Anda di halaman 1dari 62

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………...iii

BAB I-PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Penelitian ............................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tindak Pidana ........................................................................... 9
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana .................................. 9
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana .............................................. 10
3. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana ....................... 13
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Korupsi .......................................................... 17
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi .............................. 18
3. Jenis Tindak Pidana Korupsi .......................................... 20
4. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi ................................. 21
5. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ........................... 22
C. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hakim
1. Definisi Putusan dan Pertimbangan Hakim
(Ratio decidendi) ............................................................ 28
2.Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim ......................... 30
3.Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi ..... 31
4.Keadilan Dalam Putusan Hakim....................................... 33
D. Bantuan Sosial
1. Pengertian Bantuan Sosial .............................................. 35
2. Pertanggungjawaban Pengguna Dana Bantuan Sosial .. 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian .............................................................. 40
B. Jenis Dan Sumber Data ................................................... 40
C. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 40
D. Analisis Data .................................................................... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................. 42


A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana
Bantuan Sosial ................................................................ 42
1. Bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Korupsi
Dana Bantuan Sosial .............. 42
2. Analisis Penulis ........................................................... 48

B. Pertimbangan Hukum Oleh Majelis Hakim Dalam Perkara


Pidana (Studi Kasus Putusan
Nomor:18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks) ........................................ 53
1. Pertimbangan Fakta dan Hukum Hakim ...................... 54
2. Perimbangan Subyektif Hakim ................................... 65
3. Analisis Penulis .......................................................... 68

BAB V PENUTUP ...................................................................... 71


A. Kesimpulan ...................................................................... 71
B. Saran ............................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana disingkat UUD NRI
Tahun 1945 ditegaskan bahwa NegaraIndonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah
negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945, menjunjung tinggi
hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itudengan tidak ada
kecualinya.
- Hukum menentapkan apa yang harus dilakukan dan apa yangboleh dilakukan serta yang
dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat
melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan
kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya
hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegak hukum.
- Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain
itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki
dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang
meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal
adalah masalah Korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
- Tindak Pidana Korupsi secara khusus diatur diluar Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana sebagaimana disingkat KUHPidana, tepatnya dalam Undang-undang senagaimana
disingkat UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disingkat UU PTPK. Dalam UU
disebutkan ada beberapa kualifikasi perbuatan yang dapat disebut sebagai tindak pidana
korupsi. Akan tetapi, di berbagai kasus, tindak pidana yang paling sering di munculkan
dan di ajukan perkaranya ke pengadilan ialah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2
ayat (1). Pasal 2 ayat (1) UU PTPK disebutkan :

1. Setiap orang;
2. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
3. Dengan cara melawan hukum;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Adapun dalam Pasal 3 ayat (1) UU PTPK disebutkan:


1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
4. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Tindak pidana korupsi adalah merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat
perkembanganya seiring dengan semakin maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin
menigkat pulakebutuhan dan mendorong untuk melakukan korupsi. Di berbagaibelahan dunia,
korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainya,
fenomena ini dapat dimaklumi mengikat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana
ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan
masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusal nilai-nilai
demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya.
Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masrayakat adil dan makmur.
Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada memberantasnya,
padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai
kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara,
moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk
ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi atau minimnya pidana korupsi
terlihat dari putus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang di
tanggung oleh terdakwa tidak sebanding dengan apa yang dilakukanya. Hal ini sangat merugikan
keuangan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika hal ini terjadi secara terus
menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas
hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Berbagai macam bentuk korupsi
yang telah terjadi di indonesia misalnya : Korupsi pengadaan barang dan jasa, penggelapan,
mark up, anggaran proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran, penggelapan dalam jabatan, dan
suap-menyuap, bahkan bantuan-bantuan sosial untuk rakyat miskin seperti jaring pengaman
sosial dan bantuan untuk bencana alam pun tidak luput dari praktek korupsi. Dalam beberapa
tahun belakangan ini, mungkin kata Dana Bantuan Sosial kemudian disingkat Dana Bansos
sering terdengar baik melalui media maupun berita di berbagai tempat. Bantuan sosial tersebut
menjadi salah satu jenis belanja daerah yang menyedot perhatian banyak pihak, bukan saja
masyarakat atau kelompok masyarakat tetapi juga pemerintahan, anggota dewan perwakilan
rakyat daerah, bupati, gubernur, walikota yang berkepentingan dengan bansos, dengan demikian
rekening bansos memiliki resiko yang cukup tinggi untukdisalahgunakan atau diselewangkan.
Perihal Dana Bansos, dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri Dalam Negeri kemudian
disingkat Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Dana Bansos Dan Hibah disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Dana Bansos adalah “pemberian bantuan berupa uang/barang
dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga,kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya
tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan untuk melidungi dari kemungkinan
terjadinya resiko sosial”. Perihal Dana Bansos, membutuhkan prosedur-prosedur administratif,
sehingga terwujudnya tertib administratif dan akuntabel dalam pengelolaannya. Sebagaimana
dimuat dalam Pasal 22 ayat (1) Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor 39
Tahun 2012, beberapa syarat pemberian hibah dan bantuan sosial ialah sebagai
berikut :
a. Pada prinspinya pemerintah dapat memberikan hibah dan bantuan sosial dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.
b. Pemberian hibah dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan
wajib, dan pepberian bantuan sosial dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas
dan manfaat untuk masyarakat.
c. Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan
kegiatan pemerintah daerah dengan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.

d. Pemberian hibah harus memenuhi kriteria paling sedikit:


1. Peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan. dipahami bahwa peruntukan
hibah secara spesifik telah ditetapkan baik dalam peraturan kepala daerah,
keputusan kepala daerah, dan naskah perjanjian hibah daerah;
2. Tidak wajib, tidak mengikat dan tidak terus-menerus setiap tahun anggaran,
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan;
3. Memenuhi persyaratan penerima hibah;
4. Kriteria lainnya dapat ditambahkan dalam peraturan kepala daerah tentang cara
penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pertanggungjawaban dan
pelaporan monitoring dan evaluasi hibah dan banruan sosial, sesuai kebutuhan
daerah masing-masing;
5. Pemberian bantuan sosial kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat yang sifatnya tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan
untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
6. Pemberian hibah yang bersumber dari APBD yang berupa uang barang atau jasa.
Sedangkan untuk pemberian bantuan social bersumber dari APBD berupa uang
atau /barang.

Adapun Permasalahan-permasalahan seputar bantuan social antara lain pemberian dana bantuan
sosial tidak sesuai dengan ketentuan atau prosedur pencairan, bantuan sosial tidak terima atau
diterima oleh sebagian orang yang berhak seperti tercantuk dalam proposal yang
sengaja untuk di fiktifkan. Dalam prakteknya selama ini, Dana Bansos ini sering menimbulkan
berbagai masalah khususnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) baik saat penganggaranya maupun pengelolaan atau pencairanya. Banyak terjadi
penyelewengan dana bantuan sosial untuk kepentingan diri sendiri. Kasus semisal hal tersebut,
sebagaimana terjadi juga dalam dalam Studi Kasus Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.
Makassar, merupakan kasus korupsi yang pelakunya didakwa oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan Subsidaritas dengan susunan, yakni Primair :

- Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang PTPK dan Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang PTPK sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pada
putusanya, hakim menjatuhkan putusan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut
sebagaimana pada dakwaan subsidair (Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang PTPK sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang
akan dikaji adalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi dana bantuan
sosial?
- Bagaimanakah Pertimbangan Hukum oleh Majelis Hakim dalam perkara pidana
(Studi Kasus Putusan Nomor:18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.Mks)?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi pada
pengadilan negeri makassar (Studi Kasus Putusan Nomor:
18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.MKs)
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim dalamperkara pidana
(Studi Kasus Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.Mks).
D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kegunaan penelitian ini adalah:


1. Manfaat teoritis adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai tinjauan
yuiridis pada tindak pidana korupsi (Studi Putusan Nomor18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.Mks).
2. Manfaat praktis adalah untuk dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi siapa saja, dan
sebagai bahan informasi kepada peneliti lainya dalam penyusunan suatu karya ilmiah
yang ada kaitanya dengan judul diatas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tindak Pidana
1. Istilah dan pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum dari istilah strafbaarfeit (belanda).7
Terjemahan atas strafbaarfeit ke dalam bahasa indonesia di terjemahkan dalam berbagai
istilah, misalnya tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan melawan
hukum, delik, dan sebagainya. Secara harfiah strafbaarfeit dapat diartikan sebagai
sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Dari pengertian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum yang dapat dihukum adalah kenyataan perbuatan atau
peristiwa bukan pelaku.

Beberapa pendapat pakar hukum mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut ;
a. Simons, mengemukakan bahwa “Hukum Pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan
yang diancam dengan pidana oleh Undangundang bertentangan dengan hukum dan
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggugjawab
b. Algra Janssen, mengemukakan bahwa “Hukum pidana adalah alat yang dipergunakan
oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu
perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali
sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak
pidana.”
c. A. Zainal Abidin Farid mengemukakan bahwa “Tindak Pidana adalah perbuatan
melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu
bertanggung jawab.”
d. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa “Tindak Pidana adalah suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat diartikan sebagai
subjek tindak pidana.”
e. Moelijatno mengemukakan bahwa “Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni:
1. dari secara teoritis dimana hal ini dapat diartikan sebagai pendapat para ahli hukum, yang
tercermin pada bunyi rumusannya.
2. dari secara yuridis yang artinya bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
ada.
Menurut Moeliatno (penganut paham dualisme) unsur tindak
pidana adalah :
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk
perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan
orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan
itu dalam kenyataanya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian
umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah in concreto orang yang melakukan
perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan
pidana. Berdasarkan rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Diadakan tindakan penghukuman
Berdasarkan unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian
bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman
(pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu
tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa
setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun
dalam unsur-unsur itu tidak dapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada
orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dapat ditarik
unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana
c. Dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham dualisme tersebut, tidak
ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat
dalam undangundang, dan diancam dipidana bagi yang melakukanya. Dari unsur-unsur yang ada
jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut dari si pembuat atau dipidananya
pembuat, semata-mata mengenai perbuatanya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat
penganut paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan yang
dikemukakan oleh para ahli penganut paham monisme, yaitu Jonkers dan Schravendijk.

Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme)


dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan
Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar, jika dirinci
terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Dilakukan oleh orang (yang dapat);
d. Dipersalahkan/kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun, pada hakikatnya ada
persamaanya, yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatanya dengan unsur
yang mengenai diri orangnya.

3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut dengan teorekenbaarheid atau criminal
responsbility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan
seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atau suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan
sebagai berikut :

a) Mampu Bertanggung Jawab


Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagaimana disingkat dengan KUHP diseluruh dunia
pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, sebagaimana diatur
dalam Pasal 44 KUHP antara lain berbunyi “ Barang Siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan
bahwa unsur-unsur mampu bertanggungjawab mencakup :
1. Keadaan jiwanya :
a. tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
b. tidak cacat dalam pertumbuhan
c. tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah
sadar, mengigau karena demam, dan lain sebagainya dengan perkataan lain dia dalam
keadaan sadar
3. Kemampuan jiwanya :
a. dapat menginsafi hakekat dari tindakanya
b. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan
atau tidak
c. dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.20

b) Kesalahan
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif di
Indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan” yang artinya, untuk dapat
dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat
kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya. Ilmu hukum pidana mengenal dua
bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan sebagai
berikut:
a. Kesengajaan (opzet) Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja
(Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang
dilarang atau diperintahkan oleh Undangundang. Pada umumnya para palar telah
menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni :

1. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) Corak kesengajaan ini adalah yang


paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia
juga yang menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau
yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan
melakukan berbuat.
2. Kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan
semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk
mencapai akibat dasar dari delik tetapi ia tahu benar akibat tersebut pasti akan
mengikuti perbuatan itu.
3. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan
kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk
menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa
mungkin akan timbul akibat lain yang jugadilarang dan diancam oleh undang-
undang.
4. Kealpaan (culpa) Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan
kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat ke depan , kealpaan ini
sendiri dipandang lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2
(dua) bentuk, yakni:
a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata). Dalam hal ini, si
pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat,
tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat
tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa levis)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayang atau menduga
akan timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam
hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya
memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat. 28
c. Tidak ada alasan pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini
menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap
perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal
responsibility, alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang
yang melakukan delik atas beberapa hal.
Alasan pemaaf terdiri atas daya paksa relatif, Pasal 48
KUHP, pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces),
27 Ibid. hlm. 26.
28 Ibid. hlm. 26.
17
Pasal 49 ayat (2) KUHP, dan menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah, Pasal 51 ayat
(2) KUHP.
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Pengertian korupsi baik dalam tinjauan yuridis maupun dalam
pengertian umum sesunguhnya sama. Hanya saja dalam pengertian
yuridis oleh mengarah pada unsur-unsur delik sebagaimana
diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan korupsi
secara umum lebih dimaknai sebagai perbuatan suap, penyalahgunaan
kewenangan atau melawan hukum yang mengungtungkan diri sendiri,
memperdagangkan pengaruh, dan lain-lain, yang sifatnya tercela.29 Salah
satu pengertian korupsi yang mudah dicerna dan dipahami oleh
masyarakat awam adalah sebagaima disampaikan oleh Dewa Brata
sebagai berikut:
“Korupsi adalah perbuatan mencuri, karena itu satu trah dengan
maling, nyolong, jambret, ngrampas, ngembat, nilep, merampok, mencuri,
menipu, menggelapkan, memanipulasi, yang semuanya tergolong hina
dari sudut normal. Trah-nya adalah durjana, maka pelakunya pantas
menyandang nama durjana”.30
29 Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif, jakarta
2016.
Hal 41.
30 Dewa Brata, “Bangsa Ini Belum Menertawakan Korupsi”, Kompas, 18 Juli 2005, dalam buku
Dr.
Yudi Kristiana, S.H., M.Hum, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum
Progresif,
jakarta 2016. Hal 41.
18
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak.31 Jika membicarakan tentang korupsi memang akan
menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut seegisegi
moral, sifat, dan keadaan yang merusak, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintah penyelewenangan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam ke dinasan di bawah kekuasaanya jabatannya.
Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang
lain.
2. Korupsi: busuk:rusak; suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk
kepentingan pribadi).
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis
besar memenuhi Unsur-unsur sebagai berikut :32
a. Perbuatan melawan hukum
b. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koruporasi
d. Merugikan keuangan negera atau perekonomian negara
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya
sosiologi korupsi sebagai berikut :33
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang, Hal ini tidak
sama dengan kasus pencurian atau penipuan. seorang operator yang
korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk
dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan
31 Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi bagian kedua, Sinar Grafika, 2016, Jakarta.
32Ibid.
33Ibid.
19
tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, di sini
seringkali ada pengertian diam-diam diantara pejabat yang
mempraktikan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu
cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini
biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam
pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit
politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di
masyarakat.
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa
dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatanya, Namun, walaupun demikian motif
korupsi tetap dijaga kerahasianya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatanya dengan dilindungi di balik
pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung perbuatan perbuatan,
biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :34
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan
dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya sekarang kasu-kasus
korupsi di Indonesia dilakukan oleh para Koruptor yang memiliki
kemampuan intelektual tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga
alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kemiskinan, pada kasus korupsi yang merabak di indonesia, para
pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan,
sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melahirkan
para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
g. Struktur pemerintahan.
h. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
34 Ibid.
20
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah
keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral
dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi lain. Beberapa faktor
yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya
adalah:
1. Keterkaitian positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta
tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi
2. Adminitrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari
mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari pencipta sumbersumber
korupsi
3. Kondisi sejarah dan sosiaologis yang menguntungkan
4. Berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi
5. Kemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan
intelektual yang tinggi.
3. Jenis Tindak Pidana Korupsi
Mencermati ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001,
maka terhadap tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam 8
(delapan) jenis, yaitu:
1. Korupsi terkait dengan keuangan negara sebagaimana diatur dalam
pasal 2 dan pasal 3;
2. Korupsi penyuapan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf
21
a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat
(1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf C, pasal 12 huruf d;
3. Korupsi penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal
8, pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal
12 huruf c, Pasal 12 huruf d;
4. Korupsi pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e,
Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf f;
5. Korupsi perbuatan curang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat
(1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
6. Korupsi benturan kepentingan dalam jabatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 huruf i;
7. Korupsi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B jo Pasal 12C;
8. Korupsi tindak pidana lain terkait dengan korupsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 21, Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 22 jo Pasal 29, Pasal 22
jo Pasal 35, Pasal 22 jo Pasal 36, Pasal 24 jo Pasal 31.
4. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Di indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif guna
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberaoa masa
perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan
perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam
dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya
22
delik-delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP
dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi
permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu
perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan
harapan dapat menigisi serta mneyempurnakan kekurangan yang
terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya UU Nomor 20 tahun 2001
Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana
korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam Pasal-pasal Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Rumusan tersebut mengandung Unsur-unsur tertentu dan
diancam jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu. Pada bagian
sebelumnya telah dikemukakan bahwa tindak pidana korupsi dalam
Undang-undang tindak pidana korupsi.35
a. Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi)
1. Perbuatan Memperkaya Diri
35 Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia II, Jakarta, Rajawali Pers, hlm.
25.
23
Dari segi bahasa, memperkaya berasal dari suku kata “kaya”.
Kaya artinya mempunyai harta yang banyak atau banyak harta.
Memperkaya artinya menjadikan lebih kaya.36 Oleh karena itu, dari
sudut bahasa/harfiah memperkaya dapat diberi arti yang lebih jelas
ialah sebagai perbuatan menjadikan bertambahnya kekayaan.
Menurut Andi Hamzah, dapat diartikan sebagai “ menjadikan
orang kaya yang belum kaya jadi kaya atau orang yang sudah kaya
menjadi kaya”.37 Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a dari
Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 yang menyangkut tentang
perbuatan memperkaya ini berbunyi sebagai berikut :
“Perkara memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan dalam ayat ini dapat dihubungkan dalam Pasal 18 ayat 920
yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan
keterangan tentang sumber kekayaanya sedemikian rupa sehingga
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
penambah kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat
keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
perbuatan memperkaya harus terdapat unsur:
1. Adanya perolehan kekayaan
2. Ada perolehan kekayaan melampaui dari perolehan sumber
kekayaan yang sah
3. Ada kekayaan yang sah bersumber dari sumber kekaayaan
yang sah, dan ada kekayaan selebihnya yang tidak sah yang
bersumber dari sumber yang tidak sah. Kekayaan yang tidak
sah inilah yang diperoleh dari perbuatan memperkaya
secara melawan hukum38
36 Yandianto, 1997, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit M2S, Bandung, hlm. 240.
37 Andi Hamzah (ii), Korupsi di indonesia Masalah dan Pemecahnya, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 92.
38 Ibid, Hlm. 30.
24
Ciri perbuatan memperkaya, yaitu :
a. dari wujud perbuatan memperkaya, si pembuat atau orang lain
yang diperkaya memperoleh sejumlah kekayaan. Tidak harus
berwujud nyata benda uang, bisa juga wujud benda lainnya
yang dapat dinilai uang.
b. Sebaliknya apabila dihubungkan dengan akibat perbuatan,
maka dari pihak lain yakni negara mengalami kerugian berupa
kehilangan sejumlah kekayaan.
c. Apabila dihubungkan dengan sifat wujud perbuatan
memperkaya, maka dalam wujud perbuatan tersebut
mengandung sifat melawan hukum. Baik sifat melawan hukum
yang disandarkan pada peraturan perundang-undangan
(formal) maupun menurut nilai-nilai dan rasa keadilan yang
hidup di masyarakat (materiil).
d. Apabila kekayaan si pembuat atau orang lain yang diperkaya
dihubungkan dengan sumber pendapatannya yang halal,
kekayaan yang bersangkutan/orang yang diperkaya tersebut
tidak seimbang/lebih banyak dari kekayaan yang diperoleh dari
sumber halal yang menghasilkan kekayaan tersebut.
e. Apabila dihubungkan dengan jabatan si pembuat, maka si
pembuat melakukan perbuatan memperkaya dengan
menyalahgunakan kewenangan jabatan yang dimilikinya.
Meskipun ciri terakhir adalah mutlak, mengingat korupsi dengan
perbuatan memperkaya menurut Pasal 2 tidak harus dilakukan
oleh orang yang memiliki suatu jabatan publik maupun privat,
dengan menyalahgunakan kewenangan jabatannya itu.
2. Secara Melawan Hukum
Istilah melawan hukum menggambarkan suatu pengertian tentang
sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan. Perbuatan yang
tercela atau dicela menurut Pasal 2 ayat (1) adalah perbuatan
memperkaya diri. Oleh karena itu, antara melawan hukum dengan
perbuatan memperkaya merupakan suatu kesatuan dalam konteks
rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 ayat (1). Memperkaya
dengan cara melawan hukum, yakni jika si pembuat dengan mewujudkan
perbuatan memperkaya adalah tercela. Dia tidak berhak untuk melakukan
perbuatan dalam rangka memperoleh atau menambah kekayaanya, maka
25
perbuatan tersebut dianggap tercela. Setiap subjek hukum mempunyai
hak untuk memperoleh atau menambah kekayaannya, tetapi harus
dengan perbuatan hukum atau perbuatan yang dibenarkan oleh hukum,
misalnya dengan menulis buku, menjadi makelar dan sebagainya. Akan
tetapi, tidak dibenarkan perbuatan memperkaya yang dilakukan dengan
melawan hukum. Itulah pengertian sederhana dari melawan hukum.
Secara subjektif, sifat melawan hukum korupsi yang tercantum
dalam rumusan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
adalah:
a. disengaja, artinya diketahui/disadari dan dikehendaki dan tidak
berlaku jika karena kelalaian.
b. adanya kesadaran tentang/terhadap akibat yang timbul dari wujud
perbuatan yang bersifat melawan hukum, suatu ancaman atau
kerugian bagi kepentingan hukum publik yang dilindungi oleh hukum
pidana.
3. Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Didalam unsur huruf c tersebut terdapat unsur objek tindak
pidananya yaitu:
1. Keuangan negara in casu, kekayaan negara yang dapat dinilai
dengan uang
2. Perekonomian negara
Kerugian negara haruslah berupa kerugian yang diakibatkan
langsung oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang mengandung sifat
melawan hukum, bentuk-bentuk kerugian negara antara lain :39
a. bertambahnya kewajiban negara yang membebani keuangan negara
akibat dari perbuatan menyimpang dari peraturan perundangundangan
atau bersifat melawan hukum (wederrechtelijk).
39 Ibid, Hal. 54.
26
b. tidak diterimanya sebagian atau seluruh pendapatan yang semestinya
diterima negara, yang disebabkan oleh perbuatan yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan atau mengandung sifat melawan
hukum.
c. dikeluarkan atau dibayarkannya sejumlah uang negara yang
mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya uang negara disebabkan
oleh perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundangundangan
atau bersifat melawan hukum.
d. dapat dikeluarkan atau digunakannya sejumlah uang negara yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
e. sebagian atau seluruhnya pengeluaran yang menjadi beban keuangan
negara lebih besar dari yang seharusnya yang disebabkan oleh
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan atau
bersifat melawan hukum.
f. penggeluaran uang negara yang seharusnya tidak menjadi beban
keuangan negara, oleh sebab perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan atau bersifat melawan hukum.
g. timbulnya kewajiban negara yang membebani keuangan negara yang
diakibatkan oleh adanya perbuatan atau komitmen yang melanggar
peraturan perundang-undangan atau bersifat melawan hukum.
h. digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar
peruntukan bagi uang tersebut (bersifat melawan hukum) yang tidak
mengandung manfaat sama sekali bagi instansi dan atau bagi
kepentingan umum atau kalaupun mengandung manfaat namun nilai
kemanfaatan dari penggunannya itu lebih rendah dari nilai
kemanfaatan semula yang seharusnya bagi peruntukan uang
tersebut.
i. digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar
peruntukan bagi uang tersebut (bersifat melawan hukum) yang
mengakibatkan tidak terbayarnya atau tidak
terlaksananya/terabaikannya kewajiban hukum semula yang
membebani keuangan negara tersebut.
j. digunakannya sejumlah uang negara untuk hal-hal/tujuan diluar
peruntukannya bagi uang tersebut (melawan hukum) yang tidak
mengandung kemanfaatan atau kegunaan sebagaimana yang
dimaksudkan semula untuk uang itu menyebabkan tujuan semula
untuk uang itu tidak tercapai.
k. dikeluarkan atau digunakannya uang negara untuk tujuan tertentu
misalnya pembayaran harga barang atau jasa yang nilai kemanfaatan
atau hasilnya goal berada dibawah atau lebih rendah dari nilai hasil
atau kemanfaatan yang seharusnya dari pengguna uang negara
tersebut oleh perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum.
27
b. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan,
Kesempatan, Sarana Jabatan atau Kedudukan (Pasal 3 Undangundang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi)
Unsur delik dalam Pasal ini sebenarnya hampir sama dengan
unsur Pasal dalam Pasal 2 ayat (1) sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Akan tetapi, unsur tambahan yang terdapat dalam pasal ini ialah unsur
“Menyalahgunakan Kewenangan Karena Jabatan atau Kedudukan”.
Unsur “Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan Karena Jabatan
atau Kedudukan”
Unsur menyalahgunakan kewenangan antara lain, adalah:
1. seorang memiliki kewenangan, tapi digunakannya secara
bertentangan dengan kewajiban hukumnya (tertulis maupun tidak).
2. seorang sengaja tidak menggunakan kewenangan dengan maksud
yng bersifat melawan hukum.
3. seorang memiliki kewenangan, tapi digunakannya dengan maksud
atau causa yang bersifat melawan hukum.
4. menggunakan kewenangan lain yang tidak dimilikinya.
5. seorang memilliki kewenangan, tapi dilaksanannya dengan
menyalagi prosedur.
6. menggunakan kewenangan yang didahului atau diikuti oleh janjijanji
atau komitmen atau syarat-syarat atau perbuatan-perbuatan
lain yang bukan menjadi haknya.
Meskipun arti harfiah menyalahgunakan kekuasaan (dalam hal
penganjuran) lebih luas dari menyalahgunakan kewenangan (Pasal 3),
namun terdapat 2 syarat menyalahgunakan kekuasaan tersebut dapatlah
digunakan hakim dalam hal menentukan ada atau tidaknya unsur-unsur
menyalahgunakan kewenangan dalam perkara-perkara korupsi, bahwa
28
perbuatan “menyalahgunakan kewenangan” hanya mungkin terjadi bila
memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Si pembuat yang menyalahgunakan kewenangan berdasarkan
kedudukan atau jabatan tertentu memang mempunyai kewenangan
yang dimaksudkan.
2. Kedudukan atau jabatan yang mempunyai kewenangan tersebut
masih dipangku atau dimilikinya.
C. Putusan dan Pertimbangan Hakim
1. Definisi Putusan dan Pertimbangan Hakim (Ratio decidendi)
Definisi Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan sangat
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan
hakim ini para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa
memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikut antara lain:40
1. menerima putusan
2. melakukann upaya hukum banding/kasasi
3. melakukan grasi
Menurut Laden Marpaung pengertian putusan hakim adalah:
“Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis maupun lisan”41
Pertimbangan hakim (Ratio decidendi) adalah hal-hal yang
mendasar atau yang dipertimbangkan hakim dalam memutus suatu
perkara tindak pidana. Sebelum memutus suatu perkara, hakim harus
memperhatikan setiap hal-hal penting dalam suatu persidangan. Hakim
40 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan,
CV.
Mandar Maju, 2010, Bandung, hal. 92,
41 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
1995, hal. 406.
29
memperhatikan syarat dapat dipidananya seseorang, yaitu syarat subjektif
dan syarat objektif. Hakim memeriksa tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang memperhatikan syarat subjektifnya, yaitu adanya kesalahan,
kemampuan bertanggungjawab seseorang, dan tidak ada alasan pemaaf
baginya. Selain itu hakim juga memperhatikan syarat objektifnya, yaitu
perbuatan yang dilakukan telah mencocoki rumusan delik, bersifat
melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar.
Apabila hal tersebut telah terpenuhi, selanjutnya hakim
mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan
putusan yang akan diajukannya nanti. Peranan hakim dalam hal
pengambilan keputusan tidak begitu saja dilakukan karena ada yang
diputuskan merupakan perbuatan hukum dan sifatnya pasti. Oleh karena
itu hakim yang diberikan kewenangan memutuskan suatu perkara tidak
sewenang-wenang dalam memberikan putusan.
Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197
ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan bersertai alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”
Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dan alay bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
30
2. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim
Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah
masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau
pertimbangan serta keyakinan suatu perkara lalu dilakukan musyawarah
untuk mufakat.
Dalam hal penjatuhan putusan putusan, sebelumnya harus
dilakukan pembuktian. Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara
pidana merupakan sesuatu yang sangat penting karena tugas utana dari
Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran
materiil.42
Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana,
sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat butki yang sah dan
didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183
KUHAP sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Sekurang-kurangnya harus ada dua bukti yang sah menurut Undangundang
yang berlaku.
b. Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim berkeyakinan bahwa
perbuatan pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah.
42 Evi Hartanti, Op.Cit., hlm.54.
31
Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti, yaitu
diantara alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
sebagai alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
3. Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi
a. Putusan Bebas
Dalam praktik putusan bebas yang lazim disebut dengan
aciquittal, yang berarti bahwa terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan tidak terbutki bersalah melakukan tindak pidana
korupsi yang didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa tidak dijatuhi
hukuman pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan
bebas terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau tindak pidana pada
umumnya dapat dijatuhkan karena:
a. dari pemeriksaan sidang di pengadilan
b. kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbutki secara sah dan meyakinkan
Adapun menurut penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa yang dimaksud perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup
32
bukti menurut pertimbangan hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acar pidana.
Secara yuridis, dapat disimpulkan bahwa putusan bebas dapat
diambil oleh majelis hakim apabila setelah memeriksa pokok perkara dan
bermusyawarah beranggapan bahwa:
1. Ketidakadaan alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian
menurut Undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs
theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP. Jadi, pada prinsipnya
majelis hakim dalam persidangan tidak dapat cukup membuktikan
tentang kesalahan terdakwa serta hakim tidak yakin terhadap
kesalahan tersebut
2. Majelis hakim perpandangan terhadap asas minimum pembuktian
yang ditetapkan Undang-undang telah terpenuhi, misalnya berapa
adanya dua orang saksi atau padanya petunjuk, tetapi majelis hakim
tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Pada dasarnya ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP
menyebutkan bahwa putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum
dapat terjadi apabila majelis hakim beranggapan:
a. apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbutki secara sah
dan meyakinkan;
b. sekalipun terbukti hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan bukan merupakan tindak pidana.
33
b. Putusan Pemidanaan
Putusan Pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dapat terjadi
apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan maka majelis hakim akan menjatuhkan pidana (Pasal 193
ayat (1) KUHAP). Pengadilan dalam menjatuhkan putusan pemidanaan,
jika terhadap terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan
oleh majelis hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak
pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih, atau apabila tindak pidana yang dilakukan diatur dalam Pasal
21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam
aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan maka pengadilan dapat
menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan atau
membebaskannya.
4. Keadilan dan Kebenaran Dalam Putusan Hakim
