Anda di halaman 1dari 125

ETIKA

ANTIKORUPSI
Menjadi Profesional Berintegritas
ETIKA ANTIKORUPSI:
“MENJADI PROFESIONAL
BERINTEGRITAS”

Tim Penulis Kontributor


Mikhael Dua Rimawan Pradiptyo, PhD
Andre Ata Ujan
Gandjar Laksmana Bonaprapta
T. Sintak Gunawan
R. Ristyantoro Desiantien S Pringgopoetro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo
ETIKA ANTIKORUPSI: “MENJADI PROFESIONAL BERINTEGRITAS”

Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Gedung Merah Putih KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920
http://www.kpk.go.id

ISBN: 978-602-52387-7-2

Penerbitan buku ini merupakan hasil kerjasama antara Komisi Pemberantasan


Korupsi dengan Pusat Pengembangan Etika (PPE) Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya

Pengarah:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Deputi Bidang Pencegahan KPK

Koordinator:
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Tim Penulis:
Mikhael Dua
Andre Ata Ujan
T. Sintak Gunawan
R. Ristyantoro

Kontributor:
Rimawan Pradiptyo, PhD
Gandjar Laksmana Bonaprapta
Desiantien S Pringgopoetro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo

Tim Supervisi:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK

Cetakan Pertama: Jakarta, 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Buku ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya, diperbanyak


untuk pendidikan serta nonkomersial lainnya dan tidak untuk
diperjualbelikan.
PENGANTAR KPK

PENGANTAR
Komisi Pemberantasan Korupsi

P
uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-Nya, sehingga
penyusunan buku Etika Antikorupsi : Menjadi Profesional Berintegritas
dapat terselesaikan. Buku ini merupakan panduan bagi dosen atau tenaga
pendidik dalam menerapkan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
melalui insersi dalam mata kuliah Etika Profesi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas untuk melakukan
upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melakukan Pendidikan
Antikorupsi pada setiap jejaring pendididikan. Penyusunan buku panduan
ini merupakan salah satu upaya KPK untuk menyediakan bahan ajar bagi
para dosen pengampu Pendidikan Antikorupsi. Selain dalam bentuk buku
panduan, KPK juga melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar sebagai
konsekuensi dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Permenristekdikti) No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Media ajar tersebut antara lain
komik, buku saku, film dan juga permainan sehingga dosen dapat
mengembangkan metode belajar yang lebih menarik. Adapun buku panduan
ini bersifat umum dan memberikan gambaran untuk pelaksanaan
pembelajaran di kelas yang mengondisikan mahasiswa mendapatkan
pengetahuan tentang antikorupsi dan internalisasi nilai-nilai antikorupsi
dalam kehidupan mereka.
Mata kuliah Etika Profesi memiliki irisan yang cukup banyak dengan nilai-
nilai antikorupsi sehingga insersi atau sisipan muatan antikorupsi ke
dalam mata kuliah Etika Profesi menjadi bekal penting dibalik keahlian yang
dimiliki profesional.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini, baik kepada Tim Penulis
dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Mikhael Dua, Andre Ata Ujan,
T.Sintak Gunawan, R. Ristyantoro, Kontributor dan Tim Supervisi yang telah
mendedikasikan gagasan dan waktunya sehingga buku ini dapat
tersajikan. Memberantas Korupsi membutuhkan upaya yang
berkelanjutan dan kerjasama dari semua elemen bangsa demi mewujudkan
indonesia yang maju dan sejahtera.
Salam Antikorupsi!

Jakarta, 9 Desember 2019

Komisi Pemberantasan Korupsi

01
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR PENULIS

M
engikuti langkah yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah
untuk mengembangkan sikap antikorupsi, beberapa Perguruan
Tinggi mengambil inisiatif mengembangkan bahan ajar mengenai korupsi.
Selain dibangun sebagai mata kuliah tersendiri dengan pelbagai macam
nama, pengembangan sikap korupsi juga dibahas dalam mata kuliah lain
seperti etika profesi, agama, kewarganegaraan, dan Pancasila.
Apa pun usaha yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi, pengembangan
sikap antikorupsi harus diapresiasi dan didukung semua pihak. Bersama
pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini
mengatasi korupsi melalui usaha pencegahan, sosialisasi tindak pidana
anti korupsi, dan pembentukan masyarakat anti korupsi, Perguruan Tinggi
dapat mengembangkan dan meningkatkan usaha yang sudah dilakukan
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: Apa sebenarnya
akar korupsi? Bagaimana korupsi dapat dicegah? Bagaimana diskursus
etika dibangun di kalangan komunitas akademis, baik dari segi konten dan
metode? Dari mana diskursus seperti itu dimulai?
Buku ini dirancang dengan pengandaian bahwa Perguruan Tinggi sudah
memiliki mata kuliah etika profesi di masing-masing jurusan dengan konteks
permasalahan yang berbeda-beda. Kita mengenal misalnya etika bisnis, etika
politik, etika hukum, etika rekayasa teknik, etika profesi psikolog, bioetika untuk
kedokteran, bioetika untuk teknobiologi, etika penelitian, etika pendidikan.
Selain itu, diandaikan juga prinsip-prinsip tatakelola umum implisit atau
eksplisit dibicarakan dalam konteks dan materi yang berbeda-beda. Prinsip-
prinsip yang dimaksud adalah transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab,
kemandirian, keadilan, kepedulian, solidaritas, dan pluralitas. Prinsip-prinsip
ini menjadi dasar bagi tindakan profesional sehingga profesi dan
komunitas profesi dapat dipercaya klien dan masyarakat.
Diskusi etika profesi menjadi penting karena di balik keahlian yang
dimiliki profesional terdapat kesempatan melakukan tindakan manipulasi,
pemerasan, suap, dan bahkan penipuan. Para profesional harus yakin bahwa
ia harus mengenal ‘baju’ etika profesi agar mereka layak dipercaya klien dan
masyarakat. Mereka juga harus menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi
dengan prinsip-prinsip etis yang mereka yakini dan bicarakan.
Sebagai misal, berdasarkan prinsip bebas dari konflik kepentingan, setiap
profesional mengerti bahwa ia tidak boleh menerima gratifikasi dan suap.
Karena itu, para profesional harus menjawab pertanyaan sederhana ini:
siapakah ia sebenarnya sehingga ia wajib mempertahankan kepercayaan klien

02
KATA PENGANTAR

dan masyarakat? Pertanyaan ini menarik perhatian karena kapasitas keahlian


seorang profesional seharusnya berjalan bersamaan dengan kapasitasnya
sebagai manusia. Inilah yang membuat integritas menjadi bagian tak
terpisahkan dari etika profesi dan sekaligus menjadi jembatan baginya untuk
masuk dalam komunitas profesi dan dunia di luar komunitas profesinya.
Dengan perkataan lain, para profesional harus memiliki integritas sebagai
manusia selain kapasitas keahlian. Dengan pengandaian ini, korupsi tidak
hanya merupakan sebuah tindakan yang menyalahi prinsip-prinsip etika
profesi, tetapi juga sebuah tindakan yang buruk dari segi mutu
kemanusiaannya.
Buku Etika Antikorupsi ini dimaksudkan menjadi salah satu bahan ajar
dalam mata kuliah etika profesi. Buku ini menjelaskan korupsi dengan modus-
mudus yang terkenal seperti gratifikasi dan suap di mana konflik kepentingan
dapat terjadi. Selain itu, buku ini berusaha menjelaskan faktor-faktor
yang bisa mencetus praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini pelbagai macam
faktor akan memberikan penjelasan mengapa orang muda terjebak dalam
tindak korupsi. Diskusi mengenai modus dan faktor-faktor korupsi
tersebut, buku ini secara mendasar membangun penalaran etis
antikorupsi dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan etika profesi.
Pendekatan ini menjelaskan bahwa korupsi melawan prinsip-prinsip etika
profesi seperti tanggungjawab, otonomi, keadilan yang sebenarnya secara
tegas sudah tersirat dalam janji publik profesi. Kedua, pendekatan etika
keutamaan. Pendekatan ini secara mendasar menjawab pertanyaan,
siapakah saya sehingga harus melawan korupsi. Integritas pribadi menjadi
jawaban atas semua usaha tersebut. Tak ada nilai lebih tinggi dari usaha
pemberantasan korupsi, gratifikasi, dan suap selain dari menjunjung rasa
hormat pada martabat diri kita sendiri sebagai manusia terhormat yang
memiliki integritas. Dengan mengikuti argumentasi yang dibangun buku ini,
etika antikorupsi dapat dilihat sebagai sebuah kritik atas korupsi dalam
refleksi prinsip-prinsip etika yaitu integritas, kepentingan publik, tanggung
jawab, keterbukaan, dan keadilan.
Sebagai bahan ajar di Perguruan Tinggi, diskusi mengenai etika antikorupsi
ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa memiliki kesadaran tentang suap dan gratifikasi
sebagai modus korupsi. Yang dimaksud kesadaran di sini lebih dari
sekedar pengetahuan tentang suap, gratifikasi, korupsi, dan akar-akar
korupsi. Dengan mendiskusikan akar-akar korupsi dan konteks
sosialnya, mahasiswa diajak untuk membangun niat dan kehendak untuk
mengubah dirinya sendiri sebagai mahasiswa yang antikorupsi. Untuk
tujuan ini, diskusi mengenai gratifikasi sebagai akar korupsi dan
masalah moral tindakan korupsi menjadi bab pertama buku ini.
2. Agar mahasiswa membangun sikap moral berdasarkan prinsip-prinsip
etika profesi untuk menolak korupsi. Sikap moral yang dimaksud meliputi

03
KATA PENGANTAR

sikap kritis terhadap norma sosial yang secara potensial mendukung


bertumbuhnya praktik korupsi. Untuk itu diskusi tentang etika antikorupsi
dan etika profesi pada bab kedua dan ketiga buku ini dapat membantu
mendorong sikap antikorupsi baik dari segi etika maupun dari segi profesi.
3. Agar mahasiswa berkomitmen dan secara praktis menolak gratifikasi,
suap, dan korupsi. Tahap ini perlu agar mahasiwa memiliki sebuah
program aksi untuk tidak terlibat dalam tindakan korupsi. Pembebasan diri
sendiri dari korupsi dapat menjadi awal bagi pembebasan masyarakat dari
tindakan- tindakan koruptif (gerakan pembebasan). Untuk tujuan ini
sebuah diskusi tentang integritas di bab empat dan kasus-kasus korupsi
pada bab lima dapat menstimulasi mahasiswa untuk menolak korupsi.
Berdasarkan tujuan tersebut, buku pegangan ini tidak berhenti menjawab
pertanyaan quid facti (sekedar mengetahui fakta-fakta korupsi dan
prinsip- prinsip etika antikorupsi) dan pada pertanyaan quid iuris (apa yang
saya tahu itu benar), tetapi harus sampai pada kehendak untuk berani
menolak korupsi. Pengetahuan mengenai korupsi, sebab-sebabnya serta etika
antikorupsi bukan tidak penting. Pengetahuan tentang fakta korupsi,
faktor-faktor timbulnya korupsi, serta bagaimana KPK berusaha dengan
segala cara menghadapi masalah korupsi di Indonesia dapat membantu
mahasiswa untuk prihatin dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang
berjuang melawan korupsi. Tetapi pengetahuan dimaksud harus diikuti
dengan pemikiran bahwa korupsi bukanlah fakta di luar diri manusia. Ia
berakar pada kenyataan manusia yang harus diteliti dengan cermat:
bagaimana cara-cara efektif menangani korupsi, apa akibat korupsi bagi hidup
manusia dan moral manusia. Dari kedua usaha tersebut, langkah berikut
yang harus diambil adalah membangun kehendak untuk bertindak praktis
menolak korupsi. Keberanian untuk menolak korupsi perlu dilihat sebagai
sebuah cara praktis untuk menjawab pertanyaan penting mengenai kebenaran
hidup sebagai kemanusiaan.
Untuk maksud tersebut, buku ini disusun sedemikian rupa sehingga setiap
pembaca dapat membangun refleksi etis atas korupsi. Apa yang dibangun
dalam buku ini dapat dijadikan model membangun refleksi etis. Langkah ini
diambil karena sesuai dengan karakter etika sebagai cabang filsafat.
Bahan ajar yang dibahas di sini sebaiknya digunakan dalam proses diskursif
kritis. Artinya, ada diskusi di antara peserta yang terlibat di dalamnya. Diskusi
tersebut tidak sekedar mengungkapkan apa yang diketahui dan dialami oleh
setiap peserta, tetapi melihat apa yang sebenarnya terjadi dan
bagaimana melihatnya dari sudut etika. Ketika mendiskusikannya dari
perspektif etika, sikap yang harus dihindari adalah dogmatisme, artinya
sekedar menunjukkan kesesuaiannya dengan ajaran moral tertentu, tetapi
harus kritis dalam arti melihatnya berdasarkan kriteria normatif etis seperti
keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab.

04
KATA PENGANTAR

Sangat diusulkan agar buku ini digunakan sesuai dengan tujuannya.


Untuk itu beberapa langkah metode diskursif-kritis perlu diperhatikan,
misalnya, dibuatkan pertanyaan-pertanyaan pre-test untuk melihat sejauh
mana mahasiswa memahami persoalan sekitar korupsi dan tindak pidana
korupsi. Selanjutnya mendiskusikan dengan serius latar belakang sosial politik,
budaya, agama mengapa banyak orang terjebak dalam tindakan koruptif,
lalu bersama-sama menemukan solusi mengatasi korupsi berdasarkan
prinsip-prinsip etika: integritas, keadilan, kejujuran, dan tanggungjawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Lalu, membangun simulasi
tindakan anti korupsi dan diakhiri dengan semacam post-test tentang
pemahaman, penyadaran, dan aksi anti korupsi. Untuk maksud ini bab kelima,
selain menyajikan kasus-kasus korupsi menjelaskan proses pengajaran etika
antikorupsi dimaksud.

05
DAFTAR ISI

Rp

Etika Antikorupsi ?

KORUPSI

07 27 73
BAB I BAB II BAB III
Korupsi: Gratifikasi, Suap, Apa Itu Etika Antikorupsi Etika Profesi Melawan
dan Konflik Kepentingan Korupsi

Integritas

109 149
BAB IV BAB V
Integritas, Fondasi Moral Metode Pembelajaran
Antikorupsi Etika Antikorupsi dan
Kasus-Kasus

Daftar Isi
07
Rp

KORUPSI
BAB I:
kORUPSI:
GRATIFIkASI, SUAP, DAN kONFLIk k
B

Korupsi merupakan sebuah tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan


negara tetapi merusak tantanan kehidupan sosial dan ekonomi serta merusak
demokrasi.

Rp
Pemerintahan

5,6
Propinsi

9
TOTAL KERUGIAN NEGARA

Pemerintahan
Kementrian/ Total Tindak Pidana Korupsi Kabupaten/Perkotaan
6
yang Ditangani KPK
Lembaga 13 (Data Hingga Akhir November 2018)

KASUS-KASUS
DPR/DPRD
Perkara Penyuapan 78

Pengadaan Barang/Jasa 9

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) 4

Merintangi Proses KPK 2

Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa korupsi di Indonesia tidak
hanya terdapat di tingkat pusat, tetapi sudah menyebar ke tingkat daerah
yang akibat-akibatnya semakin menyentuh kehidupan masyarakat lokal/
daerah. Selain itu, praktik penyuapan dan pengadaan barang dan jasa menjadi
modus-modus korupsi. Kedua modus ini memiliki hubungan dengan praktik
gratifikasi yang melekat dengan kebiasaan saling memberikan hadiah dan
barang pada peristiwa-peristiwa budaya di masyarakat Indonesia. Praktik
gratifikasi semacam ini tidak hanya menjadi permulaan dari praktik suap
tetapi juga mendorong terjadinya konflik kepentingan karena mereka yang
terlibat dalam praktik tersebut mengutamakan kepentingan diri dan
keluarga lebih dari kepentingan-kepentingan negara dan bangsa.

Bab ini akan berbicara tentang korupsi, modus-modus korupsi, sebab-


sebab terjadinya korupsi, dan pemecahan hukum menghadapi
korupsi. Tujuan yang hendak dicapai dengan pembahasan ini adalah 11
agar mahasiswa:
1. Memiliki pemahaman tentang korupsi dan modus-modusnya.
2. Mampu membuat analisis tentang latar belakang sosial ekonomi
dan politik terjadinya korupsi.
3. Mampu membuat pembedaan antara pemecahan legal dan
pemecahan etika dalam menghadapi korupsi.
B

A. Arti Korupsi
Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti
hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah
corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan
kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga
menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun
menamai pelaku korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).
Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-
beda. Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan
penggunaan istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau
kebusukan segala sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan
penghancuran bentuk dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan
keutuhan, kerusakan; secara moral, korupsi berarti penyelewengan atau
penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui
suap dan gratifikasi; dan secara sosial, korupsi berarti penjungkirbalikan
segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian misalnya penyelewengan
lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23).
Dalam sejarah hukum di Indonesia, istilah ini sudah dikenal dalam
Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 terkait
usaha pemberantasan korupsi, yang kemudian dituangkan dalam UU No.
24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan
dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, korupsitelahmendapatperhatianduniasehinggasemuanegara
berkepentingan untuk memberantasnya. Pada tanggal 9-11 Desember
2003 Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Merida, Meksiko mengeluarkan
Konvensi PBB Antikorupsi. Konferensi ini melibatkan 141 negara. Konvensi
tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan memperjuangkan
tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan
efisien; juga untuk meningkatkan dan memudahkan serta mendukung
kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam upaya mencegah
korupsi. Indonesia sudah meratifikasikan Konvensi Antikorupsi tersebut
pada 18 April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun demikian, Konvensi PBB tersebut tidak mengajukan kepada
kita sebuah pengertian mengenai korupsi tetapi menyebutkan
beberapa contoh korupsi seperti penyuapan kepada pejabat publik
negara, penggelapan, pencurian atau pengalihan kepemilikan oleh
pejabat publik, jual beli pengaruh, penyalahgunaan fungsi,
memperkaya diri secara melawan aturan.
Terlepas dari luasnya pengertian korupsi sebagaimana diungkapkan
secara leksikal dan contoh-contoh yang dapat dikategorikan sebagai

12
B

korupsi, berikut ini perlu diperhatikan beberapa aspek praktik korupsi:


A. Charles Sampford—direktur Institute for Ethics, Governance and Law
dari United Nations dan Grifith University, mendefinisikan korupsi
sebagai penyalahgunaan kekuasaan—khususnya kekuasaan yang
diperoleh berkat kepercayaan (privat atau publik)—demi mendapatkan
manfaat dan keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok. Frasa
“kekuasaan yang diperoleh berkat kepercayaan” menegaskan
bahwa kekuasaan merupakan titipan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kekuasaan. Adanya unsur
kepercayaan sebagai basis kekuasaan membuat penerima
kekuasaan memiliki kewajiban moral untuk
mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada pemberi kekuasaan.
Dengan demikian, kekuasaan seharusnya tidak diabdikan pada
kepentingan diri (secara egoistis) melainkan untuk melayani
kepentingan pemberi kekuasaan.
B. Lebih lanjut Sampford menjelaskan bahwa sebagai penyalahgunaan
kekuasaan korupsi dapat dibedakan atas tiga macam: grand
corruption; petty corrupiton; dan political corruption. Grand
corruption berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan pada tingkat
tinggi pemerintahan. Grand corruption mendistorsi kebijakan negara
dengan akibat kepentingan umum dikorbankan demi kepentingan
pejabat tinggi negara. Misalnya, dengan alasan yang tidak seluruhnya
jelas bagi publik, pemerintah memutuskan untuk mengimpor batu
bara dari luar negeri. Padahal produksi batu bara dalam negeri
masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik
berbasis batubara. Harganya di pasar dalam negeri pun masih
relatif normal. Tanpa transparansi dari pihak pemerintah, motif
kebijakan impor dalam kondisi seperti ini layak dipersoalkan karena
impor batubara akan dengan sendirinya meningkatkan supply yang
kemudian berdampak langsung berupa penurunan harga batu bara
dalam negeri. Dalam kasus ini pemerintah (barangkali)
diuntungkan akan tetapi produsen batu bara dalam negeri pasti
dirugikan. Petty corruption berhubungan dengan penyalahgunaan
kekuasaan yang lazim terjadi pada tingkat pejabat menengah ke
bawah dalam pelayanan sehari-hari terhadap masyarakat berkaitan
dengan barang dan jasa. Pelayanan dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan keamanan, misalnya, masuk kategori petty
corruption. Sedangkan political corruption berkaitan dengan
manipulasi kebijakan atau peraturan dalam hubungannya dengan
alokasi sumber daya dan keuangan khususnya yang dilakukan oleh
pengambil kebijakan politik. Contoh: penyalahgunaan kekuasaan oleh
wakil-wakil rakyat, masuk dalam kategori political corruption.
C. Dari segi hukum, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes), karena perbuatan korupsi bukan delik yang

13
B

berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan pelbagai perbuatan pidana


lain seperti pidana perdagangan anak dan manusia, pidana narkotika,
perdagangan senjata, perjudian, pemalsuan uang, pencucian uang
(money laundering) yang sulit dibuktikan. Disebut ‘luar biasa’ juga
karena secara sosial, korupsi menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara. Korupsi bisa dilakukan secara individual maupun
bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi atau lembaga
secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya yang
telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah
berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum,
korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan tak akan
pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang berujung
pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi, kick
back yang menyasar pejabat publik, serta bebagai perilaku koruptif
lainnya merupakan modus-modus korupsi. Predikat “kejahatan luar
biasa” (extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit sosial
yang satu ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya
korupsi bagi bangsa dan negara. (Ochulor, 2010: 466-476).
D. Kejahatan korupsi memiliki lingkup yang luas: daerah, nasional,
dan internasional. Dikatakan internasional, karena lingkup
perbuatan korupsi tidak terbatas pada wilayah negara tertentu, tetapi
memiliki jangkauan yang luas melibatkan beberapa negara. Dengan
alasan ini, korupsi mendapat perhatian global. Munculnya indeks
persepsi, konvensi, dan perjanjian internasional menunjukkan
bahwa korupsi merupakan kejahatan internasional. (Komalasari, 2015)
E. Korupsi disebut juga kejahatan organisasi, karena pelaku sering
kali terjalin dengan organisasi formal. Dengan catatan ini, kejahatan
korupsi kerap menjadi kejahatan berjemaah yang master mind nya
sering kali adalah pejabat resmi yang terlibat dalam kegiatan
illegal lainnya, misalnya perjudian, illegal logging, illegal fishing,
human trafficking dan sebagainya.
F. Berkaitan dengan konsep korupsi sebagai kejahatan organisasi,
mungkin perlu dikatakan di sini bahwa korupsi merupakan sebuah
bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan secara sistematis
sehingga memiliki jaringan tidak hanya pada organisasi politik,
tetapi juga pada organisasi bisnis, hukum, agama, dan budaya.
Praktik pemerasan dan gratifikasi dapat dijelaskan dari perspektif
penyalahgunan kekuasaan tersebut.
G. Korupsi terjadi di segala sektor kehidupan, baik sektor swasta maupun
publik yang membawa kerugian yang besar bagi masyarakat. Saat ini
KUHP dan UU Antikorupsi masih terbatas pada perbuatan korupsi yang

14
B

terjadi di sektor publik dan hanya menyangkut perbuatan mencuri


uang rakyat saja. Namun, di banyak negara lain seperti Hongkong,
Singapura, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa, UU
antikorupsi juga menangani perusahaan swasta. Kita memiliki
contoh dalam hal ini ketika dunia dihebohkan dengan kasus Enron
Corporation, Lehman Brother, dan Goldman Sachs, negara
berdasarkan wewenangnya memberikan sanksi hukum pada pihak
swasta yang terlibat. Terutama kasus Lehman Brother dan Goldman
Sachs yang telah membawa akibat dahsyat yaitu krisis ekonomi
dunia.

B. Modus Korupsi

Tidak begitu mudah memastikan bahwa sebuah perbuatan disebut


sebagai korupsi. Diskusi di antara para ahli tentang hal ini tak akan
pernah selesai. Namun demikian, sebagai perbuatan yang memiliki
karakter pembusukan, korupsi memiliki modus-modus tertentu antara
lain gratifikasi, pemerasan, suap, dan konflik kepentingan. Berikut akan
dijelaskan gratifikasi dan suap sebagai modus korupsi. Sementara
pemerasan dan konflik kepentingan merupakan implikasi-implikasi
yang muncul dalam tindak korupsi tersebut. (KPK, 2014: 10-21)
Gratifikasi
Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh siapa pun berupa
uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Praktik seperti ini sering dilakukan dalam

15
B

dunia bisnis sebagai bentuk penghargaan atas jasa yang diberikan


seorang rekan bisnis. Praktik gratifikasi dikenal luas oleh masyarakat,
tetapi praktik ini memiliki hubungan yang erat dengan korupsi.
Oleh sebab itu perlu kiranya kita membedakan antara gratifikasi
sebagai praktik budaya dan gratifikasi sebagai praktik korupsi.
Sebagai praktik budaya, gratifikasi kerap dikaitkan dengan praktik
memberikan sumbangan dan hadiah dalam masyarakat tradisional,
terutama ketika sebuah keluarga merayakan peristiwa adat tertentu.
Pada saat itu, setiap anggota masyarakat datang membawa hadiah
sebagai tanda dukungan, perhatian, dan doa bagi yang
mengadakan peristiwa adat tersebut. Pada momen tersebut,
hadiah apa pun diterima dengan ucapan terima kasih. Sering
pemberian yang diterima diketahui oleh anggota masyarakat yang
lain. Pemberian hadiah ini memiliki dimensi sosial dalam arti
memiliki ukuran kewajaran dalam arti diketahui dan dipahami oleh
banyak orang. Apa lagi, sering hadiah sebagai tanda dukungan
tersebut dimaksudkan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat
setempat yang terlibat dalam peristiwa adat tersebut.
Dalam masyarakat feodal, praktik pemberian hadiah memiliki dasar
yang berbeda. Biasanya hadiah diberikan kepada tuan tanah atau
raja. Pemberian hadiah ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki
jasa yang pantas dihargai dengan memberikan hadiah. Upeti yang
diberikan kepada tuan tanah dan raja memiliki basis kesadaran bahwa
tanah, hasil panen, dan kesejahteraan hidup tidak semata menjadi
prestasi sendiri, tetapi merupakan berkah tanah dan keamanan yang
dijaga oleh tuan tanah dan raja-raja. Yang menarik, dalam masyarakat
tradisional yang masih feodalistis, praktik memberikan hadiah memiliki
suasana menjaga solidaritas bersama meskipun harus diakui bahwa
dalam masyarakat feodalistis takaran upeti tersebut kerap ditentukan
oleh sang feudal: tuan tanah dan raja.

Gratifikasi Berpotensi Menjadi Suap dan Timbulkan Pemerasan


Hubungan kultural sebagaimana dijelaskan di atas belum menjadi
masalah sampai kepentingan bisnis dan kekuasaan mengubah makna
praktik gratifikasi. Salah satu catatan tertua mengenai perubahan
makna gratifikasi ini dapat ditemukan dalam tulisan seorang Biksu
Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7.
Menurut I Tsing, sejak abad ke 7 sudah ada praktik pemberian
hadiah oleh pedagang dari Champa (Vietnam dan Kamboja) dan Cina
kepada para prajurit penjaga pada saat ingin bertemu dengan
pejabat kerajaan Sriwijaya. Praktik seperti ini lama kelamaan
menjadi sebuah kebiasaan, sehingga pemberian hadiah dianggap
sebagai sesuatu yang lumrah.

16
B

I Tsing menggambarkan bahwa para pedagang tersebut


memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat
akan bertemu dengan pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya yang
menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut
diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Para pedagang
Champa dan Cina pun tidak merasa terpaksa karena tujuannya
adalah untuk menjalin hubungan baik dengan pihak Kerajaan
Sriwijaya.
Namun sejalan dengan berjalannya waktu, kebiasaan untuk
menerima gratifikasi tersebut menjadi sebuah keharusan, sehingga
para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa
menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan,
gratifikasi tersebut sudah berubah menjadi pemerasan. I Tsing
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai gejala pemerasan ini.
Ketika terjadi perang antara Champa dan Sriwijaya, para pedagang
Cina diminta memberikan sejumlah barang oleh para prajurit
kerajaan. Jika tidak diberikan maka mereka tidak diijinkan memasuki
pekarangan sahabat kerajaan untuk berdagang. Praktik seperti ini juga
dialami oleh para pedagang Arab yang datang ke Indonesia. Praktik
memberikan sejumlah barang kepada para petugas pelabuhan
menjadi sebuah praktik pemerasan.
Lain dari ceritera I Tsing, tulisan Verhezen (2003), Harkristuti
(2006), dan Lukmantoro (2007) mengungkapkan perubahan konsep
gratifikasi: dari gratifikasi sebagai budaya menjadi suap. Verhezen
melakukan studi pada masyarakat Jawa modern. Ia menegaskan
bahwa praktik pemberian hadiah pada atasan dan pada rekan-
rekan yang dikenal dengan baik (ada hubungan personal) telah
digunakan oleh pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi sebagai
praktik suap. Dalam bahasa yang sama, Harkristuti menjelaskan bahwa
pemberian hadiah sebagai tanda kasih dan apresiasi pada seseorang
yang berjasa sehingga menjadi momen yang menyenangkan baik
bagi pemberi hadiah maupun bagi penerimanya telah berubah
menjadi komisi. Dan ketika pemberian hadiah menjadi komisi, para
pejabat menganggap bahwa hadiah merupakan hak mereka.
Dengan demikian, gratifikasi sebagai fenomena budaya sudah
mengalami perubahan makna di dalam dunia bisnis dan birokrasi.
Sebagai fenomena budaya, gratifikasi menjadi tanda solidaritas,
hubungan kekerabatan, gotong royong. Tetapi setelah diterapkan
dalam dunia bisnis dan birokrasi, gratifikasi berpotensi menjadi suap.
Dalam dunia seperti ini gratifikasi diberikan kepada seseorang karena
ia memiliki jabatan. Gratifikasi dalam hal ini bersifat investasi dalam
arti tanam budi.

17
B

Ketika menjadi suap, gratifikasi yang tadinya datang secara


sepihak dari pemberi gratifikasi, sekarang terjadi dalam hubungan
transaksional antara pemberi suap dan penerima suap yang dalam
hal ini adalah mereka yang memiliki jabatan tertentu. Berbeda
dengan gratifikasi yang sifatnya terbuka, karena diketahui masyarakat,
hubungan transaksional antara pemberi suap dan penerima suap
bersifat tertutup. Tujuannya adalah untuk mendapatkan proyek atau
kemudahan-kemudahan tertentu. Praktik seperti ini tidak lagi disebut
gratifikasi tetapi suap. Jika masih disebut sebagai gratifikasi, maka
makna gratifikasi sudah berubah secara kultural: dari tindakan sosial
menjadi tindakan egoistis.
Praktik gratifikasi sebagai tranksaksi tersebut berakibat tragis
bagi layanan publik yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat
negara. Contoh-contoh yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa
gratifikasi tidak lagi menjadi inisiatif pemberi gratifikasi melainkan
akibat dari tindakan sepihak dari pejabat pemerintah. Tindakan yang
dimaksud adalah pemerasan. Di sini inisiatif datang dari pihak pejabat:
ia memaksa pihak lain yang sebetulnya harus dilayani. Jika demikian,
gratifikasi yang tadinya mencerminkan hubungan sosial sudah berubah
menjadi hubungan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pejabat dalam kedudukannya memaksa secara sepihak calon peserta
tender untuk memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak
diberikan akan digugurkan dalam proses tender.

Gratifikasi dan Konflik Kepentingan


Yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah situasi di mana
seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki
atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas
dan kinerja yang seharusnya ia emban.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dalam salah satu
kajiannya pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa pemberian
hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara
memiliki hubungan kausal dengan konflik kepentingan. Hubungan
kausal antara penerimaan gratifikasi dan konflik kepentingan
dimaksud dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.
Setiap gratifikasi di satu sisi dapat mengandung kepentingan
tersamar (vested interest) pihak pemberi gratifikasi entah bersifat
pribadi, kelompok, atau bisnis. Dengan menerima gratifikasi,
seseorang (profesional atau pejabat negara) di pihak lain merasa
wajib untuk memperhatikan pesan- pesan terselubung di balik
pemberian gratifikasi. Kewajiban untuk

18
B

membalas budi baik pemberi gratifikasi tersebut dapat mempengaruhi


independensinya (profesional dan penyelenggara negara) dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan wewenangnya. Ini
berarti obyektivitas dan penilaian profesionalnya diragukan.
Dalam hubungan kausalitas tersebut, seorang profesional atau
penyelenggara negara yang seharusnya memberikan penilaian yang
obyektif dalam fungsinya sebagai profesional dan pejabat negara
demi kepentingan banyak orang dapat menyalahgunakan
wewenang dengan mengambil keputusan yang tidak obyektif demi
menyelamatkan kepentinganpribadi. Denganalasanini,
pemberiangratifikasiberpotensi menimbulkan konflik kepentingan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dengan
demikian, gratifikasi merupakan sebuah jebakan yang membuat
seseorang sulit membuat pembedaan antara kepentingan individu
dan kepentingan bersama. Konflik kepentingan terkait gratifikasi
tersebut menyangkut suatu keputusan, penggunaan asset jabatan,
informasi rahasia jabatan/perusahaan, akses khusus kepada pihak
tertentu untuk mendapatkan kemudahan tanpa melalui proses yang
seharusnya, dan bahkan penentuan besarnya remunerasi (gaji).
Semuanya itu menunjukkan bahwa gratifikasi memiliki motif- motif
kepentingan pribadi atau golongan.
Dengan uraian ini kita boleh mengatakan bahwa gratifikasi dan
suap merupakan modus korupsi. Yang harus diperhatikan bahwa
berdasarkan studi-studi yang serius, gratifikasi tidak sekedar peristiwa
kultural, tetapi ada motif-motif suap. Karena itu, gratifikasi dapat
dikatakan sebagai permulaan dari tindak korupsi dan suap. Ketika
sudah menjadi suap gratifikasi yang sebelumnya dinilai sebagai
tindakan budaya menjadi kriminal karena ada pemerasan. Konflik
kepentingan pun menjadi tak terhindarkan.

19
B

C. Sebab-Sebab Korupsi

SEBAB-SEBAB KORUPSI

FAKTOR EKONOMI

FAKTOR POLITIK & TATA KELOLA FAKTOR SOSIAL


FAKTOR BUDAYA

Korupsi dapat terjadi di mana saja dalam bentuk yang beranekaragam.


Misalnya, korupsi material, karena menyangkut penggunaan uang
untuk kepentingan sendiri; korupsi politik, karena menyangkut kebijakan,
yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan sehingga
menimbulkan korupsi legislasi. Politik uang dapat dilihat sebagai
korupsi politik. Kita juga mengenai korupsi intelektual yang menyangkut
manipulasi informasi untuk mencapai tujuan tertentu yang semuanya
merugikan masyarakat.
Jika direnungkan secara lebih mendalam, korupsi merupakan sebuah
perilaku yang menyimpang. Sering perilaku tersebut didahului oleh
gejala-gejala seperti: tidak memperhatikan kepentingan umum atau
kepentingan orang lain, suka manipulasi informasi dan melakukan
mark up. Pertanyaannya sekarang, apa saja yang menjadi penyebab
potensial korupsi?
Secara teoritis, korupsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut. Pertama adalah faktor ekonomi. Herry Priyono dalam
bukunya yang berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi
menjelaskan bahwa para ahli ekonomi dewasa ini percaya bahwa ada
motif ekonomi di balik korupsi. Alasan ekonomi ini dapat dijelaskan
dengan 2 cara. Yang pertama adalah pengejaran rente. Yang dimaksud
dengan rente di sini adalah nilai ekonomi yang amat langka, yang
dapat diperoleh dengan cara-cara yang langka seperti monopoli.
Kompetisi untuk mendapatkan monopoli melibatkan berbagai cara
seperti suap, kolusi, gratifikasi, hadiah, lobi dan lain sebagainya. Yang
kedua adalah pendekatan prinsipal agen. Menurut teori ini agen tidak
lebih dari pelaksana mandat dari pihak
B

prinsipal. Korupsi terjadi karena orang yang memiliki kekuasaan


(agen) melakukan penyelewengan mandat sehingga merugikan pihak
pemberi kekuasaan (prinsipal). Kedua pendekatan ini dapat secara
bersama-sama menjelaskan gejala korupsi: dalam melaksanakan
mandat prinsipalnya, seorang agen memutuskan bahwa menyuap
kepada rekan bisnis atau pemerintah untuk meraup rente lebih
menguntungkan daripada tidak menyuap. (Priyono, 2018: 362-370)
Faktor ekonomi ini tidak dapat berdiri sendiri. Di samping faktor
ekonomi tersebut, politik dan tata kelola menjadi faktor kedua yang
menyebabkan korupsi. Kita boleh secara sederhana mengatakan
bahwa faktor ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas dapat saja
membuat tata kelola pemerintahan tidak berjalan baik. Namun demikian,
sebaliknya, pasar yang masih dikontrol oleh pemerintah dan kepentingan-
kepentingan politis dapat menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya
korupsi. Ini berarti sistem politik menjadi faktor non ekonomi bagi
munculnya korupsi. Sistem yang dimaksud di sini adalah tata kelola
pemerintahan yang tidak memberi ruang bagi kritik dan mekanisme cek
dan re-cek. Menurut para ahli politik, lemahnya transparansi dalam
administrasi publik dan demokrasi, sektarianisme, favoritisme, dan
kurang berkembangnya representasi kepentingan-kepentingan
masyarakat dapat diidentifikasikan sebagai faktor-faktor munculnya
korupsi. Dalam diskusi lebih jauh, tidak begitu penting apakah
desentralisasi atau sentralisasi menjadi faktor utama korupsi. Yang
terjadi adalah praktik desentralisasi dan over-sentralisasi memiliki
sumbangan tersendiri bagi tumbuhnya korupsi. Di India, korupsi
disebabkan oleh praktik oversentralisasi, sementara di tempat lain
desentralisasi dapat menjadi faktor tumbuhnya korupsi di daerah-daerah
(Brueckner).
Dan yang menarik, modernisasi dapat menjadi pemicu munculnya
korupsi di banyak negara sedang berkembang (Samuel Huntington).
Konsentrasi yang berkelebihan pada kekuasaan politik dan
ketidaksempurnaan aturan main dapat mendorong terjadinya korupsi
di kalangan birokrasi dan politisi. Sudah diketahui umum biaya politik yang
sangat mahal dituding sebagai penyebab korupsi. Pertanyaannya,
siapa yang sesungguhnya mendorong lahirnya biaya politik tinggi?
Masyarakat umum? Atau, pemburu kekuasaan? Membatasi diri pada
konteks Indonesia harus diakui bahwa masyarakat umum tidak lagi segan
meminta imbalan atas suaranya. Tetapi “kebiasaan” itu sesungguhnya
juga dipicu oleh perilaku para pemburu kekuasaan. Cukup banyak
pemburu kekuasaan yang bersikap pragmatis dalam meraih kursi
kekuasaan. Apa yang disebut “serangan fajar” bukan lagi rahasia. Jalan
pintas seperti itu sering digunakan para pemburu kekuasaan pada level
yang berbeda untuk memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan yang
oleh banyak pejabat justru dilihat

21
B

sebagai jalan tercepat untuk kembali melanggengkan kekuasaan


politik demi kekuasaan ekonomi. Ternyata masih saja ada figur-figur
politik yang “rela” kehilangan kehormatan dirinya (self-dignity) demi
kekuasaan politik dan ekonomi. (Priyono, 2018: 370-380)
Ketiga adalah faktor sosiologi. (Gildenhuys, 2004) Korupsi sering
terjadi di masyarakat yang memiliki ketimpangan sosial dan
ketidaksamaan derajat dan kedudukan/strata sosial. Glaeser menjelaskan
bahwa ketidaksamaan selalu menguntungkan yang kaya dan kelompok
penguasa. Kelompok ini memiliki kekuasaan dalam menentukan hak-
hak properti; mereka juga dapat menekan para penguasa politik dan
legal demi kepentingan mereka; mereka juga dapat mempraktekkan
suap untuk memperkuat jaringan bisnis mereka. Dengan demikian
korupsi memiliki akarnya pada relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan
antara yang kaya dan pemegang kekuasaan ini membuat korupsi
semakin tak terbendung. Pemegang kekuasaan membutuhkan dana
besar untuk tujuan-tujuan politiknya, sedangkan pengusaha-
pengusaha kaya membutuhkan fasilitas negara untuk memperluas
jangkauan bisnisnya. Dalam relasi kekuasaan sebagaimana dijelaskan
di atas, eksploitasi merupakan inti dinamika korupsi: di sana yang satu
memperalat yang lain.
Keempat adalah faktor budaya, terutama budaya kolonial dan
feodal. Faktor ekonomi, politik, dan sosiologi sebagaimana dibicarakan
di atas tentu tidak mutlak, bahkan memiliki batas-batas tertentu. Faktor-
faktor tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi dan dapat
pula dilihat sebagai akibat dari tindakan korupsi itu sendiri (egoism
dan ketidaksamaan). Berbeda dari faktor-faktor tersebut, faktor
budaya bersifat mutlak, karena menyangkut orientasi moral sebuah
masyarakat. Egoisme dan relasi komunal dalam sebuah masyarakat dapat
mendorong tumbuhnya korupsi dalam sebuah negara.
Studi-studi antropologi dapat menjelaskan bahwa praktik-praktik
korupsi dapat berkembang pesat terutama dalam kebudayaan
dengan ciri-ciri sebagai berikut: (Komalasari, 2015)
1. Menempatkan proyek-proyek besar di tempat di mana terdapat
kerabat, suku, dan agamanya.
2. Memberikan pekerjaan kepada seseorang yang tidak memiliki kualifikasi
untuk pekerjaan yang menuntut keahlian dan kualitas tertentu.
3. Menuntut penambahan pembayaran untuk pekerjaan yang dilakukan.
Kebiasaan-kebiasaan ini sering dilihat sebagai norma sosial. Namun
jika kita memikirkan lebih jauh, kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat
dilihat sebagai sebuah bentuk deviasi dari nilai moral. Dikatakan
deviasi karena kebiasaan ini bertolak dari sikap memberikan perhatian
berlebihan pada ‘memiliki’ daripada ‘berada.’ Deviasi kultural ini, tentu
tidak dapat
B

dipisahkan dari pragmatisme ekonomis yang telah mendorong banyak


orang untuk menaruh perhatian pada ‘memiliki’ lebih daripada yang
dibutuhkan. Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat
(Indonesia), lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol
kehormatan diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren
pada kepribadian dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri
manusia sebagai makhluk bermartabat. Predisposisi ekonomis (having)
yang dipelihara secara sadar justru membuka jalan bagi setiap orang
untuk menggadaikan self-dignity (martabat manusia) demi
kepentingan ekonomis. Pendekatan transaksional yang diperlihatkan
oleh pejabat- pejabat publik yang kemudian menular menjangkiti
masyarakat umum tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya dominasi
ekonomi, melainkan juga memperlihatkan betapa syahwat ekonomi telah
mereduksi manusia menjadi semata-mata homo economicus, manusia
ekonomi, bukan menjadi homo sapiens, manusia yang rasional yang
bijaksana.

D. Perlawanan Hukum Melawan Korupsi


Korupsi merusak moral masyarakat, mengkhianati hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, bahkan dalam arti tertentu mengabaikan demokrasi.
Ia juga merupakan salah satu bentuk subversi hukum yang menjadi sendi
terpenting dari kehidupan modern. Karena itu tidak heran jika Deklarasi
Lima menyerukan agar setiap orang di dalam masyarakat dalam kedudukan
apa pun melawan korupsi.
Di Indonesia perlawanan hukum melawan korupsi dibangun di atas
dasar UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999
tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-
undang ini memiliki jangkauan yang luas tentang korupsi sebagai
tindak pidana menyangkut kerugian keuangan negara, suap menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Berhubungan dengan
itu, UU tentang pemberantasan korupsi ini juga memuat pasal tentang
hal merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, hal tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang
tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang
yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor.
(KPK, 2006: 5-93)
Secara khusus, UU tentang pemberantasan korupsi ini menegaskan
bahwa gratifikasi bukanlah sebuah tindakan yang netral terhadap konflik
kepentingan, karena seseorang yang mendapat gratifikasi biasanya
orang yang memiliki jabatan tertentu, entah ia menjadi penjabat publik

23
B

atau bukan. Gratifikasi dalam hal ini membuat seseorang dalam


jabatan tertentu tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam
memberikan penilaian terhadap pemberi gratifikasi. Ketika ini terjadi
gratifikasi dapat menjadi suap.
Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, dengan alasan
budaya, gratifikasi seakan-akan menjadi hal yang sulit ditolak. Setiap
orang yang memberikan gratifikasi akan merasa dirinya dipermalukan
jika pemberiannya ditolak. Namun demikian, justru di sinilah terletak ironi
gratifikasi. Pejabat yang kerap menerima gratifikasi lebih mudah
terjerumus ke dalam tindak pidana korupsi dari pada mereka yang
tidak menerima gratifikasi. Kebiasaan untuk menerima gratifikasi
membuat seseorang tidak menahan diri terhadap godaan suap,
pemerasan dan tindak pidana korupsi lainnya. Dengan perkataan lain,
gratifikasi merupakan suap yang tertunda.
Dengan alasan ini Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001
menasehati setiap pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara
untuk menolak gratifikasi, karena gratifikasi berpotensi menjadi satu jenis
tindak pidana korupsi. Seandainya terpaksa diterima dengan segala alasan,
setiap penerima gratifikasi wajib melaporkannya ke KPK dalam waktu
kurang dari 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.

Pasal 12 B berbunyi:

“Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap

Pasal 12 C berbunyi:
“Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan

Pasal ini secara tidak langsung ingin mengakui bahwa gratifikasi


sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat merupakan sesuatu yang positif
karena meningkatkan solidaritas, ucapan terima kasih, dan meningkatkan
relasi kekerabatan. Namun, karena pemberian gratifikasi mengandung
vested interest, maka gratifikasi yang diberikan kepada pegawai
negeri sipil dan penyelenggara negara merupakan suatu perbuatan pidana
suap. Dikatakan demikian karena setiap pemberian gratifikasi patut
diduga berkaitan dengan jabatan dan kewenangan yang dimiliknya.

24
B

Dengan alasan tersebut, jika seseorang dalam kedudukannya sebagai


pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara menerima gratifikasi,
untuk memutuskan kepentingan pribadi yang timbul dalam hal
penerimaan gratifikasi, ia harus memberikan laporan kepada KPK.
Berkaitan dengan itu periodisasi waktu pelaporan menjadi penting. Para
pejabat yang menerima gratifikasi diberi kesempatan untuk memikirkan
apa tindakannya benar dan mengambil jarak terhadap vested interest
yang terselubung di balik gratifikasi.

E. Penutup
Diskusi mengenai korupsi memiliki jangkauan yang luas. Sebagai
fenomena sosial, korupsi memiliki akar pada praktek politik, bisnis,
struktur masyarakat, dan kebudayaan. Terutama dalam hal
kebudayaan, korupsi memiliki akarnya pada praktik gratifikasi.
Untuk mengatasi korupsi, langkah hukum dapat diambil. Dengan
alasan ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia berusaha mengambil langkah-
langkah penegakan hukum. Di Indonesia berlaku UU No. 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang tersebut menjadi landasan bagi
semua usaha legal atas tindak pidana korupsi. Dengan asumsi bahwa
korupsi dapat berawal dari praktik-praktik gratifikasi, KPK mencoba
mengambil tindakan penegakan hukum berkenaan dengan praktik
gratifikasi yang berpotensi suap tersebut.
Apa pun usaha yang dilakukan untuk melawan korupsi dari segi
hukum, efektifitasnya harus dipikirkan lebih lanjut. Sebagai sebuah
upaya hukum, perlawanan terhadap korupsi mengikuti langkah-
langkah seperti: mengawasi, menyelidiki, dan menghukum yang melawan.
Padahal perlawanan terhadap korupsi harus menyentuh kerangka
berpikir, perubahan pada pandangan, nilai, dan standar etis. Berjaga-
jaga, transparansi, keterbukaan, perlengkapan institusi merupakan sarana
yang perlu untuk membongkar keburukan korupsi serta akibat negatifnya
bagi manusia dan masyarakat. Dengan alasan ini, korupsi lebih dari
sekedar masalah legalitas, ia menjadi masalah moral.
Tentang hal ini, Laura Underkuffler (lihat Priyono, 2018: 545)
membuat pembedaan yang tegas antara pelanggaran hukum dan
pelanggaran moral dalam 2 proposisi berikut:
Proposisi pertama: A melanggar hukum
Proposisi kedua: A itu korup
Dalam proposisi pertama, kita mencela perbuatan, karena hukum tidak

25
B

pernah menghukum sesuatu yang tidak diperbuat. Sedangkan dalam


proposisi kedua kita justru mencela kualitas orang yang
melakukannya. Dengan contoh proposisi ini kita bisa mengatakan
bahwa apa yang diungkap dengan konsep korupsi tidak identik dengan
tindakan dan tidak dapat sepenuhnya tertampung oleh tindakan, sebab
konsep korupsi mengungkapkan status watak pelaku dan ciri
perbuatannya. Dengan menyentuh korupsi sebagai status watak
seseorang, defisit moralitas menjadi alasan terjadinya korupsi.
Dengan alasan ini penegakan hukum tidaklah cukup. Dibutuhkan
pendekatan etis, selain membongkar alasan- alasan moral di balik
korupsi juga membangun kehendak moral untuk menolak korupsi. Etika
sebagai refleksi atas hidup moral manusia menjadi bagian tak terpisahkan
dari usaha untuk membangun sebuah masyarakat yang bebas korupsi.
Bab-bab berikut akan mendiskusikan korupsi sebagai masalah moral,
sebuah masalah yang tidak hanya merusak tatanan kehidupan normal
dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu melenyapkan kebaikan
manusia sebagai manusia. Karena korupsi memiliki akar-akar yang
mendalam dalam kehidupan sosial struktural, maka pemikiran yang
ingin dibangun di sini adalah peningkatan integritas profesional. Ini
berarti yang ingin dibangun di sini tidak saja kualitas moral perorangan,
tetapi membangun budaya etika organisasi. Untuk tujuan tersebut tiga
bab berikut berturut- turut mencoba menjawab permasalahan tersebut
dengan menjelaskan apa artinya etika antikorupsi, etika profesi melawan
korupsi, dan integritas publik.

26
Etika Antikorupsi ?

BAB II:
APA ITU ETIkA ANTIkORUPSI?
BA

Dalam bab sebelumnya kita sudah mengatakan bahwa korupsi tidak hanya
merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah
moral. Sebagai masalah hukum, korupsi merupakan sebuah perbuatan
melawan hukum positif negara tertentu, karena itu perlu ditangani
dengan prosedur hukum. Tetapi, korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih
substansial dari yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Hukum memang
membantu kita untuk memahami korupsi sebagai perbuatan yang tidak
pantas dillakukan. Modus-modus korupsi seperti gratifikasi dan suap yang
disertai dengan pemerasan benar-benar merupakan pelanggaran hukum
yang pantas dihukum dan dikenai sanksi. Tetapi jantung pengertian
korupsi bukanlah persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami
sebagai korupsi bukan pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan
karena ciri immoral korupsi itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi
merupakan sebuah masalah moral karena menunjuk pada perbuatan yang
seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi tidak terjadi. Disebut melawan moral
karena melawan kebaikan perbuatan manusia yang seharusnya ada,
ternyata tidak ada.
Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini? Apabila moral menyangkut
pedoman baik dan buruk, bagaimana kita bisa memastikan bahwa korupsi
merupakan sesuatu yang melawan kebaikan?
Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan
menjelaskan bagaimana etika dan teori-teorinya menjelaskan dimensi moral
antikorupsi. Secara konkrit, bab ini akan menjelaskan beberapa hal, yaitu
pengertian etika dan etika antikorupsi, penalaran etis dan argumentasi
etis melawan korupsi, dan dimensi institusional etika antikorupsi.

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah


agar mahasiswa:
1. Membedakan antara pertanyaan etika dan pertanyaan-
31
pertanyaan lainnya dalam area ilmu pengetahuan.
2. Memahami cara kerja etika sebagai refleksi rasional dan
mampu
membedakannya dari etiket.
3. Mampu membangun sendiri penalaran etika antikorupsi.
BA

A. Apa itu Etika?

Filsuf besar Immanuel Kant sudah lama menjelaskan bahwa


pertanyaan etika berbeda dari pertanyaan ilmu pengetahuan dan
pertanyaan agama. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan,
para ilmuwan berusaha menjawab pertanyaan pokok, apa yang dapat saya
tahu. Pertanyaan ini menentukan proses penemuan ilmu pengetahuan dan
verifikasi pengetahuan yang sudah diperoleh. Diskusi mengenai logika
pembuktian menjadi penting dalam filsafat pengetahuan dan ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, pertanyaan agama memiliki arah yang berbeda.
Inti pertanyaannya adalah apa yang boleh saya harapkan. Pertanyaan ini
membuat kita menemukan alasan-alasan paling meyakinkan dari perlunya
agama dan pemikiran tentang masa depan manusia. Diskusi mengenai sejarah
kadang-kadang menyentuh pertanyaan ini juga.
Kita dapat saja terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan di atas ketika
kita berbicara tentang etika. Kerapkali kita mengharapkan agar etika
dapat menjawab pertanyaan menyangkut inovasi pengetahuan moral dan
peranannya bagi harapan masa depan. Bahkan kita mengharapkan agar
etika dapat membantu kita agar kita bisa mengatur kehidupan personal dan
menata kehidupan sosial. Namun sebagaimana dikemukakan Kant, pertanyaan
tersebut tidak menjadi inti pertanyaan etika. Sebenarnya etika memiliki
permasalahannya sendiri. Ia harus menjawab pertanyaan fundamental:
apa yang seharusnya saya lakukan? Bagaimana saya harus hidup dan
bertindak?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, Kant ingin
memastikan bahwa etika merupakan ilmu praktis yang fokus pada tindakan-
BA

tindakan manusia dalam relasinya dengan orang lain dalam masyarakat. Dan
dengan berbicara tentang apa yang seharus dilakukan, Kant ingin menegaskan
bahwa etika bersifat normatif, sama seperti hukum tetapi dengan alasan-
alasan dan penalaran yang berbeda.
Tentu harus dikatakan bahwa istilah etika sendiri memiliki makna leksikal
yang jauh lebih luas dari yang dipikiran Kant. Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi I tahun 1988 mengungkapkan 3 makna etika. Pertama, etika berarti
nilai- nilai atau norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau
suatu masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kerap
disamakan dengan kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik dan
yang buruk secara moral atau studi tentang moralitas manusia. Dalam arti
ketiga inilah, etika sama dengan filsafat moral. Makna ini sebenarnya sudah
tergambarkan dalam istilah Latin ethice, ethica, yang berarti filsafat moral.
Ketika Kant merumuskan gagasannya tentang etika, yang ia
maksudkan sebenarnya adalah sebuah cabang filsafat yang memiliki tugas
mencari alasan-alasan rasional dan kritis mengapa seseorang harus tunduk
pada aturan-aturan moral. Yang dimaksudkan oleh Kant dengan ‘rasional-
kritis’ memiliki pengertian yang luas. Setiap manusia memiliki
kemampuan untuk berpikir sendiri dan harus dapat berpikir sendiri.
Otonomi berpikir di sini menjadi penting, karena bagi Kant, ini adalah
kemampuan alamiah yang dimiliki manusia untuk mempertanyakan banyak
hal termasuk aturan-aturan moral. Martin Heidegger bahkan lebih tegas
menjelaskan bahwa berpikir sendiri sambil mempersoalkan banyak hal
merupakan kesucian hidup sebagai manusia, karena hanya dengan bertanya,
manusia dapat membuka relasi yang bebas dengan dunia sekitar.
Dengan mempertanyakan secara kritis ajaran moral tidaklah berarti bahwa
ajaran moral tidaklah penting bagi hidup manusia. Harus dikatakan di sini
bahwa ajaran moral yang disajikan melalui wejangan-wejangan, khotbah-
khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah
lisan atau tertulis dapat membantu kita untuk berbuat baik. Ada keyakinan
bahwa ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk tentang
bagaimana kita harus hidup. Namun demikian, masih diperlukan sebuah
refleksi rasional atas ajaran moral agar kita dapat
mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan dan tindakan kita yang
tunduk pada ajaran moral tersebut. Bahkan refleksi rasional kritis atas
ajaran moral dibutuhkan agar kita dapat melihat dengan jelas alasan-
alasan rasional di balik ajaran-ajaran moral itu. Dengan demikian membuat
refleksi atas aturan-aturan moral berarti menerima aturan-aturan moral
tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan logis.
Karena pada intinya etika merupakan sebuah refleksi rasional kritis
atas moralitas manusia ini, etika berbeda dengan tegas dari etiket. Kedua
istilah tersebut kadang dipahami sebagai sama. K. Bertens dalam bukunya
yang berjudul Etika, menyebut sekurang-kurangnya 4 perbedaan. Pertama,
etiket

33
BA

berkaitan dengan cara suatu perbuatan atau tata karma, sedangkan etika
memberi nilai pada cara. Artinya, etika memberi norma dan menilai suatu
perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Kedua, etiket lebih menekankan fungsi
sosial–relasional, sedangkan etika menekankan fungsi eksistensial. Etiket
hanya berfungsi dihadapan orang lain. Misalnya, jika kita berjalan dan di
sana terdapat banyak orang kita wajib mengucapkan salam ‘permisi’. Hal itu
tidak berlaku apabila Anda berjalan di jalanan yang sepi dan tidak ada orang
lain. Etika juga diperlukan dalam relasi sosial, namun keberlakuannya
tidak tergantung pada kondisi tertentu. Etika berkaitan dengan kesadaran
dan komitmen pribadi. Misalnya, menghargai hidup manusia itu tidak
tergantung pada ada tidaknya orang. Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan
etika bersifat universal dan absolut. Etiket pada umumnya berlaku pada satu
tempat, namun belum tentu berlaku di tempat lain. Etika bersifat universal
dan absolut karena etika berlaku bagi siapa saja, di mana saja, serta kapan
saja. Bersifat absolut karena etika wajib menjadi pegangan dalam
berperilaku. Keempat, etiket diukur dari sisi lahiriah, sedangkan etika
melebihi sisi lahiriah. Dalam etiket, penilaian diletakkan pada penampilan,
seperti cara berpakaian, cara duduk, dan perbuatan lahiriah lainnya.
Sementara etika meletakkan penilaian pada maksud, kehendak, motivasi, dan
suara hati. (Bertens, 1987)
Dengan karakter sebagai refleksi rasional kritis, bukan mustahil etika
dapat membangun dirinya secara lebih mendalam mendiskusikan prinsip-
prinsip atau norma-norma etis umum, seperti kebebasan, tanggung jawab,
otonomi, keadillan. Pada tingkat ini etika menjadi sebuah orientasi rasional
dan kritis agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap
pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup,
melainkan agar ia dapat mengerti sendiri mengapa ia harus bersikap.
Etika membantu agar ia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan
kehidupannya dengan menggunakan seluruh pikiran dan nalarnya. Atau
dalam rumusan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Dasar,
Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, etika merupakan ilmu yang mencari
orientasi. Orientasi rasional tersebut perlu agar kita tahu di mana kita berada
dan ke arah mana kita bergerak untuk mencapai tujuan kita yang sebenarnya.
(Magnis-Suseno, 1987: 5)
Dengan fungsi seperti ini, etika tidak hanya membantu kita untuk
mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral
dalam menata kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa
teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam
menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut
dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang
dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai
fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi.
BA

B. Dimensi Etis Gerakan Antikorupsi


Ada sebuah asumsi yang dipegang teguh dari setiap pembicaraan
mengenai etika. Setiap manusia adalah makhluk moral dalam arti apa pun
yang ia lakukan menentukan status moralnya entah sebagai manusia yang
baik maupun sebagai manusia yang buruk. Dari pespektif ini, setiap orang
seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-perbuatannya
dan pertanggungjawaban moral tersebut amat sangat ditentukan oleh
apakah tindakannya benar-benar sejalan dengan standar moral yang diterima
umum atau tidak. Kebaikan dan keburukannya sebagai manusia
ditentukan oleh apakah perbuatannya sesuai dengan hukum moral atau
standar moral yang berlaku bagi hidup sebagai manusia.
Secara sosiologis hal ini bisa dipahami. Setiap manusia merupakan produk
kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan hidup, agama, dan media.
Dalam ruang moral masyarakat tersebut, manusia hidup dan mengambil
bagian dalam kehidupan masyarakat. Bahkan kita bisa melihat bagaimana
identitas diri dari segi moral kerap kali berpautan dengan nilai dan moral
masyarakat.
Dengan asumsi-asumsi filosofis dan sosiologis tersebut, korupsi sudah
dapat dilihat sebagai sebuah masalah. Secara sederhana, korupsi dapat
dilihat sebagai sebuah manifestasi pembalikan kepada insting egoisme
dan kerakusan yang mengabaikan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang
lebih luas dan bahkan kodratnya sendiri sebagai manusia. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa korupsi memiliki kemungkinan akan menghancurkan
kehidupan pribadi dan sosial, dan karena itu juga masyarakat akan berjuang
melawan korupsi. lalu, pertanyaannya sekarang: bagaimana etika sebagai
refleksi membangun argumentasi menolak korupsi? Langkah-langkah
konstruktif apa yang harus dibangun dilihat dari etika?
Herry Priyono dalam buku yang berjudul Korupsi mencoba menjawab
pertanyaan dengan sebuah jawaban yang sederhana: Refleksi etika mengenai
korupsi pada dasarnya sudah antikorupsi. Dikatakan antikorupsi karena korupsi
merupakan tindakan yang secara moral buruk: tujuannya buruk, tindakannya
sendiri buruk, dan dampaknya buruk. Bagaimana menjelaskannya? Apakah
penilaian ini memiliki basisnya pada argumentasi etis dan kriteria-kriterianya?
Beberapa teori etika seperti teori utilitarianisme, teori deontologi, dan teori
etika keutamaan dapat digunakan sebagai panduan untuk menjawab
pertanyaan ini. (Priyono, 2018: 458-472)
Pertama, dari segi dampak tindak korupsi. Asal usul dari argumentasi
ini berasal dari filsuf-filsuf aliran utilitarianisme, terutama pemikiran Jeremy
Bentham (1748-1832). Filsuf yang memiliki minat besar pada hukum ini
memiliki argumentasi bahwa kemaslahatan bagi sebanyak mungkin orang
merupakan kriteria penting bagi baik buruknya sebuah perbuatan. Moralitas
tidak dapat

35
BA

dipisahkan dari utilitas, kegunaan, manfaat. Sebuah perbuatan memiliki mutu


moralitas tinggi jika perbuatan tersebut memberikan manfaat
kebahagiaan yang terbesar bagi sejumlah besar orang. Inilah prinsip dasar
utilitarianisme: the greatest happiness for the greatest number. Sebaliknya,
perbuatan atau kebijakan dapat dikatakan buruk jika manfaat tindakan tidak
diarahkan pada kebahagiaan banyak orang.
Dengan alasan ini Benthan menjadi sangat kritis terhadap peraturan-
peraturan yang dikeluarkan di Inggris pada masa hidupnya, seperti hukuman
rajam bagi dua kekasih yang berzinah dan hukuman yang keras bagi para
perusak pagar perkebunan bangsawan dan pemilik tanah. Bagi Bentham
hukum seperti ini bermasalah karena tidak berorientasi pada pertimbangan
akibat perbuatan tersebut bagi kesejahteraan umum. Sebaliknya,
Bentham menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara
tindakan- tindakan alternatif, kita harus mengambil satu pilihan yang
memiliki konsekuensi yang memiliki manfaat yang besar bagi kebahagiaan
semua yang terlibat di dalamnya.
Gagasan Benthan ini menimbulkan kritik karena pikirannya tentang
apa yang disebut kebahagiaan tersebut. Ia menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan kebahagiaan adalah menghindari rasa sakit dan
memperbesar nikmat. Bagaimana mungkin nikmat menjadi dasar bagi
kebaikan etis? Muridnya John Stuart Mill mencoba menjelaskan dengan
cara yang lebih elegan. Prinsip kebahagiaan merupakan tujuan terakhir.
Menghindari rasa sakit orang lain harus menjadi ukurannya, karena itu
adalah tuntutan minimalnya. Bagi Mill pengalaman rasa sakit manusia perlu
diperhatikan, karena tanpa pertimbangan efek seperti itu tindakan dan
kebijakan pantas dipertanyakan. Bahkan apa yang kita sebut dengan rasa
keadilan, tak pernah bisa dipisahkan dari pengalaman rasa sakit sebagai
manusia. Jadi tidak sekedar meningkatkan nikmat, tetapi menghindari rasa
sakit. Prinsip ini kemudian menjadi bagian usaha para pengikut
utilitarianisme mendorong agar pengalaman rasa sakit yang dialami
manusia dan hewan harus mendapat pertimbangan dalam penilaian etis.
Dalam dunia kekinian, pertimbangan rusaknya lingkungan menyebabkan
kesengsaraan generasi berikutnya.
Pemikiran ini memiliki implikasi yang besar bagi pengertian kita tentang
moralitas dan tentang korupsi. Yang pantas diperhatikan adalah kriteria
ini mengantar kita kepada pemikiran tentang dampak bagi tindakan-
tindakan dan kebijakan yang diambil. Dengan pertimbangan ini, Bentham
dan Mill ingin menegaskan bahwa moralitas itu bukanlah hal ketaatan
buta pada aturan-aturan moral. Pertimbangan manfaat harus menjadi kriteria
penting dari ketaatan pada aturan-aturan moral tersebut. Kerap
pertimbangan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang ini
dilengkapi dengan pertimbangan efisiensi costs and benefits dari setiap
tindakan dan kebijakan. Neraca pertimbangan ini perlu dibuat sebelum
sebuah tindakan diambil.
BA

Efisiensi yang lebih tinggi menjadi tolok ukur manfaat yang lebih besar.
Pemahaman utilitarianisme ini bisa misleading. Salah satu kritik terhadap
pertimbangan ini tersebut tidak adil terhadap kepentingan-kepentingan yang
tidak menjadi kepentingan mayoritas.
Dengan pertimbangan ini, korupsi memang dapat dinilai buruk dari
segi moral, karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan tersebut
merusak kemaslahatan bersama. Tindakan tersebut juga dapat membawa
akibat yang buruk bagi masyarakat dan menimbulkan penderitaan bagi
banyak orang. Kita bisa membayangkan lebih jauh akibat korupsi. Secara
mendasar korupsi dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang
mengikatkan manusia satu sama lain. Kita juga dapat membayangkan bahwa
korupsi dapat merusak kehidupan manusia dalam masyarakat dan cita-cita
untuk membangun kehidupan bersama di atas dasar common good.
Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah sabotase melawan
manusia, kepentingan semua orang baik laki maupun perempuan, dewasa
dan anak-anak yang seharusnya memiliki hak dasar untuk menikmati
kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang wajar.
Kritik utilitarianisme terhadap korupsi tersebut pantas diperhatikan. J.J.
Rousseau pernah menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, setiap orang
selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Penghargaan satu sama lain
tersebut terjadi karena setiap orang menghargai properti pribadi dan
bersama. Namun, sebagaimana Rousseau meramalkan, manusia dapat menjadi
serigala untuk manusia yang lain (Hobbes) ketika ia ingin mengambil untuk
dirinya apa yang menjadi properti orang lain dan properti bersama. Ini adalah
akibat fatal perbuatan korupsi.
Namun, dengan kriteria manfaat dari pemikiran utilitarianisme tidak
seluruhnya tepat dan bahkan dapat menimbulkan masalah bagi etika
antikorupsi itu sendiri. Manfaat kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang sulit diukur jika kita melihat dampak jangka panjang. Banyak perbuatan
suap dibenarkan karena membawa manfaat bagi perusahaan dan organisasi.
Namun, sikap toleran terhadap korupsi tersebut justru terjadi karena jebakan
ini. Kita tidak pernah membayangkan bahwa praktik tersebut sudah merusak
seluruh tatanan institusional yang menghargai hak dan keadilan. Dengan
alasan ini, etika antikorupsi membutuhkan pertimbangan etis lain yaitu
pertimbangan motif sebuah tindakan.
Pertimbangan lain yang dimaksud adalah kewajiban terhadap hukum moral
itu sendiri. Ini adalah kriteria kedua etika antikorupsi. Menurut pertimbangan
ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-
perbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap
orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan
karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai

37
BA

moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan
bertentangan dengan hukum moral.
Argumentasi ini dibangun oleh teori deontologi (deon berarti kewajiban)
yang secara khusus dikembangkan oleh Kant. Menurut Kant aturan moral
harus ditaati tanpa pengecualian. Untuk memahami apa yang ia maksudkan,
Kant membuat sebuah pembedaan antara imperatif (perintah) kategoris dan
imperatif hipotetis. Dalam pemikirannya, imperatif kategoris berarti imperatif
yang mewajibkan sementara imperatif hipotetis, artinya imperatif yang tidak
wajib dilaksanakan kecuali jika kita menyetujui syaratnya. Bunyi imperatif
hipotetis misalnya seperti berikut: (Rachels, 2004, 223)
“Kalau Anda ingin menjadi pemain catur yang baik, Anda wajib mempelajari perm

“Kalau Anda ingin masuk sekolah hukum, Anda wajib mendaftarkan diri
untuk mengikuti ujian masuk.”

Kewajiban untuk mempelajari permainan Garry Kasparov hanya penting


jika saya ingin menjadi pemain catur. Begitu juga saya harus mendaftarkan
diri mengikuti ujian masuk, jika saya setuju untuk masuk fakultas hukum.
Tanpa menyetujui syarat-syarat tersebut, saya tidak wajib mempelajari
permainan Garry Kasparov dan mendaftarkan diri mengikuti ujian masuk.
Aturan-aturan moral, sebaliknya, merupakan kewajiban kategoris, artinya
tidak tergantung pada syarat keinginan tertentu. Kant memberikan
sebuah contoh sederhana. Ia berargumen bahwa berbohong tak pernah
dapat dibenarkan, apapun keadaan lingkungannya. Hal yang mewajibkan
saya tentu tidak berasal dari keinginan saya semata-mata tetapi karena apa
yang mewajibkan saya tersebut benar-benar rasional dan universal. Artinya,
siapa pun sebagai makhluk rasional akan menerima bahwa saya tidak pernah
boleh berbohong. Dengan contoh sederhana ini, Kant sampai pada sebuah
proposisi yang hingga kini dikenal: “Bertindaklah hanya menurut kaidah
dengan mana Anda dapat sekaligus menghendaki supaya kaidah itu berlaku
sebagai hukum universal.”
Kembali ke contoh imperatif “jangan berbohong,” Kant membuat sebuah
silogisme sebagai berikut: (Rachels, 2004: 227)
1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan
aturan yang kita inginkan diatur secara universal.
2. Jikalau kita berbohong, maka kita mengikuti aturan berikut,
“Berbohong itu diizinkan”

38
BA

3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan


menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu
sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa berbohong itu tidak
ada gunanya.
4. Oleh karena itu, kita jangan berbohong.
Dengan demikian Kant sebenarnya merumuskan prosedur untuk
memutuskan apakah suatu tindakan secara moral diizinkan. Jika Anda
mempertimbangkan untuk melakukan suatu tindakan, Anda harus
bertanya aturan mana yang akan Anda ikuti jika harus melakukan
tindakan itu. Tidak berhenti di sini. Anda harus bertanya juga apakah Anda
akan menerima aturan itu untuk diikuti oleh setiap orang sepanjang waktu.
Jika ya, aturan itu pun bisa diikuti, dan tindakan itu boleh dilakukan. Jadi
aturan itu harus bersifat universal.
Pemikiran Kant ini tampaknya sangat formalistis dan kaku. Namun,
prosedur yang diusulkannya sebenarnya mudah diikuti logikanya. Dengan
prosedur ini, kita bisa berbicara tentang argumentasi melawan suap dan
korupsi: “Jangan menerima suap.” Imperatif ini sudah diketahui umum baik
oleh pegawai negeri maupun oleh pimpinan perusahaan. Bagi Kant, imperatif
tersebut tidak hipotetis, tidak hanya karena kerap sudah menjadi bagian dari
janji atau sumpah jabatan, tetapi diterima oleh setiap orang. Dalam
perspektif Kant, melawan imperatif tersebut berarti melawan akal sehat dan
moral yang universal. Mengikuti silogisme yang sama ketika Kant berbicara
tentang imperatif jangan berbohong, kita seharusnya sampai pada kesimpulan
bahwa korupsi itu dilarang.
1. Kita harus melakukan hanya tindakan-tindakan yang sesuai dengan
aturan yang kita inginkan diatur secara universal.
2. Jikalau kita korupsi, maka kita mengikuti aturan bahwa, “Korupsi itu
diizinkan”
3. Aturan ini tidak dapat dianut secara universal karena akan
menggagalkan maksud dirinya. Orang akan berhenti percaya satu
sama lain, dan kemudian akan mengatakan bahwa korupsi itu tidak
ada gunanya.
4. Oleh karena itu, kita jangan korupsi.
Kriteria ketiga berhubungan dengan tujuan tindakan itu sendiri yaitu
mencapai kebahagiaan sebagai manusia rasional. Yang dimaksud dengan
kebahagiaan di sini berbeda dengan konsep utilitarianisme. Jika pada
utilitarianisme kebahagiaan berhubungan dengan pengalaman rasa sakit
dan rasa senang, kebahagiaan yang dimaksud di sini lebih substansial: yaitu,
keterarahan menuju kepenuhan kodrat sebagai manusia rasional.
Argumentasi etis ini kerap disebut dengan istilah teleologis (telos, bahasa
Yunani, berarti tujuan), karena nilai etis dari sebuah tindakan terletak dari

39
BA

apakah tindakan tersebut benar-benar membuat kita menjadi lebih manusiawi


atau tidak. Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, merupakan tokoh penting
dalam aliran teleologis ini. Ia berargumentasi bahwa tujuan akhir hidup
manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia yang berarti jiwa yang baru).
Ini adalah tujuan tertinggi atau terakhir. Tujuan tersebut seakan-akan
menjadi puncak dari semua tujuan-tujuan lain yang bisa dicapai setiap orang
menurut pekerjaannya. Misalnya, tujuan pengetahuan kedokteran adalah
kesehatan, tujuan keterampilan tukang sepatu adalah pembuatan sepatu,
tujuan dari seni strategi adalah kemenangan, tujuan para ekonom adalah
hidup yang berkecukupan. Ini berarti kebahagiaan terletak pada
keterarahan menuju kepenuhan kodrat sebagai dasar mengapa sesuatu itu
ada. Dan tujuan tertinggi dari semuanya adalah kodrat manusia sebagai
makhluk rasional.
Pemikiran Aristoteles tidak berhenti di sini. Lebih lanjut ia menambahkan
bahwa tujuan baik saja tidak cukup. Perlu juga dengan cara yang benar.
Dengan asumsi ini Aristoteles berbicara tentang arête, atau keutamaan.
Yang dimaksud dengan keutamaan adalah sifat karakter yang tampak dalam
tindakan sehingga menjadi kebiasaan. Harus dikatakan di sini kebiasaan
itu penting. Keutamaan kejujuran, misalnya, tidak dimiliki oleh seseorang
yang hanya kadang-kadang mengatakan kebenaran atau hanya kalau hal
itu menguntungkannya. Seseorang dikatakan orang yang jujur karena
kejujuran merupakan prinsip dari tindakan-tindakannya. Ia
melaksanakannya setiap hari. Jadi, tidak karena ia senang. Orang jujur
karena sudah menjadi kebiasaan.
Kebiasaan tersebut tentu belum menjelaskan sifat dan karakter yang
sebenarnya. Harus ada unsur lain, yaitu, kebaikan itu sendiri. Di sini
Aristoteles membuat sebuah pembedaan yang pantas diperhatikan. Ia
menunjukkan bahwa setiap orang memiliki fungsinya dalam masyarakat dan
karena itu, ia memiliki keutamaan berdasarkan fungsi dan peranannya.
Seorang tukang kayu memiliki keutamaan sebagai tukang kayu, seorang
prajurit memiliki keutamaan sebagai prajurit, dan seorang ilmuwan
memiliki keutamaan sebagai ilmuwan. Namun, baik tukang kayu, prajurit,
dan ilmuwan adalah manusia, karena itu keutamaan tertinggi tentu
adalah keutamaan menjadi pribadi sebagai manusia. Dalam tulisannya
Nichomachean Ethics, Aristoteles menyebut beberapa keutamaan, antara lain
keberanian, kebijaksaan, keadilan, ugahari, murah hati, persahabatan,
belas kasih, penguasaan diri. Kita tidak akan menjelaskan satu per satu
keutamaan di sini. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah mengapa
keutamaan menjadi penting di sini. Tujuan utama argumentasi Aristoteles
adalah pengembangan karakter. Artinya, setiap orang harus memiliki karakter
tertentu dengan keutamaan-keutamaan tertentu. Dan karakter itu
menunjukkan keunggulannya.
Pengikut Aristoteles, A. MacIntyre menjelaskan bahwa setiap masyarakat
sebenarnya bisa membantu pengembangan karakter tersebut. Ada
masyarakat yang menekankan etos kepahlawanan, ada yang mengembangkan
BA

etos keterbukaan, dan bahkan ada yang mengembangkan etos kesuksesan.


Etos-etos tersebut menentukan narasi hidup setiap orang. MacIntyre juga
menjelaskan bahwa penekanan keutamaan kerap berhubungan dengan
konteks persoalan sosiologis masyarakat. Keberanian misalnya merupakan hal
yang baik karena kehidupan ini penuh dengan bahaya dan tanpa keberanian
kita tak akan dapat menghadapinya. Kemurahan hati diinginkan karena
ada sejumlah orang yang memang berada dalam keadaan lebih buruk
daripada yang lain dan mereka membutuhkan pertolongan.
Tetapi harus ditambahkan bahwa Aristoteles memikirkan karakter
yang diinginkan oleh semua manusia yaitu menjadi manusia rasional yang
berpikir dengan prinsip jalan tengah, tidak terlalu ke kiri tidak terlalu ke
kanan. Ugahari misalnya adalah keutamaan moral untuk tetap berada di
tengah, di antara boros dan kikir; keberanian adalah keutamaan moral di
antara sifat pengecut dan gegabah. Dengan demikian kebijaksanaan menjadi
karakter moral praktis yang selalu diidam-idamkan Aristoteles.
Bertolak dari argumentasi etika keutamaan ini, tindakan korupsi pada
intinya melawan integritas sang pelaku tindakan: yang seharusnya
menjadi rasional menjadi tidak rasional, yang seharusnya menjaga
keadilan tidak melaksanakan keadilan, yang seharusnya memelihara
kesehatan tetapi menjadikan kesehatan sebagai komoditi. Aristoteles seakan-
akan mendesak agar setiap orang tidak melawan dirinya sendiri dengan
bertindak irasional untuk mencapai kebahagiaannya sebagai manusia.
Pandangan Aristoteles ini memiliki sumbangan tertentu bagi gagasan
integritas. Korupsi itu terjadi karena orang tidak memiliki integritas dirinya
sendiri, ia mudah terombang – ambing. Tentu harus diakui bahwa korupsi
seringkali dipicu oleh materialisme, sebuah pandangan atau sikap filosofis
praktis yang melihat materi sebagai nilai tertinggi dalam hidup manusia.
Setiap orang dalam pandangan ini mengidentifikasikan diri dengan materi
yang dimilikinya. Menjadi diri sendiri berarti memiliki sebanyak-banyaknya
barang. Dalam situasi ini integritas manusia tidak lagi ditentukan oleh
pertimbangan- pertimbangan rasional dan moral, tetapi ditentukan oleh
seberapa kekayaan yang dimilikinya. Tentang hal ini, Aristoteles tentu
akan bertanya, apakah tindakan tersebut dapat meningkatkan kebaikan
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Di Indonesia kita mengenal banyak sekali local wisdom yang dekat dengan
pemikiran Aristoteles ini. Salah satu yang menarik adalah local wisdom
‘Memayu Hayuning Buwono” (menjaga atau mengelola atau memerindah tata
dunia). Hidup yang baik tidak seluruhnya ditentukan oleh apa yang
dimiliki tetapi oleh apakah hidupmu dan dunia sekelilingmu terpelihara
dengan baik. Apalah artinya memiliki seluruh dunia jika Anda kehilangan
dirimu sendiri dan lingkungan yang menopang keberadaanmu? (Riyanto, 2015)

41
BA

C. Dimensi Institusional Etika Antikorupsi

Aristoleles dalam diskusinya mengenai etika pernah menjelaskan bahwa


moralitas tidak pernah individual, tetapi memiliki dimensi sosial politik.
Manusia adalah makhluk politik yang keberadaannya tidak pernah dipisahkan
dari orang lain dan masyarakatnya. Bahkan dalam perspektif tertentu,
sebagaimana dikemukakan oleh Fr. Hegel, moralitas pun, berarti kesadaran
moral dalam konteks masyarakat dan negara.
Dengan gagasan Aristoteles ini, refleksi etika dapat menjangkau luas,
mulai dari etika politik, etika sosial, etika profesi, hingga etika publik.
Meskipun ada pembedaan besar di antaranya, sisi etika yang ingin
dikemukakan oleh cabang-cabang etika tersebut adalah dimensi sosial
perilaku manusia. Dengan demikian, etika sudah mengandung dimensi
politik dan publik. Di sini, etika menjadi sebuah upaya untuk
memperjuangkan kepentingan publik untuk dan bersama orang lain dalam
rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi yang lebih
adil. Berdasarkan orientasi politik dan publik ini, bukan mustahil jika etika
antikorupsi menaruh perhatian lebih jauh pada aspek (1) kepentingan publik,
pada (2) saran insitusional yang adil dan regulasi/aturan hukum yang
akuntabel, transparan, dan adil (3) integritas pelaku.
Di antara sisi-sisi etika sosial-politik, masalah yang paling peka pada
persoalan korupsi adalah institusi. Institusi sebenarnya merupakan sarana

42
BA

yang memungkinkan tujuan dapat dicapai. Dimensi ini meliputi sistem,


prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik pelayanan publik. Kekuatan
institusi sebagai sarana harus diperhitungkan karena alasan-alasan
berikut. Pertama, karena institusi merupakan fondasi masyarakat.
Tanpa institusi manusia tidak dapat hidup dan masyarakat pun tidak dapat
bertahan. Institusi mencegah masyarakat rontok berantakan. Sehingga
manusia tidak dapat membuat keputusan tanpa melalui lingkup institusi.
Kedua, institusi memiliki ciri etis normatif. Padanya ada standar integritas,
yang menentukan apa yang seharusnya. Di sini, setiap institusi memiliki
prinsip tata kelola yang baik seperti solidaritas, pluralitas, persamaan, dan
subsidiaritas.
Namun institusi kerap menjadi masalah. Dalam Global Corruption
Baromenter 2017 yang menaksir tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik,
ditemukankan bahwa kepolisian dipandang sebagai institusi paling korup,
diikuti lembaga legislatif, pejabat pemerintahan pusat, pemerintahan/badan
perwakilan daerah, presiden dan perdana menteri, petugas pajak, eksekutif
bisnis, hakim/jaksa, akhirnya pemimpin agama. Di sini terdapatlah ironi dari
apa yang dikemukakan di atas bahwa dalam institusi terjadi suap dan konflik
kepentingan. Mengapa?
Studi mengenai korupsi institusi dapat memberikan penjelasan mengenai
hal ini. Pertama adalah institusi sendiri korup. Praktik suap yang lumrah
di kalangan para pejabat Nazi pada perang Dunia II dapat dilihat sebagai
contoh dari institusi jenis ini. Institusi yang despotis sudah merupakan korupsi
sehingga praktik-praktik suap menjadi lumrah untuk dipraktikkan. Contoh
ini mau menjelaskan bahwa praktik korupsi dan suap tidak pernah dilihat
sebagai masalah karena institusi itu sendiri sudah korup. Kedua, institusi
sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melihat alasan moral dari
korupsi itu sendiri. Ini menjadi ciri dari institusi yang hanya fokus pada
prosedur administraitf, legitimasi dan teknis. Dengan asumsi ini, korupsi
hanya diatasi dengan mendeteksi mereka yang melanggar prosedur teknis.
Padahal jantung korupsi adalah masalah moral, berupa kemerosotan
personal dan institusional yang menyeret seluruh tatanan kehidupan
bersama ke dalam pembusukan. Seandainya hal ini dipahami dengan baik,
yang sebenarnya dibutuhkan adalah mengembangkan tatanan masyarakat
yang baik, yang efisien, yang efektif, yang legal, yang akuntabel, dan
transparan. Ketiga, pengabaian terhadap kepentingan publik. Sering
terjadi korupsi hanya berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan negara.
Ini membutakan mata kita pada apa yang disebut dengan kepentingan
publik. Tentu yang dimaksud dengan kepentingan publik tidak pernah
statis, melainkan dinamis. Dengan berorientasi pada kepentingan publik,
kita didorong untuk menaruh perhatian pada tata kelola yang baik dan
berintegritas. Tanpa orientasi tersebut institusi hanya menjadi ekstensi atau
perluasan kepentingan pribadi. Korupsi sebagai masalah moral adalah bukti
bahwa institusi mengabaikan dengan sengaja atau tidak sengaja
kepentingan publik.

43
BA

Dengan alasan-alasan ini, maka etika antikorupsi menaruh perhatian


pada usaha membangun institusi yang adil. Di sini perlu diperhatikan prinsip-
prinsip dasar pengembangan institusi yang dapat dipercaya, terutama
prinsip akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas berarti institusi harus
bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas tindakan dan
kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Akuntabilitas berarti
institusi harus bertanggungjawab secara moral, hukum, dan politik atas
tindakan serta kebijakan yang menyentuh kepentingan banyak orang. Ini
berarti, akuntabilitas menuntut transparansi dan kemampuan merespons
kepentingan banyak orang. Juga yang penting adalah transparansi
menghadapi konflik kepentingan. Transparansi adalah sebuah prinsip tata
kelola menyangkut informasi yang jelas, konsisten, dan relevan; standardisasi
proses yang memungkinkan kontrol kebijakan; transparansi aturan dan
prosedur. (Haryatmoko, 2015)

D. Penutup
Etika antikorupsi adalah sebuah usaha rasional kritis atas korupsi. Karena
korupsi memiliki latar belakang empiris yang luas maka etika antikorupsi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, etika antikorupsi bersifat normatif dalam arti mendiskusikan
gejala korupsi dari perspektif etika normatif. Perspektif ini berangkat dari
asumsi yang sederhana, yaitu bahwa korupsi itu buruk dari segi
dampaknya, dari segi tujuannya, dan dari segi tindakannya itu sendiri.
Dengan mendiskusikan prinsip-prinsip manfaat, prinsip kewajiban kategoris
pada aturan-aturan moral yang universal, dan keutamaan-keutamaan etis,
etika antikorupsi melihat dengan jelas apa yang dilanggar oleh praktik
korupsi. Dengan mendiskusikan korupsi dari perspektif teori-teori etika
normatif, etika antikorupsi termasuk etika terapan, sebuah usaha untuk
menggunakan prinsip-prinsip dasar etika normatif untuk menjawab masalah-
masalah praktis sehari-hari.
Kedua, etika antikorupsi bersifat deskriptif dalam arti melibatkan
pengetahuan empiris tentang praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini harus
disadari bahwa korupsi itu memiliki kecerdasan tersendiri. Machiavelli pernah
menasehati para etikawan dalam bidang politik bahwa politik itu adalah
kecerdasan menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Itu adalah
esensi politik. Karena itu, pengetahuan tentang kecerdasan politik itu sendiri
penting. Begitu juga dengan fenomena korupsi. Korupsi itu adalah sebuah
kecerdasan untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan bahkan status sosial.
Karena itu pengetahuan deskriptif dengan akar-akar korupsi sebagaimana
dijelaskan bab sebelumnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari
etika antikorupsi. Kant pernah memberi nasehat sederhana: seorang yang
mengerti etika harus cerdik seperti ular, dan jinak seperti merpati. Artinya,
untuk dapat
BA

memberikan pertimbangan etis yang baik, perlu mengenal seluk beluk praktik
korupsi.
Ini berarti persoalan metode menelusuri akar-akar korupsi menjadi
penting. Meskipun secara populer kita meyakini bahwa korupsi lebih dari
sekedar masalah hukum, dan akar utama adalah moralitas, dibutuhkan
sebuah strategi metodologis untuk memahami akar-akar tersebut.
Ketiga etika antikorupsi bersifat sosial politik/publik. Segi ini menjadi hal
yang sulit diperhatikan, karena banyak yang melihat korupsi sebagai persoalan
individual, dalam arti korupsi hanyalah sebuah kesalahan individu tertentu.
Yang harus dipahami lebih jauh adalah bahwa korupsi selalu berkaitan
dengan institusi di mana seseorang hidup dan bekerja. Sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya, hampir sulit seseorang membebaskan diri dari
praktik korupsi dalam sebuah sistem yang korup. Dengan alasan ini, etika
antikorupsi perlu menyelidiki akar-akar institusional dari praktik korupsi
dan mencari langkah-langkah etika institusional untuk mengatasi korupsi itu
sendiri. Selain aspek institusi, etika antikorupsi perlu berbicara tentang
tujuan membangun komunitas moral dan integritas. Kedua tema ini akan
dibicarakan pada bab- bab berikut.

45
BAB III:
ETIkA PROFESI MELAWAN kORUPSI
BA

Talcott Parsons sudah lama meramalkan bahwa masyarakat modern tidak


dapat dipisahkan dari gejala profesi. “Perkembangan dan semakin pentingnya
secara strategis profesi-profesi barangkali merupakan perubahan yang
paling penting yang telah terjadi dalam sistem pekerjaan dalam masyarakat
modern.” (Sudarminta, 1992: 114) Sebelum modernitas, kita mungkin hanya
mengenal profesi-profesi klasik seperti dokter, advokat, dan pemimpin
agama. Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, banyak pekerjaan yang sebelumnya dilaksanakan begitu saja
mengalami perkembangan menjadi profesi. Bahkan, di dalam satu rumpun
profesi kita masih bisa mengenal banyak profesi untuk menunjukkan
bidang-bidang spesialisasi. Di kalangan peradilan, misalnya, kita mengenal
selain advokat, masih ada hakim dan jaksa. Di dunia kesehatan, selain
dokter kita masih mengenal perawat. Di dunia teknik kita mengenal
insinyiur bidang elektro, mesin, sipil, dan lain-lain. Diferensiasi fungsi-fungsi
ini semakin lama semakin mengkhusus, sehingga hanya orang dengan
pendidikan dan keahlian khusus yang dapat dan memiliki wewenang untuk
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.
Bagi Parsons, profesi seharusnya memiliki kredibilitas tersendiri di mata
publik. Jika ada tawaran kerja, para pemberi kerja akan lebih condong
kepada mereka yang profesional daripada mereka yang awam. Fungsi-
fungsi yang ada di masyarakat dipercayakan kepada para profesional karena
masyarakat percaya bahwa sang profesional mengenal masalah dan tahu
memecahkan masyarakat secara efektif dan efisien. Namun, bukan mustahil
profesi sering melakukan penyalahgunaan kewenangan yang dapat
merugikan klien dan masyarakat. Mereka dapat dituduh melakukan
malpraktik, ketika sang profesional tidak fokus pada tugas profesinya.
Kerap kekayaan dan status menjadi godaan bagi profesional. Maka muncul
pertanyaan: Bagaimana mungkin profesional dapat dipercaya? Atas dasar
apa ia dapat dipercaya? Apa kriteria landasan etis profesi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menyentuh 2 hal, yaitu, apa yang dimaksud
dengan etika profesi dan bagaimana fondasi etis profesi harus dijelaskan. Di
samping kedua pertanyaan pokok ini, pertanyaan berikut yang harus dijawab
adalah bagaimana sumbangan etika profesi bagi usaha pencegahan korupsi.
Dengan demikian, bab ini akan secara berturut-turut membahas apa yang
menjadi fokus dari etika profesi, menggali fondasi etika profesi, merumuskan
prinsip-prinsip dasar etika profesi, lalu bagaimana etika profesi menghadap
korupsi.

Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah


agar mahasiswa: 49
1. Memahami pengertian profesi sebagai kegiatan intelektual
dan kegiatan yang terhormat.
BA

2. Memahami janji publik sebagai fondasi etika profesi.


3. Memahami implikasi prinsip-prinsip etika profesi bagi usaha
menolak korupsi.

A. Etika Profesi
Etika profesi merupakan cabang etika yang secara kritis dan sistematis
merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi.
Kerap kali etika ini dilihat sebagai etika terapan, karena merupakan
refleksi etika normatif pada masalah-masalah profesi. (Bertens, 2013)
Karena cabang etika ini menaruh perhatian pada masalah-masalah moral
yang melekat pada profesi, etika profesi tidak akan melakukan refleksi
tentang kewajiban umum manusia terhadap manusia, tetapi pada
kewajiban khusus berkaitan dengan tuntutan fungsional untuk
melaksanakan suatu jenis pelayanan tertentu. Dengan perkataan lain,
etika profesi akan melakukan penilaian rasional kritis atas praktik-praktik
profesional dalam masyarakat modern dewasa ini berdasarkan nilai-nilai dan
asas-asas moral universal yang dituntut pelaksanaannya pada profesi tertentu.
Tentu dalam hal ini asas moral universal tersebut benar-benar melekat atau
fungsional pada pelaksanaan profesional tertentu.
Pentingnya pembicaraan tentang etika profesi dewasa ini menjadi nyata
berkenaan dengan semakin pentingnya peran profesi dalam kehidupan
masyarakat. Ada harapan terselubung di balik etika profesi. Dengan
menemukan landasan-landasan normatif yang mengikat para profesional
ketika melakukan tindakan-tindakan profesional, etika profesi bertujuan
agar profesi dapat membangun dirinya sebagai sebuah komunitas moral.
(Sudarminta, 1992: 114-133)
Secara metodologis, landasan-landasan normatif yang dimaksud
dapat diketahui melalui 2 cara. Yang pertama, dengan cara menemukan
aspirasi moral sebagaimana terkandung dalam kode etik dan praktik-praktik
profesional. Pada langkah pertama ini kita dapat menemukan kesadaran moral
profesional. Namun, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan refleksi
normatif atas kesadaran moral tersebut. Karena itu dibutuhkan langkah
kedua, yaitu sebuah refleksi etika atas kesadaran moral sebagaimana
diungkapkan secara implisit atau eksplisit dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Pada langkah kedua ini kita dapat menemukan landasan
etis atau norma dan orientasi etis yang dibangun bersama oleh komunitasnya.
Dengan demikian, pengembangan kode etik profesi dan refleksi etika atas
profesi atas landasan- landasan etis dapat mendorong setiap anggota
komunitas profesi untuk menjaga secara bersama-sama agar komunitas
mereka dipercaya oleh klien

50
BA

dan masyarakat.
Kita mengenal misalnya, etika publik yang seharusnya dimiliki oleh
para pejabat publik. Etika ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang
standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan
dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka
menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Refleksi etika atas profesi
sebagai pejabat publik tersebut mendorong para pejabat publik untuk
membangun komunitas moral pejabat publik. Karena itu jika ada pejabat
publik yang melakukan malpraktik dan korupsi, pejabat publik sebagai
komunitas profesi dipertanyakan moralitasnya. (Haryatmoko, 2015: 11-20)
Kita juga mengenal etika medis yang harus dilmiliki oleh setiap
dokter. Etika ini merupakan refleksi tentang norma yang menentukan baik
buruk, benar salah perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan
pelayanan kesehatan menjadi pelayanan yang dapat dipercaya klien. Jika
seandainya adalah seorang dokter yang melakukan malpraktik, komunitas
medis sebagai keseluruhan dapat diragukan integritas moralnya. (K.
Bertens,2011: 35-42)
Kedua contoh ini ingin mengatakan beberapa hal berkaitan dengan etika
profesi. Pertama, etika profesi merupakan sebuah refleksi atas landasan moral
komunitas profesional yang dapat ditemukan dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Kedua, etika profesi dapat memberikan penilaian atas
mutu moralitas komunitas profesional. Dalam hal ini etika profesi dapat
melihat orientasi moral masing-masing profesi. Profesi kepolisian memiliki
orientasi moral yang berbeda dengan profesi medis. Yang pertama
menekankan disiplin berdasarkan semangat korps dalam rangka
perlindungan keamanan masyarakat, yang kedua menekankan perlindungan
terhadap martabat klien dalam rangka mengembangkan kesehatan jiwa dan
badan manusia tersebut. Karena individu profesional tidak dapat menjalankan
fungsi profesinya di luar ketiga, karena setiap profesional hanya hidup dalam
komunitas profesi, maka integritas pribadi profesional menjadi hal yang tak
dapat dihindarkan dalam refleksi etika profesi. (Chadwick, 1994: 5-15)

51
BA

B. Fondasi Etika Profesi: Janji Publik

Daryl Koehn dalam pembahasannya mengenai fondasi-fondasi etika


profesi menemukan bahwa etika profesi sering terjebak pada dua perspektif
teoritis berikut ini. Pertama adalah teori kompetensi keahlian. Banyak
profesional yakin bahwa keahlian yang mereka miliki dapat membantu orang
lain dan masyarakat. Untuk itu pendidikan mutlak perlu dilengkapi
dengan kursus-kursus yang memperdalam keahlian tersebut. Hanya keahlian
seorang profesional yang dapat membantu klien dan masyarakat. Bahkan
layanan yang baik hanya dapat diberikan karena keahlian tersebut. (Koehn,
2000: 27-31)
Keyakinan bahwa keahlian dapat memberikan pelayanan yang baik
ini dapat dipahami jika kita melihat rumitnya persoalan kesehatan dan
keadilan misalnya. Dibutuhkan mereka yang benar-benar memiliki keahlian di
bidangnya untuk memecahkan masalah kesehatan dan keadilan. Masyarakat
pun membutuhkan keahlian profesional yang dapat memberikan penilaian
tepat atas masalah yang terkait dengan bidang keahliannya.
Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, keahlian saja tidak cukup
menjamin kepercayaan masyarakat pada profesional. Ia berargumentasi
antara lain: keahlian dapat berkembang tanpa tujuan; demi keahlian itu
sendiri, seseorang dapat saja tidak memperhatikan aspek tujuan dari
keahlian tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang mereka layani. Otoritas
profesional terletak dalam apakah keahlian yang dimiliki tersebut diarahkan

52
BA

kepada kepentingan mereka yang dilayaninya? (Koehn, 2000: 33-47)


Berbeda dengan teori keahlian, para sosiolog menyajikan teori kedua,
yaitu teori kontrak sosial. Teori ini beranggapan bahwa sumber kepercayaan
kepada profesi terletak pada kontrak yang dibangun antara profesional
dan klien berkenaan dengan harapan kolektif atas layanan profesional.
Masyarakat membutuhkan profesional karena hanya seorang profesional
yang dapat memberikan layanan sesuai dengan harapan kolektif masyarakat.
Dan kontrak sosial menjamin bahwa harapan-harapan tersebut dapat
terwujud. Dalam kontrak tersebut, harapan masyarakat dapat
mengendalikan apa yang akan dilakukan oleh seorang profesional. Kalau
ada risiko tindakan profesional, maka risikonya dapat diperkecil oleh
kontrol masyarakat. Pertimbangan ini tetap mendapat perhatian karena
kemerdekaan dan rasionalitas masyarakat penerima layanan profesional tetap
harus dijamin. (Koehn, 2000: 49-53)
Namun, sebagaimana dikemukakan Daryl Koehn, harapan kolektif
layanan tidak cukup menjadi landasan etika profesi. Ia memberikan beberapa
pertimbangan. Pertama, dalam banyak hal kita tetap
membutuhkan kewenangan profesional untuk mengambil tindakan-
tindakan profesional. Karena itu kewenangan profesional menjadi tak
terhindarkan. Kedua, hubungan antara profesional dan masyarakat atau klien
tidak pernah sejajar. Dalam keadaan tertentu, profesional memiliki posisi
lebih tinggi dibandingkan dengan klien dari segi keahlian, pengetahuan, dan
rasionalitas. Ketiga, dalam rangka menegakkan kebaikan layanan dalam
bidang kesehatan dan keadilan, masyarakat dan klien pengguna jasa
profesional dituntut untuk menegakkan disiplin. Kesehatan misalnya tidak
sekedar menjadi urusan dokter tetapi menjadi urusan pasien. Ia harus
mengikuti resep yang ditawarkan dokter. Kerjasama antara dokter dan
pasien membuat kesehatan sebagai kebaikan menjadi nyata. Keempat,
uang yang dibayarkan klien kepada profesional dapat mengaburkan tujuan
interaksi antara profesional dan klien. Hal ini menjadi semakin jelas jika
kita melihat bagaimana para profesional menjadikan layanannya sebagai
komoditi yang memiliki tarif-tarif yang tidak mendukung misi layanan
profesional. (Koehn, 2000: 55-71)
Dengan kritik-kritik di atas, Daryl Koehn ingin menyatakan bahwa otoritas
moral profesional terletak pada apakah mereka dipercaya atau tidak. Dan
untuk dapat dipercaya, mereka sendiri harus menjadikan kepentingan
klien sebagai kepentingan profesional mereka sendiri. Harus ada kerja sama
antara kaum profesional dan masyarakat pengguna layanan profesional. Kerja
sama tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: di satu sisi sang
profesional mengarahkan tindakannya (dengan seluruh keahliannya) demi
kebaikan klien, namun di sisi lain klien sendiri harus menunjukkan disiplin
sebagai bukti kepercayaannya pada sang profesional.
Kritik Daryl Koehn sebagaimana dikemukakan di atas memiliki alasan-

53
BA

alasan yang pantas diperhatikan. Menurut Koehn, ada beberapa aspek


yang tidak diperhatikan oleh kedua teori tersebut di atas, antara lain fakta
bahwa
(1)kaum profesional adalah orang yang mendapat izin dari negara untuk
melakukan tindakan tertentu; bahwa (2) mereka adalah anggota sebuah
organisasi yang memiliki standar dan cita-cita perilaku, dan karena itu
tunduk pada aturan disiplin organisasi tersebut; bahwa (3) mereka memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang khusus; bahwa (4) mereka memiliki
otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan pekerjaan itu tidak
dapat dimengerti oleh masyarakkat awam; bahwa (5) mereka
mengucapkan janji publik untuk memberi bantuan kepada mereka yang
membutuhkan mereka. Mereka pun bertanggungjawab atas tugas-tugas
khusus yang dipercayakan kepada mereka. (Koehn, 2000: 72-74)
Di antara kriteria-kriteria tersebut, Daryl Koehn menaruh perhatian
pada janji publik. Bagi Koehn, janji publik merupakan kriteria yang paling
banyak dibela dan dipertahankan sepanjang sejarah perkembangan profesi.
Profesional adalah orang yang dengan bebas membuat janji di hadapan
masyarakat untuk melayani orang untuk kebaikan orang itu. Apa yang
dikemukakan Daryl Koehn ini tersirat dari istilah profesi itu sendiri. Kata
profesi berasal dari kata Yunani prophaino yang berarti ‘menyatakan secara
publik.’ Dari kata prophaino muncul kata professio dalam bahasa Latin
yang sering diartikan sebagai pengumuman terbuka, janji. Menurut Daryl
Koehn, janji publik merupakan landasan bagi kepercayaan masyarakat
dan klien bahwa profesional dapat mengembangkan kebaikan klien. Atau
dengan cara lain ingin dikatakan bahwa janji memberi jaminan moral bagi
profesi sehingga ia dapat dipercaya. Daryl Koehn memberikan alasan. (Koehn,
2000: 78-80)
1. Janji menciptakan kompetensi profesional; mendorong profesional
dapat memperdalam pengetahuan dan keterampilan sehingga
dapat melayani masyarakat dengan baik.
2. Janji membuat masyarakat dan klien percaya bahwa profesional dapat
secara konsisten memberikan bantuan profesional.
3. Janji mendorong para profesional menghormati kerentanan klien
4. Janji membuat kaum profesional menjalankan kebijakan dengan
menggunakan penalaran atau penilaian terbaik untuk kepentingan
klien.
5. Janji memberi kuasa kepada kaum profesional untuk membuat
klien bertanggungjawab melakukan apa yang harus dilakukan.
Dengan catatan-catatan ini, Daryl Koehn yakin bahwa janji publik merupakan
landasan etis utama sehingga profesi pantas dipercaya.
BA

C. Prinsip-Prinsip Etika Profesi

Apa yang dimaksud dengan landasan moral profesi dapat dikatakan sebagai
prinsip fundamental bagi moralitas profesional. Janji publik yang diucapkan
oleh para profesional merupakan prinsip dasar yang dimiliki oleh profesional
sehingga ia dapat dipercaya masyarakat dan kliennya. Memang harus diakui
bahwa tidak semua profesi memiliki janji publik secara eksplisit. Dewasa ini
kita mengenal banyak profesi yang dibangun di atas janji publik seperti
advokat, dokter, psikolog, hakim, jaksa. Para pejabat negara pun memiliki
janji atau sumpah jabatan. Sementara itu, kita masih mengenal banyak
profesi yang tidak memiliki janji profesional secara eksplisit seperti
rekayasawan teknik, guru, profesi, dan bahkan peneliti. Pada kelompok
profesi ini terdapat prinsip- prinsip etis umum yang berfungsi menata
pengembangan dan pelaksanaan profesi berdasarkan tujuan layanan
profesional masing-masing.
Dari segi etika, entah eksplisit atau implisit, janji publik itu sendiri
mengandung imperatif-imperatif moral seperti tanggung jawab, keadilan,
otonomi, dan kepercayaan. Sebagai sebuah contoh mari kita membaca
sumpah dokter dan sumpah jabatan hakim, jaksa, panitera di bawah ini:
Sumpah Dokter:
Saya bersumpah bahwa: Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentinga

55
BA

saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan

Sumpah Hakim, Jaksa, dan Panitera:


Demi Allah! Saya bersumpah:
Bahwa saya untuk mendapat jabatan saya ini, baik dengan langsung maupun d
Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia. Bahwa saya

Ada hal yang menarik dari sumpah dokter dan hakim dan jaksa ini.
Dengan fokus pada kebaikan kesehatan dan keadilan, sumpah ini berusaha
secara eksplisit dan implisit melihat tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan
kepercayaan menjadi prinsip-prinsip etisnya. Berikut kami menjelaskan apa
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dimaksud. (Sihotang, 2016: 146-278)
1. Tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk

56
BA

menunjukkan tanggung jawab moral dalam pekerjaannya.


Tanggung jawab ini menyangkut pada tanggung jawab
pelaksanaan dan konsekuensinya. Dalam pelaksaannya, tanggung
jawab mengandaikan integritas, objektivitas, dan kompetensi serta
konfidensialitas. Integritas diperlihatkan dalam kejujuran dan
komitmen untuk menjalankan etika profesi. Objektivitas
dinyatakan dalam memberikan penilaian atas tindakan atau
keputusan yang didasari oleh data dan fakta. Kompetensi
diperlihatkan dengan kemampuan dan ketrampilan dalam menjalankan
pekerjaan. Sedangkan konfidensialitas tercermin dalam keteguhan
menjaga rahasia profesi.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan pekerjaannya
ia menjamin hak semua pihak. Perlakuan adil mensyaratkan tidak
adanya pihak yang dirugikan.
3. Otonomi. Artinya, orang yang profesional adalah orang bebas. Di
sini kebebasan menjadi prinsip penting dalam menjalankan
profesi. Memang kaum profesional harus berpijak pada kode etik
profesi dan lembaga di mana dia mengemban tugas. Ia juga harus
setia pada koleganya. Akan tetapi, dia adalah seorang pribadi yang
bebas. Karena itu, ia harus mempunyai otonomi moral. Sikap ini
mengisyaratkan bahwa ia mempunyai kemandirian dalam
mengambil keputusan, terutama berhadapan dengan situasi sulit di
lapangan.
4. Kepercayaan. Ini merupakan nilai sosial dan modal yang penting
bagi seorang profesional dalam menjalankan tugasnya. Jika
seorang profesional kehilangan kepercayaan berarti ia telah gagal
menjalankan tugasnya dalam mengabdi pada masyarakat.
Prinsip-prinsip etis tersebut tentu bukan sesuatu yang formalistis. Prinsip-
prinsip tersebut berpautan dengan tujuan layanan yang ingin diberikan
profesional. Profesi kedokteran, misalnya, berhubungan dengan layanan
kebaikan kesehatan. Tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan
kepercayaan merupakan prinsip-prinsip instrumental bagi kesehatan
sebagai kebaikan yang harus diterima klien dan masyarakat. Begitu jika kita
berbicara tentang profesi advokat yang ingin memfokuskan diri pada keadilan
sebagai kebaikan kliennya. Dalam rangka mengembangkan keadilan
sebagai kebaikan klien, seorang advokat harus bertanggungjawab, adil,
otonom, dan dapat dipercaya.
Prinsip-prinsip instrumental kerapkali diungkapkan dengan jelas dalam
masing-masing kode etik profesi. Di sini, kode etik profesi memuat
aturan- aturan yang harus dijalankan oleh setiap anggota sebuah profesi.
Kode etik menyediakan sebuah kerangka konseptual yang harus
diterapkan oleh anggota profesi agar ia dapat mengidentifikasi dan
mengevaluasi perilaku, serta menyediakan petunjuk dan gambaran
bagaimana menerapkan kerangka konseptual itu secara umum dan secara
khusus.
BA

57
BA

Kode etik yang memuat prinsip-prinsip instrumental tersebut memiliki


tujuan agar profesional membangun sebuah komunitas moral sehingga dapat
dipercaya oleh masyarakat. Kode etik itu mengikat profesional. Bagi
profesional, kode etik merupakan rambu-rambu moral yang memberi arah
dalam melaksanakan tugas. Dengan rambu-rambu ini, kaum profesional
diharapkan berjalan pada jalur yang benar atau tidak merugikan
masyarakat pengguna jasa profesional. Selain itu, kode etik menghindarkan
mereka dari kesewenang- wenangan melakukan pekerjaan di luar batas
bidangnya sehingga keluhuran profesi dapat terjaga dengan baik. Kode etik
juga mencegah kesalahpahaman dan konflik antar sesama pengemban profesi.
(Chadwick, 1994: 25-27)
Dari perspektif masyarakat, kode etik tersebut menjadi dasar bagi
masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban profesional dalam
memberikan pelayanan maksimal. Di samping itu, kode etik mencegah
masyarakat untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kaum profesional.

D. Etika Profesi Menghadapi Korupsi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, korupsi merupakan masalah


publik yang memiliki akar-akarnya pada kegagalan implementasi aturan-
aturan publik dan mekanisme pasar yang terbuka. Secara khusus kita
dapat melihat kegagalan tersebut pada praktik-praktik gratifikasi yang
dijalankan secara masif tanpa sikap kritis terhadapnya. Pertanyaan kita
sekarang adalah apakah korupsi sebagai sebuah masalah publik tersebut dapat
diatasi dengan etika profesi? Bagaimana efektivitas etika profesi yang
mengandalkan relasi profesional pada usaha menjawab masalah korupsi
yang memiliki akar-
BA

akarnya pada ekonomi, politik, sosiologi, dan kebiasaan-kebiasaan feodalistis?


Apakah korupsi sebagai sebuah masalah moral publik dapat diatasi dengan
pendekatan etika profesi? Jika etika profesi memiliki landasan moralnya pada
janji publik serta prinsip-prinsip instrumentalnya demi mengembangkan
kebaikan klien, dapatkah landasan moral beserta dengan prinsip-prinsip
instrumentalnya itu membantu kita mengatasi masalah korupsi?
Daryl Koehn tidak memiliki jawaban atas persoalan-persoalan di atas.
Namun dengan pemikirannya tentang janji publik sebagai fondasi etis bagi
profesional, ia sebenarnya sudah membuka jalan ke arah itu, yaitu kejelasan
hubungan antara kepentingan profesional dan kepentingan publik. Dalam
mendiskusikan hal ini, Daryl Koehn menemukan sekurang-kurangnya 3
kemungkinan penjelasan. (Koehn, 2000: 179-203)
1. Kepentingan umum dikembangkan melalui pengabdian profesional
yang khusus dan penuh semangat kepada klien secara perorangan.
Pemikiran ini menjelaskan bahwa pelayanan yang baik terhadap
klien dengan sendirinya berarti pelayanan kepada kepentingan-
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
2. Moralitas profesional sama dengan moralitas publik. Ini berarti seorang
profesional sudah menjalankan kewajiban publik, justru ketika ia
menjalankan tugas profesionalnya kepada klien. Dengan perkataan
lain, seorang profesional memiliki tanggung jawab yang sama baik
kepada klien maupun kepada masyarakat.
3. Etika profesional merupakan ungkapan berlakunya moralitas publik
yang dilembagakan. Ini berarti, tindakan profesional terhadap klien
merupakan satu bentuk moralitas publik.
Dengan tiga kemungkinan penjelasan ini, Daryl Koehn berpendapat
bahwa kaum profesional yang bertindak secara moral pada tingkat profesional
memiliki otoritas publik jika mereka menaati syarat-syarat janji yang sudah
mereka buat secara publik. Dengan demikian ada koherensi antara etika
profesi dan etika publik. Dengan argumentasi ini, apa yang sebenarnya
dituntut dalam etika profesi menjadi rambu-rambu bagi penolakan profesional
atas tindak pidana korupsi. Koehn memang tidak memiliki perhatian pada isu
korupsi. Namun ramalan Koehn bahwa ada koherensi antara etika profesi dan
pelayanan publik, etika profesi dapat menjadi landasan untuk menolak korupsi
dari segi etika profesi.
Untuk menunjukkan hal ini mari kita lihat apa yang sebenarnya dikatakan
oleh kode etik profesi tentang gratifikasi, suap, dan korupsi. Sebagai contoh
dalam hal ini kita bisa berbicara tentang hakim dan jaksa dari organisasi
profesi peradilan, HPJI (Himpunan Pengembang Jalan Indonesia) dan
rekayasawan teknik elektro dari organisasi profesi teknik, dan dari
kedokteran.

59
BA

1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) 2.2. (1) berbunyi:
“Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami
atau isteri Hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga Hakim
lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat,
penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan
kuat akan diadili, dan pihak yang memiliki kepentingan terhadap
suatu perkara.”
2. Kode Etik dan Perilaku Jaksa (2007) Pasal 4 berbunyi: Jaksa
dilarang “meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima
hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.”
Apa yang dikemukakan oleh kode etik ini juga ditegaskan lagi oleh
Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang dunia peradilan.
Di sini ditegaskan bahwa setiap orang sudah melakukan korupsi
jika ia memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; dan kepada advokat untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Juga Pasal 6 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa
hakim dan advokat sudah melakukan korupsi ketika ia menerima
pemberian atau janji. Bertolak dari janji publik profesi, hakim dan
advokat sudah memanfaatkan profesi demi keuntungannya sendiri dan
mengabaikan janji publik yang ia ucapkan demi kepentingan klien.
Begitu juga klien jika melanggar janji publik profesional yang
menuntutnya untuk disiplin mengembangkan kebaikan profesional.
Keadilan sebagai kebaikan tidak dapat dipelihara dengan baik justru
karena ia sendiri melangkahi prosedur peradilan.
Dalam perspektif undang-undang ini, gratifikasi dan suap
melanggar janji publik profesi hakim dan advokat dan bahkan
menghancurkan sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Keadilan sebagai kebaikan klien hanya bisa dipertahankan dengan
keadilan sebagai prinsip kerja peradilan. Jika kita melihat lebih
jauh lagi, gratifikasi dan suap menggagalkan otonomi yang
seharusnya menjadi basis penilaian hakim dan advokat. Mereka
tidak lagi menjalankan fungsi mereka secara otonom, tetapi sudah
dipengaruhi oleh suap dan gratifikasi. Dan dapat diramalkan juga
karena mereka tidak otonom lagi, keputusan dan penilaian apa pun
yang mereka berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik.
3. Kaidah Umum Tata Laku HPJI No.3.3. (6) “Anggota HPJI tidak
boleh menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan yang
berlaku.”
BA

4. Kode Etik Institute of Electrical and Electronics Engineers (1979)


Article III, 4: Members shall, in their relations with employers and
clients “neither give nor accept, directly or indirectly, any gift,
payment or service of more than nominal value to or from those having
business relationships with their employers or clients.”
5. Kode Etik Kedokteran (IDI 2012) Pasal 3 Kemandirian Profesi. “Dalam
melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan
dan kemandirian profesi.” Pasal ini mencakup tindakan membuat
ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahan farmasi, obat,
vaksin, makanan, suplemen, alat kesehatan, alat kedokteran, bahan,
produk atau jasa kesehatan/terkait kesehatan dan/atau berasal dari
fasilitas pelayanan kesehatan apa pun dan dari mana pun dan/atau
berasal dari pengusaha, perorangan atau badan lain yang akan
menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat terhadap dan
menurunkan martabat profesi kedokteran.”
Dengan contoh-contoh di atas, kita boleh mengatakan bahwa korupsi
merupakan tindakan yang menghancurkan sendi-sendi moral profesional.
Tindak pidana korupsi bahkan menghancurkan kepercayaan publik
terhadap profesi. Para dokter misalnya mengerti bahwa konflik kepentingan
dan grafitikasi dapat menjadikan dirinya menjadi target kepentingan lain
(kekuasaan atau bisnis). Begitu juga hakim dan jaksa akan kehilangan reputasi
ketika ia terjebak dalam suap dan gratifikasi. Karena itu, dengan kesadaran
tersebut masing-masing komunitas profesi berusaha menolak korupsi dan
praktik suap dan gratifikasi.
Tentu dibutuhkan sebuah kajian lebih serius mengenai pola korupsi pada
profesi-profesi tertentu, sehingga langkah-langkah yang diambil benar-
benar mengatasi masalah korupsi. Namun posisi moral profesi cukup jelas.
Karena pelayanan profesional merupakan pelayanan publik, konflik-konflik
kepentingan menjadi target-target refleksi etika profesi. Tentu menjadi
pertanyaan sekarang adalah apa yang menjadi perhatian etika dalam
menghadapi masalah ini?

E. Keputusan Etis dan Manajemen Etik


Fondasi etis profesional sebagaimana dikemukakan oleh Daryl Koehn
merupakan posisi moral dasar profesional. Namun dalam banyak hal seorang
profesional harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan moral
berdasarkan fondasi etis yang ia miliki. Karena itu sebelum menutup bab ini
perlu dibicarakan hal mengenai pengambilan keputusan etis yang melibatkan
pertimbangan, penilaian dan pemilihan di antara sejumlah alternatif
berdasarkan pemahaman yang baik atas masalah berdasarkan nilai-nilai etis.

61
BA

Secara teoritis kita boleh mengatakan bahwa setiap keputusan


mengandung beberapa unsur. Pertama adalah pengetahuan yang luas tentang
masalah. Pengetahuan yang benar tentang masalah akan mempermudah
seseorang untuk mengambil keputusan. Kedua adalah tujuan keputusan.
Tentu tidak mudah menjelaskan tujuan keputusan. Namun, yang jelas adalah
bahwa keputusan yang baik mengakomodasi kepentingan semua pihak
yang terkait dengannya, atau minimal memperkecil risiko bagi pihak yang
terkena keputusan yaitu klien dan masyarakat. Ketiga adalah komitmen pada
nilai dasar yang dianut oleh profesional, misalnya rasa hormat pada
martabat manusia dalam layanan profesional psikolog dan kedokteran.
Komitmen pada nilai dasar ini menunjukkan kualitas integritas pribadi sang
profesional. Keempat, keputusan yang diambil harus dilakukan dengan analisis
yang mendalam atas fakta-fakta yang ada. (Sihotang, 2016: 132-134)
Pengambilan keputusan etis merupakan sebuah proses. Laura Hartman
dan Joe DesJardins mengusulkan beberapa langkah berikut. (Hartman, 2011:
37-47)
1. Menentukan fakta-fakta. Memberikan upaya yang cukup untuk
memahami situasi, membedakan fakta dari opini belaka, adalah
hal yang sangat penting. Perbedaan persepsi dalam bagaimana
seseorang mengalami dan memahami situasi dapat menjelaskan
banyak perdebatan etis. Mengetahui fakta-fakta dan meninjau secara
cermat keadaannya akan memberikan kemudahan dalam memecahkan
perselisihan pendapat pada tahap awal.
2. Memahami bahwa keputusan yang akan diambil adalah sebuah
keputusan moral. Harus diakui bahwa banyak orang dengan mudah
tersesat karena gagal mengenali adanya komponen etis dalam
keputusan yang diambil. Mengidentifikasi isu-isu etis yang terlibat
merupakan langkah yang perlu untuk membuat keputusan yang
bertanggung jawab.
3. Melibatkan pihak lain untuk keputusan-keputasan etis. Pada tahap ini
sikap tergesa-gesa, tanpapertimbangansertaemosionalperludihindari.
Rasionalitas kesadaran moral harus memainkan peranan pada
tahap ini, terutama dengan sikap terbuka pada pertimbangan lain.
Jangan membiarkan diri anda dengan sikap ngotot. Karena itu
dibutuhkan keterbukaan kepada orang lain. Kita diminta untuk
mengidentifikasi dan mempertimbangkan semua pihak yang
dipengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-orang ini biasa disebut
dengan para pemegang/ pemangku kepentingan (stakeholders).
Mempertimbangkan isu-isu dari berbagai sudut pandang orang lain
selain sudut pandang sendiri, dan selain dari kebiasaan setempat,
membantu kita dalam membuat keputusan yang lebih masuk akal dan
bertanggung jawab.

62
BA

4. Membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif. Buatlah


sebuah spreadsheet mental yang mengevaluasi dampak tiap alternatif
yang telah anda pikirkan terhadap masing-masing pemegang
kepentingan yang telah diidentifikasi. Mungkin cara yang paling
mudah adalah dengan mencoba menempatkan seseorang dalam
posisi orang lain. Memahami sebuah situasi dari sudut pandang orang
lain, berusaha untuk “menjadi diri mereka”, memberikan kontribusi
signifikan dalam pengambilan keputusan etis yang bertanggung
jawab. Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini adalah pertimbangan
cara untuk mengurangi, meminimalisasi, atau mengganti konsekuensi
merugikan yang mungkin terjadi atau meningkatkan dan memajukan
konsekuensi-konsekuensi yang mendatangkan manfaat.
5. Membuat sebuah keputusan. Setelah semua variabel diselidiki,
sekarang waktunya untuk membuat sebuah keputusan.
Kemampuan itu membentuk sebuah tanggung jawab untuk kemudian
mengevaluasi implikasi dari keputusan yang diambil, memantau dan
belajar dari hasil, dan memodifikasi tindakan kita berdasarkan
pengalaman tersebut ketika dihadapkan dengan tantangan serupa di
masa depan.
Apa yang diungkapkan Laura Hartman dan Joe DesJardis dapat
membantu para profesional mengambil keputusan etis. Tentu harus
ditambahkan bahwa langkah-langkah tersebut perlu disusulkan dengan
refleksi atas keputusan etis tersebut. Momen ini penting untuk melihat
kembali apakah keputusah etis benar-benar berkualitas secara profesional
atau tidak. Refleksi ini perlu agar di kemudian hari ia tidak terjebak pada
keputusan yang keliru. Kalau pengambil keputusan sudah benar, karena
unsur-unsur etis sudah dipenuhi, maka orang yang mengambil keputusan
tidak dapat dipersalahkan. Yang pantas dipersalahkan adalah “kalau
persiapan keputusan itu kurang teliti, kurang terbuka, atau terlalu mudah
terpengaruh oleh pendapat orang lain”. Kendati demikian, sebagai ungkapan
pertanggungjawaban etis, akibat dari keputusan tetap harus diperhatikan.
Artinya, dampak negatif yang ditimbulkan keputusan harus ditanggung oleh
pengambil keputusan.
Kepandaian untuk mengambil keputusan etis itu sebagaimana
dikemukakan di atas tentu membutuhkan manajemen organisasi/komunitas
yang mendukung pemenuhan nilai-nilai antikorupsi. Beberapa organisasi
publik di Indonesia meyakini bahwa kita membutuhkan strong compliance
dengan beberapa sarana berikut ini. Pertama, ketegasan pimpinan atas
pilihan-pilihan etis. Artinya, siapa pun pimpinan perlu menjadi dirinya sebagai
model bagi anggota komunitas atau organisasinya. Kedua, komitmen yang
kuat manajemen tingkat menengah. Komitmen kelompok ini dibutuhkan
karena merekalah yang dikenal komunitas dan organisasi. Ketiga, proses
kerja dan bisnis yang tidak menyalahi prinsip-prinsip etis. Di sini
organisasi yang baik membuat guideline yang praktis yang dapat
dijalankan secara
BA

bertanggungjawab. Keempat, implementasi yang terus menerus disertai


dengan pemaksaan untuk melaksanakan tindakan-tindakan etis. Dan kelima,
proses refleksi dan perbaikan terus menerus atas apa yang sudah dikerjakan
dan dijalankan. Proses perbaikan tersebut dibutuhkan karena selalu ada
kemungkinan kesalahan.
Dengan demikian keputusan etis yang bertanggungjawab
membutuhkan sebuah konteks organisasi dan komunitas yang mendukung
pengembangan nilai-nilai etis antikorupsi.

F. Penutup
Etika profesi merupakan sebuah refleksi yang dilakukan oleh profesional
untuk menunjukkan kepada publik bahwa para profesional benar-benar
dipercaya oleh masyarakat. Dengan hadirnya kode etik dan kode perilaku,
masyarakat menjadi paham bahwa kaum profesional tidak hanya
bertindak sendiri tetapi bertindak secara kolektif dalam mengembangkan
obyek layanan sebagai kebaikan-kebaikan yang dinikmati masyarakat.
Kedokteran dengan kesehatan, advokat dengan keadilan, rekayasawan teknik
dengan keselamatan teknik dan publik, guru dengan pendidikan.
Namun demikian, Gratifikasi, suap dan korupsi kerap kali mengalihkan
perhatian profesional dari kebaikan layanan mereka kepada kepentingan
pribadi. Suap dan gratifikasi merupakan praktik yang mengindikasikan konflik
kepentingan yang seharusnya dihindari oleh setiap profesional. Karena
itu, kode etik profesi menganjurkan agar berhati-hati dengan
kemungkinan tersebut. Banyak profesional terjebak dengan hal-hal
tersebut. Kesalahan seperti ini pada akhirnya menghancurkan seluruh
reputasi profesi dan diri sendiri.
Dengan catatan ini, janji publik untuk tidak menerima gratifikasi dan suap
harus dimengerti sebagai sebuah imperatif kategoris, sebuah perintah tanpa
syarat. Artinya mau tidak mau harus dilaksanakan. Imperatif ini memang
kaku, sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant, “ketika nilai moral
dipertaruhkan, apa yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat,
melainkan prinsip kedalaman yang tak terlihat.” Itu adalah kewajiban
pada dirinya sendiri. Namun, kewajiban itu sendiri menjadi dasar-dasar bagi
kepercayaan publik. Tanpa itu, dokter, advokat, guru, pebisnis, polisi, hakim
tidak dapat dipercaya, baik sebagai individu maupun sebagai institusi.

64
Integritas

BAB IV:
INTEGRITAS, FONDASI MORAL ANTIkOR
BA

Bab ini dirancang dengan tujuan utama sebagai berikut:


1. Membantu mahasiswa untuk memiliki pengertian dan
pemahaman yang tepat tentang arti dan makna serta pentingnya
integritas dalam memerangi korupsi.
2. Membantu membangun kemampuan moral mahasiswa untuk
menghargai proses yang benar dalam setiap upaya mengejar
tujuan. Tujuan yang baik harus dicapai dengan alasan dan cara
yang benar.
3. Berbekal pengertian dan pemahaman akan makna integritas,
mahasiswa diharapkan terdorong untuk merawat dan
mengembangkan integritas diri melalui perilaku kongkrit sehari-

A. Pengantar
Korupsi masih menjadi kanker yang menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara terutama negara-negara berkembang. Korupsi bisa dilakukan
secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan
organisasi atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu,
dan biaya yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya.
Entah sudah berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak
hukum. Kenyataannya, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang
seakan tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap
yang berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan,
gratifikasi, kick back yang menyasar pejabat publik, serta berbagai
perilaku koruptif lainnya masih terus menjadi headline media cetak dan
audio-visual. Predikat “kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang
disematkan pada penyakit sosial yang satu ini dengan sendirinya
menjelaskan betapa berbahayanya korupsi bagi bangsa dan negara.
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya hukum yang telah dilakukan
sejauh ini, harus diakui bahwa hukum ternyata tidak cukup efektif menekan
apalagi menyingkirkan korupsi. Banyaknya pejabat publik dan privat yang
tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK dengan rentang jeda yang relatif
singkat menunjukkan bahwa korupsi bukan sembarang kanker. Korupsi telah
berkembang menjadi kanker ganas yang menggerogoti hampir semua sektor
vital tubuh bernama negara dan bangsa dan karenanya sulit diberantas.
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Apakah benar
ketimpangan ekonomi atau ketidakadilan sosial menjadi alasan utama
terjadinya korupsi? Dimana sesungguhnya korupsi secara mendasar berakar?
Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kami mencoba menunjukkan
bahwa akar persoalan korupsi bukan sekedar alasan yang bersifat “eksternal”
melainkan “internal” dan bahkan bersifat inheren pada kepribadian manusia.

69
BA

Ada berbagai alasan yang mendorong terjadinya korupsi. Belajar dari


pengalaman selama ini, yang sering diangkat ke permukaan sebagai
alasan korupsi, pertama-tama adalah alasan ketidak-adilan ekonomi. Ada
benarnya tetapi pasti tidak seluruhnya benar. Dalam keadaan terdesak,
terutama pada tingkat menengah ke bawah korupsi (petty corruption)
tidak sulit terjadi. Sadar akan gejala ini, kenaikan gaji atau tunjangan
lazim diadopsi sebagai pendekatan untuk menekan angka korupsi. Apakah
angka korupsi kemudian menurun?
Harus diakui, komitmen dan konsistensi penegak hukum kita tidak pernah
luntur dalam upayanya memerangi dan mencoba memberangus korupsi.
Pantauan ICW (Kompas.com. 2018/09/18) memperlihatkan bahwa laju
menularnya kanker sosial ini mampu tertahan. Hasil olah data ICW (Indonesian
Corruption Watch) menunjukkan bahwa angka penindakan korupsi pada
semester I 2018 turun jika dibandingkan periode yang sama pada 2017.
Wana Alamsyah, Staf Divisi Investigasi ICW, menyebutkan, pada semester I
2018, penegak hukum berhasil menindak 139 kasus korupsi dengan 351 orang
ditetapkan sebagai tersangka. “Dibandingkan dengan tahun 2016 dan 2017
semester yang sama, terlihat penurunan yang cukup signifikan,” kata
Wana dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2018).
Wana mengungkapkan, pada semester I 2016, penegak hukum menindak 210
kasus korupsi dan menetapkan tersangka sebanyak 500 orang. Sementara,
pada semester I tahun 2017 penindakan kasus korupsi oleh penegak hukum
sebanyak 266 kasus dengan 587 tersangka. Dengan demikian, dalam
semester I tahun 2017, penegak hukum berhasil menindak 56 kasus dengan 87
tersangka lebih banyak daripada yang terjadi pada tahun 2016. Grafik
penindakan kemudian turun signifikan pada semester I 2018 dimana hanya
terdapat 139 kasus atau 127 kasus lebih rendah dari tahun sebelumnya,
dengan hanya 236 tersangka atau turun 351 kasus dari tahun 2017. Sekali lagi,
data ini menunjukkan laju korupsi berhasil ditekan bahkan turun signifikan.
Adapun, kerugian negara yang timbul dari kasus korupsi pada
semester I 2018 sebesar Rp 1,09 triliun dan nilai suap Rp 42,1 miliar. Ada
berbagai modus korupsi, antara lain mark up, tindakan suap, pungutan liar,
penggelapan, laporan fiktif, dan penyalahgunaan wewenang. Tetapi yang
menarik, disampaikan Wana, meskipun hanya empat kasus korupsi berupa
penyalahgunaan wewenang, nilai kerugian negara yang diakibatkannya tidak
kecil, yakni sebesar Rp 569 miliar.
Merujuk pada data kasus yang berhasil ditindak dengan jumlah tersangka
pelaku korupsi yang menurun signifikan, kita patut berbangga bahkan
optimisme pemberantasan korupsi kembali menggeliat. Akan tetapi fakta
bahwa hanya dengan empat kasus korupsi negara dirugikan sebasar Rp
569 miliar, kita harus kembali menegaskan bahwa kanker sosial itu luar bisa
berbahaya dan tidak mudah dihentikan. Pertanyaan, mengapa korupsi tetap

70
BA

saja begitu liat untuk dihancurkan?


Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab satu, kenyataan tersebut di
atas seharusnya menyadarkan kita bahwa korupsi memiliki alasan yang jauh
lebih mendalam daripada sekedar alasan tuntutan pemenuhan kebutuhan
ekonomis dan ketidak-adilan ekonomi. Faktor ekonomi bahkan sangat
tidak tepat menjadi alasan untuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi
negara. Gaji besar dan berbagai fasilitas yang disediakan negara untuk
semakin memudahkan hidup mereka tidak terbukti berhasil menciutkan nyali
korupsi para pejabat. Korupsi dengan efek kerugian besar bagi negara justru
terjadi pada tingkat atas (grand corruption).
Dominasi orientasi ekonomis menegaskan sesuatu yang lebih
mendalam dari sekedar kuatnya dorongan pemenuhan kebutuhan
ekonomis. Kecenderungan itu justru menegaskan bahwa masyarakat
(Indonesia), lebih menghargai having (kekayaan material) sebagai simbol
kehormatan diri daripada being—aspek kualitas yang bersifat inheren
pada kepribadian dan sekaligus menjadi basis pengembangan diri manusia
sebagai makhluk bermartabat. Predisposisi ekonomis (having) yang
dipelihara secara sadar justru membuka jalan bagi subyek untuk
menggadaikan self-dignity (martabat manusia) demi kepentingan ekonomis.
Pendekatan dan politik transaksional yang diperlihatkan oleh pejabat-
pejabat publik yang kemudian menular menjangkiti masyarakat umum
tidak saja menjadi bukti betapa kuatnya dominasi ekonomi, melainkan juga
memperlihatkan betapa syahwat ekonomi telah mereduksi manusia menjadi
semata-mata homo economicus.

B. Integritas, Fondasi Moral Antikorupsi


“Integritas”, sebuah istilah yang begitu sering kita dengar karena bisa
dengan begitu mudah diucapkan oleh siapa saja termasuk pejabat-
pejabat publik. Menjelang pemilihan presiden atau anggota legislatif,
misalnya, kata “integritas” hampir pasti mengalami deflasi akibat begitu
mudahnya istilah ini keluar dari mulut masyarakat. Itu wajar. Integritas
selama ini selalu menjadi salah satu standar kualitas yang harus dipenuhi
oleh para calon pemegang kekuasaan publik baik eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Apakah para calon pejabat memahaminya dengan baik?
Mungkin “ya”. Tetapi apakah mereka memiliki komitmen kuat untuk
mewujudkannya secara konsisten? Barangkali!
Tidak hanya dalam dunia politik. Dalam dunia bisnis pun, integritas
menjadi acuan penting ketika, misalnya, berbicara tentang reputasi dan brand
image bisnis. Integritas akan semakin mudah diangkat ke permukaan
ketika perusahaan dihadapkan dengan kepentingan memiliki seorang CEO,
seorang direktur atau manajer yang berkualitas. Hal itu wajar karena umum
diyakini bahwa kredibilitas sebuah perusahaan sangat tergantung pada
kualitas kepribadian para pengelola dan pengambil keputusan perusahaan.
Reputasi
BA

dan nama baik perusahaan, di satu pihak, serta loyalitas dan kepercayaan
konsumen atau publik terhadap perusahaan, di lain pihak, sangat tergantung
pada kualitas kepribadian para pengelolanya ketika berhadapan dengan
tantangan pemenuhan hak-hak stakeholders. Lalu, apa itu “integritas”
dan mengapa integritas penting baik pada lingkup publik maupun privat?
Bagaimana merawat dan mengembangkannya? Apakah integritas mencukupi
untuk membangun sebuah bisnis, organisasi, lembaga, atau bahkan
mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang kredibel? Inilah
beberapa pertanyaan mendasar yang coba dijawab dalam kaitannya dengan
korupsi.
Sebelum memasuki diskusi substansial mengenai “integritas”, perlu sejak
awal diberikan dua catatan kecil untuk menghindari salah-pengertian
terhadap istilah “integritas”. Pertama, sebagian orang cenderung memaknai
“integritas” tak lebih dari sikap “keras kepala” (stubbornness). Pemaknaan
seperti itu sebetulnya keliru walaupun bisa dipahami. Secara literer
“integritas” atau integrity dalam bahasa Inggris sejatinya diambil dari
khazanah bahasa Latin integer, yang berarti kuat, kokoh, tidak goyah, atau
tidak mudah terombang- ambing. Dengan makna positif seperti itu,
“integritas” sejatinya merefleksikan kepribadian positif yang layak dimiliki
setiap makhluk moral. Integritas bahkan seharusnya menimbulkan rasa
terhormat dalam diri mereka yang memiliki keberanian (courage) untuk
secara konsisten merawatnya (Robert C, Solomon, 1992: 168-174). Betapa
berharganya “integritas” bagi manusia, telah membuat Solomon
menegaskan bahwa mengabaikan integritas tidak hanya mengakibatkan
subyek kehilangan kemampuan berwawasan jauh kedepan (short-sighted)
melainkan dapat menghancurkan diri sendiri (self-destructive).
Kedua, integritas juga sering disamakan begitu saja dengan
“kejujuran” (honesty). Integritas memang mengandaikan kejujuran
sebagai nilai, akan tetapi tidak semua kejujuran pantas disebut
merefleksikan integritas. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Solomon,
kejujuran terlalu terbatas untuk merangkul seluruh kekayaan makna
integritas. Alasannya, dalam prakteknya integritas malah bisa saja
menuntut subyek untuk bertindak kurang jujur atau bahkan berbohong.
Dalam kasus tertentu pasti tidak sulit untuk sepakat dengan Solomon.
Misalnya saja, apakah seorang pejabat publik harus mengatakan dengan
jujur semua kebijakan atau semua informasi negara, bahkan yang bersifat
rahasia sekalipun, kepada pejabat publik negara lain? Kejujuran tentu saja
sebuah keutamaan yang ikut menentukan kualitas kepribadian manusia. Akan
tetapi kejujuran di dalam contoh rahasia negara ini tentu saja problematis
dari sisi etika politik. Menjadi kewajiban moral setiap warga negara apalagi
pejabat publik untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negaranya. Karena
itu mengatakan secara jujur informasi-informasi yang berkaitan dengan
rahasia negara merupakan pengkianatan dan karenanya harus ditolak dari
segi etika sosial-politik. Dalam konteks seperti ini integritas dalam arti
kejujuran tidak relevan diterapkan.
BA

Dengan catatan di atas, integritas lebih tepat dimaknai sebagai


“keberanian moral (moral courage), kemauan, serta kehendak kuat untuk
melakukan apa yang subyek sadari dan yakini sebagai kewajiban yang
seharusnya (ought) ia lakukan”. Singkatnya, “integritas” adalah sikap yang
kokoh, kuat, dan berani bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan-
keyakinan moral subyek tentang apa yang menjadi kewajiban moral untuk
melakukannya. Dengan demikian, kepatuhan terhadap sebuah perintah,
atau loyalitas kepada organisasi, misalnya, hanya pantas dipenuhi sejauh
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang
diyakini dan dibela oleh subyek. Itu juga berarti, ketika seseorang dengan
rela bergabung dengan sebuah organisasi dan sepakat menerima apa yang
menjadi nilai dan tujuan organisasi, misalnya, maka menjadi kewajiban moral
bagi yang bersangkutan untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan tujuan
dan nilai-nilai organisasi. Sebaliknya, ketika organisasi berjalan di luar rel
tujuan dan nilai-nilai organisasi maka anggota organisasi secara moral
wajib untuk menolaknya. Itulah integritas.
Itu sebabnya Solomon menegaskan bahwa integritas memiliki dua makna
yang berbeda, yakni, di satu pihak, menekankan pentingnya konformitas
(conformity) dan kepatuhan (obedience). Namun, dilain pihak integritas
juga menuntut independensi untuk menolak atau melakukan perlawanan
(belligerent independence) terhadap setiap posisi moral yang bertentangan
dengan keyakinan subyek. Dengan demikian, dalam konteks organisasi,
integritas justru menegaskan kemampuan seseorang sebagai anggota
organisasi untuk menempatkan diri serta bersikap loyal terhadap
organisasi (sense of membership), namun pada saat yang sama juga tetap
menghargai otonomi subyek untuk bersikap dan bertindak sesuai
dengan apa yang disadari sebagai kewajiban yang seharusnya ia lakukan
(sense of autonomy). Untuk itu, integritas sejatinya menuntut kemampuan
bersikap kritis. Subyek dituntut untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan
kesadaran kritis otonom akan “apa-yang-seharusnya-saya-lakukan”. Itu
berarti integritas menuntut subyek untuk jujur pada dirinya sendiri.
Kejujuran bertindak sesuai dengan keyakinan moral pada gilirannya justru
meningkatkan self-esteem dan self- respect subyek.
George Lee Butler (dalam J. C. Ficarrotta, 2001: 73-83) dalam sebuah
refleksi personalnya tentang integritas menekankan betapa pentingnya
integritas bagi seorang (prajurit) profesional. Menurutnya, tanpa integritas,
seseorang pertama dan terutama akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan
publik atas profesionalisme yang dimilikinya. Bagi seorang pemimpin,
misalnya, integritas merupakan landasan moral kekuasaan yang membuat
seseorang memiliki kewibawaan dan karenanya mendorong dan menarik orang
lain untuk mempercayakan hidup dan nasibnya kepadanya. Bahkan integritas
sejatinya adalah basis legitimasi otoritas.

73
BA

Integritas menjadi semakin penting karena dalam kenyataannya setiap


individu hampir selalu merupakan “pribadi-yang-terpecah” – setiap individu
menjadi diri-sendiri dan sekaligus menjadi diri-organisasi atau masyarakat.
Individu dihadapkan pada situasi dilematis ketika harus mengambil keputusan
persis karena terjadinya benturan nilai-nilai individu, di satu pihak,
dengan nilai-nilai organisasi, di lain pihak. Integritas individu diuji justru
karena adanya benturan nilai. Pada titik ini, pertanyaan “Saya ingin menjadi
manusia seperti apa?” menjadi krusial untuk diajukan pada diri sendiri.
Pertanyaan itu menjadi alarm dan sekaligus gugatan terhadap individu dari
segi integritas. Pertanyaan itu ingin menegaskan juga bahwa integritas
lebih merupakan masalah yang berkaitan dengan standard serta otoritas
yang dimiliki seseorang dalam mengambil keputusan tentang apa yang
seharusnya ia lakukan.
Dengan demikian integritas menuntut seseorang untuk tidak sekedar
menjadi pengikut, apalagi ikut-ikutan, dalam menjalankan peraturan,
melainkan menjadi pribadi yang mengikuti peraturan karena “ia mengerti dan
menerima untuk mematuhinya”. Melalui pengertian ia mampu mengubah
peraturan yang datang dari luar menjadi “peraturanya-sendiri”. Di sini subyek
bukanlah pribadi heteronom—pribadi yang patuh pada peraturan atau norma
karena “paksaan” dari luar atau sekedar ikut-ikutan, melainkan pribadi yang
otonom—pribadi yang teguh berpegang pada nilai-nlai dasar yang dianut
dan dimilikinya, dan karenanya dalam bertindak ia senatiasa digerakkan serta
didorong oleh kesadaran dan keyakinan kritis akan “apa-yang-seharusnya-
saya-lakukan”.
Patut dicatat bahwa meskipun integritas menuntut bahwa norma-
norma harus berisfat self-imposed dan self-accepted (memiliki kekuatan
karena terbentuk melalui komitmen dan konsistensi subyek untuk selalu
menyelaraskan sikap dan tindakannya dengan norma-norma dan
keyakinan- keyakinan yang dianut), norma-norma itu tidak bisa berlaku
secara sewenang- wenang. Norma-norma tetap harus dapat
dipertanggungjawabkan. Harus terbuka kemungkinan untuk
menghadapkan secara kritis sebuah norma dengan norma-norma lain atau
dengan posisi lain yang diambil oleh subyek yang berbeda dalam
menghadapi kasus tertentu. Dengan demikian, norma- norma yang
menjadi rujukan integritas memiliki kekuatan untuk diterima karena
memang tepat dan layak diterima. Tegasnya, integritas harus dibangun diatas
fondasi sejumlah nilai positif yang mendukung kehormatan dan harga diri
manusia sebagai makhluk moral. Karena itu, mendiskriminasi sekelompok
anggota masyarakat demi menaikkan taraf hidup kelompok masyarakat lain,
misalnya, pasti bertentangan dengan prinsip integritas. Tindakan ini bertolak-
belakang dan bahkan mengkhianati integritas yang seharusnya dibela.
Integritas menuntut bahwa upaya keras yang dilakukan untuk menggapai
tujuan, haruslah ditempuh dengan alasan dan dengan cara yang benar. Itu
berarti tujuan yang baik tidak dengan sendirinya membenarkan cara yang
BA

digunakan untuk mencapainya. Mendapat nilai A pada setiap mata kuliah


yang ditempuh tentu saja membanggakan. Akan tetapi kebanggaan menjadi
semu dan tidak bermakna apapun terutama dari segi kualitas intelektual
ketika nilai A diperoleh dengan cara menyontek. Kecurangan (menyontek)
justru menggerogoti self-dignity pelaku. Atau, menghadiahkan cincin
berlian bagi sang istri tentu saja sebuah bentuk ungkapan cinta dan kasih
sayang yang layak diapreasiasi. Akan tetapi ungkapan kasih sayang itu tidak
memliki arti apa pun baik bagi yang menerima maupun yang memberi ketika
diperoleh dari hasil penyalahgunaan kekuasaan. Disitu, self-dignity, baik pada
diri pemberi maupun penerima pupus dalam waktu singkat hanya karena
dibangun dengan bentuk dan cara yang salah (Richard T. De George, 2001:
215).
Keyakinan dan kesadaran akan nilai itulah yang membuat R. Solomon
menegaskan bahwa integritas sejatinya merupakan sebuah kemampuan yang
dimiliki atau tidak dimiliki seseorang, bukan tindakan atau aktivitas tertentu
yang dilakukan seseorang. Integritas adalah kualitas moral yang melekat pada
subyek, pada manusia, bukan pada tindakan atau aktivitas. Menyebut Pemilu
yang berintegritas, misalnya, adalah contoh penggunaan istilah integritas
yang secara populer bisa dipahami, akan tetapi secara akademis
sekurang- kurangnya tidak seluruhnya tepat. Yang diperlukan adalah
pengelola dan penyelenggara Pemilu serta peserta Pemilu yang
berintegritas untuk melaksanakan Pemilu sesuai dengan standar yang
seharusnya sehingga boleh diharapkan bahwa Pemilu akan membuahkan
hasil yang berkualitas dan karenanya patut diterima oleh siapapun, termasuk
yang tidak beruntung dalam pemilihan.
Dengan demikian, esensi integritas adalah keteguhan (thoughness) dan
keutuhan (wholeness) kepribadian yang terungkap melalui keselarasan antara
nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang dimiliki subyek dengan perilaku
dan tindakannya. Six & Huberts (2008) memperkuat definisi yang disajikan R.
Solomon dengan menambahkan dimensi incorruptibility dan exemplary moral
behavior sebagai bagian dari esensi integritas. Dengan esensi seperti itu, tidak
mengherankan ketika seseorang bisa dengan mudah dicap tidak berintegritas
hanya karena satu perbuatan buruk yang dilakukannya. Sebaliknya,
seberapapun banyaknya perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan
sendirinya membuat individu yang bersangkutan layak disebut pribadi
yang berintegritas. Hal itu bisa dipahami terutama karena perbuatan baik tak
jarang dilakukan sebagai tabir kamuflase untuk menutupi kekurangan.
Seorang pejabat (publik atau privat), misalnya, bisa saja dengan mudah
mencela korupsi sebagai perbuatan tidak bermoral walaupun dalam
prakteknya perilaku dan tindakannya lebih sering tak selaras dengan
ucapannya. Itu terjadi karena “penampilan” (appearance) sering kali lebih
penting daripada kualitas kepribadian sesungguhnya. Itulah yang terjadi pada
pribadi hipokrit (hypocrite). Seorang hipokrit secara moral tidak berintegritas,
karena ia gagal

75
BA

“to practice what he preaches”. Apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa
yang ia lakukan. Terjadi fragmentasi kepribadian.
Distingsi antara “rules in form” dan “rules in use” yang dikemukakan oleh
Elinor Ostrom (lihat Bob Ornsthstein, 2017), bisa membantu untuk lebih
memahami fragmentasi kepribadian. Dengan distingsi itu Ostrom ingin
menegaskan bahwa sesungguhnya tersedia norma-norma sosial dalam
masyarakat dan anggota masyarakat memang mengetahuinya dan bahkan
mengakuinya meskipun tidak diformalisasi, tidak ditetapkan secara resmi.
Meskipun mengetahui dengan baik, dalam prakteknya norma-norma sosial
tidak digunakan sebagai panduan untuk hidup dan bertindak sebagaimana
seharusnya sesuai dengan pengertian dan pengetahuan yang dimiliki. Tanpa
ketetapan formal sekalipun, semua orang, termasuk para pejabat baik publik
maupun privat, mengerti dan menyadari bahwa korupsi secara moral
buruk dan harus dihindari (rules in form). Akan tetapi dengan alasannya
masing- masing, korupsi tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, norma
sosial hanya dimengerti tetapi tidak dipraktekkan (rules in use) karena tidak
terinternalisasi menjadi bagian integral identitas diri.
Bagi R. Solomon, di dalam pribadi hipokrit juga melekat berbagai
kekurangan moral lainnya khususunya sifat suka menipu atau berbohong
yang memang secara sadar dilakukan untuk menutupi kekurangan atau
ketimpangan kualitas moral. Mereka menjadi manusia hipokrit dengan
berbohong tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Mereka bahkan harus berbohong pertama-tama kepada dirinya sendiri untuk
kemudian berbohong kepada orang lain. Dan sekali ia berbohong, ia akan terus
memproduksi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Ada berbagai cara yang digunakan seorang yang tidak berintegritas untuk
menutupi perilaku buruknya. Cara yang paling sederhana adalah menyangkal
perbuatannya. Ketika seorang hipokrit melakukan sebuah pelanggaran, ia
akan dengan segala macam cara berusaha untuk menutupinya. Tak jarang
penyangkalan dilakukan dengan strategi yang sophisticated dan berbelit-
belit untuk mempersulit upaya pelacakannya. Mempermainkan bahasa untuk
menciptakan nuansa berbeda atas kejahatan yang dilakukannya juga menjadi
cara lain yang digunakan pribadi hipokrit untuk menutupi perbuatan buruknya.
Ketika dituduh dan bahkan sesungguhnya terbukti mencuri motor, misalnya,
seorang hipokrit bisa dengan enteng mengatakan “Saya tidak bermaksud
mencuri; saya hanya ingin meminjamnya untuk sementara waktu”. Pribadi
hipokrit juga bisa menutupi perilaku buruknya dengan apa yang disebut
self-effacing humor. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan:
“Jangan melakukan apa yang saya lakukan, tetapi lakukan apa yang saya
katakan”. Ia lupa bahwa humor seperti itu sejatinya hanya mengalihkan
perhatian dan tidak sungguh-sungguh menghilangkan perbuatan buruknya.

76
BA

Tidak mengherankan ketika seorang koruptor (dan pelaku kejahatan


lainnya) cenderung menyangkal perbuatan yang disangkakan kepadanya.
Dengan berbagai cara dan dalih serta dengan dukungan penasehat hukum
yang juga layak diragukan integritasnya, para koruptor akan berusaha
menolak semua tuduhan. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk itu.
Pertama, demi menghindari hukuman apalagi tindakan yang
berpotensi diancam dengan hukuman yang sangat berat. Kedua, hukuman
selalu meninggalkan stigma negatif yang sangat sulit dihilangkan. Itu
sebabnya, sekali lagi, hanya dengan satu perbuatan buruk saja dapat
dengan mudah seseorang dicap tidak berintegritas; sebaliknya,
seberapapun banyaknya perbuatan baik yang dilakukan tidak dengan
sendirinya membuat seseorang dipandang berintegritas. Ketiga, seberapapun
kecilnya, lilin kecil self-dignity masih dicoba dijaga untuk terus bernyala
juga oleh seorang koruptor kakap sekalipun. Sayangnya, demi api lilin kecil
benama self-dignity itu kebohongan demi kebohongan harus terus
diproduksi dan dipamerkan dalam proses penyidikan dan peradilan.
Dengan begitu self-dignity coba dibela dan dipertahankan namun dengan
cara yang justru semakin menghancurkan self- dignity itu sendiri. Itulah moral
cost yang harus dibayar oleh seorang hipokrit.
Dengan demikian, integritas berhubungan erat terutama dengan kejujuran
(honesty) dan keberanian moral (courage) untuk mengatakan atau melakukan
apa yang seharusnya (ought) dikatakan atau dilakukan. Menutup uraian
sejauh ini, secara singkat bisa kita rumuskan enam point penting berikut ini
untuk mempertegas makna integritas.
Pertama, integritas menunjuk pada kemampuan dan kualitas moral
yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang. Integritas tidak menunjuk
pada perbuatan atau aktivitas melainkan pada person yang memiliki atau
tidak memilikinya. Perbuatan atau aktivitas hanyalah refleksi integritas,
bukan integritas itu sendiri.
Kedua, di dalam istilah integritas termuat disposisi moral yang
memampukan subyek untuk berani melakukan yang baik dan menghindari
yang buruk. Dengan demikian integritas dalam dirinya memuat
keutamaan- keutamaan moral seperti honesty, fairness, benevolence, self-
respect, dan courage, yang memungkinkan seseorang mampu
mengarahkan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dan
diperliharanya dengan baik dalam hidupnya.
Ketiga, hipokrasi merupakan tampilan manipulatif dari pribadi yang
tidak berintegritas. Hipokrasi sejatinya adalah sikap yang menghalalkan
kebohongan dan karenanya subyek berpotensi untuk terus memproduksi
kebohongan demi menutupi aib. Meskipun begitu, hipokrasi atau tampilan
manipulatif hanya dapat mengalihkan perhatian namun tidak pernah bisa
menghilangkan perbuatan buruk itu sendiri. Hipokrasi bahkan menjadi jalan
untuk semakin menghancurkan self-dignity.

77
BA

Keempat, adalah mudah bagi seseorang untuk kehilangan predikat


“berintegritas” akan tetapi sangatlah sulit untuk membangun diri menjadi
pribadi yang layak menyandang predikat “berintegritas”. Hal ini mudah
dipahami karena integritas pertama-tama bukan masalah pengetahuan
melainkan persoalan keberanian dan kekuatan moral untuk
menyelaraskan sikap dan tindakan dengan nilai-nilai dan keyakinan
mendasar subyek yang senantiasa berada dalam tantangan pragmatisme.
Kelima, integritas menuntut komitmen dan konsistensi untuk membuatnya
terus bersemi, tumbuh dan berkembang serta terpatri menjadi karakter yang
kokoh. Komitmen dan konsistensi itu tidak diperlihatkan melalui
perkataan melainkan pertama-tama dan terutama melalui perbuatan.
Dan, keenam, terakhir, ucapan Inggris “Deeds speak louder than words”
relevan diterapkan dalam konteks membangun integritas moral dan sekaligus
memerangi kemunafikan.

C. Menekan Korupsi, Memelihara dan Mengembangkan


Integritas
Sebelum masuk dalam diskusi tentang memelihara dan mengembangkan
integritas, adalah penting menjawab dua pertanyaan berikiut ini: pertama,
uraian sejauh ini memperlihatkan bahwa integritas bersifat personal.
Integritas mengacu pada karakter pribadi yang tidak dengan sendirinya
diterima atau diakui secara luas oleh masyarakat umum. Kalau demikian
halnya, bagaimana integritas berfungsi efektif memerangi korupsi yang
merupakan penyakit sosial? Dan, kedua, mengapa integritas gagal
terwujud menjadi bedrock perilaku etis?
Dari segi etika, isu integritas masuk dalam wilayah etika keutamaan
(virtue ethics). Berbeda dengan teori etika utilitarianisme dan deontologi
yang membimbing kita menemukan prinsip moral sebagai basis untuk
bertindak, etika keutamaan justru menekankan pentingnya komitmen dan
konsistensi untuk selalu melakukan apa yang diyakini “baik” dan “benar”.
Etika keutamaan menekankan predisposisi berupa keberanian moral (moral
courage) untuk selalu bertindak sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan-
keyakinan moral subyek tentang apa yang baik dan benar. Semakin seseorang
bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan moral yang
dimilikinya, semakin ia meneguhkan nilai-nilai dan keyakinannya sendiri
dan dengan demikian membuatnya semakin berkembang menjadi pribadi
yang berintegritas. Seseorang tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang jujur dan adil karena ia yakin bahwa kejujuran dan keadilan adalah
nilai yang pantas dibela. Untuk itu, ia akan senantiasa berusaha untuk selalu
bertindak jujur dan adil, juga ketika tidak ada seorangpun menyaksikan
perbuatannya. Itu sebabnya Immanuel Kant, menekankan pentingnya
prinsip universalizability dalam

78
BA

bertindak. Prinsip tersebut menekankan: (1) pentingnya menghindarkan diri


dari godaan untuk mengecualikan diri atau menerapkan standar ganda dalam
bertindak; (2) sebelum bertindak, ajukan pertanyaan: “Bagaimana kalau
setiap orang melakukannya?” Misalnya saja, korupsi yang dilakukan hanya oleh
satu orang, dampak negatif yang diakibatkannya barangkali tidak signifikan.
Akan tetapi apa yang terjadi apabila setiap orang melakukannya? (lihat
John R. Boatright, 2003: 54).
Dengan demikian, menekan korupsi, di satu pihak, dan memelihara
integritas, di lain pihak, harus dimulai dengan kesadaran untuk secara
konsisten bertindak atau berperilaku sesuai dengan predisposisi moral, yakni
komitmen untuk senantiasa hanya melakukan apa yang “baik” dan “benar”.
Lalu bagaimana seseorang secara konsisten bertindak sesuai dengan
predisposisi moral yang dimilikinya?
Pada prinsipnya tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan yang
seutuhnya memiliki atau tidak memiliki predisposisi moral. Setiap individu
pasti memiliki potensi berupa keterarahan untuk melakukan apa yang
baik dan benar. Yang dibutuhkan adalah upaya merawat potensi itu agar
tumbuh dan berkembang menjadi karakter pribadi yang kokoh. Internalisasi
keutamaan yang dilakukan secara konsisten melalui keluarga, sekolah,
atau masyarakat umum pasti sangat membantu terbentuknya kesadaran
untuk selalu melakukan “yang baik” dan “yang benar” dan menghindari “yang
buruk” dan “yang salah”. Integritas dengan demikian dipelihara dan
dikembangkan melalui proses habituasi. Kata orang bijak: “bisa karena biasa”.
Akan tetapi apakah proses habituasi akan selalu berjalan mulus sehingga
efektif mencegah perilaku tak bermoral? Terhadap pertanyaan ini George
Lee Butler mencatat beberapa hal yang bisa saja menghambat tumbuh
dan berkembangnya integritas.
Pertama, integritas bisa gagal berkembang karena subyek tidak memiliki
kualitas karakter yang secara fundamental memadai untuk membedakan siapa
dia dan untuk apa dia berada dalam suatu jabatan atau posisi tertentu. Ketika
seorang pejabat publik tidak memahami dengan benar esensi jabatannya, ia
akan lupa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dan sibuk membangun
identitas diri dengan memupuk kekuasaan dan bukan dengan apa yang
seharusnya ia lakukan. Itu sebabnya Butler menegaskan bahwa orang
hebat adalah orang yang mencari kekuasaan untuk berbuat, bukan untuk
menciptakan singgasana dan menetap di sana (Great men seek power to do,
not to be). Tidak berlebihan ketika Aristoteles, filsuf Yunani, mengingatkan
untuk tidak memilih calon pejabat yang senang berkuasa; pilihlah orang
yang tidak suka menjadi penguasa. Mengapa? Karena orang yang
mencintai kekuasaan akan sibuk menciptakan kondisi untuk
mempertahankan kekuasaan dan karenanya lupa untuk melayani
kepentingan publik. Padahal,

79
BA

semakin lama berkuasa, semakin terbuka peluang untuk menyalah-


gunakan kekuasaan. Kata Lord Acton, “Power corrupts and absolute
power corrupts absolutely.”
Kedua, integritas bisa gagal dipelihara dan berkembang karena kelemahan
manusiawi (human frailty), suatu kelemahan dalam bentuk ketakutan
yang sesungguhnya sederhana tetapi berpengaruh pada perilaku etis
subyek. Trauma akibat kegagalan dalam ujian, misalnya, bisa mendorong
seseorang untuk berlaku curang dalam ujian. Atau, ketakutan akan kegagalan
memenuhi target mendapatkan proyek yang potensial memberikan
keuntungan besar bagi perusahaan, akan mendorong seseorang untuk
melakukan penyuapan terhadap pejabat publik demi memenangkan lelang.
Ketakutan menghadapi masa pensiun, misalnya, bisa saja mendorong
seseorang untuk melakukan korupsi untuk mengamankan masa tuanya. Kita
bahkan gagal mengembangkan diri sebagai pribadi yang berintegritas ketika
memberikan toleransi (karena takut konflik) terhadap kesalahan orang
lain yang kita tahu bertentangan dengan peraturan atau melanggar nilai-
nilai moral.
Ketiga, integritas bisa gagal dipelihara karena kurang atau bahkan
tidak adanya kompetensi memadai dalam menghadapi tantangan. Sebagian
orang menduduki posisi atau jabatan bukan karena alasan kompetensi
melainkan hasil dari kolusi dan nepotisme koruptif atau alasan-alasan yang
tidak sesuai dengan tuntutan profesionalisme. Yang muncul kemudian
adalah sikap dan perilaku koruptif untuk menutupi incompetence.
Keempat, ketimpangan dalam penalaran moral bisa menjadi alasan
lain munculnya sikap dan perilaku yang jauh dari kualitas integritas yang
seharusnya dimiliki seseorang. Bisa saja seseorang gagal melihat dimensi dan
konsekuensi moral dari apa yang dilakukannya. Demi nama baik rekan dan
lembaga, misalnya, seseorang bisa berusaha menutupi kesalahan (korupsi)
yang dilakukan rekan kerjanya. Disini, menutupi kesalahan dilihat sebagai
perbuatan baik dan karenanya kebohongan yang dilakukan untuk
menutupi kesalahan dianggap baik (secara moral). Yang dilupakan adalah
tindakan menutupi perbuatan koruptif melalui kebohongan justru menjadi
pupuk tumbuh dan berkembangnya sikap dan tindakan koruptif dengan
skala yang lebih besar baik kuantitatif maupun kualitatif.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menumbuh-kembangkan integritas?
Jawaban umum, tetapi tidak dengan sendirinya efektif dalam menghadapi
perilaku koruptif dan sekaligus mengembangkan kualitas integritas adalah
diperlukan seperangkat peraturan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
prinsip-prinsip yang memang bisa diterapkan dalam wilayah etika publik.
Peraturan serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip tersebut harus, paling sedikit,
dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara rasional meskipun dalam
prakteknya (barangkali) sulit diterapkan seara konsisten. Untuk itu, strategi

80
BA

internalisasi menjadi penting. Dari mana kita harus mulai untuk membangun
integritas untuk memerangi korupsi? Adalah kenyataan bahwa korupsi selalu
dilakukan dalam konteks yang tidak terlepas dari kedudukan struktural
kelembagaan. Dan karena itu isu good governance architecture lembaga
relevan dikemukakan dalam konteks memerangi korupsi.

D. Pilar membangun Integritas

6 Pilar Integritas
Political Will Transparansi Akuntabilitas Pertisipasi Publik Peraturan

Menjawab pertanyaan, apa yang harus dilakukan untuk


mengembangan kan integritas, Six and Huberts (2008) mengajukan enam
pilar penting berikut ini.

1. Political will
Etika publik menjadi fondasi (bedrock) utama dalam memelihara dan
mengembangkan integritas dalam ruang publik. Untuk itu diperlukan
kemauan politik kuat dari pemimpin tertinggi organisasi untuk
membangun integritas. Leading by example, apalagi dalam masyarakat
paternalistik, menjadi sangat penting. Disini, nilai-nilai moral menjadi
penting dan karenanya berkontribusi positif pada kinerja lembaga,
bukan karena terus disosialisasikan dengan kata-kata melainkan karena
diwujudkan secara kongkrit melalui perilaku leadership. Itu berarti
leading by example juga harus dimengerti sebagai leading by values.
Upaya ke arah ini sering menjadi kontra produktif karena pemimpin-
pemimpin, terutama pemimpin politik, tidak sungguh-sungguh
memerangi korupsi. Retorika manipulatif cenderung
dipertontonkan

81
BA

dan dengan demikian secara sadar menafikkan keselarasan antara


kata dan perbuatan. Ucapan Six & Huberts berikut ini sangat layak
untuk dicamkan. Katanya: “A leader is a person with high-level
integrity. To have Integrity is to have a coherent set of principles and
values which are in line with a moral filter. It means incorruptibility
and the state of rightiousness”. Dengan demikian, membangun
integritas dalam konteks organisasi (publik) harus dimulai dari
pimpinan untuk pada giliran mampu menjadi model integritas. Ini
penting karena dalam masyarakat yang cenderung paternalistik
berlaku pepatah: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Seluruh organisasi akan menjadi lebih buruk ketika berada di tangan
pemimpin yang buruk dari segi etika publik.
2. Transparansi
Pemerintah harus terbuka untuk senantiasa membuat warganya melek
terhadap berbagai isu strategis negara, terutama yang berdampak
pada kehidupan mereka, serta kebebasan dan kemerdekaan mereka.
Transparansi akan mendorong munculnya kesadaran publik untuk
berpartisipasi untuk mengontrol dan berkontribusi kongkrit demi
suksesnya sebuah kebijakan. Dengan demikian baik pejabat publik
dan masyarakat umum sama-sama merasa terikat oleh kebijakan
dan undang-undang yang berlaku dan karenanya efektif dalam
penerapannya. Parlemen, dalam hal ini, harus berada pada garis
terdepan untuk memastikan bahwa seluruh produk legislatifnya
tersosialisasi dengan baik, dengan catatan, sosialisasi tidak
hanya sebatas retorika melainkan terutama melalui perilaku yang
memperlihatkan pembelaan real dan genuine terhadap undang-
undang. Ini penting dicatat karena tidak jarang undang-undang dibuat
serta berlaku dan mengikat bagi segenap warga negara, termasuk
anggota parlemen, tetapi dalam kenyataannya selalu saja ada “trik-
trik kwasi-legal” yang dimainkan untuk menutupi borok koruptif
pribadi atau rekan sejawat.
3. Akuntabilitas
Prinsip ini terwujud melalui pemanfaatan berbagai resources dan
jasa publik untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat
atau demi kepentingan umum. Setiap tindakan di luar jalur itu harus
sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Katakan saja, apakah boleh seorang pejabat publik menggunakan
otoritas jabatannya untuk mendapatkan pelayanan publik khusus bagi
anggota keluarganya? Anggota keluarga sebagai warga negara
tentu saja berhak mendapatkan pelayanan publik. Tetapi konteks
“keluarga” dalam kasus ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan. Karena itu perlu pertanggungjawaban yang jelas dan
dapat diterima

82
BA

(reasonable) publik ketika hal seperti itu memang harus dilakukan.

4. Partisipasi publik
Demokrasi meniscayakan partisipasi aktif publik, termasuk media,
dalam pengelolaan negara. Kritik selalu harus punya tempat dalam
ruang publik; namun supaya kritik tidak melabrak asas fairness dan
responsibility dalam tata-kelola yang baik (good governance),
kritik harus dilakukan dengan motif demi kebaikan umum dan
bukan demi kepentingan eksklusif diri sendiri atau segelintir orang.
Untuk itu obyektivitas dan reasonableness perlu dijaga agar kritik
tidak berubah menjadi fitnah yang justru semakin memperkeruh
keadaan. Efektivitas partisipasi publik ini sangat tergantung juga pada
kesediaan bersikap transparan dari sisi pejabat publik.
5. Peraturan hukum
Pilar ini menuntut pentingnya negara memiliki pembuat dan penegak
hukum yang berintegritas. Alasannya jelas. Peraturan hukum menjadi
hukum karena memenuhi asas fairness, impartiality, and integrity. Itu
berarti, hukum memiliki kekuatan mengikat karena dilahirkan oleh
anggota legislatif yang menjunjung tinggi asas fairness, impartiality,
dan integrity. Hanya dari anggota parlemen dengan kualitas
kepribadian yang menjunjung tinggi asas-asas teresebut, kita boleh
berharap bahwa hukum lahir dan hadir demi kepentingan atau
kebaikan umum.
Tuntutan yang sama berlaku bagi penjabat yudikatif. Pada akhirnya
praktek dan penegakan hukum menjadi bukti kongkrit apakah
asas “kesamaan di depan hukum” sungguh-sungguh ditegakkan.
Inkonsistensi lembaga dalam menerapkan asas-asas tersebut dalam
mengemban dan melaksanakan tugas publiknya akan menjadi
pelajaran buruk yang menyuburkan sikap dan perilaku “tak-peduli-
hukum” (unlawfulness) dalam masyarakat, umumnya, dan pejabat
publik, khususnya. Dokrin “ultra vires in action” pantas ditegaskan
dalam konteks ini. Doktrin itu menegaskan pentingnya keberanian
tanpa takut sedikitpun untuk mencopot seorang hakim dari
jabatannya untuk kemudian menggantinya dengan pejabat baru
yang kredibel (memiliki kompetensi dan integritas yang memadai
untuk posisinya). Dengan demikian, berperilaku sesuai dengan hukum,
peraturan, dan prosedur yang seharusnya menjadi penting sebagai
bagian dari menegakkan hukum dan sekaligus memupuk tumbuh
dan berkembangnya integritas secara umum dalam lembaga. Hal
yang sama juga perlu diusahakan dalam dunia bisnis. Kenyataan
memperlihatkan bahwa kolusi sistematis antara kekuasaan politik
(publik) dan kekuasaan ekonomi ikut berkontribusi dalam berkembang
dan menularnya korupsi.

83
BA

6. Ruang demokrasi
Pilar ini penting untuk dirawat karena kita hidup dalam sebuah era
dimana masyarakat semakin sadar akan hak-haknya yang harus
dilindungi dan bahkan harus difasilitasi realisasinya oleh negara. Hak
atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan
layanan pendidikan dan kesehatan yang baik, hak politik untuk
berpatisipasi aktif dalam menentukan masa depan negara melalui
pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil
presiden, adalah beberapa hak mendasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Tuntutan pemenuhan hak-hak ini menjadi
bentuk kontrol publik dan sekaligus indikator kinerja pejabat
publik sebagai refleksi perwujudan kepercayaan publik atas kekuasaan
yang telah diperoleh pejabat publik dari masyarakat. Demokrasi
dengan demikian merupakan manisfestasi dari integritas di dalam
ruang publik.
Inkonsistensi dalam menjaga dan merawat integritas demi memerangi
korupsi bisa berakibat negatif serius pada mentalitas dan moralitas
bangsa secara keseluruhan. Korupsi akan terus tumbuh subur akibat tidak ada
upaya serius membangun integritas melalui perilaku kongkrit pemangku
kekuasaan baik publik maupun privat. Sadar akan terus menularnya penyakit
sosial itu, Lee Butler menyarankan beberapa hal berikut di bawah ini.
1. Hal yang pertama dan utama adalah mengembangkan pengertian
tentang apa yang akan terjadi jika integritas dibiarkan tak
terawat? Masyarakat dan pemegang kekuasaan harus terus menerus
disadarkan akan dampak negatif yang berpotensi semakin merusak
bangsa dan negara akibat hilangnya kemampuan dan keberanian
moral untuk senantiasa “bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya
dilakukan”. Mempelajari etika sebagai sistem pemikiran moral akan
membantu mengembangkan sense of responsibility dan
accountability melampaui kepentingan diri sendiri dan
sekaligus mendorong pemahaman mendalam tentang implikasi
negatif dari pengabaian terhadap integritas. Pendidikan etika sedini
mungkin akan membantu pengembangan sikap altruis—sikap yang
senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri. Apa yang ditegaskan diatas patut
mendapat perhatian serius. Daftar panjang koruptor yang ada di
tangan KPK dengan sendirinya membenarkan pandangan Butler ini.
Terlalu banyak orang terlibat korupsi bukan karena alasan
ketimpangan apalagi ketidakadilan ekonomi tetapi semata-mata
karena penyakit sosial bernama kerakusan (greediness). Dalam dunia
bisnis, misalnya, skandal Enron pada tahun 2002— manipulasi
laporan keuangan untuk mengelabui publik tentang kinerja
perusahaan dan sekaligus menarik minat investor—menjadi contoh
BA

paling jelas betapa integritas moral digadaikan demi memuaskan


keserakahan ekonomi. Kasus subprime mortgage yang dilakukan
oleh Lehman Brothers yang akhirnya membawa lembaga keuangan
terpercaya itu gulung tikar pada tahun 2008 menjadi contoh lain
kerakusan ekonomi dalam dunia bisnis. Defisit integritas moral
tidak sulit membawa seseorang dengan tingkat kompetensi tinggi
sekalipun untuk menjerumuskan diri dalam perilaku koruptif.
2. Pentingnya mengembangkan mental thoughness—yakni, kemampuan
moral untuk tidak terombang-ambing oleh situasi dan bahkan
bersedia memikul tanggungjawab melampaui kepentingan diri
sendiri. Dalam konteks kepemimpinan, mental thoughness terlihat
lewat keberanian untuk tidak memberi toleransi pada pelanggaran
atas standar perilaku organisasi. Di sini diperlukan dukungan seorang
pemimpin berkarakter kuat yang dalam bahasa Ferrell dan
Gardiner (1991: 99-114), disebut though-minded leader—yakni, tipe
pemimpin yang berprinsip kokoh dan karenanya mampu menjadi
model yang mendorong berkembangnya integritas dalam diri
mereka yang dipimpin. Namun, yang sering kita alami dalam
praktik adalah lebih banyak pemimpin yang bertipe entah though-guy
leader atau nice-guy leader. Seorang though-guy leader cenderung
otoritarian. Ketimbang bersedia secara terbuka
mempertanggungjawabkan tindakannya secara rasional, ia lebih
memilih bersembunyi di balik peraturan dalam menyelesaikan
persoalan. Ia abai membangun persuasi rasional dengan akibat
peraturan tidak terinternalisasi dengan baik. Bawahan pun hanya
patuh ketika ia hadir; akan tetapi mereka akan menari-nari
mengangkangi manajemen ketika mereka jauh dari pantauan
pemimpin. Sedangkan tipe nice-guy leader cenderung menghindari
konflik dan mempertahankan posisinya dengan selalu bersikap
manis terhadap bawahan. Inilah tipe pemimpin yang enggan
menyelesaikan persoalan secara cepat, cerdas, dan terbuka. Tidak
mengherankan apabila ia kemudian memilih menyelesaikan
persoalan dengan membiarkannya berlalu ditelan angin. Nice-guy
leader adalah tipe pemimpin yang tidak berprinsip, tidak memiliki
integritas moral memadai untuk membawa organisasi tumbuh dan
berkembang ke arah yang seharusnya. Iklim manajemen yang
berkembang dalam kultur though-guy leadership atau nice-guy
leadership pasti membuka peluang besar munculnya perilaku
koruptif.
3. Untuk membantu berkembangnya integritas dalam organisasi,
penting bahwa segenap anggota organisasi harus memiliki sense of
perspective, sebuah kemampuan untuk berpegang teguh dan fokus
pada tujuan, visi, dan misi organisasi dengan menghindari conflict
of interest. Begitu masuk dan menjadi bagian dari organisasi,
seseorang
BA

harus mendahulukan kepentingan organisasi sejauh organisasi


berjalan pada rel yang seharusnya. Dengan demikian pemenuhan
kepentingan diri harus dilihat sebagai konsekuensi dari pemenuhan
kewajiban terhadap organisasi dan bukan sebaliknya.
Dengan pandangan seperti di atas Butler memberikan tiga panduan
kongkrit sebagai berikut untuk merawat dan mengemangkan integritas.
1. Selalu melakukan dan mengatakan yang benar. Jangan berbohong,
mencuri, jangan terbiasa mencari alasan pemaaf, dan jangan takut
akan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan.
2. Bekerja keras tetapi dengan alasan yang benar untuk mencapai tujuan
organisasi bukan tujuan pribadi.
3. Jalani hidup dengan sikap seolah-olah suatu waktu anda harus
mempertanggungjawabkan setiap moment, setiap tindakan, dan setiap
ucapan, baik yang dilakukan dalam wilayah publik ataupun privat.
Pertanyaannya, apakah dengan menjalani semua panduan diatas
integritas moral akan dengan sendirinya terbentuk? Bagaimana kalau yang
terjadi adalah subyek salah merespon situasi tidak etis? Sudah ditegaskan
sebelumnya bahwa respon yang tepat secara etis menuntut integritas tetapi
juga kompetensi. Artinya setelah menyadari dan mengetahuai apa yang
seharusnya dilakukan, subyek harus memiliki kompetensi untuk mewujudkan
keyakinannya. Pertanyaannya, bagaimana merespon secara etis perilaku yang
tidak etis? Pertanyaan ini penting karena intuisi etis secara umum berkembang
dalam konteks yang tidak bersentuhan langsung dengan korupsi. Karena
itu, melengkapi atau mendukung beberapa tindakan untuk memelihara
dan mengembangkan integritas moral sebagaimana telah dirumuskan di
atas, beberapa panduan umum yang dirumuskan oleh Richard T. De George
(2001: 216-228) berikut ini bisa lebih membantu kita dalam merespon perilaku
tidak etis.
Pertama, dalam merespon tindakan yang tidak etis, jangan
menghancurkan norma-norma atau nilai-nilai yang Anda upayakan untuk
memeliharanya dan karenanya Anda gunakan untuk menilai tindakan yang
tidak etis.
Seperti yang telah ditegaskan juga sebelumnya, jangan memerangi
ketidak-adilan dengan cara yang tidak adil, karena menggunakan cara tidak
adil sesungguhnya menghancurkan keadilan itu sendiri. Tegakkan keadilan
dan kebenaran dengan cara yang adil dan benar. Siapapun juga secara
etis tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang tidak etis.
Kedua, karena tidak ada peraturan spesifik bagaimana merespon tindakan
tidak etis, untuk memberikan respon yang dibenarkan secara etis,
gunakan imaginasi moral Anda.

86
BA

Mahatma Gandhi, misalnya, menjadi contoh yang baik yang diambil De


George untuk menjelaskan posisinya. Daripada berkonfrontasi langsung
dengan kekerasan senjata melawan Inggris, Gandhi memilih mengambil
“aksi pasif”; dan Gandhi membuktikan bahwa cara yang diambilnya ternyata
efektif membebaskan India dari penjajahan Inggris tanpa harus menggunakan
kekerasan yang berpotensi melanggar etika. Apa yang dilakukan Gandhi juga
mengajarkan kepada kita bahwa berpegang pada prinsip etika itu penting,
akan tetapi jauh lebih penting lagi apabila prinsip yang dianut mendapatkan
wujudnya melalui tindakan kongkrit. Itulah integritas. Jalan yang dipilih
Gandhi menegaskan kepada kita bahwa prinsip-prinsip etika tidak harus dibela
dengan kekerasan dan dengan pengorbanan yang tidak perlu. Tindakan
kekerasan berpotensi membahayakan nilai-nilai moral yang justru harus
dibela. Dengan cara itu, Gandhi memperlihatkan bahwa etika sejatinya
berurusan dengan praxis hidup dan karenanya perwujudannya dalam
tindakan kongkrit menjadi penting dalam upaya melawan tindakan yang
tidak etis. Sekali lagi, itulah pentingnya integritas.
Ketiga, apabila respon terhadap immoralitas (perilaku tidak etis) melibatkan
ritaliasi atau kekerasan yang dapat dibenarkan, gunakan prinsip menahan diri
dan tenang (restraint).
Apabila kekerasan memang harus diambil untuk mengatasi persoalan
tidak etis, pastikan bahwa itu merupakan jalan terakhir dengan tingkat
kekerasan seminimal mungkin. Alasannya jelas. Pertama-tama, kekerasan
selalu membahayakan dan karenanya harus dihindari; dan kedua, menjadi
prinsip moral dasar dalam situasi seperti ini untuk tidak melakukan kekerasan
yang sesungguhnya dapat dihindari. Prinsip menahan diri inilah yang menjadi
pedoman praktis polisi, misalnya, dalam upaya penegakan hukum.
Keempat, dalam mengukur respon Anda terhadap lawan yang tidak etis,
gunakanlah asas proporsionalitas.
Prinsip ini menuntut bahwa hukuman yang diberikan haruslah (1)
proporsional atau sesuai dengan tingkat bahaya atau kerugian yang
ditimbulkan; (2) sesuai dengan kebaikan yang ingin dicapai; (3) ada harapan
bahwa tekanan yang diberikan memang efektif untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian tekanan atau hukuman yang diberikan berlebihan dan
karenanya tidak lagi proporsional, pasti melanggar hak tersangka untuk
mendapatkan keadilan; lebih dari itu, hukuman berlebihan berpotensi
memperalat tersangka untuk sebuah tujuan di luar dirinya sendiri.
Menjatuhkan hukuman seberat mungkin untuk menimbulkan efek jera,
tidak hanya bagi pelaku tetapi juga menciptakan ketakutan bagi publik
umumnya, misalnya, adalah tindakan tidak etis karena pelaku telah
diperalat untuk kepentingan diluar dirinya. Dalam bahasa Immanuel Kant,
pendukung utama etika deontologi, dengan alasan apapun, seseorang tidak
pernah boleh diperalat, karena tindakan memperalat sesungguhnya
merendahkan martabat manusia. Seseorang harus dihukum

87
BA

hanya karena dia terbukti bersalah tanpa harus dihubungkan dengan efek
jera. Memasukkan efek jera sebagai tujuan hukuman berpotensi mendorong
seorang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang seharusnya;
disini, integritas dikorbankan demi alasan-alasan pragmatis yang belum tentu
juga efektif.
Kelima, dalam merespon tindakan yang tidak etis, terapkan teknik ethical
displacement.
Menghadapi dilema moral, yakni situasi dimana tak satupun dari alternatif
solusi yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan, limpahkan
solusi atas dilema ke tingkat lebih tinggi, yakni ke level organisasi atau
lembaga karena bisa saja disana tersedia jalan keluar yang tepat,
misalnya, perlu restrukturisasi organisasi untuk mengatasi dilema moral.
Atau, barangkali kasusnya perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi, misalnya ke
tingkat negara/ departemen terkait, karena hanya melalui kebijakan pada
tingkat paling tinggi, dilema moral dapat diatasi secara mendasar.
Dalam bisnis, misalnya, di tengah persaingan usaha yang sangat ketat,
pebisnis bisa saja dihadapkan pada dilema moral serius ketika harus memilih,
misalnya, apakah harus menyuap untuk mendapatkan proyek atau mengikuti
prosedur tender yang seharusnya dengan potensi kehilangan peluang dan
dengan demikian menempatkan bisnisnya dalam ancaman gulung tikar.
Tentu saja individu yang diberi tanggung jawab untuk kegiatan tender tidak
bisa mengambil keputusan sendiri; ia harus berkonsultasi dengan
pimpinan tertinggi. Akan tetapi apabila pada level perusahaan pun dilema
moral tidak bisa diatasi, akan lebih baik apabila kasus seperti itu diteruskan
ke tingkat lebih tinggi (negara, khususnya departemen terkait) untuk
membenahi tatacara dan prosedur tender agar kelompok yang lemah tidak
tersingkir secara tidak fair oleh kelompok yang kuat.
Keenam, dalam merespon lawan yang tidak etis, gunakan publisitas untuk
mempertegas tindakan tidak etis.
Penggunaan sarana publisitas (humas) akan membuka ruang bagi
partisipasi publik untuk menilai dan dengan demikian memobilisasi tekanan
publik untuk melawan tindakan yang tidak etis. Dengan melibatkan
publik, reaksi dan tekanan terhadap tindakan tidak etis diharapkan
menjadi lebih efektif ketimbang membiarkan tindakan tidak etis dihadapi
sendiri secara diam-diam oleh individu yang bersangkutan. Seseorang
yang mengalami pelecehan seksual oleh pejabat “berkuasa dan terhormat”,
misalnya, barangkali akan ketakutan menghadapi sendiri kasusnya. Upaya
membawa kasusnya ke ruang publik akan membuka peluang munculnya
dukungan publik dan dengan demikian membuat upaya memperoleh keadilan
menjadi lebih efektif.
Ketujuh, dalam merespon lawan yang tidak etis, upayakan kerja sama

88
BA

dengan pihak lain, atau ciptakan lembaga sosial, legal, atau populer yang baru.
Integritas individual atau personal tidak akan cukup efektif melawan
perilaku tidak etis ketika struktur lembaga tidak mendorong tetapi
bahkan menghambat tindakan etis dan karenanya semakin menguatkan
dilema moral dalam lembaga. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai
rendahan mendapatkan adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang
dengan sengaja dilakukan demi menekan kewajiban pajak misalnya, ia
ditempatkan dalam dilema moral apakah harus melaporkan kepada pihak
berwajib atau harus mendiamkannya. Kedua sikap itu masing-masing
mempunyai implikasi negatif, juga dari sisi moral. Ia sendiri tahu bahwa
tindakan membuka kasus ke ruang publik (whistle blowing) akan berdampak
negatif serius bagi dirinya; akan tetapi mendiamkannya justru menimbulkan
kerugian bagi negara. Dalam kasus seperti ini, pilihan melakukan whistle
blowing pasti merupakan tindakan moral yang layak diapresiasi tetapi perlu
dipastikan bahwa keamanan diri juga tidak terancam. Kerja sama dengan
pihak aparatur keamanan negara diperlukan di sini. Akan tetapi apabila
yang bersangkutan mengalami bahwa iklim lembaga secara keseluruhan
tidak kondusif untuk berkembang, juga dari segi moral, di satu pihak, dan
keamanan pribadi pun tidak terjamin, di lain pihak, sebaiknya memilih
meninggalkan lembaga dan mengupayakan menciptakan peluang baru.
Kedelapan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah untuk
bertindak dengan keberanian moral.
Keberanian moral menuntut bahwa seseorang tidak hanya mampu
menentukan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya,
melainkan terutama bahwa ia mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
dianutnya. Seringkali lebih mudah memilih mendiamkans perilaku tidak
etis daripada mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya. Dalam kasus
tertentu bisa dibenarkan. Ketika tindakan yang diambil sangat potensial
mengancam nyawa pribadi, misalnya, bersikap diam tentu saja tindakan yang
bijak. Akan tetapi dalam kasus lain, diperlukan keberanian untuk
menghadapinya dan berusaha memecahkan persoalan agar tidak menimbulkan
efek negatif lebih jauh atau lebih besar. Ketika didapatkan bahwa hak
karyawan terhadap upah yang adil secara sistematis tidak terpenuhi,
misalnya, individu sudah seharusnya mengambil tindakan kongkrit untuk
mengatasinya meskipun dengan risiko dipecat, misalnya. Untuk
meminimalisasi akibat negatif, upaya menggalang kekuatan bersama
karyawan lain penting dilakukan. Lebih dari itu, tekanan kolektif pasti
lebih efektif ketimbang upaya perorangan. Perlu keberanian mengambil
inisiatif untuk memobilisasi gerakan kolektif.
Kesembilan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah membayar
“harga” dari keberanian moral Anda yang kadang-kadang bisa sangat mahal.
Tindakan tidak etis barangkali kecil di mata pelaku, akan tetapi selalu

89
BA

sangat mahal bagi korban. Dan respon etika terhadap perilaku tidak etis bisa
jauh lebih mahal. Menjual narkoba dan meracuni orang lain dengan
barang haram ini barangkali tidak menjadi masalah atau masalahnya kecil
saja bagi penjualnya. Akan tetapi “biaya” bagi korban narkoba pasti tidak
kecil. Ia kehilangan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi yang sukses akibat kontaminasi narkoba. Akan tetapi bagi
pihak yang tahu kasusnya dan berusaha membongkarnya, taruhannya bisa
jauh lebih mahal. Nyawa bisa melayang karena keberanian membongkar
kasus narkoba.
Kesepuluh, dalam merespon tindakan tidak etis, terapkan prinsip
akuntabilitas.
Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa mereka yang meciptakan
bahaya, melakukan kerusakan, atau merugikan orang lain harus bersedia
bertanggungjawab atas perbuatannya. Dengan demikian, harus disadari dari
awal bahwa perilaku tidak etis selalu punya implikasi tidak
menguntungkan bagi pelaku dan karenanya seharusnya mampu menahan
diri untuk tidak terjebak dalam perilaku tidak etis. Dengan kata lain,
seharusnya setiap orang mampu mencegah diri dari upaya mengutungkan
diri melalui perilaku tidak etis. Dalam etika bisnis dikenal apa yang disebut
“the iron rule of resposibility”. Maksudnya, ketika seseorang mengabaikan
tanggung jawab dalam melakukan sesuatu, maka ia akan dihukum keras
oleh tanggung jawab itu sendiri. Pengusaha yang tidak memenuhi
tanggung jawabnya untuk menawarkan produk yang berkualitas sesuai
dengan yang dijanjikan, ia akan dihukum dengan ditinggalkan oleh
konsumen. Pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya untuk
memperkaya diri sendiri, akan kehilangan jabatannya dan bahkan harus
berurusan dengan penegak hukum dengan kemungkinan harus menerima
kenyataan bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam hotel
pro deo.

E. Penutup
Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dalam upaya memerangi korupsi,
beberapa poin pokok berikut ini kiranya penting untuk ditegaskan
kembali. Pertama, pasti tidak mudah membangun dan mengembangkan
pribadi yang berintegritas, pribadi yang memiliki kemampuan dan keberanian
moral untuk senantiasa bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang
seharusnya dilakukan. Untuk itu, konsistensi menjaga keselarasan antara
ucapan dan tindakan menjadi penting karena kualitas integritas tidak
tergantung pertama- tama pada pengetahuan tentang apa yang baik dan
benar, melainkan pada keberanian untuk secara konsisten “melakukan
apa yang baik dan benar”. Kualitas integritas terbentuk lewat proses
habituasi, yakni konsistensi untuk selalu bertindak sesuai dengan
kesadaran akan apa yang seharusnya dilakukan. Disini, sikap kritis serta
keberanian bertindak otonom independen krusial untuk dikembangkan oleh
setiap individu. Dengan sikap kritis, otonomi,
BA

dan independensi dalam bertindak, individu akan terhindar dari perilaku


konformitas dan bersikap ikut arus dalam bertindak.
Kedua, juga pantas ditekankan bahwa kualitas karakter individu juga ikut
dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh lingkungan di mana individu berada.
Karena itu, pendidikan sedini mungkin dalam lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, lembaga agama, dan masyarakat umum akan pentingnya kualitas
hidup berkarakter perlu secara konsisten diupayakan semaksimal
mungkin. Lebih dari itu, individu membutuhkan role model kehidupan
berintegritas. Setiap pemimpin, baik pada sektor publik maupun sektor
privat seharusnya menyadari peran model moral ini. Dalam masyarakat
yang cenderung berkultur paternalistik, role model moral pasti efektif
mendorong tumbuh dan berkembangnya integritas, baik dalam individu
maupun dalam kultur organisasi.
Ketiga, perlu pula dikembangkan kesadaran bahwa hidup yang berkualitas
dan bermakna tidak terletak pada (1) seberapa banyak harta material
yang dimiliki (having); melainkan pertama-tama dan terutama terletak
pada seberapa berharganya self-dignity bagi individu (being). (2) hidup
yang bermakna menuntut keberanian untuk berkorban melampaui self-
interest demi tumbuh dan berkembangnya enlightened self-interest—sebuah
kualitas moral yang melihat kepentingan orang lain sebagai bagian dari
kepentingan dirinya dan karenanya mampu melihat perkembangan diri orang
lain sebagai bagian dari pengembangan dirinya sendiri.
Keempat, dalam lingkup organisasi atau lembaga, diperlukan keberanian
untuk melakukan reformasi dan transformasi organisasi untuk membangun
budaya organisasi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya integritas
moral dalam diri segenap anggota organisasi atau lembaga. Dari segi sistem
organisasi, monitoring, kontrol, dan evaluasi atau audit secara reguler,
transparan, dan akuntabel perlu dilakukan secara konsisten untuk memastikan
bahwa semua tata-tertib, kode etik, serta standar perilaku organisasi lainnya
dijalankan dan dipenuhi secara konsisten dan bertanggungjawab. Pemimpin
yang berkarakter though-minded leader sangat dibutuhkan untuk menjawab
tantangan pengembangan karakter berintegritas dalam lembaga.
Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai di atas akan membantu untuk
tumbuh dan berkembangnya pribadi-pribadi yang berintegritas, pribadi yang
senantiasa hanya bersedia untuk melakukan apa yang disadarinya baik
dan benar. Integritas dengan demikian menjadi senjata strategis (moral
bedrock) untuk memerangi korupsi karena integritas merupakan kekuatan
internal- inherent individu yang bekerja untuk mencegahnya dari perilaku
koruptif. Dengan kualitas integritas seperti ini kita boleh berharap, pelan
tetapi pasti, korupsi sebagai penyakit sosial mampu diatasi atau sekurang-
kurangnya ditekan ke tingkat serendah mungkin.

91
BA

Kelima, terakhir, integritas menuntut keberanian untuk tidak memberi


toleransi terhadap perilaku tidak etis, termasuk melakukan korupsi. Bukan
mustahil bahwa keberanian seperti ini pada ujungnya justru membawa
konsekuensi negatif serius bagi pengambil keputusan. Misalnya, subyek
kemudian diserang balik dengan fitnah yang justru bisa menghancurkan
posisi dan bahkan nama baik. Dalam kasus seperti ini integritas menuntut
bahwa perbuatan buruk tidak boleh dibalas dengan perbuatan buruk pula
karena bertolak-belakang dengan prinsip integritas. Membalas perbuatan
buruk dengan perbuatan buruk justru merusak martabat subyek dan
sekaligus menghancurkan integritas yang coba dibela lewat keberanian untuk
melakukan apa-yang-seharusnya-dilakukan. Perbuatan buruk dari pihak
lawan harus dilihat sebagai “biaya” yang harus berani ditanggung akibat
membela integritas. Karena itu, apabila dipandang perlu untuk
ditanggapi, pastikan bahwa cara yang digunakan untuk menanggapi tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral yang justru mau
dibela. Katakan saja, ketidak-adilan jangan dilawan dengan ketidak-adilan,
karena ketidak- adilan tetap saja buruk, juga kalau itu dilakukan demi
melawan ketidak-adilan. Integritas tumbuh dan berkembang justru karena
keberanian untuk secara konsisten melakukan apa yang baik dengan alasan
dan cara yang benar.***

92
BAB V:
METODE PEMBELAJARAN ETIkA ANTIkO
DAN kASUS
BA

Pada bab ini dipaparkan sebuah kerangka pembelajaran etika antikorupsi.


Yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses pembelajaran menggunakan
prinsip pelibatan mahasiswa. Berikut adalah tiga model pembelajaran
yang dapat digunakan pada pendidikan antikorupsi, yaitu:
A. Membangun komitmen dan kebersamaan
B. Memahami korupsi dan permasalahannya
C. Menerapkan teori-teori etika di dalam pembahasan kasus
Berdasarkan model-model ini dibangun beberapa langkah pembahasan
dalam kelas.

A. Membangun Komitmen Antikorupsi (90 menit)


Tujuan:
a. Membangun suasana pembelajaran yang baik
b. Membangun komitmen dan kebersamaan
Pengkondisian (5 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Narasumber menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila
belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan
perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap,
instansi tempat bekerja dan judul materi yang akan disampaikan.
b. Menciptakan suasana nyaman dan mendorong kesiapan peserta
untuk menerima materi dengan menyepakati proses pembelajaran.
c. Dilanjutkan dengan penyampaian aktifitas yang akan dilakukan
pada sesi ini.
Aktifitas Membangun Komitmen (85 menit)
Langkah Pembelajaran:
a. Setiap peserta memperoleh kertas yang dilipat 4 untuk dapat
berdiri di meja menjadi bentuk segitiga (2 menit);

Contoh:
b. Di kertas tersebut dituliskan nama panggilan peserta dan gambar
icon yang menggambarkan sifat peserta dari sudut pandang diri
sendiri. (5 menit);

Contoh:

97
BA

c. Kemudian secara bergilir peserta diminta memperkenalkan


diri menjelaskan gambarnya, misalnya: “Selamat pagi, nama
saya Chandra, menggambarkan lonceng ini karena selain saya
cenderung on time seperti alarm, saya juga senang mengingatkan
orang lain untuk melaksanakan tugas atau untuk selalu berjalan di
jalan yang benar” (setengah menit per orang=15 menit);
d. Setelah semua peserta mendapat giliran, diakhiri dengan tepuk
tangan bersama, kemudian narasumber mengajak peserta menulis
di kertas warna berperekat. Ada yang berwarna kuning, jingga,
hijau dan biru;
e. Kertas berperekat berwarna kuning akan diisi: Apa yang diharapkan
peserta akan diperoleh dari diskusi ini (5 menit) Setelah
seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;
f. Kertas berperekat berwarna jingga akan diisi: Apa yang dikuatirkan
peserta akan terjadi dalam pelatihan atau akibat ikut diskusi ini (5
menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru beritahukan langkah
selanjutnya;
g. Kertas berperekat berwarna hijau akan diisi: Apa yang akan
dilakukan peserta agar harapan tercapai dan kekhawatiran
tidak terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta menulis, baru
beritahukan langkah selanjutnya;
h. Kertas berperekat berwarna biru akan diisi: Apa yang harus
dilakukan penyelenggara diskusi agar harapan tercapai dan
kekhawatiran tidak terjadi (5 menit). Setelah seluruh peserta
menulis, baru beritahukan langkah selanjutnya;
i. Seluruh peserta menempelkan kertas warna sesuai kelompok
warna di papan atau di tembok (3 menit);
j. Narasumber membacakan dengan ceria atau meminta salah
satu peserta untuk membacakan hasil olah pendapat mengenai
diskusi yang akan dihadapi tersebut. Narasumber dapat mengajak
peserta untuk tepuk tangan pada pendapat-pendapat yang
bersifat konstruktif (10 menit);
k. Kemudian narasumber mengajak peserta bersama-sama
menuliskan pada kertas flipchart tatatertib yang akan
disepakati agar semua peserta saling mendukung untuk
mencapai tujuan diskusi (20 menit);
l. Narasumber menutup kegiatan, dengan mengucapkan salam serta
mengungkapkan perasaan senang berkenalan dengan peserta.

98
BA

B. Diskusi tentang korupsi dan penyebab korupsi (100 menit)


Tujuan:
a. Mengerti dan memahami korupsi
b. Mampu memberikan contoh contoh korupsi
c. Mampu mengenal pelbagai model korupsi
d. Mampu mengetahui penyebab
korupsi Langkah pembelajaran:
a. Narasumber menyampaikan kegiatan pada siang ini adalah
menggambar jalan pemikiran kita terhadap kasus yang dihadapi
untuk menuliskan kemungkinan faktor-faktor penyebab korupsi
yang terjadi pada pejabat, profesional, atau siapa saja. Di jelaskan
pula berbagai bentuk ‘mind map’ yang dapat digambarkan oleh
kelompok dengan memperlihatkan slide yang telah tersedia (10
menit);
b. Narasumber membagi kelompok, dengan meminta peserta
menghitung angka 1-6 untuk membentuk 4 kelompok (anggota
kelompok 5-6 orang), dan meminta peserta pindah tempat duduk
sesuai kelompoknya (5 menit);
c. Tiap kelompok membahas satu topik (penyebab korupsi pada ASN,
pejabat negara, wakil rakyat, profesional, pengusaha);
d. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok sesuai
dengan tugas, menentukan ketua kelompok sebagai moderator
diskusi, menentukan sekretaris kelompok sebagai pencatat
hasil diskusi, menentukan juru bicara kelompok sebagai presentan
hasil diskusi (5 menit);
e. Diskusi dimulai. Kelompok menggambar mind map masalah
yang dihadapi pada kasus. Mind map dimaksudkan untuk
dapat membawa pemikiran ke arah pemahaman yang utuh dan
menyeluruh. (60 menit);
f. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi untuk pleno (20
menit);
Pleno mind map korupsi dan penyebab korupsi (90 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian
waktu untuk pleno (2 menit);
b. Moderator mempersilahkan narasumber dan peserta membaca

99
BA

kasusnya masing-masing (5 menit);


c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit
menjelaskan hasil map. Mengundi urutan presentasi dan
meminta salah satu anggota kelompok untuk menjadi jurubicara
(3 menit);
d. Kelompok bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit =
60 menit);
e. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan
mind map narasumber untuk kasus tersebut beserta alasan-
alasannya. Tidak ada yang salah, namun mind map biasanya
dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman. Dipersilahkan
tanya jawab dengan panduan moderator (50 menit).
Contoh mind map

Sumber: https://venngage.com/templates/mind-maps

C. Diskusi kasus untuk menentukan penyebab korupsi, dampak


korupsi, dan menyusun rencana penatalaksanaan antikorupsi
komprehensif (90 menit)
Tujuan:
a. Membahas kasus;
b. Mampu memetakan kasus;
c. Mampu menyebutkan penyebab dan dampak korupsi;

100
BA

d. Mampu menyusun rencana penatalaksanaan anti korupsi.


Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi:
a. Setiap kelompok mendapat tugas membahas satu kasus korupsi.
b. Ketika pulang dari Luar Negri, Ibu S membawa beberapa Tas
bermerek terkenal, yang harganya mencapai belasan juta per
tas. Ibu S sudah dikenal oleh petugas bandara karena sering
bepergian ke luar negri dan pulang membawa barang untuk dijual
lagi. Sebagai ucapan terima kasih Ibu S menghadiahkan satu
Tas kepada petugas yang telah membantunya.
c. Pasien K, 40 tahun, berobat ke dokter dan meminta kwitansi biaya
berobat ditambah 50% karena hanya diganti perusahaan 50%,
dan dokter menyetujuinya.
d. Untuk mengatasi berbagai masalah pengadaan barang di Fakultas
Ekonomi, Dekan membuat kebijakan semua proses pengadaan
barang akan dipimpin oleh orang kepercayaan Dekan yaitu Kepala
Biro Pengadaan Barang yang baru, Ir. B, sepupu Dekan.
Langkah pembelajaran:
a. Satu dari 6 fasilitator (perbandingan fasilitator: peserta = 1: 5-6)
memberi pengarahan diskusi kelompok;
b. Fasilitator membagi kelompok dengan meminta peserta
menghitung angka 1-6 untuk membentuk 6 kelompok, dan meminta
peserta pindah tempat duduk sesuai kelompoknya (5 menit);
c. Kelompok diminta untuk menentukan nama kelompok, menentukan
ketua kelompok sebagai moderator diskusi, menentukan sekretaris
kelompok sebagai pencatat hasil diskusi, menentukan juru bicara
kelompok sebagai presentan hasil diskusi (5 menit);
d. Setiap kelompok menyelesaikan tugas membahas kasus,
menentukan penyebab, membuat mind map, dan menyusun
rencana penatalaksanaan yang komprehensif (60 menit);
e. Kelompok menyiapkan presentasi hasil diskusi (20 menit).
Pleno Kasus Korupsi (90 menit)
Langkah pembelajaran:
a. Moderator memperkenalkan diri dan menyampaikan pembagian
waktu untuk pleno (2 menit);
b. Urutan presentasi diundi atau atas permintaan kelompok dan
moderator meminta salah satu anggota kelompok untuk
menjadi

101
BA

jurubicara. (3 menit);
c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit
menjelaskan hasil diskusi berupa mind map, diagnosis kasus
korupsi dan penatalaksanaan komprehensif. Kelompok
bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);
d. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan kasus,
memberikan komentar/tanggapan terhadap kasus dan presentasi
kelompok. (10 menit);
e. Moderator mempersilahkan tanya jawab dan diskusi (10 menit);
f. Moderator menutup pertemuan dengan menyampaikan
simpulan pleno kali ini (5 menit);

D. Diskusi Terbatas mengenai transparansi, kejujuran, dan


tanggung jawab (60 menit)
Tujuan:
Siswa mengenali nilai transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit
Skenario:
“Siswa kelas 12 (Kelas 3 SMU) di klub olahraga futsal ingin mengadakan
pesta perpisahan, mereka mengatur kegiatan penggalangan dana.
Mereka membuat panitia penggalangan dana. Kerja panitia ini
sukses. Seminggu setelah pesta tersebut para siswa mengadakan
pertemuan untuk evaluasi acara. Mereka mendengarkan penjelasan
panitia penggalangan dana, bagaimana mereka mendapatkan uang,
bagaimana penggunaannya, dan ternyata ada sisa uang cukup besar.”
Tugas:
Mahasiswa membahas skenario, menjawab, dan memberikan
tanggapan atas pertanyaan berikut:
1. Uang siapa itu? Alasan?
2. Uang sisa akan diapakan? Alasan?
3. Apakah panitia penggalangan dana harus membuat laporan?
Mengapa?
4. Apakah panitian penggalangan dana harus menyampaikan
laporan? Mengapa?

103
BA

E. Diskusi mengenai konflik kepentingan


Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat aspek korupsi (konflik kepentingan), siapa
yang terlibat, mampu memahami permasalahan yang ada.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
“Dalam proses seleksi penerimaan pegawai untuk posisi sekretaris,
Bupati ingin ikut serta. Ia beralasan orang yang dipilih haruslah
sesuai dengan kriterianya dan bisa berkerja sama dengannya. Ada
4 calon dari dalam kantor Bupati dan satu orang calon dari luar
kantor diusulkan oleh istri Bupati. Calon yang diusulkan oleh istri
Bupati memenuhi kriteria yang ada, sudah lama bekerjasama dengan
Bupati, masih saudara dengan istri Bupati, dan relatif masih sangat
muda.”
Tugas:
Anda adalah orang yang dipercayai memimpin proses seleksi ini
dan apa yang akan anda lakukan.

F. Diskusi mengenai dampak korupsi


Tujuan:
Mahasiswa dapat mengenali korupsi, menjelaskan dampak korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario 1:
“Setelah lulus SMU, Budi, 18 tahun, ingin segera bekerja. Ia ingin jadi
supir mobil online. Abangnya sudah menawarkan memakai mobil
miliknya. Budi ke kantor Samsat untuk mengurus SIM A; ia telah
dua kali ikut tes dan gagal. Ia didekati calo. Calo mengatakan buat
SIM A sendiri tanpa bantuan orang lain amat sulit. Ia bisa bantu
mengurus pembuatan SIM A dengan tambahan biaya tertentu. Mau
cepat juga bisa.“
Tugas:
Mahasiswa membahas skenario, membuat peta permasalahan, dan
memberikan tanggapan.

104
BA

1. Perbuatan Budi
2. Perbuatan calo
3. Perbuatan yang salah
4. Perbuatan yang seharusnya
5. Proses pembuatan SIM A yang seharusnya
Skenario 2:
“Ada tiga kontraktor ikut serta dalam tender pembuatan jembatan
layang di Jakarta. Salah seorang kontraktor memasukkan nilai tender
agak jauh di bawah yang lain dan akhirnya menang tender. Dia
melakukan hal tersebut karena butuh uang untuk membayar
ratusan karyawannya. Untung sedikit lebih baik daripada perusahaan
bankrut. Tetapi dalam pelaksanaannya dia menggunakan spesifikasi
besi yang sedikit lebih kecil. Supaya tidak ketahuan dia menyuap
pengawas.”
G. Diskusi mengenai dimensi sosial budaya korupsi
Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat dan memahami kaitan aspek sosial
budaya dan korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
Amir, Susi, Joko, dan Kasih berdiskusi tentang korupsi dan
pendapat masyarakat
Amir: Korupsi adalah bagian dari kehidupan. Kita harus menerima
bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu. Orang kaya akan
selalu korup dan orang miskin akan selalu berusaha meniru
mereka. Bagaimanapun, penyuapan adalah cara untuk menyelesaikan
sesuatu dengan lebih cepat dan memungkinkan bisnis untuk
bergerak maju lebih cepat.
Susi: Korupsi adalah bagian dari mentalitas kita. Sudah puluhan
tahun dicoba diberantas tapi hasilnya apa ada? Melawan korupsi
adalah buang-buang waktu. Mari bersikap realistis, kita tidak bisa
hidup jika kita menolak untuk menjadi bagian darinya. Mudah-
mudahan, yang kaya akan menjadi cukup kaya dan sebagian
kekayaannya dibagikan kepada kita. Saya juga berpikir tidak apa-
apa mengambil sedikit, cuman sedikit, seperti semua orang lain
melakukannya.
Joko: Yang Amir dan Susi katakan adalah apa yang dimaui oleh
koruptor. Jika semua berpendapat korupsi adalah wajar, semua juga
BA

melakukannya, asal sedikit, asal tidak terus menerus maka korupsi


akan menetap selamanya. Mereka yang dirugikan oleh korupsi
tidak akan berubah kehidupannya, malahan bisa semakin sulit. Oleh
sebab itu kita harus mencari jalan memberantas korupsi. Minimal kita
tidak ikutan korupsi.
Kasih: Tidak peduli apakah itu budaya kita atau bukan, tidak
peduli apakah itu korupsi besar atau kecil; korupsi adalah salah dan
koruptor harus dihukum seberat beratnya. Kalau perlu hukuman mati.
Koruptor itu sudah kaya raya dan mereka memperkaya diri dan
keluarganya tanpa batas. Mereka telah menyengsarakan rakyat.
Mereka tidak akan pernah berubah. Sekali koruptor, selamanya akan
tetap koruptor.
Tugas:
Kelompok mendiskusikan, membahas, dan menanggapi pandangan di
atas.
H. Menilai Sikap dan Perilaku
Tujuan:
Siswa mampu menilai dan mengidentifikasi sikap dan perilaku mana
yang benar, mana yang salah beserta alasannya.
Prosedur:
Berdua membaca dan menentukan 30 menit, lalu diskusi 30 menit.
Keterangan: B = Benar, S = Salah, TM = Tidak Memutuskan

B S TM
1 Waktu ujian , menyontek, karena penjaga sedang pergi.
Orang tua membantu mengerjakan sebagian pekerjaan
2
sekolah anaknya
3 Alumni memberi hadiah sepeda kepada dosen
Kotak Sumbangan sukarela untuk pengurusan KTP di
4
kelurahan
Memakai mobil kantor untuk mudik ke kampung bersama
5
keluarga
Menerima uang dari peserta Pilihan Kepala Daerah, tetapi
6
tidak terpengaruh ketika memilih
Dosen menambah nilai siswa tersebut karena diancam
7
oleh atasannya
Karena waktu studi hampir habis, dia meminta temannya
8
ikut membuat disertasinya.

106
BA

Anak gubernur ikut tender pengadaan barang kantor


9
gubernur
Perusahaan mobil memberi hadiah lebaran sebuah
10 sepeda motor kepada Direktur Bank Mandiri karena telah
membeli 20 mobilnya

B S TM
Buru buru naik kereta api karena mau ujian, lupa beli
1 karcis. Kondektur menawarkan bayar denda langsung
50% kepadanya, dan saya bayar.
Anggota DPRD mau rapat paripurna, melanggar lampu
2 merah. Tertangkap dan diberi peringatan supaya lain kali
lebih hati-hati.
Camat yang baru terpilih mengadakan pesta besar
3 mengundang seluruh pendukungnya yang berjumlah
1000 orang
Razia surat kendaraan sepeda motor. Anak SMP
tertangkap tidak bawa SIM. Anak menangis, minta maaf,
4
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Petugas
kasihan, memberi nasehat, dan melepaskannya.
Dosen meminta mahasiswa mengerjakan pekerjaan
5
kantornya sebagai bagian dari cari pengalaman
Pemilihan ketua kelas. Karena jumlah murid perempuan
6 jauh lebih banyak maka suara perempuan dinilai
setengah, laki-laki satu
Restoran menulis tanda “Dilarang memberi tips pada
7
petugas parkir”
Saya tetap beri tips waktu pulang karena gaji mereka
8
kecil
Karena pekerjaan kantor sudah selesai maka saya pulang
9
lebih cepat
Aparat mengijinkan nelayan memakai bom ikan
10
karena lebih murah dan mudah dapat ikan.
Saya melihat tetangga mencuri, lalu melaporkannya. Dia
11
dipecat.
Barang yang jatuh di jalan dari mobil yang bertabrakaan
12
boleh diambil
Saya terima uang Rp. 10.000 setelah membantu
13
mendorong mobil mogok

107
BA

Pengusaha harus membagi keuntungannya pada orang


14
miskin
15 Pengusaha boleh berbohong

16 Pengusaha boleh mencari keuntungan sebesar-besarnya

Pengusaha memberi uang rokok Rp. 10.000 kepada


17 petugas administrasi kantor pemerintah untuk
memasukkan surat
Pengacara memberi uang Rp. 10.000 kepada petugas
18
kelurahan karena telah membantu mengambil surat
19 Hakim bermain golf dengan pengacara terdakwa
Jaksa menerima kado pernikahan anaknya berupa
20
Dompet seharga Rp. 500,000 dari pengacara terdakwa

I. Evaluasi Diri
Tujuan:
Siswa melakukan evaluasi diri sendiri.
Prosedur:
Baca dan jawab sendiri 30 menit.

Jarang Kadang Sering


Berani
Saya berpihak pada yang benar meskipun
1
sendirian
Saya tidak menyerah meskipun tidak didukung
2
yang lain
Saya tidak kuatir akan apa yang akan saya
3
katakan/lakukan
4 Saya optimis
5 Saya tidak menyukai kekerasan
Jujur
1 Saya selalu mengatakan yang sebenarnya
2 Saya tidak berbohong
3 Saya tidak menipu
4 Saya tidak mencuri
Saya tidak dengan sengaja menyesatkan orang
5
lain

108
Fair
Saya perlakukan orang lain sebagaimana saya
1
ingin diperlakukan
2 Saya perlakukan orang lain setara
3 Saya taat aturan
4 Saya tidak melakukan stigmatisasi
Akuntabilitas
Saya siap menjawab sejujurnya atas apa yang
1
telah dilakukan
Saya siap menerima kritik dan risiko dari
2
perbuatan saya
Transparansi
Saya tidak menyembunyikan sesuatu yang
1 merupakan tanggungjawab saya kepada orang
lain
2 Saya terbuka
Integritas
Saya berusaha melakukan yang benar meskipun
1
berdampak buruk pada saya
2 Saya memegang teguh nilai-nilai saya
3 Saya berusaha berperilaku terbaik
4 Saya tidak mudah tergoda
Saya melakukan yang benar meskipun tidak ada
5
orang yang melihatnya

109
DAFTAR

Daftar Pustaka
Gildenhuys, J.S.H. 2004. Ethics and Professionalism, The Battle Against Public
Corruption. Stellebosch: Sun Press

Komalasari, Kokom and Saripudin, Didin. “Integration of Anti-Curruption Education in


School’s Activities,” dalam American Journal of Applied Sciences, June 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014. Buku Saku Memahami


Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2006. Memahami untuk Membasmi.


Jakarta: Komisi Pemberatasan Korupsi Republik Indonesia

Ochulor, Chinenye Leo and Bassey, Edet Patrick. 2010. “Analysis of Corruption from
Ethical and Moral Perspectives,” dalam European Journal of Scientific Research,
Vol 44 No. 3 (2010): hlm. 466-476

Priyono, Herry B. 2018. Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT. Gramedia

Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption,


Transparency and Accountability”, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/
public/documents/un-dpadm/unpan043783.pdf.

The Hong Kong Institute of Engineers, 2000. Ethics in Practice, A Practical Guide for
Professional Engineers. Hong Kong: Independent Commission
Against Corruption

Bertens, K. et. al. 2017. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Haryatmoko. 2015. Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi.

Yogyakarta:
Penerbit PT. Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Riyanto, Armada et.al. 2015. Kearifan Lokal, Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan.
Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Chadwick, Ruth, F. (1994). Ethics and Professions. Sydney:

Avebury.

Koehn, Daryl.2000. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Hartman, Laura dan DesJardis, Joe. 2011. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga
DAFTAR

Sihotang, Kasdin. 2016. Etika Profesi Akuntasi. Yogyakarta: Kanisius

Sudarminta, J. 1992. “Etika Profesi Bagi Dosen” dalam Moedjanto, G. et.al. Tantangan
Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Boatright, John R., 2003, Ethics and the Conducts of Business, Fourth Edition, Pearson
Education Inc., New Jersey.

Bob Rosthstein, 2017, file:///D:/INTEGRITY/Four myths about corruption World


Economic Forum.htm.

De George, Richard T., “When Integrity Is Not Enough Guidelines for Responding
to Unethical Adversaries”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative:
Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press
e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 214 – 228).

Ferrell O.C. & Gardiner, Gareth, 1999, In Purusit of Ethics, Though Choices in the
World of Work, Smith Collins Company.

Hoseah, Edward Gamaya, “Corruption as a global hindrance to promoting ethics,


integrity, and sustainable development in Tanzania: the role of the anti-
corruption agency”, Journal of Global Ethics, 2014 Vol. 10, No. 3, 384–392, http://
dx.doi.org/10.1080/17449626.2014.973995.

Lee Butler, George, “Some Personal Reflection on Integrity”, dalam J.C. Ficarrotta,
The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs,
Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 73 - 83).

Solomon, Robert C, “The Meaning of Integrity” dalam bukunya Ethics and Excellence,
Cooperation and Integrity in Business, New York, Oxford, Oxford University
Press,1992: 168-174
Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption, Trans

OECD, 2018, Education for Integrity: Teaching on Anti-Corruption, Values and the Rule of

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2016, Buku Panduan Dosen Pembela
GLOSARI

GLOSARIUM
GLOSARI

GLOSARIUM
GLOSARI

GLOSARIUM
GLOSARI

GLOSARIUM
IND

INDEKS
IND

INDEKS
PEN

BIOGRAFI PENULIS

Mikhael Dua
Adalah dosen mata kuliah Filsafat dan Etika
di Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun
1997. Lahir di Worolowa, Nusa Tenggara
Timur pada 10 September 1958, menyelesaikan
pendidikan sebagai sarjana Filsafat di STFT
Ledalero, Flores yang kemudian melanjutkan
master di Ateneo de Manila University,
Philippines dan S3 di Hochschule fuer
Philosophie, Munich, Jerman. Di luar
kegiatannya sebagai Dosen, telah banyak judul
buku yang sudah ditulis, buku terbaru adalah
Pengantar Filsafat diterbitkan tahun 2018.
Penulis juga aktif untuk menuangkan ilmu dan
pemikirannya melalui jurnal-jurnal nasional
maupun internasional.
E-mail: michael.dua@atmajaya.ac.id

Sintak Gunawan
Adalah seorang dokter yang menyelesaikan
pendidikan sarjana Kedokteran di FK Atma Jaya
Jakarta. Melanjutkan pendidikan ke Leuven
Catholic University, Belgia untuk meraih gelar
BA in Philosophy dan MA in Applied Ethics.
Berhasil meraih gelar Doktor (S3) Filsafat dari
STF Driyarkara, Jakarta. Aktif menjadi staf Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya sejak tahun
1992, Penulis juga menjabat sebagai anggota
Komisi Etik di RS Atma Jaya (sejak tahun
1996) dan Mochtar Riady Institute for
Nanotechnology (sejak tahun 2009).
Jabatan baru yang diamanahkan untuk
penulis adalah wakil ketua Komisi Tetap Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) pusat bidang
pengembangan sarana pelayanan kesehatan
(sejak tahun 2016).
E-mail: sintak.gunawan@atmajaya.ac.id
PEN

Rodemeus Ristyantoro
Adalah seorang dosen yang menyelesaikan
pendidikan S1 (Bachelor of Arts in Philosophy)
dan S2 (Master of Arts in Philosophy) di STF
Driyarkara, Jakarta. Di luar kegiatannya sebagai
dosen, Penulis juga aktif menuangkan ilmu
dan pemikirannya melalui banyak jurnal,
diantaranya adalah Editorial yang terbit pada
tahun 2010, Postmodernisme, Filsafat dan
Universitasi terbit tahun 2008, Teledemokrasi:
Bagaimana Televisi Merusak Demokrasi terbit
tahun 2006. Selain itu, penulis juga aktif
berorganisasi dengan menjadi Secretary of
Intellectual Property Rights Commisson di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun
2010, Councellor for Ikatan Karyawan Atma
Jaya sejak tahun 2009 dan Editor of Respons
(Journal of Social Ethics) di Universitas Katolik
Atma Jaya sejak tahun 2008.
E-mail: supriyadi902@yahoo.co.id

Biografi
Penulis
ISBN: 978-602-52387-7-2

9 786025238772

Anda mungkin juga menyukai