Dr.H.kadiyo, M.p.d
Sukriyadin Z, S.M.
Kelompok 2
Disusun oleh:
Mila Karmilah:20.01.01.0013
2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………
…………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………
………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………..
……………………………… 1
A. Latar
belakang……………………………………………………… 1
B. Permasalahan…………………………………
……………………………… 3
C. Tujuan penelitian………………………………
……………………………… 4
BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………………
… 4
………………………………………………………… 7
Lembaga pemberantasan korupsi………………
……………………………… 10
BAB IV
PENUTUP………………………………………………………………………
…… 15
Kesimpulan………………………………………
……………………………… 15
Saran……………………………….
…………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi bukanlah suatu bentuk kejahatan baru dan bukan pula suatu kejahatan yang
hanya berkembang di Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang dikenal di
berbagai belahan dunia. Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada dalam budaya
masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi dan hak milik
umum. Pengaburan hak milik masyarakat dan hak milik individu secara mudah hanya
dapat dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa di berbagai belahan dunia oleh adat
istiadat, patut untuk meminta upeti, sewa dan sebagainya pada masyarakat, karena secara
turun temurun semua tanah dianggap sebagai milik mereka. Jadi korupsi berakar dari
masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada ’birokrasi patrimonial” yang
berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur seperti inilah
penyimpangan, pencurian, korupsi mudah berkembang.
Saat digulirkannya reformasi, bangsa Indonesia pada awalnya memiliki suatu harapan
adanya perubahan terhadap kondisi kehidupan bangsa, khususnya terhadap
penyelesaian kasus-kasus korupsi yang telah berlangsung. Namun, kenyataannya,
hingga detik ini wujud tindakan pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya secara
memuaskan. Bahkan, tindakan korupsi terlihat makin menyebar tidak saja di kalangan
Pusat tetapi telah sampai pula di tingkat Daerah.
Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha
pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan
demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap
dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap
tindakan hukum terhadap kasus korupsi.
Harapan masyarakat agar para pelaku tindak pidana korupsi mendapat ganjaran
hukuman yang setimpal telah banyak dilontarkan. Dalam musyawarah alim ulama
Nadhatul Ulama (NU) se Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Agustus
2002 telah dirumuskan fatwa-fatwa keras mengenai tindak pidana korupsi, antara lain :
mengkriminalisasikan korupsi sama dengan pencurian dan perampokan; pelakunya
dapat dikenai pidana maksimal berupa potong tangan, dan kalau meninggal dianjurkan
tidak perlu disholati.
Selain itu, harapan agar pemberian hukuman dalam jumlah maksimal seperti
pidana penjara seumur hidup lainnya sesuai berat ringannya kesalahan pelaku kasus-
kasus korupsi dimaksudkan pula pertama untuk memberikan shock therapy (efek kejut)
penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar hukum yang
memiliki status terhormat. Mereka tidak saja pandai menghindari jeratan hukum dengan
jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem hukum itu sendiri.
B. Permasalahan
bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga eksekutif,
yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta,
merupakan persoalan hukum, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi dan
multidisipliner.
C.Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban secara konkrit tentang hal-hal
yang menjadi permasalahan penelitian, meliputi :
BAB ll
PEMBAHASAN
Di era reformasi, usaha usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh BJ. Habibie dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pembentukan berbagai komisi
atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan
dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Nasib serupa tetapi
tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi, tugas
KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,
KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
5. Peraturan Pemerintahan RI No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi
10. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi
11. Undang-undang RI No. 46 tahun 2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
12. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia KPK
KPK dibentuk karena adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 43. KPK merupakan lembaga negara yang
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta lembaga yang mempunyai tujuan
pencegahan atas tindak pidana korupsi.
- Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif
kolegial. Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-
masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal
yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan mengenai
struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam
pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi
yang diperlukan.
a. Tugas KPK :
b. Wewenang KPK :
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan
kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara
Negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang
dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah :
- ICW
Indonesian Corruption Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-
pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik
mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik
korupsi.
Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):
Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat
dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal
(diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive
(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan
represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk
pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki
Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat.
Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini korupsi). Faktor-faktor
kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik, ekonomi, maupun sosial yang secara
langsung atau tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi).
Dengan demikian upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal.
Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan
menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku korupsi. Ada hal
penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
Hukum pidana lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks. Sistem pemidanaan bersifat framentair
dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsionalefektivitas pidana (hukuman)
bergantung pada banyak faktor dan masing-masing sering diperdebatkan oleh para ahli.
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan disebut UUD 1945), dimana terjadi
pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam artian kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsi-fungsi, yang tercermin dalam lembaga- lembaga negara yang sederajat dan saling
mengimbangi (checks and balances).3 Pada intinya, pemisahan atau pembagian kekuasaan
dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan
dan tindakan sewenang-wenang penguasa.4 Diuraikan oleh Munir Fuadi, kata “checks” yaitu
suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat
sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Sedangkan kata “balances”,
merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak
cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani.5
Lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan kekuasaan. Cabang
kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang
kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah
lembaga-lembaga negara yang bekerja di bawah sistem masing-masing cabang kekuasaan.6
Salah satunya adalah yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (main
state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ).
2
Zainal Arifin Mochtar. 2016. Lembaga Negara Independen. Jakarta: PT Grafindo Persada. hlm. 29-30.
3
Gunawan A Tauda. 2012. Komisi Negara Independen. Yogyakarta: GENTA Press. hlm. 43.
4
Ibid., hlm. 44.
5
Zainal Arifin Mochtar. Op.cit., hlm. 30.
6
Gunawan A Tauda. Op.cit., hlm. 60.
BAB lll
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena
korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja
merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi
tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara
khusus
Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap
usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan
dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor
kelas kakap dri pda kelas teri
Armico
Buletin Al Islam Edisi 182. Agar Memerangi Korupsi Tak Sebatas Jargon.
Dalam Gerakan Anti Korupsi”, Dalam Buku Dalam Buku Membangun Gerakan
Anti