Disusun oleh :
1. Almadian Julianti R. 2018230102
2. Mahfira Maulani 2018230033
3. Elisa Merdeka 2018230103
4. M. Riyan Styawan 2018230093
5. Deeve Chrisdean Pohan 2015230123
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hak
Asasi Manusia dalam Hukum Internasional. Studi Kasus : Ethnic Cleansing Boznia (1992-
1995).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata
Kuliah Hukum Internasional. Makalah ini membahas mengenai Hal Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional dan Bagaimana Hukum Internasional tersebut mempengaruhi negara,
Individu maupun kelompok dalam penegakan Hak Asasi Manusia. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yaitu.. serta pihak-pihak terkait
yang telah membantu menyelesaikan makalah. Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI...........................................................................................................................................ii
2.1 Teori
Liberalisme ..............................................................................................................................3
2.2 Konsep Hak Asasi Manusia...............................................................................................................4
2.3 Konsep Genosida...............................................................................................................................6
2.4 Konsep Hukum Humaniter
Internasional...........................................................................................6
BAB III
PEMBAHASAN.......................................................................................................................8
BAB IV
PENUTUP...............................................................................................................................26
ii
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................................26
4.2 Saran................................................................................................................................................26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelanggaran HAM berat pada urnumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran
HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban
manusia. Salah satu bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi
Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun 1949, genosida berarti tindakan dengan
kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau
agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu: (a) Mernbunuh anggota keloinpok;
(b) Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Secara
sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuraa fisik secara
keseluruhan atau sebagian; (d) Mernaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk
mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak
kelompok tersebut ke kelompok lain.
Dalam hal ini, konflik yang terjadi antara etnis Bosnia dan etnis serbia berawal dari
keinginan masyarakat Bosnia untuk memerdekakan diri dari wilayah Serbia. Akibat dari
jatuhnya kekuatan negara Yugoslavia menjadi beberapa negara. Sehingga Bosnia yang
merupakan bagian wilayah dari Yugoslavia juga berusaha untuk memerdekakan dirinya. Hal
1
ini yang kemudian ditentang oleh masyarakat Serbia yang tetap menginginkan Bosnia
menjadi wilayah dari negara Serbia. Hal ini disebabkan karena letak etnis Serbia
menginginkan menguasai wilayah Bosnia dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Hal ini menyingkirkan etnis asli Bosnia yang tidak menginginkan Bosnia kembali menguasai
mereka. Konflik ini kemudian semakin besar mengingat ada upaya-upaya dari etnis Serbia
yang didukung oleh tentara dan presidennya untuk melakukan pembersihan etnis terhadap
etnis Bosnia. Konflik ini semakin meningkat ketika Serbia membombardir ibukota Bosnia,
Sarajevo dan kota lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan
disiksa dalam kamp–kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda dan gadis kecil Bosnia
diperkosa.
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, maka rumusan masalah yang dimuat dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing Bosnia
berdasarkan Hukum Internasional?”
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai adalah sebagai berikut:
“ Untuk mengetahui proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing
Bosnia berdasarkan Hukum Internasional”
1.4 Manfaat
Suatu penulisan karya ilmiah akan sangat berguna apabila dapat memberikan manfaat bagi
orang lain maupun instansi dimana penelitian tersebut dilakukan. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
“Makalah ini dapat memberi tambahan wacana serta manfaat dalam menjalankan dan
memahami proses proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing
Bosnia berdasarkan Hukum Internasional
BAB II
TEORI DAN KONSEP
rival perspective – a nemesis) dari perspektif realisme. Kedua perspektif ini secara dominan
telah mewarnai studi ilmu hubungan internasional, termasuk menjadi cikal bakal munculnya
tumbuh dari suatu tradisi sejarah pemikiran panjang dengan klaim yang kuat untuk menjadi
sebagai ideologi yang menjunjung tinggi kebebasan individu, di samping itu liberalisme
diartikan sebagai teori dari pemerintah, yang berusaha memberikan ketertiban dan keadilan
dalam masyarakat tertentu (Dunne, 2001:163). Lebih lanjut lagi dalam Jack and Sorensen
(2014) menyatakan liberalisme sebagai suatu perspektif tentang yang memiliki pandangan
positif tentang sifat manusia. Clark (1989) dalam Dunne (2001:163) mengatakan bahwa
Liberalisme sebagai suatu perspektif berawal dari John Locke di abad ketujuh belas
(Jackson and Sorensen, 2014:174). Namun, apabila dipandang dalam perspektif keilmuan,
liberalisme baru muncul pada awal abad kedua puluh, sebagai adanya rasa trauma dari
terjadinya perang dunia. Hoffman (1987) dalam Dunne (2001:163) mengatakan esensi
dalam liberalisme adalah pengendalian diri, moderasi, kompromi dan perdamaian. Terdapat
tiga asumsi liberalisme antara lain yang pertama pandangan sifat positif manusia, yang
3
kedua
4
keyakinan akan hubungan internasional yang dapat menjadi kooperatif daripada konfliktual,
dan yang ketiga percaya terhadap kemajuan (Jackson and Sorensen, 2014:175).
karakteristik utama. Pertama, teori liberal memiliki keyakinan kuat dalam akal manusia.