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “benar” berarti sesuai
sebagaimana adanya (seharusnya), tidak berat sebelah, adil, lurus, dapat
dipercaya, dan sah. Sedangkan “kebenaran” adalah (hal, sebagainya)
yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya, kelurusan hati,
kejujuran, sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada.43 Kata “adil”
mempunyai arti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang
43 Departemen Pendidikan Nasoinal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai
Pustaka,
Jakarta, 2002, Hal. 130.
34
benar, dan berpegang pada kebenaran. Sedangkan “keadilan” merupakan
sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.
Menurut Kahar Masyhur, bahwa yang dinamakan “adil” adalah:
1. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya
2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain
tanpa kosong
3. Adil ialah memberikan hak setiap berhak yang secara lengkap tanpa
kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan yang sama, dan
penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai
dengan kesalahan dan pelanggarannya
Pada prinsipnya hakim tidak diberi wewenang untuk mengubah
suatu Undang-undang tetapi hakim dapat saja menyimpang dari Undangundang
dalam menjatuhkan putusannya dengan berdasar pada
perkembangan kehidupan masyarakat.
Putusan hakim tidak dapat dibatalkan atau dianulir oleh siapa
saja, kecuali tentunya sesuai dengan saluran yang disiapkan oleh
peraturan hukum untuk hal tersebut. Setiap putusan hakim dipandang
benar dan tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum sepanjang
putusan tersebut tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Apa
pun yang diputuskan oleh hakim dipandang sebagai hukum yang berlaku
dan dapat dipaksakan keberlakuannya paling tidak terhadap orang-orang
yang berperkara.
35
D. Bantuan Sosial
1. Pengertian Bantuan Sosial
Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permedagri) Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) Nomor 39 Tahun 2012.
Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan uang atau barang dari
pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
yag sifatnya secara tidak terus-menerus dan selektif yang bertujuan untuk
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.44 Yang dimaksud
dengan resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh
indovidu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai dampak krisis
sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam
yang jika tidak diberikan dana bantuan sosial akan semakin terpuruk dan
tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. 45
Pemberian bantuan sosial tersebut dilakukan setelah
memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dengan
44 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 1 angka 15.
45 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 1 angka 16.
36
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk
masyarakat.46
Yang dimaksud dengan anggota, kelompok, atau masyarakat
yang dapat diberikan bantuan sosial disini adalah:47
1. Individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan
yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik,
bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
memimum;
2. Lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan
bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok,
dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadi resiko sosial;
Bantuan sosial dapat berupa uang atau barang yang diterima
langsung oleh penerima bantuan sosial.48 Bantuan sosial berupa uang
adalah pemberian uang secara langsung kepada penerima seperti
beasiswa bagi anak miskin, yayasan pengelola yatim piatu, nelayan
miskin, masyarakat lanjut usia, terlantar, cacat berat dan tunjangan
kesehatan kepada putra putri pahlawan yang tidak mampu.49 Sementara
bantuan sosial berupa barang adalah pemberian barang secara langsung
kepada penerima seperti bantuan kendaraan operasional untuk sekolah
luar biasa swasta dan masyarakat tidak mampu, bantuan perahu puntuk
46 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 22 ayat 1.
47 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 23.
48 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 26 ayat 1.
49 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 26 ayat 2.
37
nelayan miskin, bantuan makanan/pakaian kepada yatim piatu/tuna sosial,
ternak bagi kelompok masyarakat kurang mampu.50
Bantuan sosial berupa uang kepada individu dan/atau keluarga
terdiri dari bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga yang
direncanakan dan yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. Bantuan
sosial yang direncanakan adalah bantuan sosial yang dialokasikan
kepada individu dan/atau keluarga yang sudah jelas nama, alamat
penerima dan besarnya pada saat penyusunan APBD.51 Sedangkan
bantuan sosial yang tidak dapat direncanakan sebelumnya adalah
bantuan sosial yang dialokasikan untuk kebutuhan resiko sosial yang tidak
dapat diperkirakan pada saat penyusunan APBD yang apabila ditunda
penanganannya akan menimbulkan resiko sosial yang lebih besar bagi
individu, dan/atau keluarga yang bersangkutan.52
2. Pertanggungjawaban Pengguna Dana Bantuan Sosial
Para penerima dana bantuan sosial memiliki kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kepada pemerintah daerah terkait pengguna
dana bantuan sosial tersebut. Penerima bantuan sosial berupa uang
50 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 26 ayat 3.
51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, 23A ayat 2
52 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, 23A ayat 3
38
menyampaikan laporan pengguna bantuan sosial kepada kepala daerah
melalui PPKD dengan tembusan kepada SKPD terkait.53
Berdasarkan laporan pengguna bantuan sosial tersebut, pihak
pemerintah daerah akan mencatatnya sebagai bahan laporan
pertanggungjawaban penyaluran dana bantuan. Bantuan sosial berupa
uang dicatat sebagai realisasi jenis belanja bantuan sosial pada PPKD
dalam tahun anggaran berkenaan.54 Sementara bantuan sosial berupa
barang dicatat sebagai realisasi obyek belanja bantuan sosial pada jenis
belanja barang dan jasa dalam program kegiatan dan kegiata pada
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).55
Pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian bantuan
sosial meliputi:
a. usulan/permintaan tertulis dari calon penerima bantuan sosial atau
surat keterangan dari pejabat yang berwenang kepada pekala daerah;
b. keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima bantuan
sosial;
c. pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan
bahwa bantuan sosial yang diterima akan digunakan sesuai dengan
ususlan;
d. bukti transfer atau penyerahan uang atas pemberian bantuan sosial
berupa uang atau bukti serah terima barang atas pemberian bantuan
sosial berupa barang.
53 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 34 ayat 1.
54 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 35 ayat 1.
55 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 35 ayat 2.
39
Realisasi bantuan sosial dicantumkan pada laporan keuangan
pemerintah daerah dalam tahun anggaran berkenaan.56 Bantuan sosial
berupa barang yang belum diserahkan kepada penerima bantuan sosial
sampai dengan akhir tahun anggaran berkenaan dilaporkan sebagai
persediaan dalam neraca.57
Realisasi bantuan sosial berupa barang dikonversikan sesuai
standar akuntansi pemerintahan pada laporan realisasi anggaran dan
diungkapkan pada catatan atas laporan keuangan dalam penyusunan
laporan keuangan pemerintah daerah.
56 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 38 ayat 1.
57 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang bersumber dari APBD, Pasal 38 ayat 2.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana
penelitian tersebut dilaksanakan. Adapun tempat atau lokasi penelitian
yang penulis pilih dalam melakukan pengumpulan data guna menunjang
penelitian ini adalah di Pengadilan Negeri Makassar.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung,
dalam hal ini penulis melakukan wawancara langsung terhadap
majelis hakim dan panitera yang menangani kasus tersebut.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
atau dari berbagai literatur dengan buku-buku, internet, jurnal hukum,
serta peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
1. Penelitian Kepustakaan (library research)
Penelitian dilaksanakan dengan mengumupulkan, membaaca, dan
menelusuri sejumlah buku-buku, artikel internet, jurnal hukum,
41
peraturan perundang-undangan ataupun literatur-literatur lainya
yang relevan dengan masalah yang di teliti.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian
dengan melakukan pengamatan secara langsung (observasi).
Metode ini terdiri atas dua cara, yaitu:
a. Wawancara langsung terhadap Majelis Hakim dan Panitera
yang pernah menangani kasus Tindak Pidana Korupsi dengan
nomor register perkara;
b. Dokumentasi yaitu menulusuri data yang berupa dokumen dan
arsip yang diperoleh dari Panitera muda bagian pidana
Pengadilan Negeri Makassar.
D. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik data primer
ataupun data sekunder dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitiatif
adalah pengelolaan data secara deduktif, yaitu dimulai dari dasar-dasar
pengetahuan yang umum kemudian meneliti hal yang bersifat khusus.
Kemudian dari proses tersebut, ditarik sebuah kesimpulan. Kemudian
disajikan secara deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan dan
menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang terkait dengan
penulisan skripsi ini.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan
Sosial (Studi Kasus Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks
a. Bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana
Korupsi Dana Bantuan Sosial.
Ada 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yang dikenal dengan
trias hukum pidana oleh Sauer yaitu perbuatan yang bersifat melawan
hukum, pertanggungjawaban/kesalahan dan pidana. Perbuatan sebagai
objek ilmu hukum pidana merupakan perbuatan yang dapat dipidana yang
terwujud secara in abstracto dalam Perundang-undangan pidana.
Menurut D. Simon, perbuatan pidana adalah perbuatan melawan
hukum dengan kesalahan yang diancam pidana yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggungjawab (een strafbaar getelde,
onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon). Berdasarkan pengertian di atas, unsurunsur
perbuatan pidana yaitu:
1. Perbuatan manusia;
2. Diancam dengan pidana;
3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan;
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Untuk dapat dipidananya seseorang harus memenuhi 2 (dua) unsur
yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif terdiri dari:
43
1. Perbuatan orang;
2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai Perbutan itu
Adapun unsur subjektifnya terdiri atas :
1. Orang yang mampu bertanggungjawab
2. Adanya kesalahan (dolus/culpa), dapat berupa akibat dari
perbuatan.
Dari semua perbuatan tersebut, tidak semua perbuatan yang
memenuhi rumusan delik harus dipidana. Karena syarat untuk
dipidananya seseorang yaitu harus ada kesalahan/mampu
dipertanggungjawabkan. Sebagaimana asas tiada pidana tanpa
kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).
Salah satu unsur subjektif dari perbuatan pidana adalah orang yang
mampu bertanggung jawab. Orang yang mampu bertanggungjawab
merupakan subjek hukum. Subyek hukum adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana. Undang-undang
No.31 Tahun 1999 menggunakan istilah setiap orang, yang kemudian
dalam Pasal 1 ke- 3 diatur bahwa yang dimaksud dengan setiap orang
adalah orang perseorangan termasuk korporasi. Kemudian, terdapat
secara khusus didalam Pasal-Pasal tertentu bahwa subyeknya adalah
pegawai negeri, sehingga subyek hukum dalam tindak pidana korupsi
meliputi pegawai negeri atau penyelenggara negara dan setiap orang
adalah orang perseorangan termasuk korporasi .
44
Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang
diuraikan sebagai berikut :
1. Mampu Bertanggung Jawab
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagaimana disingkat
dengan KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang
kemampuan bertanggungjawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 44
KUHP antara lain berbunyi “ Barang Siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur
mampu bertanggungjawab mencakup :
1. Keadaan jiwanya :
a. tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
b. tidak cacat dalam pertumbuhan
c. tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, mengigau karena demam, dan lain
sebagainya dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar
2. Kemampuan jiwanya :
a. dapat menginsafi hakekat dari tindakanya
b. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak
c. dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.58
58 Ibid, hal. 76
45
2. Kesalahan
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam
hukum positif di indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa
kesalahan” yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan
adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan
untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya.59
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu
kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan sebagai
berikut:
a. Kesengajaan (opzet)
Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11,
sengaja (Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak
membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh Undangundang.
60 Pada umumnya para palar telah menyetujui bahwa
“kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni:61
b. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan
pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga yang menghendaki (atau
59 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, Hal. 227.
60 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 226.
61 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan),
Cetakan
Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 9.
46
membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki atau
yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan berbuat.62
c. Kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan
perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delik
tetapi ia tahu benar akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.63
d. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan
kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan
untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku
menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang
dan diancam oleh undang-undang. 64
2). Kealpaan (culpa)
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan
kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat ke depan , kealpaan
ini sendiri dipandang lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan
terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni: 65
62 Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta ,hlm. 98.
63 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP
Indonesia, Yogyakarta hlm. 80.
64 Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan),
Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, jakarta,hlm. 18.
65 Ibid. hlm. 26.
47
a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata).
Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah,
nyatanya timbul juga akibat tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa levis)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayang atau menduga akan
timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undangundang,
sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya
suatu akibat. 66
3. Tidak ada alasan pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini menyangkut
pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responsibility, alasan pemaaf ini
menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas beberapa hal.
Alasan pemaaf terdiri atas daya paksa relatif, Pasal 48 KUHP, pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces), Pasal 49 ayat (2) KUHP,
dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira
perintah itu sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP.
66 Ibid. hlm. 26.
48
b. Analisis Penulis
Dalam perkara, 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks, sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas, sebagai subjek Hukum, Kahar Gani, Sos., M.Si.,
mampu dengan tegas dan tanggap menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya dalam proses persidangan yang belangsung, selain itu dia
juga dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga ia mampu dan
dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya. Selain itu,
Kahar Gani, S.Sos., M.Si., sebagai terdakwa dalam kasus Korupsi Dana
Bantuan Sosial dalam perkara No.18/Pid.SUS.TPK/2015/PN.Makassar
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena tidak terdapat halhal
yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana baik alasan
pemaaf maupun alasan pembenar sebagaimana yang diatur dalam Pasal
44, 48, 49, 50, 51 KUHP.
Pada kesempatan wawancara dengan salah satu Hakim
Pengadilan Negeri Makassar yaitu Rostansar, S.H., M.H., Pada hari pada
hari Kamis, tanggal 2 November 2017, mengemukakan bahwa :
Ada 3 (tiga) alasan penghapus pertanggungjawaban pidana di luar
undang-undang yang merupakan penerapan dari sifat melawan hukum
dalam fungsi yang negatif, yaitu :
1. Negara tidak dirugikan;
2. Terdakwa tidak memperoleh untung;
3. Kepentingan umum terjalani.
49
Jika ketiga unsur tersebut di atas terpenuhi, maka terdakwa dapat diputus
dengan putusan lepas dan bukan bebas. Atas putusan itu pula tetap
berlaku asas ne bis in idem.
Berdasarkan alasan penghapus pertanggungjawaban tersebut,
pada perkara 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Makassar terdakwa Kahar Gani,
S.sos., M.Si., tidak mendapatkan alasan penghapus pertanggungjawaban.
Hal ini dikarenakan, berdasarkan putusan tersebut, dalam
pertimbangannya disebutkan bahwa negara mengalami kerugian sebesar
Rp 720.000.000,- (tujuh ratus dua puluh juta rupiah). Meskipun dalam hal
ini, tidak memperoleh keuntungan, dan mengemablikan semua kerugian
negara yang dia peroleh dari permohonan proposal yang dia ajukan. akan
tetapi sudah ada unsur yang memenuhi syarat untuk hapusnya alasan
penghapus pertanggungjawaban tersebut. Unsur subjektif berikutnya yaitu
adanya kesalahan (dolus/ culpa), dapat berupa akibat dari perbuatan.
Kesalahan seringkali dipersamakan dengan pertanggungjawaban pidana,
padahal keduanya mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Karena
pertanggungjawaban pidana lahir dari kesalahan.
Terdakwa, ditarik oleh pejabat yang mempunyai kewenangan untuk
menerima dana bantuan sosial, dalam hal ini Adil Patu, selaku Anggota
DPRD Sulawesi Selatan dan yang menyuruh Terdakwa untuk membuat
proposal permohonan dana bantuan sosial yang diajukan ke Pemprov
Sulawesi Selatan, kemudian terdakwa membuat dan mentandatangani
proposal yang mengatas namanakan LSM (Lembaga Swadaya
50
Masyarakat) yang jelas lembaga ini sudah lama tidak aktif dan tidak jelas
peruntukannya. Dalam hal ini Adil Patu bersama terdakwa yang juga turut
serta dalam perkara ini (Pasal 55 KUHP)
Sistematika KUHP, penyertaan diatur dalam Buku 1 ketentuan
umum Bab V Pasal 55-62 KUHP yang berjudul Turut Serta Melakukan
Perbuatan yang Dapat Dihukum.
Moelijatno merumuskan.67
“Ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut
dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi beberapa orang”
Adapun rumusan Pasal 55 KUHP, yaitu:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman, atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”.
Menurut Moeljatno, tidak semua orang yang terlibat dalam dalam
terjadinya tindak pidana dinamakan peserta dalam makna pasal 55-62
KUHP. Mereka harus memenuhi syarat-syarat untuk masing-masing jenis
penyertaan tersebut, diluar jenis atau bentuk-bentuk penyertaan yang
diatur dalam KUHP tidak ada peserta lain yang dapat dipidana.
Dilihat dari sisi peranan, yang membedakan adalah ada yang
menyuruh melakukan. Adil Patu selaku orang yang menyuruh Terdakwa
67 Moelijatno, Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan, PT. Bina Askara, jakarta,
1985,
hlm. 63.
51
untuk membuat dan mendatangani proposal permohonan permintaan
dana bantuan sosial di Pemprov Sulsel, namun dalam hal ini bisa dilihat,
bahwa Terdakwa merupakan salah satu pengurus partai yang dibentuk
oleh pemerintah untuk mencegah adanya perbuatan korupsi, akan tetapi
malah dia yang berbuat tindak pidana tersebut dan seharusnya dia
mempunyai kemampuan untuk menghindar, menolak, dan tidak
melakukan. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh kahar gani ini
berimplikasi perbuatanya itu bersama-sama yang orang mempunyai
kewenangan karena Adil Patu sebagai anggota DPRD, dimana anggota
DPRD itu mempunyai kewenangan dan pengguna anggaran bansos yang
hanya dapat dilakukan oleh anggota DPRD, maka dari situlah dia bekerja
sama dengan orang yang berwenang. Dan salah satu bentuk pidana yang
lain juga dia mendatangani dan membuat proposal yang
mengatasnamakan LSM yang tidak jelas dan tidak terdaftar. Meskipun
dalam hal ini, Terdakwa, Kahar Gani S.Sos., M.Si., tidak memgambil
keuntungan dari proposal yang diajukan dan mengembalikan uang
tersebut, akan tetapi perbuatannya sudah dapat dipidana.
Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar dengan
ini memberi sanksi pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan
penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada
Adil Patu. Berdasarkan penjelasan diatas, perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa mampu
bertanggungjawab atas perbuatanya.
52
Jika dikaitkan dengan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Makassar, Terdakwa
memenuhi semua unsur yaitu :
1. Mampu bertanggung jawab, artinya dalam diri terdakwa Kahar Gani
tidak ditemukan alasan-alasan penghapusan pidana baik itu alasan
pemaaf dan alasan pembenar yang dapat menghilangkan sifat
melawan hukum yang telah dilakukan oleh terdakwa. Sehingga
berdasarkan unsur pertanggungjawaban pidana terdakwa dianggap
mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
2. Adanya kesalahan, kesalahan dalam hukum pidana dikenal ada dua
yaitu sengaja (dolus) dan kealpaan (culpa), dimana dalam kasus
tindak pidana korupsi yang melibatkan Kahar Gani ini bentuk
kesalahan yang dilakukan adalah dengan sengaja menguntungkan
diri sendiri.
3. Tidak adanya alasan pemaaf, dalam hukum pidana dikenal alasan
penghapusan pidana baik itu alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Dalam kasus tindak pidana korupsi ini tidak terdapat alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa jadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dianggap
memenuhi semua unsur delik yang didakwakan.
53
2. Pertimbangan Hukum Oleh Majelis Hakim dalam Tindak Pidana
Korupsi Dana Bantuan Sosial dalam Perkara Putusan Nomor:
18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Makassar.
Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh Hakim dalam
membuat keputusan yang akan dijatuhkan oleh terdakwa. Pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan
persidangan selesai, maka Hakim harus mengambil keputusan yang
sesuai, hal ini sangat perlu untuk menciptakan putusan yang proporsional
dan mendekati rasa keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana,
korban tindak pidana, maupun masyarakat. Untuk itu, sebelum
menjatuhkan sanksi pidana, Hakim melakukan tindakan untuk menelaah
terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya
dengan bukti-bukti yang ada di persidangan dan disertai keyakinannya
setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa
yang terjadi serta meghubungkan dengan hukum yang berlaku.
Selanjutnya Hakim mengambil kesimpulan dengan menetapkan suatu
sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Adapun hal yang menjadi dasar-dasar pertimbangan yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara harus harus
sesuai dengan rasa keadilan hakim dan mengacu pada Pasal-pasal yang
berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan. Berikut pertimbanganpertimbangan
yang digunakan hakim dalam Putusan Nomor:
18/Pid.Sus.TPK/2015.PN.Makassar.
54
1. Pertimbangan Fakta dan Pertimbangan Hukum Hakim
Dari fakta hukum yang telah terungkap di persidangan, selanjutnya
Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan terdakwa
tersebut dapat memenuhi unsur-unsur dari Pasal sebagaimana yang
didakwakan JPU kepada terdakwa. Adapun pertimbangan-pertimbangan
Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan terdakwa, yaitu:
i. Menimbang bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaanya telah
mendakwa terdakwa dengan dakwaan Subsideritas atau Primair
subsidair
ii. Menimbang segenap unsur-unsur yang terkandung dalam surat
dakwaan primair, jika dakwaan primair terbukti, maka dakwaan
subsidair tidak dipertimbangkan lagi, akan tetapi jika tidak terbukti,
maka dakwaan subsidair harus dipertimbangkan;
iii. Menimbang bahwa selanjutnya JPU menghadapkan beberapa saksi
yang memberikan keterangan di bawah sumpah yaitu: 1. DRS.
AGUSTINUS APPANG, 2. DRS. ANDI BASO GANI, 3. DRS.
MUHAMMAD HARDI, MM., 4. RATNO TADJUDDIN, 5. DRS, H. MUH.
ANWAR BEDDU,. 6. DRS. H. YUSHAR HUDURI, M.SI., 7. HJ.
NURLINA, S.SOS.MM., 8. MUHANI, S.E., 9. H. ANDI MUALLIM, S.H.,
M.SI., 10. ABDIRAWATY, S.E, 11. NASRUDDIN, S.E, 12.
MUJIBURAHMAN, sebagaimana dalam berita acara persidangan.
iv. Menimbang bahwa terdakwa membenarkan keterangan saksi-saksi
tersebut;
v. Menimbang bahwa saksi yang diajukan oleh JPU di persidangan
sebelum memberikan keterangan telah bersumpah akan memberikan
keterangan yang benar tidak lain daripada yang sebenarnya
vi. Menimbang ahli yang diajukan oleh JPU di persidangan untuk
memberikan pendapat, sebelum memberikan keterangan telah
bersumpah untuk memberikan pendapat, maka sah alat bukti pendapat
ahli dalam perkara ini;
vii. Menimbang terdakwa dalam memberikan keterangan baik pada
pemeriksaan penyidikan maupun didepan peraidangan telah dilakukan
secara bebas dan tanpa tekanan;
viii. Menimbang bukti surat yang diajukan oleh Penasihat Hukum terdakwa
sebagai lampiran pembelaan, karena tidatidak ditemukan adanya bukti
yang membuktikan sebaliknya bahwa bukti terse tersebut diperoleh
secara tidak sah, maka merupakan alat bukti yang sah dan dapat
dijadikan sebagai alat bukti dalam putusan ini;
55
Berdasarkan perimbangan-pertimbangan hukum yang telah
disebutkan diatas, maka Majelis Hakim dapat mempertimbangkan
apakah seorang dapat dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana atau
tidak yang didakwakan kepada terdakwa haruslah dibuktikan dan
terpenuhi unsurnya.
Karena Dakwaan Primer tidak terbukti, maka Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dakwaan Subsidair, yaitu melanggar Pasal 3 jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 18 ayat (1) dan Pasal
55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Jo. Pasa 64 ayat (1) KUHP
Menimbang bahwa Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau
suatu korporasi;
3. Menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
4. Yang dapat merugikan keuagan negara atau perekonomian negara
Adapun pembahasan unsur-unsur tersebut sebagai berikut:
Ad. 1. Unsur Setiap orang;
Menimbang, bahwa oleh karena unsur ini sama dengan unsur yang
terdapat dalam uraian dakwaan primer, maka Majelis Hakim mengambil
Alih seluruh pertimbangan unsur setiap orang dalam dakwaan primer
56
tersebut dan menyatakan unsur “setiap orang” ini telah terbukti menurut
hukum.
Ad. 2. Unsur yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi;
Menimbang, kata “dengan tujuan” mengandung pengertian sebagai
niat. Kehendak atau maksud, yaitu kehendak untuk menguntungkan diri
sendir, menguntungkan orang lain atau menguntungkan suatu korporasi;
Menimbang bahwa yang dimaksud “menguntungkan” adalah
mendapatkan keuntungan atau mendapatkan suatu kenikmatan yang
sebelumnya tidak didapatkan;
Menimbang, mengenai unsur ini, Penuntut Umum dalam tuntutan
pidananya berpendapat telah terbukti secara sah dan meyakinkan,
sedangkan Penasihat Hukum terdakwa dalam Pembelaanya berpendapat
tidak terbukti dalam kasus terdakwa;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, keterangan Ahli.
Keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan
dipersidangan diperoleh fakta hukum sebagai berikut:
Dalam menerima informasi mengenai adanya dana Bansos
Bahwa terdakwa setelah menerima informasi dari Adil Patu dimana
ketika itu dalam kedudukannya sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai salah satu anggota panitia Anggaran, atas adanya
57
alokasi dana bansos pada Sekretariat Pemerintah Sulawesi Selatan tahun
2008, maka terdakwa mengajukan dengan menandatangani permohonan
permintaan bantuan dana bansos atas nama Lembaga Swadaya
Masyarakat Pusat Informasi Pemberdayaan Masyarakat Indonesia
(PIPMI) tersebut kepada pemerintah pemprov Sulawesi Selatan.
Terdakwa mendapat informasi melalui telpon dari staf Biro
Keuangan menyampaikan bahwa dana bantuan sosial untuk lembaganya
sudah bisa dicairkan, atas penyampaian tersebut Kahar Gani kemudian
menemui Hj. Andi Nurlina dikantor Pemprov Sulsel dan Hj. Andi Nurlina
memberikan cek kepada Kahar Gani dan bersama-sama Kahar Gani
mencairkan 3 (tiga) Cek masing-masing CA 447423 tanggal 22 Februari
2008, senilai Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan CA 447433
tanggal 22 Februari 208, senilai Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah),
dan cek nomor CA 447425 tanggal 22 Februari 2008, senilai Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) pada bank sulsel jalan ratulangi
makassar. Setelah mencairkan cek tersebut, Kahar Gani kemudian
menelpon Adil Patu menyampaikan bahwa cek telah dicairkan, dan sehari
kemudian Kahar Gani menemui Adil Patu bertempat diruang kerjanya di
Sekretariat Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan menyerahkan uang
sebesar Rp 30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah) dari pencairan Cek nomor
CA 447433 tanggal 22 Februari 2008 senilai Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) sementara Rp 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta
rupiah) diambil oleh Kahar Gani sendiri dan tidak digunakan untuk
58
kegiatan sesuai dengan maksud permohonan dalam proposal kegiatan
yang diajukan.
Bahwa Dana bantuan sosial yang telah dicairkan oleh Kahar Gani di bank
sulsel tersebut adalah atas nama lembaga/organisasi penerima yang
semuanya berlamat di jalan enggang raya Makassar 2 No. 11 telp
5280099 yaitu:
1. Jarwil hak asasi manusia
2. Pusat informasi pemberdayaan masyarakat indonesia
3. Forum kajian strategis pemuda sulawesi selatan
Lembaga penelitian pengkajian dan penerbitan sosial budaya (LP3SB)
dimana organisasi/lembaga yang digunakan oleh Kahar Gani untuk
mengajukan permohonan dana bantuan sosial adalah lembaga tidak jelas
keberadaannya, alamat tidak ada, dan tidak satupun dari
lembaga/organisasi tersebut terdata atau terdaftar pada laporan Badan
Kesatuan Bangsa Provinsi Sulawesi Selatan di Tahun 2008 untuk
memastikan kebenaran dan keberadaan organisasi/lembaga swadaya
masyarakat (LSM) penerima bantuan sesuai ketentuan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor: 220/1980. DLL, Perihal : Tata Cara
Pemberitahuan Keberadaan Ormas/LSM, tanggal 27 November 2007,
sehingga dengan demikian lembaga/organisasi yang digunakan terdakwa
kahar gani untuk mendapatkan dana bantuan sosial tersebut dengan nilai
nominal secara keseluruhan sebesar Rp 720.000.000,- adalah lembaga
yang tidak berhak karena tidak terdaftar di kesbangpol;
59
Menimbang, bahwa yang telah diterima terdakwa sejumlah Rp
720.000.000,- dari permohonan bantuan dana Bansos yang sebelumnya
diajukan dan satu permohonan proposal yang ditandatangani yakni LSM
PIPMI oleh terdakwa kepada Pemerintah Provinsi termasuk beberapa
LSM sbagaimana tersebut diatas, tidak diperguakan kepentingan kegiatan
LSM yang disesuaikan sesuai proposal permohonannya akan tetapi demi
untuk kepentingan lain, hal ini pula teah terlihat karena tidak adanya
pertanggungjawaban atas pengguna Dana Bansos tersebut, dimana
pertanggungjawaban pengguna dana Bansos tersebut merupakan
persyaratan pula.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum
diatas, Mejelis berpendapat bahwa unsur “dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi” telah terbukti menurut hukum.
Ad. 2. Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kata “Kewenangan”
adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan agat
tugasnya pekerjaanya dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan kata
“kesempatan” berarti peluang yang ada karena kewenangan yang dapat
dimanfaatkan oleh pelaku, peluang tersebut tercantum dalam ketentuanketentuan
tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau
kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku. Dan yang dimaksud
60
dengan “sarana” adalah syarat, cara atau media yaitu cara kerja atau
metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku.
Menimbang, bahwa kata “jabatan” dapat diartikan sebagai suatu
lingkungan pekerjaan yang sedang dipegang, yang dijalankan dalam
rangka-rangka tugas negara atau kepentingan umum. Sedangkan kata
“Kedudukan” adalah tingkatan atau martabat yang berkaitan dengan
fungsi suatu jabatan. Selain dapat dipangku oleh Pegawai sebagai pelaku
tindak pidana korupsi, dapat pula dipangku oleh pelaku tindak pidana
korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau orang perseorangan swasta.
Menimbang, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan pada
prinsipnya menyerupai unsur Pasal 52 KUHP, aka tetapi terminologi
“menyalahgunakan” dalam unsur ini lebih luas jika dibandingkan dengan
Pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata “....oleh karena melakukan
tindak pidana, ataupada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan,kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya....”.
Menimbang, dalam perkara a quo untuk menentukan terdakwa
dapat dikualisifir melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, sarana harus ditinjau dari perspektif kualitas apa yang
dimilikinya sehingga adanya kualitas tersebut ia melakukan perbuatan
61
tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan kualitas yang ada
padanya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap
dipersidangan berdasarkan alat bukti yang diajukan berupa saksi-saksi,
Alat bukti surat, keterangan ahli serta keterangan terdakwa, sebagaimana
telah terurai pada putusan ini antara lain:
Bahwa terdakwa adalah salag satu Pengurus LSM PIPMI
(Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Pemberdayaan
Masyarakat Indonesia), sesuai Akta Pendirian Notaris SITSKE LIMOWA,
S.H., pada tanggal 30 Agustus 1999 yang mempunyai kedudukan sebagai
sekretaris pada LSM PIPMI;
Terdakwa mengajukan Permohonan Proposal Permintaan bantuan
dana Bansos, setelah adil patu menginformasi agar kiranya membuat
proposal untuk diajukan pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
dalam hal pada Sekretariat Pemprov SulSel.
Menimbang, dari perspektif terdakwa sebagai pengurus LSM PIPMI
yang mengajukan Proposal untuk mendapatkan dana Bansos pada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dimana terdakwa sendiri yang
mendatangani proposal tersebut, termasuk dokumen yang mensyaratkan
untuk pencairan dana seperti kwintasi sebagai penerima, serta
mencairkan dana setelah menerima cek dari bendahara rutin.
62
Menimbang, bahwa uraian pertimbangan hukum tersebut diatas,
tampak adanya kualitas yang dimiliki terdakwa, kualitas mana dapat
dipandang sebagai wewenang atau kedudukannya sebagai pengurus
LSM yang mengajukan permohonan permintaan dana bantuan sosial,
dimana permohonan permintaan dana bantuan sosial, dimana
permohonan tersebut mendapatkan persetujuan untuk dibayarkan;
Menimbang, bahwa LSM/Ormas yang menerima dana bantuan
sosial sebagai LSM diajukan permohonan proposalnya oleh terdakwa
termasuk LSM lain yang diterimakan dananya oleh terdakwa tidak ada
yang memiliki SKT:
Menimbang, bahwa dana yang diterima terdakwa diserahkan
kepada Adil Patu, tanpa melaksanakan kegiatan sebagaimana apa yang
menjadi maksud dan tujuannya mengajukan permohonan proposal, hal ini
ditandai dengan tidak adanya pertanggung jawaban pengguna dana
bantuan sosial yang dimaksud;
Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan yang
terjadi adalah setelah terdakwa mendapatkan informasi dari Adil Patu,
terdakwa berperan, seperti terdakwa sendiri membuat dan mendatangani
sendiri proposal permintaan Dana atas nama LSM PIPMI dimana
terdakwa bertindak sebagai ketua pengurus. Padahal terdakwa dalam
akte pendirian LSM PIPMI hanyalah sebagai sekretaris. Sehingga dengan
demikian peran terdakwa tampak jelas menggambarkan adanya
63
kerjasama dengan Adil Patu untuk mendapatkan bantuan dana sosial
dimaksud bentuk terdakwa diperintah karena adanya daya paksa;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum
diatas, Mejelis berpendapat bahwa unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan” telah terbukti menurut hukum.
Ad. 3. Unsur Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian
Negara
Menimbang, bahwa dalam penjelasan Pasal 3 UU No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” menunjukkan bahwa tindak pidana merupakan delik formal yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “keuangan negara”
dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah “seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang
dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
64
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan,
Badan Hukum dan Perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian Negara”.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “perekonomian negara”
adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan kepada kebijakan.
Bahwa terdakwa menerima dana bansos sejumlah Rp 720.000.000,-
dari permohonan bantuan dana bansos yang sebelumnya diajukan dan
satu permohonan proposal yang ditandatangani LSM PIPMI oleh terdakwa
kepada Pemerintah Provinsi termasuk beberapa LSM sebagaimana
tersebut diatas, tidak diperuntukkan untuk kepentingan kegiatan LSM
yanng diusulkan sesuai proposal permohonannya akan tetapi demi untuk
kepentingan lain, hal ini pula telah terlihat karena tidak adanya
pertanggungjawaban atas penggunaan dana bansos tersebut, dimana
pertanggungjawaban pengguna dana bansos tersebut merupakan
persyaratan pula.
Menimbang, fakta hukum diatas perbuatan terdakwa telah merugikan
keuangan daerah sejumlah Rp 720.000.000.-, berdasarkan penjelasan
umum huruf a. Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
65
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk keuangan negara;
Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang bunyi
lengkapnya sebagai berikut :“Dihukum sebagai orang yang melakukan
perbuatan pidanam orang yang melakukan, yang menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu“
Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa Terdakwa Kasus
tindak Pidana Korupsi dana bansos adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, serta tidak
ditemukan alasan pemaaf maupun alasan pembenar pada dirinya.
Sehingga terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan bertanggungjawab atas
perbuatannya.
2. Pertimbangan Subjektif Hakim
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa Hakim dan Hakim
konstitusi wajib menggali, mengikut, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam memutus
suatu perkara Hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek
yuridisnya saja, tetapi Hakim juga harus mempertimbangkan aspek
sosiologisnya. Dengan demikian, diharapkan tercipta putusan yang
mendekati rasa keadilan bagi semua pihak, sehingga masyarakat
mempunyai respek dan kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi
66
pengadilan sebagai lembaga peradilan yang mampu mengakomodir para
pencari keadilan.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan subjektif Hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor:
18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Makassar adalah:
Hal-hal yang memberatkan:
- Terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi
- Tindak pidana sejenis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu tindak
pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar grafiknya relatif tinggi;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa tidak memperoleh harta benda dari tindak pidana
korupsi;
- Kerugian keuangan Negara/daerah yang telah dikembalikan secara
keseluruhan;
- Terdakwa sopan berterus terang dalam memberikan keterangan di
persidangan;
- Terdakwa belum pernah dijatuhi pidana;
- Selama persidangan terdakwa hadir dengan tertib tidak pernah
bertingkah dengan macam-macam alasan yang dapat membuat
persidangan tidak lancar;
- dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam putusan ini;
67
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pidana sebagaimana pada
amar putusan sudah layak dan setimpal serta cukup adil dijatuhkan
kepada terdakwa. Maka pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan
kesalahan terdakwa dan memenuhi tujuan dari pemidanaan itu sendiri
yaitu mencegah agar yerdakwa tidak mengulangi lagi perbuatannya di
masa yang akan datang sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun sanki pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa atas nama
Kahar Gani, S.sos., M.Si. setalah Hakim mempertimbangkan hal-hal
tersebut diatas, dan memperhatikan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal
18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP jo. Pasal; 64 ayat (1) KUHP.
Dalam perkara pidana dengan Nomor Register:
18/Pid.Sus.TPK/2015/PN.Mks dengan ini memutuskan:
MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa Kahar Gani, S.Sos., M.Sim tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana didakwa pada dakwaan primair;
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair;
3. Menyatakan Terdakwa Kahar Gani, S.Sos., M.Si, terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana didakwakan
pada dakwaan subsidair;
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
68
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan dengan jenia
penahanan Rumah Tahanan Negara;
7. Menetapkan barang bukti berupa:
1. 8 (delapan) daftar surat perintah pencairan dana (SP2D)
bantuan sosial TA. 2008
2. Rekening koran Bank Sulsel No. Rekening: 130-020-
000003061-1 tanggal proses: 29 September 2011 atas nama
nasabah: Bend. Sekretariat kantor gubernur sulawesi selatan.
3. 1 (satu) lembar Nota Pertimbangan Kepala Biro Keuangan
tanggal 20 Maret 2008 perihal permohinan Pencairan Dana
Bantuan Kepada Pusat Informasi Pemberdayaan Masyrakat
Indonesia (PIPMI) sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah).
4. 1 (satu) lembar cek Bank BPD Sulsel Nomor: CB 007956
tanggal 27 Maret 2008 senilai Rp 170.000.000,- (seratus tujuh
puluh juta rupiah) yang diterima oleh Kahar Gani.
5. 1 (satu) lembar cek Bank BPD Sulses Nomor: CA 898386
tanggal 19 Maret 2008 senilai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah) yang diterima oleh Kahar Gani.
6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara
sejumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).
3. Analisis Penulis
Putusan Hakim merupakan pernyataan Hakim sebagai pejabat
negara yang diberi kewenangan untuk berupa putusan penjatuhan pidana
jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dalam upaya membuat putusan serta menjatuhkan sanksi pidana, hakim
harus mempunyai pertimbangan yuridis yang terdiri dari dakwaan
penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang bukti,
pasal-pasal yang dilanggar dan pertimbangan non yuridis yang terdiri dari
latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan serta kondisi
terdakwa pada saat melakukan perbuatan.
69
Pada kesempatan wawancara dengan salah satu Hakim
Pengadilan Negeri Makassar yaitu, Rostantar, S.H., M.H. pada hari
Kamis, tanggal 2 November 2017, mengemukakan bahwa ;
“Mejelis Hakim memiliki Pertimbangan hukum yang berkaitan
dengan unsur pidana yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum dan yang di buktikan oleh JPU adalah terdapat pada pasal
2 dan pasal 3 dan yang terbukti dengan Pasal 3”
Pertimbangan unsur nya diantara lain adalah ;
1. Perbuatan yang merugikan keuangan negara
2. Perbuatan penyalahgunaan wewenang
3. Perbuatan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, korporasi
Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus
ini adalah Dakwaan Subsidaritas yang terdapat dalam Pasal 3 Undangundang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undangundang
Nomor 20 Tahun 2001 dimana unsur Pasal 3 yaitu :
1. Setiap orang
2. Yang memperkaya diri sendiri atau orang lain
3. Yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
4. Yang dapat merugikan keuagan negara atau perekonomian negara
Menurut Penulis, mengapa Majelis hakim membuktikan dengan Pasal
3 karna adanya unsur penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
terkdawa, dan dalam putusan Majelis Hakim menyatakan terdakwa
terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan subsidaritas, Dakwaan
Subsidaritas adalah bentuk dakwaan dari beberapa lapisan dakwaan yang
disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi
sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara
70
berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi
sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Sementara dalam perkara ini, Majelis Hakim berpendapat dakwaan
primair kurang tepat dikenakan kepada terdakwa. Hal tersebut menurut
penulis, sudah tepat, karena Pasal 3 bersifat lex spesialis dari Pasal 2. Hal
tersebut dapat dilihat dari putusan majelis hakim terutama dalam rumusan
unsur setiap orang, yaitu Pasal 2.
Berdasarkan uraian diatas serta hasil wawancara, maka Penulis
berkesimpulan bahwa pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan
pada perkara ini sudah tepat, walaupun masih ada beberapa kekurangankekurangan
seperti yang penulis uraikan diatas, dengan memperhatikan
pula hal-hal apa saja yang menjadi bahan Pertimbangan Majelis Hakim
dalam menjatuhkan pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dengan
melihat secara keseluruhan dari rangkaian terdakwa, alat bukti
persidangan, kesaksian para saksi, keterangan terdakwa, surat dakwaan
hingga Majelis Hakim menjatuhkan sanksi pidana 1 (satu tahun) dan
sudah sangat sepadan dengan apa tindakan yang dilakukan oleh
terdakwa dalam kasus ini.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi bantuan
dana sosial studi kasus putusan 18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.Mks adalah
bahwa dalam kasus ini terdakwa memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu mampu bertanggung jawab, adanya
kesalahan dan tidak ditemukannya alasan penghapusan pidana baik
alasan pemaaf maupun alasan pembenar. Dalam kasus ini dituntut
dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana Majelis
Hakim membuktikan dengan Dakwaan Subsidaritas dengan Pasal 3
yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya.
2. Pertimbangan Hukum oleh Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan
dalam perkara dengan nomor putusan 18/Pid.Sus.Tpk/2015/PN.Mks
yaitu penjatuhan putusan didasarkan pada alat bukti yang terungkap
di persidangan dan juga mempertimbangkan alasan-alasan yang
memberatkan dan alasan-alasan yang meringankan dari diri terdakwa
72
dimana putusan yang dijatuhkan dalam kasus ini adalah pidana
penjara 1 (satu) tahun sehingga pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan dinilai penulis sudah memenuhi rasa keadilan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada para penegak hukum khususnya jaksa
penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan terhadap suatu
kasus hendaknya memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam
hukum pidana tanpa mengesampingkan aturan yang lebih khusus.
Perumusan surat dakwaan harus disusun secara cermat dan teliti
untuk menghindari para pelaku tindak pidana korupsi lepas dari
jeratan hukum.
2. Penjatuhan pidana bagi terdakwa oleh hakim khususnya dalam
tindak pidana korupsi tidak hanya didasarkan pada hal-hal yang
memberatkan dan meringankan saja tetapi juga hakim hendaknya
dalam putusan tersebut hakim harus mencerminkan nilai-nilai
kepatutan dan kemanfaatan.
73
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2014. Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo: Jakarta
------------------- 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia II. PT
Rajawali Pers: Jakarta.
Agus Rusianto, 2016. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban
Pidana. PT Fajar Interpratama Mandiri: Jakarta.
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahnya. PT
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
------------------, 2005. Perbandingan Korupsi di Berbagai Negara.
Sinar Grafika: Jakarta.
Andi Zainal Abidin, 2007. Hukum Pidana 1. Sinar Grafika: Jakarta.
Erdianto Effendi, 2001. Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar.
Refika Aditama: Bandung.
Evi Hartanti, 2016. Tindak Pidana Korupsi Bagian Kedua. Sinar
Grafika: Jakarta.
Leden Marpaung, 1995. Proses Penanganan Perkara Pidana
Bagian Kedua. Sinar Grafika: Jakarta.
--------------------- 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana
(Penyidikan dan Penyelidikan). Cetakan Ketiga, Sinar Grafika:
Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2010. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif
Teoritis dan Praktik Peradilan. CV Mandar Maju: Bandung.
Moelijatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta:
Jakarta.
P.A.F Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Citra Aditya Bakti: Bandung.
Teguh Prasetyo, 2011. Hukum Pidana. Raja Grafindo: Jakarta.
74
Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-Asas Hukum Pidana
Indonesia.PT Eresco: Bandung.
Yandianto, 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit M2S:
Bandung.
Yudi Kristiana, 2016. Tindak Pemberantasan Korupsi Perspektif
Hukum Progresif.
--------------------- 2016. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Perspektif Hukum Progresif.
Yusran Lapananda, 2013. Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber APBD. Sinar Grafika: Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai