ANTIKORUPSI
Menjadi Profesional Berintegritas
ETIKA ANTIKORUPSI:
“MENJADI PROFESIONAL
BERINTEGRITAS”
Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Gedung Merah Putih KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920
http://www.kpk.go.id
ISBN: 978-602-52387-7-2
Pengarah:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Deputi Bidang Pencegahan KPK
Koordinator:
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Tim Penulis:
Mikhael Dua
Andre Ata Ujan
T. Sintak Gunawan
R. Ristyantoro
Kontributor:
Rimawan Pradiptyo, PhD
Gandjar Laksmana Bonaprapta
Desiantien S Pringgopoetro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo
Tim Supervisi:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
PENGANTAR
Komisi Pemberantasan Korupsi
P
uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-Nya, sehingga
penyusunan buku Etika Antikorupsi : Menjadi Profesional Berintegritas
dapat terselesaikan. Buku ini merupakan panduan bagi dosen atau tenaga
pendidik dalam menerapkan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
melalui insersi dalam mata kuliah Etika Profesi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas untuk melakukan
upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melakukan Pendidikan
Antikorupsi pada setiap jejaring pendididikan. Penyusunan buku panduan
ini merupakan salah satu upaya KPK untuk menyediakan bahan ajar bagi
para dosen pengampu Pendidikan Antikorupsi. Selain dalam bentuk buku
panduan, KPK juga melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar sebagai
konsekuensi dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Permenristekdikti) No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Media ajar tersebut antara lain
komik, buku saku, film dan juga permainan sehingga dosen dapat
mengembangkan metode belajar yang lebih menarik. Adapun buku panduan
ini bersifat umum dan memberikan gambaran untuk pelaksanaan
pembelajaran di kelas yang mengondisikan mahasiswa mendapatkan
pengetahuan tentang antikorupsi dan internalisasi nilai-nilai antikorupsi
dalam kehidupan mereka.
Mata kuliah Etika Profesi memiliki irisan yang cukup banyak dengan nilai-
nilai antikorupsi sehingga insersi atau sisipan muatan antikorupsi ke
dalam mata kuliah Etika Profesi menjadi bekal penting dibalik keahlian yang
dimiliki profesional.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini, baik kepada Tim Penulis
dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Mikhael Dua, Andre Ata Ujan,
T.Sintak Gunawan, R. Ristyantoro, Kontributor dan Tim Supervisi yang telah
mendedikasikan gagasan dan waktunya sehingga buku ini dapat
tersajikan. Memberantas Korupsi membutuhkan upaya yang
berkelanjutan dan kerjasama dari semua elemen bangsa demi mewujudkan
indonesia yang maju dan sejahtera.
Salam Antikorupsi!
01
KATA PENGANTAR
M
engikuti langkah yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah
untuk mengembangkan sikap antikorupsi, beberapa Perguruan
Tinggi mengambil inisiatif mengembangkan bahan ajar mengenai korupsi.
Selain dibangun sebagai mata kuliah tersendiri dengan pelbagai macam
nama, pengembangan sikap korupsi juga dibahas dalam mata kuliah lain
seperti etika profesi, agama, kewarganegaraan, dan Pancasila.
Apa pun usaha yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi, pengembangan
sikap antikorupsi harus diapresiasi dan didukung semua pihak. Bersama
pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini
mengatasi korupsi melalui usaha pencegahan, sosialisasi tindak pidana
anti korupsi, dan pembentukan masyarakat anti korupsi, Perguruan Tinggi
dapat mengembangkan dan meningkatkan usaha yang sudah dilakukan
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti: Apa sebenarnya
akar korupsi? Bagaimana korupsi dapat dicegah? Bagaimana diskursus
etika dibangun di kalangan komunitas akademis, baik dari segi konten dan
metode? Dari mana diskursus seperti itu dimulai?
Buku ini dirancang dengan pengandaian bahwa Perguruan Tinggi sudah
memiliki mata kuliah etika profesi di masing-masing jurusan dengan konteks
permasalahan yang berbeda-beda. Kita mengenal misalnya etika bisnis, etika
politik, etika hukum, etika rekayasa teknik, etika profesi psikolog, bioetika untuk
kedokteran, bioetika untuk teknobiologi, etika penelitian, etika pendidikan.
Selain itu, diandaikan juga prinsip-prinsip tatakelola umum implisit atau
eksplisit dibicarakan dalam konteks dan materi yang berbeda-beda. Prinsip-
prinsip yang dimaksud adalah transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab,
kemandirian, keadilan, kepedulian, solidaritas, dan pluralitas. Prinsip-prinsip
ini menjadi dasar bagi tindakan profesional sehingga profesi dan
komunitas profesi dapat dipercaya klien dan masyarakat.
Diskusi etika profesi menjadi penting karena di balik keahlian yang
dimiliki profesional terdapat kesempatan melakukan tindakan manipulasi,
pemerasan, suap, dan bahkan penipuan. Para profesional harus yakin bahwa
ia harus mengenal ‘baju’ etika profesi agar mereka layak dipercaya klien dan
masyarakat. Mereka juga harus menghindarkan diri dari tindak pidana korupsi
dengan prinsip-prinsip etis yang mereka yakini dan bicarakan.
Sebagai misal, berdasarkan prinsip bebas dari konflik kepentingan, setiap
profesional mengerti bahwa ia tidak boleh menerima gratifikasi dan suap.
Karena itu, para profesional harus menjawab pertanyaan sederhana ini:
siapakah ia sebenarnya sehingga ia wajib mempertahankan kepercayaan klien
02
KATA PENGANTAR
03
KATA PENGANTAR
04
KATA PENGANTAR
05
DAFTAR ISI
Rp
Etika Antikorupsi ?
KORUPSI
07 27 73
BAB I BAB II BAB III
Korupsi: Gratifikasi, Suap, Apa Itu Etika Antikorupsi Etika Profesi Melawan
dan Konflik Kepentingan Korupsi
Integritas
109 149
BAB IV BAB V
Integritas, Fondasi Moral Metode Pembelajaran
Antikorupsi Etika Antikorupsi dan
Kasus-Kasus
Daftar Isi
07
Rp
KORUPSI
BAB I:
kORUPSI:
GRATIFIkASI, SUAP, DAN kONFLIk k
B
Rp
Pemerintahan
5,6
Propinsi
9
TOTAL KERUGIAN NEGARA
Pemerintahan
Kementrian/ Total Tindak Pidana Korupsi Kabupaten/Perkotaan
6
yang Ditangani KPK
Lembaga 13 (Data Hingga Akhir November 2018)
KASUS-KASUS
DPR/DPRD
Perkara Penyuapan 78
Pengadaan Barang/Jasa 9
Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa korupsi di Indonesia tidak
hanya terdapat di tingkat pusat, tetapi sudah menyebar ke tingkat daerah
yang akibat-akibatnya semakin menyentuh kehidupan masyarakat lokal/
daerah. Selain itu, praktik penyuapan dan pengadaan barang dan jasa menjadi
modus-modus korupsi. Kedua modus ini memiliki hubungan dengan praktik
gratifikasi yang melekat dengan kebiasaan saling memberikan hadiah dan
barang pada peristiwa-peristiwa budaya di masyarakat Indonesia. Praktik
gratifikasi semacam ini tidak hanya menjadi permulaan dari praktik suap
tetapi juga mendorong terjadinya konflik kepentingan karena mereka yang
terlibat dalam praktik tersebut mengutamakan kepentingan diri dan
keluarga lebih dari kepentingan-kepentingan negara dan bangsa.
A. Arti Korupsi
Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti
hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah
corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan
kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga
menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun
menamai pelaku korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).
Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-
beda. Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan
penggunaan istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau
kebusukan segala sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan
penghancuran bentuk dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan
keutuhan, kerusakan; secara moral, korupsi berarti penyelewengan atau
penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui
suap dan gratifikasi; dan secara sosial, korupsi berarti penjungkirbalikan
segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian misalnya penyelewengan
lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23).
Dalam sejarah hukum di Indonesia, istilah ini sudah dikenal dalam
Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 terkait
usaha pemberantasan korupsi, yang kemudian dituangkan dalam UU No.
24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan
dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, korupsitelahmendapatperhatianduniasehinggasemuanegara
berkepentingan untuk memberantasnya. Pada tanggal 9-11 Desember
2003 Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Merida, Meksiko mengeluarkan
Konvensi PBB Antikorupsi. Konferensi ini melibatkan 141 negara. Konvensi
tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan memperjuangkan
tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan
efisien; juga untuk meningkatkan dan memudahkan serta mendukung
kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam upaya mencegah
korupsi. Indonesia sudah meratifikasikan Konvensi Antikorupsi tersebut
pada 18 April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun demikian, Konvensi PBB tersebut tidak mengajukan kepada
kita sebuah pengertian mengenai korupsi tetapi menyebutkan
beberapa contoh korupsi seperti penyuapan kepada pejabat publik
negara, penggelapan, pencurian atau pengalihan kepemilikan oleh
pejabat publik, jual beli pengaruh, penyalahgunaan fungsi,
memperkaya diri secara melawan aturan.
Terlepas dari luasnya pengertian korupsi sebagaimana diungkapkan
secara leksikal dan contoh-contoh yang dapat dikategorikan sebagai
12
B
13
B
14
B
B. Modus Korupsi
15
B
16
B
17
B
18
B
19
B
C. Sebab-Sebab Korupsi
SEBAB-SEBAB KORUPSI
FAKTOR EKONOMI
21
B
23
B
Pasal 12 B berbunyi:
Pasal 12 C berbunyi:
“Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
24
B
E. Penutup
Diskusi mengenai korupsi memiliki jangkauan yang luas. Sebagai
fenomena sosial, korupsi memiliki akar pada praktek politik, bisnis,
struktur masyarakat, dan kebudayaan. Terutama dalam hal
kebudayaan, korupsi memiliki akarnya pada praktik gratifikasi.
Untuk mengatasi korupsi, langkah hukum dapat diambil. Dengan
alasan ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia berusaha mengambil langkah-
langkah penegakan hukum. Di Indonesia berlaku UU No. 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang tersebut menjadi landasan bagi
semua usaha legal atas tindak pidana korupsi. Dengan asumsi bahwa
korupsi dapat berawal dari praktik-praktik gratifikasi, KPK mencoba
mengambil tindakan penegakan hukum berkenaan dengan praktik
gratifikasi yang berpotensi suap tersebut.
Apa pun usaha yang dilakukan untuk melawan korupsi dari segi
hukum, efektifitasnya harus dipikirkan lebih lanjut. Sebagai sebuah
upaya hukum, perlawanan terhadap korupsi mengikuti langkah-
langkah seperti: mengawasi, menyelidiki, dan menghukum yang melawan.
Padahal perlawanan terhadap korupsi harus menyentuh kerangka
berpikir, perubahan pada pandangan, nilai, dan standar etis. Berjaga-
jaga, transparansi, keterbukaan, perlengkapan institusi merupakan sarana
yang perlu untuk membongkar keburukan korupsi serta akibat negatifnya
bagi manusia dan masyarakat. Dengan alasan ini, korupsi lebih dari
sekedar masalah legalitas, ia menjadi masalah moral.
Tentang hal ini, Laura Underkuffler (lihat Priyono, 2018: 545)
membuat pembedaan yang tegas antara pelanggaran hukum dan
pelanggaran moral dalam 2 proposisi berikut:
Proposisi pertama: A melanggar hukum
Proposisi kedua: A itu korup
Dalam proposisi pertama, kita mencela perbuatan, karena hukum tidak
25
B
26
Etika Antikorupsi ?
BAB II:
APA ITU ETIkA ANTIkORUPSI?
BA
Dalam bab sebelumnya kita sudah mengatakan bahwa korupsi tidak hanya
merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah
moral. Sebagai masalah hukum, korupsi merupakan sebuah perbuatan
melawan hukum positif negara tertentu, karena itu perlu ditangani
dengan prosedur hukum. Tetapi, korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih
substansial dari yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Hukum memang
membantu kita untuk memahami korupsi sebagai perbuatan yang tidak
pantas dillakukan. Modus-modus korupsi seperti gratifikasi dan suap yang
disertai dengan pemerasan benar-benar merupakan pelanggaran hukum
yang pantas dihukum dan dikenai sanksi. Tetapi jantung pengertian
korupsi bukanlah persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami
sebagai korupsi bukan pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan
karena ciri immoral korupsi itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi
merupakan sebuah masalah moral karena menunjuk pada perbuatan yang
seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi tidak terjadi. Disebut melawan moral
karena melawan kebaikan perbuatan manusia yang seharusnya ada,
ternyata tidak ada.
Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini? Apabila moral menyangkut
pedoman baik dan buruk, bagaimana kita bisa memastikan bahwa korupsi
merupakan sesuatu yang melawan kebaikan?
Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan
menjelaskan bagaimana etika dan teori-teorinya menjelaskan dimensi moral
antikorupsi. Secara konkrit, bab ini akan menjelaskan beberapa hal, yaitu
pengertian etika dan etika antikorupsi, penalaran etis dan argumentasi
etis melawan korupsi, dan dimensi institusional etika antikorupsi.
tindakan manusia dalam relasinya dengan orang lain dalam masyarakat. Dan
dengan berbicara tentang apa yang seharus dilakukan, Kant ingin menegaskan
bahwa etika bersifat normatif, sama seperti hukum tetapi dengan alasan-
alasan dan penalaran yang berbeda.
Tentu harus dikatakan bahwa istilah etika sendiri memiliki makna leksikal
yang jauh lebih luas dari yang dipikiran Kant. Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi I tahun 1988 mengungkapkan 3 makna etika. Pertama, etika berarti
nilai- nilai atau norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau
suatu masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kerap
disamakan dengan kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik dan
yang buruk secara moral atau studi tentang moralitas manusia. Dalam arti
ketiga inilah, etika sama dengan filsafat moral. Makna ini sebenarnya sudah
tergambarkan dalam istilah Latin ethice, ethica, yang berarti filsafat moral.
Ketika Kant merumuskan gagasannya tentang etika, yang ia
maksudkan sebenarnya adalah sebuah cabang filsafat yang memiliki tugas
mencari alasan-alasan rasional dan kritis mengapa seseorang harus tunduk
pada aturan-aturan moral. Yang dimaksudkan oleh Kant dengan ‘rasional-
kritis’ memiliki pengertian yang luas. Setiap manusia memiliki
kemampuan untuk berpikir sendiri dan harus dapat berpikir sendiri.
Otonomi berpikir di sini menjadi penting, karena bagi Kant, ini adalah
kemampuan alamiah yang dimiliki manusia untuk mempertanyakan banyak
hal termasuk aturan-aturan moral. Martin Heidegger bahkan lebih tegas
menjelaskan bahwa berpikir sendiri sambil mempersoalkan banyak hal
merupakan kesucian hidup sebagai manusia, karena hanya dengan bertanya,
manusia dapat membuka relasi yang bebas dengan dunia sekitar.
Dengan mempertanyakan secara kritis ajaran moral tidaklah berarti bahwa
ajaran moral tidaklah penting bagi hidup manusia. Harus dikatakan di sini
bahwa ajaran moral yang disajikan melalui wejangan-wejangan, khotbah-
khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah
lisan atau tertulis dapat membantu kita untuk berbuat baik. Ada keyakinan
bahwa ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk tentang
bagaimana kita harus hidup. Namun demikian, masih diperlukan sebuah
refleksi rasional atas ajaran moral agar kita dapat
mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan dan tindakan kita yang
tunduk pada ajaran moral tersebut. Bahkan refleksi rasional kritis atas
ajaran moral dibutuhkan agar kita dapat melihat dengan jelas alasan-
alasan rasional di balik ajaran-ajaran moral itu. Dengan demikian membuat
refleksi atas aturan-aturan moral berarti menerima aturan-aturan moral
tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan logis.
Karena pada intinya etika merupakan sebuah refleksi rasional kritis
atas moralitas manusia ini, etika berbeda dengan tegas dari etiket. Kedua
istilah tersebut kadang dipahami sebagai sama. K. Bertens dalam bukunya
yang berjudul Etika, menyebut sekurang-kurangnya 4 perbedaan. Pertama,
etiket
33
BA
berkaitan dengan cara suatu perbuatan atau tata karma, sedangkan etika
memberi nilai pada cara. Artinya, etika memberi norma dan menilai suatu
perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Kedua, etiket lebih menekankan fungsi
sosial–relasional, sedangkan etika menekankan fungsi eksistensial. Etiket
hanya berfungsi dihadapan orang lain. Misalnya, jika kita berjalan dan di
sana terdapat banyak orang kita wajib mengucapkan salam ‘permisi’. Hal itu
tidak berlaku apabila Anda berjalan di jalanan yang sepi dan tidak ada orang
lain. Etika juga diperlukan dalam relasi sosial, namun keberlakuannya
tidak tergantung pada kondisi tertentu. Etika berkaitan dengan kesadaran
dan komitmen pribadi. Misalnya, menghargai hidup manusia itu tidak
tergantung pada ada tidaknya orang. Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan
etika bersifat universal dan absolut. Etiket pada umumnya berlaku pada satu
tempat, namun belum tentu berlaku di tempat lain. Etika bersifat universal
dan absolut karena etika berlaku bagi siapa saja, di mana saja, serta kapan
saja. Bersifat absolut karena etika wajib menjadi pegangan dalam
berperilaku. Keempat, etiket diukur dari sisi lahiriah, sedangkan etika
melebihi sisi lahiriah. Dalam etiket, penilaian diletakkan pada penampilan,
seperti cara berpakaian, cara duduk, dan perbuatan lahiriah lainnya.
Sementara etika meletakkan penilaian pada maksud, kehendak, motivasi, dan
suara hati. (Bertens, 1987)
Dengan karakter sebagai refleksi rasional kritis, bukan mustahil etika
dapat membangun dirinya secara lebih mendalam mendiskusikan prinsip-
prinsip atau norma-norma etis umum, seperti kebebasan, tanggung jawab,
otonomi, keadillan. Pada tingkat ini etika menjadi sebuah orientasi rasional
dan kritis agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap
pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup,
melainkan agar ia dapat mengerti sendiri mengapa ia harus bersikap.
Etika membantu agar ia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan
kehidupannya dengan menggunakan seluruh pikiran dan nalarnya. Atau
dalam rumusan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Dasar,
Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, etika merupakan ilmu yang mencari
orientasi. Orientasi rasional tersebut perlu agar kita tahu di mana kita berada
dan ke arah mana kita bergerak untuk mencapai tujuan kita yang sebenarnya.
(Magnis-Suseno, 1987: 5)
Dengan fungsi seperti ini, etika tidak hanya membantu kita untuk
mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral
dalam menata kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa
teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam
menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut
dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang
dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai
fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi.
BA
35
BA
Efisiensi yang lebih tinggi menjadi tolok ukur manfaat yang lebih besar.
Pemahaman utilitarianisme ini bisa misleading. Salah satu kritik terhadap
pertimbangan ini tersebut tidak adil terhadap kepentingan-kepentingan yang
tidak menjadi kepentingan mayoritas.
Dengan pertimbangan ini, korupsi memang dapat dinilai buruk dari
segi moral, karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan tersebut
merusak kemaslahatan bersama. Tindakan tersebut juga dapat membawa
akibat yang buruk bagi masyarakat dan menimbulkan penderitaan bagi
banyak orang. Kita bisa membayangkan lebih jauh akibat korupsi. Secara
mendasar korupsi dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang
mengikatkan manusia satu sama lain. Kita juga dapat membayangkan bahwa
korupsi dapat merusak kehidupan manusia dalam masyarakat dan cita-cita
untuk membangun kehidupan bersama di atas dasar common good.
Tindakan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah sabotase melawan
manusia, kepentingan semua orang baik laki maupun perempuan, dewasa
dan anak-anak yang seharusnya memiliki hak dasar untuk menikmati
kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang wajar.
Kritik utilitarianisme terhadap korupsi tersebut pantas diperhatikan. J.J.
Rousseau pernah menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, setiap orang
selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Penghargaan satu sama lain
tersebut terjadi karena setiap orang menghargai properti pribadi dan
bersama. Namun, sebagaimana Rousseau meramalkan, manusia dapat menjadi
serigala untuk manusia yang lain (Hobbes) ketika ia ingin mengambil untuk
dirinya apa yang menjadi properti orang lain dan properti bersama. Ini adalah
akibat fatal perbuatan korupsi.
Namun, dengan kriteria manfaat dari pemikiran utilitarianisme tidak
seluruhnya tepat dan bahkan dapat menimbulkan masalah bagi etika
antikorupsi itu sendiri. Manfaat kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang sulit diukur jika kita melihat dampak jangka panjang. Banyak perbuatan
suap dibenarkan karena membawa manfaat bagi perusahaan dan organisasi.
Namun, sikap toleran terhadap korupsi tersebut justru terjadi karena jebakan
ini. Kita tidak pernah membayangkan bahwa praktik tersebut sudah merusak
seluruh tatanan institusional yang menghargai hak dan keadilan. Dengan
alasan ini, etika antikorupsi membutuhkan pertimbangan etis lain yaitu
pertimbangan motif sebuah tindakan.
Pertimbangan lain yang dimaksud adalah kewajiban terhadap hukum moral
itu sendiri. Ini adalah kriteria kedua etika antikorupsi. Menurut pertimbangan
ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-
perbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap
orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan
karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai
37
BA
moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan
bertentangan dengan hukum moral.
Argumentasi ini dibangun oleh teori deontologi (deon berarti kewajiban)
yang secara khusus dikembangkan oleh Kant. Menurut Kant aturan moral
harus ditaati tanpa pengecualian. Untuk memahami apa yang ia maksudkan,
Kant membuat sebuah pembedaan antara imperatif (perintah) kategoris dan
imperatif hipotetis. Dalam pemikirannya, imperatif kategoris berarti imperatif
yang mewajibkan sementara imperatif hipotetis, artinya imperatif yang tidak
wajib dilaksanakan kecuali jika kita menyetujui syaratnya. Bunyi imperatif
hipotetis misalnya seperti berikut: (Rachels, 2004, 223)
“Kalau Anda ingin menjadi pemain catur yang baik, Anda wajib mempelajari perm
“Kalau Anda ingin masuk sekolah hukum, Anda wajib mendaftarkan diri
untuk mengikuti ujian masuk.”
38
BA
39
BA
41
BA
42
BA
43
BA
D. Penutup
Etika antikorupsi adalah sebuah usaha rasional kritis atas korupsi. Karena
korupsi memiliki latar belakang empiris yang luas maka etika antikorupsi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, etika antikorupsi bersifat normatif dalam arti mendiskusikan
gejala korupsi dari perspektif etika normatif. Perspektif ini berangkat dari
asumsi yang sederhana, yaitu bahwa korupsi itu buruk dari segi
dampaknya, dari segi tujuannya, dan dari segi tindakannya itu sendiri.
Dengan mendiskusikan prinsip-prinsip manfaat, prinsip kewajiban kategoris
pada aturan-aturan moral yang universal, dan keutamaan-keutamaan etis,
etika antikorupsi melihat dengan jelas apa yang dilanggar oleh praktik
korupsi. Dengan mendiskusikan korupsi dari perspektif teori-teori etika
normatif, etika antikorupsi termasuk etika terapan, sebuah usaha untuk
menggunakan prinsip-prinsip dasar etika normatif untuk menjawab masalah-
masalah praktis sehari-hari.
Kedua, etika antikorupsi bersifat deskriptif dalam arti melibatkan
pengetahuan empiris tentang praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini harus
disadari bahwa korupsi itu memiliki kecerdasan tersendiri. Machiavelli pernah
menasehati para etikawan dalam bidang politik bahwa politik itu adalah
kecerdasan menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Itu adalah
esensi politik. Karena itu, pengetahuan tentang kecerdasan politik itu sendiri
penting. Begitu juga dengan fenomena korupsi. Korupsi itu adalah sebuah
kecerdasan untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan bahkan status sosial.
Karena itu pengetahuan deskriptif dengan akar-akar korupsi sebagaimana
dijelaskan bab sebelumnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari
etika antikorupsi. Kant pernah memberi nasehat sederhana: seorang yang
mengerti etika harus cerdik seperti ular, dan jinak seperti merpati. Artinya,
untuk dapat
BA
memberikan pertimbangan etis yang baik, perlu mengenal seluk beluk praktik
korupsi.
Ini berarti persoalan metode menelusuri akar-akar korupsi menjadi
penting. Meskipun secara populer kita meyakini bahwa korupsi lebih dari
sekedar masalah hukum, dan akar utama adalah moralitas, dibutuhkan
sebuah strategi metodologis untuk memahami akar-akar tersebut.
Ketiga etika antikorupsi bersifat sosial politik/publik. Segi ini menjadi hal
yang sulit diperhatikan, karena banyak yang melihat korupsi sebagai persoalan
individual, dalam arti korupsi hanyalah sebuah kesalahan individu tertentu.
Yang harus dipahami lebih jauh adalah bahwa korupsi selalu berkaitan
dengan institusi di mana seseorang hidup dan bekerja. Sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya, hampir sulit seseorang membebaskan diri dari
praktik korupsi dalam sebuah sistem yang korup. Dengan alasan ini, etika
antikorupsi perlu menyelidiki akar-akar institusional dari praktik korupsi
dan mencari langkah-langkah etika institusional untuk mengatasi korupsi itu
sendiri. Selain aspek institusi, etika antikorupsi perlu berbicara tentang
tujuan membangun komunitas moral dan integritas. Kedua tema ini akan
dibicarakan pada bab- bab berikut.
45
BAB III:
ETIkA PROFESI MELAWAN kORUPSI
BA
A. Etika Profesi
Etika profesi merupakan cabang etika yang secara kritis dan sistematis
merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi.
Kerap kali etika ini dilihat sebagai etika terapan, karena merupakan
refleksi etika normatif pada masalah-masalah profesi. (Bertens, 2013)
Karena cabang etika ini menaruh perhatian pada masalah-masalah moral
yang melekat pada profesi, etika profesi tidak akan melakukan refleksi
tentang kewajiban umum manusia terhadap manusia, tetapi pada
kewajiban khusus berkaitan dengan tuntutan fungsional untuk
melaksanakan suatu jenis pelayanan tertentu. Dengan perkataan lain,
etika profesi akan melakukan penilaian rasional kritis atas praktik-praktik
profesional dalam masyarakat modern dewasa ini berdasarkan nilai-nilai dan
asas-asas moral universal yang dituntut pelaksanaannya pada profesi tertentu.
Tentu dalam hal ini asas moral universal tersebut benar-benar melekat atau
fungsional pada pelaksanaan profesional tertentu.
Pentingnya pembicaraan tentang etika profesi dewasa ini menjadi nyata
berkenaan dengan semakin pentingnya peran profesi dalam kehidupan
masyarakat. Ada harapan terselubung di balik etika profesi. Dengan
menemukan landasan-landasan normatif yang mengikat para profesional
ketika melakukan tindakan-tindakan profesional, etika profesi bertujuan
agar profesi dapat membangun dirinya sebagai sebuah komunitas moral.
(Sudarminta, 1992: 114-133)
Secara metodologis, landasan-landasan normatif yang dimaksud
dapat diketahui melalui 2 cara. Yang pertama, dengan cara menemukan
aspirasi moral sebagaimana terkandung dalam kode etik dan praktik-praktik
profesional. Pada langkah pertama ini kita dapat menemukan kesadaran moral
profesional. Namun, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan refleksi
normatif atas kesadaran moral tersebut. Karena itu dibutuhkan langkah
kedua, yaitu sebuah refleksi etika atas kesadaran moral sebagaimana
diungkapkan secara implisit atau eksplisit dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Pada langkah kedua ini kita dapat menemukan landasan
etis atau norma dan orientasi etis yang dibangun bersama oleh komunitasnya.
Dengan demikian, pengembangan kode etik profesi dan refleksi etika atas
profesi atas landasan- landasan etis dapat mendorong setiap anggota
komunitas profesi untuk menjaga secara bersama-sama agar komunitas
mereka dipercaya oleh klien
50
BA
dan masyarakat.
Kita mengenal misalnya, etika publik yang seharusnya dimiliki oleh
para pejabat publik. Etika ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang
standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan
dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka
menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Refleksi etika atas profesi
sebagai pejabat publik tersebut mendorong para pejabat publik untuk
membangun komunitas moral pejabat publik. Karena itu jika ada pejabat
publik yang melakukan malpraktik dan korupsi, pejabat publik sebagai
komunitas profesi dipertanyakan moralitasnya. (Haryatmoko, 2015: 11-20)
Kita juga mengenal etika medis yang harus dilmiliki oleh setiap
dokter. Etika ini merupakan refleksi tentang norma yang menentukan baik
buruk, benar salah perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan
pelayanan kesehatan menjadi pelayanan yang dapat dipercaya klien. Jika
seandainya adalah seorang dokter yang melakukan malpraktik, komunitas
medis sebagai keseluruhan dapat diragukan integritas moralnya. (K.
Bertens,2011: 35-42)
Kedua contoh ini ingin mengatakan beberapa hal berkaitan dengan etika
profesi. Pertama, etika profesi merupakan sebuah refleksi atas landasan moral
komunitas profesional yang dapat ditemukan dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Kedua, etika profesi dapat memberikan penilaian atas
mutu moralitas komunitas profesional. Dalam hal ini etika profesi dapat
melihat orientasi moral masing-masing profesi. Profesi kepolisian memiliki
orientasi moral yang berbeda dengan profesi medis. Yang pertama
menekankan disiplin berdasarkan semangat korps dalam rangka
perlindungan keamanan masyarakat, yang kedua menekankan perlindungan
terhadap martabat klien dalam rangka mengembangkan kesehatan jiwa dan
badan manusia tersebut. Karena individu profesional tidak dapat menjalankan
fungsi profesinya di luar ketiga, karena setiap profesional hanya hidup dalam
komunitas profesi, maka integritas pribadi profesional menjadi hal yang tak
dapat dihindarkan dalam refleksi etika profesi. (Chadwick, 1994: 5-15)
51
BA
52
BA
53
BA
Apa yang dimaksud dengan landasan moral profesi dapat dikatakan sebagai
prinsip fundamental bagi moralitas profesional. Janji publik yang diucapkan
oleh para profesional merupakan prinsip dasar yang dimiliki oleh profesional
sehingga ia dapat dipercaya masyarakat dan kliennya. Memang harus diakui
bahwa tidak semua profesi memiliki janji publik secara eksplisit. Dewasa ini
kita mengenal banyak profesi yang dibangun di atas janji publik seperti
advokat, dokter, psikolog, hakim, jaksa. Para pejabat negara pun memiliki
janji atau sumpah jabatan. Sementara itu, kita masih mengenal banyak
profesi yang tidak memiliki janji profesional secara eksplisit seperti
rekayasawan teknik, guru, profesi, dan bahkan peneliti. Pada kelompok
profesi ini terdapat prinsip- prinsip etis umum yang berfungsi menata
pengembangan dan pelaksanaan profesi berdasarkan tujuan layanan
profesional masing-masing.
Dari segi etika, entah eksplisit atau implisit, janji publik itu sendiri
mengandung imperatif-imperatif moral seperti tanggung jawab, keadilan,
otonomi, dan kepercayaan. Sebagai sebuah contoh mari kita membaca
sumpah dokter dan sumpah jabatan hakim, jaksa, panitera di bawah ini:
Sumpah Dokter:
Saya bersumpah bahwa: Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentinga
55
BA
saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
Ada hal yang menarik dari sumpah dokter dan hakim dan jaksa ini.
Dengan fokus pada kebaikan kesehatan dan keadilan, sumpah ini berusaha
secara eksplisit dan implisit melihat tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan
kepercayaan menjadi prinsip-prinsip etisnya. Berikut kami menjelaskan apa
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dimaksud. (Sihotang, 2016: 146-278)
1. Tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk
56
BA
57
BA
59
BA
1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) 2.2. (1) berbunyi:
“Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami
atau isteri Hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga Hakim
lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat,
penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan
kuat akan diadili, dan pihak yang memiliki kepentingan terhadap
suatu perkara.”
2. Kode Etik dan Perilaku Jaksa (2007) Pasal 4 berbunyi: Jaksa
dilarang “meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima
hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.”
Apa yang dikemukakan oleh kode etik ini juga ditegaskan lagi oleh
Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang dunia peradilan.
Di sini ditegaskan bahwa setiap orang sudah melakukan korupsi
jika ia memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; dan kepada advokat untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Juga Pasal 6 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa
hakim dan advokat sudah melakukan korupsi ketika ia menerima
pemberian atau janji. Bertolak dari janji publik profesi, hakim dan
advokat sudah memanfaatkan profesi demi keuntungannya sendiri dan
mengabaikan janji publik yang ia ucapkan demi kepentingan klien.
Begitu juga klien jika melanggar janji publik profesional yang
menuntutnya untuk disiplin mengembangkan kebaikan profesional.
Keadilan sebagai kebaikan tidak dapat dipelihara dengan baik justru
karena ia sendiri melangkahi prosedur peradilan.
Dalam perspektif undang-undang ini, gratifikasi dan suap
melanggar janji publik profesi hakim dan advokat dan bahkan
menghancurkan sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Keadilan sebagai kebaikan klien hanya bisa dipertahankan dengan
keadilan sebagai prinsip kerja peradilan. Jika kita melihat lebih
jauh lagi, gratifikasi dan suap menggagalkan otonomi yang
seharusnya menjadi basis penilaian hakim dan advokat. Mereka
tidak lagi menjalankan fungsi mereka secara otonom, tetapi sudah
dipengaruhi oleh suap dan gratifikasi. Dan dapat diramalkan juga
karena mereka tidak otonom lagi, keputusan dan penilaian apa pun
yang mereka berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik.
3. Kaidah Umum Tata Laku HPJI No.3.3. (6) “Anggota HPJI tidak
boleh menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan yang
berlaku.”
BA
61
BA
62
BA
F. Penutup
Etika profesi merupakan sebuah refleksi yang dilakukan oleh profesional
untuk menunjukkan kepada publik bahwa para profesional benar-benar
dipercaya oleh masyarakat. Dengan hadirnya kode etik dan kode perilaku,
masyarakat menjadi paham bahwa kaum profesional tidak hanya
bertindak sendiri tetapi bertindak secara kolektif dalam mengembangkan
obyek layanan sebagai kebaikan-kebaikan yang dinikmati masyarakat.
Kedokteran dengan kesehatan, advokat dengan keadilan, rekayasawan teknik
dengan keselamatan teknik dan publik, guru dengan pendidikan.
Namun demikian, Gratifikasi, suap dan korupsi kerap kali mengalihkan
perhatian profesional dari kebaikan layanan mereka kepada kepentingan
pribadi. Suap dan gratifikasi merupakan praktik yang mengindikasikan konflik
kepentingan yang seharusnya dihindari oleh setiap profesional. Karena
itu, kode etik profesi menganjurkan agar berhati-hati dengan
kemungkinan tersebut. Banyak profesional terjebak dengan hal-hal
tersebut. Kesalahan seperti ini pada akhirnya menghancurkan seluruh
reputasi profesi dan diri sendiri.
