Anda di halaman 1dari 25

STRATEGI DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

DISUSUN OLEH:

1. TIRZA BENU (PO530320119145)


2. TITI PUSPA R BILLY (PO530320119146)
3. VALENTINO M.H MANGILI (PO530320119147)
4. WELHEMINA O.A MANBAIT (PO530320119148)
5. WURI A TUALAKA (PO530320119149)
6. YOHANA B.S BLEGUR (PO530320119150)
7. YUFRI NOMLENI (PO530320119151)
8. MURLYN LEDOH (PO530320118382)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
perkenannya kami dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah ini berisikan tentang “ STRATEGI
DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI ”. makalah ini di susun dengan maksud untuk
memenuhi tugas pelajaran farmatologi,
Makalah ini diatur secara sistematis dan kami mengambil beberapa sumber untuk
menjadi acuan dalam tugas makalah ini.Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan
dapat menjadi sumber pengetahuan kepada pembaca.kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya,oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami sangat menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Kupang, 05 november 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………..i


DAFTAR ISI …………...…………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………...1
1.3 Tujun ……………………………………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………….2
2.1 Definisi Korupsi.………………………………………………………….…………....….3
2.2 Pengertian Konsep Pemberantasan Korupsi`….……………………………………….….4
2.3 Strategi Pemberantasan Korupsi….…………………………………………………….…7
2.4 Upaya Pemberantasan Korupsi…..……………………………...………………………...12
2.5 Kasus dan Pembahasan Korupsi ………………………………………………………….16
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………....21
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………….21
3.2 Saran ……………………………………………………………………………………...21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Merebaknya praktek korupsi yang terjadi dimana – mana merupakan fakta yang sudah jelas
terbukti. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas di masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian
keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis
serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa.
Saat ini, korupsi sudah menjadi hal yang umum diperbincangkan dan banyak dilakukan oleh
kalangan pejabat, pegawai negeri, bahkan masyarakat kalangan menengah kebawah sekalipun
dinegara Indonesia ini. Korupsi seakan sudah menjadi tradisi yang membudaya dalam bangsa
indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definsi dari korupsi?
1.2.2 Bagaimana konsep dan dasar hukum pemberantasan korupsi ?
1.2.3 Bagaimana Strategi dalam pemberantasan korupsi ?
1.2.4 Apa upaya yang tepat dalam pencegahan dan penindakan korupsi ?
1.2.5 Bagaimana contoh kasus dan pembahasan korupsi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mahasiwa dapat mengetahui gambaran tentang strategi dan upaya pemberantasan
korupsi
1.3.2 Tujuan khusus
 Untuk mengetahui definisi korupsi
 untuk mengetahui konsep dan dasar hukum pemberantasan korupsi
 untuk mengetahui strategi pemberantasan korupsi
 untuk mengetahui upaya pencegahan penindakan korupsi
 untuk mengetahui kasus dan pembahasan korupsi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Korupsi


Korupsi berasal dari bahasa Latin coruptio dan corruptus yang berarti kerusakan atau
kebobrokan.. Dalam bahasa Yunani corruptio perbuatan yang tidak baik, buruk, curang,
dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama,
materil, mental dan umum.
Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada kerabat dan
famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini terdapat “perangsang
dengan pertimbangan tidak wajar.” Jadi korupsi, sekalipun khusus terkait dengan
penyuapan dan penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan
wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan pribadi, keluarga dan
kelompok.

2.2 Pengertian Konsep dan Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi

Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami.
Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep
merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat
pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang
dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari
pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik. Dapat disimpulkan bakwa
konsep pemberantasan korupsi adalah kerangka acuan yang digunakan dalam
pemberantasan korupsi. Segala bentuk pemberantaasan korupsi yang akan dilakukan
berdasarkan pada konsep yang telah disusun tersebut.

Korupsi dapat terjadi jika ada peluang, keinginan, dan bobroknya system pengawasan
dalam waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari; mana saja, misalnya suap
ditawarkan pada seorang pejabat, atau sebaiknya seorang pejabat, meminta atau bahkan
dengan cara memaksa memberikan uang pelicin. Orang yang menawarkan suap karena ia
menginginkan sesuatu yang bukan haknya dan ia menyuap pejabat supaya pejabat itu
mengabaikan peraturan. Keinginan korupsi dapat timbul karena kemiskinan.
Karena korupsi menyangkut semua aspek bidang kehidupan masyarakat, sehingga
sangat sulit diberantas. konsep pemberantasan korupsi harus disesuaikan dengan konteks,
masyarakat ataupun organisasi yang dituju. Berikut merupakan contoh yang berkaitan dengan
konsep pemberantasan korupsi berdasarkan konteks :
1. Masyarakat dengan konteks atau kondisi taat pada agama akan memilih konsep
pemberantasan korupsi yang berorientasi pada hukun agama. Sehingga dalam penyusunan
konseppun akan mengacu pada hukum agama yang dianut.
2. Suatu organisasi yang memiliki konsep demokratis akan menyusun sebuah konsep yang
menitik beratkan pada nilai-nilai demokratis
Dasar hukum pemberantasan korupsi adalah norma hukum yang menjadi landasan bagi setiap
Tindakan hukum oleh subjek hukum baik orang perorangan ataupun yang berbentuk badan
hukum. Dasar hukum pemberantasan korupsi adalah hukum-hukum yang melandasi tindak
pidana korupsi dan pemberantasan tindak pidana korupsi
 UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
 UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
 UU No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
 Ketetapan MPR No X/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas KKN
 UU No 25 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
 UU No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK)
 Instruksi presiden republic Indonesia No 5 tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi
 Peraturan pemerintah No 71 Tahun 2000 tentang cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana kurupsi
 Peraturan pemerintah no 63 tahun 2005 tentang system manajemen sumber daya
manusia KPK
 Lembaga negara/pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
2.3 Strategi Pemberantasan Korupsi
Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam
kurun waktu tertentu. Strategi pemberantasan korupsi adalah sistematika pemberantasan
korupsi yang telah dirancang dengan berbagai cara agar dapat diaplikasikan dan
menghasilkan suatu output yang ingin dicapai.
Strategi untuk mengontrol korupsi harus berfokus pada 2 unsur yakni peluang dan
keinginan. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan berubahan secara sistematis,
sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan cara membalikkan situasi kalkulasi resiko
“untung rugi, resiko rendah” dengan cara menegakkan hukum, memberikan hukuman dengan
efek jera secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.
Memberantas korupsi bukanlah tujuan akhir, melainkan perjuangan melawan perilaku
jahat dalam pemerintah yang merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni
menciptakan pemerintahan yang efektif, adil, dan efisien melalui berbagai strategi sebagai
berikut.
1. Reformasi Birokrasi
Wewenang pejabat publik untuk mengambil keputusan dan kecenderungan
menyalahgunakannya dapat diperkecil dengan cara memodifikasi struktur organisasi dan
pengelolaan program-program publik. Perubahan ini akan memperkecil insentif untuk
memberi suap dan dapat memperkecil jumlah transaksi dan memperbesar peluang bagi
masyarakat unuk mendapat pelayanan publik yang baik.
Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk
mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal,
semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk
menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan
mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus
suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
2. Budaya
Senjata yang paling ampuh dalam pertempuran melawan korupsi adalah
menumbuhkan kultur demokratis dan egaliter. Ciri kultur demokrasi adalah keterbukaan
dan pengabdian kepada keterbukaan. Pengawal keterbukaan yang paling efektif adalah
warga negara yang terhimpun dalam organisasi-organisasi yang dibentuk untuk tujuan
yang diharapkan. Dalam konteks ini pers yang bebas sangat dibutuhkan. Tanpa kebebasan
untuk mengajukan pertanyaan atau untuk mengadakan perubahan, rakyat tetap tidak
berdaya karena terperangkat dalam system demokrasi yang dangkal.
3. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga
yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara
didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh
Parlemen Swedia dengan nama Justitieombudsmannen pada tahun 1809. Peran lembaga
ombudsman yang kemudian berkembang pula di negara lain--antara lain menyediakan
sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga
Pemerintah dan pegawainya.
Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat
serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah
maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah
mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk
mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004).
Di Hongkong dibentuk lembaga anti korupsi yang bernama Independent Commission
against Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA). Kita
sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi.
Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4. Memperbaiki kinerja lembaga peradilan
Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah
dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah
diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian
korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi
yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota
negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat
pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
Lembaga yang harus perhatikan adalah dari tingkat kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum
yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang
tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila
kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti
pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi
masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat
(strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai
perkara korupsi.
Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal
harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini sama sekali ‘tidak punya gigi’
ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.
Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak
dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih
menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru
melakukan berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR
dan DPRD yang terbukti melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di
Indonesia. Untuk itu kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada
saat Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya integritas.
Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan
perundang-undangan. Salah-salah kebijakan tersebut justru digunakan bagi kepentingan
beberapa pihak bukan bagi kepentingan rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak
mengeluarkan sebuah kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak,
masyarakat sipil (civil society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut mengawal
pembuatan kebijakan tersebut.
5. Kelembagaan
Secara kelembagaaan ada fungsi-fungsi kunci yang harus dilakukan oleh tulang
punggung pemberantasan korupsi, baik pada tingkat prefentif, detektif, maupun represif.
Harmonisasi kinerja antara lembaga kejaksaan agung, POLRI, badan pemeriksaan
keuangan (BPK), dan KPK memegang peran penting dalam mensukseskan
pemberantasan. Hanya disayangkan, saat ini tumpang tindih wewenang dan persaingan
tidak sehat membayangi kinerja beberapa lembaga tersebut. Perseteruan antara KPK dan
POLRI, atau POLRI dan kejaksaan agung merupakan salah satu contoh ketidak
harmonisan tersebut.
6. Integrasi Sistem Pemberantasan Korupsi
Tujuan pokok pembangunan sistem integritas nasional adalah membuat tindak
pidana korupsi menjadi tindakan yang mempunyai “risiko tinggi” dan memberi “hasil
sedikit”. Sistem itu dirancang untuk memastikan jangan sampai korupsi dapat terjadi,
bukan mengandalkan sanksi hukum setelah korupsi terjadi. Integrasi sistem pemberantasan
korupsi mencakup pilar-pilar; eksekutif, parlemen, peradilan, pelayanan publik, lembaga
pengawas (BPK, KPK), masyarakat sipil dan media massa. Integrasi sistem
pemberantasan korupsi membutuhkan identifikasi sistematis mengenai kelemahan dan
peluang untuk memperkuat dan memperkokoh setiap pilar sehingga bersama-sama
menjadi kerangka yang kokoh. Untuk mewujudkan pelaksanaan proses kerja penanganan
tindak pidana korupsi yang lancar, perlu dibuat: Pertama, sistem dan prosedur kerja antar
instansi yang terkait dengan Core Unit. Kedua, standar pelaporan yang akan di pakai
sebagai dokumen antar instansi. Ketiga, penjadwalan pertemuan regular untuk
pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, agar dapat
diwujudkan persamaan persepsi atas suatu masalah.
7. Sumber Daya Manusia
Upaya untuk memberantas kemiskinan etika dan meningkatkan kesadaran adalah
mutlak diperlukan, karenanya sumber daya manusia yang unggul harus terus di bangun
terutama melalui pendidikan. Sumber daya masyarakat yang seperti itu merupakan
landasan yang sangat penting bagi sistem integritas nasional dalam pemberantasan
korupsi. Masyarakat yang kurang terdidik dan apatis tidak tahu hak-haknya dan bersikap
menyerah pada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, sementara pejabat pemerintahan
yang tidak berprinsip hanya akan mengikuti arus dominan yang ada di lingkungan
kerjanya tanpa bisa berpikir kritis dalam memahami dan melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya.
8. Infrastruktur
Infrastruktur yang di maksud disini adalah lembaga trias politika yang meliputi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berjalannya fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
pada koridor hak dan kewajibannya masing-masing akan memberikan kontribusi yang
diharapkan dalam pemberantasan korupsi. Sebaliknya jika tidak, maka berarti infrastruktur
politik nasional ini perlu dibenahi sehingga lembaga tersebut berfungsi sebagaimana
mestinya dan pada akhirnya mendukung upaya pemberantasan korupsi nasional.
9. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik
untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum
maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat
kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan
jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang
didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain
misalnya anggota keluarga.
a. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah
maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan
melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas atau
akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran
tersebut. Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini.
b. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan anggota militer baru.
Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem yang
transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota militer juga
perlu dikembangkan. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri
yang menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result
oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja
pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya
positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu
kinerja pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus disertai dengan berbagai pra-
kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi korupsi, karena salah-salah hal ini
justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi bonus diantara para pegawai negeri.
10. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus
dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala
informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan
dan menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan
sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian yang sangat
penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk meningkatkan public
awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi. Sosialisasi serta
diseminasi di ruang publik mengenai apa itu korupsi, dampak korupsi dan bagaimana
memerangi korupsi harus diintensifkan. Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan media massa (baik cetak maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi.
Spanduk dan poster yang berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’
dipasang di kantor-kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi.
Di beberapa negara termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah satu bagian
dari mata pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah dan
perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan secara nasional. Transparency
International juga mengeluarkan toolkit mengenai pendidikan anti korupsi untuk anak di
tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang mahasiswa pelajari saat ini adalah salah satu
cara supaya mahasiswa dapat mengetahui selukbeluk korupsi dan meningkatkan kepedulian
serta kesadaran akan bahaya korupsi. Di beberapa sekolah didirikan ‘Kantin Kejujuran’
yang bertujuan untuk melatih kejujuran siswa.
Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk
melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana masyarakat
dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya.
Mekanisme tersebut harus dipermudah atau disederhanakan misalnya via telepon, surat atau
telex. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet adalah salah satu
mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.
Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak
dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa
bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan individu. Walaupun sudah
memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yakni UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan
akan tuntutan balik melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus
korupsi.
Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi
yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Menurut Pope
media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Selain berfungsi
sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi, media memiliki fungsi yang efektif untuk
melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi
Time menyatakan bahwa ‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh
sekalipun dapat dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak
diawasi oleh pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang melawan
korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan jabatan
mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko bahwa perbuatan
mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh pers (Pope: 2003). Namun media juga
memiliki titik lemah. Hal ini terjadi apabila media tersebut dimiliki oleh pemerintah.
Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun televisi dan radio terbesar dalam suatu negara.
Kita ambil contoh saja TVRI dan RRI. Karena milik pemerintah, tentu saja independensinya
tidak dapat terlalu diandalkan. Salah satu titik lemah lagi dari media adalah pekerjaan
jurnalisme yang berbahaya. Penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap jurnalis atau
wartawan menjadi hal yang biasa (Pope : 2003). Segala macam cara akan digunakan oleh
mereka (terutama yang memiliki uang dan kekuasaan) yang tidak ingin namanya tercoreng
karena pemberitaan di media. Selain itu banyak pula negara yang berupaya untuk
melakukan penyensoran terhadap informasi yang akan diberitakan oleh media atau bahkan
pencabutan ijin usaha sebuah media.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau
internasional juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Mereka adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat
diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti-
Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki fungsi untuk
melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Simak saja apa yang telah dilakukan
oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), salah satu LSM lokal yang berkedudukan di
Jakarta. LSM ini menjadi salah satu garda terdepan yang mengawasi segala macam
perbuatan pemerintah dan perilaku anggota parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti
pekerjaan jurnalisme yang berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap
aktivis LSM sangat sering terjadi.
Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan
menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic
surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan mengumpulkan data
dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang pada tempat-tempat tertentu. Alat
tersebut misalnya audio-microphones atau kamera video (semacam kamera CCTV atau
Closed Circuit Television) atau data interception dalam kasus atau di tempat-tempat di
mana banyak digunakan telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik.
Namun di beberapa negara, penggunaan electronic surveillance harus disetujui terlebih
dahulu oleh Upaya Pemberantasan Korupsi masyarakat, karena masyarakat tidak ingin
pemerintah ‘memata-matai’ segenap aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan.
Tindakan memata-matai atau ‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis dianggap
melanggar hak asasi terutama hak akan privacy. Dalam beberapa kasus, negara yang otoriter
justru akan menggunakan data yang terekam dalam electronic surveillance untuk melakukan
intimidasi terhadap rakyatnya.
11. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang mendukung Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi.
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya
mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu
dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung
pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau
Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu
instrumen hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers,
perlu UU yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat
yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan electronic surveillance juga
perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu hak warga negara untuk
secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur. Pasalpasal yang
mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta
menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi
seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana
perlu diamandemen atau dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan
masyarakat. Masyarakat tidak boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya.
Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau
code of conduct yang ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif,
legislatif maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan).
12. Monitoring dan Evaluasi
Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan
pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi,
sulit mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi,
dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal. Untuk strategi atau program
yang sukses, sebaiknya dilanjutkan. Untuk yang gagal, harus dicari penyebabnya.
Pengalaman negara-negara lain yang sukses maupun yang gagal dapat dijadikan bahan
pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya maupun program pemberantasan korupsi
di negara kita. Namun mengingat ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang dapat
digunakan, kita tetap harus mencari cara kita sendiri untuk menemukan solusi memberantas
korupsi.
13. Kerjasama Internasional
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan
kerjasama internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan
International NGOs. Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency
Internasional (TI) misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD membuat
program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for
Integrity. Pembahasan mengenai gerakan dan kerjasama internasional pemberantasan
korupsi akan diuraikan dalam bab berikutnya.
2.4 Upaya Pemberantasan dan Penindakan Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia sudah sangat tinggi.
Perkembangan korupsi meningkat tiap tahunnya. Namun demikian, kita tentu tidak boleh
pesimis begitu saja. Selama ada itikad baik untuk memberantas korupsi secara tegas, maka
selama itu pula ada harapan untuk menghilangkan budaya korupsi dari bumi indonesia.
Berikut ini dijelaskan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
1. Upaya Preventif
a. Upaya pemberantasan korupsi secara preventif dapat dilakukan melalui
pendidikan moral agama yang ditanamkan sejak dini pada setiap orang, berupa
kesadaran akan bahaya laten korupsi.
b. Meningkatkan kesadaran moral masyarakat untuk selalu menjaga perbuatannya
sehingga tidak terperosok pada perbuatan kejahatan yang merugikan.
c. Meningkatkan kesadaran moral pada pejabat apatur negara dan penegak hukum agar
kekuasaannya dijalankan sebagaimana seharusnya dan tidak sewenang-wenang.
2. Upaya Represif
Yaitu ditempuh dengan upaya hukum bagi para pelaku korupsi. Pelaku korupsi jika
ia terbukti bersalah maka ia tidak bisa lepas dari jeratan hukum. Upaya hukum dalam
pemberantasan korupsi memerlukan aturan hukum tentng korupsi secara tegas. Aturan-
aturan tersebut meliputi :
a. Berbagai peraturan perundang undangan tentang korupsi
b. Dibentuknya berbagai badan hukum yang khusus mempunyai kewenangan luas,
independent, serta bebas dari kekuasaan manapun, sehingga dengan tegas dan
leluasa memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di indonesia.
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga
ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-
awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di
Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
sekarang menjadi organisasi non pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang
demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi
Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia,
disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005,
Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah
2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta
hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola,
Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi
Arief : 2008) :
1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)
2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment)
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment /
mass media)
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan
jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara
kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih
menitikberatkan pada sifat epressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai
tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan
menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat
ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi
Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat.
Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi;
tambahan dari penulis). Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki
posisi penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi
strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal’. Upaya yang kedua adalah upaya penal
dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi
pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi. Ada hal penting yang
patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi
negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan
tersebut adalah :
1. Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam
bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir
apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi).
2. dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang
tinggi.
3. sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan
yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan.
4. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am
symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan
pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar
jangkauan hukum pidana.
5. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya
yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks.
6. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural
atau fungsional.
7. efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.
Rumusan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dipidana dengan pidana penjara paling sedikit empat tahun dan paling lama 20 tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Berdasar pasal tersebut, unsur-unsur tindak pidana korupsi
adalah :
1. melawan hukum
Pengertian “secara melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun melawan hukum dalam arti materiil, yaitu
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Disamping itu kata “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur- unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.

2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi


Pasal 3 Undang Undang No. 31 tahun 1999 mengatur bahwa setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Menurut pasal tersebut, unsur-unsur tindak pidana
korupsi adalah :
a. Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
b. Menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya , karena jabatan a tau
kedudukan;
3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Maksud dari keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
negara baik di tingkat pusat maupun daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang
menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kamakmuran dan kesejahteraan pada seluruh kehidupan rakyat.
2.5 Kasus dan Pembahasan Korupsi
Kasus dinasti Ratu Atut
Berdasarkan konferensi pers yang di adakan di Gedung KPK Kuningan. Ketua KPK
Abraham Samad mengumumkan bahwa Ratu Atut terlibat dalam kasus dugaaan suap
terkait penanganan sengketa pilkada lebak dan ditetapkn sebagai tersangka. Atut di jerat
dengan pasal 6 ayat 1 a. UU No 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Junceto
pasal 55 ayat 1 nomor 1 KUHP. Ratu Atut di nyatakan secara Bersama-sama atau turut
serta dengan tersangka yang sudah ditetapkan terlebih dulu yaitu adiknya Tubagus
Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan ketua mahkama konstitusi Adil Mochtar.
Setelah di periksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya pada 20 desember. Atut
langsung di jebloskan ke penjara. Atut akan di tahan selama 20 hari kedepan di rumah
tahanan pondok bamboo Jakarta. Walau begitu, mentri dalam negeri Gamawan Fauzi
mengatakan atut sebagai gubernur sampai ia ditetapkan sebagai terdakwa. Sedangkan
Sebagian tugas atut diserahkan kepada wakilnya Rano Karno. Komisi pemberantasan
korupsi masih terus mendalami kasus pendugaann korupsi pengadaan sarana dan
prasarana alat kesehtan di provinsi banten. Sejumlah saksi dari pemasok barang di
jadwalkan menjalani pemeriksaan selasa 1 april 2014. Mereka di antaranya Albert
Ronaldi (PT Arta Trisna Medeo), Yusuf (PT Arta Trisnu Medeo) Bastian (PT Beta
Medical), RIZAL Achmadi (Country manager ITS Science dan medical PTE LID) dan
Kaharmuddin ( direktur PT alfa sarana Makmur). “ di periksa sebagai tersangka TCW
(Tubagus Chaery wardana)” kata kabak pemberitaan dan informasi KPK, prihasan
nugraha, saat di konfirmasi. Sejumlah saksi dari pihak swasta ini untuk mendalami
modus korupsi pengadaan alat Kesehatan itu. Sebab, saksi yang di periksa berasal dari
perusahan yang bergerak di bidang pengadaan alat Kesehatan
Terkait tindak pidana korupsi pengadaan sarana alat Kesehatan pemprov banten tahun
anggaran 2011 -2013, KPK telah menetapkan dua orang tersangka yaitu Ratu Atut
Chosia dan adiknya, Tubagus Chaery Wardana. Keduanya di sangkakan pasal dua ayat
satu dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999. Sebagai mana diubah dalam undang-undang
no 20 tahun 2001, pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh Ratu
Atut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 79 miliar sesuai laporan hasil
pemeriksaan investigative BPK pada 31 desember 2014. Memungkinkan terdakwa ratu
atut chosiyah yang sebesar 3.859 miliar. Kerugian negara juga bertambah karena ada
pemberian fasilitas berlibur ke bejjing. Berikut uang saku senilai total Rp 1,659 miliar
untuk pejabat dinkes banten, tim survei panitia pengadaan dan panitia pemeriksa hasil
pekerjaan. Atas perbuatan itu, Ratu Atut di dakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 ,
pasal 18. UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP pasal 64 ayat
(1) KUHP.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Korupsi ialah perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk
mengambil keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur
“penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran). Korupsi dinilai dari sudut
manapun ia tetap suatu pelanggaran. Korupsi mengakibatkan kurangnya
pendapatan Negara dan kurangnya kepercayaan. Fenomena umum yang biasanya
terjadi di Indonesia yaitu selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin
berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.
Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Oleh karenanya, disetiap negara harus memiliki strategi dan berupaya
menindak dan mencegah tindakan korupsi dengan kebijakan pemerintah masing-
masing. Seperti di Indonesia yang memberikan hukum pidana kepada pelaku
korupsi dan ditangani oleh lembaga-lembaga seperti BPK, KPK, dll. Yang paling
penting agar tidak terjadi korupsi adalah disetiap diri harus memiliki nilai-nilai
kejujuran dan rasa takut akan hal-hal yang haram. Karena sejatinya orang yang
memiliki harta yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya,
paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses
kehidupannya, dipenuhi keberkahan dan kehormatan serta harga diri bersih dan
terjaga. 
3.2 Saran
Tindak pidana korupsi sangat merugikan bangsa dan negara, terutama bagi
negara yang masih berkembang. Karena hal tersebut dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan negara. Sebagai generasi muda yang bermoral
dan berpendidikan, marilah jauhi segala tindakan yang menjurus pada tindak
pidana korupsi demi kemajuan bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Eemansjah, Memberantas korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika,


2010

Tim penulis buku pendidikan anti korupsi. (2011) Pendidikan Anti Korupsi Untuk
Perguruan Tinggi. JAKARTA: kementrian pendidikan dan kebudayaan RI Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian

Arief, Barda Nawawi, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukup
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana.

Anda mungkin juga menyukai