Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ TINDAK PIDANA ANTI KORUPSI “

Di Susun oleh

YUNUS PIGOME

RESTI NANINGSIH Y. SAMIU

PUSPITA DA’MAN

RIRIN MO’O

SRI NOLA MONITA

MELISA KAABA

FIRMAN PAWENI

PRODI : MANEJEMEN REGULER A

T.A 2018-2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT serta Shalawat salam semoga senantiasa
terlimpahkan atas Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya
serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Al-hamdulillah, akhirnya apa yang telah direncanakan untuk


menyelesaikan makalah ini bisa terlaksana. Makalah ini disusun dalam rangka
pemenuhan tugas akademik mata kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”.

Tak ada gading yang tak retak, penyusun memohon maaf yang sebesar-
besarnya bila didalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan
kekhilafan. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga
Allah mengampuni dosa kita semua. Amiiin…

Penulis berharap dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat


khsusnya bagi penulis sendiri dan para pembaca umumnya serta semoga dapat
menjadi bahan pertimbangan prestasi di masa yang akan datang.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Limboto, Mei 2018


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................


Daftar Isi...................................................................................................................
Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................................
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................
1.3 Tujuan ................................................................................................................
Bab 11 Pembahasan ................................................................................................
2.1 Pengertian korupsi .............................................................................................
2.2 Dampak masif korupsi .....................................................................................
2.3 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ............................................
2.4 Fenomena korupsi di Indonesia ......................................................................
2.5 Kebijkan pemerintah dalam pemberantasan korupsi .....................................
2.6 Peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi ....................................
2.7 Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi......................
2.8 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi ........................
2.9 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi ...............
2.10 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia ....................................
2.12 Nilai dan Prinsip Anti Korupsi......................................................................
Bab 111 Penutup .....................................................................................................
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................
3.2 Saran ...................................................................................................................
Daftar Pustaka ..........................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam


khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit
tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di
musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
mempengaruhi kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi
Negara. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi
dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang
paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin
meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun
nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan


emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang
korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk
bertindak tegas kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat
gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan
manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin
berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem
pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.

Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya


membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi
terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas
teri. Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi dan sinkronisasi
telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta
pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi
meski sudah pada tahun keenam perayaan hari anti korupsi ternyata masih
jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “Kuantitas”. Keberadaan lembaga-
lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan
bagi para koruptor, bahkan hal tersebu turut disempurnakan
dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.

Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman


yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga
merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit
penyakit birokrasi. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan
hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak
korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di
Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?


2. Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis – jenis korupsi ?
3. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
4. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ?
5. Peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi
6. Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ?
7. Upaya-upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di
indonesia?
8. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari korupsi.
2. Mengetahui gambaran umum tentang korupsi dan jenis – jenis korupsi.
3. Mengetahui fenomena korupsi di Indonesia.
4. Mengetahui kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
5. Mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantasan korupsi.
6. Mengetahui peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.
7. Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
8. Mengetahui kendala atau hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
9. Mengetahui Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas
korupsi di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus.


Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity),
tindakan tak bermoral, kejahatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau
kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-
tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian
mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption;
Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda
terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi. Kumorotomo (1992
: 175), berpendapat bahwa “Korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab
kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk
penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo
mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang
tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu
muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan
(concealment).

Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk


kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk
kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan
orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah
memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara.
Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan
pejabat yang menggunakan dana public yang mereka urus untuk kepentingan
diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih
mahal.

Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara


baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai
aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di
mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara
tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
2.2 Dampak Masif Korupsi

A. Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi


Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enormous
destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling
bertaut satu sama lain.
Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni
semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas
pelayanan, dan juga sering terjadinya pembatasan akses terhadap berbagai
pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan
sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang
seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin,
melalui pembatasan pembangunan. Dampak yang tidak l angsung ini umumnya
memiliki pengaruh atas langgengnya sebuah kemiskinan.

Secara sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat


dikategorikan dalam
dua kategori, yakni :
1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat
terus menerus;
2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya
adalah menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu
akibat perubahan yang terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat
adanya kemiskinan struktural, maka adalah naif jika kita beranggapan bahwa
virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah buah dari budaya
malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty). William Ryan, seorang
sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari
berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat berprestasi, fatalis.
Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan korban).

Pada tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in


Indonesia and the World Bank telah melaksanakan proyek “Corruption and the
Porr”. Proyek ini memotret wilayah permukiman kumuh di Makassar,
Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin menjelaskan bagaimana korupsi
mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan mengaplikasikan suatu metode the
Participatory Corruption assessment (PCA), di setiap lokasi penelitian, tim
proyek melakukan diskusi bersama 30-40 orang miskin mengenai
pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi. Kegiatan ini juga diikuti
dengan wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui dimana
dan bagaimana korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan
dan pemahaman yang holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan
sosial orang miskin pun didapat. Para partisipan program PCA ini
mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi, yakni :
1. Ongkos financial (financial cost)
Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban
yang berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
2. Modal manusia (human capital)
Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk
sekolah, pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah,
yang kesemuanya berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
3. Kehancuran moral (moral decay)
Korupsi merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku
(the rule law) untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)
4. Hancurnya modal sosial (loss of social capital)
Korupsi mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta
memporakporandakan kohesifitas komunitas.

B. Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat


Korupsi tidak diragukan dalam menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam
masyarakat.
1. Menurut Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau
Penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai
oraganisasi Negara dan mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang
populer sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan
penting. Bahkan, di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan
proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang
korup. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
2. Menurut Transparensy International, terdapat pertalian erat antara
jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi
meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya,
ketika angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan,
mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan
lain dalam masyarakat.
3. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu
Negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana
dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang
secara ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat
(marginal detterence). Kondisi ini hanya
terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah
memadai.
C. Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi
Negara kita sering disebut bureaucratic polity. Birokrasi pemerintah
merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, birokrasi pemerintah juga
merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada
masyarakat. Namun di sisi lain, birokrasi sebagai pelaku roda pemerintahan
merupakan kelompok yang rentan terhadap jerat korupsi.

Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Sudah


menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi
pameo “jika bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”. Semakin tidak
efisien birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi
Negara ini. Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah
yang tidak terhitung banyaknya. Singkatnya, korupsi Menumbuhkan ketidak
efisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat
dikategorikan dalam dua kecenderungan umum : yang menjangkiti masyarakat
dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi tidak saja terbatas
pada transaksi yang korup yang dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak
atau lebih, melainkan juga meliputi berbagai akibat dari perilaku yang korupsi,
homo venalis.

Transparency International (TI), sebagai lembaga internasional yang


bergerak dalam Upaya anti korupsi, membagi kegiatan korupsi di sector publik
ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Korupsi Administratif
Secara administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”,
yaitu meminta Imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan,
serta korupsi yang “bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang
untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah
air, jenis korupsi administrative berwujud uang pelicin dalam mengurus
berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin
Mengemudi (SIM), Akta Lahir, dan paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal,
seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus di proses dengan
cepat.
2. Korupsi Politik
Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”. Misalnya,
uang yang diberikan dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar
tidak perlu ke pengadilan. Manajemen kerja birokrasi yang efisien sungguh
merupakan barang yang langka di tanah air. Menurut HS. Dillon, birokrasi
hanya dapat digerakkan oleh politikus yang berkeahlian dalam bidangnya.
Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari kalangan profesi atau akademikus
tanpa pengalaman dan pemahaman tentang kerumitan birokrasi.
D. Dampak Terhadap Briokrasi Pemerintahan
Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja
suatu system politik atau pemerintahan.

a. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada


dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam
manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal,
melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor
bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang
berdampak sosial sering bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi
terhadap organisasi yang lebih nyata.

b. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga


yang diduga terkait dengan tindak korupsi.

c. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai


kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik
telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit (vested interest). Sering
terdengar tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis bahwa lembaga
multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan Bank Dunia
adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni global
yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini
sangat mungkin menimpa pejabat publik yang memperalat suatu lembaga
politik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam kasus seperti ini,
kehadiran masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat
meminimalisir terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi
pemerintah, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Korupsi menghambat peran Negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas
ekonomi dan politik.
Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan
Mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih,
koruptor sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus
untuk kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang
membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan
bencana bagi rakyat.
E. Dampak Terhadap Kerusakan Lingkungan
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan
kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu
memberi pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan
sendirinya akan luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi,
maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada
pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan
demoralisasi di kalangan masyarakat.

2.4 Gambaran Umum Tentang Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya
“Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh
Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata. Pada era Orde Baru, muncul
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib” yang dilakukan
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun
dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit
sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan
kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah


cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak
sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan,
dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi,
Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan
menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

2.5 Fenomena Korupsi Di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di Negara berkembang


contohnya Indonesia
ialah:
1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia
pada lembaga-lembaga politik yang ada.
2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya
“oknum” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial,
keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak di antara mereka yang tidak mampu.
4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan
dalih “kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :


1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
berubah-ubah Sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada
kepentingan umum.
3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-
lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta
dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korupsi.
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa
kelompok kecil Yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada
kelompok masyarakat besar (rakyat).
6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor
di bidang politik dan ekonomi bisnis.
7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya
jabatan dan hirarki politik kekuasaan.
2.6 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi

Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi,


Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi
sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono
telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa
Agung Dan kapolri:
1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana
Korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang
yang di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum) Anggota polri dalam rangka
penegakan hukum.
3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dengan Kepolisian Negara RI,
selain denagan BPKP, PPATK, dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya
penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan
dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
1. Mendesain ulang layanan publik .
2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah
yang Berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat-pangkat pendukung dalam pencegahan
korupsi.

2.7 Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam


mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi
independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak
KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
2.8 Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi:

Bentuk-bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana


korupsi Menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah sebagai berikut:
1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak
pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada
penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang di berikan
kepada Penegak hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

2.9 Upaya Yang Dapat di Tempuh Dalam Pemberantasan Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak


korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut :

1. Upaya Pencegahan (Preventif)


a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan Negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tanggung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggi dan dibarengi sistem control yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawaban di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat
dan dihukum pidana. Beberapa
Contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov
Rusia milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melakukan pungutan liar dalam pengurusan d okumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
J akarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuangan Negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement
deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitia Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i). Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan Negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:

a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol


sosial terkait dengan kepentingan publik.
b.Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
pemerintahan Negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

2.10 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi

Korupsi dapat terjadi di Negara maju maupun negara berkembang


seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan
kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa
Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi
yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan
kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol,
sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada
system politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari
contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak
dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untu k mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan
Negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam
menjalankan Amanah yang diemban.

2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia

a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab


langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik.
b. Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
c. Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
d. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
e. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
f. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
g. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman
lama".
h. Lemahnya ketertiban hukum.
i. Lemahnya profesi hukum.

2.12 Nilai dan Prinsip Anti Korupsi

Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan
faktor eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang
meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait
dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan
menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu, Setidaknya ada
sembilan nilai-nilai anti korupsi yang penting
untuk ditanamkan pada semua orang, yaitu :
1. Kejujuran
2. Kepedulian
3. Kemandirian
4. Kedisiplinan
5. Tanggung jawab
6. Kerja Keras,
7. Sederhana,
8. Keberanian, dan
9. Keadilan.

Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan


korupsi.
Memberikan penyuluhan serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam
menindak lanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang
terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis
terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat
sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan
mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja
melainakan seluruh lapisan masyarakat.

Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.


Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen
pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk
dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak
positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk
kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan
pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh
hasil negosiasi yang terbaik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur b


irokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat
bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan
sistem administrasi Negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya
delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di
Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk
membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan,
banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan
bahkan terdakwah pun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari
hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yan g diterapkan tidak drastis, upaya
pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal. Meski demikian, pemberantasan
korupsi jangan menajadi “jalan tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus
lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi
dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi
etika atau akhlak manusia.

3.2 Saran
a. Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b. Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu
mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Memiliki sifat takut dalam melakukan korupsi.
d. Jangan menghancurkan orang lain demi kepentingan pribadi.
e. Berusaha bersikap jujur didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
g. Memiliki pendidikan yang kuat apalagi dalam pemberantasan korupsi.
h. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
i. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak
menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum
dalam menangani kasus korupsi.
j. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus
memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan
secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan
keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
k. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah,
ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena
bagaimana pun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di
dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan,
niscaya sistem tersebut akan dapat disalah gunakan, diselewengkan atau
dikorupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,


Kesejahteraan dan Keadilan.
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi
(Chaerudin,SH.,MH.
Syafudin Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif Fadillah,SH.,MH.)
Modus Operandi Pelanggaran Keppres No. 80 tahun 2003 dari Perspektif KPK
(http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsidi.
html ) Budiyanto, Drs. MM. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA
Kelas
X. Jakarta: Erlangga
Drs.Joko Budi santoso. Pendidikan kewarganegaraan untuk SMK Kelas X
http://harissoekamti.blogspot.com/
http://wawasanfadhitya.blogspot.com/2012/08/upaya-pemberantasan-korupsi-
diindonesia.
html#ixzz2BmyhoUVF
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada
Dikoro wirdjono projo, (2005), tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap
KPK dan
Korupsi Tahun 2008.
www.wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai