ASIA TIMUR
Disusun oleh :
1. Afrilyan Mokodompit 2017230091
2. Siti Nuurul Iman Hidayat 2017230027
3. Syifa Ramadhani 2017230085
4. Nur Azizah 2017230116
5. Mahfira Maulani 2018230033
6. Tirzanoa Efratya Mahanti 2018230096
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Dilematik Efektifitas ASEA Dalam Menangani Konflik
Di Wilayah Laut Tiongkok Selatan”.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari
Dosen Mata Kuliah Hubungan Internasional Asia Tenggara dan Asia Timur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hubungan
Internasional Asia Tenggara dan Asia Timur yaitu.. serta pihak-pihak terkait yang
telah membantu menyelesaikan makalah. Harapan kami semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI........................................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
BAB III
PEMBAHASAN.................................................................................................12
BAB IV
PENUTUP...........................................................................................................29
ii
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................29
4.2 Saran............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...31
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Paracel dan Spartly (Weissman, 2014). Hal tersebut terjadi bersamaan dengan
adanya peningkatan angkatan laut Tiongkok yang berpatroli dan menyebab
protes dari Vietnam dan Filipina. Peningkatan ekonomi dan militer yang
dilakukan oleh Tiongkok membuat Beijing semakin percaya diri dalam
melakukan hal-hal lain di wilayah LTS seperti menahan kapal nelayan dari
Vietnam yang dianggap melakukan pelanggaran batas wilayah dan juga
mampu mengusir kapal milik angkatan laut AS. Lalu mulai adanya campur
tangan dari negara-negara besar seperti AS dan Rusia yang dapat
meningkatkan kompleksitas konflik dan menyebabkan wilayah LTS menjadi
titik konflik global. Dinamika yang terjadi di LTS yang berusaha mengklaim
wilayah tersebut dapat mengancam keamanan regional, karena adanya campur
tangan dari negara-negara besar yang berasal dari luar kawasan (CSIS, 2016).
2
ASEAN. Dan yang ketiga, ASEAN dapat meredam potensi munculnya perang
terbuka di lautan.
3
1.4 Manfaat Penulisan
4
BAB II
5
mengancam Amerika Serikat daripada lima senjata nuklir Korea Utara.
Identifikasi ini tidak disebabkan oleh senjata nuklir (struktur material)
melainkan oleh makna yang diberikan pada struktur material (struktur
ideasional). Penting untuk dipahami bahwa hubungan sosial antara
Amerika Serikat dan Inggris dan Amerika Serikat dan Korea Utara
dipandang dengan cara yang sama oleh negara-negara ini, karena
pemahaman bersama ini (atau antarsubjektivitas) membentuk dasar
interaksi mereka. Contoh tersebut juga menunjukkan bahwa senjata nuklir
itu sendiri tidak ada artinya kecuali kita memahami konteks sosialnya. Ini
lebih jauh menunjukkan bahwa konstruktivis melampaui realitas material
dengan memasukkan efek ide dan keyakinan pada politik dunia. Ini juga
mensyaratkan bahwa realitas selalu dalam pembangunan, yang membuka
prospek perubahan. Dengan kata lain, makna tidak tetap tetapi dapat
berubah seiring waktu tergantung pada ide dan keyakinan yang dianut
aktor.
6
Konstruktivis, di sisi lain, berpendapat bahwa 'anarki adalah apa yang
dibuat oleh negara' (Wendt, 1992). Ini berarti bahwa anarki dapat
diinterpretasikan dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada makna
yang diberikan oleh aktor kepadanya.
7
juga dikenal sebagai 'logika kesesuaian', di mana aktor berperilaku dengan
cara tertentu karena mereka percaya bahwa perilaku ini sesuai (March dan
Olsen 1998 : 951-952). Untuk lebih memahami norma, kita dapat
mengidentifikasi tiga jenis: norma regulatif, norma konstitutif, dan norma
preskriptif. Norma regulasi mengatur dan membatasi perilaku; norma
konstitutif menciptakan aktor, kepentingan, atau kategori tindakan baru;
dan norma preskriptif menentukan norma tertentu, artinya tidak ada norma
yang buruk dari sudut pandang orang yang mempromosikannya
(Finnemore dan Sikkink, 1998). Penting juga untuk dicatat bahwa norma
melewati 'siklus hidup norma' sebelum dapat diterima. Sebuah norma
hanya menjadi perilaku yang diharapkan ketika massa kritis aktor negara
yang relevan mengadopsi dan menginternalisasikannya dalam praktik
mereka sendiri. Misalnya, para konstruktivis akan berpendapat bahwa
sebagian besar negara bersatu untuk mengembangkan kebijakan mitigasi
perubahan iklim karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan demi
kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini, selama beberapa dekade
diplomasi dan advokasi, menjadi perilaku yang sesuai yang diharapkan
oleh sebagian besar warga negara untuk dipatuhi oleh pemimpin mereka.
Sebaliknya, kaum liberal mungkin menolak gagasan politik perubahan
iklim demi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mengejar solusi
ilmiah yang inovatif, sementara kaum realis mungkin menolaknya karena
kerusakan yang mungkin dilakukan oleh kebijakan iklim terhadap
kepentingan nasional jangka pendek.
8
memprediksi kapan identitas ini menjadi terlihat atau tidak. Ketika sebuah
identitas dipandang sedang mengalami perubahan, konstruktivis
konvensional menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan aspek-
aspek mana dari identitas suatu negara berubah. Konstruktivis kritis, di sisi
lain, menanyakan pertanyaan 'bagaimana' seperti bagaimana aktor menjadi
percaya pada identitas tertentu. Berlawanan dengan konstruktivis
konvensional, mereka tidak tertarik pada pengaruh identitas ini.
Sebaliknya, para konstruktivis kritis ingin merekonstruksi sebuah identitas
- yaitu, mencari tahu apa saja bagian komponennya - yang mereka yakini
diciptakan melalui komunikasi tertulis atau lisan di antara dan di antara
orang-orang. Bahasa memainkan peran kunci bagi konstruktivis kritis
karena ia membangun, dan memiliki kemampuan untuk mengubah,
realitas sosial.
9
bahwa pendekatan mereka dapat memberikan penjelasan teoretis yang
lebih baik tentang evolusi dan perubahan dalam hubungan internasional
daripada saingan rasionalis mereka. Para konstruktivis juga mengajukan
argumen bahwa negara mengamati norma tidak hanya karena demi
kepentingan mereka sendiri, tetapi juga melalui internalisasi norma
tersebut dalam identitas mereka, sehingga memperluas kerangka liberalis
sempit untuk mempelajari norma.
10
negeri suatu aktor dipengaruhi oleh faktor internal (unsur negara, opini
publik, dan lainnya) dan faktor eksternal (nilai dan norma internasional,
opini dari aktor lainnya, dan lain-lain). Apabila digabungkan, selanjutnya
akan terlihat apa posisi suatu aktor dan bagaimana aktor tadi seterusnya
bertindak dalam hubungan internasional (Holsti, 1970 : 245).
11
Relasi penggunaan konsep indetitas di dalam makalah ini adalah
untuk melihat sudut pandangan ASEAN yang tergolong ke dalam identitas
kelompok atau collective identity. Kelompok pemakalah menjelaskan
ASEAN sebegai sekelompok aktor nasional yang berupaya dalam
menangani konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan dan dinamikanya.
BAB III
PEMBAHASAN
12
tahun 1951, tetapi belum ada kepastian terhadap status kepemilikkannya. Ini
membuat Tiongkok semakin memperluas klaimnya terhadap wilayah tersebut,
hingga merebut Kepulauan Paracel dari tangan pasukan Vietnam pada tahun
1974, akibat perebutan wilayah yang dilakukan oleh Tiongkok dan Vietnam,
membuat situasi semakin memanas yang menimbulkan pertempuran antara
Angkatan Laut Tiongkok dengan Vietnam yang menewaskan 70 tentara
Vietnam pada tahun 1988.
13
kerangka UNCLOS terkait klaim sepihak Tiongkok terhadap Laut Tiongkok
Selatan.
14
Kondisi antara konflik perebutan isi dari Laut Tiongkok Selatan
(LTS) yang negara sekitarannya ini terus – menerus panas, akibat Tiongkok
mulai berani melakukan illegal fishing dengan kapal – kapal Tiongkok di
perairan pulau yang berada di LTS, jelas ini membuat hubungan Asia Timur
dan Asia Tengah sangat terganggu dan tidak dapat diam saja hingga dirasa
membutuhkan peran perantara dalam menanggulangi ketegangan yang terjadi
diantara negara-negara yang terlibat.
15
solidaritas dalam konteks sengketa Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan
jangka panjang bagi ASEAN untuk memelihara stabiltas kawasan sekaligus
menghindari dominasi eksternal yang berasal dari Tiongkok (Suharman, 2019)
16
teritorial, dan identitas nasional semua bangsa; (2) hak masing-masing negara
untuk hidup bebas dari campur tangan, subversi, atau paksaan; (3) tidak
mencampuri urusan dalam negeri negara lain; (4) penyelesaian sengketa
dengan cara-cara damai; (5) berjanji untuk tidak melakukan ancaman atau
menggunakan kekerasan; serta (6) mengadakan kerjasama efektif di kalangan
ASEAN (Dermawan dan Hestutomo, 2019).
17
Kedua, melalui KTT ASEAN dan pertemuan menteri luar negeri.
Masalah sengketa LTS beberapa kali dilakukan dalam KTT ASEAN. Pada
tahun 1995, KTT ASEAN V menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas
senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear
Free Zone). Hal ini sangat penting untuk mencegah perang yang lebih buruk
di masa depan. Pada November 2007, dalam KTT ASEAN ke-11 di
Singapura, Tiongkok menandatangani beberapa kesepakatan dengan ASEAN
di bidang politik dan keamanan, antara lain “MoU between the Government of
the Member Countries of the Association of Southest Asian Nations (ASEAN)
and the Government of the people’s Republic of China on Cooperation in the
field of non-traditional security issues dan the declaration on the Condust of
Parties in the South China Sea (DoC)” sebagai confidence-building measures
antara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penyelesaian ketegangan di
LTS (Dermawan dan Hestutomo, 2019).
18
dilangsungkan di Bangkok pada 25 Juli 1994. Masalah LTS tepat dibahas
dalam ARF karena hal ini sesuai dengan tujuan ARF dibentuk, yaitu “to foster
constructive dialogue and consultation on political and security issues of
common interest and concern” dan “to make significant contributions to
efforts towards confidence-building and preventive diplomacy in the Asia-
Pacific region” (asean.org, 2012). Proses kerjasama dalam ARF terbagi atas 3
tahap yaitu tahap Confidence Building Measures (CBMs), Preventive
Diplomacy (PD) dan Conflict Resolution (CR). Pemtingnya pembicaraan
dalam ARF. Karena isu LTS melibatkan banyak pihak, terutama yang
berkaitan dengan kebebasan navigasi di wilayah tersebut. Pihak-pihak yang
tidak terlibat klaim langsung pun berkepentingan dalam mencari penjelasan
dan perkembangan mengenai isu LTS (Dermawan dan Hestutomo, 2019).
19
yang digagas oleh Indonesia dan didanai oleh Kanada pada tahun 1989.
Pertemuan ini bertujuan “to promote peace, stability, and cooperation in the
South China Sea”. Jadi, ada dua target utama, yaitu belajar bagaimana cara
bekerja sama dan bagaimana mengimplementasikan kerja sama itu. Pertemuan
pertama MPCSCS tahun 1990 hanya dihadiri oleh enam negara ASEAN.
MPCSCS kemudian berlangsung tiap tahun dan dihadiri oleh seluruh anggota
ASEAN, ditambah Tiongkok dan Taiwan. Materi yang terus berjalan dengan
baik adalah pembicaraan mengenai penelitian kelautan, seperti ekspedisi
biodiversitas (tahun 2002), pelatihan sains dan teknologi kelautan di LTS
(2009), serta kerja sama menghadapi perubahan iklim global (2011). Meski
demikian, diskusi mengenai isu teritorial dan kedaulatan dalam politik dan
keamanan masih tersendat karena beberapa pihak menolak untuk
membicarakan hal tersebut. Namun, diskusi dalam MPCSCS diharapkan
membawa saling pengertian di antara para negara-negara untuk menjaga
kawasan LTS agar tetap damai dan stabil. Seiring berjalannya waktu, pusat-
pusat penelitian dan kelompok-kelompok akademisi dari berbagai negara
semakin terlibat dalam inisiatif informal ini, seperti akademisi Tiongkok,
Vietnam, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan lain sebagainya (Dermawan dan
Hestutomo, 2019).
20
membantu masalah tersebut. Non penggunaan angkatan senjata diartikan
sebagai dilarangnya penggunaan angkatan bersenjata dalam penyelesaian
konflik yang ada sehingga sebisa mungkin masalah harus diselesaikan secara
damai.
21
Kemunculan prinsip tersebut kemudian dinyatakan dalam dua
dokumen ASEAN yang paling dasar dan penting, yaitu Bali Concord I dan
TAC yang ditandatangani di hari yang sama pada tahun 1976. Dalam
dokumen-dokumen tersebut negara-negara ASEAN menyatakan untuk selalu
mengandalkan proses penyelesaian secara damai di antara perbedaan-
perbedaan internal kawasan, mempromosikan kerja sama damai, serta
mengembangkan kesadaran dan penghormatan terhadap sesama sesuai prinsip
persamaan kedaulatan dan non-intervensi. Para pemimpin negara-negara
anggota ASEAN sendiri mencatat bahwa ASEAN Way merupakan norma
yang telah menjadi dasar pijakan di Asia Tenggara (Dermawan dan
Hestutomo, 2019).
22
& Mazza, 2011). Pilihan sikap luar negeri Filipina (era Presiden Duterte),
Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia pada kenyataanya tidak sejalan
dengan kepentingan anggota kelompok negara penuntut yang lain seperti
Vietnam jika diletakan dalam kerangka organisasi kawasan. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan sikap dan posisi kebijakan luar negeri negara-
negara penuntut berdampak bagi munculnya persaingan di dalam tubuh
organisasi dan melemahkan kekuatan ASEAN dalam merumuskan kebijakan
kolektif.
23
termasuk Indonesia. Dinamika sengketa yang terjadi ini sewaktu-waktu dapat
menambah ketegangan antara relasi hubungan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Oleh karena itu diperlukan aktor perantara yang dipercaya keberadaannya
dalam menurunkan eskalasi konflik yang sedang terjadi. ASEAN sebagai
aktor organisasi regional di kawasan Asia Tenggara tentu tidak tinggal diam.
24
terbentuk ketika terdapat suatu kelompok yang berisikan kumpulan aktor
negara saling berhubungan, dan pada akhirnya membentuk suatu identitas
yang dimiliki secara bersamaan karena bergabung dengan kelompok tersebut.
Hubungan antar aktor negara bisa terjadi karena saling ketergantungan atau
karena rasa solidaritas yang tinggi. Senyalir dengan pemahaman tersebut,
ASEAN sengaja dibentuk dengan tujuan dapat meningkatkan hubungan
kerjasama antar negara kawasan Asia Tenggara yang secara historis memiliki
latarbelakang budaya hampir sama. Secara emosional negara anggota ASEAN
merasa memiliki rasa senasib dan sepenanggungan dimana negara anggota
ASEAN adalah bekas korban dari perang kepentingan selama perang dingin
berlangsung, hingga pasca perang dingin. Kini tindakan dan keberadaan
ASEAN seiring waktu telah diperhitungkan. Hal itu didapatkan ASEAN
ketika eksistensi kinerjanya sebagai agen organisasi internasional terbukti
mampu mewujudkan proses perdamaian, sehingga perlahan memberi
pengaruh bagi dunia internasional.
25
Segala upaya telah ASEAN kerahkan untuk mendapatkan resolusi
yang berguna dalam menurunkan ketegangan diantara negara yang
bersengketa di LTS. Secara singkat diuraikan kembali upaya ASEAN dalam
menangani sengketa di LTS. Dimulai dari negara-negara ASEAN
menandatangani sebuah deklarasi mengenai kawasan damai, bebas, dan netral
(Zone of Peace, Freedom, and Neutrality), hingga selanjutnya pada tahun
1976, ASEAN menandatangani dokumen Declaration of ASEAN Concord
atau yang sering disebut dengan Bali Concord I dan Perjanjian Persahabatan
dan Kerjasama atau Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Pertemuan
informal Managing Potential Conflicts in the South China Sea (MPCSCS).
MPCSCS merupakan pertemuan informal yang digagas oleh Indonesia dan
didanai oleh Kanada pada tahun 1989. Pertemuan ini bertujuan “to promote
peace, stability, and cooperation in the South China Sea”. Dilanjuti oleh
ASEAN Regional Forum (ARF) 1994. Dalam perkembangan ARF kemudian,
hadir berbagai negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India, yang
dilandasi berbagai kepentingan. Pada tahun 2005, dalam rangka melaksanakan
pengimplementasian dari Declaration on the Conduct of Parties in South
China Sea (DOC), ASEAN-Tiongkok melakukan Joint Working Group dan
menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak, baik ASEAN maupun
Tiongkok, akan berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan
LTS. Dalam Bali Concord I dan TAC inilah tercantum komitmen dan
penyelesaian secara damai antarnegara ASEAN dengan cara-cara Asia
Tenggara (yang kemudian sering disebut “ASEAN Way”).
26
ASEAN mengalami keraguan dimata internasional sejak sikap prinsip
ASEAN yang mengedepankan nilai non-intervensi. ASEAN dinilai tidak
memiliki pengaruh kuat secara mutlak dalam menegakan resolusi. Hal yang
dimaksud tersebut adalah negara yang berkonflik tidak terikat, sehingga tidak
memiliki kewajiban untuk mematuhi resolusi yang telah dirancang dan
disanksikan oleh ASEAN. Bahkan karena terlalu banyak kekuatan besar luar
kawasan yang terlibat di dalamnya, Hasjim Djalal (1995) mengamati,
akibatnya upaya ARF dalam isu LTS cenderung berjalan tidak terlalu efektif.
Sisi lain dari dilema efektifitas dalam tubuh ASEAN. Dalam melihat
akomodasi kawasan terhadap isu LTS, ASEAN Way setidaknya tetap
mendorong keberhasilan dalam tiga aspek penting hal inilah yang menjadi.
Pertama, stabilitas kawasan LTS yang relatif damai. Bagaimana pun, dialog-
dialog yang dibangun oleh ASEAN dan negara-negara anggotanya ketika
berhadapan dengan suatu konflik sangat penting daripada upaya-upaya untuk
menghindari konflik. Sebagai organisasi kawasan dengan banyak negara yang
27
terlibat di dalamnya, konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Dengan
memahami bahwa kesepahaman tidak mungkin selalu dapat terjadi dalam
segala hal, cara-cara ASEAN ketika menangani isu LTS agar tidak menjadi
perang terbuka merupakan prestasi yang penting untuk dicatat. Konsensus
yang dimaksud dalam ASEAN Way bukan berarti kebulatan suara, melainkan
komitmen untuk menemukan cara-cara untuk terus maju dengan
mempertahankan apa yang secara umum didukung oleh negara-negara
anggota (Dermawan dan Hestutomo, 2019).
28
Peaceful Co-existence yang diartikulasikan Tiongkok dan India pada tahun
1953 dalam kerangka Gerakan Non-Blok (Dermawan dan Hestutomo, 2019).
BAB IV
PENUTUPAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut
Tiongkok Selatan adalah dilakukan dengan cara perundingan damai
berdasarkan peraturan hukum internasional. Pendekatan yang digunakan
oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan dengan
Tiongkok menggunakan pendekatan cooperative security, otomatis
pencapaiannya bukan melalui instrument militer. Dalam hal ini komunitas
keamanan didefinisikan sebagai komunitas negara yang menyeesaikan
permasalahan di antara mereka tidak dengan penggunaan kekuatan militer,
tetapi dengan cara-cara damai (peaceful changes).
Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik,
yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga
ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Berdasarkan ukurannya,
Laut Tiongkok Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas
kedua setelah kelima samudera. Laut Tiongkok Selatan merupakan sebuah
29
perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya
terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya
sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan
pelayaran internasional.
4.2 Saran
Oleh karena itu, dengan pentingnya posisi strategis Laut Tiongkok
Selatan yang berada di wilayah perairan Laut negara Asia Tenggara, maka
diperlukan upaya oleh negara- negara anggota ASEAN untuk
menyelesaikan konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok
secara bersama-sama. Adapun upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam
menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah sebagai berikut:
1. Melalui Deklarasi – Deklarasi Keamanan.
2. Melalui KTT ASEAN dan Petemuan Menteri Luar Negeri.
3. Melalui ASEAN Regional Forum (ARF).
4. Melalui Pertemuan Informal Managing Potential Conflicts in the
South China Sea (MPCSCS).
30
DAFTAR PUSTAKA
31
Acharya, Amitav. 2005. “Do Norms and Identity Matter ? Community and Power
in Southeast Asia’s Regional Order”, dalam The Pacifi Review. London:
Routledge.
Walter Woon, Dispute Settlement the ASEAN Way (Singapore: Center for
International Law, 2012), 1. (diakses 30 November 2020)
https://www.aseanlawassociation.org/wp-content/upload/2019/10/Singapore2.p
df
Jurnal Utama :
32
33