Anda di halaman 1dari 28

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
ERNA WATI
ROSY GUSMELY
ROSIDA
RAHMAYANI
MEURAH INTAN
HOESLI SAPITRI
MURNI
NASLINDA
ROSMANITA
HENY SATRIANI
JASWANI H
MAWADDAH
STIKES MEDICA NURUL ISLAM

SARJANA KEBIDANAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dan juga kami berterima kasih pada Dosen Pembimbing yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Aceh Selatan, 25 Desember 2022

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Makalah....................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Pengertian Korupsi...................................................................... 2
B. Strategi Pemberantasan Korupsi.................................................. 3
C. Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi.................... 9
D. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik......................................... 14
E. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat.................... 17
F. Pengembangan dan Pembuatan Insrtumen Hukum..................... 18

BAB IV PENUTUP......................................................................................... 24
A. Kesimpulan................................................................................... 24
B. Saran.............................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media
massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh
para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas
untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara.Hal ini
tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin
oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini
kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk
memberantasnya.
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya.Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini.Dampak yang
ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.Korupsi merupakan
masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta
dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan
ini seakan menjadi budaya.Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah korupsi kami membatasi permasalahan
mengenai :
1 Apa itu Korupsi
2 Bagaimana strategi dalam memberantasan korupsi
3 Bagaimana cara memberantas korupsi
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memenuhi salah satu
mata kuliah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baikpolitisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
 perbuatan melawan hukum,
 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya
 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
 penggelapan dalam jabatan,
 pemerasan dalam jabatan,
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya.Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
B. Strategi Pemberantasan Korupsi
Tidak ada cara lain, korupsi harus diberantas. Selain merusak sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi juga merusak sistem perekonomian.
Imbasnya, apa lagi kalau bukan membuat negeri kita yang kaya raya itu masih
belum juga bisa mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Segala potensi
yang dimiliki pun seakan tidak berarti.Layanan publik masih buruk, tingkat
kesehatan rendah, pendidikan yang tidak terjamin, tingkat pendapat masyarakat
yang masih memprihatikan, dan banyak lagi indikator negara makmur yang belum
bisa dicapai.
Dengan kata lain, harapan untuk mewujudkan indonesia sebagaimana negeri
impian pun, bak jauh panggaang dari api. Maka itu, korupsi memang harus
dimusnahkan antara lain dengan cara; Represif, perbaikan sistem dan edukasi dan
kampanye. Agar berjalan lebih efektif, ketiganya harus dilakukan.
a. Represif
Melalui strategi represif, KPK menyeret koruptor kemeja hijau, membacakan
tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan.
Beberapa tahap yang dilakukan :
1 Penanganan laporan pengaduan masyakarakat
Bagi KPK, pengaduan masyarakat merupakan salah satu sumber informasi
yang sangat penting. Hampir sebagian besar kasus korupsi terungkap,
berkat adanya pengaduan masyarakat. Sebelum memutuskan apakah suatu
pengaduan bisa dilanjutkan ke tahap penyelidikan, KPK melakukan proses
verifikasi dan penelaahan.
2 Penyelidikan
Kegiatan yang dilakukan KPK dalam rangka menemukan alat bukti yang
cukup. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang- kurangnya 2 alat bukti*. Jika tidak diketemukan
bukti permulaan yang cukup, penyelidik menghentikan penyelidikan.
Dalam hal perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan
sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik
kepolisian atau kejaksaan. Jika penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian
atau kejaksaan, kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi
dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
3 Penetapan Tersangka
Tahap ini, salah satunya ditandai dengan ditetapkannya seseorang menjadi
tersangka.Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang
cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanda izin Ketua Pengadilan
Negeri. Ketentuan juga membebaskan penyidik KPK untuk terlebih dahulu
memperoleh izin untuk memanggil tersangka atau menahan tersangka
yang berstatus pejabat negara yang oleh undang- undang, tindakan
kepolisian terhadapnya harus memerlukan izin terlebih dahulu.
Untuk kepentingan penyidikan, seorang tersangka wajib memberikan
keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diketahui atau diduga mempunyai hubungan dengan korupsi yang
dilakukan oleh tersangka. KPK tidak berwenang mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi. Artinya sekali KPK menetapkan seseorang menjadi
tersangka, maka proses harus berjalan terus hingga ke penuntutan.
4 Penuntutan
Kegiatan penuntutan dilakukan dilakukan penuntut umum setelah
menerima berkas perkara dari penyidik. Paling lama 14 hari kerja terhitung
sejak diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara
tersebut ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, Penuntut Umum KPK dapat
melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari dan dapat
diperpanjang lagi dengan izin pengadilan untuk paling lama 30 hari.
Pelimpahan ke Pengadilan Tipikor disertai berkas perkara dan surat
dakwaan. Dengan dilimpahkannya ke pengadilan, kewenangan penahanan
secara yuridis beralih ke hakim yang menangani.
5 Pelaksanaan penuntutan pengadilan (eksekusi)
Eksekusi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh
jaksa.Untuk itu, panitera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa.
b. Perbaikan sistem
Tak dimungkiri, banyak sistem di Indonesia yang justru membuka celah
terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya, prosedur pelayanan publik
menjadi rumit, sehingga memicu terjadinya penyuapan, dan sebagainya.
Lainnya tentu masih banyak. Tidak saja yang berkaitan dengan pelayanan
publik, tetapi juga perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya.
Tentu saja harus dilakukan perbaikan. Karena sistem yang baik, bisa
meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya melalui
pelayanan publik yang serba online, sistem pengawasan terintegrasi, dan
sebagainya.
KPK pun sudah banyak melakukan upaya perbaikan sistem. Dari
berbagai kajian yang dilakukan, KPK memberikan rekomendasi kepada
kementerian/lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.
Selain itu, juga dengan penataan layanan publik melalui koordinasi dan
supervisi pencegahan (korsupgah), serta mendorong transparansi
penyelenggara negara (PN). Sementara, guna mendorong transparansi
penyelenggara negara (PN), KPK menerima pelaporan LHKPN dan
gratifikasi. Untuk LHKPN, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan
harta kekayaan kepada KPK. Sedangkan untuk gratifikasi, penerima wajib
melaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya
gratifikasi atau pegawai negeri bersangkutan dianggap menerima suap.
c. Edukasi dan Kampanye
Salah satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, adalah kesamaan
pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan adanya
persepsi yang sama, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan
terarah. Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki pemahaman seperti itu.
Contoh paling mudah, adalah pandangan mengenai pemberian “uang terima
kasih” kepada aparat pelayan publik, yang dianggap sebagai hal yang wajar.
Contoh lain, tidak semua orang memiliki kepedulian yang sama terhadap
korupsi. Hanya karena merasa “tidak kenal” si pelaku, atau karena merasa
“hanya masyarakat biasa,” banyak yang menganggap dirinya tidak memiliki
kewajiban moral untuk turut berperan serta.
Itulah sebabnya, edukasi dan kampanye penting dilakukan. Sebagai
bagian dari pencegahan, edukasi dan kampanye memiliki peran strategis
dalam pemberantasan korupsi. Melalui edukasi dan kampanye, KPK
membangkit kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak
masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta
membangun perilaku dan budaya antikorupsi. Tidak hanya bagi mahasiswa
dan masyarakat umum, namun juga anak usia dini, taman kanak-kanak, dan
sekolah dasar.
Dengan sasaran usia yang luas tersebut, KPK berharap, pada saatnya
nanti di negeri ini akan dikelola oleh generasi antikorupsi, pencegahan
korupsi harus dilakukansejak dini agar terbentuk generasi pelurusan
berintegritas tak heran jika KPK sangat serius melakukan penanaman nilai-
nilai antikorupsi sejak dini kepada pelajaran dari jenjang PAUD/TK hingga
SMA. Selain menerbitkan buku dalam permainan, KPK juga melakukan
beragam aktifitas yang ditujukan kepada pelajar.Selain anak dan pelajaran,
KPK juga tak lupa melakukan pendidikan antikorupsi yang ditujukan untuk
mahasiswa, pns, dan perempuan.Alasannya karena mereka berperan penting
dalam pemberantasan korupsi.Mahasiswa adalah agen perubahan, perempuan
adalah tiang negra, dan pns adalah pelayanan masyarakat.KPK sepenuhnya
menyadari bahwa dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi merupakan salah saru faktor penting keberhasilan.Dalam setiap
kesempatan menyelenggarakan event kampanye antikorupsi, KPK selalu
mengajak partisipasi masyarakat. Dan masyarakat pun menunjukan
dukungannya kepada pemberantasan korupsi dengan berbagai aksi kreatif
(KPK 2014).
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang
dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah:
“terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung
nilai budaya yang berintegritas”. Adapun untuk jangka menengah (2012-
2014) bervisi “terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi
dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya
yang berintegritas”. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan
di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil,
hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang 4 strategi
yaitu:
1 Pencegahan
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis.Praktiknya bisa
berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di
kehidupan sehari-hari.Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan
menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi
pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang
berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban
atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.Paradigma
dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi
(tipikor).Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu
mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif.
Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai
Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub
indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan
berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank.
Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi
pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
2 Penegakan Hukum
Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan
ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-
nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan.Penegakan hukum
yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan,
pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap hukum dan aparaturnya.Dalam tingkat kepercayaan yang lemah,
masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai
sebagai wadah penyelesaian konflik.Masyarakat cenderung menyelesaikan
konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya,
acap berseberangan dengan hukum.
Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi
penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin
runyam.Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal,
menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum
beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya
perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti
ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus
korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat.
Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan
Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase
penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus
Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga
penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks
Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum
berjalan semakin baik.
3 Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah
Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai
konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan
dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia.Beberapa klausul ada
yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut
dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi
ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas
dalam strategi ini.Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan
persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul
UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-
undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada
negara-negara lain.
4 Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor
Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam
maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan
pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan
UNCAC.Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur
pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-
lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan
pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal
conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset
negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari
aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara
optimal.Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset
hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase
tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait
pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal
Assistance (MLA) dan Ekstradisi.Semakin tinggi pengembalian aset ke
kas negara dan keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang
tipikor.

C. Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi


Sejarah pembentukan Lembaga / Tim Pemberantasan Korupsi
sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1960 hingga saat ini. Lembaga atau tim
yang pernah dibentuk dalam pemberantasan korupsi, sebagai berikut:
1. Pada masa orde lama (“Operasi Budhi”)
Munculnya Perppu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya
untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu
itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN,
dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut
Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan
dari dakwaan.
2. Pada masa orde baru
a. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK))
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967
dan dasar hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini
merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman,
dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil
menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.
b. Komisi empat
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970,
untuk memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah
diambil pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah
yang lebih efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden
M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota- anggotanya
adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono
menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena
korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun).
Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot
Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi
Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu menilep uang
negara Rp. 7,6 milyar — jumlah yang kala itu menggemparkan.
Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan
bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana korupsi yang diajukan di
pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak diketahui
kelanjutannya secara jelas.
c. Komisi Anti Korupsi (KAK)
Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri
Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari
aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis,
Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai,
Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak
terbentuk.
d. Operasi Penertiban (OPSTIB)
Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah
melancarkan Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-
81) Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan menindak
6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur polisi, kejaksaan,
militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga
bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan
jawatan pemerintah.
3. Masa reformasi
a. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di
bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai
lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan
korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari
masyarakat tidak mendapat dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri.
Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet
prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan
tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung pernah
diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung ada tahun
1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran
Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas
menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun
banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah
dan tanah yang tidak dilaporkan milik Jaksa Agung waktu itu, MA
Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya
KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir mempertahankan
KPKPN melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh
Mahakamah Konstitusi.
b. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki
5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh
Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK
telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi.
Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan
sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor
(Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus
korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa
pegawai Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari
berbagai kalangan namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit
banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus
korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan
pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil
Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu
terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri.
Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu
koruptor diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara, yaitu
Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu Tim
pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir
di luar negeri sebanyak Rp 6- 7 triliun.
c. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor)
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang
dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005.
Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus
dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap
pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri
asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Masa
tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur
kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat
diperpanjang. Tim ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor melaporkan perkembangan
kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah
disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan
usaha milik negara (BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan swasta dan
12 koruptor yang melarikan diri.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan
adanya kriteria kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh
komisi, dalam Kepres No. 11 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum
keberadaan Timtas Tipikor tidak menyebutkan kriteria kasus apa saja
yang menjadi kewenangannya.
d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Hasil evaluasi terhadap praktek pemberantasan dan penegakan hukum
tindak pidana korupsi dan perkembangan hukum nasional dan
internasional telah mendorong perubahan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil dalam penanganan tindak pidana korupsi dan yang
terakhir adalah diundangkannya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus
yang menngadili perkara tindak pidana korupsi dan perubahan tersebut
telah membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang.

D. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik


Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk
mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu
1.   Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus
dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.
Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan
dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-
akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar
pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem
tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan
sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan
adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu
politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-
pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses
penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala
aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat
dan tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi
pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan.
Adapula strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara
represif antara lain :
Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan
gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah
ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi,
serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan
korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan
kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai
politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan
pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah
bangkit memberantas korupsi.
Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab
serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan
korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang
ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan
menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian
menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur
organisasi tersebut.
Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi
adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat
manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial
masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan
korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti
korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan,
sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda
sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari
moral korup.
Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai
dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan
menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan
apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas
dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu
dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan
siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat
kehidupan.
Negara mengeluarkan 3 produk hukum tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi yaitu: UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 28 Tahun
1999 tentang enyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Kesimpulan dari ketiga UU yang menyangkut pemberantasan tindak pidana
korupsi ini merupakan lex specialis generalis. Materi substansi yang
terkandung didalamnya antara lain :
1. Memperkaya diri/orang lain secara melawan hokum (Pasal 2 ayat (1) UU
No.31 Tahun 1999). Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah
setiap orang baik yang berstatus PNS atau No-PNS serta korporasi yang
dapat berbentuk badan hokum atau perkumpulan.
2. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi.
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4. Adanya oenyakahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3
UU N0.31 Tahun 1999).
5. Menyuap PNS atau Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU No.20 Tahun
2001).
6. Perbuatan curang (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001).
7. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).

Oleh karena itu, keberadaan produk regulasi yang diberikan Negara untuk
menyelamatkan keuangan Negara dari perilaku korupsi, sangatlah dituntu kepada
para aparat penegak hokum lainnya untuk semkasimal mungkin dapat memahami
rumusan delik yang terkait dan menyebar di setiap pasal yang ada agar tepat
dalam menerapkan kepadapara pelaku.selain itu juga diperlukan
strategi  pemberantasan korupsi yang sangat jitu dan tepat.
Penerapan sangsi normatif mengenai korupsi kepada para pelakunya tidakakan
bermanfaat dan bernilai penyesalan bilamana tidak diikutkan juga beberapa
strategi. Ada 3 hal yang harus dilakukan guna mengurangi sifat dan perilaku
masyarakat untuk korupsi, anatara lain;
(1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah,
(2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta
(3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.

E. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat


Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
 Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak
pidana korupsi
 Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada
penegak hukum
 Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
 Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan
kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari
 Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
 Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

F. Pengembangan dan Pembuatan Insrtumen Hukum


Pemerintahan boleh saja berganti, tapi upaya memerangi korupsi tidak
akan pernah padam. Berbagai landasan dan instrumen hukum telah dibentuk di
Indonesia untuk memberangus dan memberantas tindak pidana korupsi. Berbekal
undang-undang dan peraturan pemerintah, korupsi berusaha dicegah dan
pelakunya diberi hukuman yang setimpal.
Indonesia memiliki dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana
korupsi yang menjadi pedoman dan landasan dalam pencegahan dan penindakan.
Salah satunya menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau
KPK untuk menjadi penggawa pemberantasan korupsi di tanah air.
Dasar-dasar hukum ini adalah bukti keseriusan pemerintah Indonesia
dalam memberantas korupsi. Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-
undang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini penindakan kasus
korupsi. Menyadari tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah juga mengajak peran serta masyarakat untuk mendeteksi dan
melaporkan tindak pidana korupsi. 
Berikut adalah dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia.
1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan
Presiden Soeharto. UU No. 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum
seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.
Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu
perbuatan merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme
masih marak terjadi di masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan
berikutnya, undang-undang antikorupsi bermunculan dengan berbagai macam
perbaikan di sana-sini.
UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN
Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman
Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi
pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan
tugas penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa
korupsi. TAP MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan
penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN
Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999
sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru.
Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang
kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara.
Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen
yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan
penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika
itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman. 
4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang di atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak
pidana korupsi di tanah air. UU ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara
Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang
dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan,
perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.
5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu
pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat yang diatur
dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau
informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat juga didorong untuk
menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Hak-hak masyarakat tersebut dilindungi dan ditindaklanjuti dalam
penyelidikan perkara oleh penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat
juga akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah yang juga diatur dalam
PP ini.
6. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi 
Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan
Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak
efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga dianggap pelu adanya
lembaga khusus untuk melakukannya. 
Sesuai amanat UU tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn
terbitnya Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal
peningkatan sinergitas antara KPK, kepolisian dan kejaksaan untuk
penanganan perkara tindak pidana korupsi. 
7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor menyembunyikan atau
menghilangkan bukti tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diatur soal
penanganan perkara dan pelaporan pencucian uang dan transaksi keuangan
yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya pemberantasan korupsi.
Dalam UU ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia.
8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional
Pencegahan Korupsi (Stranas PK)
Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang
Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.
Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional
yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai
acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan
lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara
itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran
Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.
Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan
Negara, dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.
9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK
terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana
korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik
Indonesia. 
Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres
ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam
pemberantasan korupsi.
10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban
Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi
Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan
pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi
(PAK) di perguruan tinggi.
Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban
Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi,
perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah
pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana. Selain
dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan
Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di
unit kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk
Pusat Kajian dan Pusat Studi
Kegiatan pengajaran PAK ini harus dilaporkan secara berkala ke Kementerian
melalui Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

G. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring adalah proses rutin pengumpulan data dan pengukuran
kemajuan atas objektif program. Memantau perubahan, yang fokus pada proses
dan keluaran. Monitoring melibatkan perhitungan atas apa yang kita lakukan
Monitoring menentukan apakah tindakan administrator, staf, dan
semua yang terlibat mengikuti standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
Pemeriksaan (auditing). Monitoring menetapkan apakah sumber dan
layanan yang diperuntukkan bagi pihak tertentu (target) telah mencapai mereka.
Proses dasar dalam monitoring ini meliputi tiga tahap yaitu:
 menetapkan standar pelaksanaan;
 pengukuran pelaksanaan;
 menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan
rencana.
Monitoring Center for Prevention (MPC) merupakan aplikasi terintegrasi
yang dikembangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
memudahkan monitoring dalam upaya koordinasi dan supervisi pencegahan
korupsi, telah diterapkan oleh jajaran Pemkab.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi ialah perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk
mengambil keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur
“penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran). Korupsi dinilai dari sudut
manapun ia tetap suatu pelanggaran. Korupsi mengakibatkan kurangnya
pendapatan Negara dan kurangnya kepercayaan.Fenomena umum yang biasanya
terjadi di Indonesia yaitu selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik,
namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.Mereka hanya ingin
memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
Oleh karenanya, disetiap negara harus memiliki strategi dan berupaya
menindak dan mencegah tindakan korupsi dengan kebijakan pemerintah masing-
masing.Seperti di Indonesia yang memberikan hukum pidana kepada pelaku
korupsi dan ditangani oleh lembaga-lembaga seperti BPK, KPK, dll. Yang paling
penting agar tidak terjadi korupsi adalah disetiap diri harus memiliki nilai-nilai
kejujuran dan rasa takut akan hal-hal yang haram.

B. Saran
Tindak pidana korupsi sangat merugikan bangsa dan negara, terutama bagi
negara yang masih berkembang.Karena hal tersebut dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan negara.Sebagai insan bermoral dan berpendidikan,
marilah jauhi segala tindakan yang menjurus pada tindak pidana korupsi demi
kemajuan bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Tim penulis buku pendidikan anti korupsi.(2011) Pendidikan Anti Korupsi Untuk
Perguruan Tinggi. JAKARTA: kementrian pendidikan dan kebudayaan RI
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian

Peraturan Presiden Republik Indoneisa Nomor 55 Tahun 2012 Tentang "Strategi


Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang (2012-
2025) Dan Jangka Menengah (2012-2014)"

KPK.(2014). Panduan Modul Pencegahan korupsi berbasis keluarga.jakarta:


Direktorat Pendidikan dan Pelayanan masyarakat kedeputian Bidang
Pencegahan Komisi pemberantasan Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai