Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

DASAR HUKUM DAN LEMBAGA PEMBERANTASAN


KORUPSI
Dosen pengampu:

Dr.H.kadiyo, M.p.d

Sukriyadin Z, S.M.

Kelompok 2

Disusun oleh:

Nur wahidah. :20.01.01.0035

Mila Karmilah:20.01.01.0013

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL ADABI

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PARUNG PANJANG – BOGOR

2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,


hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
dengan judul Dasar hukum dan lembaga pemberantasan korupsi
Penulisan makalah dilakukan sebagai bagian dari tugas mata kuliah pendidikan anti korupsi.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan berkat kerjasama
kelompok hingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya
kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah bisa memberikan manfaat
maupun inspirasi untuk pembaca.
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR……………………………………………………………
…………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………
………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………..
……………………………… 1

A. Latar
belakang……………………………………………………… 1

B. Permasalahan…………………………………
……………………………… 3

C. Tujuan penelitian………………………………
……………………………… 4

BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………………
… 4

Dasar hukum pemberantas korupsi

………………………………………………………… 7
Lembaga pemberantasan korupsi………………

……………………………… 10
BAB IV
PENUTUP………………………………………………………………………
…… 15
Kesimpulan………………………………………
……………………………… 15

Saran……………………………….
…………………………………………… 16

DAFTAR PUSTAKA

BAB l

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Korupsi bukanlah suatu bentuk kejahatan baru dan bukan pula suatu kejahatan yang
hanya berkembang di Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang dikenal di
berbagai belahan dunia. Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada dalam budaya
masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi dan hak milik
umum. Pengaburan hak milik masyarakat dan hak milik individu secara mudah hanya
dapat dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa di berbagai belahan dunia oleh adat
istiadat, patut untuk meminta upeti, sewa dan sebagainya pada masyarakat, karena secara
turun temurun semua tanah dianggap sebagai milik mereka. Jadi korupsi berakar dari
masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada ’birokrasi patrimonial” yang
berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur seperti inilah
penyimpangan, pencurian, korupsi mudah berkembang.

Saat digulirkannya reformasi, bangsa Indonesia pada awalnya memiliki suatu harapan
adanya perubahan terhadap kondisi kehidupan bangsa, khususnya terhadap
penyelesaian kasus-kasus korupsi yang telah berlangsung. Namun, kenyataannya,
hingga detik ini wujud tindakan pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya secara
memuaskan. Bahkan, tindakan korupsi terlihat makin menyebar tidak saja di kalangan
Pusat tetapi telah sampai pula di tingkat Daerah.

Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha
pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan
demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap
dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap
tindakan hukum terhadap kasus korupsi.

Harapan masyarakat agar para pelaku tindak pidana korupsi mendapat ganjaran
hukuman yang setimpal telah banyak dilontarkan. Dalam musyawarah alim ulama
Nadhatul Ulama (NU) se Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Agustus
2002 telah dirumuskan fatwa-fatwa keras mengenai tindak pidana korupsi, antara lain :
mengkriminalisasikan korupsi sama dengan pencurian dan perampokan; pelakunya
dapat dikenai pidana maksimal berupa potong tangan, dan kalau meninggal dianjurkan
tidak perlu disholati.

Selain itu, harapan agar pemberian hukuman dalam jumlah maksimal seperti

pidana penjara seumur hidup lainnya sesuai berat ringannya kesalahan pelaku kasus-

kasus korupsi dimaksudkan pula pertama untuk memberikan shock therapy (efek kejut)

secara berulang-ulang sehingga diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent

effect) bagi pelaku maupun calon-calon pelaku korupsi.


Strategi penghukuman yang keras sangat diperlukan, karena korupsi bukan merupakan

penyimpangan perilaku (deviant behavior). Korupsi adalah tindakan yang direncanakan

penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar hukum yang

memiliki status terhormat. Mereka tidak saja pandai menghindari jeratan hukum dengan

jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem hukum itu sendiri.

B. Permasalahan

Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan permasalahan korupsi

bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga eksekutif,

yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta,

dunia usaha dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya.

Pemerintah menyadari bahwa usaha pemberantasan korupsi tidak semata-mata

merupakan persoalan hukum, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi dan

politik, sehingga upaya pemberantasannya pun harus bersifat komprehensif dan

multidisipliner.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apa sajakah dasar dasar hukum korupsi?

2. Apa sajakah lembaga pemberantasan korupsi?

C.Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban secara konkrit tentang hal-hal
yang menjadi permasalahan penelitian, meliputi :

1. Dasar dasar hukum korupsi.

2. Lembaga pemberantasan korupsi.

BAB ll

PEMBAHASAN

Pemberantasan tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra


keras dan membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang
berkuasa oleh karena itu sejarah pemberantasan korupsi cukup panjang di Indonesia.
Pemberantasan korupsi itu sendiri tercermin dari peraturan perundang-undangan yang dilahirkan
pada periode pemerintahan tertentu.

Lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak


pidana korupsi sesungguhnya tidaklah cukup untuk menunjukkan keseriusan atau komitmen
pemerintah. Perlu lebih dari sekedar melahirkan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu
menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang dengan cara mendorong aparat
penegak hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang tegas,
berani, dan tidak pandang bulu.

Di era reformasi, usaha usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh BJ. Habibie dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pembentukan berbagai komisi
atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan
dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Nasib serupa tetapi
tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi, tugas
KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,
KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

DASAR HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI

Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut :

1. Undang-Undang RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi

2. Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih


dan Bebas KKN

3. Undang-undang RI No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih


dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)

4. Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi

5. Peraturan Pemerintahan RI No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi

6. Undang-undang Ri No, 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI


No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7. Undang-undang RI No. 15 tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang

8. Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi (KPK)
9. Undang-undang RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention
Against Corruption , 2003 (Konvensi Perserikatan PBB Anti Korupsi , 2003)

10. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi

11. Undang-undang RI No. 46 tahun 2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

12. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia KPK

Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui berbagai kebijakan


berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti
tersebut diatas. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan
langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)

Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan aksekutif atau


penyelenggara Negara, dimana masing-masing instansi memiliki internal Control Unit (Unit
Pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa Inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing,
terutama pengelolaan keuangan negara agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif,
efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Disamping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan
pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eskternal yaitu Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

LEMBAGA PEMBERANTAS KORUPSI

KPK dibentuk karena adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 43. KPK merupakan lembaga negara yang
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta lembaga yang mempunyai tujuan
pencegahan atas tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan UU No. 30 tahun 2002


tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 UU ini menentukan: bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindakan
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.
21 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggara negara,
seperti yang dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, diharapkan dapat dibebaskan dari segala bentuk
perbuatan yang tidak terpuji, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang
benar-benar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.1

- Pasal 43

(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggung


jawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan komisi sebagaimana dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
1Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekertariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal 227

Pada tanggal 27 Desember 2002, disahkan dan diundangkan ketentuan Undang-undang


No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebagaimana bagian konsideran Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang KPK tersebut menerangkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh
karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif
dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional.

Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif
kolegial. Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-
masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal
yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan mengenai
struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap
dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam
pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi
yang diperlukan.

Lembaga yang menangani perbuatan korupsi ada 2 :

1. Formal (resmi), yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

a. Tugas KPK :

- Koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak


pidana korupsi

- Supervisi terhadap Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak


pidana korupsi
- Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi

- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi

- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara

b. Wewenang KPK :

- Mengordinasi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi

- Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada


instansi yang terkait

- Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang


melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

2. Lembaga Non Formal (tidak resmi)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan
kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara
Negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang
dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah :

- ICW

Indonesian Corruption Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-
pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik
mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik
korupsi.

- GOWA (Government Watch)


- MTI ( Masyarakat Transparansi Indonesia)

Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):

a. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment)

c. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan


pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya seperti penyuluhan dan
pendidikan.

Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat
dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal
(diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive
(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan
represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.

Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk
pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki
Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat.

Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini korupsi). Faktor-faktor
kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik, ekonomi, maupun sosial yang secara
langsung atau tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi).
Dengan demikian upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal.
Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan
menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku korupsi. Ada hal
penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki “keterbatasan” dan


mengandung beberapa “kelemahan” (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya
digunakan secara “subsidair”. Pertimbangan tersebut adalah (Arief, 1998). Dilihat secara
dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum,
sehingga harus digunakan sebagai ultimatum remedium (obat terakhir apabila cara lain atau
bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi). Dilihat secara fungsional (pragmatis),
operasionalisasi, dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi.

Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/pradoksal yang mengandung efek sampingan


negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Permasyarakatan. Penggunaan
hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’
(menyembuhkan gejala). Hanya merupakan obat simptomatik bukan pengobatan kausatif karena
sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana.

Hukum pidana lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks. Sistem pemidanaan bersifat framentair
dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsionalefektivitas pidana (hukuman)
bergantung pada banyak faktor dan masing-masing sering diperdebatkan oleh para ahli.

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan disebut UUD 1945), dimana terjadi
pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam artian kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsi-fungsi, yang tercermin dalam lembaga- lembaga negara yang sederajat dan saling
mengimbangi (checks and balances).3 Pada intinya, pemisahan atau pembagian kekuasaan
dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan
dan tindakan sewenang-wenang penguasa.4 Diuraikan oleh Munir Fuadi, kata “checks” yaitu
suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat
sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Sedangkan kata “balances”,
merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak
cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani.5
Lembaga negara merupakan konsekuensi logis dari pemisahan kekuasaan. Cabang
kekuasaan yang terpisah tersebut membutuhkan lembaga negara sebagai pelaksana dari cabang
kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Oleh sebab itu kemudian, lahirlah
lembaga-lembaga negara yang bekerja di bawah sistem masing-masing cabang kekuasaan.6
Salah satunya adalah yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (main
state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ).

2
Zainal Arifin Mochtar. 2016. Lembaga Negara Independen. Jakarta: PT Grafindo Persada. hlm. 29-30.

3
Gunawan A Tauda. 2012. Komisi Negara Independen. Yogyakarta: GENTA Press. hlm. 43.

4
Ibid., hlm. 44.

5
Zainal Arifin Mochtar. Op.cit., hlm. 30.

6
Gunawan A Tauda. Op.cit., hlm. 60.

BAB lll

PENUTUP

A.Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena
korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja
merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi
tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara
khusus
Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap
usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan
dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor
kelas kakap dri pda kelas teri

Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan permasalahan


korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga
eksekutif, yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada
sektor swasta, dunia usaha dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada
umumnya.
B. Saran
Mengingat korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime), maka upaya pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan secara
biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula; yakni melalui 4
pendekatan yakni pendekatan hukum; pendekatan budaya; pendekatan ekonomi;
dan pendekatan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan.
Salah satu langkah yang harus diambil dalam rangka mendorong percepatan
pemberantasan korupsi di Indonesia adalah meninjau kembali peraturan
perundang-undangan tentang korupsi yang telah ada termasuk di dalamnnya
DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 01: Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Thn 1999 tentang

Pemberantasan tindak pidana korupsi

Lampiran 02: Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Thn 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi


Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data

Kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Azhari. 2004. Korupsi yang membumi. http:// www.hayatulislam.net

Bassar, M. Sudradjat. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung : CV

Armico

Buletin Al Islam Edisi 182. Agar Memerangi Korupsi Tak Sebatas Jargon.

Bayley, David H. 1995. “Bunga Rampai Korupsi”. Jakarta: LP3ES.

Hehamahua, Abdullah dalam. 2004. “Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama


Dalam Gerakan Anti Korupsi”, Dalam Buku Dalam Buku Membangun Gerakan
Anti

Korupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership:

Governance Reform In Indonesia, Koalisi Antar Umat Beragama Untuk


Antikorupsi.

Harian REPUBLIKA, 21 Nopember 2003. Islam Dan Jalan Pemberantasan


Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai