orang yang berkuasa. Kita pun bisa merasakan betapa besar dan luar biasa
bahaya yang ditimbulkan akibat kejahatan ini. Sangatlah wajar jika kejahatan korupsi
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara yang luar biasa
pula, yaitu salah satunya dengan cara menghukum mati para pelaku korupsi di negeri ini.

Kata Kunci: Korupsi, Hukuman Mati, Kejahatan Luar Biasa

iii
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………………..…….i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. ii
ABSTRAK…………………………………………………………………………...……… iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...………. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………..………..……...1
B. RUMUSAN MASALAH……………………………………………..………..……...1
C. TUJUAN PEMBAHASAN…………………………………………..………..………1

BAB II LANDASAN TEORI…………………………………………………….…….……. 2


BAB III PEMBAHASAN
A. SYARAT PENJATUHAN HUKUMAN MATI………………………………..….....4
B. PERSPEKTIF HAM……………………………………………………………..…....5
C. MENAKAR HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR DI UU N0.31/1999
TENTANG TIPIKOR……………………………………………………………..…..6

BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………………………..………8
B. SARAN………………………………………………………….…………………….9

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..10

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia kini bisa dikatakan dalam keadaan kritis dalam soal korupsi, karena
selama 68 tahun merdeka, korupsi bukan lagi menggejala, tetapi telah membudaya ke
semua lapisan elite bangsa, dari pusat hingga pelosok daerah. Kondisi ini sekaligus
memperlihatkan secara gamblang betapa buruknya dampak sosial-kemanusian yang
ditimbulkan dari tindak kejahatan yang terbilang luar biasa itu. Sebab, kejahatan ini
tidak hanya merugikan masyarakat secara umum ataupun bentuk pengkhianatan
amanat rakyat, tetapi juga kejahatan yang bisa mengancam moral generasi penerus
bangsa, mengganggu stabilitas, kredibilitas dan citra bangsa sini di mata internasional.
Korupsi tidak sekadar merugikan bangsa dan negara, tetapi juga merusak
mental masyarakat, baik aparat pemerintah itu sendiri maupun masyarakat luaBahkan,
kejahatan korupsi bisa menimbulkan semacam ‘dendam kelas’ di tengah masyarakat
yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja syarat penjatuhan hukuman mati?
2. Bagaimana perspektif HAM tentang penjatuhan hukuman mati bagi koruptor?
3. Bagaimana hukuman mati bagi koruptor yang ada di UU No.31/1999 tentang
tipikor?

C. Tujuan
1. Mengetahui syarat penjatuhan hukuman mati
2. Mengetahui perspektif HAM tentang penjatuhan hukuman mati bagi koruptor
3. Mengetahui hukuman mati bagi koruptor di UU No.31/1999 tentang tipikor

1
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Hukum
Menurut Utrecht hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-
perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh
karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.1
Hans Kelsen mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu
system aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak
menumpuk pada asatu aturan tunggal (rule) tetapi seperangkat aturan (rules) yang
memiliki kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem, konsekuensinya
adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.2
Pengertian lain mengenai hukum, disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo,
yang mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
dalam suatu kehidupan Bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang
bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif
karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan
atau harus dilakukan serta bagaimana cara melaksanakan kepatuhan kepada kaedah-
kaedah.3

2. Hukuman
Hukuman adalah suatu perbuatan dimana orang sadar dan sengaja
menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau
melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani sehingga terhindar dari
segala pelanggaran.4
Menurut Baharuddin, hukuman adalah menghadirkan atau memberikan sebuah
situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan tingkah laku yang negatif.5

1
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2005), h.38
2
Jilmy Asshidiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen dan Kenapiteraan MK-
RI, 2006), h.13
3
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2005), h.45
4
Mursal (2004:86)
5
Baharuddin dan Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h.74

2
3. Hukuman Mati
Hukuman mati adalah merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan
sanksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Pidana mati merupakan salah
satu bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati
itu sudah tidak sesuai dengan hendak zaman: namun sampai saat sekarag ini belum
diketemukan alternatif lain sebagai penggatinya.6
Hukuman mati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
hukuman yang dijalankan dengan membunuh (menembak, menggantung) orang yang
bersalah.

4. Korupsi
Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah
jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.7 Tindak pidana korupsi biasanya
merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir dengan
baik, serta dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudkan dan peranan yang
penting dalam tatanan social masyarakat.
Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut Whitecollar crime atau kejahatan
kerah putih. Dalam praktiknya, korupsi yang telah sedemikian rupa tertata dengan
rapu modus kejahatan dan kualitasnya, menjadikan korupsi ini sulit diungkap.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi, maka pemberantasannya harus
dengan cara yang luar biasa melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas
dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat, khususnya pemerintah
dan apparat penegak hukum.
Adapun menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana di ubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan korupsi ialah secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

6
Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati dalam Hukum Pidana di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1982),
h.6
7
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Cet. II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 31

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. Syarat Penjatuhan Hukuman Mati


Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-undang Pemberantasan Korupsi, yang mana Perma tersebut banyak
diapresiasi oleh berbagai pihak, khususnya DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
berbagai pihak lainnya. Dalam Perma tersebut, MA membagi kategori koruptor
menjadi lima yaitu paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan. Bagi
koruptor yang masuk dalam kategori paling berat, siap-siap saja hakim akan
memberikan hukuman hingga penjara seumur hidup dan bahkan hukuman mati.
Dilihat dari ancaman pemidanaan dalam Perma ini, Mahkamah Agung
tampaknya tidak main-main dalam menjatuhkan pidana hukuman mati. Berikut ini
syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor sesuai Perma Nomor 1/2020:
1. Hakim tidak menemukan hal yang meringankan dari diri terdakwa.
2. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
3. Terdakwa korupsi Rp100 miliar atau lebih.
4. Terdakwa memiliki peran yang paling signifikan dalam terjadinya tindak
pidana, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
5. Terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau menyuruh atau
melakukan terjadinya tindak pidana korupsi.
6. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus operandi
atau sarana/teknologi canggih.
7. Terdakwa korupsi dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala
nasional.
8. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan dampak nasional.

4
9. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak
dapat dimanfaatkan.
10. Korupsi yang dilakukan terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi
kelompok masyarakat rentan, di antaranya orang lanjut usia, anak-anak,
fakir miskin, perempuan hamil dan penyandang disabilitas.
11. Nilai kekayaan terdakwa didapat dari 50 persen atau lebih dari hasil
korupsi.
12. Uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10 persen.

B. Perspektif HAM

Dalam perspektif HAM, munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati


di Indonesia secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama,
hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat
modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang ke tangan hakim yang
tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati tidak selalu efektif sebagai salah satu
upaya pencegahan atau membuat orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas
dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang
menutup kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri.8 Dari sini, para aktivis
dan pembela HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa lalu
yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak hidup secara
langsung, namun penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak
pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum (negara).9

Dari perspektif tersebut, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai


bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan
keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1) 10 dan

8
Lihat Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, ( Jakarta: Aksara Press Persada, 1985), hal. 99. Lihat pula
Usman Hamid, “Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif”, Kompas, 28 Pebruari 2008.
9
Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV
Ananta, 1994), h. 18.
10
Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan
perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.

5
Pasal 711 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant
on Civil and Political Rights-ICCPR) dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua
atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang
Penghapusan Hukuman Mati.12 Jadi, hukuman mati pada dasarnya bertentangan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan (HAM) dan harus dihilangkan atau dihapus.13

Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan,


setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut melakukan
kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku,
karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun,
seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk
hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara. 14 Dari sinilah, hukuman
mati dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah bentuk pemidanaan yang
menjerakan, karena sistem pemidanaan modern terus mengarah ke upaya merehabilitasi
terpidana (treatment).15 Dari sini, para pembela HAM berupaya menghilangkan
hukuman mati dari ketentuan hukum dan perundang-undangan di Indonesia demi
melindungi hak hidup warga negara secara mutlak.16

C. Menakar Hukuman Mati Bagi Koruptor di UU No.31/1999 Tentang Tipikor

Merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum di awal undang-undang.
Di Pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Dilansir dari kpk.go.id, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul
Ghufron menjelaskan, dalam UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) No.31 Tahun 1999
jo UU No 20 Tahun 2001 terdapat 30 jenis tindak pidana dengan 7 klasifikasi besar,
11
Pasal 7 ICCPR berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan
atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”
12
Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia”,
Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004.
13
Tim Imparsial, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004.
14
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 216-217.
15
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 99.
16
Secara kasat mata, gagasan dan perjuangan untuk menghapus hukuman mati di Indonesia bisa dilihat dari arah
perjuangan yang selama ini dilakukan oleh Komnas HAM dan Kontras (komisi untuk orang hilang dan korban
kekerasan) dan lembaga Imparsial (lembaga yang bergelut di bidang perjuangan HAM).

6
yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa,
gratifikasi serta tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.

Lebih lanjut, menurutnya hukum Tipikor dikriminalisasi karena ada dampak sosial,
politik, ekonomi dan lain-lain. “Kalau kemudian di-cluster maka kepentingan hukum
tipikor sesungguhnya melindungi 3 hal; melindungi hak keuangan publik, kedua
melindungi hak sosial politik, serta ketiga melindungi hak keamanan dan keselamatan
negara,” ujarnya.

Ada tiga rencana strategis dalam memberantas korupsi, kata Ghufron, pertama
menindak supaya takut, mencegah supaya tidak berbuat, lalu memberi pendidikan
supaya menyadari untuk tidak melakukan kejahatan korupsi. Namun, faktanya pasal 2
ayat 2 UU No. 31/199 jo. UU No. 20/2001 yaitu perbuatan memperkaya diri yang
melawan hukum, mengakibatkan kerugian negara, namun dalam keadaan tertentu.

“Itu normanya, lalu pelaksanaannya bagaimana? Hingga 2021 ini, pidana mati
belum pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi yang diadili menggunakan UU No.
31/199 jo. UU No. 21/2001. Sejauh ini, pidana terberat yang pernah dijatuhkan dalam
perkara korupsi ialah pidana seumur hidup dalam perkara korupsi AM (mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi) dan 6 orang dalam korupsi Jiwasraya (HR, HP, JHT, SY, BT,
HH),” ujarnya.

Hal senada juga diucapkan Richard, menurutnya, masalah besar dalam sistem di
Indonesia yaitu tidak tegasnya penegakan atas ancaman hukuman itu. Sejauh ini
masyarakat hanya dihebohkan dengan wacana tersebut, nyatanya, berulang kali
koruptor lepas dari jeratan hukuman yang berat.

7
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disimpulkan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Syarat Penjatuhan Hukuman Mati
Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Korupsi, MA
membagi kategori koruptor menjadi lima yaitu paling berat, berat,
sedang, ringan, dan paling ringan. Bagi koruptor yang masuk dalam
kategori paling berat, siap-siap saja hakim akan memberikan hukuman
hingga penjara seumur hidup dan bahkan hukuman mati
2. Perspektif HAM
Para aktivis dan pembela HAM menilai hukuman mati merupakan
bentuk peninggalan masa lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan
tindakan yang menentang hak hidup secara langsung, namun
penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak
pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum (negara).
Hukuman mati dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah
bentuk pemidanaan yang menjerakan, karena sistem pemidanaan
modern terus mengarah ke upaya merehabilitasi terpidana.
3. Menakar Hukuman Mati Bagi Koruptor Di UU No.31/1999 Tentang
Tipikor
Merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya
tercantum di awal undang-undang. Di Pasal 2 tentang Tindak Pidana
Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

8
B. Saran
Para penegak hukum harus lebih berani untuk menjatuhkan hukuman terberat
bagi pelaku korupsi, termasuk penjatuhan hukuman mati dengan memperjelas
makna dariPasal 2 ayat 2. Penerapan hukuman mati akan menjadi polemik
pelanggaran HAM, untuk itu sudah seharusnya pemerintah mengkaji sanksi
alternatif bagi koruptor yang memungkinkan adanya sanksi yang lebih memberi
efek jera, dengan munculnya sanksi pemiskinan dan kerja sosial yang diharapkan
untuk lebih mengurangi angka korupsi

9
DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2005


Jilmy Asshidiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Sekjen dan Kenapiteraan MK-
RI, 2006
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2005
Mursal 2004:86
Baharuddin dan Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010
Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati dalam Hukum Pidana di Indonesia Yogyakarta: Liberty, 1982
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Cet. II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
Lihat Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara Press Persada, 1985. Lihat pula Usman Hamid,
“Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif”, Kompas, 28 Pebruari 2008.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV
Ananta, 1994
Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan
perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
Pasal 7 ICCPR berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau
dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”
Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia”,
Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004.
Tim Imparsial, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004.
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati.
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati.
Secara kasat mata, gagasan dan perjuangan untuk menghapus hukuman mati di Indonesia bisa dilihat dari arah
perjuangan yang selama ini dilakukan oleh Komnas HAM dan Kontras (komisi untuk orang hilang dan korban
kekerasan) dan lembaga Imparsial (lembaga yang bergelut di bidang perjuangan HAM).
https://nasional.tempo.co/read/1489050/menakar-hukuman-mati-bagi-koruptor-di-uu-no-311999-tentang-
tipikor

10

Anda mungkin juga menyukai