Di Indonesia istilah Kemitraan atau partnership masih relative baru, namun demikian
prakteknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dahulu. Sejak nenek moyang
kita telah mengenal istilah gotong royong yang sebenarnya esensinya kemitraan.
Robert Davies, ketua eksekutif “The Prince of Wales Bussines Leader Forum” (NS
Hasrat jaya Ziliwu, 2007) merumuskan, “Partnership is a formal cross sector relationship
between individuals, groups or organization who :
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan adalah suatu
kerjasama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan
tentang komitmen dan harapan masing-masing, tentang peninjauan kembali terhadap
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi baik dalam resiko maupun
keuntungan yang diperoleh.
Dari defenisi ini terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu:
Secara ekonomi jelas masyarakat miskin berada di batas atau di bawah kemampuan
materi untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal yang diperlukan sebagai manusia wajar.
Kemiskinan sosial tampak dengan nyata bahwa masyarakat miskin memiliki banyak
keterbatasan di lingkungan sosialnya, baik dalam melakukan sosialisasi, interaksi secara
vertikal bahkan untuk menjalin network ke luar dari lingkungannya. Secara kultural
masyarakat miskin biasanya mendapatkan perlakuan yang tidak setara dan dipandang
undergrade dalam segmentasi atau struktur sosial. Dan secara politis masyarakat miskin tidak
memiliki peluang untuk melakuakan negosiasi terhadap kebijakan – kebijakan yang
diberlakukan di wilayahnya, bahkan kebijakan yang mengintervensi dibanyak segi kehidupan
mereka sekalipun. Pendek kata masyarakat miskin tidak cukup aksesibel terhadap banyak
aspek yang melingkupinya.