Anda di halaman 1dari 124

ETIKA

ANTIKORUPSI
Menjadi Profesional Berintegritas
ETIKA ANTIKORUPSI:
“MENJADI PROFESIONAL
BERINTEGRITAS”

Tim Penulis Kontributor


Mikhael Dua Rimawan Pradiptyo, PhD
Andre Ata Ujan Gandjar Laksmana Bonaprapta
T. Sintak Gunawan Desiantien S Pringgopoetro
R. Ristyantoro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo
ETIKA ANTIKORUPSI: “MENJADI PROFESIONAL BERINTEGRITAS”

Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Gedung Merah Putih KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920
http://www.kpk.go.id

ISBN: 978-602-52387-7-2

Penerbitan buku ini merupakan hasil kerjasama antara Komisi Pemberantasan


Korupsi dengan Pusat Pengembangan Etika (PPE) Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya

Pengarah:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Deputi Bidang Pencegahan KPK

Koordinator:
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Tim Penulis:
Mikhael Dua
Andre Ata Ujan
T. Sintak Gunawan
R. Ristyantoro

Kontributor:
Rimawan Pradiptyo, PhD
Gandjar Laksmana Bonaprapta
Desiantien S Pringgopoetro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo

Tim Supervisi:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Cetakan Pertama: Jakarta, 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Buku ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya, diperbanyak untuk


pendidikan serta nonkomersial lainnya dan tidak untuk diperjualbelikan.
PENGANTAR KPK

PENGANTAR
Komisi Pemberantasan Korupsi

P uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-Nya, sehingga
penyusunan buku Etika Antikorupsi : Menjadi Profesional Berintegritas
dapat terselesaikan. Buku ini merupakan panduan bagi dosen atau tenaga
pendidik dalam menerapkan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
melalui insersi dalam mata kuliah Etika Profesi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas untuk melakukan
upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melakukan Pendidikan
Antikorupsi pada setiap jejaring pendididikan. Penyusunan buku panduan
ini merupakan salah satu upaya KPK untuk menyediakan bahan ajar bagi
para dosen pengampu Pendidikan Antikorupsi. Selain dalam bentuk buku
panduan, KPK juga melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar sebagai
konsekuensi dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Permenristekdikti) No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Media ajar tersebut antara lain komik, buku
saku, film dan juga permainan sehingga dosen dapat mengembangkan
metode belajar yang lebih menarik. Adapun buku panduan ini bersifat umum
dan memberikan gambaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas yang
mengondisikan mahasiswa mendapatkan pengetahuan tentang antikorupsi
dan internalisasi nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan mereka.
Mata kuliah Etika Profesi memiliki irisan yang cukup banyak dengan nilai-
nilai antikorupsi sehingga insersi atau sisipan muatan antikorupsi ke dalam
mata kuliah Etika Profesi menjadi bekal penting dibalik keahlian yang dimiliki
profesional.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini, baik kepada Tim Penulis
dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Mikhael Dua, Andre Ata Ujan,
T.Sintak Gunawan, R. Ristyantoro, Kontributor dan Tim Supervisi yang telah
mendedikasikan gagasan dan waktunya sehingga buku ini dapat tersajikan.
Memberantas Korupsi membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan
kerjasama dari semua elemen bangsa demi mewujudkan indonesia yang maju
dan sejahtera.
Salam Antikorupsi!

Jakarta, 9 Desember 2019

Komisi Pemberantasan Korupsi

01
KATA PENGANTAR PENULIS

KATA PENGANTAR PENULIS

M engikuti langkah yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah


untuk mengembangkan sikap antikorupsi, beberapa Perguruan
Tinggi mengambil inisiatif mengembangkan bahan ajar mengenai korupsi.
Selain dibangun sebagai mata kuliah tersendiri dengan pelbagai macam
nama, pengembangan sikap korupsi juga dibahas dalam mata kuliah lain
seperti etika profesi, agama, kewarganegaraan, dan Pancasila.
Apa pun usaha yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi, pengembangan
sikap antikorupsi harus diapresiasi dan didukung semua pihak. Bersama
pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini
mengatasi korupsi melalui usaha pencegahan, sosialisasi tindak pidana
anti korupsi, dan pembentukan masyarakat anti korupsi, Perguruan Tinggi
dapat mengembangkan dan meningkatkan usaha yang sudah dilakukan
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: Apa sebenarnya
akar korupsi? Bagaimana korupsi dapat dicegah? Bagaimana diskursus etika
dibangun di kalangan komunitas akademis, baik dari segi konten dan metode?
Dari mana diskursus seperti itu dimulai?
Buku ini dirancang dengan pengandaian bahwa Perguruan Tinggi sudah
memiliki mata kuliah etika profesi di masing-masing jurusan dengan konteks
permasalahan yang berbeda-beda. Kita mengenal misalnya etika bisnis, etika
politik, etika hukum, etika rekayasa teknik, etika profesi psikolog, bioetika untuk
kedokteran, bioetika untuk teknobiologi, etika penelitian, etika pendidikan.
Selain itu, diandaikan juga prinsip-prinsip tatakelola umum implisit atau
eksplisit dibicarakan dalam konteks dan materi yang berbeda-beda. Prinsip-
prinsip yang dimaksud adalah transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab,
kemandirian, keadilan, kepedulian, solidaritas, dan pluralitas. Prinsip-prinsip
ini menjadi dasar bagi tindakan profesional sehingga profesi dan komunitas
profesi dapat dipercaya klien dan masyarakat.
Diskusi etika profesi menjadi penting karena di balik keahlian yang
dimiliki profesional terdapat kesempatan melakukan tindakan manipulasi,
pemerasan, suap, dan bahkan penipuan. Para profesional harus yakin bahwa
ia harus mengenal ‘baju’ etika profesi agar mereka layak dipercaya klien dan
masyarakat. Mereka juga harus menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi
dengan prinsip-prinsip etis yang mereka yakini dan bicarakan.
Sebagai misal, berdasarkan prinsip bebas dari konflik kepentingan, setiap
profesional mengerti bahwa ia tidak boleh menerima gratifikasi dan suap.
Karena itu, para profesional harus menjawab pertanyaan sederhana ini:
siapakah ia sebenarnya sehingga ia wajib mempertahankan kepercayaan klien

02
KATA PENGANTAR PENULIS

dan masyarakat? Pertanyaan ini menarik perhatian karena kapasitas keahlian


seorang profesional seharusnya berjalan bersamaan dengan kapasitasnya
sebagai manusia. Inilah yang membuat integritas menjadi bagian tak
terpisahkan dari etika profesi dan sekaligus menjadi jembatan baginya untuk
masuk dalam komunitas profesi dan dunia di luar komunitas profesinya. Dengan
perkataan lain, para profesional harus memiliki integritas sebagai manusia
selain kapasitas keahlian. Dengan pengandaian ini, korupsi tidak hanya
merupakan sebuah tindakan yang menyalahi prinsip-prinsip etika profesi,
tetapi juga sebuah tindakan yang buruk dari segi mutu kemanusiaannya.
Buku Etika Antikorupsi ini dimaksudkan menjadi salah satu bahan ajar
dalam mata kuliah etika profesi. Buku ini menjelaskan korupsi dengan modus-
mudus yang terkenal seperti gratifikasi dan suap di mana konflik kepentingan
dapat terjadi. Selain itu, buku ini berusaha menjelaskan faktor-faktor yang
bisa mencetus praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini pelbagai macam faktor
akan memberikan penjelasan mengapa orang muda terjebak dalam tindak
korupsi. Diskusi mengenai modus dan faktor-faktor korupsi tersebut, buku
ini secara mendasar membangun penalaran etis antikorupsi dengan dua
pendekatan. Pertama, pendekatan etika profesi. Pendekatan ini menjelaskan
bahwa korupsi melawan prinsip-prinsip etika profesi seperti tanggungjawab,
otonomi, keadilan yang sebenarnya secara tegas sudah tersirat dalam janji
publik profesi. Kedua, pendekatan etika keutamaan. Pendekatan ini secara
mendasar menjawab pertanyaan, siapakah saya sehingga harus melawan
korupsi. Integritas pribadi menjadi jawaban atas semua usaha tersebut. Tak
ada nilai lebih tinggi dari usaha pemberantasan korupsi, gratifikasi, dan suap
selain dari menjunjung rasa hormat pada martabat diri kita sendiri sebagai
manusia terhormat yang memiliki integritas. Dengan mengikuti argumentasi
yang dibangun buku ini, etika antikorupsi dapat dilihat sebagai sebuah kritik
atas korupsi dalam refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan
publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan.
Sebagai bahan ajar di Perguruan Tinggi, diskusi mengenai etika antikorupsi
ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa memiliki kesadaran tentang suap dan gratifikasi
sebagai modus korupsi. Yang dimaksud kesadaran di sini lebih dari
sekedar pengetahuan tentang suap, gratifikasi, korupsi, dan akar-akar
korupsi. Dengan mendiskusikan akar-akar korupsi dan konteks sosialnya,
mahasiswa diajak untuk membangun niat dan kehendak untuk mengubah
dirinya sendiri sebagai mahasiswa yang antikorupsi. Untuk tujuan ini,
diskusi mengenai gratifikasi sebagai akar korupsi dan masalah moral
tindakan korupsi menjadi bab pertama buku ini.
2. Agar mahasiswa membangun sikap moral berdasarkan prinsip-prinsip
etika profesi untuk menolak korupsi. Sikap moral yang dimaksud meliputi

03
KATA PENGANTAR PENULIS

sikap kritis terhadap norma sosial yang secara potensial mendukung


bertumbuhnya praktik korupsi. Untuk itu diskusi tentang etika antikorupsi
dan etika profesi pada bab kedua dan ketiga buku ini dapat membantu
mendorong sikap antikorupsi baik dari segi etika maupun dari segi profesi.
3. Agar mahasiswa berkomitmen dan secara praktis menolak gratifikasi, suap,
dan korupsi. Tahap ini perlu agar mahasiwa memiliki sebuah program aksi
untuk tidak terlibat dalam tindakan korupsi. Pembebasan diri sendiri dari
korupsi dapat menjadi awal bagi pembebasan masyarakat dari tindakan-
tindakan koruptif (gerakan pembebasan). Untuk tujuan ini sebuah diskusi
tentang integritas di bab empat dan kasus-kasus korupsi pada bab lima
dapat menstimulasi mahasiswa untuk menolak korupsi.
Berdasarkan tujuan tersebut, buku pegangan ini tidak berhenti menjawab
pertanyaan quid facti (sekedar mengetahui fakta-fakta korupsi dan prinsip-
prinsip etika antikorupsi) dan pada pertanyaan quid iuris (apa yang saya tahu
itu benar), tetapi harus sampai pada kehendak untuk berani menolak korupsi.
Pengetahuan mengenai korupsi, sebab-sebabnya serta etika antikorupsi bukan
tidak penting. Pengetahuan tentang fakta korupsi, faktor-faktor timbulnya
korupsi, serta bagaimana KPK berusaha dengan segala cara menghadapi
masalah korupsi di Indonesia dapat membantu mahasiswa untuk prihatin
dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang berjuang melawan korupsi.
Tetapi pengetahuan dimaksud harus diikuti dengan pemikiran bahwa korupsi
bukanlah fakta di luar diri manusia. Ia berakar pada kenyataan manusia yang
harus diteliti dengan cermat: bagaimana cara-cara efektif menangani korupsi,
apa akibat korupsi bagi hidup manusia dan moral manusia. Dari kedua usaha
tersebut, langkah berikut yang harus diambil adalah membangun kehendak
untuk bertindak praktis menolak korupsi. Keberanian untuk menolak korupsi
perlu dilihat sebagai sebuah cara praktis untuk menjawab pertanyaan penting
mengenai kebenaran hidup sebagai kemanusiaan.
Untuk maksud tersebut, buku ini disusun sedemikian rupa sehingga setiap
pembaca dapat membangun refleksi etis atas korupsi. Apa yang dibangun
dalam buku ini dapat dijadikan model membangun refleksi etis. Langkah ini
diambil karena sesuai dengan karakter etika sebagai cabang filsafat.
Bahan ajar yang dibahas di sini sebaiknya digunakan dalam proses diskursif
kritis. Artinya, ada diskusi di antara peserta yang terlibat di dalamnya. Diskusi
tersebut tidak sekedar mengungkapkan apa yang diketahui dan dialami oleh
setiap peserta, tetapi melihat apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana
melihatnya dari sudut etika. Ketika mendiskusikannya dari perspektif etika,
sikap yang harus dihindari adalah dogmatisme, artinya sekedar menunjukkan
kesesuaiannya dengan ajaran moral tertentu, tetapi harus kritis dalam arti
melihatnya berdasarkan kriteria normatif etis seperti keadilan, kejujuran, dan
tanggung jawab.

04
KATA PENGANTAR PENULIS

Sangat diusulkan agar buku ini digunakan sesuai dengan tujuannya.


Untuk itu beberapa langkah metode diskursif-kritis perlu diperhatikan,
misalnya, dibuatkan pertanyaan-pertanyaan pre-test untuk melihat sejauh
mana mahasiswa memahami persoalan sekitar korupsi dan tindak pidana
korupsi. Selanjutnya mendiskusikan dengan serius latar belakang sosial politik,
budaya, agama mengapa banyak orang terjebak dalam tindakan koruptif,
lalu bersama-sama menemukan solusi mengatasi korupsi berdasarkan
prinsip-prinsip etika: integritas, keadilan, kejujuran, dan tanggungjawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Lalu, membangun simulasi
tindakan anti korupsi dan diakhiri dengan semacam post-test tentang
pemahaman, penyadaran, dan aksi anti korupsi. Untuk maksud ini bab kelima,
selain menyajikan kasus-kasus korupsi menjelaskan proses pengajaran etika
antikorupsi dimaksud.

05
DAFTAR ISI

Etika
Rp
Antikorupsi ?

KORUPSI

07 27 73
BAB I BAB II BAB III
Korupsi: Gratifikasi, Suap, Apa Itu Etika Antikorupsi Etika Profesi Melawan
dan Konflik Kepentingan Korupsi

Integritas

109 149
BAB IV BAB V
Integritas, Fondasi Moral Metode Pembelajaran
Antikorupsi Etika Antikorupsi dan
Kasus-Kasus

Daftar Isi
07
Rp

KORUPSI
BAB I:
kORUPSI:
GRATIFIKASI, SUAP, DAN
KONFLIK KEPENTINGAN
BAB I

Korupsi merupakan sebuah tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan


negara tetapi merusak tantanan kehidupan sosial dan ekonomi serta merusak
demokrasi.

5,6T
Pemerintahan
Propinsii Rp
17

93
TOTAL KERUGIAN NEGARA

Pemerintahan
Kementrian/ Total Tindak Pidana Korupsi
Lembagaa 13
yang Ditangani KPK
(Data Hingga Akhir November 2018)
61 Kabupaten/Perkotaan

2
KASUS-KASUS
DPR/DPRD
Perkara Penyuapan 78

Pengadaan Barang/Jasa 9

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) 4

Merintangi Proses KPK 2

Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa korupsi di Indonesia tidak
hanya terdapat di tingkat pusat, tetapi sudah menyebar ke tingkat daerah
yang akibat-akibatnya semakin menyentuh kehidupan masyarakat lokal/
daerah. Selain itu, praktik penyuapan dan pengadaan barang dan jasa menjadi
modus-modus korupsi. Kedua modus ini memiliki hubungan dengan praktik
gratifikasi yang melekat dengan kebiasaan saling memberikan hadiah dan
barang pada peristiwa-peristiwa budaya di masyarakat Indonesia. Praktik
gratifikasi semacam ini tidak hanya menjadi permulaan dari praktik suap tetapi
juga mendorong terjadinya konflik kepentingan karena mereka yang terlibat
dalam praktik tersebut mengutamakan kepentingan diri dan keluarga lebih
dari kepentingan-kepentingan negara dan bangsa.

Bab ini akan berbicara tentang korupsi, modus-modus korupsi, sebab-sebab


terjadinya korupsi, dan pemecahan hukum menghadapi korupsi. Tujuan
yang hendak dicapai dengan pembahasan ini adalah agar mahasiswa:
1. Memiliki pemahaman tentang korupsi dan modus-modusnya.
2. Mampu membuat analisis tentang latar belakang sosial ekonomi dan
politik terjadinya korupsi.
3. Mampu membuat pembedaan antara pemecahan legal dan
pemecahan etika dalam menghadapi korupsi.

11
BAB I

A. Arti Korupsi
Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti
hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah
corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan
kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga
menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun
menamai pelaku korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).
Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-
beda. Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan
penggunaan istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau
kebusukan segala sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan
penghancuran bentuk dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan
keutuhan, kerusakan; secara moral, korupsi berarti penyelewengan atau
penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui
suap dan gratifikasi; dan secara sosial, korupsi berarti penjungkirbalikan
segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian misalnya penyelewengan
lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23).
Dalam sejarah hukum di Indonesia, istilah ini sudah dikenal dalam
Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 terkait
usaha pemberantasan korupsi, yang kemudian dituangkan dalam UU No.
24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan
dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, korupsi telah mendapat perhatian dunia sehingga semua negara
berkepentingan untuk memberantasnya. Pada tanggal 9-11 Desember
2003 Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Merida, Meksiko mengeluarkan
Konvensi PBB Antikorupsi. Konferensi ini melibatkan 141 negara. Konvensi
tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan memperjuangkan tindakan
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan efisien;
juga untuk meningkatkan dan memudahkan serta mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalam upaya mencegah korupsi.
Indonesia sudah meratifikasikan Konvensi Antikorupsi tersebut pada 18
April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun demikian, Konvensi PBB tersebut tidak mengajukan kepada
kita sebuah pengertian mengenai korupsi tetapi menyebutkan beberapa
contoh korupsi seperti penyuapan kepada pejabat publik negara,
penggelapan, pencurian atau pengalihan kepemilikan oleh pejabat publik,
jual beli pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri secara
melawan aturan.
Terlepas dari luasnya pengertian korupsi sebagaimana diungkapkan
secara leksikal dan contoh-contoh yang dapat dikategorikan sebagai

12
BAB I

korupsi, berikut ini perlu diperhatikan beberapa aspek praktik korupsi:


A. Charles Sampford—direktur Institute for Ethics, Governance and Law
dari United Nations dan Grifith University, mendefinisikan korupsi
sebagai penyalahgunaan kekuasaan—khususnya kekuasaan yang
diperoleh berkat kepercayaan (privat atau publik)—demi mendapatkan
manfaat dan keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok. Frasa
“kekuasaan yang diperoleh berkat kepercayaan” menegaskan bahwa
kekuasaan merupakan titipan yang harus dipertanggungjawabkan
kepada pemberi kekuasaan. Adanya unsur kepercayaan sebagai
basis kekuasaan membuat penerima kekuasaan memiliki kewajiban
moral untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada pemberi
kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan seharusnya tidak diabdikan
pada kepentingan diri (secara egoistis) melainkan untuk melayani
kepentingan pemberi kekuasaan.
B. Lebih lanjut Sampford menjelaskan bahwa sebagai penyalahgunaan
kekuasaan korupsi dapat dibedakan atas tiga macam: grand
corruption; petty corrupiton; dan political corruption. Grand
corruption berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan pada tingkat
tinggi pemerintahan. Grand corruption mendistorsi kebijakan negara
dengan akibat kepentingan umum dikorbankan demi kepentingan
pejabat tinggi negara. Misalnya, dengan alasan yang tidak seluruhnya
jelas bagi publik, pemerintah memutuskan untuk mengimpor batu
bara dari luar negeri. Padahal produksi batu bara dalam negeri
masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik berbasis
batubara. Harganya di pasar dalam negeri pun masih relatif normal.
Tanpa transparansi dari pihak pemerintah, motif kebijakan impor dalam
kondisi seperti ini layak dipersoalkan karena impor batubara akan
dengan sendirinya meningkatkan supply yang kemudian berdampak
langsung berupa penurunan harga batu bara dalam negeri. Dalam
kasus ini pemerintah (barangkali) diuntungkan akan tetapi produsen
batu bara dalam negeri pasti dirugikan. Petty corruption berhubungan
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang lazim terjadi pada tingkat
pejabat menengah ke bawah dalam pelayanan sehari-hari terhadap
masyarakat berkaitan dengan barang dan jasa. Pelayanan dalam
bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan, misalnya, masuk
kategori petty corruption. Sedangkan political corruption berkaitan
dengan manipulasi kebijakan atau peraturan dalam hubungannya
dengan alokasi sumber daya dan keuangan khususnya yang dilakukan
oleh pengambil kebijakan politik. Contoh: penyalahgunaan kekuasaan
oleh wakil-wakil rakyat, masuk dalam kategori political corruption.
C. Dari segi hukum, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes), karena perbuatan korupsi bukan delik yang

13
BAB I

berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan pelbagai perbuatan pidana


lain seperti pidana perdagangan anak dan manusia, pidana narkotika,
perdagangan senjata, perjudian, pemalsuan uang, pencucian uang
(money laundering) yang sulit dibuktikan. Disebut ‘luar biasa’ juga
karena secara sosial, korupsi menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara. Korupsi bisa dilakukan secara individual maupun
bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi atau lembaga
secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya yang telah
dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah berapa
banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum, korupsi
tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan tak akan pernah
mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang berujung pada
mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi, kick back
yang menyasar pejabat publik, serta bebagai perilaku koruptif lainnya
merupakan modus-modus korupsi. Predikat “kejahatan luar biasa”
(extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit sosial yang satu
ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya korupsi bagi
bangsa dan negara. (Ochulor, 2010: 466-476).
D. Kejahatan korupsi memiliki lingkup yang luas: daerah, nasional, dan
internasional. Dikatakan internasional, karena lingkup perbuatan
korupsi tidak terbatas pada wilayah negara tertentu, tetapi memiliki
jangkauan yang luas melibatkan beberapa negara. Dengan alasan
ini, korupsi mendapat perhatian global. Munculnya indeks persepsi,
konvensi, dan perjanjian internasional menunjukkan bahwa korupsi
merupakan kejahatan internasional. (Komalasari, 2015)
E. Korupsi disebut juga kejahatan organisasi, karena pelaku sering kali
terjalin dengan organisasi formal. Dengan catatan ini, kejahatan korupsi
kerap menjadi kejahatan berjemaah yang master mind nya sering kali
adalah pejabat resmi yang terlibat dalam kegiatan illegal lainnya,
misalnya perjudian, illegal logging, illegal fishing, human trafficking dan
sebagainya.
F. Berkaitan dengan konsep korupsi sebagai kejahatan organisasi,
mungkin perlu dikatakan di sini bahwa korupsi merupakan sebuah
bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan secara sistematis
sehingga memiliki jaringan tidak hanya pada organisasi politik,
tetapi juga pada organisasi bisnis, hukum, agama, dan budaya.
Praktik pemerasan dan gratifikasi dapat dijelaskan dari perspektif
penyalahgunan kekuasaan tersebut.
G. Korupsi terjadi di segala sektor kehidupan, baik sektor swasta maupun
publik yang membawa kerugian yang besar bagi masyarakat. Saat ini
KUHP dan UU Antikorupsi masih terbatas pada perbuatan korupsi yang

14
BAB I

terjadi di sektor publik dan hanya menyangkut perbuatan mencuri


uang rakyat saja. Namun, di banyak negara lain seperti Hongkong,
Singapura, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa, UU antikorupsi
juga menangani perusahaan swasta. Kita memiliki contoh dalam hal
ini ketika dunia dihebohkan dengan kasus Enron Corporation, Lehman
Brother, dan Goldman Sachs, negara berdasarkan wewenangnya
memberikan sanksi hukum pada pihak swasta yang terlibat. Terutama
kasus Lehman Brother dan Goldman Sachs yang telah membawa
akibat dahsyat yaitu krisis ekonomi dunia.

B. Modus Korupsi

Tidak begitu mudah memastikan bahwa sebuah perbuatan disebut


sebagai korupsi. Diskusi di antara para ahli tentang hal ini tak akan
pernah selesai. Namun demikian, sebagai perbuatan yang memiliki
karakter pembusukan, korupsi memiliki modus-modus tertentu antara
lain gratifikasi, pemerasan, suap, dan konflik kepentingan. Berikut akan
dijelaskan gratifikasi dan suap sebagai modus korupsi. Sementara
pemerasan dan konflik kepentingan merupakan implikasi-implikasi yang
muncul dalam tindak korupsi tersebut. (KPK, 2014: 10-21)
Gratifikasi
Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh siapa pun berupa
uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Praktik seperti ini sering dilakukan dalam

15
BAB I

dunia bisnis sebagai bentuk penghargaan atas jasa yang diberikan


seorang rekan bisnis. Praktik gratifikasi dikenal luas oleh masyarakat,
tetapi praktik ini memiliki hubungan yang erat dengan korupsi. Oleh
sebab itu perlu kiranya kita membedakan antara gratifikasi sebagai
praktik budaya dan gratifikasi sebagai praktik korupsi.
Sebagai praktik budaya, gratifikasi kerap dikaitkan dengan praktik
memberikan sumbangan dan hadiah dalam masyarakat tradisional,
terutama ketika sebuah keluarga merayakan peristiwa adat tertentu.
Pada saat itu, setiap anggota masyarakat datang membawa hadiah
sebagai tanda dukungan, perhatian, dan doa bagi yang mengadakan
peristiwa adat tersebut. Pada momen tersebut, hadiah apa pun
diterima dengan ucapan terima kasih. Sering pemberian yang diterima
diketahui oleh anggota masyarakat yang lain. Pemberian hadiah ini
memiliki dimensi sosial dalam arti memiliki ukuran kewajaran dalam
arti diketahui dan dipahami oleh banyak orang. Apa lagi, sering hadiah
sebagai tanda dukungan tersebut dimaksudkan untuk dibagi-bagikan
kepada masyarakat setempat yang terlibat dalam peristiwa adat
tersebut.
Dalam masyarakat feodal, praktik pemberian hadiah memiliki dasar
yang berbeda. Biasanya hadiah diberikan kepada tuan tanah atau
raja. Pemberian hadiah ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki
jasa yang pantas dihargai dengan memberikan hadiah. Upeti yang
diberikan kepada tuan tanah dan raja memiliki basis kesadaran bahwa
tanah, hasil panen, dan kesejahteraan hidup tidak semata menjadi
prestasi sendiri, tetapi merupakan berkah tanah dan keamanan yang
dijaga oleh tuan tanah dan raja-raja. Yang menarik, dalam masyarakat
tradisional yang masih feodalistis, praktik memberikan hadiah memiliki
suasana menjaga solidaritas bersama meskipun harus diakui bahwa
dalam masyarakat feodalistis takaran upeti tersebut kerap ditentukan
oleh sang feudal: tuan tanah dan raja.

Gratifikasi Berpotensi Menjadi Suap dan Timbulkan Pemerasan


Hubungan kultural sebagaimana dijelaskan di atas belum menjadi
masalah sampai kepentingan bisnis dan kekuasaan mengubah makna
praktik gratifikasi. Salah satu catatan tertua mengenai perubahan
makna gratifikasi ini dapat ditemukan dalam tulisan seorang Biksu
Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Menurut
I Tsing, sejak abad ke 7 sudah ada praktik pemberian hadiah oleh
pedagang dari Champa (Vietnam dan Kamboja) dan Cina kepada para
prajurit penjaga pada saat ingin bertemu dengan pejabat kerajaan
Sriwijaya. Praktik seperti ini lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan,
sehingga pemberian hadiah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.

16
BAB I

I Tsing menggambarkan bahwa para pedagang tersebut memberikan


koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu
dengan pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah
perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk
mempermudah komunikasi. Para pedagang Champa dan Cina pun
tidak merasa terpaksa karena tujuannya adalah untuk menjalin
hubungan baik dengan pihak Kerajaan Sriwijaya.
Namun sejalan dengan berjalannya waktu, kebiasaan untuk
menerima gratifikasi tersebut menjadi sebuah keharusan, sehingga
para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa
menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan,
gratifikasi tersebut sudah berubah menjadi pemerasan. I Tsing
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai gejala pemerasan ini.
Ketika terjadi perang antara Champa dan Sriwijaya, para pedagang
Cina diminta memberikan sejumlah barang oleh para prajurit kerajaan.
Jika tidak diberikan maka mereka tidak diijinkan memasuki pekarangan
sahabat kerajaan untuk berdagang. Praktik seperti ini juga dialami oleh
para pedagang Arab yang datang ke Indonesia. Praktik memberikan
sejumlah barang kepada para petugas pelabuhan menjadi sebuah
praktik pemerasan.
Lain dari ceritera I Tsing, tulisan Verhezen (2003), Harkristuti
(2006), dan Lukmantoro (2007) mengungkapkan perubahan konsep
gratifikasi: dari gratifikasi sebagai budaya menjadi suap. Verhezen
melakukan studi pada masyarakat Jawa modern. Ia menegaskan
bahwa praktik pemberian hadiah pada atasan dan pada rekan-rekan
yang dikenal dengan baik (ada hubungan personal) telah digunakan
oleh pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi sebagai praktik suap.
Dalam bahasa yang sama, Harkristuti menjelaskan bahwa pemberian
hadiah sebagai tanda kasih dan apresiasi pada seseorang yang berjasa
sehingga menjadi momen yang menyenangkan baik bagi pemberi
hadiah maupun bagi penerimanya telah berubah menjadi komisi. Dan
ketika pemberian hadiah menjadi komisi, para pejabat menganggap
bahwa hadiah merupakan hak mereka.
Dengan demikian, gratifikasi sebagai fenomena budaya sudah
mengalami perubahan makna di dalam dunia bisnis dan birokrasi.
Sebagai fenomena budaya, gratifikasi menjadi tanda solidaritas,
hubungan kekerabatan, gotong royong. Tetapi setelah diterapkan
dalam dunia bisnis dan birokrasi, gratifikasi berpotensi menjadi suap.
Dalam dunia seperti ini gratifikasi diberikan kepada seseorang karena
ia memiliki jabatan. Gratifikasi dalam hal ini bersifat investasi dalam arti
tanam budi.

17
BAB I

Ketika menjadi suap, gratifikasi yang tadinya datang secara


sepihak dari pemberi gratifikasi, sekarang terjadi dalam hubungan
transaksional antara pemberi suap dan penerima suap yang dalam
hal ini adalah mereka yang memiliki jabatan tertentu. Berbeda
dengan gratifikasi yang sifatnya terbuka, karena diketahui masyarakat,
hubungan transaksional antara pemberi suap dan penerima suap
bersifat tertutup. Tujuannya adalah untuk mendapatkan proyek atau
kemudahan-kemudahan tertentu. Praktik seperti ini tidak lagi disebut
gratifikasi tetapi suap. Jika masih disebut sebagai gratifikasi, maka
makna gratifikasi sudah berubah secara kultural: dari tindakan sosial
menjadi tindakan egoistis.
Praktik gratifikasi sebagai tranksaksi tersebut berakibat tragis
bagi layanan publik yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat
negara. Contoh-contoh yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa
gratifikasi tidak lagi menjadi inisiatif pemberi gratifikasi melainkan
akibat dari tindakan sepihak dari pejabat pemerintah. Tindakan yang
dimaksud adalah pemerasan. Di sini inisiatif datang dari pihak pejabat:
ia memaksa pihak lain yang sebetulnya harus dilayani. Jika demikian,
gratifikasi yang tadinya mencerminkan hubungan sosial sudah berubah
menjadi hubungan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pejabat dalam kedudukannya memaksa secara sepihak calon peserta
tender untuk memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak
diberikan akan digugurkan dalam proses tender.

Gratifikasi dan Konflik Kepentingan


Yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah situasi di mana
seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki
atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas
dan kinerja yang seharusnya ia emban.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dalam salah satu
kajiannya pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa pemberian hadiah
atau gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara memiliki
hubungan kausal dengan konflik kepentingan. Hubungan kausal
antara penerimaan gratifikasi dan konflik kepentingan dimaksud dapat
digambarkan secara sederhana sebagai berikut. Setiap gratifikasi di
satu sisi dapat mengandung kepentingan tersamar (vested interest)
pihak pemberi gratifikasi entah bersifat pribadi, kelompok, atau bisnis.
Dengan menerima gratifikasi, seseorang (profesional atau pejabat
negara) di pihak lain merasa wajib untuk memperhatikan pesan-
pesan terselubung di balik pemberian gratifikasi. Kewajiban untuk

18
BAB I

membalas budi baik pemberi gratifikasi tersebut dapat mempengaruhi


independensinya (profesional dan penyelenggara negara) dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan wewenangnya. Ini
berarti obyektivitas dan penilaian profesionalnya diragukan.
Dalam hubungan kausalitas tersebut, seorang profesional atau
penyelenggara negara yang seharusnya memberikan penilaian yang
obyektif dalam fungsinya sebagai profesional dan pejabat negara
demi kepentingan banyak orang dapat menyalahgunakan wewenang
dengan mengambil keputusan yang tidak obyektif demi menyelamatkan
kepentingan pribadi. Dengan alasan ini, pemberian gratifikasi berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum. Dengan demikian, gratifikasi merupakan sebuah
jebakan yang membuat seseorang sulit membuat pembedaan antara
kepentingan individu dan kepentingan bersama. Konflik kepentingan
terkait gratifikasi tersebut menyangkut suatu keputusan, penggunaan
asset jabatan, informasi rahasia jabatan/perusahaan, akses khusus
kepada pihak tertentu untuk mendapatkan kemudahan tanpa melalui
proses yang seharusnya, dan bahkan penentuan besarnya remunerasi
(gaji). Semuanya itu menunjukkan bahwa gratifikasi memiliki motif-
motif kepentingan pribadi atau golongan.
Dengan uraian ini kita boleh mengatakan bahwa gratifikasi dan
suap merupakan modus korupsi. Yang harus diperhatikan bahwa
berdasarkan studi-studi yang serius, gratifikasi tidak sekedar peristiwa
kultural, tetapi ada motif-motif suap. Karena itu, gratifikasi dapat
dikatakan sebagai permulaan dari tindak korupsi dan suap. Ketika
sudah menjadi suap gratifikasi yang sebelumnya dinilai sebagai
tindakan budaya menjadi kriminal karena ada pemerasan. Konflik
kepentingan pun menjadi tak terhindarkan.

19
BAB I

C. Sebab-Sebab Korupsi

SEBAB-SEBAB KORUPSI

FAKTOR EKONOMI

FAKTOR POLITIK & TATA KELOLA

FAKTOR SOSIAL

FAKTOR BUDAYA

Korupsi dapat terjadi di mana saja dalam bentuk yang beranekaragam.


Misalnya, korupsi material, karena menyangkut penggunaan uang untuk
kepentingan sendiri; korupsi politik, karena menyangkut kebijakan, yang
kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan sehingga menimbulkan
korupsi legislasi. Politik uang dapat dilihat sebagai korupsi politik. Kita
juga mengenai korupsi intelektual yang menyangkut manipulasi informasi
untuk mencapai tujuan tertentu yang semuanya merugikan masyarakat.
Jika direnungkan secara lebih mendalam, korupsi merupakan sebuah
perilaku yang menyimpang. Sering perilaku tersebut didahului oleh
gejala-gejala seperti: tidak memperhatikan kepentingan umum atau
kepentingan orang lain, suka manipulasi informasi dan melakukan mark
up. Pertanyaannya sekarang, apa saja yang menjadi penyebab potensial
korupsi?
Secara teoritis, korupsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut. Pertama adalah faktor ekonomi. Herry Priyono dalam bukunya
yang berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi menjelaskan
bahwa para ahli ekonomi dewasa ini percaya bahwa ada motif ekonomi
di balik korupsi. Alasan ekonomi ini dapat dijelaskan dengan 2 cara. Yang
pertama adalah pengejaran rente. Yang dimaksud dengan rente di sini
adalah nilai ekonomi yang amat langka, yang dapat diperoleh dengan
cara-cara yang langka seperti monopoli. Kompetisi untuk mendapatkan
monopoli melibatkan berbagai cara seperti suap, kolusi, gratifikasi, hadiah,
lobi dan lain sebagainya. Yang kedua adalah pendekatan prinsipal agen.
Menurut teori ini agen tidak lebih dari pelaksana mandat dari pihak

20
BAB I

prinsipal. Korupsi terjadi karena orang yang memiliki kekuasaan (agen)


melakukan penyelewengan mandat sehingga merugikan pihak pemberi
kekuasaan (prinsipal). Kedua pendekatan ini dapat secara bersama-sama
menjelaskan gejala korupsi: dalam melaksanakan mandat prinsipalnya,
seorang agen memutuskan bahwa menyuap kepada rekan bisnis atau
pemerintah untuk meraup rente lebih menguntungkan daripada tidak
menyuap. (Priyono, 2018: 362-370)
Faktor ekonomi ini tidak dapat berdiri sendiri. Di samping faktor
ekonomi tersebut, politik dan tata kelola menjadi faktor kedua yang
menyebabkan korupsi. Kita boleh secara sederhana mengatakan bahwa
faktor ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas dapat saja membuat tata
kelola pemerintahan tidak berjalan baik. Namun demikian, sebaliknya,
pasar yang masih dikontrol oleh pemerintah dan kepentingan-kepentingan
politis dapat menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi. Ini
berarti sistem politik menjadi faktor non ekonomi bagi munculnya korupsi.
Sistem yang dimaksud di sini adalah tata kelola pemerintahan yang tidak
memberi ruang bagi kritik dan mekanisme cek dan re-cek. Menurut para ahli
politik, lemahnya transparansi dalam administrasi publik dan demokrasi,
sektarianisme, favoritisme, dan kurang berkembangnya representasi
kepentingan-kepentingan masyarakat dapat diidentifikasikan sebagai
faktor-faktor munculnya korupsi. Dalam diskusi lebih jauh, tidak begitu
penting apakah desentralisasi atau sentralisasi menjadi faktor utama
korupsi. Yang terjadi adalah praktik desentralisasi dan over-sentralisasi
memiliki sumbangan tersendiri bagi tumbuhnya korupsi. Di India, korupsi
disebabkan oleh praktik oversentralisasi, sementara di tempat lain
desentralisasi dapat menjadi faktor tumbuhnya korupsi di daerah-daerah
(Brueckner).
Dan yang menarik, modernisasi dapat menjadi pemicu munculnya
korupsi di banyak negara sedang berkembang (Samuel Huntington).
Konsentrasi yang berkelebihan pada kekuasaan politik dan
ketidaksempurnaan aturan main dapat mendorong terjadinya korupsi di
kalangan birokrasi dan politisi. Sudah diketahui umum biaya politik yang
sangat mahal dituding sebagai penyebab korupsi. Pertanyaannya, siapa
yang sesungguhnya mendorong lahirnya biaya politik tinggi? Masyarakat
umum? Atau, pemburu kekuasaan? Membatasi diri pada konteks Indonesia
harus diakui bahwa masyarakat umum tidak lagi segan meminta imbalan
atas suaranya. Tetapi “kebiasaan” itu sesungguhnya juga dipicu oleh
perilaku para pemburu kekuasaan. Cukup banyak pemburu kekuasaan
yang bersikap pragmatis dalam meraih kursi kekuasaan. Apa yang disebut
“serangan fajar” bukan lagi rahasia. Jalan pintas seperti itu sering digunakan
para pemburu kekuasaan pada level yang berbeda untuk memuluskan
jalan menuju kursi kekuasaan yang oleh banyak pejabat justru dilihat

21
BAB I

sebagai jalan tercepat untuk kembali melanggengkan kekuasaan politik


demi kekuasaan ekonomi. Ternyata masih saja ada figur-figur politik yang
“rela” kehilangan kehormatan dirinya (self-dignity) demi kekuasaan politik
dan ekonomi. (Priyono, 2018: 370-380)
Ketiga adalah faktor sosiologi. (Gildenhuys, 2004) Korupsi sering terjadi
di masyarakat yang memiliki ketimpangan sosial dan ketidaksamaan derajat
dan kedudukan/strata sosial. Glaeser menjelaskan bahwa ketidaksamaan
selalu menguntungkan yang kaya dan kelompok penguasa. Kelompok ini
memiliki kekuasaan dalam menentukan hak-hak properti; mereka juga
dapat menekan para penguasa politik dan legal demi kepentingan mereka;
mereka juga dapat mempraktekkan suap untuk memperkuat jaringan
bisnis mereka. Dengan demikian korupsi memiliki akarnya pada relasi
kekuasaan. Relasi kekuasaan antara yang kaya dan pemegang kekuasaan
ini membuat korupsi semakin tak terbendung. Pemegang kekuasaan
membutuhkan dana besar untuk tujuan-tujuan politiknya, sedangkan
pengusaha-pengusaha kaya membutuhkan fasilitas negara untuk
memperluas jangkauan bisnisnya. Dalam relasi kekuasaan sebagaimana
dijelaskan di atas, eksploitasi merupakan inti dinamika korupsi: di sana
yang satu memperalat yang lain.
Keempat adalah faktor budaya, terutama budaya kolonial dan
feodal. Faktor ekonomi, politik, dan sosiologi sebagaimana dibicarakan
di atas tentu tidak mutlak, bahkan memiliki batas-batas tertentu. Faktor-
faktor tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi dan dapat
pula dilihat sebagai akibat dari tindakan korupsi itu sendiri (egoism dan
ketidaksamaan). Berbeda dari faktor-faktor tersebut, faktor budaya
bersifat mutlak, karena menyangkut orientasi moral sebuah masyarakat.
Egoisme dan relasi komunal dalam sebuah masyarakat dapat mendorong
tumbuhnya korupsi dalam sebuah negara.
Studi-studi antropologi dapat menjelaskan bahwa praktik-praktik
korupsi dapat berkembang pesat terutama dalam kebudayaan dengan
ciri-ciri sebagai berikut: (Komalasari, 2015)
1. Menempatkan proyek-proyek besar di tempat di mana terdapat
kerabat, suku, dan agamanya.
2. Memberikan pekerjaan kepada seseorang yang tidak memiliki kualifikasi
untuk pekerjaan yang menuntut keahlian dan kualitas tertentu.
3. Menuntut penambahan pembayaran untuk pekerjaan yang dilakukan.
Kebiasaan-kebiasaan ini sering dilihat sebagai norma sosial. Namun
jika kita memikirkan lebih jauh, kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat
dilihat sebagai sebuah bentuk deviasi dari nilai moral. Dikatakan deviasi
karena kebiasaan ini bertolak dari sikap memberikan perhatian berlebihan
pada ‘memiliki’ daripada ‘berada.’ Deviasi kultural ini, tentu tidak dapat

22
BAB I

dipisahkan dari pragmatisme ekonomis yang telah mendorong banyak


orang untuk menaruh perhatian pada ‘memiliki’ lebih daripada yang
dibutuhkan. Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat
(Indonesia), lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol
kehormatan diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren
pada kepribadian dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri
manusia sebagai makhluk bermartabat. Predisposisi ekonomis (having)
yang dipelihara secara sadar justru membuka jalan bagi setiap orang
untuk menggadaikan self-dignity (martabat manusia) demi kepentingan
ekonomis. Pendekatan transaksional yang diperlihatkan oleh pejabat-
pejabat publik yang kemudian menular menjangkiti masyarakat umum
tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya dominasi ekonomi, melainkan
juga memperlihatkan betapa syahwat ekonomi telah mereduksi manusia
menjadi semata-mata homo economicus, manusia ekonomi, bukan menjadi
homo sapiens, manusia yang rasional yang bijaksana.

D. Perlawanan Hukum Melawan Korupsi


Korupsi merusak moral masyarakat, mengkhianati hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, bahkan dalam arti tertentu mengabaikan demokrasi.
Ia juga merupakan salah satu bentuk subversi hukum yang menjadi sendi
terpenting dari kehidupan modern. Karena itu tidak heran jika Deklarasi
Lima menyerukan agar setiap orang di dalam masyarakat dalam kedudukan
apa pun melawan korupsi.
Di Indonesia perlawanan hukum melawan korupsi dibangun di atas
dasar UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang ini
memiliki jangkauan yang luas tentang korupsi sebagai tindak pidana
menyangkut kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan
dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, dan gratifikasi. Berhubungan dengan itu, UU tentang
pemberantasan korupsi ini juga memuat pasal tentang hal merintangi
proses pemeriksaan perkara korupsi, hal tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan
keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan
palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor. (KPK, 2006: 5-93)
Secara khusus, UU tentang pemberantasan korupsi ini menegaskan
bahwa gratifikasi bukanlah sebuah tindakan yang netral terhadap konflik
kepentingan, karena seseorang yang mendapat gratifikasi biasanya
orang yang memiliki jabatan tertentu, entah ia menjadi penjabat publik

23
BAB I

atau bukan. Gratifikasi dalam hal ini membuat seseorang dalam jabatan
tertentu tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam memberikan
penilaian terhadap pemberi gratifikasi. Ketika ini terjadi gratifikasi dapat
menjadi suap.
Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, dengan alasan
budaya, gratifikasi seakan-akan menjadi hal yang sulit ditolak. Setiap
orang yang memberikan gratifikasi akan merasa dirinya dipermalukan
jika pemberiannya ditolak. Namun demikian, justru di sinilah terletak ironi
gratifikasi. Pejabat yang kerap menerima gratifikasi lebih mudah terjerumus
ke dalam tindak pidana korupsi dari pada mereka yang tidak menerima
gratifikasi. Kebiasaan untuk menerima gratifikasi membuat seseorang
tidak menahan diri terhadap godaan suap, pemerasan dan tindak pidana
korupsi lainnya. Dengan perkataan lain, gratifikasi merupakan suap yang
tertunda.
Dengan alasan ini Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001
menasehati setiap pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara untuk
menolak gratifikasi, karena gratifikasi berpotensi menjadi satu jenis tindak
pidana korupsi. Seandainya terpaksa diterima dengan segala alasan, setiap
penerima gratifikasi wajib melaporkannya ke KPK dalam waktu kurang dari
30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Pasal 12 B berbunyi:

“Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara


Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
dengan ketentuan sebagai berikut….”

Pasal 12 C berbunyi:

“Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib


dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima”

Pasal ini secara tidak langsung ingin mengakui bahwa gratifikasi


sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat merupakan sesuatu yang positif
karena meningkatkan solidaritas, ucapan terima kasih, dan meningkatkan
relasi kekerabatan. Namun, karena pemberian gratifikasi mengandung
vested interest, maka gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri
sipil dan penyelenggara negara merupakan suatu perbuatan pidana suap.
Dikatakan demikian karena setiap pemberian gratifikasi patut diduga
berkaitan dengan jabatan dan kewenangan yang dimiliknya.

24
BAB I

Dengan alasan tersebut, jika seseorang dalam kedudukannya sebagai


pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara menerima gratifikasi, untuk
memutuskan kepentingan pribadi yang timbul dalam hal penerimaan
gratifikasi, ia harus memberikan laporan kepada KPK. Berkaitan dengan itu
periodisasi waktu pelaporan menjadi penting. Para pejabat yang menerima
gratifikasi diberi kesempatan untuk memikirkan apa tindakannya benar
dan mengambil jarak terhadap vested interest yang terselubung di balik
gratifikasi.

E. Penutup
Diskusi mengenai korupsi memiliki jangkauan yang luas. Sebagai
fenomena sosial, korupsi memiliki akar pada praktek politik, bisnis, struktur
masyarakat, dan kebudayaan. Terutama dalam hal kebudayaan, korupsi
memiliki akarnya pada praktik gratifikasi.
Untuk mengatasi korupsi, langkah hukum dapat diambil. Dengan
alasan ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia berusaha mengambil langkah-
langkah penegakan hukum. Di Indonesia berlaku UU No. 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang tersebut menjadi landasan bagi
semua usaha legal atas tindak pidana korupsi. Dengan asumsi bahwa
korupsi dapat berawal dari praktik-praktik gratifikasi, KPK mencoba
mengambil tindakan penegakan hukum berkenaan dengan praktik
gratifikasi yang berpotensi suap tersebut.
Apa pun usaha yang dilakukan untuk melawan korupsi dari segi
hukum, efektifitasnya harus dipikirkan lebih lanjut. Sebagai sebuah
upaya hukum, perlawanan terhadap korupsi mengikuti langkah-langkah
seperti: mengawasi, menyelidiki, dan menghukum yang melawan. Padahal
perlawanan terhadap korupsi harus menyentuh kerangka berpikir,
perubahan pada pandangan, nilai, dan standar etis. Berjaga-jaga,
transparansi, keterbukaan, perlengkapan institusi merupakan sarana yang
perlu untuk membongkar keburukan korupsi serta akibat negatifnya bagi
manusia dan masyarakat. Dengan alasan ini, korupsi lebih dari sekedar
masalah legalitas, ia menjadi masalah moral.
Tentang hal ini, Laura Underkuffler (lihat Priyono, 2018: 545) membuat
pembedaan yang tegas antara pelanggaran hukum dan pelanggaran
moral dalam 2 proposisi berikut:
Proposisi pertama: A melanggar hukum
Proposisi kedua: A itu korup
Dalam proposisi pertama, kita mencela perbuatan, karena hukum tidak

25
BAB I

pernah menghukum sesuatu yang tidak diperbuat. Sedangkan dalam


proposisi kedua kita justru mencela kualitas orang yang melakukannya.
Dengan contoh proposisi ini kita bisa mengatakan bahwa apa yang
diungkap dengan konsep korupsi tidak identik dengan tindakan dan
tidak dapat sepenuhnya tertampung oleh tindakan, sebab konsep korupsi
mengungkapkan status watak pelaku dan ciri perbuatannya. Dengan
menyentuh korupsi sebagai status watak seseorang, defisit moralitas
menjadi alasan terjadinya korupsi. Dengan alasan ini penegakan hukum
tidaklah cukup. Dibutuhkan pendekatan etis, selain membongkar alasan-
alasan moral di balik korupsi juga membangun kehendak moral untuk
menolak korupsi. Etika sebagai refleksi atas hidup moral manusia menjadi
bagian tak terpisahkan dari usaha untuk membangun sebuah masyarakat
yang bebas korupsi.
Bab-bab berikut akan mendiskusikan korupsi sebagai masalah moral,
sebuah masalah yang tidak hanya merusak tatanan kehidupan normal
dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu melenyapkan kebaikan manusia
sebagai manusia. Karena korupsi memiliki akar-akar yang mendalam
dalam kehidupan sosial struktural, maka pemikiran yang ingin dibangun
di sini adalah peningkatan integritas profesional. Ini berarti yang ingin
dibangun di sini tidak saja kualitas moral perorangan, tetapi membangun
budaya etika organisasi. Untuk tujuan tersebut tiga bab berikut berturut-
turut mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan menjelaskan
apa artinya etika antikorupsi, etika profesi melawan korupsi, dan integritas
publik.

26
Etika
Antikorupsi ?

BAB II:
APA ITU ETIKA
ANTIKORUPSI?
BAB II

Dalam bab sebelumnya kita sudah mengatakan bahwa korupsi tidak hanya
merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah moral.
Sebagai masalah hukum, korupsi merupakan sebuah perbuatan melawan
hukum positif negara tertentu, karena itu perlu ditangani dengan prosedur
hukum. Tetapi, korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih substansial dari
yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Hukum memang membantu kita
untuk memahami korupsi sebagai perbuatan yang tidak pantas dillakukan.
Modus-modus korupsi seperti gratifikasi dan suap yang disertai dengan
pemerasan benar-benar merupakan pelanggaran hukum yang pantas
dihukum dan dikenai sanksi. Tetapi jantung pengertian korupsi bukanlah
persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami sebagai korupsi bukan
pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan karena ciri immoral korupsi
itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi merupakan sebuah masalah moral
karena menunjuk pada perbuatan yang seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi
tidak terjadi. Disebut melawan moral karena melawan kebaikan perbuatan
manusia yang seharusnya ada, ternyata tidak ada.
Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini? Apabila moral menyangkut
pedoman baik dan buruk, bagaimana kita bisa memastikan bahwa korupsi
merupakan sesuatu yang melawan kebaikan?
Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan
menjelaskan bagaimana etika dan teori-teorinya menjelaskan dimensi moral
antikorupsi. Secara konkrit, bab ini akan menjelaskan beberapa hal, yaitu
pengertian etika dan etika antikorupsi, penalaran etis dan argumentasi etis
melawan korupsi, dan dimensi institusional etika antikorupsi.

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar
mahasiswa:
1. Membedakan antara pertanyaan etika dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya dalam area ilmu pengetahuan.
2. Memahami cara kerja etika sebagai refleksi rasional dan mampu
membedakannya dari etiket.
3. Mampu membangun sendiri penalaran etika antikorupsi.

31
BAB II

A. Apa itu Etika?

Filsuf besar Immanuel Kant sudah lama menjelaskan bahwa pertanyaan


etika berbeda dari pertanyaan ilmu pengetahuan dan pertanyaan agama.
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan berusaha
menjawab pertanyaan pokok, apa yang dapat saya tahu. Pertanyaan ini
menentukan proses penemuan ilmu pengetahuan dan verifikasi pengetahuan
yang sudah diperoleh. Diskusi mengenai logika pembuktian menjadi penting
dalam filsafat pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pertanyaan
agama memiliki arah yang berbeda. Inti pertanyaannya adalah apa yang boleh
saya harapkan. Pertanyaan ini membuat kita menemukan alasan-alasan paling
meyakinkan dari perlunya agama dan pemikiran tentang masa depan manusia.
Diskusi mengenai sejarah kadang-kadang menyentuh pertanyaan ini juga.
Kita dapat saja terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan di atas ketika
kita berbicara tentang etika. Kerapkali kita mengharapkan agar etika
dapat menjawab pertanyaan menyangkut inovasi pengetahuan moral dan
peranannya bagi harapan masa depan. Bahkan kita mengharapkan agar
etika dapat membantu kita agar kita bisa mengatur kehidupan personal dan
menata kehidupan sosial. Namun sebagaimana dikemukakan Kant, pertanyaan
tersebut tidak menjadi inti pertanyaan etika. Sebenarnya etika memiliki
permasalahannya sendiri. Ia harus menjawab pertanyaan fundamental: apa
yang seharusnya saya lakukan? Bagaimana saya harus hidup dan bertindak?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, Kant ingin
memastikan bahwa etika merupakan ilmu praktis yang fokus pada tindakan-

32
BAB II

tindakan manusia dalam relasinya dengan orang lain dalam masyarakat. Dan
dengan berbicara tentang apa yang seharus dilakukan, Kant ingin menegaskan
bahwa etika bersifat normatif, sama seperti hukum tetapi dengan alasan-
alasan dan penalaran yang berbeda.
Tentu harus dikatakan bahwa istilah etika sendiri memiliki makna leksikal
yang jauh lebih luas dari yang dipikiran Kant. Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi I tahun 1988 mengungkapkan 3 makna etika. Pertama, etika berarti nilai-
nilai atau norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau suatu
masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kerap disamakan
dengan kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik dan yang buruk
secara moral atau studi tentang moralitas manusia. Dalam arti ketiga inilah,
etika sama dengan filsafat moral. Makna ini sebenarnya sudah tergambarkan
dalam istilah Latin ethice, ethica, yang berarti filsafat moral.
Ketika Kant merumuskan gagasannya tentang etika, yang ia maksudkan
sebenarnya adalah sebuah cabang filsafat yang memiliki tugas mencari
alasan-alasan rasional dan kritis mengapa seseorang harus tunduk pada
aturan-aturan moral. Yang dimaksudkan oleh Kant dengan ‘rasional-kritis’
memiliki pengertian yang luas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk
berpikir sendiri dan harus dapat berpikir sendiri. Otonomi berpikir di sini
menjadi penting, karena bagi Kant, ini adalah kemampuan alamiah yang
dimiliki manusia untuk mempertanyakan banyak hal termasuk aturan-aturan
moral. Martin Heidegger bahkan lebih tegas menjelaskan bahwa berpikir
sendiri sambil mempersoalkan banyak hal merupakan kesucian hidup sebagai
manusia, karena hanya dengan bertanya, manusia dapat membuka relasi yang
bebas dengan dunia sekitar.
Dengan mempertanyakan secara kritis ajaran moral tidaklah berarti bahwa
ajaran moral tidaklah penting bagi hidup manusia. Harus dikatakan di sini
bahwa ajaran moral yang disajikan melalui wejangan-wejangan, khotbah-
khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan
atau tertulis dapat membantu kita untuk berbuat baik. Ada keyakinan bahwa
ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk tentang bagaimana kita
harus hidup. Namun demikian, masih diperlukan sebuah refleksi rasional atas
ajaran moral agar kita dapat mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan
dan tindakan kita yang tunduk pada ajaran moral tersebut. Bahkan refleksi
rasional kritis atas ajaran moral dibutuhkan agar kita dapat melihat dengan
jelas alasan-alasan rasional di balik ajaran-ajaran moral itu. Dengan demikian
membuat refleksi atas aturan-aturan moral berarti menerima aturan-aturan
moral tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan logis.
Karena pada intinya etika merupakan sebuah refleksi rasional kritis atas
moralitas manusia ini, etika berbeda dengan tegas dari etiket. Kedua istilah
tersebut kadang dipahami sebagai sama. K. Bertens dalam bukunya yang
berjudul Etika, menyebut sekurang-kurangnya 4 perbedaan. Pertama, etiket

33
BAB II

berkaitan dengan cara suatu perbuatan atau tata karma, sedangkan etika
memberi nilai pada cara. Artinya, etika memberi norma dan menilai suatu
perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Kedua, etiket lebih menekankan fungsi
sosial–relasional, sedangkan etika menekankan fungsi eksistensial. Etiket
hanya berfungsi dihadapan orang lain. Misalnya, jika kita berjalan dan di
sana terdapat banyak orang kita wajib mengucapkan salam ‘permisi’. Hal itu
tidak berlaku apabila Anda berjalan di jalanan yang sepi dan tidak ada orang
lain. Etika juga diperlukan dalam relasi sosial, namun keberlakuannya tidak
tergantung pada kondisi tertentu. Etika berkaitan dengan kesadaran dan
komitmen pribadi. Misalnya, menghargai hidup manusia itu tidak tergantung
pada ada tidaknya orang. Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat
universal dan absolut. Etiket pada umumnya berlaku pada satu tempat, namun
belum tentu berlaku di tempat lain. Etika bersifat universal dan absolut karena
etika berlaku bagi siapa saja, di mana saja, serta kapan saja. Bersifat absolut
karena etika wajib menjadi pegangan dalam berperilaku. Keempat, etiket
diukur dari sisi lahiriah, sedangkan etika melebihi sisi lahiriah. Dalam etiket,
penilaian diletakkan pada penampilan, seperti cara berpakaian, cara duduk,
dan perbuatan lahiriah lainnya. Sementara etika meletakkan penilaian pada
maksud, kehendak, motivasi, dan suara hati. (Bertens, 1987)
Dengan karakter sebagai refleksi rasional kritis, bukan mustahil etika dapat
membangun dirinya secara lebih mendalam mendiskusikan prinsip-prinsip
atau norma-norma etis umum, seperti kebebasan, tanggung jawab, otonomi,
keadillan. Pada tingkat ini etika menjadi sebuah orientasi rasional dan kritis
agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai
pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar
ia dapat mengerti sendiri mengapa ia harus bersikap. Etika membantu agar
ia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya dengan
menggunakan seluruh pikiran dan nalarnya. Atau dalam rumusan Franz
Magnis-Suseno dalam buku Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral, etika merupakan ilmu yang mencari orientasi. Orientasi rasional tersebut
perlu agar kita tahu di mana kita berada dan ke arah mana kita bergerak untuk
mencapai tujuan kita yang sebenarnya. (Magnis-Suseno, 1987: 5)
Dengan fungsi seperti ini, etika tidak hanya membantu kita untuk
mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral
dalam menata kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa
teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam
menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut
dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang
dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai
fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi.

34
BAB II

B. Dimensi Etis Gerakan Antikorupsi


Ada sebuah asumsi yang dipegang teguh dari setiap pembicaraan
mengenai etika. Setiap manusia adalah makhluk moral dalam arti apa pun
yang ia lakukan menentukan status moralnya entah sebagai manusia yang
baik maupun sebagai manusia yang buruk. Dari pespektif ini, setiap orang
seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-perbuatannya
dan pertanggungjawaban moral tersebut amat sangat ditentukan oleh
apakah tindakannya benar-benar sejalan dengan standar moral yang diterima
umum atau tidak. Kebaikan dan keburukannya sebagai manusia ditentukan
oleh apakah perbuatannya sesuai dengan hukum moral atau standar moral
yang berlaku bagi hidup sebagai manusia.
Secara sosiologis hal ini bisa dipahami. Setiap manusia merupakan produk
kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan hidup, agama, dan media.
Dalam ruang moral masyarakat tersebut, manusia hidup dan mengambil
bagian dalam kehidupan masyarakat. Bahkan kita bisa melihat bagaimana
identitas diri dari segi moral kerap kali berpautan dengan nilai dan moral
masyarakat.
Dengan asumsi-asumsi filosofis dan sosiologis tersebut, korupsi sudah
dapat dilihat sebagai sebuah masalah. Secara sederhana, korupsi dapat
dilihat sebagai sebuah manifestasi pembalikan kepada insting egoisme
dan kerakusan yang mengabaikan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang
lebih luas dan bahkan kodratnya sendiri sebagai manusia. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa korupsi memiliki kemungkinan akan menghancurkan
kehidupan pribadi dan sosial, dan karena itu juga masyarakat akan berjuang
melawan korupsi. lalu, pertanyaannya sekarang: bagaimana etika sebagai
refleksi membangun argumentasi menolak korupsi? Langkah-langkah
konstruktif apa yang harus dibangun dilihat dari etika?
Herry Priyono dalam buku yang berjudul Korupsi mencoba menjawab
pertanyaan dengan sebuah jawaban yang sederhana: Refleksi etika mengenai
korupsi pada dasarnya sudah antikorupsi. Dikatakan antikorupsi karena korupsi
merupakan tindakan yang secara moral buruk: tujuannya buruk, tindakannya
sendiri buruk, dan dampaknya buruk. Bagaimana menjelaskannya? Apakah
penilaian ini memiliki basisnya pada argumentasi etis dan kriteria-kriterianya?
Beberapa teori etika seperti teori utilitarianisme, teori deontologi, dan teori
etika keutamaan dapat digunakan sebagai panduan untuk menjawab
pertanyaan ini. (Priyono, 2018: 458-472)
Pertama, dari segi dampak tindak korupsi. Asal usul dari argumentasi
ini berasal dari filsuf-filsuf aliran utilitarianisme, terutama pemikiran Jeremy
Bentham (1748-1832). Filsuf yang memiliki minat besar pada hukum ini memiliki
argumentasi bahwa kemaslahatan bagi sebanyak mungkin orang merupakan
kriteria penting bagi baik buruknya sebuah perbuatan. Moralitas tidak dapat

35
BAB II

dipisahkan dari utilitas, kegunaan, manfaat. Sebuah perbuatan memiliki mutu


moralitas tinggi jika perbuatan tersebut memberikan manfaat kebahagiaan
yang terbesar bagi sejumlah besar orang. Inilah prinsip dasar utilitarianisme:
the greatest happiness for the greatest number. Sebaliknya, perbuatan atau
kebijakan dapat dikatakan buruk jika manfaat tindakan tidak diarahkan pada
kebahagiaan banyak orang.
Dengan alasan ini Benthan menjadi sangat kritis terhadap peraturan-
peraturan yang dikeluarkan di Inggris pada masa hidupnya, seperti hukuman
rajam bagi dua kekasih yang berzinah dan hukuman yang keras bagi para
perusak pagar perkebunan bangsawan dan pemilik tanah. Bagi Bentham
hukum seperti ini bermasalah karena tidak berorientasi pada pertimbangan
akibat perbuatan tersebut bagi kesejahteraan umum. Sebaliknya, Bentham
menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakan-
tindakan alternatif, kita harus mengambil satu pilihan yang memiliki
konsekuensi yang memiliki manfaat yang besar bagi kebahagiaan semua yang
terlibat di dalamnya.
Gagasan Benthan ini menimbulkan kritik karena pikirannya tentang apa
yang disebut kebahagiaan tersebut. Ia menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan kebahagiaan adalah menghindari rasa sakit dan memperbesar nikmat.
Bagaimana mungkin nikmat menjadi dasar bagi kebaikan etis? Muridnya
John Stuart Mill mencoba menjelaskan dengan cara yang lebih elegan.
Prinsip kebahagiaan merupakan tujuan terakhir. Menghindari rasa sakit
orang lain harus menjadi ukurannya, karena itu adalah tuntutan minimalnya.
Bagi Mill pengalaman rasa sakit manusia perlu diperhatikan, karena tanpa
pertimbangan efek seperti itu tindakan dan kebijakan pantas dipertanyakan.
Bahkan apa yang kita sebut dengan rasa keadilan, tak pernah bisa dipisahkan
dari pengalaman rasa sakit sebagai manusia. Jadi tidak sekedar meningkatkan
nikmat, tetapi menghindari rasa sakit. Prinsip ini kemudian menjadi bagian
usaha para pengikut utilitarianisme mendorong agar pengalaman rasa sakit
yang dialami manusia dan hewan harus mendapat pertimbangan dalam
penilaian etis. Dalam dunia kekinian, pertimbangan rusaknya lingkungan
menyebabkan kesengsaraan generasi berikutnya.
Pemikiran ini memiliki implikasi yang besar bagi pengertian kita tentang
moralitas dan tentang korupsi. Yang pantas diperhatikan adalah kriteria ini
mengantar kita kepada pemikiran tentang dampak bagi tindakan-tindakan
dan kebijakan yang diambil. Dengan pertimbangan ini, Bentham dan Mill
ingin menegaskan bahwa moralitas itu bukanlah hal ketaatan buta pada
aturan-aturan moral. Pertimbangan manfaat harus menjadi kriteria penting
dari ketaatan pada aturan-aturan moral tersebut. Kerap pertimbangan
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang ini dilengkapi dengan
pertimbangan efisiensi costs and benefits dari setiap tindakan dan kebijakan.
Neraca pertimbangan ini perlu dibuat sebelum sebuah tindakan diambil.

36
BAB II

Efisiensi yang lebih tinggi menjadi tolok ukur manfaat yang lebih besar.
Pemahaman utilitarianisme ini bisa misleading. Salah satu kritik terhadap
pertimbangan ini tersebut tidak adil terhadap kepentingan-kepentingan yang
tidak menjadi kepentingan mayoritas.
Dengan pertimbangan ini, korupsi memang dapat dinilai buruk dari segi
moral, karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan tersebut merusak
kemaslahatan bersama. Tindakan tersebut juga dapat membawa akibat yang
buruk bagi masyarakat dan menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.
Kita bisa membayangkan lebih jauh akibat korupsi. Secara mendasar korupsi
dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang mengikatkan manusia
satu sama lain. Kita juga dapat membayangkan bahwa korupsi dapat merusak
kehidupan manusia dalam masyarakat dan cita-cita untuk membangun
kehidupan bersama di atas dasar common good. Tindakan tersebut dapat
dilihat sebagai sebuah sabotase melawan manusia, kepentingan semua
orang baik laki maupun perempuan, dewasa dan anak-anak yang seharusnya
memiliki hak dasar untuk menikmati kesejahteraan bersama dengan cara-cara
yang wajar.
Kritik utilitarianisme terhadap korupsi tersebut pantas diperhatikan. J.J.
Rousseau pernah menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, setiap orang
selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Penghargaan satu sama lain
tersebut terjadi karena setiap orang menghargai properti pribadi dan bersama.
Namun, sebagaimana Rousseau meramalkan, manusia dapat menjadi serigala
untuk manusia yang lain (Hobbes) ketika ia ingin mengambil untuk dirinya apa
yang menjadi properti orang lain dan properti bersama. Ini adalah akibat fatal
perbuatan korupsi.
Namun, dengan kriteria manfaat dari pemikiran utilitarianisme tidak
seluruhnya tepat dan bahkan dapat menimbulkan masalah bagi etika
antikorupsi itu sendiri. Manfaat kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang sulit diukur jika kita melihat dampak jangka panjang. Banyak perbuatan
suap dibenarkan karena membawa manfaat bagi perusahaan dan organisasi.
Namun, sikap toleran terhadap korupsi tersebut justru terjadi karena jebakan
ini. Kita tidak pernah membayangkan bahwa praktik tersebut sudah merusak
seluruh tatanan institusional yang menghargai hak dan keadilan. Dengan
alasan ini, etika antikorupsi membutuhkan pertimbangan etis lain yaitu
pertimbangan motif sebuah tindakan.
Pertimbangan lain yang dimaksud adalah kewajiban terhadap hukum moral
itu sendiri. Ini adalah kriteria kedua etika antikorupsi. Menurut pertimbangan
ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-
perbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap
orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan
karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai

37
BAB II

moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan
bertentangan dengan hukum moral.
Argumentasi ini dibangun oleh teori deontologi (deon berarti kewajiban)
yang secara khusus dikembangkan oleh Kant. Menurut Kant aturan moral
harus ditaati tanpa pengecualian. Untuk memahami apa yang ia maksudkan,
Kant membuat sebuah pembedaan antara imperatif (perintah) kategoris dan
imperatif hipotetis. Dalam pemikirannya, imperatif kategoris berarti imperatif
yang mewajibkan sementara imperatif hipotetis, artinya imperatif yang tidak
wajib dilaksanakan kecuali jika kita menyetujui syaratnya. Bunyi imperatif
hipotetis misalnya seperti berikut: (Rachels, 2004, 223)

“Kalau Anda ingin menjadi pemain catur yang baik, Anda wajib
mempelajari permainan Garry Kasparov”, atau

“Kalau Anda ingin masuk sekolah hukum, Anda wajib mendaftarkan diri
untuk mengikuti ujian masuk.”

Kewajiban untuk mempelajari permainan Garry Kasparov hanya penting


jika saya ingin menjadi pemain catur. Begitu juga saya harus mendaftarkan diri
mengikuti ujian masuk, jika saya setuju untuk masuk fakultas hukum. Tanpa
menyetujui syarat-syarat tersebut, saya tidak wajib mempelajari permainan
Garry Kasparov dan mendaftarkan diri mengikuti ujian masuk.
Aturan-aturan moral, sebaliknya, merupakan kewajiban kategoris, artinya
tidak tergantung pada syarat keinginan tertentu. Kant memberikan sebuah
contoh sederhana. Ia berargumen bahwa berbohong tak pernah dapat
dibenarkan, apapun keadaan lingkungannya. Hal yang mewajibkan saya
tentu tidak berasal dari keinginan saya semata-mata tetapi karena apa yang
mewajibkan saya tersebut benar-benar rasional dan universal. Artinya, siapa
pun sebagai makhluk rasional akan menerima bahwa saya tidak pernah boleh
berbohong. Dengan contoh sederhana ini, Kant sampai pada sebuah proposisi
yang hingga kini dikenal: “Bertindaklah hanya menurut kaidah dengan mana
Anda dapat sekaligus menghendaki supaya kaidah itu berlaku sebagai hukum
universal.”
Kembali ke contoh imperatif “jangan berbohong,” Kant membuat sebuah
silogisme sebagai berikut: (Rachels, 2004: 227)
1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan
aturan yang kita inginkan diatur secara universal.
2. Jikalau kita berbohong, maka kita mengikuti aturan berikut, “Berbohong
itu diizinkan”

38
BAB II

3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan


menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu
sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa berbohong itu tidak
ada gunanya.
4. Oleh karena itu, kita jangan berbohong.
Dengan demikian Kant sebenarnya merumuskan prosedur untuk
memutuskan apakah suatu tindakan secara moral diizinkan. Jika Anda
mempertimbangkan untuk melakukan suatu tindakan, Anda harus bertanya
aturan mana yang akan Anda ikuti jika harus melakukan tindakan itu. Tidak
berhenti di sini. Anda harus bertanya juga apakah Anda akan menerima aturan
itu untuk diikuti oleh setiap orang sepanjang waktu. Jika ya, aturan itu pun
bisa diikuti, dan tindakan itu boleh dilakukan. Jadi aturan itu harus bersifat
universal.
Pemikiran Kant ini tampaknya sangat formalistis dan kaku. Namun,
prosedur yang diusulkannya sebenarnya mudah diikuti logikanya. Dengan
prosedur ini, kita bisa berbicara tentang argumentasi melawan suap dan
korupsi: “Jangan menerima suap.” Imperatif ini sudah diketahui umum baik
oleh pegawai negeri maupun oleh pimpinan perusahaan. Bagi Kant, imperatif
tersebut tidak hipotetis, tidak hanya karena kerap sudah menjadi bagian dari
janji atau sumpah jabatan, tetapi diterima oleh setiap orang. Dalam perspektif
Kant, melawan imperatif tersebut berarti melawan akal sehat dan moral yang
universal. Mengikuti silogisme yang sama ketika Kant berbicara tentang
imperatif jangan berbohong, kita seharusnya sampai pada kesimpulan bahwa
korupsi itu dilarang.
1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan
aturan yang kita inginkan diatur secara universal.
2. Jikalau kita korupsi, maka kita mengikuti aturan bahwa, “Korupsi itu
diizinkan”
3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan
menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu
sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa korupsi itu tidak
ada gunanya.
4. Oleh karena itu, kita jangan korupsi.
Kriteria ketiga berhubungan dengan tujuan tindakan itu sendiri yaitu
mencapai kebahagiaan sebagai manusia rasional. Yang dimaksud dengan
kebahagiaan di sini berbeda dengan konsep utilitarianisme. Jika pada
utilitarianisme kebahagiaan berhubungan dengan pengalaman rasa sakit
dan rasa senang, kebahagiaan yang dimaksud di sini lebih substansial: yaitu,
keterarahan menuju kepenuhan kodrat sebagai manusia rasional.
Argumentasi etis ini kerap disebut dengan istilah teleologis (telos, bahasa
Yunani, berarti tujuan), karena nilai etis dari sebuah tindakan terletak dari

39
BAB II

apakah tindakan tersebut benar-benar membuat kita menjadi lebih manusiawi


atau tidak. Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, merupakan tokoh penting
dalam aliran teleologis ini. Ia berargumentasi bahwa tujuan akhir hidup
manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia yang berarti jiwa yang baru). Ini
adalah tujuan tertinggi atau terakhir. Tujuan tersebut seakan-akan menjadi
puncak dari semua tujuan-tujuan lain yang bisa dicapai setiap orang menurut
pekerjaannya. Misalnya, tujuan pengetahuan kedokteran adalah kesehatan,
tujuan keterampilan tukang sepatu adalah pembuatan sepatu, tujuan dari
seni strategi adalah kemenangan, tujuan para ekonom adalah hidup yang
berkecukupan. Ini berarti kebahagiaan terletak pada keterarahan menuju
kepenuhan kodrat sebagai dasar mengapa sesuatu itu ada. Dan tujuan
tertinggi dari semuanya adalah kodrat manusia sebagai makhluk rasional.
Pemikiran Aristoteles tidak berhenti di sini. Lebih lanjut ia menambahkan
bahwa tujuan baik saja tidak cukup. Perlu juga dengan cara yang benar.
Dengan asumsi ini Aristoteles berbicara tentang arête, atau keutamaan.
Yang dimaksud dengan keutamaan adalah sifat karakter yang tampak dalam
tindakan sehingga menjadi kebiasaan. Harus dikatakan di sini kebiasaan itu
penting. Keutamaan kejujuran, misalnya, tidak dimiliki oleh seseorang yang
hanya kadang-kadang mengatakan kebenaran atau hanya kalau hal itu
menguntungkannya. Seseorang dikatakan orang yang jujur karena kejujuran
merupakan prinsip dari tindakan-tindakannya. Ia melaksanakannya setiap
hari. Jadi, tidak karena ia senang. Orang jujur karena sudah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan tersebut tentu belum menjelaskan sifat dan karakter yang
sebenarnya. Harus ada unsur lain, yaitu, kebaikan itu sendiri. Di sini Aristoteles
membuat sebuah pembedaan yang pantas diperhatikan. Ia menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki fungsinya dalam masyarakat dan karena itu, ia
memiliki keutamaan berdasarkan fungsi dan peranannya. Seorang tukang
kayu memiliki keutamaan sebagai tukang kayu, seorang prajurit memiliki
keutamaan sebagai prajurit, dan seorang ilmuwan memiliki keutamaan
sebagai ilmuwan. Namun, baik tukang kayu, prajurit, dan ilmuwan adalah
manusia, karena itu keutamaan tertinggi tentu adalah keutamaan menjadi
pribadi sebagai manusia. Dalam tulisannya Nichomachean Ethics, Aristoteles
menyebut beberapa keutamaan, antara lain keberanian, kebijaksaan, keadilan,
ugahari, murah hati, persahabatan, belas kasih, penguasaan diri. Kita tidak
akan menjelaskan satu per satu keutamaan di sini. Pertanyaan yang harus
kita jawab adalah mengapa keutamaan menjadi penting di sini. Tujuan utama
argumentasi Aristoteles adalah pengembangan karakter. Artinya, setiap orang
harus memiliki karakter tertentu dengan keutamaan-keutamaan tertentu. Dan
karakter itu menunjukkan keunggulannya.
Pengikut Aristoteles, A. MacIntyre menjelaskan bahwa setiap masyarakat
sebenarnya bisa membantu pengembangan karakter tersebut. Ada
masyarakat yang menekankan etos kepahlawanan, ada yang mengembangkan

40
BAB II

etos keterbukaan, dan bahkan ada yang mengembangkan etos kesuksesan.


Etos-etos tersebut menentukan narasi hidup setiap orang. MacIntyre juga
menjelaskan bahwa penekanan keutamaan kerap berhubungan dengan
konteks persoalan sosiologis masyarakat. Keberanian misalnya merupakan hal
yang baik karena kehidupan ini penuh dengan bahaya dan tanpa keberanian
kita tak akan dapat menghadapinya. Kemurahan hati diinginkan karena ada
sejumlah orang yang memang berada dalam keadaan lebih buruk daripada
yang lain dan mereka membutuhkan pertolongan.
Tetapi harus ditambahkan bahwa Aristoteles memikirkan karakter yang
diinginkan oleh semua manusia yaitu menjadi manusia rasional yang berpikir
dengan prinsip jalan tengah, tidak terlalu ke kiri tidak terlalu ke kanan. Ugahari
misalnya adalah keutamaan moral untuk tetap berada di tengah, di antara
boros dan kikir; keberanian adalah keutamaan moral di antara sifat pengecut
dan gegabah. Dengan demikian kebijaksanaan menjadi karakter moral praktis
yang selalu diidam-idamkan Aristoteles.
Bertolak dari argumentasi etika keutamaan ini, tindakan korupsi pada
intinya melawan integritas sang pelaku tindakan: yang seharusnya menjadi
rasional menjadi tidak rasional, yang seharusnya menjaga keadilan tidak
melaksanakan keadilan, yang seharusnya memelihara kesehatan tetapi
menjadikan kesehatan sebagai komoditi. Aristoteles seakan-akan mendesak
agar setiap orang tidak melawan dirinya sendiri dengan bertindak irasional
untuk mencapai kebahagiaannya sebagai manusia.
Pandangan Aristoteles ini memiliki sumbangan tertentu bagi gagasan
integritas. Korupsi itu terjadi karena orang tidak memiliki integritas dirinya
sendiri, ia mudah terombang – ambing. Tentu harus diakui bahwa korupsi
seringkali dipicu oleh materialisme, sebuah pandangan atau sikap filosofis
praktis yang melihat materi sebagai nilai tertinggi dalam hidup manusia. Setiap
orang dalam pandangan ini mengidentifikasikan diri dengan materi yang
dimilikinya. Menjadi diri sendiri berarti memiliki sebanyak-banyaknya barang.
Dalam situasi ini integritas manusia tidak lagi ditentukan oleh pertimbangan-
pertimbangan rasional dan moral, tetapi ditentukan oleh seberapa kekayaan
yang dimilikinya. Tentang hal ini, Aristoteles tentu akan bertanya, apakah
tindakan tersebut dapat meningkatkan kebaikan baik bagi dirinya maupun
bagi orang lain.
Di Indonesia kita mengenal banyak sekali local wisdom yang dekat dengan
pemikiran Aristoteles ini. Salah satu yang menarik adalah local wisdom
‘Memayu Hayuning Buwono” (menjaga atau mengelola atau memerindah tata
dunia). Hidup yang baik tidak seluruhnya ditentukan oleh apa yang dimiliki
tetapi oleh apakah hidupmu dan dunia sekelilingmu terpelihara dengan baik.
Apalah artinya memiliki seluruh dunia jika Anda kehilangan dirimu sendiri dan
lingkungan yang menopang keberadaanmu? (Riyanto, 2015)

41
BAB II

C. Dimensi Institusional Etika Antikorupsi

Aristoleles dalam diskusinya mengenai etika pernah menjelaskan bahwa


moralitas tidak pernah individual, tetapi memiliki dimensi sosial politik.
Manusia adalah makhluk politik yang keberadaannya tidak pernah dipisahkan
dari orang lain dan masyarakatnya. Bahkan dalam perspektif tertentu,
sebagaimana dikemukakan oleh Fr. Hegel, moralitas pun, berarti kesadaran
moral dalam konteks masyarakat dan negara.
Dengan gagasan Aristoteles ini, refleksi etika dapat menjangkau luas,
mulai dari etika politik, etika sosial, etika profesi, hingga etika publik. Meskipun
ada pembedaan besar di antaranya, sisi etika yang ingin dikemukakan oleh
cabang-cabang etika tersebut adalah dimensi sosial perilaku manusia.
Dengan demikian, etika sudah mengandung dimensi politik dan publik. Di
sini, etika menjadi sebuah upaya untuk memperjuangkan kepentingan publik
untuk dan bersama orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan
dan membangun institusi yang lebih adil. Berdasarkan orientasi politik dan
publik ini, bukan mustahil jika etika antikorupsi menaruh perhatian lebih jauh
pada aspek (1) kepentingan publik, pada (2) saran insitusional yang adil dan
regulasi/aturan hukum yang akuntabel, transparan, dan adil (3) integritas
pelaku.
Di antara sisi-sisi etika sosial-politik, masalah yang paling peka pada
persoalan korupsi adalah institusi. Institusi sebenarnya merupakan sarana

42
BAB II

yang memungkinkan tujuan dapat dicapai. Dimensi ini meliputi sistem,


prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik pelayanan publik. Kekuatan
institusi sebagai sarana harus diperhitungkan karena alasan-alasan berikut.
Pertama, karena institusi merupakan fondasi masyarakat. Tanpa institusi
manusia tidak dapat hidup dan masyarakat pun tidak dapat bertahan. Institusi
mencegah masyarakat rontok berantakan. Sehingga manusia tidak dapat
membuat keputusan tanpa melalui lingkup institusi. Kedua, institusi memiliki
ciri etis normatif. Padanya ada standar integritas, yang menentukan apa yang
seharusnya. Di sini, setiap institusi memiliki prinsip tata kelola yang baik seperti
solidaritas, pluralitas, persamaan, dan subsidiaritas.
Namun institusi kerap menjadi masalah. Dalam Global Corruption
Baromenter 2017 yang menaksir tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik,
ditemukankan bahwa kepolisian dipandang sebagai institusi paling korup,
diikuti lembaga legislatif, pejabat pemerintahan pusat, pemerintahan/badan
perwakilan daerah, presiden dan perdana menteri, petugas pajak, eksekutif
bisnis, hakim/jaksa, akhirnya pemimpin agama. Di sini terdapatlah ironi dari
apa yang dikemukakan di atas bahwa dalam institusi terjadi suap dan konflik
kepentingan. Mengapa?
Studi mengenai korupsi institusi dapat memberikan penjelasan mengenai
hal ini. Pertama adalah institusi sendiri korup. Praktik suap yang lumrah
di kalangan para pejabat Nazi pada perang Dunia II dapat dilihat sebagai
contoh dari institusi jenis ini. Institusi yang despotis sudah merupakan korupsi
sehingga praktik-praktik suap menjadi lumrah untuk dipraktikkan. Contoh
ini mau menjelaskan bahwa praktik korupsi dan suap tidak pernah dilihat
sebagai masalah karena institusi itu sendiri sudah korup. Kedua, institusi
sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melihat alasan moral dari korupsi
itu sendiri. Ini menjadi ciri dari institusi yang hanya fokus pada prosedur
administraitf, legitimasi dan teknis. Dengan asumsi ini, korupsi hanya diatasi
dengan mendeteksi mereka yang melanggar prosedur teknis. Padahal
jantung korupsi adalah masalah moral, berupa kemerosotan personal dan
institusional yang menyeret seluruh tatanan kehidupan bersama ke dalam
pembusukan. Seandainya hal ini dipahami dengan baik, yang sebenarnya
dibutuhkan adalah mengembangkan tatanan masyarakat yang baik, yang
efisien, yang efektif, yang legal, yang akuntabel, dan transparan. Ketiga,
pengabaian terhadap kepentingan publik. Sering terjadi korupsi hanya
berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan negara. Ini membutakan mata
kita pada apa yang disebut dengan kepentingan publik. Tentu yang dimaksud
dengan kepentingan publik tidak pernah statis, melainkan dinamis. Dengan
berorientasi pada kepentingan publik, kita didorong untuk menaruh perhatian
pada tata kelola yang baik dan berintegritas. Tanpa orientasi tersebut institusi
hanya menjadi ekstensi atau perluasan kepentingan pribadi. Korupsi sebagai
masalah moral adalah bukti bahwa institusi mengabaikan dengan sengaja
atau tidak sengaja kepentingan publik.

43
BAB II

Dengan alasan-alasan ini, maka etika antikorupsi menaruh perhatian


pada usaha membangun institusi yang adil. Di sini perlu diperhatikan prinsip-
prinsip dasar pengembangan institusi yang dapat dipercaya, terutama
prinsip akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas berarti institusi harus
bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas tindakan dan
kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Akuntabilitas berarti
institusi harus bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas
tindakan serta kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Ini
berarti, akuntabilitas menuntut transparansi dan kemampuan merespons
kepentingan banyak orang. Juga yang penting adalah transparansi
menghadapi konflik kepentingan. Transparansi adalah sebuah prinsip tata
kelola menyangkut informasi yang jelas, konsisten, dan relevan; standardisasi
proses yang memungkinkan kontrol kebijakan; transparansi aturan dan
prosedur. (Haryatmoko, 2015)

D. Penutup
Etika antikorupsi adalah sebuah usaha rasional kritis atas korupsi. Karena
korupsi memiliki latar belakang empiris yang luas maka etika antikorupsi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, etika antikorupsi bersifat normatif dalam arti mendiskusikan gejala
korupsi dari perspektif etika normatif. Perspektif ini berangkat dari asumsi
yang sederhana, yaitu bahwa korupsi itu buruk dari segi dampaknya, dari
segi tujuannya, dan dari segi tindakannya itu sendiri. Dengan mendiskusikan
prinsip-prinsip manfaat, prinsip kewajiban kategoris pada aturan-aturan moral
yang universal, dan keutamaan-keutamaan etis, etika antikorupsi melihat
dengan jelas apa yang dilanggar oleh praktik korupsi. Dengan mendiskusikan
korupsi dari perspektif teori-teori etika normatif, etika antikorupsi termasuk
etika terapan, sebuah usaha untuk menggunakan prinsip-prinsip dasar etika
normatif untuk menjawab masalah-masalah praktis sehari-hari.
Kedua, etika antikorupsi bersifat deskriptif dalam arti melibatkan
pengetahuan empiris tentang praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini harus
disadari bahwa korupsi itu memiliki kecerdasan tersendiri. Machiavelli pernah
menasehati para etikawan dalam bidang politik bahwa politik itu adalah
kecerdasan menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Itu adalah
esensi politik. Karena itu, pengetahuan tentang kecerdasan politik itu sendiri
penting. Begitu juga dengan fenomena korupsi. Korupsi itu adalah sebuah
kecerdasan untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan bahkan status sosial.
Karena itu pengetahuan deskriptif dengan akar-akar korupsi sebagaimana
dijelaskan bab sebelumnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari etika
antikorupsi. Kant pernah memberi nasehat sederhana: seorang yang mengerti
etika harus cerdik seperti ular, dan jinak seperti merpati. Artinya, untuk dapat

44
BAB II

memberikan pertimbangan etis yang baik, perlu mengenal seluk beluk praktik
korupsi.
Ini berarti persoalan metode menelusuri akar-akar korupsi menjadi penting.
Meskipun secara populer kita meyakini bahwa korupsi lebih dari sekedar
masalah hukum, dan akar utama adalah moralitas, dibutuhkan sebuah strategi
metodologis untuk memahami akar-akar tersebut.
Ketiga etika antikorupsi bersifat sosial politik/publik. Segi ini menjadi hal
yang sulit diperhatikan, karena banyak yang melihat korupsi sebagai persoalan
individual, dalam arti korupsi hanyalah sebuah kesalahan individu tertentu.
Yang harus dipahami lebih jauh adalah bahwa korupsi selalu berkaitan
dengan institusi di mana seseorang hidup dan bekerja. Sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya, hampir sulit seseorang membebaskan diri dari praktik
korupsi dalam sebuah sistem yang korup. Dengan alasan ini, etika antikorupsi
perlu menyelidiki akar-akar institusional dari praktik korupsi dan mencari
langkah-langkah etika institusional untuk mengatasi korupsi itu sendiri. Selain
aspek institusi, etika antikorupsi perlu berbicara tentang tujuan membangun
komunitas moral dan integritas. Kedua tema ini akan dibicarakan pada bab-
bab berikut.

45
BAB III:
ETIKA PROFESI MELAWAN
KORUPSI
BAB III

Talcott Parsons sudah lama meramalkan bahwa masyarakat modern tidak


dapat dipisahkan dari gejala profesi. “Perkembangan dan semakin pentingnya
secara strategis profesi-profesi barangkali merupakan perubahan yang
paling penting yang telah terjadi dalam sistem pekerjaan dalam masyarakat
modern.” (Sudarminta, 1992: 114) Sebelum modernitas, kita mungkin hanya
mengenal profesi-profesi klasik seperti dokter, advokat, dan pemimpin agama.
Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
banyak pekerjaan yang sebelumnya dilaksanakan begitu saja mengalami
perkembangan menjadi profesi. Bahkan, di dalam satu rumpun profesi kita
masih bisa mengenal banyak profesi untuk menunjukkan bidang-bidang
spesialisasi. Di kalangan peradilan, misalnya, kita mengenal selain advokat,
masih ada hakim dan jaksa. Di dunia kesehatan, selain dokter kita masih
mengenal perawat. Di dunia teknik kita mengenal insinyiur bidang elektro,
mesin, sipil, dan lain-lain. Diferensiasi fungsi-fungsi ini semakin lama semakin
mengkhusus, sehingga hanya orang dengan pendidikan dan keahlian khusus
yang dapat dan memiliki wewenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi
tersebut.
Bagi Parsons, profesi seharusnya memiliki kredibilitas tersendiri di mata
publik. Jika ada tawaran kerja, para pemberi kerja akan lebih condong kepada
mereka yang profesional daripada mereka yang awam. Fungsi-fungsi yang
ada di masyarakat dipercayakan kepada para profesional karena masyarakat
percaya bahwa sang profesional mengenal masalah dan tahu memecahkan
masyarakat secara efektif dan efisien. Namun, bukan mustahil profesi sering
melakukan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan klien
dan masyarakat. Mereka dapat dituduh melakukan malpraktik, ketika sang
profesional tidak fokus pada tugas profesinya. Kerap kekayaan dan status
menjadi godaan bagi profesional. Maka muncul pertanyaan: Bagaimana
mungkin profesional dapat dipercaya? Atas dasar apa ia dapat dipercaya?
Apa kriteria landasan etis profesi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menyentuh 2 hal, yaitu, apa yang dimaksud
dengan etika profesi dan bagaimana fondasi etis profesi harus dijelaskan. Di
samping kedua pertanyaan pokok ini, pertanyaan berikut yang harus dijawab
adalah bagaimana sumbangan etika profesi bagi usaha pencegahan korupsi.
Dengan demikian, bab ini akan secara berturut-turut membahas apa yang
menjadi fokus dari etika profesi, menggali fondasi etika profesi, merumuskan
prinsip-prinsip dasar etika profesi, lalu bagaimana etika profesi menghadap
korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar
mahasiswa:
1. Memahami pengertian profesi sebagai kegiatan intelektual dan
kegiatan yang terhormat.

49
BAB III

2. Memahami janji publik sebagai fondasi etika profesi.


3. Memahami implikasi prinsip-prinsip etika profesi bagi usaha menolak
korupsi.

A. Etika Profesi
Etika profesi merupakan cabang etika yang secara kritis dan sistematis
merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi. Kerap
kali etika ini dilihat sebagai etika terapan, karena merupakan refleksi etika
normatif pada masalah-masalah profesi. (Bertens, 2013)
Karena cabang etika ini menaruh perhatian pada masalah-masalah moral
yang melekat pada profesi, etika profesi tidak akan melakukan refleksi tentang
kewajiban umum manusia terhadap manusia, tetapi pada kewajiban khusus
berkaitan dengan tuntutan fungsional untuk melaksanakan suatu jenis
pelayanan tertentu. Dengan perkataan lain, etika profesi akan melakukan
penilaian rasional kritis atas praktik-praktik profesional dalam masyarakat
modern dewasa ini berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas moral universal yang
dituntut pelaksanaannya pada profesi tertentu. Tentu dalam hal ini asas moral
universal tersebut benar-benar melekat atau fungsional pada pelaksanaan
profesional tertentu.
Pentingnya pembicaraan tentang etika profesi dewasa ini menjadi nyata
berkenaan dengan semakin pentingnya peran profesi dalam kehidupan
masyarakat. Ada harapan terselubung di balik etika profesi. Dengan
menemukan landasan-landasan normatif yang mengikat para profesional
ketika melakukan tindakan-tindakan profesional, etika profesi bertujuan
agar profesi dapat membangun dirinya sebagai sebuah komunitas moral.
(Sudarminta, 1992: 114-133)
Secara metodologis, landasan-landasan normatif yang dimaksud
dapat diketahui melalui 2 cara. Yang pertama, dengan cara menemukan
aspirasi moral sebagaimana terkandung dalam kode etik dan praktik-praktik
profesional. Pada langkah pertama ini kita dapat menemukan kesadaran moral
profesional. Namun, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan refleksi
normatif atas kesadaran moral tersebut. Karena itu dibutuhkan langkah kedua,
yaitu sebuah refleksi etika atas kesadaran moral sebagaimana diungkapkan
secara implisit atau eksplisit dalam kode etik dan praktik-praktik profesional.
Pada langkah kedua ini kita dapat menemukan landasan etis atau norma dan
orientasi etis yang dibangun bersama oleh komunitasnya. Dengan demikian,
pengembangan kode etik profesi dan refleksi etika atas profesi atas landasan-
landasan etis dapat mendorong setiap anggota komunitas profesi untuk
menjaga secara bersama-sama agar komunitas mereka dipercaya oleh klien

50
BAB III

dan masyarakat.
Kita mengenal misalnya, etika publik yang seharusnya dimiliki oleh para
pejabat publik. Etika ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang standar/norma
yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan
untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung
jawab pelayanan publik. Refleksi etika atas profesi sebagai pejabat publik
tersebut mendorong para pejabat publik untuk membangun komunitas moral
pejabat publik. Karena itu jika ada pejabat publik yang melakukan malpraktik
dan korupsi, pejabat publik sebagai komunitas profesi dipertanyakan
moralitasnya. (Haryatmoko, 2015: 11-20)
Kita juga mengenal etika medis yang harus dilmiliki oleh setiap dokter.
Etika ini merupakan refleksi tentang norma yang menentukan baik buruk,
benar salah perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan pelayanan
kesehatan menjadi pelayanan yang dapat dipercaya klien. Jika seandainya
adalah seorang dokter yang melakukan malpraktik, komunitas medis sebagai
keseluruhan dapat diragukan integritas moralnya. (K. Bertens,2011: 35-42)
Kedua contoh ini ingin mengatakan beberapa hal berkaitan dengan etika
profesi. Pertama, etika profesi merupakan sebuah refleksi atas landasan moral
komunitas profesional yang dapat ditemukan dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Kedua, etika profesi dapat memberikan penilaian atas
mutu moralitas komunitas profesional. Dalam hal ini etika profesi dapat melihat
orientasi moral masing-masing profesi. Profesi kepolisian memiliki orientasi
moral yang berbeda dengan profesi medis. Yang pertama menekankan
disiplin berdasarkan semangat korps dalam rangka perlindungan keamanan
masyarakat, yang kedua menekankan perlindungan terhadap martabat klien
dalam rangka mengembangkan kesehatan jiwa dan badan manusia tersebut.
Karena individu profesional tidak dapat menjalankan fungsi profesinya di luar
ketiga, karena setiap profesional hanya hidup dalam komunitas profesi, maka
integritas pribadi profesional menjadi hal yang tak dapat dihindarkan dalam
refleksi etika profesi. (Chadwick, 1994: 5-15)

51
BAB III

B. Fondasi Etika Profesi: Janji Publik

Daryl Koehn dalam pembahasannya mengenai fondasi-fondasi etika


profesi menemukan bahwa etika profesi sering terjebak pada dua perspektif
teoritis berikut ini. Pertama adalah teori kompetensi keahlian. Banyak
profesional yakin bahwa keahlian yang mereka miliki dapat membantu orang
lain dan masyarakat. Untuk itu pendidikan mutlak perlu dilengkapi dengan
kursus-kursus yang memperdalam keahlian tersebut. Hanya keahlian seorang
profesional yang dapat membantu klien dan masyarakat. Bahkan layanan yang
baik hanya dapat diberikan karena keahlian tersebut. (Koehn, 2000: 27-31)
Keyakinan bahwa keahlian dapat memberikan pelayanan yang baik
ini dapat dipahami jika kita melihat rumitnya persoalan kesehatan dan
keadilan misalnya. Dibutuhkan mereka yang benar-benar memiliki keahlian di
bidangnya untuk memecahkan masalah kesehatan dan keadilan. Masyarakat
pun membutuhkan keahlian profesional yang dapat memberikan penilaian
tepat atas masalah yang terkait dengan bidang keahliannya.
Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, keahlian saja tidak cukup
menjamin kepercayaan masyarakat pada profesional. Ia berargumentasi
antara lain: keahlian dapat berkembang tanpa tujuan; demi keahlian itu
sendiri, seseorang dapat saja tidak memperhatikan aspek tujuan dari
keahlian tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang mereka layani. Otoritas
profesional terletak dalam apakah keahlian yang dimiliki tersebut diarahkan

52
BAB III

kepada kepentingan mereka yang dilayaninya? (Koehn, 2000: 33-47)


Berbeda dengan teori keahlian, para sosiolog menyajikan teori kedua,
yaitu teori kontrak sosial. Teori ini beranggapan bahwa sumber kepercayaan
kepada profesi terletak pada kontrak yang dibangun antara profesional dan
klien berkenaan dengan harapan kolektif atas layanan profesional. Masyarakat
membutuhkan profesional karena hanya seorang profesional yang dapat
memberikan layanan sesuai dengan harapan kolektif masyarakat. Dan kontrak
sosial menjamin bahwa harapan-harapan tersebut dapat terwujud. Dalam
kontrak tersebut, harapan masyarakat dapat mengendalikan apa yang akan
dilakukan oleh seorang profesional. Kalau ada risiko tindakan profesional,
maka risikonya dapat diperkecil oleh kontrol masyarakat. Pertimbangan ini
tetap mendapat perhatian karena kemerdekaan dan rasionalitas masyarakat
penerima layanan profesional tetap harus dijamin. (Koehn, 2000: 49-53)
Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, harapan kolektif
layanan tidak cukup menjadi landasan etika profesi. Ia memberikan beberapa
pertimbangan. Pertama, dalam banyak hal kita tetap membutuhkan
kewenangan profesional untuk mengambil tindakan-tindakan profesional.
Karena itu kewenangan profesional menjadi tak terhindarkan. Kedua,
hubungan antara profesional dan masyarakat atau klien tidak pernah sejajar.
Dalam keadaan tertentu, profesional memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan
dengan klien dari segi keahlian, pengetahuan, dan rasionalitas. Ketiga, dalam
rangka menegakkan kebaikan layanan dalam bidang kesehatan dan keadilan,
masyarakat dan klien pengguna jasa profesional dituntut untuk menegakkan
disiplin. Kesehatan misalnya tidak sekedar menjadi urusan dokter tetapi
menjadi urusan pasien. Ia harus mengikuti resep yang ditawarkan dokter.
Kerjasama antara dokter dan pasien membuat kesehatan sebagai kebaikan
menjadi nyata. Keempat, uang yang dibayarkan klien kepada profesional
dapat mengaburkan tujuan interaksi antara profesional dan klien. Hal ini
menjadi semakin jelas jika kita melihat bagaimana para profesional menjadikan
layanannya sebagai komoditi yang memiliki tarif-tarif yang tidak mendukung
misi layanan profesional. (Koehn, 2000: 55-71)
Dengan kritik-kritik di atas, Daryl Koehn ingin menyatakan bahwa otoritas
moral profesional terletak pada apakah mereka dipercaya atau tidak. Dan
untuk dapat dipercaya, mereka sendiri harus menjadikan kepentingan klien
sebagai kepentingan profesional mereka sendiri. Harus ada kerja sama antara
kaum profesional dan masyarakat pengguna layanan profesional. Kerja sama
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: di satu sisi sang profesional
mengarahkan tindakannya (dengan seluruh keahliannya) demi kebaikan
klien, namun di sisi lain klien sendiri harus menunjukkan disiplin sebagai bukti
kepercayaannya pada sang profesional.
Kritik Daryl Koehn sebagaimana dikemukakan di atas memiliki alasan-

53
BAB III

alasan yang pantas diperhatikan. Menurut Koehn, ada beberapa aspek yang
tidak diperhatikan oleh kedua teori tersebut di atas, antara lain fakta bahwa
(1) kaum profesional adalah orang yang mendapat izin dari negara untuk
melakukan tindakan tertentu; bahwa (2) mereka adalah anggota sebuah
organisasi yang memiliki standar dan cita-cita perilaku, dan karena itu
tunduk pada aturan disiplin organisasi tersebut; bahwa (3) mereka memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang khusus; bahwa (4) mereka memiliki
otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan pekerjaan itu tidak dapat
dimengerti oleh masyarakkat awam; bahwa (5) mereka mengucapkan janji
publik untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan mereka.
Mereka pun bertanggungjawab atas tugas-tugas khusus yang dipercayakan
kepada mereka. (Koehn, 2000: 72-74)
Di antara kriteria-kriteria tersebut, Daryl Koehn menaruh perhatian
pada janji publik. Bagi Koehn, janji publik merupakan kriteria yang paling
banyak dibela dan dipertahankan sepanjang sejarah perkembangan profesi.
Profesional adalah orang yang dengan bebas membuat janji di hadapan
masyarakat untuk melayani orang untuk kebaikan orang itu. Apa yang
dikemukakan Daryl Koehn ini tersirat dari istilah profesi itu sendiri. Kata profesi
berasal dari kata Yunani prophaino yang berarti ‘menyatakan secara publik.’
Dari kata prophaino muncul kata professio dalam bahasa Latin yang sering
diartikan sebagai pengumuman terbuka, janji. Menurut Daryl Koehn, janji
publik merupakan landasan bagi kepercayaan masyarakat dan klien bahwa
profesional dapat mengembangkan kebaikan klien. Atau dengan cara lain
ingin dikatakan bahwa janji memberi jaminan moral bagi profesi sehingga ia
dapat dipercaya. Daryl Koehn memberikan alasan. (Koehn, 2000: 78-80)
1. Janji menciptakan kompetensi profesional; mendorong profesional
dapat memperdalam pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat
melayani masyarakat dengan baik.
2. Janji membuat masyarakat dan klien percaya bahwa profesional dapat
secara konsisten memberikan bantuan profesional.
3. Janji mendorong para profesional menghormati kerentanan klien
4. Janji membuat kaum profesional menjalankan kebijakan dengan
menggunakan penalaran atau penilaian terbaik untuk kepentingan
klien.
5. Janji memberi kuasa kepada kaum profesional untuk membuat klien
bertanggungjawab melakukan apa yang harus dilakukan.
Dengan catatan-catatan ini, Daryl Koehn yakin bahwa janji publik merupakan
landasan etis utama sehingga profesi pantas dipercaya.

54
BAB III

C. Prinsip-Prinsip Etika Profesi

Apa yang dimaksud dengan landasan moral profesi dapat dikatakan sebagai
prinsip fundamental bagi moralitas profesional. Janji publik yang diucapkan
oleh para profesional merupakan prinsip dasar yang dimiliki oleh profesional
sehingga ia dapat dipercaya masyarakat dan kliennya. Memang harus diakui
bahwa tidak semua profesi memiliki janji publik secara eksplisit. Dewasa ini kita
mengenal banyak profesi yang dibangun di atas janji publik seperti advokat,
dokter, psikolog, hakim, jaksa. Para pejabat negara pun memiliki janji atau
sumpah jabatan. Sementara itu, kita masih mengenal banyak profesi yang
tidak memiliki janji profesional secara eksplisit seperti rekayasawan teknik,
guru, profesi, dan bahkan peneliti. Pada kelompok profesi ini terdapat prinsip-
prinsip etis umum yang berfungsi menata pengembangan dan pelaksanaan
profesi berdasarkan tujuan layanan profesional masing-masing.
Dari segi etika, entah eksplisit atau implisit, janji publik itu sendiri
mengandung imperatif-imperatif moral seperti tanggung jawab, keadilan,
otonomi, dan kepercayaan. Sebagai sebuah contoh mari kita membaca
sumpah dokter dan sumpah jabatan hakim, jaksa, panitera di bawah ini:
Sumpah Dokter:

Saya bersumpah bahwa: Saya akan membaktikan hidup saya


guna kepentingan perikemanusiaan; saya akan menjalankan
tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai
dengan martabat pekerjaan saya; saya akan memelihara dengan
sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran:

55
BAB III

saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui


karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter; saya akan
senantiasa mengutamakan kesehatan pasien; saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik
Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban
saya terhadap penderita; saya akan memberikan kepada Guru-Guru
saya, Penghormatan dan Pernyataan Terima Kasih yang selayaknya;
saya akan memperlakukan Teman Sejawat saya sebagai saudara
kandung; saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari
saat pembuahan; saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan Hukum
Perikemanusiaan, sekalipun saya diancam; saya ikrarkan Sumpah
ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan
kehormatan diri saya.

Sumpah Hakim, Jaksa, dan Panitera:

Demi Allah! Saya bersumpah:


Bahwa saya untuk mendapat jabatan saya ini, baik dengan langsung
maupun dengan tidak langsung, dengan rupa atau dengan kedok
apa pun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi
sesuatu, kepada siapa pun juga.
Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia.
Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian
berupa apa saja dari siapa pun juga, yang saya tahu atau patut
dapat mengira bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai perkara
atau hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya
jalankan ini; bahwa saya di dalam melakukan kewajiban saya
senantiasa akan memegang teguh hukum, keadilan tidak sebelah
menyebelah dan tidak memandang orang; bahwa saya akan
bekerja untuk kepentingan negara, sebagai pegawai, kehakiman
yang tulus, saleh, cermat dan bersemangat.

Ada hal yang menarik dari sumpah dokter dan hakim dan jaksa ini.
Dengan fokus pada kebaikan kesehatan dan keadilan, sumpah ini berusaha
secara eksplisit dan implisit melihat tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan
kepercayaan menjadi prinsip-prinsip etisnya. Berikut kami menjelaskan apa
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dimaksud. (Sihotang, 2016: 146-278)
1. Tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk

56
BAB III

menunjukkan tanggung jawab moral dalam pekerjaannya. Tanggung


jawab ini menyangkut pada tanggung jawab pelaksanaan dan
konsekuensinya. Dalam pelaksaannya, tanggung jawab mengandaikan
integritas, objektivitas, dan kompetensi serta konfidensialitas. Integritas
diperlihatkan dalam kejujuran dan komitmen untuk menjalankan
etika profesi. Objektivitas dinyatakan dalam memberikan penilaian
atas tindakan atau keputusan yang didasari oleh data dan fakta.
Kompetensi diperlihatkan dengan kemampuan dan ketrampilan dalam
menjalankan pekerjaan. Sedangkan konfidensialitas tercermin dalam
keteguhan menjaga rahasia profesi.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan pekerjaannya
ia menjamin hak semua pihak. Perlakuan adil mensyaratkan tidak
adanya pihak yang dirugikan.
3. Otonomi. Artinya, orang yang profesional adalah orang bebas. Di
sini kebebasan menjadi prinsip penting dalam menjalankan profesi.
Memang kaum profesional harus berpijak pada kode etik profesi dan
lembaga di mana dia mengemban tugas. Ia juga harus setia pada
koleganya. Akan tetapi, dia adalah seorang pribadi yang bebas. Karena
itu, ia harus mempunyai otonomi moral. Sikap ini mengisyaratkan
bahwa ia mempunyai kemandirian dalam mengambil keputusan,
terutama berhadapan dengan situasi sulit di lapangan.
4. Kepercayaan. Ini merupakan nilai sosial dan modal yang penting
bagi seorang profesional dalam menjalankan tugasnya. Jika seorang
profesional kehilangan kepercayaan berarti ia telah gagal menjalankan
tugasnya dalam mengabdi pada masyarakat.
Prinsip-prinsip etis tersebut tentu bukan sesuatu yang formalistis. Prinsip-
prinsip tersebut berpautan dengan tujuan layanan yang ingin diberikan
profesional. Profesi kedokteran, misalnya, berhubungan dengan layanan
kebaikan kesehatan. Tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan kepercayaan
merupakan prinsip-prinsip instrumental bagi kesehatan sebagai kebaikan
yang harus diterima klien dan masyarakat. Begitu jika kita berbicara tentang
profesi advokat yang ingin memfokuskan diri pada keadilan sebagai kebaikan
kliennya. Dalam rangka mengembangkan keadilan sebagai kebaikan klien,
seorang advokat harus bertanggungjawab, adil, otonom, dan dapat dipercaya.
Prinsip-prinsip instrumental kerapkali diungkapkan dengan jelas dalam
masing-masing kode etik profesi. Di sini, kode etik profesi memuat aturan-
aturan yang harus dijalankan oleh setiap anggota sebuah profesi. Kode
etik menyediakan sebuah kerangka konseptual yang harus diterapkan oleh
anggota profesi agar ia dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi perilaku,
serta menyediakan petunjuk dan gambaran bagaimana menerapkan kerangka
konseptual itu secara umum dan secara khusus.

57
BAB III

Kode etik yang memuat prinsip-prinsip instrumental tersebut memiliki


tujuan agar profesional membangun sebuah komunitas moral sehingga dapat
dipercaya oleh masyarakat. Kode etik itu mengikat profesional. Bagi profesional,
kode etik merupakan rambu-rambu moral yang memberi arah dalam
melaksanakan tugas. Dengan rambu-rambu ini, kaum profesional diharapkan
berjalan pada jalur yang benar atau tidak merugikan masyarakat pengguna
jasa profesional. Selain itu, kode etik menghindarkan mereka dari kesewenang-
wenangan melakukan pekerjaan di luar batas bidangnya sehingga keluhuran
profesi dapat terjaga dengan baik. Kode etik juga mencegah kesalahpahaman
dan konflik antar sesama pengemban profesi. (Chadwick, 1994: 25-27)
Dari perspektif masyarakat, kode etik tersebut menjadi dasar bagi
masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban profesional dalam
memberikan pelayanan maksimal. Di samping itu, kode etik mencegah
masyarakat untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kaum profesional.

D. Etika Profesi Menghadapi Korupsi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, korupsi merupakan masalah


publik yang memiliki akar-akarnya pada kegagalan implementasi aturan-
aturan publik dan mekanisme pasar yang terbuka. Secara khusus kita dapat
melihat kegagalan tersebut pada praktik-praktik gratifikasi yang dijalankan
secara masif tanpa sikap kritis terhadapnya. Pertanyaan kita sekarang adalah
apakah korupsi sebagai sebuah masalah publik tersebut dapat diatasi dengan
etika profesi? Bagaimana efektivitas etika profesi yang mengandalkan relasi
profesional pada usaha menjawab masalah korupsi yang memiliki akar-

58
BAB III

akarnya pada ekonomi, politik, sosiologi, dan kebiasaan-kebiasaan feodalistis?


Apakah korupsi sebagai sebuah masalah moral publik dapat diatasi dengan
pendekatan etika profesi? Jika etika profesi memiliki landasan moralnya pada
janji publik serta prinsip-prinsip instrumentalnya demi mengembangkan
kebaikan klien, dapatkah landasan moral beserta dengan prinsip-prinsip
instrumentalnya itu membantu kita mengatasi masalah korupsi?
Daryl Koehn tidak memiliki jawaban atas persoalan-persoalan di atas.
Namun dengan pemikirannya tentang janji publik sebagai fondasi etis bagi
profesional, ia sebenarnya sudah membuka jalan ke arah itu, yaitu kejelasan
hubungan antara kepentingan profesional dan kepentingan publik. Dalam
mendiskusikan hal ini, Daryl Koehn menemukan sekurang-kurangnya 3
kemungkinan penjelasan. (Koehn, 2000: 179-203)
1. Kepentingan umum dikembangkan melalui pengabdian profesional
yang khusus dan penuh semangat kepada klien secara perorangan.
Pemikiran ini menjelaskan bahwa pelayanan yang baik terhadap
klien dengan sendirinya berarti pelayanan kepada kepentingan-
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
2. Moralitas profesional sama dengan moralitas publik. Ini berarti seorang
profesional sudah menjalankan kewajiban publik, justru ketika ia
menjalankan tugas profesionalnya kepada klien. Dengan perkataan
lain, seorang profesional memiliki tanggung jawab yang sama baik
kepada klien maupun kepada masyarakat.
3. Etika profesional merupakan ungkapan berlakunya moralitas publik
yang dilembagakan. Ini berarti, tindakan profesional terhadap klien
merupakan satu bentuk moralitas publik.
Dengan tiga kemungkinan penjelasan ini, Daryl Koehn berpendapat
bahwa kaum profesional yang bertindak secara moral pada tingkat profesional
memiliki otoritas publik jika mereka menaati syarat-syarat janji yang sudah
mereka buat secara publik. Dengan demikian ada koherensi antara etika
profesi dan etika publik. Dengan argumentasi ini, apa yang sebenarnya
dituntut dalam etika profesi menjadi rambu-rambu bagi penolakan profesional
atas tindak pidana korupsi. Koehn memang tidak memiliki perhatian pada isu
korupsi. Namun ramalan Koehn bahwa ada koherensi antara etika profesi dan
pelayanan publik, etika profesi dapat menjadi landasan untuk menolak korupsi
dari segi etika profesi.
Untuk menunjukkan hal ini mari kita lihat apa yang sebenarnya dikatakan
oleh kode etik profesi tentang gratifikasi, suap, dan korupsi. Sebagai contoh
dalam hal ini kita bisa berbicara tentang hakim dan jaksa dari organisasi profesi
peradilan, HPJI (Himpunan Pengembang Jalan Indonesia) dan rekayasawan
teknik elektro dari organisasi profesi teknik, dan dari kedokteran.

59
BAB III

1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) 2.2. (1) berbunyi: “Hakim
tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau isteri
Hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk
meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian,
penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang
yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili,
dan pihak yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara.”
2. Kode Etik dan Perilaku Jaksa (2007) Pasal 4 berbunyi: Jaksa dilarang
“meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta
melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan sehubungan dengan jabatannya.”
Apa yang dikemukakan oleh kode etik ini juga ditegaskan lagi oleh
Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang dunia peradilan. Di
sini ditegaskan bahwa setiap orang sudah melakukan korupsi jika ia
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; dan kepada advokat untuk mempengaruhi nasehat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Juga Pasal 6 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa hakim
dan advokat sudah melakukan korupsi ketika ia menerima pemberian
atau janji. Bertolak dari janji publik profesi, hakim dan advokat sudah
memanfaatkan profesi demi keuntungannya sendiri dan mengabaikan
janji publik yang ia ucapkan demi kepentingan klien. Begitu juga klien
jika melanggar janji publik profesional yang menuntutnya untuk disiplin
mengembangkan kebaikan profesional. Keadilan sebagai kebaikan
tidak dapat dipelihara dengan baik justru karena ia sendiri melangkahi
prosedur peradilan.
Dalam perspektif undang-undang ini, gratifikasi dan suap melanggar
janji publik profesi hakim dan advokat dan bahkan menghancurkan
sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan sebagai
kebaikan klien hanya bisa dipertahankan dengan keadilan sebagai
prinsip kerja peradilan. Jika kita melihat lebih jauh lagi, gratifikasi
dan suap menggagalkan otonomi yang seharusnya menjadi basis
penilaian hakim dan advokat. Mereka tidak lagi menjalankan fungsi
mereka secara otonom, tetapi sudah dipengaruhi oleh suap dan
gratifikasi. Dan dapat diramalkan juga karena mereka tidak otonom lagi,
keputusan dan penilaian apa pun yang mereka berikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik.
3. Kaidah Umum Tata Laku HPJI No.3.3. (6) “Anggota HPJI tidak boleh
menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan yang berlaku.”

60
BAB III

4. Kode Etik Institute of Electrical and Electronics Engineers (1979)


Article III, 4: Members shall, in their relations with employers and
clients “neither give nor accept, directly or indirectly, any gift, payment
or service of more than nominal value to or from those having business
relationships with their employers or clients.”
5. Kode Etik Kedokteran (IDI 2012) Pasal 3 Kemandirian Profesi. “Dalam
melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan
dan kemandirian profesi.” Pasal ini mencakup tindakan membuat ikatan
atau menerima imbalan berasal dari perusahan farmasi, obat, vaksin,
makanan, suplemen, alat kesehatan, alat kedokteran, bahan, produk
atau jasa kesehatan/terkait kesehatan dan/atau berasal dari fasilitas
pelayanan kesehatan apa pun dan dari mana pun dan/atau berasal
dari pengusaha, perorangan atau badan lain yang akan menghilangkan
kepercayaan publik/masyarakat terhadap dan menurunkan martabat
profesi kedokteran.”
Dengan contoh-contoh di atas, kita boleh mengatakan bahwa korupsi
merupakan tindakan yang menghancurkan sendi-sendi moral profesional.
Tindak pidana korupsi bahkan menghancurkan kepercayaan publik
terhadap profesi. Para dokter misalnya mengerti bahwa konflik kepentingan
dan grafitikasi dapat menjadikan dirinya menjadi target kepentingan lain
(kekuasaan atau bisnis). Begitu juga hakim dan jaksa akan kehilangan reputasi
ketika ia terjebak dalam suap dan gratifikasi. Karena itu, dengan kesadaran
tersebut masing-masing komunitas profesi berusaha menolak korupsi dan
praktik suap dan gratifikasi.
Tentu dibutuhkan sebuah kajian lebih serius mengenai pola korupsi pada
profesi-profesi tertentu, sehingga langkah-langkah yang diambil benar-
benar mengatasi masalah korupsi. Namun posisi moral profesi cukup jelas.
Karena pelayanan profesional merupakan pelayanan publik, konflik-konflik
kepentingan menjadi target-target refleksi etika profesi. Tentu menjadi
pertanyaan sekarang adalah apa yang menjadi perhatian etika dalam
menghadapi masalah ini?

E. Keputusan Etis dan Manajemen Etik


Fondasi etis profesional sebagaimana dikemukakan oleh Daryl Koehn
merupakan posisi moral dasar profesional. Namun dalam banyak hal seorang
profesional harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan moral
berdasarkan fondasi etis yang ia miliki. Karena itu sebelum menutup bab ini
perlu dibicarakan hal mengenai pengambilan keputusan etis yang melibatkan
pertimbangan, penilaian dan pemilihan di antara sejumlah alternatif
berdasarkan pemahaman yang baik atas masalah berdasarkan nilai-nilai etis.

61
BAB III

Secara teoritis kita boleh mengatakan bahwa setiap keputusan


mengandung beberapa unsur. Pertama adalah pengetahuan yang luas tentang
masalah. Pengetahuan yang benar tentang masalah akan mempermudah
seseorang untuk mengambil keputusan. Kedua adalah tujuan keputusan.
Tentu tidak mudah menjelaskan tujuan keputusan. Namun, yang jelas adalah
bahwa keputusan yang baik mengakomodasi kepentingan semua pihak yang
terkait dengannya, atau minimal memperkecil risiko bagi pihak yang terkena
keputusan yaitu klien dan masyarakat. Ketiga adalah komitmen pada nilai dasar
yang dianut oleh profesional, misalnya rasa hormat pada martabat manusia
dalam layanan profesional psikolog dan kedokteran. Komitmen pada nilai
dasar ini menunjukkan kualitas integritas pribadi sang profesional. Keempat,
keputusan yang diambil harus dilakukan dengan analisis yang mendalam atas
fakta-fakta yang ada. (Sihotang, 2016: 132-134)
Pengambilan keputusan etis merupakan sebuah proses. Laura Hartman
dan Joe DesJardins mengusulkan beberapa langkah berikut. (Hartman, 2011:
37-47)
1. Menentukan fakta-fakta. Memberikan upaya yang cukup untuk
memahami situasi, membedakan fakta dari opini belaka, adalah
hal yang sangat penting. Perbedaan persepsi dalam bagaimana
seseorang mengalami dan memahami situasi dapat menjelaskan
banyak perdebatan etis. Mengetahui fakta-fakta dan meninjau secara
cermat keadaannya akan memberikan kemudahan dalam memecahkan
perselisihan pendapat pada tahap awal.
2. Memahami bahwa keputusan yang akan diambil adalah sebuah
keputusan moral. Harus diakui bahwa banyak orang dengan mudah
tersesat karena gagal mengenali adanya komponen etis dalam
keputusan yang diambil. Mengidentifikasi isu-isu etis yang terlibat
merupakan langkah yang perlu untuk membuat keputusan yang
bertanggung jawab.
3. Melibatkan pihak lain untuk keputusan-keputasan etis. Pada tahap ini
sikap tergesa-gesa, tanpa pertimbangan serta emosional perlu dihindari.
Rasionalitas kesadaran moral harus memainkan peranan pada tahap
ini, terutama dengan sikap terbuka pada pertimbangan lain. Jangan
membiarkan diri anda dengan sikap ngotot. Karena itu dibutuhkan
keterbukaan kepada orang lain. Kita diminta untuk mengidentifikasi
dan mempertimbangkan semua pihak yang dipengaruhi oleh sebuah
keputusan, orang-orang ini biasa disebut dengan para pemegang/
pemangku kepentingan (stakeholders). Mempertimbangkan isu-isu
dari berbagai sudut pandang orang lain selain sudut pandang sendiri,
dan selain dari kebiasaan setempat, membantu kita dalam membuat
keputusan yang lebih masuk akal dan bertanggung jawab.

62
BAB III

4. Membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif. Buatlah


sebuah spreadsheet mental yang mengevaluasi dampak tiap alternatif
yang telah anda pikirkan terhadap masing-masing pemegang
kepentingan yang telah diidentifikasi. Mungkin cara yang paling
mudah adalah dengan mencoba menempatkan seseorang dalam
posisi orang lain. Memahami sebuah situasi dari sudut pandang orang
lain, berusaha untuk “menjadi diri mereka”, memberikan kontribusi
signifikan dalam pengambilan keputusan etis yang bertanggung
jawab. Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini adalah pertimbangan
cara untuk mengurangi, meminimalisasi, atau mengganti konsekuensi
merugikan yang mungkin terjadi atau meningkatkan dan memajukan
konsekuensi-konsekuensi yang mendatangkan manfaat.
5. Membuat sebuah keputusan. Setelah semua variabel diselidiki,
sekarang waktunya untuk membuat sebuah keputusan. Kemampuan
itu membentuk sebuah tanggung jawab untuk kemudian mengevaluasi
implikasi dari keputusan yang diambil, memantau dan belajar dari hasil,
dan memodifikasi tindakan kita berdasarkan pengalaman tersebut
ketika dihadapkan dengan tantangan serupa di masa depan.
Apa yang diungkapkan Laura Hartman dan Joe DesJardis dapat membantu
para profesional mengambil keputusan etis. Tentu harus ditambahkan bahwa
langkah-langkah tersebut perlu disusulkan dengan refleksi atas keputusan
etis tersebut. Momen ini penting untuk melihat kembali apakah keputusah etis
benar-benar berkualitas secara profesional atau tidak. Refleksi ini perlu agar di
kemudian hari ia tidak terjebak pada keputusan yang keliru. Kalau pengambil
keputusan sudah benar, karena unsur-unsur etis sudah dipenuhi, maka
orang yang mengambil keputusan tidak dapat dipersalahkan. Yang pantas
dipersalahkan adalah “kalau persiapan keputusan itu kurang teliti, kurang
terbuka, atau terlalu mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain”. Kendati
demikian, sebagai ungkapan pertanggungjawaban etis, akibat dari keputusan
tetap harus diperhatikan. Artinya, dampak negatif yang ditimbulkan keputusan
harus ditanggung oleh pengambil keputusan.
Kepandaian untuk mengambil keputusan etis itu sebagaimana
dikemukakan di atas tentu membutuhkan manajemen organisasi/komunitas
yang mendukung pemenuhan nilai-nilai antikorupsi. Beberapa organisasi
publik di Indonesia meyakini bahwa kita membutuhkan strong compliance
dengan beberapa sarana berikut ini. Pertama, ketegasan pimpinan atas
pilihan-pilihan etis. Artinya, siapa pun pimpinan perlu menjadi dirinya sebagai
model bagi anggota komunitas atau organisasinya. Kedua, komitmen yang
kuat manajemen tingkat menengah. Komitmen kelompok ini dibutuhkan
karena merekalah yang dikenal komunitas dan organisasi. Ketiga, proses
kerja dan bisnis yang tidak menyalahi prinsip-prinsip etis. Di sini organisasi
yang baik membuat guideline yang praktis yang dapat dijalankan secara

63
BAB III

bertanggungjawab. Keempat, implementasi yang terus menerus disertai


dengan pemaksaan untuk melaksanakan tindakan-tindakan etis. Dan kelima,
proses refleksi dan perbaikan terus menerus atas apa yang sudah dikerjakan
dan dijalankan. Proses perbaikan tersebut dibutuhkan karena selalu ada
kemungkinan kesalahan.
Dengan demikian keputusan etis yang bertanggungjawab membutuhkan
sebuah konteks organisasi dan komunitas yang mendukung pengembangan
nilai-nilai etis antikorupsi.

F. Penutup
Etika profesi merupakan sebuah refleksi yang dilakukan oleh profesional
untuk menunjukkan kepada publik bahwa para profesional benar-benar
dipercaya oleh masyarakat. Dengan hadirnya kode etik dan kode perilaku,
masyarakat menjadi paham bahwa kaum profesional tidak hanya bertindak
sendiri tetapi bertindak secara kolektif dalam mengembangkan obyek layanan
sebagai kebaikan-kebaikan yang dinikmati masyarakat. Kedokteran dengan
kesehatan, advokat dengan keadilan, rekayasawan teknik dengan keselamatan
teknik dan publik, guru dengan pendidikan.
Namun demikian, Gratifikasi, suap dan korupsi kerap kali mengalihkan
perhatian profesional dari kebaikan layanan mereka kepada kepentingan
pribadi. Suap dan gratifikasi merupakan praktik yang mengindikasikan konflik
kepentingan yang seharusnya dihindari oleh setiap profesional. Karena
itu, kode etik profesi menganjurkan agar berhati-hati dengan kemungkinan
tersebut. Banyak profesional terjebak dengan hal-hal tersebut. Kesalahan
seperti ini pada akhirnya menghancurkan seluruh reputasi profesi dan diri
sendiri.
Dengan catatan ini, janji publik untuk tidak menerima gratifikasi dan suap
harus dimengerti sebagai sebuah imperatif kategoris, sebuah perintah tanpa
syarat. Artinya mau tidak mau harus dilaksanakan. Imperatif ini memang kaku,
sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant, “ketika nilai moral dipertaruhkan,
apa yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat, melainkan prinsip
kedalaman yang tak terlihat.” Itu adalah kewajiban pada dirinya sendiri.
Namun, kewajiban itu sendiri menjadi dasar-dasar bagi kepercayaan publik.
Tanpa itu, dokter, advokat, guru, pebisnis, polisi, hakim tidak dapat dipercaya,
baik sebagai individu maupun sebagai institusi.

64
Integritas

BAB IV:
INTEGRITAS, FONDASI
MORAL ANTIKORUPSI
BAB IV

Bab ini dirancang dengan tujuan utama sebagai berikut:


1. Membantu mahasiswa untuk memiliki pengertian dan pemahaman
yang tepat tentang arti dan makna serta pentingnya integritas dalam
memerangi korupsi.
2.
Membantu membangun kemampuan moral mahasiswa untuk
menghargai proses yang benar dalam setiap upaya mengejar tujuan.
Tujuan yang baik harus dicapai dengan alasan dan cara yang benar.
3. Berbekal pengertian dan pemahaman akan makna integritas,
mahasiswa diharapkan terdorong untuk merawat dan
mengembangkan integritas diri melalui perilaku kongkrit sehari-hari.

A. Pengantar
Korupsi masih menjadi kanker yang menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara terutama negara-negara berkembang. Korupsi bisa dilakukan
secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi
atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya
yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah
berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum.
Kenyataannya, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan
tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang
berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi,
kick back yang menyasar pejabat publik, serta berbagai perilaku koruptif
lainnya masih terus menjadi headline media cetak dan audio-visual. Predikat
“kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit
sosial yang satu ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya
korupsi bagi bangsa dan negara.
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya hukum yang telah dilakukan
sejauh ini, harus diakui bahwa hukum ternyata tidak cukup efektif menekan
apalagi menyingkirkan korupsi. Banyaknya pejabat publik dan privat yang
tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK dengan rentang jeda yang relatif
singkat menunjukkan bahwa korupsi bukan sembarang kanker. Korupsi telah
berkembang menjadi kanker ganas yang menggerogoti hampir semua sektor
vital tubuh bernama negara dan bangsa dan karenanya sulit diberantas.
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Apakah benar
ketimpangan ekonomi atau ketidakadilan sosial menjadi alasan utama
terjadinya korupsi? Dimana sesungguhnya korupsi secara mendasar berakar?
Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kami mencoba menunjukkan
bahwa akar persoalan korupsi bukan sekedar alasan yang bersifat “eksternal”
melainkan “internal” dan bahkan bersifat inheren pada kepribadian manusia.

69
BAB IV

Ada berbagai alasan yang mendorong terjadinya korupsi. Belajar dari


pengalaman selama ini, yang sering diangkat ke permukaan sebagai alasan
korupsi, pertama-tama adalah alasan ketidak-adilan ekonomi. Ada benarnya
tetapi pasti tidak seluruhnya benar. Dalam keadaan terdesak, terutama pada
tingkat menengah ke bawah korupsi (petty corruption) tidak sulit terjadi.
Sadar akan gejala ini, kenaikan gaji atau tunjangan lazim diadopsi sebagai
pendekatan untuk menekan angka korupsi. Apakah angka korupsi kemudian
menurun?
Harus diakui, komitmen dan konsistensi penegak hukum kita tidak pernah
luntur dalam upayanya memerangi dan mencoba memberangus korupsi.
Pantauan ICW (Kompas.com. 2018/09/18) memperlihatkan bahwa laju
menularnya kanker sosial ini mampu tertahan. Hasil olah data ICW (Indonesian
Corruption Watch) menunjukkan bahwa angka penindakan korupsi pada
semester I 2018 turun jika dibandingkan periode yang sama pada 2017.
Wana Alamsyah, Staf Divisi Investigasi ICW, menyebutkan, pada semester I
2018, penegak hukum berhasil menindak 139 kasus korupsi dengan 351 orang
ditetapkan sebagai tersangka. “Dibandingkan dengan tahun 2016 dan 2017
semester yang sama, terlihat penurunan yang cukup signifikan,” kata Wana
dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2018). Wana
mengungkapkan, pada semester I 2016, penegak hukum menindak 210 kasus
korupsi dan menetapkan tersangka sebanyak 500 orang. Sementara, pada
semester I tahun 2017 penindakan kasus korupsi oleh penegak hukum sebanyak
266 kasus dengan 587 tersangka. Dengan demikian, dalam semester I tahun
2017, penegak hukum berhasil menindak 56 kasus dengan 87 tersangka lebih
banyak daripada yang terjadi pada tahun 2016. Grafik penindakan kemudian
turun signifikan pada semester I 2018 dimana hanya terdapat 139 kasus atau
127 kasus lebih rendah dari tahun sebelumnya, dengan hanya 236 tersangka
atau turun 351 kasus dari tahun 2017. Sekali lagi, data ini menunjukkan laju
korupsi berhasil ditekan bahkan turun signifikan.
Adapun, kerugian negara yang timbul dari kasus korupsi pada
semester I 2018 sebesar Rp 1,09 triliun dan nilai suap Rp 42,1 miliar. Ada
berbagai modus korupsi, antara lain mark up, tindakan suap, pungutan liar,
penggelapan, laporan fiktif, dan penyalahgunaan wewenang. Tetapi yang
menarik, disampaikan Wana, meskipun hanya empat kasus korupsi berupa
penyalahgunaan wewenang, nilai kerugian negara yang diakibatkannya tidak
kecil, yakni sebesar Rp 569 miliar.
Merujuk pada data kasus yang berhasil ditindak dengan jumlah tersangka
pelaku korupsi yang menurun signifikan, kita patut berbangga bahkan
optimisme pemberantasan korupsi kembali menggeliat. Akan tetapi fakta
bahwa hanya dengan empat kasus korupsi negara dirugikan sebasar Rp
569 miliar, kita harus kembali menegaskan bahwa kanker sosial itu luar bisa
berbahaya dan tidak mudah dihentikan. Pertanyaan, mengapa korupsi tetap

70
BAB IV

saja begitu liat untuk dihancurkan?


Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab satu, kenyataan tersebut di
atas seharusnya menyadarkan kita bahwa korupsi memiliki alasan yang jauh
lebih mendalam daripada sekedar alasan tuntutan pemenuhan kebutuhan
ekonomis dan ketidak-adilan ekonomi. Faktor ekonomi bahkan sangat tidak
tepat menjadi alasan untuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara.
Gaji besar dan berbagai fasilitas yang disediakan negara untuk semakin
memudahkan hidup mereka tidak terbukti berhasil menciutkan nyali korupsi
para pejabat. Korupsi dengan efek kerugian besar bagi negara justru terjadi
pada tingkat atas (grand corruption).
Dominasi orientasi ekonomis menegaskan sesuatu yang lebih mendalam
dari sekedar kuatnya dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomis.
Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat (Indonesia),
lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol kehormatan
diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren pada kepribadian
dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri manusia sebagai makhluk
bermartabat. Predisposisi ekonomis (having) yang dipelihara secara sadar
justru membuka jalan bagi subyek untuk menggadaikan self-dignity (martabat
manusia) demi kepentingan ekonomis. Pendekatan dan politik transaksional
yang diperlihatkan oleh pejabat-pejabat publik yang kemudian menular
menjangkiti masyarakat umum tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya
dominasi ekonomi, melainkan juga memperlihatkan betapa syahwat ekonomi
telah mereduksi manusia menjadi semata-mata homo economicus.

B. Integritas, Fondasi Moral Antikorupsi


“Integritas”, sebuah istilah yang begitu sering kita dengar karena bisa
dengan begitu mudah diucapkan oleh siapa saja termasuk pejabat-pejabat
publik. Menjelang pemilihan presiden atau anggota legislatif, misalnya, kata
“integritas” hampir pasti mengalami deflasi akibat begitu mudahnya istilah ini
keluar dari mulut masyarakat. Itu wajar. Integritas selama ini selalu menjadi
salah satu standar kualitas yang harus dipenuhi oleh para calon pemegang
kekuasaan publik baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Apakah para calon
pejabat memahaminya dengan baik? Mungkin “ya”. Tetapi apakah mereka
memiliki komitmen kuat untuk mewujudkannya secara konsisten? Barangkali!
Tidak hanya dalam dunia politik. Dalam dunia bisnis pun, integritas
menjadi acuan penting ketika, misalnya, berbicara tentang reputasi dan brand
image bisnis. Integritas akan semakin mudah diangkat ke permukaan ketika
perusahaan dihadapkan dengan kepentingan memiliki seorang CEO, seorang
direktur atau manajer yang berkualitas. Hal itu wajar karena umum diyakini
bahwa kredibilitas sebuah perusahaan sangat tergantung pada kualitas
kepribadian para pengelola dan pengambil keputusan perusahaan. Reputasi

71
BAB IV

dan nama baik perusahaan, di satu pihak, serta loyalitas dan kepercayaan
konsumen atau publik terhadap perusahaan, di lain pihak, sangat tergantung
pada kualitas kepribadian para pengelolanya ketika berhadapan dengan
tantangan pemenuhan hak-hak stakeholders. Lalu, apa itu “integritas”
dan mengapa integritas penting baik pada lingkup publik maupun privat?
Bagaimana merawat dan mengembangkannya? Apakah integritas mencukupi
untuk membangun sebuah bisnis, organisasi, lembaga, atau bahkan
mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang kredibel? Inilah beberapa
pertanyaan mendasar yang coba dijawab dalam kaitannya dengan korupsi.
Sebelum memasuki diskusi substansial mengenai “integritas”, perlu sejak
awal diberikan dua catatan kecil untuk menghindari salah-pengertian terhadap
istilah “integritas”. Pertama, sebagian orang cenderung memaknai “integritas”
tak lebih dari sikap “keras kepala” (stubbornness). Pemaknaan seperti itu
sebetulnya keliru walaupun bisa dipahami. Secara literer “integritas” atau
integrity dalam bahasa Inggris sejatinya diambil dari khazanah bahasa Latin
integer, yang berarti kuat, kokoh, tidak goyah, atau tidak mudah terombang-
ambing. Dengan makna positif seperti itu, “integritas” sejatinya merefleksikan
kepribadian positif yang layak dimiliki setiap makhluk moral. Integritas
bahkan seharusnya menimbulkan rasa terhormat dalam diri mereka yang
memiliki keberanian (courage) untuk secara konsisten merawatnya (Robert C,
Solomon, 1992: 168-174). Betapa berharganya “integritas” bagi manusia, telah
membuat Solomon menegaskan bahwa mengabaikan integritas tidak hanya
mengakibatkan subyek kehilangan kemampuan berwawasan jauh kedepan
(short-sighted) melainkan dapat menghancurkan diri sendiri (self-destructive).
Kedua, integritas juga sering disamakan begitu saja dengan “kejujuran”
(honesty). Integritas memang mengandaikan kejujuran sebagai nilai, akan
tetapi tidak semua kejujuran pantas disebut merefleksikan integritas.
Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Solomon, kejujuran terlalu terbatas
untuk merangkul seluruh kekayaan makna integritas. Alasannya, dalam
prakteknya integritas malah bisa saja menuntut subyek untuk bertindak
kurang jujur atau bahkan berbohong. Dalam kasus tertentu pasti tidak sulit
untuk sepakat dengan Solomon. Misalnya saja, apakah seorang pejabat
publik harus mengatakan dengan jujur semua kebijakan atau semua informasi
negara, bahkan yang bersifat rahasia sekalipun, kepada pejabat publik negara
lain? Kejujuran tentu saja sebuah keutamaan yang ikut menentukan kualitas
kepribadian manusia. Akan tetapi kejujuran di dalam contoh rahasia negara ini
tentu saja problematis dari sisi etika politik. Menjadi kewajiban moral setiap
warga negara apalagi pejabat publik untuk menjaga kedaulatan dan keamanan
negaranya. Karena itu mengatakan secara jujur informasi-informasi yang
berkaitan dengan rahasia negara merupakan pengkianatan dan karenanya
harus ditolak dari segi etika sosial-politik. Dalam konteks seperti ini integritas
dalam arti kejujuran tidak relevan diterapkan.

72
BAB IV

Dengan catatan di atas, integritas lebih tepat dimaknai sebagai “keberanian


moral (moral courage), kemauan, serta kehendak kuat untuk melakukan apa
yang subyek sadari dan yakini sebagai kewajiban yang seharusnya (ought) ia
lakukan”. Singkatnya, “integritas” adalah sikap yang kokoh, kuat, dan berani
bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan moral subyek
tentang apa yang menjadi kewajiban moral untuk melakukannya. Dengan
demikian, kepatuhan terhadap sebuah perintah, atau loyalitas kepada
organisasi, misalnya, hanya pantas dipenuhi sejauh tidak bertentangan
dengan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang diyakini dan dibela oleh
subyek. Itu juga berarti, ketika seseorang dengan rela bergabung dengan
sebuah organisasi dan sepakat menerima apa yang menjadi nilai dan tujuan
organisasi, misalnya, maka menjadi kewajiban moral bagi yang bersangkutan
untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi.
Sebaliknya, ketika organisasi berjalan di luar rel tujuan dan nilai-nilai
organisasi maka anggota organisasi secara moral wajib untuk menolaknya.
Itulah integritas.
Itu sebabnya Solomon menegaskan bahwa integritas memiliki dua makna
yang berbeda, yakni, di satu pihak, menekankan pentingnya konformitas
(conformity) dan kepatuhan (obedience). Namun, dilain pihak integritas
juga menuntut independensi untuk menolak atau melakukan perlawanan
(belligerent independence) terhadap setiap posisi moral yang bertentangan
dengan keyakinan subyek. Dengan demikian, dalam konteks organisasi,
integritas justru menegaskan kemampuan seseorang sebagai anggota
organisasi untuk menempatkan diri serta bersikap loyal terhadap organisasi
(sense of membership), namun pada saat yang sama juga tetap menghargai
otonomi subyek untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang
disadari sebagai kewajiban yang seharusnya ia lakukan (sense of autonomy).
Untuk itu, integritas sejatinya menuntut kemampuan bersikap kritis. Subyek
dituntut untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan kesadaran kritis otonom
akan “apa-yang-seharusnya-saya-lakukan”. Itu berarti integritas menuntut
subyek untuk jujur pada dirinya sendiri. Kejujuran bertindak sesuai dengan
keyakinan moral pada gilirannya justru meningkatkan self-esteem dan self-
respect subyek.
George Lee Butler (dalam J. C. Ficarrotta, 2001: 73-83) dalam sebuah
refleksi personalnya tentang integritas menekankan betapa pentingnya
integritas bagi seorang (prajurit) profesional. Menurutnya, tanpa integritas,
seseorang pertama dan terutama akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan
publik atas profesionalisme yang dimilikinya. Bagi seorang pemimpin, misalnya,
integritas merupakan landasan moral kekuasaan yang membuat seseorang
memiliki kewibawaan dan karenanya mendorong dan menarik orang lain untuk
mempercayakan hidup dan nasibnya kepadanya. Bahkan integritas sejatinya
adalah basis legitimasi otoritas.

73
BAB IV

Integritas menjadi semakin penting karena dalam kenyataannya setiap


individu hampir selalu merupakan “pribadi-yang-terpecah” – setiap individu
menjadi diri-sendiri dan sekaligus menjadi diri-organisasi atau masyarakat.
Individu dihadapkan pada situasi dilematis ketika harus mengambil keputusan
persis karena terjadinya benturan nilai-nilai individu, di satu pihak, dengan
nilai-nilai organisasi, di lain pihak. Integritas individu diuji justru karena adanya
benturan nilai. Pada titik ini, pertanyaan “Saya ingin menjadi manusia seperti
apa?” menjadi krusial untuk diajukan pada diri sendiri. Pertanyaan itu menjadi
alarm dan sekaligus gugatan terhadap individu dari segi integritas. Pertanyaan
itu ingin menegaskan juga bahwa integritas lebih merupakan masalah yang
berkaitan dengan standard serta otoritas yang dimiliki seseorang dalam
mengambil keputusan tentang apa yang seharusnya ia lakukan.
Dengan demikian integritas menuntut seseorang untuk tidak sekedar
menjadi pengikut, apalagi ikut-ikutan, dalam menjalankan peraturan,
melainkan menjadi pribadi yang mengikuti peraturan karena “ia mengerti dan
menerima untuk mematuhinya”. Melalui pengertian ia mampu mengubah
peraturan yang datang dari luar menjadi “peraturanya-sendiri”. Di sini subyek
bukanlah pribadi heteronom—pribadi yang patuh pada peraturan atau norma
karena “paksaan” dari luar atau sekedar ikut-ikutan, melainkan pribadi yang
otonom—pribadi yang teguh berpegang pada nilai-nlai dasar yang dianut
dan dimilikinya, dan karenanya dalam bertindak ia senatiasa digerakkan serta
didorong oleh kesadaran dan keyakinan kritis akan “apa-yang-seharusnya-
saya-lakukan”.
Patut dicatat bahwa meskipun integritas menuntut bahwa norma-
norma harus berisfat self-imposed dan self-accepted (memiliki kekuatan
karena terbentuk melalui komitmen dan konsistensi subyek untuk selalu
menyelaraskan sikap dan tindakannya dengan norma-norma dan keyakinan-
keyakinan yang dianut), norma-norma itu tidak bisa berlaku secara sewenang-
wenang. Norma-norma tetap harus dapat dipertanggungjawabkan. Harus
terbuka kemungkinan untuk menghadapkan secara kritis sebuah norma
dengan norma-norma lain atau dengan posisi lain yang diambil oleh subyek
yang berbeda dalam menghadapi kasus tertentu. Dengan demikian, norma-
norma yang menjadi rujukan integritas memiliki kekuatan untuk diterima
karena memang tepat dan layak diterima. Tegasnya, integritas harus dibangun
diatas fondasi sejumlah nilai positif yang mendukung kehormatan dan harga
diri manusia sebagai makhluk moral. Karena itu, mendiskriminasi sekelompok
anggota masyarakat demi menaikkan taraf hidup kelompok masyarakat lain,
misalnya, pasti bertentangan dengan prinsip integritas. Tindakan ini bertolak-
belakang dan bahkan mengkhianati integritas yang seharusnya dibela.
Integritas menuntut bahwa upaya keras yang dilakukan untuk menggapai
tujuan, haruslah ditempuh dengan alasan dan dengan cara yang benar. Itu
berarti tujuan yang baik tidak dengan sendirinya membenarkan cara yang

74
BAB IV

digunakan untuk mencapainya. Mendapat nilai A pada setiap mata kuliah


yang ditempuh tentu saja membanggakan. Akan tetapi kebanggaan menjadi
semu dan tidak bermakna apapun terutama dari segi kualitas intelektual ketika
nilai A diperoleh dengan cara menyontek. Kecurangan (menyontek) justru
menggerogoti self-dignity pelaku. Atau, menghadiahkan cincin berlian bagi
sang istri tentu saja sebuah bentuk ungkapan cinta dan kasih sayang yang
layak diapreasiasi. Akan tetapi ungkapan kasih sayang itu tidak memliki arti
apa pun baik bagi yang menerima maupun yang memberi ketika diperoleh dari
hasil penyalahgunaan kekuasaan. Disitu, self-dignity, baik pada diri pemberi
maupun penerima pupus dalam waktu singkat hanya karena dibangun dengan
bentuk dan cara yang salah (Richard T. De George, 2001: 215).
Keyakinan dan kesadaran akan nilai itulah yang membuat R. Solomon
menegaskan bahwa integritas sejatinya merupakan sebuah kemampuan yang
dimiliki atau tidak dimiliki seseorang, bukan tindakan atau aktivitas tertentu
yang dilakukan seseorang. Integritas adalah kualitas moral yang melekat pada
subyek, pada manusia, bukan pada tindakan atau aktivitas. Menyebut Pemilu
yang berintegritas, misalnya, adalah contoh penggunaan istilah integritas
yang secara populer bisa dipahami, akan tetapi secara akademis sekurang-
kurangnya tidak seluruhnya tepat. Yang diperlukan adalah pengelola
dan penyelenggara Pemilu serta peserta Pemilu yang berintegritas untuk
melaksanakan Pemilu sesuai dengan standar yang seharusnya sehingga
boleh diharapkan bahwa Pemilu akan membuahkan hasil yang berkualitas
dan karenanya patut diterima oleh siapapun, termasuk yang tidak beruntung
dalam pemilihan.
Dengan demikian, esensi integritas adalah keteguhan (thoughness) dan
keutuhan (wholeness) kepribadian yang terungkap melalui keselarasan antara
nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang dimiliki subyek dengan perilaku
dan tindakannya. Six & Huberts (2008) memperkuat definisi yang disajikan R.
Solomon dengan menambahkan dimensi incorruptibility dan exemplary moral
behavior sebagai bagian dari esensi integritas. Dengan esensi seperti itu, tidak
mengherankan ketika seseorang bisa dengan mudah dicap tidak berintegritas
hanya karena satu perbuatan buruk yang dilakukannya. Sebaliknya,
seberapapun banyaknya perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan
sendirinya membuat individu yang bersangkutan layak disebut pribadi yang
berintegritas. Hal itu bisa dipahami terutama karena perbuatan baik tak jarang
dilakukan sebagai tabir kamuflase untuk menutupi kekurangan. Seorang
pejabat (publik atau privat), misalnya, bisa saja dengan mudah mencela
korupsi sebagai perbuatan tidak bermoral walaupun dalam prakteknya
perilaku dan tindakannya lebih sering tak selaras dengan ucapannya. Itu
terjadi karena “penampilan” (appearance) sering kali lebih penting daripada
kualitas kepribadian sesungguhnya. Itulah yang terjadi pada pribadi hipokrit
(hypocrite). Seorang hipokrit secara moral tidak berintegritas, karena ia gagal

75
BAB IV

“to practice what he preaches”. Apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa
yang ia lakukan. Terjadi fragmentasi kepribadian.
Distingsi antara “rules in form” dan “rules in use” yang dikemukakan oleh
Elinor Ostrom (lihat Bob Ornsthstein, 2017), bisa membantu untuk lebih
memahami fragmentasi kepribadian. Dengan distingsi itu Ostrom ingin
menegaskan bahwa sesungguhnya tersedia norma-norma sosial dalam
masyarakat dan anggota masyarakat memang mengetahuinya dan bahkan
mengakuinya meskipun tidak diformalisasi, tidak ditetapkan secara resmi.
Meskipun mengetahui dengan baik, dalam prakteknya norma-norma sosial
tidak digunakan sebagai panduan untuk hidup dan bertindak sebagaimana
seharusnya sesuai dengan pengertian dan pengetahuan yang dimiliki. Tanpa
ketetapan formal sekalipun, semua orang, termasuk para pejabat baik publik
maupun privat, mengerti dan menyadari bahwa korupsi secara moral buruk
dan harus dihindari (rules in form). Akan tetapi dengan alasannya masing-
masing, korupsi tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, norma sosial hanya
dimengerti tetapi tidak dipraktekkan (rules in use) karena tidak terinternalisasi
menjadi bagian integral identitas diri.
Bagi R. Solomon, di dalam pribadi hipokrit juga melekat berbagai
kekurangan moral lainnya khususunya sifat suka menipu atau berbohong
yang memang secara sadar dilakukan untuk menutupi kekurangan atau
ketimpangan kualitas moral. Mereka menjadi manusia hipokrit dengan
berbohong tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Mereka bahkan harus berbohong pertama-tama kepada dirinya sendiri untuk
kemudian berbohong kepada orang lain. Dan sekali ia berbohong, ia akan terus
memproduksi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Ada berbagai cara yang digunakan seorang yang tidak berintegritas untuk
menutupi perilaku buruknya. Cara yang paling sederhana adalah menyangkal
perbuatannya. Ketika seorang hipokrit melakukan sebuah pelanggaran, ia
akan dengan segala macam cara berusaha untuk menutupinya. Tak jarang
penyangkalan dilakukan dengan strategi yang sophisticated dan berbelit-
belit untuk mempersulit upaya pelacakannya. Mempermainkan bahasa untuk
menciptakan nuansa berbeda atas kejahatan yang dilakukannya juga menjadi
cara lain yang digunakan pribadi hipokrit untuk menutupi perbuatan buruknya.
Ketika dituduh dan bahkan sesungguhnya terbukti mencuri motor, misalnya,
seorang hipokrit bisa dengan enteng mengatakan “Saya tidak bermaksud
mencuri; saya hanya ingin meminjamnya untuk sementara waktu”. Pribadi
hipokrit juga bisa menutupi perilaku buruknya dengan apa yang disebut
self-effacing humor. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan: “Jangan
melakukan apa yang saya lakukan, tetapi lakukan apa yang saya katakan”. Ia
lupa bahwa humor seperti itu sejatinya hanya mengalihkan perhatian dan
tidak sungguh-sungguh menghilangkan perbuatan buruknya.

76
BAB IV

Tidak mengherankan ketika seorang koruptor (dan pelaku kejahatan


lainnya) cenderung menyangkal perbuatan yang disangkakan kepadanya.
Dengan berbagai cara dan dalih serta dengan dukungan penasehat hukum
yang juga layak diragukan integritasnya, para koruptor akan berusaha
menolak semua tuduhan. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk itu.
Pertama, demi menghindari hukuman apalagi tindakan yang berpotensi
diancam dengan hukuman yang sangat berat. Kedua, hukuman selalu
meninggalkan stigma negatif yang sangat sulit dihilangkan. Itu sebabnya,
sekali lagi, hanya dengan satu perbuatan buruk saja dapat dengan mudah
seseorang dicap tidak berintegritas; sebaliknya, seberapapun banyaknya
perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan sendirinya membuat seseorang
dipandang berintegritas. Ketiga, seberapapun kecilnya, lilin kecil self-dignity
masih dicoba dijaga untuk terus bernyala juga oleh seorang koruptor kakap
sekalipun. Sayangnya, demi api lilin kecil benama self-dignity itu kebohongan
demi kebohongan harus terus diproduksi dan dipamerkan dalam proses
penyidikan dan peradilan. Dengan begitu self-dignity coba dibela dan
dipertahankan namun dengan cara yang justru semakin menghancurkan self-
dignity itu sendiri. Itulah moral cost yang harus dibayar oleh seorang hipokrit.
Dengan demikian, integritas berhubungan erat terutama dengan kejujuran
(honesty) dan keberanian moral (courage) untuk mengatakan atau melakukan
apa yang seharusnya (ought) dikatakan atau dilakukan. Menutup uraian
sejauh ini, secara singkat bisa kita rumuskan enam point penting berikut ini
untuk mempertegas makna integritas.
Pertama, integritas menunjuk pada kemampuan dan kualitas moral
yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang. Integritas tidak menunjuk pada
perbuatan atau aktivitas melainkan pada person yang memiliki atau tidak
memilikinya. Perbuatan atau aktivitas hanyalah refleksi integritas, bukan
integritas itu sendiri.
Kedua, di dalam istilah integritas termuat disposisi moral yang
memampukan subyek untuk berani melakukan yang baik dan menghindari
yang buruk. Dengan demikian integritas dalam dirinya memuat keutamaan-
keutamaan moral seperti honesty, fairness, benevolence, self-respect, dan
courage, yang memungkinkan seseorang mampu mengarahkan hidupnya
sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dan diperliharanya dengan baik dalam
hidupnya.
Ketiga, hipokrasi merupakan tampilan manipulatif dari pribadi yang
tidak berintegritas. Hipokrasi sejatinya adalah sikap yang menghalalkan
kebohongan dan karenanya subyek berpotensi untuk terus memproduksi
kebohongan demi menutupi aib. Meskipun begitu, hipokrasi atau tampilan
manipulatif hanya dapat mengalihkan perhatian namun tidak pernah bisa
menghilangkan perbuatan buruk itu sendiri. Hipokrasi bahkan menjadi jalan
untuk semakin menghancurkan self-dignity.

77
BAB IV

Keempat, adalah mudah bagi seseorang untuk kehilangan predikat


“berintegritas” akan tetapi sangatlah sulit untuk membangun diri menjadi
pribadi yang layak menyandang predikat “berintegritas”. Hal ini mudah
dipahami karena integritas pertama-tama bukan masalah pengetahuan
melainkan persoalan keberanian dan kekuatan moral untuk menyelaraskan
sikap dan tindakan dengan nilai-nilai dan keyakinan mendasar subyek yang
senantiasa berada dalam tantangan pragmatisme.
Kelima, integritas menuntut komitmen dan konsistensi untuk membuatnya
terus bersemi, tumbuh dan berkembang serta terpatri menjadi karakter yang
kokoh. Komitmen dan konsistensi itu tidak diperlihatkan melalui perkataan
melainkan pertama-tama dan terutama melalui perbuatan.
Dan, keenam, terakhir, ucapan Inggris “Deeds speak louder than words”
relevan diterapkan dalam konteks membangun integritas moral dan sekaligus
memerangi kemunafikan.

C. Menekan Korupsi, Memelihara dan Mengembangkan


Integritas
Sebelum masuk dalam diskusi tentang memelihara dan mengembangkan
integritas, adalah penting menjawab dua pertanyaan berikiut ini: pertama,
uraian sejauh ini memperlihatkan bahwa integritas bersifat personal. Integritas
mengacu pada karakter pribadi yang tidak dengan sendirinya diterima atau
diakui secara luas oleh masyarakat umum. Kalau demikian halnya, bagaimana
integritas berfungsi efektif memerangi korupsi yang merupakan penyakit
sosial? Dan, kedua, mengapa integritas gagal terwujud menjadi bedrock
perilaku etis?
Dari segi etika, isu integritas masuk dalam wilayah etika keutamaan (virtue
ethics). Berbeda dengan teori etika utilitarianisme dan deontologi yang
membimbing kita menemukan prinsip moral sebagai basis untuk bertindak,
etika keutamaan justru menekankan pentingnya komitmen dan konsistensi
untuk selalu melakukan apa yang diyakini “baik” dan “benar”. Etika keutamaan
menekankan predisposisi berupa keberanian moral (moral courage) untuk
selalu bertindak sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan-keyakinan moral
subyek tentang apa yang baik dan benar. Semakin seseorang bertindak sesuai
dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan moral yang dimilikinya, semakin
ia meneguhkan nilai-nilai dan keyakinannya sendiri dan dengan demikian
membuatnya semakin berkembang menjadi pribadi yang berintegritas.
Seseorang tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang jujur dan adil
karena ia yakin bahwa kejujuran dan keadilan adalah nilai yang pantas dibela.
Untuk itu, ia akan senantiasa berusaha untuk selalu bertindak jujur dan adil,
juga ketika tidak ada seorangpun menyaksikan perbuatannya. Itu sebabnya
Immanuel Kant, menekankan pentingnya prinsip universalizability dalam

78
BAB IV

bertindak. Prinsip tersebut menekankan: (1) pentingnya menghindarkan diri


dari godaan untuk mengecualikan diri atau menerapkan standar ganda dalam
bertindak; (2) sebelum bertindak, ajukan pertanyaan: “Bagaimana kalau setiap
orang melakukannya?” Misalnya saja, korupsi yang dilakukan hanya oleh satu
orang, dampak negatif yang diakibatkannya barangkali tidak signifikan. Akan
tetapi apa yang terjadi apabila setiap orang melakukannya? (lihat John R.
Boatright, 2003: 54).
Dengan demikian, menekan korupsi, di satu pihak, dan memelihara
integritas, di lain pihak, harus dimulai dengan kesadaran untuk secara
konsisten bertindak atau berperilaku sesuai dengan predisposisi moral, yakni
komitmen untuk senantiasa hanya melakukan apa yang “baik” dan “benar”.
Lalu bagaimana seseorang secara konsisten bertindak sesuai dengan
predisposisi moral yang dimilikinya?
Pada prinsipnya tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan yang
seutuhnya memiliki atau tidak memiliki predisposisi moral. Setiap individu
pasti memiliki potensi berupa keterarahan untuk melakukan apa yang
baik dan benar. Yang dibutuhkan adalah upaya merawat potensi itu agar
tumbuh dan berkembang menjadi karakter pribadi yang kokoh. Internalisasi
keutamaan yang dilakukan secara konsisten melalui keluarga, sekolah, atau
masyarakat umum pasti sangat membantu terbentuknya kesadaran untuk
selalu melakukan “yang baik” dan “yang benar” dan menghindari “yang buruk”
dan “yang salah”. Integritas dengan demikian dipelihara dan dikembangkan
melalui proses habituasi. Kata orang bijak: “bisa karena biasa”.
Akan tetapi apakah proses habituasi akan selalu berjalan mulus sehingga
efektif mencegah perilaku tak bermoral? Terhadap pertanyaan ini George
Lee Butler mencatat beberapa hal yang bisa saja menghambat tumbuh dan
berkembangnya integritas.
Pertama, integritas bisa gagal berkembang karena subyek tidak memiliki
kualitas karakter yang secara fundamental memadai untuk membedakan siapa
dia dan untuk apa dia berada dalam suatu jabatan atau posisi tertentu. Ketika
seorang pejabat publik tidak memahami dengan benar esensi jabatannya, ia
akan lupa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dan sibuk membangun
identitas diri dengan memupuk kekuasaan dan bukan dengan apa yang
seharusnya ia lakukan. Itu sebabnya Butler menegaskan bahwa orang
hebat adalah orang yang mencari kekuasaan untuk berbuat, bukan untuk
menciptakan singgasana dan menetap di sana (Great men seek power to do,
not to be). Tidak berlebihan ketika Aristoteles, filsuf Yunani, mengingatkan
untuk tidak memilih calon pejabat yang senang berkuasa; pilihlah orang
yang tidak suka menjadi penguasa. Mengapa? Karena orang yang mencintai
kekuasaan akan sibuk menciptakan kondisi untuk mempertahankan
kekuasaan dan karenanya lupa untuk melayani kepentingan publik. Padahal,

79
BAB IV

semakin lama berkuasa, semakin terbuka peluang untuk menyalah-gunakan


kekuasaan. Kata Lord Acton, “Power corrupts and absolute power corrupts
absolutely.”
Kedua, integritas bisa gagal dipelihara dan berkembang karena kelemahan
manusiawi (human frailty), suatu kelemahan dalam bentuk ketakutan yang
sesungguhnya sederhana tetapi berpengaruh pada perilaku etis subyek.
Trauma akibat kegagalan dalam ujian, misalnya, bisa mendorong seseorang
untuk berlaku curang dalam ujian. Atau, ketakutan akan kegagalan memenuhi
target mendapatkan proyek yang potensial memberikan keuntungan besar
bagi perusahaan, akan mendorong seseorang untuk melakukan penyuapan
terhadap pejabat publik demi memenangkan lelang. Ketakutan menghadapi
masa pensiun, misalnya, bisa saja mendorong seseorang untuk melakukan
korupsi untuk mengamankan masa tuanya. Kita bahkan gagal mengembangkan
diri sebagai pribadi yang berintegritas ketika memberikan toleransi (karena
takut konflik) terhadap kesalahan orang lain yang kita tahu bertentangan
dengan peraturan atau melanggar nilai-nilai moral.
Ketiga, integritas bisa gagal dipelihara karena kurang atau bahkan tidak
adanya kompetensi memadai dalam menghadapi tantangan. Sebagian orang
menduduki posisi atau jabatan bukan karena alasan kompetensi melainkan
hasil dari kolusi dan nepotisme koruptif atau alasan-alasan yang tidak sesuai
dengan tuntutan profesionalisme. Yang muncul kemudian adalah sikap dan
perilaku koruptif untuk menutupi incompetence.
Keempat, ketimpangan dalam penalaran moral bisa menjadi alasan
lain munculnya sikap dan perilaku yang jauh dari kualitas integritas yang
seharusnya dimiliki seseorang. Bisa saja seseorang gagal melihat dimensi dan
konsekuensi moral dari apa yang dilakukannya. Demi nama baik rekan dan
lembaga, misalnya, seseorang bisa berusaha menutupi kesalahan (korupsi)
yang dilakukan rekan kerjanya. Disini, menutupi kesalahan dilihat sebagai
perbuatan baik dan karenanya kebohongan yang dilakukan untuk menutupi
kesalahan dianggap baik (secara moral). Yang dilupakan adalah tindakan
menutupi perbuatan koruptif melalui kebohongan justru menjadi pupuk
tumbuh dan berkembangnya sikap dan tindakan koruptif dengan skala yang
lebih besar baik kuantitatif maupun kualitatif.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menumbuh-kembangkan integritas?
Jawaban umum, tetapi tidak dengan sendirinya efektif dalam menghadapi
perilaku koruptif dan sekaligus mengembangkan kualitas integritas adalah
diperlukan seperangkat peraturan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
prinsip-prinsip yang memang bisa diterapkan dalam wilayah etika publik.
Peraturan serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip tersebut harus, paling sedikit,
dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara rasional meskipun dalam
prakteknya (barangkali) sulit diterapkan seara konsisten. Untuk itu, strategi

80
BAB IV

internalisasi menjadi penting. Dari mana kita harus mulai untuk membangun
integritas untuk memerangi korupsi? Adalah kenyataan bahwa korupsi selalu
dilakukan dalam konteks yang tidak terlepas dari kedudukan struktural
kelembagaan. Dan karena itu isu good governance architecture lembaga
relevan dikemukakan dalam konteks memerangi korupsi.

D. Pilar membangun Integritas

6 Pilar Integritas
Political Will
Transparansi
Akuntabilitas
Pertisipasi Publik
Peraturan Hukum
Ruang Demokrasi

Menjawab pertanyaan, apa yang harus dilakukan untuk mengembangan


kan integritas, Six and Huberts (2008) mengajukan enam pilar penting berikut
ini.
1. Political will
Etika publik menjadi fondasi (bedrock) utama dalam memelihara dan
mengembangkan integritas dalam ruang publik. Untuk itu diperlukan
kemauan politik kuat dari pemimpin tertinggi organisasi untuk
membangun integritas. Leading by example, apalagi dalam masyarakat
paternalistik, menjadi sangat penting. Disini, nilai-nilai moral menjadi
penting dan karenanya berkontribusi positif pada kinerja lembaga,
bukan karena terus disosialisasikan dengan kata-kata melainkan karena
diwujudkan secara kongkrit melalui perilaku leadership. Itu berarti
leading by example juga harus dimengerti sebagai leading by values.
Upaya ke arah ini sering menjadi kontra produktif karena pemimpin-
pemimpin, terutama pemimpin politik, tidak sungguh-sungguh
memerangi korupsi. Retorika manipulatif cenderung dipertontonkan

81
BAB IV

dan dengan demikian secara sadar menafikkan keselarasan antara


kata dan perbuatan. Ucapan Six & Huberts berikut ini sangat layak
untuk dicamkan. Katanya: “A leader is a person with high-level
integrity. To have Integrity is to have a coherent set of principles and
values which are in line with a moral filter. It means incorruptibility and
the state of rightiousness”. Dengan demikian, membangun integritas
dalam konteks organisasi (publik) harus dimulai dari pimpinan untuk
pada giliran mampu menjadi model integritas. Ini penting karena
dalam masyarakat yang cenderung paternalistik berlaku pepatah:
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Seluruh organisasi akan
menjadi lebih buruk ketika berada di tangan pemimpin yang buruk dari
segi etika publik.
2. Transparansi
Pemerintah harus terbuka untuk senantiasa membuat warganya melek
terhadap berbagai isu strategis negara, terutama yang berdampak
pada kehidupan mereka, serta kebebasan dan kemerdekaan mereka.
Transparansi akan mendorong munculnya kesadaran publik untuk
berpartisipasi untuk mengontrol dan berkontribusi kongkrit demi
suksesnya sebuah kebijakan. Dengan demikian baik pejabat publik
dan masyarakat umum sama-sama merasa terikat oleh kebijakan
dan undang-undang yang berlaku dan karenanya efektif dalam
penerapannya. Parlemen, dalam hal ini, harus berada pada garis
terdepan untuk memastikan bahwa seluruh produk legislatifnya
tersosialisasi dengan baik, dengan catatan, sosialisasi tidak
hanya sebatas retorika melainkan terutama melalui perilaku yang
memperlihatkan pembelaan real dan genuine terhadap undang-
undang. Ini penting dicatat karena tidak jarang undang-undang dibuat
serta berlaku dan mengikat bagi segenap warga negara, termasuk
anggota parlemen, tetapi dalam kenyataannya selalu saja ada “trik-trik
kwasi-legal” yang dimainkan untuk menutupi borok koruptif pribadi
atau rekan sejawat.
3. Akuntabilitas
Prinsip ini terwujud melalui pemanfaatan berbagai resources dan
jasa publik untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat
atau demi kepentingan umum. Setiap tindakan di luar jalur itu harus
sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Katakan saja, apakah boleh seorang pejabat publik menggunakan
otoritas jabatannya untuk mendapatkan pelayanan publik khusus bagi
anggota keluarganya? Anggota keluarga sebagai warga negara tentu
saja berhak mendapatkan pelayanan publik. Tetapi konteks “keluarga”
dalam kasus ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu perlu pertanggungjawaban yang jelas dan dapat diterima

82
BAB IV

(reasonable) publik ketika hal seperti itu memang harus dilakukan.


4. Partisipasi publik
Demokrasi meniscayakan partisipasi aktif publik, termasuk media,
dalam pengelolaan negara. Kritik selalu harus punya tempat dalam
ruang publik; namun supaya kritik tidak melabrak asas fairness dan
responsibility dalam tata-kelola yang baik (good governance), kritik
harus dilakukan dengan motif demi kebaikan umum dan bukan demi
kepentingan eksklusif diri sendiri atau segelintir orang. Untuk itu
obyektivitas dan reasonableness perlu dijaga agar kritik tidak berubah
menjadi fitnah yang justru semakin memperkeruh keadaan. Efektivitas
partisipasi publik ini sangat tergantung juga pada kesediaan bersikap
transparan dari sisi pejabat publik.
5. Peraturan hukum
Pilar ini menuntut pentingnya negara memiliki pembuat dan penegak
hukum yang berintegritas. Alasannya jelas. Peraturan hukum menjadi
hukum karena memenuhi asas fairness, impartiality, and integrity. Itu
berarti, hukum memiliki kekuatan mengikat karena dilahirkan oleh
anggota legislatif yang menjunjung tinggi asas fairness, impartiality, dan
integrity. Hanya dari anggota parlemen dengan kualitas kepribadian
yang menjunjung tinggi asas-asas teresebut, kita boleh berharap
bahwa hukum lahir dan hadir demi kepentingan atau kebaikan umum.
Tuntutan yang sama berlaku bagi penjabat yudikatif. Pada akhirnya
praktek dan penegakan hukum menjadi bukti kongkrit apakah
asas “kesamaan di depan hukum” sungguh-sungguh ditegakkan.
Inkonsistensi lembaga dalam menerapkan asas-asas tersebut dalam
mengemban dan melaksanakan tugas publiknya akan menjadi
pelajaran buruk yang menyuburkan sikap dan perilaku “tak-peduli-
hukum” (unlawfulness) dalam masyarakat, umumnya, dan pejabat
publik, khususnya. Dokrin “ultra vires in action” pantas ditegaskan
dalam konteks ini. Doktrin itu menegaskan pentingnya keberanian
tanpa takut sedikitpun untuk mencopot seorang hakim dari
jabatannya untuk kemudian menggantinya dengan pejabat baru
yang kredibel (memiliki kompetensi dan integritas yang memadai
untuk posisinya). Dengan demikian, berperilaku sesuai dengan hukum,
peraturan, dan prosedur yang seharusnya menjadi penting sebagai
bagian dari menegakkan hukum dan sekaligus memupuk tumbuh
dan berkembangnya integritas secara umum dalam lembaga. Hal
yang sama juga perlu diusahakan dalam dunia bisnis. Kenyataan
memperlihatkan bahwa kolusi sistematis antara kekuasaan politik
(publik) dan kekuasaan ekonomi ikut berkontribusi dalam berkembang
dan menularnya korupsi.

83
BAB IV

6. Ruang demokrasi
Pilar ini penting untuk dirawat karena kita hidup dalam sebuah era
dimana masyarakat semakin sadar akan hak-haknya yang harus
dilindungi dan bahkan harus difasilitasi realisasinya oleh negara. Hak
atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan
layanan pendidikan dan kesehatan yang baik, hak politik untuk
berpatisipasi aktif dalam menentukan masa depan negara melalui
pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil
presiden, adalah beberapa hak mendasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Tuntutan pemenuhan hak-hak ini menjadi
bentuk kontrol publik dan sekaligus indikator kinerja pejabat publik
sebagai refleksi perwujudan kepercayaan publik atas kekuasaan yang
telah diperoleh pejabat publik dari masyarakat. Demokrasi dengan
demikian merupakan manisfestasi dari integritas di dalam ruang publik.
Inkonsistensi dalam menjaga dan merawat integritas demi memerangi
korupsi bisa berakibat negatif serius pada mentalitas dan moralitas bangsa
secara keseluruhan. Korupsi akan terus tumbuh subur akibat tidak ada upaya
serius membangun integritas melalui perilaku kongkrit pemangku kekuasaan
baik publik maupun privat. Sadar akan terus menularnya penyakit sosial itu,
Lee Butler menyarankan beberapa hal berikut di bawah ini.
1. Hal yang pertama dan utama adalah mengembangkan pengertian
tentang apa yang akan terjadi jika integritas dibiarkan tak terawat?
Masyarakat dan pemegang kekuasaan harus terus menerus disadarkan
akan dampak negatif yang berpotensi semakin merusak bangsa dan
negara akibat hilangnya kemampuan dan keberanian moral untuk
senantiasa “bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan”.
Mempelajari etika sebagai sistem pemikiran moral akan membantu
mengembangkan sense of responsibility dan accountability
melampaui kepentingan diri sendiri dan sekaligus mendorong
pemahaman mendalam tentang implikasi negatif dari pengabaian
terhadap integritas. Pendidikan etika sedini mungkin akan membantu
pengembangan sikap altruis—sikap yang senantiasa mengutamakan
kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Apa yang
ditegaskan diatas patut mendapat perhatian serius. Daftar panjang
koruptor yang ada di tangan KPK dengan sendirinya membenarkan
pandangan Butler ini. Terlalu banyak orang terlibat korupsi bukan
karena alasan ketimpangan apalagi ketidakadilan ekonomi tetapi
semata-mata karena penyakit sosial bernama kerakusan (greediness).
Dalam dunia bisnis, misalnya, skandal Enron pada tahun 2002—
manipulasi laporan keuangan untuk mengelabui publik tentang kinerja
perusahaan dan sekaligus menarik minat investor—menjadi contoh

84
BAB IV

paling jelas betapa integritas moral digadaikan demi memuaskan


keserakahan ekonomi. Kasus subprime mortgage yang dilakukan
oleh Lehman Brothers yang akhirnya membawa lembaga keuangan
terpercaya itu gulung tikar pada tahun 2008 menjadi contoh lain
kerakusan ekonomi dalam dunia bisnis. Defisit integritas moral tidak
sulit membawa seseorang dengan tingkat kompetensi tinggi sekalipun
untuk menjerumuskan diri dalam perilaku koruptif.
2. Pentingnya mengembangkan mental thoughness—yakni, kemampuan
moral untuk tidak terombang-ambing oleh situasi dan bahkan
bersedia memikul tanggungjawab melampaui kepentingan diri
sendiri. Dalam konteks kepemimpinan, mental thoughness terlihat
lewat keberanian untuk tidak memberi toleransi pada pelanggaran
atas standar perilaku organisasi. Di sini diperlukan dukungan seorang
pemimpin berkarakter kuat yang dalam bahasa Ferrell dan Gardiner
(1991: 99-114), disebut though-minded leader—yakni, tipe pemimpin
yang berprinsip kokoh dan karenanya mampu menjadi model yang
mendorong berkembangnya integritas dalam diri mereka yang
dipimpin. Namun, yang sering kita alami dalam praktik adalah lebih
banyak pemimpin yang bertipe entah though-guy leader atau nice-guy
leader. Seorang though-guy leader cenderung otoritarian. Ketimbang
bersedia secara terbuka mempertanggungjawabkan tindakannya
secara rasional, ia lebih memilih bersembunyi di balik peraturan
dalam menyelesaikan persoalan. Ia abai membangun persuasi rasional
dengan akibat peraturan tidak terinternalisasi dengan baik. Bawahan
pun hanya patuh ketika ia hadir; akan tetapi mereka akan menari-nari
mengangkangi manajemen ketika mereka jauh dari pantauan pemimpin.
Sedangkan tipe nice-guy leader cenderung menghindari konflik dan
mempertahankan posisinya dengan selalu bersikap manis terhadap
bawahan. Inilah tipe pemimpin yang enggan menyelesaikan persoalan
secara cepat, cerdas, dan terbuka. Tidak mengherankan apabila ia
kemudian memilih menyelesaikan persoalan dengan membiarkannya
berlalu ditelan angin. Nice-guy leader adalah tipe pemimpin yang tidak
berprinsip, tidak memiliki integritas moral memadai untuk membawa
organisasi tumbuh dan berkembang ke arah yang seharusnya. Iklim
manajemen yang berkembang dalam kultur though-guy leadership
atau nice-guy leadership pasti membuka peluang besar munculnya
perilaku koruptif.
3. Untuk membantu berkembangnya integritas dalam organisasi,
penting bahwa segenap anggota organisasi harus memiliki sense of
perspective, sebuah kemampuan untuk berpegang teguh dan fokus
pada tujuan, visi, dan misi organisasi dengan menghindari conflict of
interest. Begitu masuk dan menjadi bagian dari organisasi, seseorang

85
BAB IV

harus mendahulukan kepentingan organisasi sejauh organisasi


berjalan pada rel yang seharusnya. Dengan demikian pemenuhan
kepentingan diri harus dilihat sebagai konsekuensi dari pemenuhan
kewajiban terhadap organisasi dan bukan sebaliknya.
Dengan pandangan seperti di atas Butler memberikan tiga panduan
kongkrit sebagai berikut untuk merawat dan mengemangkan integritas.
1. Selalu melakukan dan mengatakan yang benar. Jangan berbohong,
mencuri, jangan terbiasa mencari alasan pemaaf, dan jangan takut
akan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan.
2. Bekerja keras tetapi dengan alasan yang benar untuk mencapai tujuan
organisasi bukan tujuan pribadi.
3. Jalani hidup dengan sikap seolah-olah suatu waktu anda harus
mempertanggungjawabkan setiap moment, setiap tindakan, dan setiap
ucapan, baik yang dilakukan dalam wilayah publik ataupun privat.
Pertanyaannya, apakah dengan menjalani semua panduan diatas
integritas moral akan dengan sendirinya terbentuk? Bagaimana kalau yang
terjadi adalah subyek salah merespon situasi tidak etis? Sudah ditegaskan
sebelumnya bahwa respon yang tepat secara etis menuntut integritas tetapi
juga kompetensi. Artinya setelah menyadari dan mengetahuai apa yang
seharusnya dilakukan, subyek harus memiliki kompetensi untuk mewujudkan
keyakinannya. Pertanyaannya, bagaimana merespon secara etis perilaku yang
tidak etis? Pertanyaan ini penting karena intuisi etis secara umum berkembang
dalam konteks yang tidak bersentuhan langsung dengan korupsi. Karena
itu, melengkapi atau mendukung beberapa tindakan untuk memelihara dan
mengembangkan integritas moral sebagaimana telah dirumuskan di atas,
beberapa panduan umum yang dirumuskan oleh Richard T. De George (2001:
216-228) berikut ini bisa lebih membantu kita dalam merespon perilaku tidak
etis.
Pertama, dalam merespon tindakan yang tidak etis, jangan menghancurkan
norma-norma atau nilai-nilai yang Anda upayakan untuk memeliharanya dan
karenanya Anda gunakan untuk menilai tindakan yang tidak etis.
Seperti yang telah ditegaskan juga sebelumnya, jangan memerangi
ketidak-adilan dengan cara yang tidak adil, karena menggunakan cara tidak
adil sesungguhnya menghancurkan keadilan itu sendiri. Tegakkan keadilan
dan kebenaran dengan cara yang adil dan benar. Siapapun juga secara etis
tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang tidak etis.
Kedua, karena tidak ada peraturan spesifik bagaimana merespon tindakan
tidak etis, untuk memberikan respon yang dibenarkan secara etis, gunakan
imaginasi moral Anda.

86
BAB IV

Mahatma Gandhi, misalnya, menjadi contoh yang baik yang diambil De


George untuk menjelaskan posisinya. Daripada berkonfrontasi langsung
dengan kekerasan senjata melawan Inggris, Gandhi memilih mengambil
“aksi pasif”; dan Gandhi membuktikan bahwa cara yang diambilnya ternyata
efektif membebaskan India dari penjajahan Inggris tanpa harus menggunakan
kekerasan yang berpotensi melanggar etika. Apa yang dilakukan Gandhi juga
mengajarkan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip etika itu penting,
akan tetapi jauh lebih penting lagi apabila prinsip yang dianut mendapatkan
wujudnya melalui tindakan kongkrit. Itulah integritas. Jalan yang dipilih Gandhi
menegaskan kepada kita bahwa prinsip-prinsip etika tidak harus dibela dengan
kekerasan dan dengan pengorbanan yang tidak perlu. Tindakan kekerasan
berpotensi membahayakan nilai-nilai moral yang justru harus dibela. Dengan
cara itu, Gandhi memperlihatkan bahwa etika sejatinya berurusan dengan
praxis hidup dan karenanya perwujudannya dalam tindakan kongkrit menjadi
penting dalam upaya melawan tindakan yang tidak etis. Sekali lagi, itulah
pentingnya integritas.
Ketiga, apabila respon terhadap immoralitas (perilaku tidak etis) melibatkan
ritaliasi atau kekerasan yang dapat dibenarkan, gunakan prinsip menahan diri
dan tenang (restraint).
Apabila kekerasan memang harus diambil untuk mengatasi persoalan
tidak etis, pastikan bahwa itu merupakan jalan terakhir dengan tingkat
kekerasan seminimal mungkin. Alasannya jelas. Pertama-tama, kekerasan
selalu membahayakan dan karenanya harus dihindari; dan kedua, menjadi
prinsip moral dasar dalam situasi seperti ini untuk tidak melakukan kekerasan
yang sesungguhnya dapat dihindari. Prinsip menahan diri inilah yang menjadi
pedoman praktis polisi, misalnya, dalam upaya penegakan hukum.
Keempat, dalam mengukur respon Anda terhadap lawan yang tidak etis,
gunakanlah asas proporsionalitas.
Prinsip ini menuntut bahwa hukuman yang diberikan haruslah (1)
proporsional atau sesuai dengan tingkat bahaya atau kerugian yang
ditimbulkan; (2) sesuai dengan kebaikan yang ingin dicapai; (3) ada harapan
bahwa tekanan yang diberikan memang efektif untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian tekanan atau hukuman yang diberikan berlebihan dan karenanya
tidak lagi proporsional, pasti melanggar hak tersangka untuk mendapatkan
keadilan; lebih dari itu, hukuman berlebihan berpotensi memperalat tersangka
untuk sebuah tujuan di luar dirinya sendiri. Menjatuhkan hukuman seberat
mungkin untuk menimbulkan efek jera, tidak hanya bagi pelaku tetapi juga
menciptakan ketakutan bagi publik umumnya, misalnya, adalah tindakan tidak
etis karena pelaku telah diperalat untuk kepentingan diluar dirinya. Dalam
bahasa Immanuel Kant, pendukung utama etika deontologi, dengan alasan
apapun, seseorang tidak pernah boleh diperalat, karena tindakan memperalat
sesungguhnya merendahkan martabat manusia. Seseorang harus dihukum

87
BAB IV

hanya karena dia terbukti bersalah tanpa harus dihubungkan dengan efek
jera. Memasukkan efek jera sebagai tujuan hukuman berpotensi mendorong
seorang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang seharusnya;
disini, integritas dikorbankan demi alasan-alasan pragmatis yang belum tentu
juga efektif.
Kelima, dalam merespon tindakan yang tidak etis, terapkan teknik ethical
displacement.
Menghadapi dilema moral, yakni situasi dimana tak satupun dari alternatif
solusi yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan, limpahkan
solusi atas dilema ke tingkat lebih tinggi, yakni ke level organisasi atau lembaga
karena bisa saja disana tersedia jalan keluar yang tepat, misalnya, perlu
restrukturisasi organisasi untuk mengatasi dilema moral. Atau, barangkali
kasusnya perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi, misalnya ke tingkat negara/
departemen terkait, karena hanya melalui kebijakan pada tingkat paling tinggi,
dilema moral dapat diatasi secara mendasar.
Dalam bisnis, misalnya, di tengah persaingan usaha yang sangat ketat,
pebisnis bisa saja dihadapkan pada dilema moral serius ketika harus memilih,
misalnya, apakah harus menyuap untuk mendapatkan proyek atau mengikuti
prosedur tender yang seharusnya dengan potensi kehilangan peluang dan
dengan demikian menempatkan bisnisnya dalam ancaman gulung tikar.
Tentu saja individu yang diberi tanggung jawab untuk kegiatan tender tidak
bisa mengambil keputusan sendiri; ia harus berkonsultasi dengan pimpinan
tertinggi. Akan tetapi apabila pada level perusahaan pun dilema moral tidak
bisa diatasi, akan lebih baik apabila kasus seperti itu diteruskan ke tingkat lebih
tinggi (negara, khususnya departemen terkait) untuk membenahi tatacara dan
prosedur tender agar kelompok yang lemah tidak tersingkir secara tidak fair
oleh kelompok yang kuat.
Keenam, dalam merespon lawan yang tidak etis, gunakan publisitas untuk
mempertegas tindakan tidak etis.
Penggunaan sarana publisitas (humas) akan membuka ruang bagi
partisipasi publik untuk menilai dan dengan demikian memobilisasi tekanan
publik untuk melawan tindakan yang tidak etis. Dengan melibatkan publik,
reaksi dan tekanan terhadap tindakan tidak etis diharapkan menjadi lebih
efektif ketimbang membiarkan tindakan tidak etis dihadapi sendiri secara
diam-diam oleh individu yang bersangkutan. Seseorang yang mengalami
pelecehan seksual oleh pejabat “berkuasa dan terhormat”, misalnya, barangkali
akan ketakutan menghadapi sendiri kasusnya. Upaya membawa kasusnya
ke ruang publik akan membuka peluang munculnya dukungan publik dan
dengan demikian membuat upaya memperoleh keadilan menjadi lebih efektif.
Ketujuh, dalam merespon lawan yang tidak etis, upayakan kerja sama

88
BAB IV

dengan pihak lain, atau ciptakan lembaga sosial, legal, atau populer yang baru.
Integritas individual atau personal tidak akan cukup efektif melawan
perilaku tidak etis ketika struktur lembaga tidak mendorong tetapi bahkan
menghambat tindakan etis dan karenanya semakin menguatkan dilema
moral dalam lembaga. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai rendahan
mendapatkan adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang dengan
sengaja dilakukan demi menekan kewajiban pajak misalnya, ia ditempatkan
dalam dilema moral apakah harus melaporkan kepada pihak berwajib atau
harus mendiamkannya. Kedua sikap itu masing-masing mempunyai implikasi
negatif, juga dari sisi moral. Ia sendiri tahu bahwa tindakan membuka kasus
ke ruang publik (whistle blowing) akan berdampak negatif serius bagi dirinya;
akan tetapi mendiamkannya justru menimbulkan kerugian bagi negara. Dalam
kasus seperti ini, pilihan melakukan whistle blowing pasti merupakan tindakan
moral yang layak diapresiasi tetapi perlu dipastikan bahwa keamanan diri
juga tidak terancam. Kerja sama dengan pihak aparatur keamanan negara
diperlukan di sini. Akan tetapi apabila yang bersangkutan mengalami bahwa
iklim lembaga secara keseluruhan tidak kondusif untuk berkembang, juga
dari segi moral, di satu pihak, dan keamanan pribadi pun tidak terjamin, di
lain pihak, sebaiknya memilih meninggalkan lembaga dan mengupayakan
menciptakan peluang baru.
Kedelapan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah untuk bertindak
dengan keberanian moral.
Keberanian moral menuntut bahwa seseorang tidak hanya mampu
menentukan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya, melainkan
terutama bahwa ia mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Seringkali lebih mudah memilih mendiamkans perilaku tidak etis daripada
mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya. Dalam kasus tertentu bisa
dibenarkan. Ketika tindakan yang diambil sangat potensial mengancam nyawa
pribadi, misalnya, bersikap diam tentu saja tindakan yang bijak. Akan tetapi
dalam kasus lain, diperlukan keberanian untuk menghadapinya dan berusaha
memecahkan persoalan agar tidak menimbulkan efek negatif lebih jauh atau
lebih besar. Ketika didapatkan bahwa hak karyawan terhadap upah yang
adil secara sistematis tidak terpenuhi, misalnya, individu sudah seharusnya
mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya meskipun dengan risiko
dipecat, misalnya. Untuk meminimalisasi akibat negatif, upaya menggalang
kekuatan bersama karyawan lain penting dilakukan. Lebih dari itu, tekanan
kolektif pasti lebih efektif ketimbang upaya perorangan. Perlu keberanian
mengambil inisiatif untuk memobilisasi gerakan kolektif.
Kesembilan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah membayar
“harga” dari keberanian moral Anda yang kadang-kadang bisa sangat mahal.
Tindakan tidak etis barangkali kecil di mata pelaku, akan tetapi selalu

89
BAB IV

sangat mahal bagi korban. Dan respon etika terhadap perilaku tidak etis bisa
jauh lebih mahal. Menjual narkoba dan meracuni orang lain dengan barang
haram ini barangkali tidak menjadi masalah atau masalahnya kecil saja bagi
penjualnya. Akan tetapi “biaya” bagi korban narkoba pasti tidak kecil. Ia
kehilangan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang sukses akibat kontaminasi narkoba. Akan tetapi bagi pihak yang
tahu kasusnya dan berusaha membongkarnya, taruhannya bisa jauh lebih
mahal. Nyawa bisa melayang karena keberanian membongkar kasus narkoba.
Kesepuluh, dalam merespon tindakan tidak etis, terapkan prinsip
akuntabilitas.
Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa mereka yang meciptakan
bahaya, melakukan kerusakan, atau merugikan orang lain harus bersedia
bertanggungjawab atas perbuatannya. Dengan demikian, harus disadari dari
awal bahwa perilaku tidak etis selalu punya implikasi tidak menguntungkan
bagi pelaku dan karenanya seharusnya mampu menahan diri untuk tidak
terjebak dalam perilaku tidak etis. Dengan kata lain, seharusnya setiap orang
mampu mencegah diri dari upaya mengutungkan diri melalui perilaku tidak
etis. Dalam etika bisnis dikenal apa yang disebut “the iron rule of resposibility”.
Maksudnya, ketika seseorang mengabaikan tanggung jawab dalam melakukan
sesuatu, maka ia akan dihukum keras oleh tanggung jawab itu sendiri.
Pengusaha yang tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk menawarkan
produk yang berkualitas sesuai dengan yang dijanjikan, ia akan dihukum
dengan ditinggalkan oleh konsumen. Pejabat publik yang menyalahgunakan
jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, akan kehilangan jabatannya dan
bahkan harus berurusan dengan penegak hukum dengan kemungkinan harus
menerima kenyataan bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam
hotel pro deo.

E. Penutup
Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dalam upaya memerangi korupsi,
beberapa poin pokok berikut ini kiranya penting untuk ditegaskan kembali.
Pertama, pasti tidak mudah membangun dan mengembangkan pribadi yang
berintegritas, pribadi yang memiliki kemampuan dan keberanian moral untuk
senantiasa bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya
dilakukan. Untuk itu, konsistensi menjaga keselarasan antara ucapan dan
tindakan menjadi penting karena kualitas integritas tidak tergantung pertama-
tama pada pengetahuan tentang apa yang baik dan benar, melainkan pada
keberanian untuk secara konsisten “melakukan apa yang baik dan benar”.
Kualitas integritas terbentuk lewat proses habituasi, yakni konsistensi
untuk selalu bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya
dilakukan. Disini, sikap kritis serta keberanian bertindak otonom independen
krusial untuk dikembangkan oleh setiap individu. Dengan sikap kritis, otonomi,

90
BAB IV

dan independensi dalam bertindak, individu akan terhindar dari perilaku


konformitas dan bersikap ikut arus dalam bertindak.
Kedua, juga pantas ditekankan bahwa kualitas karakter individu juga ikut
dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh lingkungan di mana individu berada.
Karena itu, pendidikan sedini mungkin dalam lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, lembaga agama, dan masyarakat umum akan pentingnya kualitas
hidup berkarakter perlu secara konsisten diupayakan semaksimal mungkin.
Lebih dari itu, individu membutuhkan role model kehidupan berintegritas.
Setiap pemimpin, baik pada sektor publik maupun sektor privat seharusnya
menyadari peran model moral ini. Dalam masyarakat yang cenderung
berkultur paternalistik, role model moral pasti efektif mendorong tumbuh
dan berkembangnya integritas, baik dalam individu maupun dalam kultur
organisasi.
Ketiga, perlu pula dikembangkan kesadaran bahwa hidup yang berkualitas
dan bermakna tidak terletak pada (1) seberapa banyak harta material yang
dimiliki (having); melainkan pertama-tama dan terutama terletak pada
seberapa berharganya self-dignity bagi individu (being). (2) hidup yang
bermakna menuntut keberanian untuk berkorban melampaui self-interest
demi tumbuh dan berkembangnya enlightened self-interest—sebuah kualitas
moral yang melihat kepentingan orang lain sebagai bagian dari kepentingan
dirinya dan karenanya mampu melihat perkembangan diri orang lain sebagai
bagian dari pengembangan dirinya sendiri.
Keempat, dalam lingkup organisasi atau lembaga, diperlukan keberanian
untuk melakukan reformasi dan transformasi organisasi untuk membangun
budaya organisasi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya integritas
moral dalam diri segenap anggota organisasi atau lembaga. Dari segi sistem
organisasi, monitoring, kontrol, dan evaluasi atau audit secara reguler,
transparan, dan akuntabel perlu dilakukan secara konsisten untuk memastikan
bahwa semua tata-tertib, kode etik, serta standar perilaku organisasi lainnya
dijalankan dan dipenuhi secara konsisten dan bertanggungjawab. Pemimpin
yang berkarakter though-minded leader sangat dibutuhkan untuk menjawab
tantangan pengembangan karakter berintegritas dalam lembaga.
Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai di atas akan membantu untuk
tumbuh dan berkembangnya pribadi-pribadi yang berintegritas, pribadi yang
senantiasa hanya bersedia untuk melakukan apa yang disadarinya baik dan
benar. Integritas dengan demikian menjadi senjata strategis (moral bedrock)
untuk memerangi korupsi karena integritas merupakan kekuatan internal-
inherent individu yang bekerja untuk mencegahnya dari perilaku koruptif.
Dengan kualitas integritas seperti ini kita boleh berharap, pelan tetapi pasti,
korupsi sebagai penyakit sosial mampu diatasi atau sekurang-kurangnya
ditekan ke tingkat serendah mungkin.

91
BAB IV

Kelima, terakhir, integritas menuntut keberanian untuk tidak memberi


toleransi terhadap perilaku tidak etis, termasuk melakukan korupsi. Bukan
mustahil bahwa keberanian seperti ini pada ujungnya justru membawa
konsekuensi negatif serius bagi pengambil keputusan. Misalnya, subyek
kemudian diserang balik dengan fitnah yang justru bisa menghancurkan
posisi dan bahkan nama baik. Dalam kasus seperti ini integritas menuntut
bahwa perbuatan buruk tidak boleh dibalas dengan perbuatan buruk pula
karena bertolak-belakang dengan prinsip integritas. Membalas perbuatan
buruk dengan perbuatan buruk justru merusak martabat subyek dan
sekaligus menghancurkan integritas yang coba dibela lewat keberanian untuk
melakukan apa-yang-seharusnya-dilakukan. Perbuatan buruk dari pihak
lawan harus dilihat sebagai “biaya” yang harus berani ditanggung akibat
membela integritas. Karena itu, apabila dipandang perlu untuk ditanggapi,
pastikan bahwa cara yang digunakan untuk menanggapi tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral yang justru mau dibela. Katakan
saja, ketidak-adilan jangan dilawan dengan ketidak-adilan, karena ketidak-
adilan tetap saja buruk, juga kalau itu dilakukan demi melawan ketidak-adilan.
Integritas tumbuh dan berkembang justru karena keberanian untuk secara
konsisten melakukan apa yang baik dengan alasan dan cara yang benar.***

92
BAB V:
METODE PEMBELAJARAN
ETIKA ANTIKORUPSI
DAN KASUS
BAB V

Pada bab ini dipaparkan sebuah kerangka pembelajaran etika antikorupsi.


Yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses pembelajaran menggunakan
prinsip pelibatan mahasiswa. Berikut adalah tiga model pembelajaran yang
dapat digunakan pada pendidikan antikorupsi, yaitu:
A. Membangun komitmen dan kebersamaan
B. Memahami korupsi dan permasalahannya
C. Menerapkan teori-teori etika di dalam pembahasan kasus
Berdasarkan model-model ini dibangun beberapa langkah pembahasan
dalam kelas.

A. Membangun Komitmen Antikorupsi (90 menit)


Tujuan:
a. Membangun suasana pembelajaran yang baik
b. Membangun komitmen dan kebersamaan
Pengkondisian (5 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Narasumber menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila
belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan
perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap,
instansi tempat bekerja dan judul materi yang akan disampaikan.
b. Menciptakan suasana nyaman dan mendorong kesiapan peserta
untuk menerima materi dengan menyepakati proses pembelajaran.
c. Dilanjutkan dengan penyampaian aktifitas yang akan dilakukan
pada sesi ini.
Aktifitas Membangun Komitmen (85 menit)
Langkah Pembelajaran:
a. Setiap peserta memperoleh kertas yang dilipat 4 untuk dapat
berdiri di meja menjadi bentuk segitiga (2 menit);

Contoh:

b. Di kertas tersebut dituliskan nama panggilan peserta dan gambar


icon yang menggambarkan sifat peserta dari sudut pandang diri
sendiri. (5 menit);

Contoh:

97
BAB V

c. Kemudian secara bergilir peserta diminta memperkenalkan


diri menjelaskan gambarnya, misalnya: “Selamat pagi, nama
saya Chandra, menggambarkan lonceng ini karena selain saya
cenderung on time seperti alarm, saya juga senang mengingatkan
orang lain untuk melaksanakan tugas atau untuk selalu berjalan di
jalan yang benar” (setengah menit per orang=15 menit);
d. Setelah semua peserta mendapat giliran, diakhiri dengan tepuk
tangan bersama, kemudian narasumber mengajak peserta menulis
di kertas warna berperekat. Ada yang berwarna kuning, jingga,
hijau dan biru;
e. Kertas berperekat berwarna kuning akan diisi: Apa yang diharapkan
peserta akan diperoleh dari diskusi ini (5 menit) Setelah seluruh
peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;
f. Kertas berperekat berwarna jingga akan diisi: Apa yang dikuatirkan
peserta akan terjadi dalam pelatihan atau akibat ikut diskusi ini (5
menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah
selanjutnya;
g. Kertas berperekat berwarna hijau akan diisi: Apa yang akan
dilakukan peserta agar harapan tercapai dan kekhawatiran tidak
terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan
langkah selanjutnya;
h. Kertas berperekat berwarna biru akan diisi: Apa yang harus
dilakukan penyelenggara diskusi agar harapan tercapai dan
kekhawatiran tidak terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta
menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;
i. Seluruh peserta menempelkan kertas warna sesuai kelompok
warna di papan atau di tembok (3 menit);
j. Narasumber membacakan dengan ceria atau meminta salah satu
peserta untuk membacakan hasil olah pendapat mengenai diskusi
yang akan dihadapi tersebut. Narasumber dapat mengajak peserta
untuk tepuk tangan pada pendapat-pendapat yang bersifat
konstruktif (10 menit);
k. Kemudian narasumber mengajak peserta bersama-sama
menuliskan pada kertas flipchart tatatertib yang akan disepakati
agar semua peserta saling mendukung untuk mencapai tujuan
diskusi (20 menit);
l. Narasumber menutup kegiatan, dengan mengucapkan salam serta
mengungkapkan perasaan senang berkenalan dengan peserta.

98
BAB V

B. Diskusi tentang korupsi dan penyebab korupsi (100 menit)


Tujuan:
a. Mengerti dan memahami korupsi
b. Mampu memberikan contoh contoh korupsi
c. Mampu mengenal pelbagai model korupsi
d. Mampu mengetahui penyebab korupsi
Langkah pembelajaran:
a. Narasumber menyampaikan kegiatan pada siang ini adalah
menggambar jalan pemikiran kita terhadap kasus yang dihadapi
untuk menuliskan kemungkinan faktor-faktor penyebab korupsi
yang terjadi pada pejabat, profesional, atau siapa saja. Di jelaskan
pula berbagai bentuk ‘mind map’ yang dapat digambarkan oleh
kelompok dengan memperlihatkan slide yang telah tersedia (10
menit);
b. Narasumber membagi kelompok, dengan meminta peserta
menghitung angka 1-6 untuk membentuk 4 kelompok (anggota
kelompok 5-6 orang), dan meminta peserta pindah tempat duduk
sesuai kelompoknya (5 menit);
c. Tiap kelompok membahas satu topik (penyebab korupsi pada ASN,
pejabat negara, wakil rakyat, profesional, pengusaha);
d. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok sesuai
dengan tugas, menentukan ketua kelompok sebagai moderator
diskusi, menentukan sekretaris kelompok sebagai pencatat hasil
diskusi, menentukan juru bicara kelompok sebagai presentan hasil
diskusi (5 menit);
e. Diskusi dimulai. Kelompok menggambar mind map masalah
yang dihadapi pada kasus. Mind map dimaksudkan untuk
dapat membawa pemikiran ke arah pemahaman yang utuh dan
menyeluruh. (60 menit);
f. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi untuk pleno (20
menit);
Pleno mind map korupsi dan penyebab korupsi (90 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian
waktu untuk pleno (2 menit);
b. Moderator mempersilahkan narasumber dan peserta membaca

99
BAB V

kasusnya masing-masing (5 menit);


c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit menjelaskan
hasil map. Mengundi urutan presentasi dan meminta salah satu
anggota kelompok untuk menjadi jurubicara (3 menit);
d. Kelompok bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit =
60 menit);
e. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan mind
map narasumber untuk kasus tersebut beserta alasan-alasannya.
Tidak ada yang salah, namun mind map biasanya dipengaruhi oleh
latar belakang pengalaman. Dipersilahkan tanya jawab dengan
panduan moderator (50 menit).
Contoh mind map

Sumber: https://venngage.com/templates/mind-maps

C. Diskusi kasus untuk menentukan penyebab korupsi, dampak


korupsi, dan menyusun rencana penatalaksanaan antikorupsi
komprehensif (90 menit)
Tujuan:
a. Membahas kasus;
b. Mampu memetakan kasus;
c. Mampu menyebutkan penyebab dan dampak korupsi;

100
BAB V

d. Mampu menyusun rencana penatalaksanaan anti korupsi.


Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi:
a. Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi.
b. Ketika pulang dari Luar Negri, Ibu S membawa beberapa Tas
bermerek terkenal, yang harganya mencapai belasan juta per
tas. Ibu S sudah dikenal oleh petugas bandara karena sering
bepergian ke luar negri dan pulang membawa barang untuk dijual
lagi. Sebagai ucapan terima kasih Ibu S menghadiahkan satu Tas
kepada petugas yang telah membantunya.
c. Pasien K, 40 tahun, berobat ke dokter dan meminta kwitansi biaya
berobat ditambah 50% karena hanya diganti perusahaan 50%, dan
dokter menyetujuinya.
d. Untuk mengatasi berbagai masalah pengadaan barang di Fakultas
Ekonomi, Dekan membuat kebijakan semua proses pengadaan
barang akan dipimpin oleh orang kepercayaan Dekan yaitu Kepala
Biro Pengadaan Barang yang baru, Ir. B, sepupu Dekan.
Langkah pembelajaran:
a. Satu dari 6 fasilitator (perbandingan fasilitator: peserta = 1: 5-6)
memberi pengarahan diskusi kelompok;
b. Fasilitator membagi kelompok dengan meminta peserta
menghitung angka 1-6 untuk membentuk 6 kelompok, dan meminta
peserta pindah tempat duduk sesuai kelompoknya (5 menit);
c. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok, menentukan
ketua kelompok sebagai moderator diskusi, menentukan sekretaris
kelompok sebagai pencatat hasil diskusi, menentukan juru bicara
kelompok sebagai presentan hasil diskusi (5 menit);
d. Setiap kelompok menyelesaikan tugas membahas kasus,
menentukan penyebab, membuat mind map, dan menyusun
rencana penatalaksanaan yang komprehensif (60 menit);
e. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi (20 menit).
Pleno Kasus Korupsi (90 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian
waktu untuk pleno (2 menit);
b. Urutan presentasi diundi atau atas permintaan kelompok dan
moderator meminta salah satu anggota kelompok untuk menjadi

101
BAB V

jurubicara. (3 menit);
c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit menjelaskan
hasil diskusi berupa mind map, diagnosis kasus korupsi dan
penatalaksanaan komprehensif. Kelompok bergantian presentasi
tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);
d. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan kasus,
memberikan komentar/tanggapan terhadap kasus dan presentasi
kelompok. (10 menit);
e. Moderator mempersilahkan tanya jawab dan diskusi (10 menit);
f. Moderator menutup pertemuan dengan menyampaikan simpulan
pleno kali ini (5 menit);

D. Diskusi Terbatas mengenai transparansi, kejujuran, dan


tanggung jawab (60 menit)
Tujuan:
Siswa mengenali nilai transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit
Skenario:
“Siswa kelas 12 (Kelas 3 SMU) di klub olahraga futsal ingin mengadakan
pesta perpisahan, mereka mengatur kegiatan penggalangan dana.
Mereka membuat panitia penggalangan dana. Kerja panitia ini
sukses. Seminggu setelah pesta tersebut para siswa mengadakan
pertemuan untuk evaluasi acara. Mereka mendengarkan penjelasan
panitia penggalangan dana, bagaimana mereka mendapatkan uang,
bagaimana penggunaannya, dan ternyata ada sisa uang cukup besar.”
Tugas:
Mahasiswa membahas skenario, menjawab, dan memberikan
tanggapan atas pertanyaan berikut:
1. Uang siapa itu? Alasan?
2. Uang sisa akan diapakan? Alasan?
3. Apakah panitia penggalangan dana harus membuat laporan?
Mengapa?
4. Apakah panitian penggalangan dana harus menyampaikan
laporan? Mengapa?

103
BAB V

E. Diskusi mengenai konflik kepentingan


Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat aspek korupsi (konflik kepentingan), siapa
yang terlibat, mampu memahami permasalahan yang ada.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
“Dalam proses seleksi penerimaan pegawai untuk posisi sekretaris,
Bupati ingin ikut serta. Ia beralasan orang yang dipilih haruslah
sesuai dengan kriterianya dan bisa berkerja sama dengannya. Ada 4
calon dari dalam kantor Bupati dan satu orang calon dari luar kantor
diusulkan oleh istri Bupati. Calon yang diusulkan oleh istri Bupati
memenuhi kriteria yang ada, sudah lama bekerjasama dengan Bupati,
masih saudara dengan istri Bupati, dan relatif masih sangat muda.”
Tugas:
Anda adalah orang yang dipercayai memimpin proses seleksi ini dan
apa yang akan anda lakukan.

F. Diskusi mengenai dampak korupsi


Tujuan:
Mahasiswa dapat mengenali korupsi, menjelaskan dampak korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario 1:
“Setelah lulus SMU, Budi, 18 tahun, ingin segera bekerja. Ia ingin jadi
supir mobil online. Abangnya sudah menawarkan memakai mobil
miliknya. Budi ke kantor Samsat untuk mengurus SIM A; ia telah dua
kali ikut tes dan gagal. Ia didekati calo. Calo mengatakan buat SIM A
sendiri tanpa bantuan orang lain amat sulit. Ia bisa bantu mengurus
pembuatan SIM A dengan tambahan biaya tertentu. Mau cepat juga
bisa.“
Tugas:
Mahasiswa membahas skenario, membuat peta permasalahan, dan
memberikan tanggapan.

104
BAB V

1. Perbuatan Budi
2. Perbuatan calo
3. Perbuatan yang salah
4. Perbuatan yang seharusnya
5. Proses pembuatan SIM A yang seharusnya
Skenario 2:
“Ada tiga kontraktor ikut serta dalam tender pembuatan jembatan
layang di Jakarta. Salah seorang kontraktor memasukkan nilai tender
agak jauh di bawah yang lain dan akhirnya menang tender. Dia
melakukan hal tersebut karena butuh uang untuk membayar ratusan
karyawannya. Untung sedikit lebih baik daripada perusahaan bankrut.
Tetapi dalam pelaksanaannya dia menggunakan spesifikasi besi yang
sedikit lebih kecil. Supaya tidak ketahuan dia menyuap pengawas.”
G. Diskusi mengenai dimensi sosial budaya korupsi
Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat dan memahami kaitan aspek sosial budaya
dan korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
Amir, Susi, Joko, dan Kasih berdiskusi tentang korupsi dan pendapat
masyarakat
Amir: Korupsi adalah bagian dari kehidupan. Kita harus menerima
bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu. Orang kaya akan
selalu korup dan orang miskin akan selalu berusaha meniru mereka.
Bagaimanapun, penyuapan adalah cara untuk menyelesaikan sesuatu
dengan lebih cepat dan memungkinkan bisnis untuk bergerak maju
lebih cepat.
Susi: Korupsi adalah bagian dari mentalitas kita. Sudah puluhan tahun
dicoba diberantas tapi hasilnya apa ada? Melawan korupsi adalah
buang-buang waktu. Mari bersikap realistis, kita tidak bisa hidup jika
kita menolak untuk menjadi bagian darinya. Mudah-mudahan, yang
kaya akan menjadi cukup kaya dan sebagian kekayaannya dibagikan
kepada kita. Saya juga berpikir tidak apa-apa mengambil sedikit,
cuman sedikit, seperti semua orang lain melakukannya.
Joko: Yang Amir dan Susi katakan adalah apa yang dimaui oleh
koruptor. Jika semua berpendapat korupsi adalah wajar, semua juga

105
BAB V

melakukannya, asal sedikit, asal tidak terus menerus maka korupsi


akan menetap selamanya. Mereka yang dirugikan oleh korupsi tidak
akan berubah kehidupannya, malahan bisa semakin sulit. Oleh sebab
itu kita harus mencari jalan memberantas korupsi. Minimal kita tidak
ikutan korupsi.
Kasih: Tidak peduli apakah itu budaya kita atau bukan, tidak peduli
apakah itu korupsi besar atau kecil; korupsi adalah salah dan koruptor
harus dihukum seberat beratnya. Kalau perlu hukuman mati. Koruptor
itu sudah kaya raya dan mereka memperkaya diri dan keluarganya
tanpa batas. Mereka telah menyengsarakan rakyat. Mereka tidak akan
pernah berubah. Sekali koruptor, selamanya akan tetap koruptor.
Tugas:
Kelompok mendiskusikan, membahas, dan menanggapi pandangan di
atas.
H. Menilai Sikap dan Perilaku
Tujuan:
Siswa mampu menilai dan mengidentifikasi sikap dan perilaku mana
yang benar, mana yang salah beserta alasannya.
Prosedur:
Berdua membaca dan menentukan 30 menit, lalu diskusi 30 menit.
Keterangan: B = Benar, S = Salah, TM = Tidak Memutuskan

B S TM
1 Waktu ujian , menyontek, karena penjaga sedang pergi.
Orang tua membantu mengerjakan sebagian pekerjaan
2
sekolah anaknya
3 Alumni memberi hadiah sepeda kepada dosen
Kotak Sumbangan sukarela untuk pengurusan KTP di
4
kelurahan
Memakai mobil kantor untuk mudik ke kampung bersama
5
keluarga
Menerima uang dari peserta Pilihan Kepala Daerah, tetapi
6
tidak terpengaruh ketika memilih
Dosen menambah nilai siswa tersebut karena diancam
7
oleh atasannya
Karena waktu studi hampir habis, dia meminta temannya
8
ikut membuat disertasinya.

106
BAB V

Anak gubernur ikut tender pengadaan barang kantor


9
gubernur
Perusahaan mobil memberi hadiah lebaran sebuah
10 sepeda motor kepada Direktur Bank Mandiri karena telah
membeli 20 mobilnya

B S TM
Buru buru naik kereta api karena mau ujian, lupa beli
1 karcis. Kondektur menawarkan bayar denda langsung
50% kepadanya, dan saya bayar.
Anggota DPRD mau rapat paripurna, melanggar lampu
2 merah. Tertangkap dan diberi peringatan supaya lain kali
lebih hati-hati.
Camat yang baru terpilih mengadakan pesta besar
3 mengundang seluruh pendukungnya yang berjumlah
1000 orang
Razia surat kendaraan sepeda motor. Anak SMP
tertangkap tidak bawa SIM. Anak menangis, minta maaf,
4
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Petugas kasihan,
memberi nasehat, dan melepaskannya.
Dosen meminta mahasiswa mengerjakan pekerjaan
5
kantornya sebagai bagian dari cari pengalaman
Pemilihan ketua kelas. Karena jumlah murid perempuan
6 jauh lebih banyak maka suara perempuan dinilai
setengah, laki-laki satu
Restoran menulis tanda “Dilarang memberi tips pada
7
petugas parkir”
Saya tetap beri tips waktu pulang karena gaji mereka
8
kecil
Karena pekerjaan kantor sudah selesai maka saya pulang
9
lebih cepat
Aparat mengijinkan nelayan memakai bom ikan karena
10
lebih murah dan mudah dapat ikan.
Saya melihat tetangga mencuri, lalu melaporkannya. Dia
11
dipecat.
Barang yang jatuh di jalan dari mobil yang bertabrakaan
12
boleh diambil
Saya terima uang Rp. 10.000 setelah membantu
13
mendorong mobil mogok

107
BAB V

Pengusaha harus membagi keuntungannya pada orang


14
miskin
15 Pengusaha boleh berbohong

16 Pengusaha boleh mencari keuntungan sebesar-besarnya

Pengusaha memberi uang rokok Rp. 10.000 kepada


17 petugas administrasi kantor pemerintah untuk
memasukkan surat
Pengacara memberi uang Rp. 10.000 kepada petugas
18
kelurahan karena telah membantu mengambil surat
19 Hakim bermain golf dengan pengacara terdakwa
Jaksa menerima kado pernikahan anaknya berupa
20
Dompet seharga Rp. 500,000 dari pengacara terdakwa

I. Evaluasi Diri
Tujuan:
Siswa melakukan evaluasi diri sendiri.
Prosedur:
Baca dan jawab sendiri 30 menit.

Jarang Kadang Sering


Berani
Saya berpihak pada yang benar meskipun
1
sendirian
Saya tidak menyerah meskipun tidak didukung
2
yang lain
Saya tidak kuatir akan apa yang akan saya
3
katakan/lakukan
4 Saya optimis
5 Saya tidak menyukai kekerasan
Jujur
1 Saya selalu mengatakan yang sebenarnya
2 Saya tidak berbohong
3 Saya tidak menipu
4 Saya tidak mencuri
Saya tidak dengan sengaja menyesatkan orang
5
lain

108
Fair
Saya perlakukan orang lain sebagaimana saya
1
ingin diperlakukan
2 Saya perlakukan orang lain setara
3 Saya taat aturan
4 Saya tidak melakukan stigmatisasi
Akuntabilitas
Saya siap menjawab sejujurnya atas apa yang
1
telah dilakukan
Saya siap menerima kritik dan risiko dari
2
perbuatan saya
Transparansi
Saya tidak menyembunyikan sesuatu yang
1 merupakan tanggungjawab saya kepada orang
lain
2 Saya terbuka
Integritas
Saya berusaha melakukan yang benar meskipun
1
berdampak buruk pada saya
2 Saya memegang teguh nilai-nilai saya
3 Saya berusaha berperilaku terbaik
4 Saya tidak mudah tergoda
Saya melakukan yang benar meskipun tidak ada
5
orang yang melihatnya

109
DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka
Gildenhuys, J.S.H. 2004. Ethics and Professionalism, The Battle Against Public
Corruption. Stellebosch: Sun Press

Komalasari, Kokom and Saripudin, Didin. “Integration of Anti-Curruption Education in


School’s Activities,” dalam American Journal of Applied Sciences, June 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014. Buku Saku Memahami


Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2006. Memahami untuk Membasmi.


Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Ochulor, Chinenye Leo and Bassey, Edet Patrick. 2010. “Analysis of Corruption from
Ethical and Moral Perspectives,” dalam European Journal of Scientific Research,
Vol 44 No. 3 (2010): hlm. 466-476

Priyono, Herry B. 2018. Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT. Gramedia

Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption,


Transparency and Accountability”, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/
public/documents/un-dpadm/unpan043783.pdf.

The Hong Kong Institute of Engineers, 2000. Ethics in Practice, A Practical Guide for
Professional Engineers. Hong Kong: Independent Commission Against
Corruption

Bertens, K. et. al. 2017. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Haryatmoko. 2015. Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Yogyakarta:
Penerbit PT. Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Riyanto, Armada et.al. 2015. Kearifan Lokal, Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan.
Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Chadwick, Ruth, F. (1994). Ethics and Professions. Sydney: Avebury.

Koehn, Daryl.2000. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Hartman, Laura dan DesJardis, Joe. 2011. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga
DAFTAR PUSTAKA

Sihotang, Kasdin. 2016. Etika Profesi Akuntasi. Yogyakarta: Kanisius

Sudarminta, J. 1992. “Etika Profesi Bagi Dosen” dalam Moedjanto, G. et.al. Tantangan
Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Boatright, John R., 2003, Ethics and the Conducts of Business, Fourth Edition, Pearson
Education Inc., New Jersey.

Bob Rosthstein, 2017, file:///D:/INTEGRITY/Four myths about corruption World


Economic Forum.htm.

De George, Richard T., “When Integrity Is Not Enough Guidelines for Responding to
Unethical Adversaries”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative: Ethics,
Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press e-books
OLD - Purdue University Press, (2001: 214 – 228).

Ferrell O.C. & Gardiner, Gareth, 1999, In Purusit of Ethics, Though Choices in the World
of Work, Smith Collins Company.

Hoseah, Edward Gamaya, “Corruption as a global hindrance to promoting ethics,


integrity, and sustainable development in Tanzania: the role of the anti-
corruption agency”, Journal of Global Ethics, 2014 Vol. 10, No. 3, 384–392, http://
dx.doi.org/10.1080/17449626.2014.973995.

Lee Butler, George, “Some Personal Reflection on Integrity”, dalam J.C. Ficarrotta,
The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs,
Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 73 - 83).

Solomon, Robert C, “The Meaning of Integrity” dalam bukunya Ethics and Excellence,
Cooperation and Integrity in Business, New York, Oxford, Oxford University
Press,1992: 168-174

Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption,


Transparency and Accountability”, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/
public/documents/un-dpadm/unpan043783.pdf

OECD, 2018, Education for Integrity: Teaching on Anti-Corruption, Values and the Rule
of Law. www.oecd.org/gov/ethics/integrity-education.htm

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2016, Buku Panduan Dosen
Pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Website : http://
ristekdikti.go.id/
GLOSARIUM

GLOSARIUM
GLOSARIUM

GLOSARIUM
GLOSARIUM

GLOSARIUM
GLOSARIUM

GLOSARIUM
INDEKS

INDEKS
INDEKS

INDEKS
PENULIS

BIOGRAFI Penulis

Mikhael Dua
Adalah dosen mata kuliah Filsafat dan Etika di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 1997.
Lahir di Worolowa, Nusa Tenggara Timur pada
10 September 1958, menyelesaikan pendidikan
sebagai sarjana Filsafat di STFT Ledalero, Flores
yang kemudian melanjutkan master di Ateneo
de Manila University, Philippines dan S3 di
Hochschule fuer Philosophie, Munich, Jerman.
Di luar kegiatannya sebagai Dosen, telah banyak
judul buku yang sudah ditulis, buku terbaru
adalah Pengantar Filsafat diterbitkan tahun
2018. Penulis juga aktif untuk menuangkan ilmu
dan pemikirannya melalui jurnal-jurnal nasional
maupun internasional.
E-mail: michael.dua@atmajaya.ac.id

Sintak Gunawan
Adalah seorang dokter yang menyelesaikan
pendidikan sarjana Kedokteran di FK Atma Jaya
Jakarta. Melanjutkan pendidikan ke Leuven
Catholic University, Belgia untuk meraih gelar
BA in Philosophy dan MA in Applied Ethics.
Berhasil meraih gelar Doktor (S3) Filsafat dari
STF Driyarkara, Jakarta. Aktif menjadi staf Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya sejak tahun
1992, Penulis juga menjabat sebagai anggota
Komisi Etik di RS Atma Jaya (sejak tahun 1996)
dan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology
(sejak tahun 2009). Jabatan baru yang
diamanahkan untuk penulis adalah wakil ketua
Komisi Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
pusat bidang pengembangan sarana pelayanan
kesehatan (sejak tahun 2016).
E-mail: sintak.gunawan@atmajaya.ac.id
PENULIS

Rodemeus Ristyantoro
Adalah seorang dosen yang menyelesaikan
pendidikan S1 (Bachelor of Arts in Philosophy)
dan S2 (Master of Arts in Philosophy) di STF
Driyarkara, Jakarta. Di luar kegiatannya sebagai
dosen, Penulis juga aktif menuangkan ilmu dan
pemikirannya melalui banyak jurnal, diantaranya
adalah Editorial yang terbit pada tahun 2010,
Postmodernisme, Filsafat dan Universitasi terbit
tahun 2008, Teledemokrasi: Bagaimana Televisi
Merusak Demokrasi terbit tahun 2006. Selain
itu, penulis juga aktif berorganisasi dengan
menjadi Secretary of Intellectual Property
Rights Commisson di Universitas Katolik Atma
Jaya sejak tahun 2010, Councellor for Ikatan
Karyawan Atma Jaya sejak tahun 2009 dan
Editor of Respons (Journal of Social Ethics) di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 2008.
E-mail: supriyadi902@yahoo.co.id

Biografi
Penulis
ISBN: 978-602-52387-7-2

9 786025 238772

Anda mungkin juga menyukai