Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


Studi Kasus : Ethnic Cleansing Boznia (1992-1995)

Disusun oleh :
1. Almadian Julianti R. 2018230102
2. Mahfira Maulani 2018230033
3. Elisa Merdeka 2018230103
4. M. Riyan Styawan 2018230093
5. Deeve Chrisdean Pohan 2015230123

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU


SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hak
Asasi Manusia dalam Hukum Internasional. Studi Kasus : Ethnic Cleansing Boznia (1992-
1995).

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata
Kuliah Hukum Internasional. Makalah ini membahas mengenai Hal Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional dan Bagaimana Hukum Internasional tersebut mempengaruhi negara,
Individu maupun kelompok dalam penegakan Hak Asasi Manusia. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yaitu.. serta pihak-pihak terkait
yang telah membantu menyelesaikan makalah. Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................i

DAFTAR
ISI...........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................................................1


1.2 Rumusan
Masalah .............................................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................................................2
1.4 Manfaat..............................................................................................................................................2

BAB II TEORI DAN


KONSEP.............................................................................................................3

2.1 Teori
Liberalisme ..............................................................................................................................3
2.2 Konsep Hak Asasi Manusia...............................................................................................................4
2.3 Konsep Genosida...............................................................................................................................6
2.4 Konsep Hukum Humaniter
Internasional...........................................................................................6

BAB III
PEMBAHASAN.......................................................................................................................8

3.1 Hak Asasi Manusia dalam Konteks Hukum Internasional................................................................8


3.2 Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional dalam
Perkembangannya........................................15
3.3 Perlindungan HAM menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Pelanggaran HAM berat; Ethnic
Cleansing Boznia 1992-
1995) .........................................................................................................18
3.3.1 Kejahatan Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum
Humaniter...................................19
3.3.2 Konflik Bosnia-Serbia dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia.....................................21
3.3.3 Pengadilan Pidana Internasional dan Putusan
Hukuman.............................................21
3.3.4 Tindakan PBB dalam Konflik
Bosnia............................................................................23

BAB IV
PENUTUP...............................................................................................................................26

ii
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................................26
4.2 Saran................................................................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang


pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara,
organisasi internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antarbangsa di dunia meliputi tidak
hanya kepentingan ekonomi, politik dan militer tapi juga kepentingan sosial dan budaya.
Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai peran ganda sebab dapat
menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga menyediakan
sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan. Brwonlie menggambarkan “kedaulatan” sebagai
doktrin konstitusional yang pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya, kedaulatan mewakili
totalitas hak-hak negara dalam menjalankan hubungan luar negrinya dan menata urusan-
urusan dalam negerinya. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua negara bebas sepenuhnya
menjalankan kedaulatan dan kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam negri
mengingat mereka tunduk pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap kegiatan
mereka oleh hukum internasional.

Pelanggaran HAM berat pada urnumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran
HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban
manusia. Salah satu bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi
Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun 1949, genosida berarti tindakan dengan
kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau
agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu: (a) Mernbunuh anggota keloinpok;
(b) Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Secara
sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuraa fisik secara
keseluruhan atau sebagian; (d) Mernaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk
mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak
kelompok tersebut ke kelompok lain.

Dalam hal ini, konflik yang terjadi antara etnis Bosnia dan etnis serbia berawal dari
keinginan masyarakat Bosnia untuk memerdekakan diri dari wilayah Serbia. Akibat dari
jatuhnya kekuatan negara Yugoslavia menjadi beberapa negara. Sehingga Bosnia yang
merupakan bagian wilayah dari Yugoslavia juga berusaha untuk memerdekakan dirinya. Hal

1
ini yang kemudian ditentang oleh masyarakat Serbia yang tetap menginginkan Bosnia
menjadi wilayah dari negara Serbia. Hal ini disebabkan karena letak etnis Serbia
menginginkan menguasai wilayah Bosnia dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Hal ini menyingkirkan etnis asli Bosnia yang tidak menginginkan Bosnia kembali menguasai
mereka. Konflik ini kemudian semakin besar mengingat ada upaya-upaya dari etnis Serbia
yang didukung oleh tentara dan presidennya untuk melakukan pembersihan etnis terhadap
etnis Bosnia. Konflik ini semakin meningkat ketika Serbia membombardir ibukota Bosnia,
Sarajevo dan kota lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan
disiksa dalam kamp–kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda dan gadis kecil Bosnia
diperkosa.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, maka rumusan masalah yang dimuat dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing Bosnia
berdasarkan Hukum Internasional?”

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai adalah sebagai berikut:

“ Untuk mengetahui proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing
Bosnia berdasarkan Hukum Internasional”

1.4 Manfaat

Suatu penulisan karya ilmiah akan sangat berguna apabila dapat memberikan manfaat bagi
orang lain maupun instansi dimana penelitian tersebut dilakukan. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

“Makalah ini dapat memberi tambahan wacana serta manfaat dalam menjalankan dan
memahami proses proses penyelesaian Konflik Pelanggaran HAM Berat Ethnic Cleansing
Bosnia berdasarkan Hukum Internasional
BAB II
TEORI DAN KONSEP

2.1 Teori Liberalisme

Dalam studi hubungan internasional, liberalisme adalah perspektif tandingan utama (a

rival perspective – a nemesis) dari perspektif realisme. Kedua perspektif ini secara dominan

telah mewarnai studi ilmu hubungan internasional, termasuk menjadi cikal bakal munculnya

teori-teori hubungan iinternasional alternatif. Liberalisme, seperti halnya juga realisme,

tumbuh dari suatu tradisi sejarah pemikiran panjang dengan klaim yang kuat untuk menjadi

sebuah cara pandang alternatif – historical alternative (Dugis, 2016:55).

Terdapat beberapa pengertian tentang liberalisme. Pertama, liberalisme diartikan

sebagai ideologi yang menjunjung tinggi kebebasan individu, di samping itu liberalisme

diartikan sebagai teori dari pemerintah, yang berusaha memberikan ketertiban dan keadilan

dalam masyarakat tertentu (Dunne, 2001:163). Lebih lanjut lagi dalam Jack and Sorensen

(2014) menyatakan liberalisme sebagai suatu perspektif tentang yang memiliki pandangan

positif tentang sifat manusia. Clark (1989) dalam Dunne (2001:163) mengatakan bahwa

perspektif liberalisme sebagai perspektif yang optimisme. Sedangkan Wardhani (2014)

dalam penjelasannya, perspektif liberalisme adalah perspektif hubungan internasional yang

berfokus pada permasalahan international peace dan human rights.

Liberalisme sebagai suatu perspektif berawal dari John Locke di abad ketujuh belas

yang melihat perkembangan negara-negara dalam menjamin kebebasan tiap individu

(Jackson and Sorensen, 2014:174). Namun, apabila dipandang dalam perspektif keilmuan,

liberalisme baru muncul pada awal abad kedua puluh, sebagai adanya rasa trauma dari

terjadinya perang dunia. Hoffman (1987) dalam Dunne (2001:163) mengatakan esensi

dalam liberalisme adalah pengendalian diri, moderasi, kompromi dan perdamaian. Terdapat

tiga asumsi liberalisme antara lain yang pertama pandangan sifat positif manusia, yang

3
kedua

4
keyakinan akan hubungan internasional yang dapat menjadi kooperatif daripada konfliktual,

dan yang ketiga percaya terhadap kemajuan (Jackson and Sorensen, 2014:175).