Kekuatan akal dapat membebaskan manusia untuk dapat memahami dan membentuk
masyarakat tanpa ketergantungan pada makhluk lain. Kedua, jika para realis percaya kepada
masyarakat (state-society linkages) dan mengklaim adanya hubungan yang erat antara
institusi dan politik domestik dengan politik internasional sebab keduanya penting dan tidak
mengurangi kemungkinan terjadinya konflik atau perang. Kelima, para pemikir liberal
Menurut United Nations Human Rights Hak Asasi Manusia(HAM) adalah hak yang
melekat pada semua manusia, apapun kewargenegaraannya, tempat tinggal, jenis kelamin,
asal kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Pada dasarnya
Hak Asasi Manusia adalah prinsip atau norma moral yang menggambarkan standar perilaku
manusia tertentu dan secara teratur dilindungi sebagai hak alami dan hukun di dalam hukum
Internasional.
Hak Asasi Manusia berlaku di mana-mana dan setiap saat dalam artian bahwa Hak
Asasi Manusia bersifat Universal dan Egaliter yang berarti bahwa Hak Asasi Manusia
berlaku bagi setiap orang. Hak Asasi Manusia dianggap membutuhkan empati dan
5
supremasi hukum HAM juga memaksakan kewajiban pada seluruh orang untuk
menghormati hak asasi orang lain, dan secara umum tidak boleh diambil kecuali sebagai
akibat dari proses yang adil berdasarkan keadaan tertentu. Hak Asasi Manusia pun
6. Kebebasan bergerak.
11. Hak untuk mengikuti kegiatan publik, memilih, serta dipilih untuk menjadi pejabat.
Doktrin Hak Asasi Manusia sangat berpengaruh didalam hukum internasional dan
institusi global maupun regional. Tindakan oleh negara dan organisasi non-pemerintah
membentuk dasar kebijakan publik di seluruh dunia. Gagasan Hak Asasi Manusia
menunjukan bahwa “apabila wacana publik masyarakat global di masa yang damai dapat
dikatakan memiliki bahasa moral yang sama, itu adalah Hak Asasi Manusia”. Klaim kuat
yang dibuat oleh doktrin Hak Asasi Manusia terus memprovokasi skeptisisme dan
perdebatan mengenai konten, sifat, serta pembenaran Hak Asasi Manusia hingga hari ini.
Hak Asasi Manusia pun diabadikan di dalam konvensi Jenewa dan berbagai perjanjian
yang dipaksakan dari PBB dapat ditegakkan dalam hukum. Dalam praktiknya, banyak hak
yang sangat sulit untuk ditegakkan secara hukum karena tidak adanya konsensus mengenai
6
HAM.
didefinisikan sebagai kelompok etnis, nasional, ras, atau agama) secara keseluruhan atau
sebagian. Istilah Genosida diciptakan oleh Raphael Lemkin dalam bukunya 1944 Axis Rule
in Occupied Europe. Genosida berasal dari kata Yunani kuno Genos yang berarti Ras atau
Konvensi Genosida PBB yang didirikan pada tahun 1948, mendefinisikan genosida
sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama termasuk pembunuhan anggotanya, yang
menyebabkan kerusakan tubuh atau mental yang serius bagi anggota kelompok, mencegah
kelahiran, atau secara paksa memindahkan anak-anak keluar dari kelompok dan masuk ke
kelompok lain.
Setelah Holocaust, yang telah dilakukan oleh Nazi Jerman sebelum dan selama Perang
Dunia ke-2, Lemkin berhasil berkampanye untuj penerimaan universal hukum internasional
yang mendefinisikan dan melarang Genosida. Pada tahun 1946, sesi pertama Majelis Umum
semacam itu.
membatasi efek konflik bersenjata dengan alasan kemanusiaan. Hal ini dilakukan demi
melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan dan
7
membatasi cara serta metode peperangan. Hukum Humaniter Internasional juga dikenal
pengurangan penderitaan manusia. Hukum ini terdiri dari seperangkat aturan yang
ditetapkan oleh perjanjian atau kebiasaan yang berusaha untuk melindungi orang dan
properti atau objek yang dapat dipengaruhi oleh konflik bersenjata. Sumber-smber dari
Jenewa), Hukum Internasional, dan Prinsip-prinsip umum suatu negara. Hukum Humaniter
Hukum ini pun juga meliputi orang-orang yang dilindungi yang biasanya non-kombatan.
Hukum ini pun juga dirancang untuk menyeimbangkan kebutuhan kemanusiaan dan
kebutuhan militer, dan subyek peperangan dengan aturan hukum untuk membatasi efek
Selama konflik, hukuman karena melanggar hukum perang dapat terdiri dari
pelanggaran hukum perang yang spesifik, disengaja dan terbatas sebagai pembalasan.
Kombatan yang melanggar ketentuan khusus hukum perang akan kehilangan perlindungan
dan status yang diberikan kepada mereka sebagai tawanan perang, tetapi hanya setelah
menghadapi “Pengadilan yang kompeten”. Disaat itu mereka dilabel menjadi kombatan
yang tidak patuh terhadpa hukum, akan tetapi mereka tetap harus diperlakukan secara
manusiawi, dan saat diadili mereka harus disidang secara adil. Setelah konflik berakhir,
orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum perang, dan terutama kekejaman
perang dapat dimintai pertanggungjawaban individu atas kejahatan perang melalui proses
hukum.
8
BAB III
PEMBAHASAN
Setelah Perang Dunia ke-II, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM)
mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan
berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, nasional, dan individu ketika
menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan
antarbangsa di dunia meliputi tidak hanya kepentingan ekonomi, politik dan militer tapi juga
kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak
terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam konteks ini, Piagam Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa "PBB akan memajukan
penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua
bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama" (Pasal 55c Piagam
PBB). Selain itu pada bulan Desember tahun 1948, Majelis Umum PBB menerima dan
mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norrna-
norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma
HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku
pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.
Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi
lahirnya HIHAM seperti Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun 1948;
Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; Konvensi Internasionai Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya; Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia;
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Anak; dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi internasional
tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan Undang-Undang
HAM Internasional (International Bill of Rights). Secara kronologis tiga tahapan penyusunan
International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang menetapkan
bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian ketentuan
Konvensi yang rnengikat negara-negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan
tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian
8
9
dari konvensi-konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dan
karena itu sudah rnenjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Konvensi-konvensi
internasional yang telah diratifikasi itu, antara lain Konvensi Internasional Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia; Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial; Konvensi Internasional Mengenai PenghapusairSegala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan; Konvensi Internasional Tentang Hak Anak; dan berbagai
Konvensi International Labour Organization (ILO) lainnya. Apabila mencermati substansi
konvensi-konvensi internasional HAM tersebut di atas, tidak akan rnenemukan suatu definisi
tunggal yang menjelaskan pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada
urnumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak
buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida Tahun 1949, genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian
atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan
berikut ini yaitu: (a) Mernbunuh anggota keloinpok; (b) Menyebabkan cacat tubuh atau
mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Secara sengaja dan terencana
mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuraa fisik secara keseluruhan atau sebagian;
(d) Mernaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam
kelompok tersebut; (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke
kelompok lain. Meaurut Geoin-ey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas cukup
luas di mana tennasuk didalamnya perbuatan perabersihan etnis dan pernbersihan massal
agama. Akan tetapi, definisi itu tidak menyentuh pernbantaian terhadap suatu kelas ekonomi
tertentu (kaurn Kulaks) dan jutaan orang yang dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh
Stalin. Definisi genosida tersebut di atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang
yang mempunyai keyakinan politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer.
Misalnya, atas dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris rnenolak untuk rnernenuhi tuntutan
Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena membantai
kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu definisi tunggal yaag memadai
untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran HAM berat. Berbagai
bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan dalarn satu definisi hukum. Piagam
10
1. Kejahatan genosida;
3. Kejahatan perang;
4. Kejahatan agresi.
12
Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer
Intemasional Nuremberg menganut asas pertanggung jawaban individu. Yang berarti tanpa
memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam
perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggung jawaban individu itu telah
dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasionai (International Law Commission) pada tanggal
29 Juli 1950 sebagai berikut: 1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang
inerupakan suatu kejahatan interaasional bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus
dihukum. 2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancani dengaa pidana atas
perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurui hukum internasional tidaklah
membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggung jawab menunit hukum
internasional. 3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan nienurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat
Penierintah yang bertanggung jawab, tidak membebaskan dia dari tanggung jawab menunit
hukum internasional. 4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk
melaksanakan perintah dari Penierintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia
dari tanggung jawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice)
yang bebas dimungkinkan olehnya. Dalam upaya untuk memeriksa, mengsadili, dan
rnemutuskan pelanggaran HAM berat itu, Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg dan Statuta ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu
diperlakukan terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda
dari Piagam Nuremberg dan Statuta ICTY, Statuta Roma naenganut asas tidak berlaku surut
(non-retroactive).
Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai peran ganda
sebab dapat menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga
menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan. Brwonlie menggambarkan
“kedaulatan” sebagai doktrin konstitusional yang pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya,
kedaulatan mewakili totalitas hak-hak negara dalam menjalankan hubungan luar negrinya dan
menata urusan-urusan dalam negerinya. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua negara bebas
sepenuhnya menjalankan kedaulatan dan kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam
negri mengingat mereka tunduk pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap kegiatan
mereka oleh hukum internasional. Semua negara sama-sama berdaulat, mak masingmasing
negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan Mahkamah Internasional,
kecuali negara tersebut memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya untuk mematuhi
13
keputusan itu. Sehingga begitu hak asasi manusia diangkat menjadi masalah yang menjadi
perhatian hukum internasional dan bukan lagi nasional, negara-negara yang bersangkutan
tidak lagi dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan masalah
yang berada dalam yurisdiksi domestiknya. Lalu individu sebagai subjek hukum
internasional. Menurut hukum internasional, individu secara pribadi dapat dianggap
bertanggung jawab terhadap kejahatan perang, genosida, penganiayaan dan apartheid. Namun
oleh Prof.nguyen Quoc Din individu hanya sebagai subjek hukum buatan. Karena kehendak
negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal tertentu sebagai
subjek hukum internasional. Hukum internasional masih tetap mengatur hubungan antar
negara dan subjek-subjek hukum lainnya, sedangkan individu dalam hal-hal tertentu.
Pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat bersamaan dengan
perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasiorganisasi
regional dan multilateral global. PBB telah membagi kegiatan dalam beberapa periode
sebagai berikut: a. Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal
HAM (1945-1948). b. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai
konvensi dan instrument HAM internasional (1949-1966). c. Periode pelaksanaan sistem,
yang dimulai dari pengesahan instrumen hingga konferensi Wina (1967-1993). d. Periode
perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995). e.
Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000). Dalam berbagai ketentuan yang
terdapat dalam Piagam, berkali-kali diulang penegasan bahwa PBB akan mendorong,
mengembangkan, dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi
dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa, dan
agama. Ketentuan ini diulang dalam pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal
62 ayat 2, pasal 68, dan pasal 76c. Semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-
kebebasan pokok ini dibahas oleh salah satu Komite Utama Majelis, yaitu Komite Tiga yang
menangani masalah-masalah HAM, kemanusian, social, dan kebudayaan. Majelis utama juga
dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan ekonomi dan social yang dapat
membuat rekomendasi agar terlaksananya penghormatan yang efektif terhadap hak-hak asasi
dan kebebasan-kebebasan pokok. Dewan ekonomi dan social dapat membentuk komisi, salah
satunya adalah Komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai Status Wanita.
Kedua komisi ini dibentuk pada tahun 1946. Komisi hak-hak manusia beranggotakan 53
negara, dan komisi status Wanita beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara. Ada dua badan
khusus PBB yang juga menangani HAM yaitu Organisasi buruh Sedunia (ILO), didirikan
tahun 1946. Bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat bekerja dan hidup para buruh melalui
14
social, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain. Pasal 3 sampai 21 menempatkan hak-
hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang. Hak-hak itu antara lain:
d. Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan.
h. Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak
m. Bebas bergerak hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak
untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik.
o. Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Pasal 22-27 berisikan hak-hak ekonomi social dan kebudayaan, hak ini antar lain: hak
atas jaminan social, hak untuk bekerja, hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat-
16
serikat buruh, hak atas istirahat, dan waktu senggang, hak atas standar hidup yang pantas di
bidang kesehatan dan kesejahteraan, hak atas pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam
kebudayaan masyarakat. Dari segi hukum deklarasi ini tidak mempunyai daya ikat seperti
deklarasi-deklarasi lainnya yang diterima Majelis Umum PBB. Sebaliknya ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam deklarasi tersebut banyak yang dimasukkan ke dalam legislasi
nasional masing-masing dan dijadikan tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu negara
melaksanakan hak-hak asasi manusia. Banyak ketentuan dalam deklarasi ini dapat diangap
sebagai hukum kebiasaan Internasional (Customary International Law). Setelah diterimanya
Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran untuk mengukuhkan pemajuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam dokumen-dokumen yuridik yang
mengikat negaranegara yang menjadi pihak. Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum
menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu International Covenant on
Economics, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political
Rights. Yang baru dalam perjanjian itu adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan
nasib sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara
bebas seperti tercantum dalam pasal 1 perjanjian. Perjanjian internasional mengenai Hak-hak
Ekonomi, Sosial, da Budaya mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan
Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara perjanjian internasional ini berupaya
meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu: a. Hak untuk bekerja dalam kondisi yang
adil dan menguntungkan; b. Hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar
kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; c. Hak atas pendidikan dan hak
untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. d.
Selanjutnya tahun 1985, Dewan Ekonomi dan Sosial melengkapi Perjanjian dengan
membentuk Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang terdiri dari 18 pakar
independen di masing-masing bidang. Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan
Protokol Opsional Pertama mulai berlaku bulan Maret 1976.
Perjanjian hingga Desember 2003 telah diratifikasi 151 negara, dan protokol Opsional
Pertamanya telah diratifikasi 104 negara. Tanggal 15 Desember 1989, PB mengesahkan
Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk
menghapus hukuman mati. Mulai berlaku tangal 11 Juli 1991. Kovenan ini juga mempunyai
suatu Komite. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya beserta Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol
Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights.10 Deklarasi Unversal meberikan
17
inspiras terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak
asasi manusia antara lain konvensi tentang pencegahan dari penghukuman terhadap kejahatan
pemusnahan ras (convention on the protection and punishment of the crime of genocide)
tahun 1948. Konvensi ini menjadi jawaban terhadap kekejaman-kekejaman selam perang
dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk
menghancurkan kelompokkelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara
untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Convention Relating to The status of
refugees (konvensi tentang status pengungsi) tahun 1951. Menjelaskan mengenai hak-hak
dan kewajiban pengungsi. International convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination tahun 1966, dan hingga bulan desember 2003 telah diratifikasi lebih dari 169
negara. Konvensi ini menentang segala bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-
negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari
segi hukum maupun praktiknya. Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination againts Women 1979. Diratifikasi 175 negara. Konvensi ini memberikan
jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan
tindakantindakan untuk mengahppuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan
kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan,pendidikan, lapangan kerja, kesehatan,
perkawinan, dan keluarga. Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment tahun 1984, dan hingga Desember 2003 telah
diratifikasi 134 negara. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan
internasional dan meminta negara bertanggung jawab untuk mencegah penyiksaan dan
menghukum para pelaku. Konvensi mengenai hak-hak Anak (Convention on The Rights of
Child) tahun 1989. Menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan dan
kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka secara normal.
Diratifikasi 192 negara. Pengembangan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia untuk
semua orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah mengingat
keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial,
latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan pandangan
mengenai hak-hak asasi manusia paling tidak menampilkan dua konsepsi yang saling berbeda
yaitu mengenai individu dalam masyrakat dan hubungan antara orag-perorangan dan
kekuasaan. Bila konsepsi barat lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak pribadi,
sipil, politik. Konsepsi sosialis yang sampai akhir-akhir ini masih dipertahankan secara gigih
oleh negara-negara sosialis Eropa Timur lebih menonjolkan perana negara. Walaupun secara
prinsip tidak menolak hak-hak individu, konsepsi sosialis ini pertama-tama menempatkan
18
individu dalam hubunganya dengan masyarakat dimana individu tersebut adalah anggotanya.
Pengembangan dan perlindungan hak-hak asasi manusia tidak begitu menimbulkan masalah
di negara-negara perekonomian yang cukup maju. Di negara-negara berkembang terutama
yang paling ketinggalan, untuk kebutuhan pokok saja sulit dipenuhi sehingga sedikit sekali
tersedia peluang untuk mengembangkan hak-hak sipil dan politik. Kendala lainnya adalah
kendala teknis. Kenyataaan menunjukkan bahwa di antara konvensi-konvensi hak-hak asasi
manusia yang berlaku sekarang ada yang diratifikasi banyak negara dan ada pula yang masih
sedikit jumlah ratifikasinya. Selain itu terdapat pula ketidaksamaan waktu dan material.
Ketidaksamaan waktu adalah karena berbeda-bedanya tanggal mulai berlaku konvensi-
konvensi yang sama oleh negara-negara pihak. Ketidaksamaan material adalah banyak negara
yang menunda-nunda atau membatalkan penerimaan pengawasan pelaksanaan ketentuan-
ketentuan konvensi. Namun kendala-kendala tersebut tidak menghalangi perkembangan dan
perlindungan hak-hak asasi di berbagai pelosok dunia walaupun tidak secepat dan semulus
seperti yang diingikan.
3.3 Perlindungan HAM menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Pelanggaran HAM
berat; Ethnic Cleansing Boznia 1992-1995)
Konflik yang terjadi antara etnis Bosnia dan etnis serbia berawal dari keinginan
masyarakat Bosnia untuk memerdekakan diri dari wilayah Serbia. Akibat dari jatuhnya
kekuatan negara Yugoslavia menjadi beberapa negara. Sehingga Bosnia yang merupakan
bagian wilayah dari Yugoslavia juga berusaha untuk memerdekakan dirinya. Hal ini yang
kemudian ditentang oleh masyarakat Serbia yang tetap menginginkan Bosnia menjadi
wilayah dari negara Serbia. Hal ini disebabkan karena letak etnis Serbia menginginkan
menguasai wilayah Bosnia dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Hal ini
menyingkirkan etnis asli Bosnia yang tidak menginginkan Bosnia kembali menguasai
mereka. Konflik ini merupakan konflik lokal antara penduduk asli Bosnia yang
menginginkan kemerdekaan penuh bagi negara Bosnia sesuai dengan referendum yang telah
dilakukan masyarakat Bosnia. Namun hal ini kemudian di tentang keras oleh etnis Serbia.
Sehingga konflik ini kemudian menjadi konflik antar etnis. Yaitu antara etnis Serbia dan etnis
Bosnia yang memang memiliki banyak perbedaan terutama soal keyakinan. Konflik ini
kemudian semakin besar mengingat ada upaya-upaya dari etnis Serbia yang didukung oleh
tentara dan presidennya untuk melakukan pembersihan etnis terhadap etnis Bosnia. Konflik
ini semakin meningkat ketika Serbia membombardir ibukota Bosnia, Sarajevo dan kota
lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan disiksa dalam kamp–
19
kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda dan gadis kecil Bosnia diperkosa. Data
menyebutkan bahwa korban etnis Serbia sepanjang perang ini mencapai 200.000 orang yang
terbunuh. Dunia pada saat itu dipenuhi oleh korban penyembelihan dan kuburan massal yang
menakutkan yang ditimpakan Serbia kepada etnis Bosnia. Sampai pada awal 1993, konflik
antara Serbia dan Bosnia masih belum reda walaupun pasukan penjaga perdamaian PBB yang
terdiri atas tentara Amerika Serikat, Inggris, Perancis telah melakukan operasi pemeliharaan
perdamaian. Pembantaian ribuan etnis Serbia di Srebrenica pada Juli 1995 juga menjadi
konflik ini semakin berkepanjangan. Dan menyebabkan dinamika konflik Bosnia semakin
meningkat. Sekitar 8.000 etnis Bosnia, yang sebagian besar adalah pria dan anak laki-laki,
dibantai dalam aksi yang paling biadab dalam sejarah Eropa. Pembantaian berlangsung saat
pasukan Serbia menyerang wilayah aman dalam perlindungan PBB, yakni Srebrenica.
Pasukan Belanda yang berjaga di sana tidak mampu berbuat apa pun. Dalang pembantaian itu
Radovan Karadzic, yang saat itu menjabat pemimpin perang Bosnia Serbia, dan Jenderal
Ratko Mladic. Pembantaian ini dimulai ketika para pengungsi yang berasal dari etnis Serbia
melakukan pelarian ke wilayah Srebrenica. Para pengungsi ini menyangka bahwa wilayah
Srebrenica merupakan wilayah aman karena dijaga oleh pasukan NATO. Namun, ternyata itu
hanyalah tipuan dari tentara serbia untuk melakukan pembunuhan massal terhadap etnis
Bosnia. Di wilayah ini kemudian ditemukan kuburan massal etnis bosnia yang di kubur
secara massal oleh tentara Serbia.
Bosnia dan Herzegovina di wilayah Lembah Lasva. Dalam kapasitasnya sebagai komandan
angkatan Bosnia Kroasia, Balskic didakwa melakukan 6 jenis pelanggaran HAM seperti
diatur dalam konvensi Jenewa 1949, pasal 2 statuta ICTY, 11 jenis pelanggaran atas
kebiasaan perang, dimana penuntut menarik dakwaannya, dan 3 jenis kejahatan kemanusiaan
(crimes against humanity). Adapun beberapa pelanggaran tersebut antara lain, penganiyaan
(persecution), serangan ilegal terhadap penduduk sipil dan harta benda mereka, menyandera
warga sipil, pembunuhan sengaja (wilful killing), secara sengaja menyebabkan penderitaan
berat atau luka badan yang serius, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, serta
penghancuran dan perampasan harta penduduk sipil. Jenderal Tihomir Blaskic dikenai
dakwaan pelanggaran HAM berat berdasarkan kejahatan perang yang merupakan
pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949 (pasal 2 statuta ICTY) yaitu:“ Pengadilan
Internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melakukan atau
memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12
Agustus 1949, terhadap seseorang atau harta benda yang dilindungi oleh pasal-pasal dalam
Konvensi Jenewa yang terkait dengan pelanggaranpelanggaran dibawah ini: 1. Pembunuhan
dengan sengaja (wilful killing). 2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk
eksperimen biologi. 3. Secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius atau
membahayakan kesehatan. 4. Penghancuran secara besar-besaran atas harta benda secara
tidak sah dan sewenang-wenang dan dilakukan bukan karena alasan keterdesakan militer. 5.
Memaksa tahanan perang atau warga sipil untuk terlibat dalam peperangan. 6. Secara sengaja
mencabut hak-hak tahanan perang atau warga sipil atas pengadilan yang adil (fair trial). 7.
Deportasi atau trasfer tidak sah atau penahanan ilegal atas warga sipil. 8. Menyandera warga
sipil.
Satu kasus lain yang dapat dilihat yaitu pelanggaran terhadap kebiasaan perang yang
dilakukan oleh Anto Furundzija, komandan lokal pada unit khusus polisi militer pada Dewan
Pertahanan Kroasia, dan dikenal sebagai “jokers”. Ia didakwa melakukan dua jenis
pelanggaran atas hukum atau aturan perang. Sebagai salah satu pelaku penyiksaan dan
membantu serta bersekongkol melakukan serangkaian kekerasan terhadap martabat pribadi,
termasuk pemerkosaan. Berdasakan kejahatan perang yang dilakukannya, Furundzija
didakwa melanggar pasal 75 ayat 2 mengenai jaminan-jaminan dasar dalam protokol
tambahan II Konvensi Jenewa 1949 yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang
meliputi pembunuhan, pemerkosaan, penyanderaan, dan lain-lain tetap dilarang dalam waktu
21
dan di tempat apapun6. Dakwaan ini dipertegas dengan pasal 3 dalam statuta ICTY yang
menekankan pada kejahatan perang dan pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang. Pasal
tersebut menegaskan bahwa “ Pengadilan Internasional harus memiliki kekuasaan untuk
mengadili orang-orang yang melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut
dapat meliputi, tapi tidak terbatas pada penggunaan senjata beracun, penghancuran kota,
serangan atau bombardir, penggusuran, dan perampasan terhadap harta milik pribadi”.
Penjelasan diatas hanya menceritakan sebagian kecil dari dakwaan hukuman yang diterima
oleh para penjahat perang atau pelanggar hukum humaniter internasional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perang tidak hanya didasarkan pada kepentingan dan kemenangan
belakan, namun harus juga memikirkan nilainilai kemanusiaan. Dakwaan terhadap
kekejaman perang bukan hanya ancaman belaka, fakta diatas menunjukkan bahwa penjahat
perang dapat didakwa sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.
Hak asasi manusia merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh setiap
manusia yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
keberadaannya sangat kodrati. Namun, kendati hak asasi manusia merupakan hal yang paling
esensial, namun tetap saja kerap ditemukan kasus pelanggaran terhadapnya. Hukum
humaniter yang sering disebut juga sebagai hukum perang juga menyimpan korelasi yang
cukup erat dengan hak asasi manusia. Hukum humaniter sejatinya berisikan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dalam situasi perang. Eksistensi hukum humaniter semakin
menguatkan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai asasi tidak hanya pada saat damai
namun juga pada situasi genting seperti perang. Bila melihat pada kasus yang terjadi pada
Bosnia-Serbia, maka pelanggaran terhadap penghormatan atas nilai-nilai dasar manusia pun
terabaikan. Pada banyak kasus konflik yang terjadi, hampir tidak ditemui konflik yang bebas
dari pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan pihak yang terlibat konflik sedang
berada dibawah kontrol atau kesadaran yang rendah, yang mengakibatkan pelanggaran
dengan mudah terjadi. Konvensi Jenewa 1949 mencatat ada beberapa tindakan pelanggaran
dalam perang yang dapat dikategorikan sebagai tindakan berat atas pelanggaran hak asasi
manusia yaitu Genosida, Kejahatan Terhadap kemanusiaan, tindak pidana perang, dan
kejahatan agresi. Tindakan seperti penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan lain sebagainya
dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan dan pidana menurut hukum humaniter.
Sedangkan agresi dapat dikaitkan dengan bentuk penyerangan yang menyebabkan
kehancuran dan pengrusakan yang tidak semestinya seperti rumah ibadah, rumah sakit,
22
lumbung makanan, dan fasilitas umum untuk masyarakat lainnya. Tindakan genosida juga
dianggap terjadi atas kasus konflik Yugoslavia ini. Mengingat genosida adalah tindakan yang
dilakukan secara sistematis untuk menghilangkan atau memusnahkan suatu kelompok suku,
etnis, atau golongan tertentu. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa muslim Bosnia
menjadi kelompok minoritas diantara kelompok lainnya di Yugoslavia.
a. Tihomir Blaskic (Jenderal Bosni-Kroasia) Atas dakwaan 6 jenis pelanggaran HAM berat
seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, mantan Jenderal besar tersebut kemudian
23
dijatuhi hukuman sampai 45 tahun penjara. Namun, pada tahun 2004, Mahkamah Kejahatan
Perang untuk bekas Yugoslawia, dalam sidang banding melonggarkan sanksi terhadap
mantan Jendral Bosnia-Kroasia, Tihomir Blaskic. Tadinya Blaskic djatuhi hukuman 45 tahun
penjara. Sekarang majelis hakim menurunkan sanksinya menjadi 9 tahun penjara. Dalam
kebanyakan butir-butir gugatan, Blaskic dinyatakan tidak bersalah. Pada instansi pertama,
Blaskic dijatuhi hukuman 45 tahun penjara dengan tuduhan memerintahkan serangan
terhadap masyarakat sipil. Para pengacaranya kemudian mengajukan naik banding dan
menyatakan kliennya tidak bersalah10.
c. Zlatko Aleksovski (Komandan penjara) Ia dinyatakan bersalah karena telah membantu dan
bersekongkol (aiding and abetting) dalam perkara ini. Sidan banding (appeals chamber)
menaikkan hukumannya menjadi 7 tahun penjara.
e. Drago Josipovic (Tentara HVO) Ia didakwa oleh sidang pengadilan atas penganiyaan,
pembunuhan, dan tindakan tidak manusiawi seperti kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia
dijatuhi hukuman 10, 15, dan 10 tahun penjara. Sidan banding menyetujui permohonan
bandingnya dan mengurangi hukumannya menjadi 12 tahun penjara.
A.S. harus tetap terpelihara. Sehingga rencana perdamaian yang di buat bersifat amat
terbatas, yaitu hanya mencakup usaha menyelesaikan konflik melalui pengindentifikasian
kembali wilayah dan membaginya sesuai pembagian yang di setujui PBB saat Bosnia
memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka dan diterima sebagai anggota PBB. Akan
tetapi rencana perdamaian tetap tidak membawa hasil yang berarti karena antara kelompok
muslim dengan pihak Serbia tetap menolak garis-garis betas provinsi yang membagi Bosnia
menjadi 10 provinsi semiotonom.
Sementara itu Sekretaris Jendral (sekjen) PBB, Boutros Boutros Ghali, pada
Mei 1993 mengusulkan rancangan pembentukan Mahkamah Internasional Kejahatan Perang
kepada DK PBB. Rancangan itu memang ditunggu sesuai dengan Resolusi DK PBB no.808,
22 Februari 1993 yang menghendaki Sekjen PBB dalam waktu 60 hari setelah resolusi itu,
merancang pembentukan Mahkamah Internasioanl kejahatan Perang. Mahkamah ini terdiri
dari 2 majelis siding dan sebuah majelis banding. Kemudian seorang jaksa dan seorang hakim
yang dipilih oleh Sidang Umum PBB dari sebuah draft yang diserahkan DK. Para hakim,
masing-masing akan bertugas selama 4 tahun dan bias dipilih kembali. Sedangkan jaksa yang
bertanggung jawab atas penyelidikan, akan ditunjuk DK dari daftar nominasi yang dibuat
Sekjen PBB. Mahkamah ini dibentuk khusus untuk mengadili penjahat perang di bekas
Yugoslavia sejak 1 Januari 1991.
tidak ditanggung oleh PBB, melainkan ditanggung oleh masing-masing anggota NATO.
NATO melakukan operasi udara untuk melindungi pasukan PBB di Bosnia, dengan
mengerahkan 60 pesawat tempur dan pengebom milik A.S., Perancis, Inggris, Belanda.
Tetapi patroli NATO tersebut tidak terlalu membatasi gerak agresi Serbia terhadap Bosnia
karena Serbia lebih mengandalkan pasukan daratnya. Akan tetapi seluruh tindakan PBB
dalam upaya menyelesaikan konflik Bosnia-Herzegovina tidak lepas dari pengaru A.S.
sebagai Negara adi daya. Dimana A.S. selalu mengkaitkan pelaksanaan HAM dengan
kebijakan bantuan luar negerinya. Tetapi dilain pihak, tekanan A.S. terhadap negara
pelanggar HAM dilaksanakan sejauh ada kaitan langsung dengan kepentingannya. Seperti
yang terjadi pada Bosnia-Herzegovina, pada awal terjadinya konflik A.S. terlihat enggan
melakukan tindakan karena tidak adanya kepentingan ekonomi A.S. di Bosnia. Tetapi karena
adanya tekanan dari masyarakat internasional, maka untuk menjaga citranya sebagai polisi
dunia, A.S. mulai berperan dalam tindakan-tindakan PBB untuk menyelesaikan konflik di
Bosnia-Herzegovina.
BAB IV
PENUTUPAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
26