Dengan catatan ini, janji publik untuk tidak menerima gratifikasi dan suap
harus dimengerti sebagai sebuah imperatif kategoris, sebuah perintah tanpa
syarat. Artinya mau tidak mau harus dilaksanakan. Imperatif ini memang
kaku, sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant, “ketika nilai moral
dipertaruhkan, apa yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat,
melainkan prinsip kedalaman yang tak terlihat.” Itu adalah kewajiban
pada dirinya sendiri. Namun, kewajiban itu sendiri menjadi dasar-dasar bagi
kepercayaan publik. Tanpa itu, dokter, advokat, guru, pebisnis, polisi, hakim
tidak dapat dipercaya, baik sebagai individu maupun sebagai institusi.
64
Integritas
BAB IV:
INTEGRITAS, FONDASI MORAL ANTIkOR
BA
A. Pengantar
Korupsi masih menjadi kanker yang menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara terutama negara-negara berkembang. Korupsi bisa dilakukan
secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan
organisasi atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu,
dan biaya yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya.
Entah sudah berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak
hukum. Kenyataannya, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang
seakan tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap
yang berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan,
gratifikasi, kick back yang menyasar pejabat publik, serta berbagai
perilaku koruptif lainnya masih terus menjadi headline media cetak dan
audio-visual. Predikat “kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang
disematkan pada penyakit sosial yang satu ini dengan sendirinya
menjelaskan betapa berbahayanya korupsi bagi bangsa dan negara.
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya hukum yang telah dilakukan
sejauh ini, harus diakui bahwa hukum ternyata tidak cukup efektif menekan
apalagi menyingkirkan korupsi. Banyaknya pejabat publik dan privat yang
tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK dengan rentang jeda yang relatif
singkat menunjukkan bahwa korupsi bukan sembarang kanker. Korupsi telah
berkembang menjadi kanker ganas yang menggerogoti hampir semua sektor
vital tubuh bernama negara dan bangsa dan karenanya sulit diberantas.
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Apakah benar
ketimpangan ekonomi atau ketidakadilan sosial menjadi alasan utama
terjadinya korupsi? Dimana sesungguhnya korupsi secara mendasar berakar?
Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kami mencoba menunjukkan
bahwa akar persoalan korupsi bukan sekedar alasan yang bersifat “eksternal”
melainkan “internal” dan bahkan bersifat inheren pada kepribadian manusia.
69
BA
70
BA
dan nama baik perusahaan, di satu pihak, serta loyalitas dan kepercayaan
konsumen atau publik terhadap perusahaan, di lain pihak, sangat tergantung
pada kualitas kepribadian para pengelolanya ketika berhadapan dengan
tantangan pemenuhan hak-hak stakeholders. Lalu, apa itu “integritas”
dan mengapa integritas penting baik pada lingkup publik maupun privat?
Bagaimana merawat dan mengembangkannya? Apakah integritas mencukupi
untuk membangun sebuah bisnis, organisasi, lembaga, atau bahkan
mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang kredibel? Inilah
beberapa pertanyaan mendasar yang coba dijawab dalam kaitannya dengan
korupsi.
Sebelum memasuki diskusi substansial mengenai “integritas”, perlu sejak
awal diberikan dua catatan kecil untuk menghindari salah-pengertian
terhadap istilah “integritas”. Pertama, sebagian orang cenderung memaknai
“integritas” tak lebih dari sikap “keras kepala” (stubbornness). Pemaknaan
seperti itu sebetulnya keliru walaupun bisa dipahami. Secara literer
“integritas” atau integrity dalam bahasa Inggris sejatinya diambil dari
khazanah bahasa Latin integer, yang berarti kuat, kokoh, tidak goyah, atau
tidak mudah terombang- ambing. Dengan makna positif seperti itu,
“integritas” sejatinya merefleksikan kepribadian positif yang layak dimiliki
setiap makhluk moral. Integritas bahkan seharusnya menimbulkan rasa
terhormat dalam diri mereka yang memiliki keberanian (courage) untuk
secara konsisten merawatnya (Robert C, Solomon, 1992: 168-174). Betapa
berharganya “integritas” bagi manusia, telah membuat Solomon
menegaskan bahwa mengabaikan integritas tidak hanya mengakibatkan
subyek kehilangan kemampuan berwawasan jauh kedepan (short-sighted)
melainkan dapat menghancurkan diri sendiri (self-destructive).
Kedua, integritas juga sering disamakan begitu saja dengan
“kejujuran” (honesty). Integritas memang mengandaikan kejujuran
sebagai nilai, akan tetapi tidak semua kejujuran pantas disebut
merefleksikan integritas. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Solomon,
kejujuran terlalu terbatas untuk merangkul seluruh kekayaan makna
integritas. Alasannya, dalam prakteknya integritas malah bisa saja
menuntut subyek untuk bertindak kurang jujur atau bahkan berbohong.
Dalam kasus tertentu pasti tidak sulit untuk sepakat dengan Solomon.
Misalnya saja, apakah seorang pejabat publik harus mengatakan dengan
jujur semua kebijakan atau semua informasi negara, bahkan yang bersifat
rahasia sekalipun, kepada pejabat publik negara lain? Kejujuran tentu saja
sebuah keutamaan yang ikut menentukan kualitas kepribadian manusia. Akan
tetapi kejujuran di dalam contoh rahasia negara ini tentu saja problematis
dari sisi etika politik. Menjadi kewajiban moral setiap warga negara apalagi
pejabat publik untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negaranya. Karena
itu mengatakan secara jujur informasi-informasi yang berkaitan dengan
rahasia negara merupakan pengkianatan dan karenanya harus ditolak dari
segi etika sosial-politik. Dalam konteks seperti ini integritas dalam arti
kejujuran tidak relevan diterapkan.
BA
73
BA
75
BA
“to practice what he preaches”. Apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa
yang ia lakukan. Terjadi fragmentasi kepribadian.
Distingsi antara “rules in form” dan “rules in use” yang dikemukakan oleh
Elinor Ostrom (lihat Bob Ornsthstein, 2017), bisa membantu untuk lebih
memahami fragmentasi kepribadian. Dengan distingsi itu Ostrom ingin
menegaskan bahwa sesungguhnya tersedia norma-norma sosial dalam
masyarakat dan anggota masyarakat memang mengetahuinya dan bahkan
mengakuinya meskipun tidak diformalisasi, tidak ditetapkan secara resmi.
Meskipun mengetahui dengan baik, dalam prakteknya norma-norma sosial
tidak digunakan sebagai panduan untuk hidup dan bertindak sebagaimana
seharusnya sesuai dengan pengertian dan pengetahuan yang dimiliki. Tanpa
ketetapan formal sekalipun, semua orang, termasuk para pejabat baik publik
maupun privat, mengerti dan menyadari bahwa korupsi secara moral
buruk dan harus dihindari (rules in form). Akan tetapi dengan alasannya
masing- masing, korupsi tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, norma
sosial hanya dimengerti tetapi tidak dipraktekkan (rules in use) karena tidak
terinternalisasi menjadi bagian integral identitas diri.
Bagi R. Solomon, di dalam pribadi hipokrit juga melekat berbagai
kekurangan moral lainnya khususunya sifat suka menipu atau berbohong
yang memang secara sadar dilakukan untuk menutupi kekurangan atau
ketimpangan kualitas moral. Mereka menjadi manusia hipokrit dengan
berbohong tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Mereka bahkan harus berbohong pertama-tama kepada dirinya sendiri untuk
kemudian berbohong kepada orang lain. Dan sekali ia berbohong, ia akan terus
memproduksi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Ada berbagai cara yang digunakan seorang yang tidak berintegritas untuk
menutupi perilaku buruknya. Cara yang paling sederhana adalah menyangkal
perbuatannya. Ketika seorang hipokrit melakukan sebuah pelanggaran, ia
akan dengan segala macam cara berusaha untuk menutupinya. Tak jarang
penyangkalan dilakukan dengan strategi yang sophisticated dan berbelit-
belit untuk mempersulit upaya pelacakannya. Mempermainkan bahasa untuk
menciptakan nuansa berbeda atas kejahatan yang dilakukannya juga menjadi
cara lain yang digunakan pribadi hipokrit untuk menutupi perbuatan buruknya.
Ketika dituduh dan bahkan sesungguhnya terbukti mencuri motor, misalnya,
seorang hipokrit bisa dengan enteng mengatakan “Saya tidak bermaksud
mencuri; saya hanya ingin meminjamnya untuk sementara waktu”. Pribadi
hipokrit juga bisa menutupi perilaku buruknya dengan apa yang disebut
self-effacing humor. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan:
“Jangan melakukan apa yang saya lakukan, tetapi lakukan apa yang saya
katakan”. Ia lupa bahwa humor seperti itu sejatinya hanya mengalihkan
perhatian dan tidak sungguh-sungguh menghilangkan perbuatan buruknya.
76
BA
77
BA
78
BA
79
BA
80
BA
internalisasi menjadi penting. Dari mana kita harus mulai untuk membangun
integritas untuk memerangi korupsi? Adalah kenyataan bahwa korupsi selalu
dilakukan dalam konteks yang tidak terlepas dari kedudukan struktural
kelembagaan. Dan karena itu isu good governance architecture lembaga
relevan dikemukakan dalam konteks memerangi korupsi.
6 Pilar Integritas
Political Will Transparansi Akuntabilitas Pertisipasi Publik Peraturan
1. Political will
Etika publik menjadi fondasi (bedrock) utama dalam memelihara dan
mengembangkan integritas dalam ruang publik. Untuk itu diperlukan
kemauan politik kuat dari pemimpin tertinggi organisasi untuk
membangun integritas. Leading by example, apalagi dalam masyarakat
paternalistik, menjadi sangat penting. Disini, nilai-nilai moral menjadi
penting dan karenanya berkontribusi positif pada kinerja lembaga,
bukan karena terus disosialisasikan dengan kata-kata melainkan karena
diwujudkan secara kongkrit melalui perilaku leadership. Itu berarti
leading by example juga harus dimengerti sebagai leading by values.
Upaya ke arah ini sering menjadi kontra produktif karena pemimpin-
pemimpin, terutama pemimpin politik, tidak sungguh-sungguh
memerangi korupsi. Retorika manipulatif cenderung
dipertontonkan
81
BA
82
BA
4. Partisipasi publik
Demokrasi meniscayakan partisipasi aktif publik, termasuk media,
dalam pengelolaan negara. Kritik selalu harus punya tempat dalam
ruang publik; namun supaya kritik tidak melabrak asas fairness dan
responsibility dalam tata-kelola yang baik (good governance),
kritik harus dilakukan dengan motif demi kebaikan umum dan
bukan demi kepentingan eksklusif diri sendiri atau segelintir orang.
Untuk itu obyektivitas dan reasonableness perlu dijaga agar kritik
tidak berubah menjadi fitnah yang justru semakin memperkeruh
keadaan. Efektivitas partisipasi publik ini sangat tergantung juga pada
kesediaan bersikap transparan dari sisi pejabat publik.
5. Peraturan hukum
Pilar ini menuntut pentingnya negara memiliki pembuat dan penegak
hukum yang berintegritas. Alasannya jelas. Peraturan hukum menjadi
hukum karena memenuhi asas fairness, impartiality, and integrity. Itu
berarti, hukum memiliki kekuatan mengikat karena dilahirkan oleh
anggota legislatif yang menjunjung tinggi asas fairness, impartiality,
dan integrity. Hanya dari anggota parlemen dengan kualitas
kepribadian yang menjunjung tinggi asas-asas teresebut, kita boleh
berharap bahwa hukum lahir dan hadir demi kepentingan atau
kebaikan umum.
Tuntutan yang sama berlaku bagi penjabat yudikatif. Pada akhirnya
praktek dan penegakan hukum menjadi bukti kongkrit apakah
asas “kesamaan di depan hukum” sungguh-sungguh ditegakkan.
Inkonsistensi lembaga dalam menerapkan asas-asas tersebut dalam
mengemban dan melaksanakan tugas publiknya akan menjadi
pelajaran buruk yang menyuburkan sikap dan perilaku “tak-peduli-
hukum” (unlawfulness) dalam masyarakat, umumnya, dan pejabat
publik, khususnya. Dokrin “ultra vires in action” pantas ditegaskan
dalam konteks ini. Doktrin itu menegaskan pentingnya keberanian
tanpa takut sedikitpun untuk mencopot seorang hakim dari
jabatannya untuk kemudian menggantinya dengan pejabat baru
yang kredibel (memiliki kompetensi dan integritas yang memadai
untuk posisinya). Dengan demikian, berperilaku sesuai dengan hukum,
peraturan, dan prosedur yang seharusnya menjadi penting sebagai
bagian dari menegakkan hukum dan sekaligus memupuk tumbuh
dan berkembangnya integritas secara umum dalam lembaga. Hal
yang sama juga perlu diusahakan dalam dunia bisnis. Kenyataan
memperlihatkan bahwa kolusi sistematis antara kekuasaan politik
(publik) dan kekuasaan ekonomi ikut berkontribusi dalam berkembang
dan menularnya korupsi.
83
BA
6. Ruang demokrasi
Pilar ini penting untuk dirawat karena kita hidup dalam sebuah era
dimana masyarakat semakin sadar akan hak-haknya yang harus
dilindungi dan bahkan harus difasilitasi realisasinya oleh negara. Hak
atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan
layanan pendidikan dan kesehatan yang baik, hak politik untuk
berpatisipasi aktif dalam menentukan masa depan negara melalui
pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil
presiden, adalah beberapa hak mendasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Tuntutan pemenuhan hak-hak ini menjadi
bentuk kontrol publik dan sekaligus indikator kinerja pejabat
publik sebagai refleksi perwujudan kepercayaan publik atas kekuasaan
yang telah diperoleh pejabat publik dari masyarakat. Demokrasi
dengan demikian merupakan manisfestasi dari integritas di dalam
ruang publik.
Inkonsistensi dalam menjaga dan merawat integritas demi memerangi
korupsi bisa berakibat negatif serius pada mentalitas dan moralitas
bangsa secara keseluruhan. Korupsi akan terus tumbuh subur akibat tidak ada
upaya serius membangun integritas melalui perilaku kongkrit pemangku
kekuasaan baik publik maupun privat. Sadar akan terus menularnya penyakit
sosial itu, Lee Butler menyarankan beberapa hal berikut di bawah ini.
1. Hal yang pertama dan utama adalah mengembangkan pengertian
tentang apa yang akan terjadi jika integritas dibiarkan tak
terawat? Masyarakat dan pemegang kekuasaan harus terus menerus
disadarkan akan dampak negatif yang berpotensi semakin merusak
bangsa dan negara akibat hilangnya kemampuan dan keberanian
moral untuk senantiasa “bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya
dilakukan”. Mempelajari etika sebagai sistem pemikiran moral akan
membantu mengembangkan sense of responsibility dan
accountability melampaui kepentingan diri sendiri dan
sekaligus mendorong pemahaman mendalam tentang implikasi
negatif dari pengabaian terhadap integritas. Pendidikan etika sedini
mungkin akan membantu pengembangan sikap altruis—sikap yang
senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri. Apa yang ditegaskan diatas patut
mendapat perhatian serius. Daftar panjang koruptor yang ada di
tangan KPK dengan sendirinya membenarkan pandangan Butler ini.
Terlalu banyak orang terlibat korupsi bukan karena alasan
ketimpangan apalagi ketidakadilan ekonomi tetapi semata-mata
karena penyakit sosial bernama kerakusan (greediness). Dalam dunia
bisnis, misalnya, skandal Enron pada tahun 2002— manipulasi
laporan keuangan untuk mengelabui publik tentang kinerja
perusahaan dan sekaligus menarik minat investor—menjadi contoh
BA
86
BA
87
BA
hanya karena dia terbukti bersalah tanpa harus dihubungkan dengan efek
jera. Memasukkan efek jera sebagai tujuan hukuman berpotensi mendorong
seorang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang seharusnya;
disini, integritas dikorbankan demi alasan-alasan pragmatis yang belum tentu
juga efektif.
Kelima, dalam merespon tindakan yang tidak etis, terapkan teknik ethical
displacement.
Menghadapi dilema moral, yakni situasi dimana tak satupun dari alternatif
solusi yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan, limpahkan
solusi atas dilema ke tingkat lebih tinggi, yakni ke level organisasi atau
lembaga karena bisa saja disana tersedia jalan keluar yang tepat,
misalnya, perlu restrukturisasi organisasi untuk mengatasi dilema moral.
Atau, barangkali kasusnya perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi, misalnya ke
tingkat negara/ departemen terkait, karena hanya melalui kebijakan pada
tingkat paling tinggi, dilema moral dapat diatasi secara mendasar.
Dalam bisnis, misalnya, di tengah persaingan usaha yang sangat ketat,
pebisnis bisa saja dihadapkan pada dilema moral serius ketika harus memilih,
misalnya, apakah harus menyuap untuk mendapatkan proyek atau mengikuti
prosedur tender yang seharusnya dengan potensi kehilangan peluang dan
dengan demikian menempatkan bisnisnya dalam ancaman gulung tikar.
Tentu saja individu yang diberi tanggung jawab untuk kegiatan tender tidak
bisa mengambil keputusan sendiri; ia harus berkonsultasi dengan
pimpinan tertinggi. Akan tetapi apabila pada level perusahaan pun dilema
moral tidak bisa diatasi, akan lebih baik apabila kasus seperti itu diteruskan
ke tingkat lebih tinggi (negara, khususnya departemen terkait) untuk
membenahi tatacara dan prosedur tender agar kelompok yang lemah tidak
tersingkir secara tidak fair oleh kelompok yang kuat.
Keenam, dalam merespon lawan yang tidak etis, gunakan publisitas untuk
mempertegas tindakan tidak etis.
Penggunaan sarana publisitas (humas) akan membuka ruang bagi
partisipasi publik untuk menilai dan dengan demikian memobilisasi tekanan
publik untuk melawan tindakan yang tidak etis. Dengan melibatkan
publik, reaksi dan tekanan terhadap tindakan tidak etis diharapkan
menjadi lebih efektif ketimbang membiarkan tindakan tidak etis dihadapi
sendiri secara diam-diam oleh individu yang bersangkutan. Seseorang
yang mengalami pelecehan seksual oleh pejabat “berkuasa dan terhormat”,
misalnya, barangkali akan ketakutan menghadapi sendiri kasusnya. Upaya
membawa kasusnya ke ruang publik akan membuka peluang munculnya
dukungan publik dan dengan demikian membuat upaya memperoleh keadilan
menjadi lebih efektif.
Ketujuh, dalam merespon lawan yang tidak etis, upayakan kerja sama
88
BA
dengan pihak lain, atau ciptakan lembaga sosial, legal, atau populer yang baru.
Integritas individual atau personal tidak akan cukup efektif melawan
perilaku tidak etis ketika struktur lembaga tidak mendorong tetapi
bahkan menghambat tindakan etis dan karenanya semakin menguatkan
dilema moral dalam lembaga. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai
rendahan mendapatkan adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang
dengan sengaja dilakukan demi menekan kewajiban pajak misalnya, ia
ditempatkan dalam dilema moral apakah harus melaporkan kepada pihak
berwajib atau harus mendiamkannya. Kedua sikap itu masing-masing
mempunyai implikasi negatif, juga dari sisi moral. Ia sendiri tahu bahwa
tindakan membuka kasus ke ruang publik (whistle blowing) akan berdampak
negatif serius bagi dirinya; akan tetapi mendiamkannya justru menimbulkan
kerugian bagi negara. Dalam kasus seperti ini, pilihan melakukan whistle
blowing pasti merupakan tindakan moral yang layak diapresiasi tetapi perlu
dipastikan bahwa keamanan diri juga tidak terancam. Kerja sama dengan
pihak aparatur keamanan negara diperlukan di sini. Akan tetapi apabila
yang bersangkutan mengalami bahwa iklim lembaga secara keseluruhan
tidak kondusif untuk berkembang, juga dari segi moral, di satu pihak, dan
keamanan pribadi pun tidak terjamin, di lain pihak, sebaiknya memilih
meninggalkan lembaga dan mengupayakan menciptakan peluang baru.
Kedelapan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah untuk
bertindak dengan keberanian moral.
Keberanian moral menuntut bahwa seseorang tidak hanya mampu
menentukan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya,
melainkan terutama bahwa ia mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
dianutnya. Seringkali lebih mudah memilih mendiamkans perilaku tidak
etis daripada mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya. Dalam kasus
tertentu bisa dibenarkan. Ketika tindakan yang diambil sangat potensial
mengancam nyawa pribadi, misalnya, bersikap diam tentu saja tindakan yang
bijak. Akan tetapi dalam kasus lain, diperlukan keberanian untuk
menghadapinya dan berusaha memecahkan persoalan agar tidak menimbulkan
efek negatif lebih jauh atau lebih besar. Ketika didapatkan bahwa hak
karyawan terhadap upah yang adil secara sistematis tidak terpenuhi,
misalnya, individu sudah seharusnya mengambil tindakan kongkrit untuk
mengatasinya meskipun dengan risiko dipecat, misalnya. Untuk
meminimalisasi akibat negatif, upaya menggalang kekuatan bersama
karyawan lain penting dilakukan. Lebih dari itu, tekanan kolektif pasti
lebih efektif ketimbang upaya perorangan. Perlu keberanian mengambil
inisiatif untuk memobilisasi gerakan kolektif.
Kesembilan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah membayar
“harga” dari keberanian moral Anda yang kadang-kadang bisa sangat mahal.
Tindakan tidak etis barangkali kecil di mata pelaku, akan tetapi selalu
89
BA
sangat mahal bagi korban. Dan respon etika terhadap perilaku tidak etis bisa
jauh lebih mahal. Menjual narkoba dan meracuni orang lain dengan
barang haram ini barangkali tidak menjadi masalah atau masalahnya kecil
saja bagi penjualnya. Akan tetapi “biaya” bagi korban narkoba pasti tidak
kecil. Ia kehilangan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi yang sukses akibat kontaminasi narkoba. Akan tetapi bagi
pihak yang tahu kasusnya dan berusaha membongkarnya, taruhannya bisa
jauh lebih mahal. Nyawa bisa melayang karena keberanian membongkar
kasus narkoba.
Kesepuluh, dalam merespon tindakan tidak etis, terapkan prinsip
akuntabilitas.
Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa mereka yang meciptakan
bahaya, melakukan kerusakan, atau merugikan orang lain harus bersedia
bertanggungjawab atas perbuatannya. Dengan demikian, harus disadari dari
awal bahwa perilaku tidak etis selalu punya implikasi tidak
menguntungkan bagi pelaku dan karenanya seharusnya mampu menahan
diri untuk tidak terjebak dalam perilaku tidak etis. Dengan kata lain,
seharusnya setiap orang mampu mencegah diri dari upaya mengutungkan
diri melalui perilaku tidak etis. Dalam etika bisnis dikenal apa yang disebut
“the iron rule of resposibility”. Maksudnya, ketika seseorang mengabaikan
tanggung jawab dalam melakukan sesuatu, maka ia akan dihukum keras
oleh tanggung jawab itu sendiri. Pengusaha yang tidak memenuhi
tanggung jawabnya untuk menawarkan produk yang berkualitas sesuai
dengan yang dijanjikan, ia akan dihukum dengan ditinggalkan oleh
konsumen. Pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya untuk
memperkaya diri sendiri, akan kehilangan jabatannya dan bahkan harus
berurusan dengan penegak hukum dengan kemungkinan harus menerima
kenyataan bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam hotel
pro deo.
E. Penutup
Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dalam upaya memerangi korupsi,
beberapa poin pokok berikut ini kiranya penting untuk ditegaskan
kembali. Pertama, pasti tidak mudah membangun dan mengembangkan
pribadi yang berintegritas, pribadi yang memiliki kemampuan dan keberanian
moral untuk senantiasa bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang
seharusnya dilakukan. Untuk itu, konsistensi menjaga keselarasan antara
ucapan dan tindakan menjadi penting karena kualitas integritas tidak
tergantung pertama- tama pada pengetahuan tentang apa yang baik dan
benar, melainkan pada keberanian untuk secara konsisten “melakukan
apa yang baik dan benar”. Kualitas integritas terbentuk lewat proses
habituasi, yakni konsistensi untuk selalu bertindak sesuai dengan
kesadaran akan apa yang seharusnya dilakukan. Disini, sikap kritis serta
keberanian bertindak otonom independen krusial untuk dikembangkan oleh
setiap individu. Dengan sikap kritis, otonomi,
BA
91
BA
92
BAB V:
METODE PEMBELAJARAN ETIkA ANTIkO
DAN kASUS
BA
Contoh:
b. Di kertas tersebut dituliskan nama panggilan peserta dan gambar
icon yang menggambarkan sifat peserta dari sudut pandang diri
sendiri. (5 menit);
Contoh:
97
BA
98
BA
99
BA
Sumber: https://venngage.com/templates/mind-maps
100
BA
101
BA
jurubicara. (3 menit);
c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit
menjelaskan hasil diskusi berupa mind map, diagnosis kasus
korupsi dan penatalaksanaan komprehensif. Kelompok
bergantian presentasi tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);
d. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan kasus,
memberikan komentar/tanggapan terhadap kasus dan presentasi
kelompok. (10 menit);
e. Moderator mempersilahkan tanya jawab dan diskusi (10 menit);
f. Moderator menutup pertemuan dengan menyampaikan
simpulan pleno kali ini (5 menit);
103
BA
104
BA
1. Perbuatan Budi
2. Perbuatan calo
3. Perbuatan yang salah
4. Perbuatan yang seharusnya
5. Proses pembuatan SIM A yang seharusnya
Skenario 2:
“Ada tiga kontraktor ikut serta dalam tender pembuatan jembatan
layang di Jakarta. Salah seorang kontraktor memasukkan nilai tender
agak jauh di bawah yang lain dan akhirnya menang tender. Dia
melakukan hal tersebut karena butuh uang untuk membayar
ratusan karyawannya. Untung sedikit lebih baik daripada perusahaan
bankrut. Tetapi dalam pelaksanaannya dia menggunakan spesifikasi
besi yang sedikit lebih kecil. Supaya tidak ketahuan dia menyuap
pengawas.”
G. Diskusi mengenai dimensi sosial budaya korupsi
Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat dan memahami kaitan aspek sosial
budaya dan korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
Amir, Susi, Joko, dan Kasih berdiskusi tentang korupsi dan
pendapat masyarakat
Amir: Korupsi adalah bagian dari kehidupan. Kita harus menerima
bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu. Orang kaya akan
selalu korup dan orang miskin akan selalu berusaha meniru
mereka. Bagaimanapun, penyuapan adalah cara untuk menyelesaikan
sesuatu dengan lebih cepat dan memungkinkan bisnis untuk
bergerak maju lebih cepat.
Susi: Korupsi adalah bagian dari mentalitas kita. Sudah puluhan
tahun dicoba diberantas tapi hasilnya apa ada? Melawan korupsi
adalah buang-buang waktu. Mari bersikap realistis, kita tidak bisa
hidup jika kita menolak untuk menjadi bagian darinya. Mudah-
mudahan, yang kaya akan menjadi cukup kaya dan sebagian
kekayaannya dibagikan kepada kita. Saya juga berpikir tidak apa-
apa mengambil sedikit, cuman sedikit, seperti semua orang lain
melakukannya.
Joko: Yang Amir dan Susi katakan adalah apa yang dimaui oleh
koruptor. Jika semua berpendapat korupsi adalah wajar, semua juga
BA
B S TM
1 Waktu ujian , menyontek, karena penjaga sedang pergi.
Orang tua membantu mengerjakan sebagian pekerjaan
2
sekolah anaknya
3 Alumni memberi hadiah sepeda kepada dosen
Kotak Sumbangan sukarela untuk pengurusan KTP di
4
kelurahan
Memakai mobil kantor untuk mudik ke kampung bersama
5
keluarga
Menerima uang dari peserta Pilihan Kepala Daerah, tetapi
6
tidak terpengaruh ketika memilih
Dosen menambah nilai siswa tersebut karena diancam
7
oleh atasannya
Karena waktu studi hampir habis, dia meminta temannya
8
ikut membuat disertasinya.
106
BA
B S TM
Buru buru naik kereta api karena mau ujian, lupa beli
1 karcis. Kondektur menawarkan bayar denda langsung
50% kepadanya, dan saya bayar.
Anggota DPRD mau rapat paripurna, melanggar lampu
2 merah. Tertangkap dan diberi peringatan supaya lain kali
lebih hati-hati.
Camat yang baru terpilih mengadakan pesta besar
3 mengundang seluruh pendukungnya yang berjumlah
1000 orang
Razia surat kendaraan sepeda motor. Anak SMP
tertangkap tidak bawa SIM. Anak menangis, minta maaf,
4
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Petugas
kasihan, memberi nasehat, dan melepaskannya.
Dosen meminta mahasiswa mengerjakan pekerjaan
5
kantornya sebagai bagian dari cari pengalaman
Pemilihan ketua kelas. Karena jumlah murid perempuan
6 jauh lebih banyak maka suara perempuan dinilai
setengah, laki-laki satu
Restoran menulis tanda “Dilarang memberi tips pada
7
petugas parkir”
Saya tetap beri tips waktu pulang karena gaji mereka
8
kecil
Karena pekerjaan kantor sudah selesai maka saya pulang
9
lebih cepat
Aparat mengijinkan nelayan memakai bom ikan
10
karena lebih murah dan mudah dapat ikan.
Saya melihat tetangga mencuri, lalu melaporkannya. Dia
11
dipecat.
Barang yang jatuh di jalan dari mobil yang bertabrakaan
12
boleh diambil
Saya terima uang Rp. 10.000 setelah membantu
13
mendorong mobil mogok
107
BA
I. Evaluasi Diri
Tujuan:
Siswa melakukan evaluasi diri sendiri.
Prosedur:
Baca dan jawab sendiri 30 menit.
108
Fair
Saya perlakukan orang lain sebagaimana saya
1
ingin diperlakukan
2 Saya perlakukan orang lain setara
3 Saya taat aturan
4 Saya tidak melakukan stigmatisasi
Akuntabilitas
Saya siap menjawab sejujurnya atas apa yang
1
telah dilakukan
Saya siap menerima kritik dan risiko dari
2
perbuatan saya
Transparansi
Saya tidak menyembunyikan sesuatu yang
1 merupakan tanggungjawab saya kepada orang
lain
2 Saya terbuka
Integritas
Saya berusaha melakukan yang benar meskipun
1
berdampak buruk pada saya
2 Saya memegang teguh nilai-nilai saya
3 Saya berusaha berperilaku terbaik
4 Saya tidak mudah tergoda
Saya melakukan yang benar meskipun tidak ada
5
orang yang melihatnya
109
DAFTAR
Daftar Pustaka
Gildenhuys, J.S.H. 2004. Ethics and Professionalism, The Battle Against Public
Corruption. Stellebosch: Sun Press
Ochulor, Chinenye Leo and Bassey, Edet Patrick. 2010. “Analysis of Corruption from
Ethical and Moral Perspectives,” dalam European Journal of Scientific Research,
Vol 44 No. 3 (2010): hlm. 466-476
Priyono, Herry B. 2018. Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT. Gramedia
The Hong Kong Institute of Engineers, 2000. Ethics in Practice, A Practical Guide for
Professional Engineers. Hong Kong: Independent Commission
Against Corruption
Haryatmoko. 2015. Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi.
Yogyakarta:
Penerbit PT. Kanisius
Riyanto, Armada et.al. 2015. Kearifan Lokal, Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan.
Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius
Avebury.
Hartman, Laura dan DesJardis, Joe. 2011. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga
DAFTAR
Sudarminta, J. 1992. “Etika Profesi Bagi Dosen” dalam Moedjanto, G. et.al. Tantangan
Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Boatright, John R., 2003, Ethics and the Conducts of Business, Fourth Edition, Pearson
Education Inc., New Jersey.
De George, Richard T., “When Integrity Is Not Enough Guidelines for Responding
to Unethical Adversaries”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative:
Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press
e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 214 – 228).
Ferrell O.C. & Gardiner, Gareth, 1999, In Purusit of Ethics, Though Choices in the
World of Work, Smith Collins Company.
Lee Butler, George, “Some Personal Reflection on Integrity”, dalam J.C. Ficarrotta,
The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs,
Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 73 - 83).
Solomon, Robert C, “The Meaning of Integrity” dalam bukunya Ethics and Excellence,
Cooperation and Integrity in Business, New York, Oxford, Oxford University
Press,1992: 168-174
Sampford, Charles, “Understanding the Relationship between Integrity, Corruption, Trans
OECD, 2018, Education for Integrity: Teaching on Anti-Corruption, Values and the Rule of
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2016, Buku Panduan Dosen Pembela
GLOSARI
GLOSARIUM
GLOSARI
GLOSARIUM
GLOSARI
GLOSARIUM
GLOSARI
GLOSARIUM
IND
INDEKS
IND
INDEKS
PEN
BIOGRAFI PENULIS
Mikhael Dua
Adalah dosen mata kuliah Filsafat dan Etika
di Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun
1997. Lahir di Worolowa, Nusa Tenggara
Timur pada 10 September 1958, menyelesaikan
pendidikan sebagai sarjana Filsafat di STFT
Ledalero, Flores yang kemudian melanjutkan
master di Ateneo de Manila University,
Philippines dan S3 di Hochschule fuer
Philosophie, Munich, Jerman. Di luar
kegiatannya sebagai Dosen, telah banyak judul
buku yang sudah ditulis, buku terbaru adalah
Pengantar Filsafat diterbitkan tahun 2018.
Penulis juga aktif untuk menuangkan ilmu dan
pemikirannya melalui jurnal-jurnal nasional
maupun internasional.
E-mail: michael.dua@atmajaya.ac.id
Sintak Gunawan
Adalah seorang dokter yang menyelesaikan
pendidikan sarjana Kedokteran di FK Atma Jaya
Jakarta. Melanjutkan pendidikan ke Leuven
Catholic University, Belgia untuk meraih gelar
BA in Philosophy dan MA in Applied Ethics.
Berhasil meraih gelar Doktor (S3) Filsafat dari
STF Driyarkara, Jakarta. Aktif menjadi staf Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya sejak tahun
1992, Penulis juga menjabat sebagai anggota
Komisi Etik di RS Atma Jaya (sejak tahun
1996) dan Mochtar Riady Institute for
Nanotechnology (sejak tahun 2009).
Jabatan baru yang diamanahkan untuk
penulis adalah wakil ketua Komisi Tetap Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) pusat bidang
pengembangan sarana pelayanan kesehatan
(sejak tahun 2016).
E-mail: sintak.gunawan@atmajaya.ac.id
PEN
Rodemeus Ristyantoro
Adalah seorang dosen yang menyelesaikan
pendidikan S1 (Bachelor of Arts in Philosophy)
dan S2 (Master of Arts in Philosophy) di STF
Driyarkara, Jakarta. Di luar kegiatannya sebagai
dosen, Penulis juga aktif menuangkan ilmu
dan pemikirannya melalui banyak jurnal,
diantaranya adalah Editorial yang terbit pada
tahun 2010, Postmodernisme, Filsafat dan
Universitasi terbit tahun 2008, Teledemokrasi:
Bagaimana Televisi Merusak Demokrasi terbit
tahun 2006. Selain itu, penulis juga aktif
berorganisasi dengan menjadi Secretary of
Intellectual Property Rights Commisson di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun
2010, Councellor for Ikatan Karyawan Atma
Jaya sejak tahun 2009 dan Editor of Respons
(Journal of Social Ethics) di Universitas Katolik
Atma Jaya sejak tahun 2008.
E-mail: supriyadi902@yahoo.co.id
Biografi
Penulis
ISBN: 978-602-52387-7-2
9 786025238772