Menurut Knud Erik Jorgensen dalam bukunya International Relations Theory – A

New Introduction (2017:66-68), mengemukakan bahwa liberalisme memiliki lima

karakteristik utama. Pertama, teori liberal memiliki keyakinan kuat dalam akal manusia.

Kekuatan akal dapat membebaskan manusia untuk dapat memahami dan membentuk

masyarakat tanpa ketergantungan pada makhluk lain. Kedua, jika para realis percaya kepada

pengulangan sejarah (cyclical of history), para pemikir liberal lebih mempercayai

kemungkinan dari kemajuan sejarah (historical progress), termasuk kemungkinan untuk

mereformasi hubungan internsional. Ketiga, liberal berfokus pada keterkaitan negara-

masyarakat (state-society linkages) dan mengklaim adanya hubungan yang erat antara

institusi dan politik domestik dengan politik internasional sebab keduanya penting dan tidak

terpisahkan. Keempat, dengan meningkatnya interdependensi ekonomi antarnegara akan

mengurangi kemungkinan terjadinya konflik atau perang. Kelima, para pemikir liberal

menekankan pada pengaruh positif dari proses-proses pelembagaan hubungan internasional.

2.2 Konsep Hak Asasi Manusia

Menurut United Nations Human Rights Hak Asasi Manusia(HAM) adalah hak yang

melekat pada semua manusia, apapun kewargenegaraannya, tempat tinggal, jenis kelamin,

asal kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Pada dasarnya

Hak Asasi Manusia adalah prinsip atau norma moral yang menggambarkan standar perilaku

manusia tertentu dan secara teratur dilindungi sebagai hak alami dan hukun di dalam hukum

Internasional.

Hak Asasi Manusia berlaku di mana-mana dan setiap saat dalam artian bahwa Hak

Asasi Manusia bersifat Universal dan Egaliter yang berarti bahwa Hak Asasi Manusia

berlaku bagi setiap orang. Hak Asasi Manusia dianggap membutuhkan empati dan
5

supremasi hukum HAM juga memaksakan kewajiban pada seluruh orang untuk

menghormati hak asasi orang lain, dan secara umum tidak boleh diambil kecuali sebagai

akibat dari proses yang adil berdasarkan keadaan tertentu. Hak Asasi Manusia pun

mencakup beberapa hal seperti:

1. Hak untuk hidup.

2. Kebebasan dari pemenjaraan yang tidak sah, penyiksaan, dan eksekusi.

3. Kebebasan dari kerja paksa dan perbudakan.

4. Hak untuk kebebasan dan keamanan individu.

5. Hak untuk para narapidana untuk diperlakukan secara manusiawi.

6. Kebebasan bergerak.

7. Hak untuk privasi.

8. Kebebasan untuk memiliki kepercayaan dan agama.

9. Kebebasan untuk berpendapat.

10. Hak untuk menikah dan memiliki keluarga.

11. Hak untuk mengikuti kegiatan publik, memilih, serta dipilih untuk menjadi pejabat.

Doktrin Hak Asasi Manusia sangat berpengaruh didalam hukum internasional dan

institusi global maupun regional. Tindakan oleh negara dan organisasi non-pemerintah

membentuk dasar kebijakan publik di seluruh dunia. Gagasan Hak Asasi Manusia

menunjukan bahwa “apabila wacana publik masyarakat global di masa yang damai dapat

dikatakan memiliki bahasa moral yang sama, itu adalah Hak Asasi Manusia”. Klaim kuat

yang dibuat oleh doktrin Hak Asasi Manusia terus memprovokasi skeptisisme dan

perdebatan mengenai konten, sifat, serta pembenaran Hak Asasi Manusia hingga hari ini.

Hak Asasi Manusia pun diabadikan di dalam konvensi Jenewa dan berbagai perjanjian

yang dipaksakan dari PBB dapat ditegakkan dalam hukum. Dalam praktiknya, banyak hak

yang sangat sulit untuk ditegakkan secara hukum karena tidak adanya konsensus mengenai
6

penarapan hak-hak tertentu, kurangnnya perundang-undangan nasional yang relevan atau

badan-badan yang diberdayakan untuk mengambil tindakan hukum untuk mengakkan

HAM.

2.3 Konsep Genosida

Genosida adalah tindakan yang disengaja untuk menghancurkan orang (biasanya

didefinisikan sebagai kelompok etnis, nasional, ras, atau agama) secara keseluruhan atau

sebagian. Istilah Genosida diciptakan oleh Raphael Lemkin dalam bukunya 1944 Axis Rule

in Occupied Europe. Genosida berasal dari kata Yunani kuno Genos yang berarti Ras atau

Orang dan bahasa Latin Caedere yang berarti membunuh.

Konvensi Genosida PBB yang didirikan pada tahun 1948, mendefinisikan genosida

sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan, secara keseluruhan atau

sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama termasuk pembunuhan anggotanya, yang

menyebabkan kerusakan tubuh atau mental yang serius bagi anggota kelompok, mencegah

kelahiran, atau secara paksa memindahkan anak-anak keluar dari kelompok dan masuk ke

kelompok lain.

Setelah Holocaust, yang telah dilakukan oleh Nazi Jerman sebelum dan selama Perang

Dunia ke-2, Lemkin berhasil berkampanye untuj penerimaan universal hukum internasional

yang mendefinisikan dan melarang Genosida. Pada tahun 1946, sesi pertama Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi reolusi yang menegaskan bahwa Genosida adalah

kejahatan berdasarkan hukum internasional dan menyebutkan contoh-contoh peristiwa

semacam itu.

2.4 Konsep Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang mencoba untuk

membatasi efek konflik bersenjata dengan alasan kemanusiaan. Hal ini dilakukan demi

melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan dan
7

membatasi cara serta metode peperangan. Hukum Humaniter Internasional juga dikenal

sebagai hukum perang atau hukum konflik bersenjata.

Hukum Humaniter Internasional terinspirasi oleh pertimbangan kemanusiaan dan

pengurangan penderitaan manusia. Hukum ini terdiri dari seperangkat aturan yang

ditetapkan oleh perjanjian atau kebiasaan yang berusaha untuk melindungi orang dan

properti atau objek yang dapat dipengaruhi oleh konflik bersenjata. Sumber-smber dari

Hukum Humaniter Internasional termasuk di dalam perjanjian internasional (Konvensi

Jenewa), Hukum Internasional, dan Prinsip-prinsip umum suatu negara. Hukum Humaniter

Internasional juga mendefinisikan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang

berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat dalam peperangan

Hukum ini pun juga meliputi orang-orang yang dilindungi yang biasanya non-kombatan.

Hukum ini pun juga dirancang untuk menyeimbangkan kebutuhan kemanusiaan dan

kebutuhan militer, dan subyek peperangan dengan aturan hukum untuk membatasi efek

destruktif dan mengurangi penderitaan manusia. Pelanggaran serious dari Hukum

Humaniter Internasional disebut sebagai Kejahatan Perang.

Selama konflik, hukuman karena melanggar hukum perang dapat terdiri dari

pelanggaran hukum perang yang spesifik, disengaja dan terbatas sebagai pembalasan.

Kombatan yang melanggar ketentuan khusus hukum perang akan kehilangan perlindungan

dan status yang diberikan kepada mereka sebagai tawanan perang, tetapi hanya setelah

menghadapi “Pengadilan yang kompeten”. Disaat itu mereka dilabel menjadi kombatan

yang tidak patuh terhadpa hukum, akan tetapi mereka tetap harus diperlakukan secara

manusiawi, dan saat diadili mereka harus disidang secara adil. Setelah konflik berakhir,

orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum perang, dan terutama kekejaman

perang dapat dimintai pertanggungjawaban individu atas kejahatan perang melalui proses

hukum.
8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hak Asasi Manusia dalam Konteks Hukum Internasional

Setelah Perang Dunia ke-II, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM)
mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan
berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, nasional, dan individu ketika
menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan
antarbangsa di dunia meliputi tidak hanya kepentingan ekonomi, politik dan militer tapi juga
kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak
terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam konteks ini, Piagam Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa "PBB akan memajukan
penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua
bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama" (Pasal 55c Piagam
PBB). Selain itu pada bulan Desember tahun 1948, Majelis Umum PBB menerima dan
mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norrna-
norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma
HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku
pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara.

Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi
lahirnya HIHAM seperti Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun 1948;
Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; Konvensi Internasionai Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya; Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia;
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Anak; dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi internasional
tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan Undang-Undang
HAM Internasional (International Bill of Rights). Secara kronologis tiga tahapan penyusunan
International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang menetapkan
bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian ketentuan
Konvensi yang rnengikat negara-negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan
tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian

8
9

dari konvensi-konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dan
karena itu sudah rnenjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Konvensi-konvensi
internasional yang telah diratifikasi itu, antara lain Konvensi Internasional Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia; Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial; Konvensi Internasional Mengenai PenghapusairSegala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan; Konvensi Internasional Tentang Hak Anak; dan berbagai
Konvensi International Labour Organization (ILO) lainnya. Apabila mencermati substansi
konvensi-konvensi internasional HAM tersebut di atas, tidak akan rnenemukan suatu definisi
tunggal yang menjelaskan pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada
urnumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak
buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida Tahun 1949, genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian
atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan
berikut ini yaitu: (a) Mernbunuh anggota keloinpok; (b) Menyebabkan cacat tubuh atau
mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Secara sengaja dan terencana
mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuraa fisik secara keseluruhan atau sebagian;
(d) Mernaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam
kelompok tersebut; (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke
kelompok lain. Meaurut Geoin-ey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas cukup
luas di mana tennasuk didalamnya perbuatan perabersihan etnis dan pernbersihan massal
agama. Akan tetapi, definisi itu tidak menyentuh pernbantaian terhadap suatu kelas ekonomi
tertentu (kaurn Kulaks) dan jutaan orang yang dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh
Stalin. Definisi genosida tersebut di atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang
yang mempunyai keyakinan politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer.
Misalnya, atas dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris rnenolak untuk rnernenuhi tuntutan
Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena membantai
kelompok sayap kiri di Chili.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu definisi tunggal yaag memadai
untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran HAM berat. Berbagai
bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan dalarn satu definisi hukum. Piagam
10

Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menyebutkan kejahatan yang dapat


dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagai berikut:

1. Kejahatan terhadap perdarnaian (crimes against peace). Terrnasuk kejahatan


terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mernpersiapkan, mernulai, atau menjalankan
perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-
persetujuan atau jarninan-jarainan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau koniplotaa
untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.

2. Kejahatan Perang (War Crimes). Terniasuk kejahatan perang ialah: pelanggaran


terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan
kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara
paksa, atau di wilayah pendudukan mernperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam,
membunuh mereka, atau mernperlakukan orang di laut secara demikian; rnerampas milik
Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan cara berlebihan atau
sernau-rnaunya, atau menibinasakan tanpa adanya keperluan militer.

3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity). Termasuk kejahatan


terhadap keraanusiaan ialah pembunuhan (murder), membinasakan, memperbudak,
mengasingkan dan Iain-lain kekejaman di luar perikeinanusiaan terhadap penduduk sipil,
yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-
alasan politik, ras atau agarna. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, mengbasut dan
membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersazna
komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut beitanggung jawab atas perbuatan
orang-orang yang melakukan rencana tersebut. Menurut pasal 6 Piagani Pengadilan Militer
Internasional tersebut para pernimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu yang
berpartisipasi untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi imtuk melakukan
kejahatan tersebut di alas, tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut. Pengadilan Intemasiona! untuk penuntutan
orang-orang yang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran serius bukum humaniter
internasional di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991 (International Tribunal For The
Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law
Committed In The Territory Of The Former Yugoslavia Since 1991 - ICTY ) dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 827 Tahun 1993, menyebutkan berbagai
bentuk pelanggaran serius atau berat HAM, yang berada di bawah kompetensi pengadilan
11

tersebut, yaitu: 1. Kejahatan Genosida; 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta


Pengadilaa Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR) menyebutkan pula kompetensinya
atas kejahatan genosida dan kejabatan terhadap kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan ini
dinilai sebagai suatu pelanggaran serius atau berat HAM oleh inasyarakat internasional
karena dampak buruknya yang luar biasa dahsyat bagi jiwa, raga dan peradaban manusia.
Upaya masyarakat internasional untuk rnemperbaiki sistem perlindungan HAM dengan cara
mengadili dan menghukuni para pelaku pelanggaran HAM berat rnencapai puncaknya ketika
pada tanggal 17 Juli 1998 Konferensi Dipioniatik PBB mengesahkan Statuta Roma Tentang
Pengadilan Kejahatan InternasionaL Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar
sebagai berikut:

"Menyadari bahwa seinua orang dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan


mereka bertaut kembali da lam suatu warisan bersama, dan keprihatinan bahwa niosaik yang
rapuh ini dapat hancur setiap saat; Menyadari bahwa dalani abad ini berjuta-juta anak,
perempuan, dan laki-laki telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat
mengguncang nurani kemanusiaan; Mengakui bahwa kejahatan yang sangat keji tersebut
mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia; Menegaskan bahwa kejahatan
paling serius yang menjadi perhatian masyarakat intemasional secara keseluruhan tidak boleh
dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan
mengarnbil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama
internasionai, bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukurn (impunity) bagi para
pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan
tersebut; Mengingat bahwa merupakan tugas setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi
kejahatannya terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan internasiona!."

Pengadilan Kejahatan internasionai yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma


mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan pelanggaran HAM berat
yaitu:

1. Kejahatan genosida;

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;

3. Kejahatan perang;

4. Kejahatan agresi.
12

Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer
Intemasional Nuremberg menganut asas pertanggung jawaban individu. Yang berarti tanpa
memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam
perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggung jawaban individu itu telah
dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasionai (International Law Commission) pada tanggal
29 Juli 1950 sebagai berikut: 1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang
inerupakan suatu kejahatan interaasional bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus
dihukum. 2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancani dengaa pidana atas
perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurui hukum internasional tidaklah
membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggung jawab menunit hukum
internasional. 3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan nienurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat
Penierintah yang bertanggung jawab, tidak membebaskan dia dari tanggung jawab menunit
hukum internasional. 4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk
melaksanakan perintah dari Penierintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia
dari tanggung jawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice)
yang bebas dimungkinkan olehnya. Dalam upaya untuk memeriksa, mengsadili, dan
rnemutuskan pelanggaran HAM berat itu, Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg dan Statuta ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu
diperlakukan terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda
dari Piagam Nuremberg dan Statuta ICTY, Statuta Roma naenganut asas tidak berlaku surut
(non-retroactive).

Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai peran ganda
sebab dapat menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga
menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan. Brwonlie menggambarkan
“kedaulatan” sebagai doktrin konstitusional yang pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya,
kedaulatan mewakili totalitas hak-hak negara dalam menjalankan hubungan luar negrinya dan
menata urusan-urusan dalam negerinya. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua negara bebas
sepenuhnya menjalankan kedaulatan dan kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam
negri mengingat mereka tunduk pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap kegiatan
mereka oleh hukum internasional. Semua negara sama-sama berdaulat, mak masingmasing
negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan Mahkamah Internasional,
kecuali negara tersebut memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya untuk mematuhi
13

keputusan itu. Sehingga begitu hak asasi manusia diangkat menjadi masalah yang menjadi
perhatian hukum internasional dan bukan lagi nasional, negara-negara yang bersangkutan
tidak lagi dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan masalah
yang berada dalam yurisdiksi domestiknya. Lalu individu sebagai subjek hukum
internasional. Menurut hukum internasional, individu secara pribadi dapat dianggap
bertanggung jawab terhadap kejahatan perang, genosida, penganiayaan dan apartheid. Namun
oleh Prof.nguyen Quoc Din individu hanya sebagai subjek hukum buatan. Karena kehendak
negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal tertentu sebagai
subjek hukum internasional. Hukum internasional masih tetap mengatur hubungan antar
negara dan subjek-subjek hukum lainnya, sedangkan individu dalam hal-hal tertentu.
Pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat bersamaan dengan
perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasiorganisasi
regional dan multilateral global. PBB telah membagi kegiatan dalam beberapa periode
sebagai berikut: a. Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal
HAM (1945-1948). b. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai
konvensi dan instrument HAM internasional (1949-1966). c. Periode pelaksanaan sistem,
yang dimulai dari pengesahan instrumen hingga konferensi Wina (1967-1993). d. Periode
perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995). e.
Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000). Dalam berbagai ketentuan yang
terdapat dalam Piagam, berkali-kali diulang penegasan bahwa PBB akan mendorong,
mengembangkan, dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi
dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa, dan
agama. Ketentuan ini diulang dalam pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal
62 ayat 2, pasal 68, dan pasal 76c. Semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-
kebebasan pokok ini dibahas oleh salah satu Komite Utama Majelis, yaitu Komite Tiga yang
menangani masalah-masalah HAM, kemanusian, social, dan kebudayaan. Majelis utama juga
dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan ekonomi dan social yang dapat
membuat rekomendasi agar terlaksananya penghormatan yang efektif terhadap hak-hak asasi
dan kebebasan-kebebasan pokok. Dewan ekonomi dan social dapat membentuk komisi, salah
satunya adalah Komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai Status Wanita.
Kedua komisi ini dibentuk pada tahun 1946. Komisi hak-hak manusia beranggotakan 53
negara, dan komisi status Wanita beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara. Ada dua badan
khusus PBB yang juga menangani HAM yaitu Organisasi buruh Sedunia (ILO), didirikan
tahun 1946. Bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat bekerja dan hidup para buruh melalui
14

penerimaan konvensi-konvensi internasional mengenai buruh dan membuat rekomendasi


standar minimum di bidang gaji, jam kerja, syarat-syarat pekerjaan dan jaminan social. Badan
khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada tahun 1945, untuk mencapi tujuan
meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan , ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal penghormatan terhadap peraturan
hukum, hak-hak asasi dan kebebasan-kebasan pokok. Menurut sistem PBB, dalam upaya
pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga bidang utama yakni:

a. Upaya Pembakuan standar internasional

b. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM

c. Jasa nasehat dan kerja sama teknik

d. Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh negara,

maka terdapat enam Badan Pemantauan Instrumen, yakni:

e. Komite HAM: memantau hak-hak sipil dan politik.

f. Komite Ekonomi dan Sosial Budaya: memantau pelaksanaan hak-hak tersebut.

g. Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi: khusus memantau mengenai


bentuk diskriminasi.

h. Komite Anti penyiksaan: yang memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan.

i. Komite penghapusan diskriminasi terhadap wanita: memantau diskriminasi wanita.

j. Komite hak-hak Anak: khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak.

Majelis umum PBB mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi


Manusia (universal declaration of human rights) tanggal 10 desember 1948. Deklarsi ini
terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat mengalakkan dan menjamin
pengakuan yangefektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua
orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan
kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari
segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, asal-usul kebangsaan atau
15

social, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain. Pasal 3 sampai 21 menempatkan hak-
hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang. Hak-hak itu antara lain:

a. Hak untuk hidup

b. Kebebasan dan keamanan pribadi

c. Bebas dari perbudakan dan penghambaan

d. Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan.

e. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum diman saja sebagai pribadi

f. Hak untuk pengampunan hukum yang efektif

g. Bebas dari penangkapan, penahan, atau pembuangan yang sewenangwenang

h. Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak

i. Hak praduga tidak bersalah.

j. Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga,


tempat tinggal maupun surat-surat

k. Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik

l. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu

m. Bebas bergerak hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak
untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik.

n. Bebas berpikir berkesadaran dan beragama dan menyatakaan pendapat

o. Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

3.2 Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional dalam Perkembangannya

Pasal 22-27 berisikan hak-hak ekonomi social dan kebudayaan, hak ini antar lain: hak
atas jaminan social, hak untuk bekerja, hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat-
16

serikat buruh, hak atas istirahat, dan waktu senggang, hak atas standar hidup yang pantas di
bidang kesehatan dan kesejahteraan, hak atas pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam
kebudayaan masyarakat. Dari segi hukum deklarasi ini tidak mempunyai daya ikat seperti
deklarasi-deklarasi lainnya yang diterima Majelis Umum PBB. Sebaliknya ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam deklarasi tersebut banyak yang dimasukkan ke dalam legislasi
nasional masing-masing dan dijadikan tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu negara
melaksanakan hak-hak asasi manusia. Banyak ketentuan dalam deklarasi ini dapat diangap
sebagai hukum kebiasaan Internasional (Customary International Law). Setelah diterimanya
Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran untuk mengukuhkan pemajuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam dokumen-dokumen yuridik yang
mengikat negaranegara yang menjadi pihak. Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum
menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu International Covenant on
Economics, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political
Rights. Yang baru dalam perjanjian itu adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan
nasib sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara
bebas seperti tercantum dalam pasal 1 perjanjian. Perjanjian internasional mengenai Hak-hak
Ekonomi, Sosial, da Budaya mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan
Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara perjanjian internasional ini berupaya
meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu: a. Hak untuk bekerja dalam kondisi yang
adil dan menguntungkan; b. Hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar
kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; c. Hak atas pendidikan dan hak
untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. d.
Selanjutnya tahun 1985, Dewan Ekonomi dan Sosial melengkapi Perjanjian dengan
membentuk Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang terdiri dari 18 pakar
independen di masing-masing bidang. Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan
Protokol Opsional Pertama mulai berlaku bulan Maret 1976.

Perjanjian hingga Desember 2003 telah diratifikasi 151 negara, dan protokol Opsional
Pertamanya telah diratifikasi 104 negara. Tanggal 15 Desember 1989, PB mengesahkan
Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk
menghapus hukuman mati. Mulai berlaku tangal 11 Juli 1991. Kovenan ini juga mempunyai
suatu Komite. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya beserta Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol
Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights.10 Deklarasi Unversal meberikan
17

inspiras terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak
asasi manusia antara lain konvensi tentang pencegahan dari penghukuman terhadap kejahatan
pemusnahan ras (convention on the protection and punishment of the crime of genocide)
tahun 1948. Konvensi ini menjadi jawaban terhadap kekejaman-kekejaman selam perang
dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk
menghancurkan kelompokkelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara
untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Convention Relating to The status of
refugees (konvensi tentang status pengungsi) tahun 1951. Menjelaskan mengenai hak-hak
dan kewajiban pengungsi. International convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination tahun 1966, dan hingga bulan desember 2003 telah diratifikasi lebih dari 169
negara. Konvensi ini menentang segala bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-
negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari
segi hukum maupun praktiknya. Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination againts Women 1979. Diratifikasi 175 negara. Konvensi ini memberikan
jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan
tindakantindakan untuk mengahppuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan
kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan,pendidikan, lapangan kerja, kesehatan,
perkawinan, dan keluarga. Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment tahun 1984, dan hingga Desember 2003 telah
diratifikasi 134 negara. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan
internasional dan meminta negara bertanggung jawab untuk mencegah penyiksaan dan
menghukum para pelaku. Konvensi mengenai hak-hak Anak (Convention on The Rights of
Child) tahun 1989. Menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan dan
kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka secara normal.
Diratifikasi 192 negara. Pengembangan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia untuk
semua orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah mengingat
keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial,
latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan pandangan
mengenai hak-hak asasi manusia paling tidak menampilkan dua konsepsi yang saling berbeda
yaitu mengenai individu dalam masyrakat dan hubungan antara orag-perorangan dan
kekuasaan. Bila konsepsi barat lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak pribadi,
sipil, politik. Konsepsi sosialis yang sampai akhir-akhir ini masih dipertahankan secara gigih
oleh negara-negara sosialis Eropa Timur lebih menonjolkan perana negara. Walaupun secara
prinsip tidak menolak hak-hak individu, konsepsi sosialis ini pertama-tama menempatkan
18

individu dalam hubunganya dengan masyarakat dimana individu tersebut adalah anggotanya.
Pengembangan dan perlindungan hak-hak asasi manusia tidak begitu menimbulkan masalah
di negara-negara perekonomian yang cukup maju. Di negara-negara berkembang terutama
yang paling ketinggalan, untuk kebutuhan pokok saja sulit dipenuhi sehingga sedikit sekali
tersedia peluang untuk mengembangkan hak-hak sipil dan politik. Kendala lainnya adalah
kendala teknis. Kenyataaan menunjukkan bahwa di antara konvensi-konvensi hak-hak asasi
manusia yang berlaku sekarang ada yang diratifikasi banyak negara dan ada pula yang masih
sedikit jumlah ratifikasinya. Selain itu terdapat pula ketidaksamaan waktu dan material.
Ketidaksamaan waktu adalah karena berbeda-bedanya tanggal mulai berlaku konvensi-
konvensi yang sama oleh negara-negara pihak. Ketidaksamaan material adalah banyak negara
yang menunda-nunda atau membatalkan penerimaan pengawasan pelaksanaan ketentuan-
ketentuan konvensi. Namun kendala-kendala tersebut tidak menghalangi perkembangan dan
perlindungan hak-hak asasi di berbagai pelosok dunia walaupun tidak secepat dan semulus
seperti yang diingikan.

3.3 Perlindungan HAM menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Pelanggaran HAM
berat; Ethnic Cleansing Boznia 1992-1995)

Konflik yang terjadi antara etnis Bosnia dan etnis serbia berawal dari keinginan
masyarakat Bosnia untuk memerdekakan diri dari wilayah Serbia. Akibat dari jatuhnya
kekuatan negara Yugoslavia menjadi beberapa negara. Sehingga Bosnia yang merupakan
bagian wilayah dari Yugoslavia juga berusaha untuk memerdekakan dirinya. Hal ini yang
kemudian ditentang oleh masyarakat Serbia yang tetap menginginkan Bosnia menjadi
wilayah dari negara Serbia. Hal ini disebabkan karena letak etnis Serbia menginginkan
menguasai wilayah Bosnia dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Hal ini
menyingkirkan etnis asli Bosnia yang tidak menginginkan Bosnia kembali menguasai
mereka. Konflik ini merupakan konflik lokal antara penduduk asli Bosnia yang
menginginkan kemerdekaan penuh bagi negara Bosnia sesuai dengan referendum yang telah
dilakukan masyarakat Bosnia. Namun hal ini kemudian di tentang keras oleh etnis Serbia.
Sehingga konflik ini kemudian menjadi konflik antar etnis. Yaitu antara etnis Serbia dan etnis
Bosnia yang memang memiliki banyak perbedaan terutama soal keyakinan. Konflik ini
kemudian semakin besar mengingat ada upaya-upaya dari etnis Serbia yang didukung oleh
tentara dan presidennya untuk melakukan pembersihan etnis terhadap etnis Bosnia. Konflik
ini semakin meningkat ketika Serbia membombardir ibukota Bosnia, Sarajevo dan kota
lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan disiksa dalam kamp–
19

kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda dan gadis kecil Bosnia diperkosa. Data
menyebutkan bahwa korban etnis Serbia sepanjang perang ini mencapai 200.000 orang yang
terbunuh. Dunia pada saat itu dipenuhi oleh korban penyembelihan dan kuburan massal yang
menakutkan yang ditimpakan Serbia kepada etnis Bosnia. Sampai pada awal 1993, konflik
antara Serbia dan Bosnia masih belum reda walaupun pasukan penjaga perdamaian PBB yang
terdiri atas tentara Amerika Serikat, Inggris, Perancis telah melakukan operasi pemeliharaan
perdamaian. Pembantaian ribuan etnis Serbia di Srebrenica pada Juli 1995 juga menjadi
konflik ini semakin berkepanjangan. Dan menyebabkan dinamika konflik Bosnia semakin
meningkat. Sekitar 8.000 etnis Bosnia, yang sebagian besar adalah pria dan anak laki-laki,
dibantai dalam aksi yang paling biadab dalam sejarah Eropa. Pembantaian berlangsung saat
pasukan Serbia menyerang wilayah aman dalam perlindungan PBB, yakni Srebrenica.
Pasukan Belanda yang berjaga di sana tidak mampu berbuat apa pun. Dalang pembantaian itu
Radovan Karadzic, yang saat itu menjabat pemimpin perang Bosnia Serbia, dan Jenderal
Ratko Mladic. Pembantaian ini dimulai ketika para pengungsi yang berasal dari etnis Serbia
melakukan pelarian ke wilayah Srebrenica. Para pengungsi ini menyangka bahwa wilayah
Srebrenica merupakan wilayah aman karena dijaga oleh pasukan NATO. Namun, ternyata itu
hanyalah tipuan dari tentara serbia untuk melakukan pembunuhan massal terhadap etnis
Bosnia. Di wilayah ini kemudian ditemukan kuburan massal etnis bosnia yang di kubur
secara massal oleh tentara Serbia.

3.3.1 Kejahatan Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum Humaniter

Konflik kemanusiaan di Yugoslavia juga tidak terlepas dari pelanggaran


kemanusiaan dan terhadap hukum humaniter. Berbagai pelanggaran yang dilakukan
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam konvensi
Jenewa. Adapun beberapa individu yang melakukan kejahatan perang tersebut yaitu Zlatko
Aleksovski (komandan penjara), Jenderal Tihomir Blaskic (komandan dewan pertahanan
kroasia), Anto Furundzija (komandan lokal), Mario Cerkez (mantan komandan), Drago
Josipovic (tentara HVO), Dario Kordic (pemimpin Regional), dan masih banyak lagi yang
diduga keras melakukan pelanggaran HAM. Kelompok kami tidak akan membahas semua
pelanggaran, kami hanya akan menganalisa dua kasus yang dianggap cukup mewakili
berbagai pelanggaran lain yang dilakukan. Salah satu pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
Jenderal Tihomir Blaskic. Ia adalah mantan komandan pada dewan pertahanan Kroasia
(Croatian Defense Council/HVO). Ia didakwa atas serangkaian kekejaman yang
dilakukannya terhadap kaum muslim Bosnia antara bulan Mei 1992 dan Januari 1994 di
20

Bosnia dan Herzegovina di wilayah Lembah Lasva. Dalam kapasitasnya sebagai komandan
angkatan Bosnia Kroasia, Balskic didakwa melakukan 6 jenis pelanggaran HAM seperti
diatur dalam konvensi Jenewa 1949, pasal 2 statuta ICTY, 11 jenis pelanggaran atas
kebiasaan perang, dimana penuntut menarik dakwaannya, dan 3 jenis kejahatan kemanusiaan
(crimes against humanity). Adapun beberapa pelanggaran tersebut antara lain, penganiyaan
(persecution), serangan ilegal terhadap penduduk sipil dan harta benda mereka, menyandera
warga sipil, pembunuhan sengaja (wilful killing), secara sengaja menyebabkan penderitaan
berat atau luka badan yang serius, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, serta
penghancuran dan perampasan harta penduduk sipil. Jenderal Tihomir Blaskic dikenai
dakwaan pelanggaran HAM berat berdasarkan kejahatan perang yang merupakan
pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949 (pasal 2 statuta ICTY) yaitu:“ Pengadilan
Internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melakukan atau
memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12
Agustus 1949, terhadap seseorang atau harta benda yang dilindungi oleh pasal-pasal dalam
Konvensi Jenewa yang terkait dengan pelanggaranpelanggaran dibawah ini: 1. Pembunuhan
dengan sengaja (wilful killing). 2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk
eksperimen biologi. 3. Secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius atau
membahayakan kesehatan. 4. Penghancuran secara besar-besaran atas harta benda secara
tidak sah dan sewenang-wenang dan dilakukan bukan karena alasan keterdesakan militer. 5.
Memaksa tahanan perang atau warga sipil untuk terlibat dalam peperangan. 6. Secara sengaja
mencabut hak-hak tahanan perang atau warga sipil atas pengadilan yang adil (fair trial). 7.
Deportasi atau trasfer tidak sah atau penahanan ilegal atas warga sipil. 8. Menyandera warga
sipil.

Satu kasus lain yang dapat dilihat yaitu pelanggaran terhadap kebiasaan perang yang
dilakukan oleh Anto Furundzija, komandan lokal pada unit khusus polisi militer pada Dewan
Pertahanan Kroasia, dan dikenal sebagai “jokers”. Ia didakwa melakukan dua jenis
pelanggaran atas hukum atau aturan perang. Sebagai salah satu pelaku penyiksaan dan
membantu serta bersekongkol melakukan serangkaian kekerasan terhadap martabat pribadi,
termasuk pemerkosaan. Berdasakan kejahatan perang yang dilakukannya, Furundzija
didakwa melanggar pasal 75 ayat 2 mengenai jaminan-jaminan dasar dalam protokol
tambahan II Konvensi Jenewa 1949 yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang
meliputi pembunuhan, pemerkosaan, penyanderaan, dan lain-lain tetap dilarang dalam waktu
21

dan di tempat apapun6. Dakwaan ini dipertegas dengan pasal 3 dalam statuta ICTY yang
menekankan pada kejahatan perang dan pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang. Pasal
tersebut menegaskan bahwa “ Pengadilan Internasional harus memiliki kekuasaan untuk
mengadili orang-orang yang melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut
dapat meliputi, tapi tidak terbatas pada penggunaan senjata beracun, penghancuran kota,
serangan atau bombardir, penggusuran, dan perampasan terhadap harta milik pribadi”.
Penjelasan diatas hanya menceritakan sebagian kecil dari dakwaan hukuman yang diterima
oleh para penjahat perang atau pelanggar hukum humaniter internasional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perang tidak hanya didasarkan pada kepentingan dan kemenangan
belakan, namun harus juga memikirkan nilainilai kemanusiaan. Dakwaan terhadap
kekejaman perang bukan hanya ancaman belaka, fakta diatas menunjukkan bahwa penjahat
perang dapat didakwa sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.

3.3.2 Konflik Bosnia-Serbia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia merupakan hak mendasar yang dimiliki oleh setiap
manusia yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
keberadaannya sangat kodrati. Namun, kendati hak asasi manusia merupakan hal yang paling
esensial, namun tetap saja kerap ditemukan kasus pelanggaran terhadapnya. Hukum
humaniter yang sering disebut juga sebagai hukum perang juga menyimpan korelasi yang
cukup erat dengan hak asasi manusia. Hukum humaniter sejatinya berisikan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dalam situasi perang. Eksistensi hukum humaniter semakin
menguatkan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai asasi tidak hanya pada saat damai
namun juga pada situasi genting seperti perang. Bila melihat pada kasus yang terjadi pada
Bosnia-Serbia, maka pelanggaran terhadap penghormatan atas nilai-nilai dasar manusia pun
terabaikan. Pada banyak kasus konflik yang terjadi, hampir tidak ditemui konflik yang bebas
dari pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan pihak yang terlibat konflik sedang
berada dibawah kontrol atau kesadaran yang rendah, yang mengakibatkan pelanggaran
dengan mudah terjadi. Konvensi Jenewa 1949 mencatat ada beberapa tindakan pelanggaran
dalam perang yang dapat dikategorikan sebagai tindakan berat atas pelanggaran hak asasi
manusia yaitu Genosida, Kejahatan Terhadap kemanusiaan, tindak pidana perang, dan
kejahatan agresi. Tindakan seperti penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan lain sebagainya
dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan dan pidana menurut hukum humaniter.
Sedangkan agresi dapat dikaitkan dengan bentuk penyerangan yang menyebabkan
kehancuran dan pengrusakan yang tidak semestinya seperti rumah ibadah, rumah sakit,
22

lumbung makanan, dan fasilitas umum untuk masyarakat lainnya. Tindakan genosida juga
dianggap terjadi atas kasus konflik Yugoslavia ini. Mengingat genosida adalah tindakan yang
dilakukan secara sistematis untuk menghilangkan atau memusnahkan suatu kelompok suku,
etnis, atau golongan tertentu. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa muslim Bosnia
menjadi kelompok minoritas diantara kelompok lainnya di Yugoslavia.

3.3.3 Pengadilan Pidana Internasional dan Putusan Hukuman

Pengadilan Pidana Internasional atau yang lebih dikenal dengan International


Criminal Court (ICC) terbentuk pada tanggal 11 April 2002 yang merujuk pada Statuta Roma
sebagai landasan. Hal ini menjadi sejarah baru untuk perkembangan dan penegakan hukum
internasional khususnya bagi penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang diadopsi oleh
hukum humaniter. Statuta ICC mengatur kewenangan mengadili kejahatan paling serius yang
mendapatkan perhatian internasional yang dilakukan secara individu. Kejahatan yang
dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu the crime of genocide (pemusnahan etnis/suku
bangsa), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahatan
perang), dan the crime ofaggression (agresi).7 Kejahatan yang dilakukan memberikan
kewenangan bagi Pengadilan pidanan internasional untuk dapat melakukan fungsinya
memberikan jaminan dan penegakan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh konvensi
Jenewa 1949. Pembentukan International Criminal Court memiliki latar belakang dan erat
hubungannya dengan pembentukan mahkamah kejahatan internasional sebelumnya. Pertama,
pembentukan mahkamah kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua usai, yaitu
International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg Tribunal pada tahun
1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) pada 1946.8 Kedua,
pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang dingin, yaitu
International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda(ICTR). Keempat mahkamah kejahatan internasional tersebut bersifat ad
hoc.9 Sesuai dengan mandat dari DK PBB tentang pendirian pengadilan pidana internasional
untuk bekas negara Yugoslavia tahun 1991, telah berhasil menyidangkan dan menjatuhkan
hukuman kepada beberapa yang didakwa melakukan kejahatan selama perang berlangsung,
beberapa diantara yaitu:

a. Tihomir Blaskic (Jenderal Bosni-Kroasia) Atas dakwaan 6 jenis pelanggaran HAM berat
seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, mantan Jenderal besar tersebut kemudian
23

dijatuhi hukuman sampai 45 tahun penjara. Namun, pada tahun 2004, Mahkamah Kejahatan
Perang untuk bekas Yugoslawia, dalam sidang banding melonggarkan sanksi terhadap
mantan Jendral Bosnia-Kroasia, Tihomir Blaskic. Tadinya Blaskic djatuhi hukuman 45 tahun
penjara. Sekarang majelis hakim menurunkan sanksinya menjadi 9 tahun penjara. Dalam
kebanyakan butir-butir gugatan, Blaskic dinyatakan tidak bersalah. Pada instansi pertama,
Blaskic dijatuhi hukuman 45 tahun penjara dengan tuduhan memerintahkan serangan
terhadap masyarakat sipil. Para pengacaranya kemudian mengajukan naik banding dan
menyatakan kliennya tidak bersalah10.

b. Anto Furundzija (Komandan Lokal) Atas pelanggaran hukum yang dilakukannya, ia


dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada putusan pertama dan 8 tahun penjara pada putusan
akhir, dan harus segera menjalankannya.

c. Zlatko Aleksovski (Komandan penjara) Ia dinyatakan bersalah karena telah membantu dan
bersekongkol (aiding and abetting) dalam perkara ini. Sidan banding (appeals chamber)
menaikkan hukumannya menjadi 7 tahun penjara.

d. Mario Cerkez (Mantan komandan brigade) Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap


kemanusiaan, pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaa perang (laws or customs of war)
dan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Cerkez dijatuhi hukuman 5 tahun
penjara.

e. Drago Josipovic (Tentara HVO) Ia didakwa oleh sidang pengadilan atas penganiyaan,
pembunuhan, dan tindakan tidak manusiawi seperti kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia
dijatuhi hukuman 10, 15, dan 10 tahun penjara. Sidan banding menyetujui permohonan
bandingnya dan mengurangi hukumannya menjadi 12 tahun penjara.

f. Dario Kordic (Pemimpin Regional) Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap


kemanusiaan, serta pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dijatuhi hukuman
selama 25 tahun penjara atas dakwaan tersebut.
24

Putusan hukuman terhadap para pelanggar tersebut menunjukkan bahwa hukum


humaniter bukan hanya sebagai norma atau batasan yang mengatur bagaimana perang
dilakukan. Namun, lebih dari itu bahwa ia merupakan sebuah aturan yang bersifat mengikat
dan mempunyai kekuatan hukum untuk menindak tegas para pelanggarnya.

3.3.4 Tindakan PBB dalam Konflik Bosnia

Pada tanggal 10 Desember 1948, MU menerima dan memproklamirkan


pernyataan umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Dan setelah 25 tahun, untuk pertama kalinya PBB mengelenggarakan konferensi
internasional Hak-Hak Asasi Manusia. Konferensi yang diadakan di Wina, Austria, pada
tanggal 14-25 Juni 1993 juga membicarakan tentang pelanggaran HAM di Bosnia-
Herzegovina yang di lakukan oleh Serbia dengan praktek pembersihan etnis. Negara-negara
non blok mengusulkan suatu resolusi DK PBB untuk mencabut embargo senjata bagi rakyat
Bosnia.

Sebelumnya DK PBB sudah mengeluarkan Resolusi no.820, tanggal 17 April


1993, tentang blockade terhadap pengangkutan segala macam barang kecuali barang-barang
untuk keperluan kemanusiaan, dari dan ke Yugoslavia, yang pada dasarnya adalah embargo
total terhadap Federasi Yugoslavia. Tetapi perang dan tekanan pasukan Serbia atas rakyat
Bosnia makin dahsyat justru setelah dikeluarkan resolusi itu. Resolusi DK PBB no.820
tersebut dinilai sebagai resolusi paling keras untuk memaksa Yugoslavia, khususnya Serbia
untuk menggantikan serbuannya ke Bosnia. Tetapi keefektifan resolusi ini bergantung pada
Amerika Serikat (AS), Inggris dan Perancis dalam menjalankannya. Selama ini ketiga Negara
besar yang bersekutu tersebut dinilai tidak bersungguh-sungguh memaksa Serbia
menghentikan serbuannya ke Bosnia-Herzegovina. Penundaan pelaksanaan resolusi itu
hingga 25 April 1993 menunjukkan kelonggaran dan memberikan peluang kepada pasukan
Serbia untuk lebih menekan dan menyengsarakan rakyat Bosnia.

Dalam usahanya untuk mengakhiri untuk mengakhiri kekejaman Serbia di


Bosnia, selain dengan kekuatan militer, PBB juga menggunakan jalur diplomatic. Cara ini
dilaksanakan oleh Cyrus Vance, mantan Menlu A.S. dan David Owens, mantan Menlu
Inggis. Usaha perdamaian yang berusaha diwujudkan oleh keduanya untuk menyelesaikan
konflik di Bosnia-Herzegovina haruslah tetap menjamin kepentingan A.S. atas eropa, serta
dapat diterimanya konsep DK PBB untuk menyelesaikan kemenlut itu. Dalam pandangan
Vance-Owens, jika perdamaian di kawasan bekas Yugoslavia dapat di wujudkan, pengaruh
25

A.S. harus tetap terpelihara. Sehingga rencana perdamaian yang di buat bersifat amat
terbatas, yaitu hanya mencakup usaha menyelesaikan konflik melalui pengindentifikasian
kembali wilayah dan membaginya sesuai pembagian yang di setujui PBB saat Bosnia
memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka dan diterima sebagai anggota PBB. Akan
tetapi rencana perdamaian tetap tidak membawa hasil yang berarti karena antara kelompok
muslim dengan pihak Serbia tetap menolak garis-garis betas provinsi yang membagi Bosnia
menjadi 10 provinsi semiotonom.

Sementara itu Sekretaris Jendral (sekjen) PBB, Boutros Boutros Ghali, pada
Mei 1993 mengusulkan rancangan pembentukan Mahkamah Internasional Kejahatan Perang
kepada DK PBB. Rancangan itu memang ditunggu sesuai dengan Resolusi DK PBB no.808,
22 Februari 1993 yang menghendaki Sekjen PBB dalam waktu 60 hari setelah resolusi itu,
merancang pembentukan Mahkamah Internasioanl kejahatan Perang. Mahkamah ini terdiri
dari 2 majelis siding dan sebuah majelis banding. Kemudian seorang jaksa dan seorang hakim
yang dipilih oleh Sidang Umum PBB dari sebuah draft yang diserahkan DK. Para hakim,
masing-masing akan bertugas selama 4 tahun dan bias dipilih kembali. Sedangkan jaksa yang
bertanggung jawab atas penyelidikan, akan ditunjuk DK dari daftar nominasi yang dibuat
Sekjen PBB. Mahkamah ini dibentuk khusus untuk mengadili penjahat perang di bekas
Yugoslavia sejak 1 Januari 1991.

PBB membentuk pula pasukan perdamaian yang disebut United Nations


Protection Force (UNPROFOR) yang terdiri dari 22.000 pasukan yang berasal dari berbagai
negara. Tetapi pasukan perdamaian ini tidak dapat berbuat banyak untuk menghentikan
kebiadaban Serbia. Kenyataannya justru UNPROFOR sering menjadi korban dari kebiadaban
Serbia dengan banyaknya penyerangan yang dilakukan terhadap pos-pos pasukan perdamaian
PBB tersebut.

North Atlantic Treaty Organization (NATO) juga mengambil bagian dalam


usaha mencapai perdamaian di Bosnia, tidak lepas dari pengaruh Negara-negara besar
anggota NATO ayng sekaligus menjadi anggota tetap DK PBB, yairu A.S., Inggris, dan
Perancis. Tuags utama pasukan perdamaian yang akan dikerahkan NATO adalah
melaksanakan isi perjanjian yang akan mencakup pengefektifan zone bebas pernerbangan,
penggarisan batas-batas wilayah dan perlucutan senjata. NATO merupakan kekuatan militer
yang menjadi andalan PBB untuk melakukan operasi militer yang dimiliki NATO. Dan
alasan lain mengapa bantuan NATO sangat dibutuhkan oleh PBB adalah biaya operasi yang
26

tidak ditanggung oleh PBB, melainkan ditanggung oleh masing-masing anggota NATO.
NATO melakukan operasi udara untuk melindungi pasukan PBB di Bosnia, dengan
mengerahkan 60 pesawat tempur dan pengebom milik A.S., Perancis, Inggris, Belanda.
Tetapi patroli NATO tersebut tidak terlalu membatasi gerak agresi Serbia terhadap Bosnia
karena Serbia lebih mengandalkan pasukan daratnya. Akan tetapi seluruh tindakan PBB
dalam upaya menyelesaikan konflik Bosnia-Herzegovina tidak lepas dari pengaru A.S.
sebagai Negara adi daya. Dimana A.S. selalu mengkaitkan pelaksanaan HAM dengan
kebijakan bantuan luar negerinya. Tetapi dilain pihak, tekanan A.S. terhadap negara
pelanggar HAM dilaksanakan sejauh ada kaitan langsung dengan kepentingannya. Seperti
yang terjadi pada Bosnia-Herzegovina, pada awal terjadinya konflik A.S. terlihat enggan
melakukan tindakan karena tidak adanya kepentingan ekonomi A.S. di Bosnia. Tetapi karena
adanya tekanan dari masyarakat internasional, maka untuk menjaga citranya sebagai polisi
dunia, A.S. mulai berperan dalam tindakan-tindakan PBB untuk menyelesaikan konflik di
Bosnia-Herzegovina.
BAB IV

PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan

Tindakan Serbia untuk menguasai wilayah Bosnia-Herzegovina yang menimbulkan


kesengsaraan rakyat Bosnia-Herzegovina tidak dapat diklarifikasikan kedalam War Crime,
melainkan sebagai Crime Against Humanity. Usaha PBB untuk menghentikan kekejaman
Serbia terhadap Bosnia-Herzegovina masil belum berhasil mencapai hasil yang diharapkan,
hal ini antara lain disebabkan karena negara-negara besar, terutama A.S., kurang dapat
bertindak secara tegas. Hal ini dipengaruhi oleh kepentingan politik luar negerinya.

4.2 Saran

Pembersihan etnis dan pelanggaran terhadap HAM yang terjadi di Bosnia-


Herzegovina, seharusnya sudah diakhiri dan masing-masing pihak yang bertikai dapat
menunjukkan itikad baiknya untuk mreujudkan suatu perdamaian di kawasan bekas
Yugoslavia. PBB dalam menyelesaikan konflik di Bosnia-Herzegovina diharapkan lebih
tegas menindak negara yang melakukan pelanggaran HAM. Dan negara-negara besar
khususnya A.S. dapat membantu melaksanakan perlindungan HAM tanpa dipengaruhi
kepentingan politiknya.

26

Anda mungkin juga menyukai