Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH HUBUNGAN INTERNASIONAL ASIA TENGGARA DAN

ASIA TIMUR

DILEMATIK EFEKTIFITAS ASEAN DALAM MENANGANI KONFLIK


DI WILAYAH LAUT TIONGKOK SELATAN

Disusun oleh :
1. Afrilyan Mokodompit 2017230091
2. Siti Nuurul Iman Hidayat 2017230027
3. Syifa Ramadhani 2017230085
4. Nur Azizah 2017230116
5. Mahfira Maulani 2018230033
6. Tirzanoa Efratya Mahanti 2018230096

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS


ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA
DESEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Dilematik Efektifitas ASEA Dalam Menangani Konflik
Di Wilayah Laut Tiongkok Selatan”.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari
Dosen Mata Kuliah Hubungan Internasional Asia Tenggara dan Asia Timur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hubungan
Internasional Asia Tenggara dan Asia Timur yaitu.. serta pihak-pihak terkait yang
telah membantu menyelesaikan makalah. Harapan kami semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.

Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena


pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................i

DAFTAR
ISI........................................................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang


Masalah.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................3
1.3 Tujuan............................................................................................................................3
1.4 Manfaat..........................................................................................................................4

BAB II TEORI DAN KONSEP........................................................................................5

2.1 Teori Konstruktivisme ..................................................................................................5


2.2 Konsep Identitas.............................................
…………...............................................9

BAB III
PEMBAHASAN.................................................................................................12

3.1 Sejarah Sengketa Laut Tiongkok Selatan……..............................................................8


3.2 Konstribusi ASEAN dalam Upaya Penyelesaian Sengketa di Laut Tiongkok
Selatan.........................................................................................................................15
3.3 Implementasi ASEAN Way.........................................................................................18
3.4 Kelemahan atau Dilmeatis Pengaruh
ASEAN……….................................................19
3.5 Analisis Studi Kasus....................................................................................................23

BAB IV
PENUTUP...........................................................................................................29

ii
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................29
4.2 Saran............................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adanya perbedaan dari faktor sejarah, status ekonomi, kepentingan


nasional, posisi geografis, ukuran negara, dan persepsi masa depan dapat
menciptakan hubungan antar negara-negara di kawasan Asia rentan dilanda
suatu konflik. Besarnya potensi konflik di kawasan ini mendorong
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk mengambil sikap.
Dalam manajemen konflik yang dilakukan oleh ASEAN untuk menjaga
keamanan dan stabilitas kawasan dalam hal peran norma-norma dapat dilihat
melalui usahanya seperti menerapkan non-kekerasan, non-intervensi, dan
pertemuan informal (Kivimaki, 2001). Dengan menjaga stabilitas tersebut
dapat berpengaruh kepada negara-negara ASEAN untuk berfokus pada
pembangunan dalam negari dan mengupayakan kesejahteraan ekonomi.

Sebagai organisasi regional, ASEAN tidak luput dari kritik, seperti


kontribusi ASEAN dalan lingkup regional. Dalam persoalan lain, keaktifan
dan kesatuan ASEAN dalam menghadapi isu-isu yang cukup kontroversial
masih menjadi topik yang membutuhkan pembahasan lebih lanjut, termasuk
salah satunya masalah Laut Tiongkok Selatan (LTS). Adanya perbedaan
pendapat dan sikap dari negara-negara ASEAN dalam menangani isu tersebut
(Darmawan dan Mahendra, 2018: 79-100).

Laut Tiongkok Selatan merupakan suatu wilayah yang terbentang dari


Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Wilayah ini
memang dinilai sebagai daerah konflik sudah dari lama karena memiliki posisi
geografis dan geopolitik yang strategis (Weissmann, 2015: 596-617). Banyak
berbagai macam konflik yang terjadi di wilayah LTS. Misalnya di tahun 2007
mulai terjadi konflik yang cukup serius saat Tiongkok memberikan
kewenangan kepada Sansha, kota di Hainan, untuk memerintah Kepulauan

1
Paracel dan Spartly (Weissman, 2014). Hal tersebut terjadi bersamaan dengan
adanya peningkatan angkatan laut Tiongkok yang berpatroli dan menyebab
protes dari Vietnam dan Filipina. Peningkatan ekonomi dan militer yang
dilakukan oleh Tiongkok membuat Beijing semakin percaya diri dalam
melakukan hal-hal lain di wilayah LTS seperti menahan kapal nelayan dari
Vietnam yang dianggap melakukan pelanggaran batas wilayah dan juga
mampu mengusir kapal milik angkatan laut AS. Lalu mulai adanya campur
tangan dari negara-negara besar seperti AS dan Rusia yang dapat
meningkatkan kompleksitas konflik dan menyebabkan wilayah LTS menjadi
titik konflik global. Dinamika yang terjadi di LTS yang berusaha mengklaim
wilayah tersebut dapat mengancam keamanan regional, karena adanya campur
tangan dari negara-negara besar yang berasal dari luar kawasan (CSIS, 2016).

Pengaruh yang disebabkan dari konflik yang terjadi di LTS membuat


ASEAN menjadi turun tangan untuk ikut membantu dalam menangani
penyelesaian sengketa LTS ini. Namun banyak yang beranggapan negatif
terhadap upaya yang dilakukan ASEAN tersebut. Maka dalam penelitian kali
ini, penulis ingin membahas tentang dilematika efektifitas ASEAN dalam
menangani konflik di wilayah LTS. Melalui pengamatan yang dilakukan
terhadap ASEAN Way penulis ingin berfokus pada ASEAN selaku organisasi
internasional yang dilihat cukup aktif dalam penyelesaian permasalahan di
LTS. Berbagai upaya yang dilakukan ASEAN tentu ada kendala yang harus
dihadapi, seperti norma-norma ASEAN dalam merespon dinamika di
kawasan. Meskipun demikian ASEAN tetap melakukan pertemuan regional
guna membahas isu LTS, namun Tiongkok berhasil memberikan pengaruh
kepada beberapa negara ASEAN agar tidak ikut serta membahas isu tersebut.

Melalui ASEAN Way, ASEAN berhasil melakukan tiga hal yang


membawa pengaruh positif. Yaitu yang pertama, adanya pembangunan tata
regional guna untuk menghadapi dinamika regional baru. Lalu yang kedua,
dapat meminimalisir konflik yang dapat mengancam negara kesatuan

2
ASEAN. Dan yang ketiga, ASEAN dapat meredam potensi munculnya perang
terbuka di lautan.

Banyak penelitian yang mengkaji tentang penggunaan ASEAN Way


dalam menangani konflik-konflik di Asia Tenggara. Menurut Pek Koon Heng
yang berpendapat bahwa ASEAN Way akan tetap menjadi instrumen kunci
dalam hubungan internasional di kawasan. Lalu menurut Gillian Goh
berpendapat bahwa dalam penyelesaian konflik internal di Kamboja antara
pemerintah dan Khmer Merah, ASEAN Way dapat memberikan hasil yang
positif dalam penyelesain konflik tersebut. Namun terdapat pendapat lain dari
Dio Herdiawan Tobing yang melakukan pengamatan terhadap prinsip non-
intervensi yang digunakan dalam ASEAN Way. Menurutnya penggunaan
prinsip non-intervensi tersebut dapat mengakibatkan tindakan yang dilakukan
oleh negara-negara Asia Tenggara menjadi terbatas dalam menangani suatu
konflik seperti Rohingya. Dengan demikian beberapa pendapat tersebut dapat
menjadi bahan penulisan dalam melihat dilematika efektifitas yang terjadi
pada ASEAN dalam menangani konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan


pertanyaan penelitian sebagai berikut:

“Mengapa terjadi dilematika efektifitas ASEAN dalam menangani


konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan?”

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka


tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat dilematika efektifitas
yang terjadi pada ASEAN dalam menangani konflik di wilayah Laut
Tiongkok Selatan.

3
1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi


ilmiah pada kajian tentang dilematika efektifitas yang dihadapi oleh
ASEAN dalam menangani konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Sesuai dengan ilmu teori ataupun konsep yang telah penulis pelajari
selama masa perkuliahan.
2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan mampu menambah data-data
empiris bagi para penstudi Ilmu Hubungan Internasional yang menaruh
minat untuk mengetahui dilematika efektifitas yang dihadapi oleh ASEAN
dalam menangani konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan.

4
BAB II

TEORI DAN KOSEP

2.1 Teori Konstruktivisme

Nicholas Onuf (1989) biasanya dikreditkan dengan menciptakan


istilah konstruktivisme untuk menggambarkan teori yang menekankan
karakter hubungan internasional yang dibangun secara sosial. Teori
konstruktivis kontemporer berakar pada karya perintis tidak hanya oleh
Onuf, tetapi juga oleh Hayward R. Alker, Jr., Richard K. Ashley, Martha
Finnemore, Friedrich Kratochwil, John Ruggie, dan Christian Reus-Smit.
Namun demikian, Alexander Wendt adalah pendukung konstruktivisme
sosial yang paling terkenal di bidang hubungan internasional. Artikel
Wendt tahun 1992, "Anarchy is What States Make of It: the Social
Construction of Power Politics" yang diterbitkan dalam International
Organization meletakkan dasar teoritis untuk menantang apa yang
dianggapnya sebagai cacat yang dimiliki oleh neorealis dan institusionalis
neoliberal, yaitu, komitmen untuk membentuk materialisme. Dengan
mencoba menunjukkan bahwa bahkan konsep realis inti seperti "politik
kekuasaan" dikonstruksi secara sosial yaitu, tidak diberikan oleh alam dan
karenanya, mampu diubah oleh praktik manusia, Wendt membuka jalan
bagi generasi sarjana hubungan internasional untuk mengejar pekerjaan
dalam berbagai masalah dari perspektif konstruktivis. Wendt
mengembangkan lebih lanjut ide-ide ini dalam karya utamanya, Teori
Sosial Politik Internasional (1999).

Konstruktivisme melihat dunia, dan apa yang dapat di ketahui


tentang dunia, sebagai konstruksi sosial. Pandangan ini mengacu pada
hakikat realitas dan hakikat pengetahuan yang disebut juga ontologi dan
epistemologi dalam bahasa penelitian. Wendt (1995 : 71-81) menawarkan
contoh yang sangat baik yang menggambarkan konstruksi sosial realitas
ketika dia menjelaskan bahwa 500 senjata nuklir Inggris tidak terlalu

5
mengancam Amerika Serikat daripada lima senjata nuklir Korea Utara.
Identifikasi ini tidak disebabkan oleh senjata nuklir (struktur material)
melainkan oleh makna yang diberikan pada struktur material (struktur
ideasional). Penting untuk dipahami bahwa hubungan sosial antara
Amerika Serikat dan Inggris dan Amerika Serikat dan Korea Utara
dipandang dengan cara yang sama oleh negara-negara ini, karena
pemahaman bersama ini (atau antarsubjektivitas) membentuk dasar
interaksi mereka. Contoh tersebut juga menunjukkan bahwa senjata nuklir
itu sendiri tidak ada artinya kecuali kita memahami konteks sosialnya. Ini
lebih jauh menunjukkan bahwa konstruktivis melampaui realitas material
dengan memasukkan efek ide dan keyakinan pada politik dunia. Ini juga
mensyaratkan bahwa realitas selalu dalam pembangunan, yang membuka
prospek perubahan. Dengan kata lain, makna tidak tetap tetapi dapat
berubah seiring waktu tergantung pada ide dan keyakinan yang dianut
aktor.

Konstruktivis berpendapat bahwa birokrasi dan struktur dibentuk


bersama, yang menyiratkan bahwa struktur memengaruhi agensi dan
agensi tersebut memengaruhi struktur. Keagenan dapat dipahami sebagai
kemampuan seseorang untuk bertindak, sedangkan struktur mengacu pada
sistem internasional yang terdiri dari unsur material dan ideasional.
Kembali ke contoh Wendt yang telah dibahas di atas, ini berarti bahwa
hubungan sosial permusuhan antara Amerika Serikat dan Korea Utara
mewakili struktur intersubjektif (yaitu, gagasan dan kepercayaan bersama
di antara kedua negara), sedangkan Amerika Serikat dan Korea Utara
adalah aktornya. yang memiliki kapasitas (yaitu, agen) untuk mengubah
atau memperkuat struktur atau hubungan sosial permusuhan yang ada.
Perubahan atau penguatan ini pada akhirnya bergantung pada keyakinan
dan gagasan yang dianut oleh kedua negara. Jika keyakinan dan gagasan
ini berubah, hubungan sosial bisa berubah menjadi persahabatan.
Pendirian ini sangat berbeda dengan kaum realis, yang berpendapat bahwa
struktur anarkis sistem internasional menentukan perilaku negara.

6
Konstruktivis, di sisi lain, berpendapat bahwa 'anarki adalah apa yang
dibuat oleh negara' (Wendt, 1992). Ini berarti bahwa anarki dapat
diinterpretasikan dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada makna
yang diberikan oleh aktor kepadanya.

Isu sentral lain dari konstruktivisme adalah identitas dan


kepentingan. Konstruktivis berpendapat bahwa negara dapat memiliki
banyak identitas yang dibangun secara sosial melalui interaksi dengan
aktor lain. Identitas adalah representasi pemahaman aktor tentang siapa
mereka, yang pada gilirannya menandakan minat mereka. Mereka penting
bagi konstruktivis karena mereka berpendapat bahwa identitas merupakan
kepentingan dan tindakan. Misalnya, identitas negara kecil menyiratkan
serangkaian kepentingan yang berbeda dari yang tersirat oleh identitas
negara besar. Negara kecil bisa dibilang lebih fokus pada kelangsungan
hidupnya, sedangkan negara besar berkaitan dengan dominasi urusan
politik, ekonomi dan militer global. Namun, perlu dicatat bahwa tindakan
negara harus selaras dengan identitasnya. Dengan demikian, suatu negara
tidak dapat bertindak bertentangan dengan identitasnya karena hal ini akan
mempertanyakan validitas identitas tersebut, termasuk preferensinya.
Masalah ini mungkin menjelaskan mengapa Jerman, meskipun merupakan
kekuatan besar dengan ekonomi global terkemuka, tidak menjadi kekuatan
militer pada paruh kedua abad kedua puluh. Menyusul kekejaman rezim
Nazi Adolf Hitler selama Perang Dunia Kedua, identitas politik Jerman
bergeser dari salah satu militerisme ke pasifisme karena keadaan sejarah
yang unik.

Norma sosial juga penting bagi konstruktivisme. Ini umumnya


didefinisikan sebagai 'standar perilaku yang sesuai untuk aktor dengan
identitas tertentu' (Katzenstein, 1996 : 5). Negara yang sesuai dengan
identitas tertentu diharapkan untuk mematuhi norma yang terkait dengan
identitas tersebut. Ide ini muncul dengan harapan bahwa beberapa jenis
perilaku dan tindakan lebih dapat diterima daripada yang lain. Proses ini

7
juga dikenal sebagai 'logika kesesuaian', di mana aktor berperilaku dengan
cara tertentu karena mereka percaya bahwa perilaku ini sesuai (March dan
Olsen 1998 : 951-952). Untuk lebih memahami norma, kita dapat
mengidentifikasi tiga jenis: norma regulatif, norma konstitutif, dan norma
preskriptif. Norma regulasi mengatur dan membatasi perilaku; norma
konstitutif menciptakan aktor, kepentingan, atau kategori tindakan baru;
dan norma preskriptif menentukan norma tertentu, artinya tidak ada norma
yang buruk dari sudut pandang orang yang mempromosikannya
(Finnemore dan Sikkink, 1998). Penting juga untuk dicatat bahwa norma
melewati 'siklus hidup norma' sebelum dapat diterima. Sebuah norma
hanya menjadi perilaku yang diharapkan ketika massa kritis aktor negara
yang relevan mengadopsi dan menginternalisasikannya dalam praktik
mereka sendiri. Misalnya, para konstruktivis akan berpendapat bahwa
sebagian besar negara bersatu untuk mengembangkan kebijakan mitigasi
perubahan iklim karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan demi
kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini, selama beberapa dekade
diplomasi dan advokasi, menjadi perilaku yang sesuai yang diharapkan
oleh sebagian besar warga negara untuk dipatuhi oleh pemimpin mereka.
Sebaliknya, kaum liberal mungkin menolak gagasan politik perubahan
iklim demi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mengejar solusi
ilmiah yang inovatif, sementara kaum realis mungkin menolaknya karena
kerusakan yang mungkin dilakukan oleh kebijakan iklim terhadap
kepentingan nasional jangka pendek.

Meskipun semua konstruktivis berbagi pandangan dan konsep


yang disebutkan di atas, ada banyak variasi dalam konstruktivisme.
Konstruktivis konvensional menanyakan pertanyaan 'tipe apa' - seperti apa
yang menyebabkan aktor bertindak. Mereka percaya bahwa adalah
mungkin untuk menjelaskan dunia dalam istilah kausal dan tertarik untuk
menemukan hubungan antara aktor, norma sosial, kepentingan dan
identitas. Konstruktivis konvensional berasumsi, misalnya, bahwa aktor
bertindak sesuai dengan identitas mereka dan dimungkinkan untuk

8
memprediksi kapan identitas ini menjadi terlihat atau tidak. Ketika sebuah
identitas dipandang sedang mengalami perubahan, konstruktivis
konvensional menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan aspek-
aspek mana dari identitas suatu negara berubah. Konstruktivis kritis, di sisi
lain, menanyakan pertanyaan 'bagaimana' seperti bagaimana aktor menjadi
percaya pada identitas tertentu. Berlawanan dengan konstruktivis
konvensional, mereka tidak tertarik pada pengaruh identitas ini.
Sebaliknya, para konstruktivis kritis ingin merekonstruksi sebuah identitas
- yaitu, mencari tahu apa saja bagian komponennya - yang mereka yakini
diciptakan melalui komunikasi tertulis atau lisan di antara dan di antara
orang-orang. Bahasa memainkan peran kunci bagi konstruktivis kritis
karena ia membangun, dan memiliki kemampuan untuk mengubah,
realitas sosial.

Teori kontruktivis ini dipilih untuk dijadikan sudut pandang di


dalam makalah ini. Kelompok pemakalah memilih teori konstruktivis ini
karena cocok untuk menjelaskan tidakan politik internasional. Berdasarkan
pembahasan makalah ini, teotri konstritivis akan membantu mengalisis
memalui data dan pembahasan ASEAN Way merupakan pendorong yang
postitif dalam konteks fungsi dialog dan konsultasi damai dan bukan
sebagai sebagai solusi untuk penyelesaian sengketa Laut Tiongkok
Selatan.

2.2 Konsep Indetitas

Identitas hanyalah salah satu di antara beberapa konsep yang


banyak digunakan oleh pendekatan konstruktivis, seperti budaya, norma
atau gagasan. Khususnya pendekatan identitas yang diwakili oleh
Alexander Wendt (1999), telah menjadi bagian dari arus utama teori
hubungan internasional yang hampir secara eksklusif rasionalis. Menurut
penalaran konstruktivis, kepentingan negara dibentuk oleh identitasnya,
sedangkan identitas negara (dan juga kepentingan) sendiri dapat berubah
dalam proses interaksi. Oleh karena itu, para konstruktivis mengklaim

9
bahwa pendekatan mereka dapat memberikan penjelasan teoretis yang
lebih baik tentang evolusi dan perubahan dalam hubungan internasional
daripada saingan rasionalis mereka. Para konstruktivis juga mengajukan
argumen bahwa negara mengamati norma tidak hanya karena demi
kepentingan mereka sendiri, tetapi juga melalui internalisasi norma
tersebut dalam identitas mereka, sehingga memperluas kerangka liberalis
sempit untuk mempelajari norma.

Para konstruktivis berpendapat bahwa negara mengikuti norma


bukan hanya karena atau ketika itu demi kepentingan mereka, tetapi juga
ketika mereka telah menginternalisasi norma-norma itu dalam identitas
mereka. Untuk tujuan ini, Alexander Wendt memberikan definisi dari
identitas sebagai “atribut yang melekat pada diri aktor yang mendorong
tindakan” (Wendt, 1999 : 224). Artinya, identitas dapat membentuk
kepentingan aktor baik seseorang maupun negara, yang kemudian
kepentingan itu membentuk tindakan yang nantinya secara tidak langsung
juga akan membentuk identitas. Baik identitas yang sama atau berubah
menjadi identitas baru.

Alexander Wendt juga membagi empat jenis identitas dalam


hubungan internasional (Wendt, 1992 : 224-229). Pertama adalah identitas
personal dimana identitas suatu aktor terbentuk secara alamiah seperti
contohnya bentuk fisik, lambang negara, nasionalisme dan lain-lain.
Identitas kedua adalah identitas tipe yang dipengaruhi oleh kategori
tertentu seperti ideologi politik atau agama. Identitas ketiga adalah
identitas peran yang memfokuskan kedudukan atau posisi aktor dalam
hubungan internasional. Identitas ini baru bisa terbentuk apabila aktor
yang bersangkutan melakukan suatu aktivitas hubungan internasional
dengan aktor lain dan mendapat tanggapan. Jenis identitas ini memiliki
hubungan dengan pembentukan identitas menjadi kebijakan luar negeri
yang diungkapkan oleh Holsti dalam jurnalnya “National Role
Conceptions in the Study of Foreign Policy”. Terbentuknya kebijakan luar

10
negeri suatu aktor dipengaruhi oleh faktor internal (unsur negara, opini
publik, dan lainnya) dan faktor eksternal (nilai dan norma internasional,
opini dari aktor lainnya, dan lain-lain). Apabila digabungkan, selanjutnya
akan terlihat apa posisi suatu aktor dan bagaimana aktor tadi seterusnya
bertindak dalam hubungan internasional (Holsti, 1970 : 245).

Identitas terakhir adalah identitas kelompok atau collective identity.


Jenis identitas ini terbentuk ketika terdapat suatu kelompok yang berisikan
kumpulan aktor negara saling berhubungan, dan pada akhirnya
membentuk suatu identitas yang dimiliki secara bersamaan karena
bergabung dengan kelompok tersebut. Hubungan antar aktor negara bisa
terjadi karena saling ketergantungan atau karena rasa solidaritas yang
tinggi. Wendt memaparkan tiga faktor yang membentuk identitas kolektif
suatu aktor (Wendt, 1994). Pertama adalah faktor sistemik atau faktor
interaksi antar negara. Faktor kedua adalah faktor struktural atau faktor
intersubjektivitas antarnegara. Identitas kolektif kemudian baru terbentuk
bila dua atau lebih negara sama-sama mengidentifikasikan satu sama lain
sebagai kawan. Faktor terakhir adalah faktor strategis atau faktor
komunikasi antarnegara. Negara yang bersikap ramah pada negara lainnya
tentu akan mendapat tanggapan positif dan timbulnya rasa solidaritas satu
sama lain.

Identitas suatu aktor bisa pula berubah meskipun telah memegang


suatu identitas dalam jangka waktu yang lama. Perubahan dari identitas
bisa terjadi karena pemaknaan yang berbeda dari aktor lain, atau karena
ada faktor internal (karakter dan gaya kepemimpinan elite pemerintah) dan
eksternal (perubahan peristiwa atau lingkungan internasional) yang
membuatnya berubah. Pada akhirnya, negara pun harus beradaptasi
dengan bertransformasi identitas yang baru agar dapat diterima di
kalangan internasional, dimana hal ini disebut sebagai krisis identitas
(Rosyidin, 2015 : 61-65).

11
Relasi penggunaan konsep indetitas di dalam makalah ini adalah
untuk melihat sudut pandangan ASEAN yang tergolong ke dalam identitas
kelompok atau collective identity. Kelompok pemakalah menjelaskan
ASEAN sebegai sekelompok aktor nasional yang berupaya dalam
menangani konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan dan dinamikanya.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Sengketa Laut Tiongkok Selatan

Dewasa ini, letak strategis Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian


dari Samudera Pasifik yang memiliki perairan luas sekitar sekitar 4.000.000
km2, yang mencakup 6 negara (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei
Darussalam, Taiwan dan Tiongkok) dan memanjang dari arah Barat Daya
(BD) ke arah Timur Laut (TL), yang berbatasan disebelah selatan 30 Lintang
Selatan (LS) antara Sumatera dan Kalimantan, disebelah utara berbatasan
langsung dengan selat Taiwan dari ujung utara Taiwan hingga kearah pantai
Fukien, Tiongkok. Perairan ini terdiri dari beberapa kumpulan pulau yang
berjumlah sekitar 170 pulau kecil, dan karang, terindetifikasi, kebanyakan
berada di Kepulauan Spartly. Namun, ketegangan di Kawasan Laut Tiongkok
Selatan ini di dasari oleh tuntutan enam negara yang memperebutkan wilayah
Kepulauan Spartly yang merupakan “TITIK API” yang cukup potensial untuk
berkembang menjadi wilayah sengketa militer di masa mendatang,
dikarenakan kepulauan ini memiliki cadangan minyak bumi dan gas yang
begitu melimpah.

Awal Sengketa Laut Tiongkok Selatan dimulai pada tahun 1946,


ketika Tiongkok mengklaim bahwa Kepulauan Spartly sebagai bagian dari
provinsi Guangdong, Tiongkok. Padahal, wilayah kepulauan tersebut telah
diklaim dan dikuasai oleh Jepang saat Perang Dunia II, tapi kenyataannya
klaim Jepang atas wilayah itu dibatalkan oleh Perjanjian San Fransisco pada

12
tahun 1951, tetapi belum ada kepastian terhadap status kepemilikkannya. Ini
membuat Tiongkok semakin memperluas klaimnya terhadap wilayah tersebut,
hingga merebut Kepulauan Paracel dari tangan pasukan Vietnam pada tahun
1974, akibat perebutan wilayah yang dilakukan oleh Tiongkok dan Vietnam,
membuat situasi semakin memanas yang menimbulkan pertempuran antara
Angkatan Laut Tiongkok dengan Vietnam yang menewaskan 70 tentara
Vietnam pada tahun 1988.

Pada tahun 1991 , untuk memformalkan klaim atas wilayah Spartly


dan Paracel, Tiongkok mengeluarkan Law on the Territorial Sea and the
Contiguous Zone of the Republic of Tiongkok. Ternyata, tidak hanya Vietnam
saja yang mengambil tindakan dalam sengketa ini, 4 tahun kemudian, instalasi
militer Filipina di Kepulauan Spartly direbut dan diklaim Tiongkok. Adanya
tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok yang membuat Filipina geram
akhirnya, giliran Filipina yang melakukan tindakan dengan menembak mati 1
nelayan Tiongkok yang berani melewati perairan Filipina di dekat pulau
Palawa, kejadian ini terjadi pada tahun 2000. Pada tahun 2011, sengketa Laut
Tiongkok Selatan tidak kunjung usai , Senat Amerika Serikat,menyerukan
untuk membawa sengketa ini diselesaikan secara internasional. Kenyataannya,
seruan dari Senat Amerika Serikat tidak hiraukan oleh pihak – pihak yang
terkait dalam sengketa ini, malah aksi atau tindakan Tiongkok semakin
menjadi-jadi, yang melakukan pembentukan wilayah administratif Sansha
yang meliputi Kepulauan Spartly dan Paracel yang diklaim oleh Tiongkok,
bahwa area Sengketa Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian wilayah
Tiongkok, peristiwa ini terjadi pada tahun 2012. Aksi yang dilakukan oleh
Tiongkok tersebut membangkitkan respon negatif dan sikap protes dari
Vietnam dan Filipina. Akhirnya, dengan adanya aksi Tiongkok yang semakin
kelewatan, negara Vietnam mengusir warga negaranya yang
berkewarganegaraan Tiongkok dari negara mereka, dan pada tahun 2013,
Filipina ada peristiwa ini mengambil tindakan untuk membawa ke jalur
Hukum dan mengadukan Tiongkok kepada pengadilan PBB dibawah

13
kerangka UNCLOS terkait klaim sepihak Tiongkok terhadap Laut Tiongkok
Selatan.

Isu perebutan wilayah Laut Tiongkok Selatan ini diakibatkan karena,


Kawasan Laut Tiongkok Selatan dipandang oleh dunia sebagai kawasan yang
memiliki :

1. Sumber Kekayaan Mineral yang sangat potensial


2. Sumber Kekayaan Laut baik hayati maupun non- hayati.
3. Wilayah perikanan yang terkaya di dunia, yang mengandung berbagai
macam ikan yang disukai oleh “Orang Asia dan Eropa”.
4. Selain itu, Laut Tiongkok Selatan dikenal sebagai Sea Lane of Trade
(SLOT) dan Sea Lane of Communication (SLOC), tidak hanya itu, Laut
Tiongkok Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran yang sangat
strategis bagi pengintaian (surveillance), pencegatan kapal perang
(Interdiction) dan manuver bagi Angkatan Laut (AL) untuk mengganggu
lalu lintas kapal perang.
5. Penguasaan terhadap pulau-pulau tersebut akan sangat menentukan garis
batas negara yang menguasainya.

Selain, Kepulauan Spartly dan Paracel yang diklaim oleh Tiongkok


dan menjadi bagian dari Laut Tiongkok Selatan, seperti wilayah kedaulatan
Indonesia yaitu Kepulauan Natuna, juga ikut terkena imbasnya dari Sengketa
Laut Tiongkok Selatan, karena interpretasi dari “Nine Dash Line”
(Nainggolan, 2013: 8), atau yang dikenal dengan Sembilan garis terputus di
peta Tiongkok , yang mengklaim sekitar 90% dari perairan yang luasnya
3.500.000km2. Oleh karena itu, Indonesia yang dulunya berstatus “No
Claimant State”, pun merasa terganggu dan terancam keamanan nasionalnya,
atas aksi Tiongkok yang telah masuk sebagaian dari Kepulauan Natuna dalam
sembilan garis terputus tersebut, yang berarti secara tidak langsung
menyatakan bahwa Kepulauan Riau adalah wilayah Tiongkok.

14
Kondisi antara konflik perebutan isi dari Laut Tiongkok Selatan
(LTS) yang negara sekitarannya ini terus – menerus panas, akibat Tiongkok
mulai berani melakukan illegal fishing dengan kapal – kapal Tiongkok di
perairan pulau yang berada di LTS, jelas ini membuat hubungan Asia Timur
dan Asia Tengah sangat terganggu dan tidak dapat diam saja hingga dirasa
membutuhkan peran perantara dalam menanggulangi ketegangan yang terjadi
diantara negara-negara yang terlibat.

3.2 Kontribusi ASEAN dalam Upaya Penyelesaian Sengketa di Laut


Tiongkok Selatan

Mengingat Laut Tiongkok Selatan merupakan jantung geopolitik dan


geoekonomi bagi banyak negara, maka setiap gejala perubahan politik
internasional dan munculnya ancaman akan berpengaruh terhadap ASEAN.
Dalam konteks sengketa Laut Tiongkok Selatan, terdapat empat negara
anggota ASEAN yang berkepentingan di antaranya: Vietnam, Malaysia,
Brunei Darussalam, Filipina, termasuk Indonesia.

Dinamika konflik yang bisa sewaktu-waktu memanas diantara


sengeketa Laut Tiongkok Selatan harus coba diselesaikan dengan cara-cara
yang damai. Tentu saja ASEAN harus mengambil peran dalam masalah ini.
Penulis memaparkan bagaimana ASEAN mengakomodasi dialog-dialog di
tengah dinamika konflik LTS. ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan
Asia Tenggara tentu tidak tinggal diam. Setidaknya ada beberapa kepentingan
bagi ASEAN dalam menyelesaikan sengketa LTS. Pertama, ASEAN memiliki
kepentingan untuk menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggota.
Kedua, wilayah yang sangat strategis seperti LTS membuat ASEAN harus
selalu waspada mengenai berbagai potensi konflik di kawasan, karena
dikhawatirkan memengaruhi perkembangan ekonomi kawasan. Ketiga,
masalah LTS menjadi pembuktian apakah ASEAN merupakan organisasi
regional yang solid atau tidak (Dermawan dan Hestutomo, 2019). Masalah

15
solidaritas dalam konteks sengketa Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan
jangka panjang bagi ASEAN untuk memelihara stabiltas kawasan sekaligus
menghindari dominasi eksternal yang berasal dari Tiongkok (Suharman, 2019)

Upaya-upaya ASEAN dan negara-negara Asia Tenggara untuk


menyelesaikan masalah keamanan, terutama yang berkaitan dengan LTS,
adalah sebagai berikut:

Pertama, melalui deklarasi-deklarasi keamanan. Pada tahun 1971,


negara-negara ASEAN menandatangani sebuah deklarasi mengenai kawasan
damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality) atau
ZOPFAN di Kuala Lumpur. Deklarasi ini merupakan komitmen politik dan
kerjasama politik dan keamanan ASEAN untuk pertama kalinya dalam sejarah
ASEAN. Konsep ZOPFAN inilah yang mengatur hubungan antarnegara di
Asia Tenggara maupun antara negara-negara ASEAN dengan negara lain di
luar kawasan. Titik penekanan ZOPFAN ada pada “kesepakatan untuk
menerima berbagai langkah dan sikap untuk saling menahan diri” (Djalal,
1995). Selanjutnya, pada tahun 1976, ASEAN menandatangani dokumen
Declaration of ASEAN Concord atau yang sering disebut dengan Bali Concord
I dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama atau Treaty of Amity and
Cooperation (TAC). Dalam Bali Concord I dan TAC inilah tercantum
komitmen dan penyelesaian secara damai antarnegara ASEAN dengan cara-
cara Asia Tenggara (yang kemudian sering disebut “ASEAN Way”) tanpa
campur tangan pihak luar, yaitu pada ayat 13-17. Meskipun TAC masih
memiliki sifat longgar, di mana pihak yang bersengketa tidak terlalu terikat
untuk menerima adanya mediasi, TAC merupakan langkah maju dalam
realisasi ZOPFAN. Dua deklarasi keamanan di atas merupakan dua dasar atau
prinsip yang akan selalu dipakai ASEAN, terutama dalam menyelesaikan
masalah keamanan seperti LTS. Dalam dokumen TAC, misalnya, kemudian
dirumuskan enam prinsip yang harus dihormati para penandatangan Bali
Concord I. Prinsip-prinsip tersebut ada dalam pasal 2 TAC: (1) saling
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan derajat, integritas

16
teritorial, dan identitas nasional semua bangsa; (2) hak masing-masing negara
untuk hidup bebas dari campur tangan, subversi, atau paksaan; (3) tidak
mencampuri urusan dalam negeri negara lain; (4) penyelesaian sengketa
dengan cara-cara damai; (5) berjanji untuk tidak melakukan ancaman atau
menggunakan kekerasan; serta (6) mengadakan kerjasama efektif di kalangan
ASEAN (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Pada tahun 2002, ASEAN dan Tiongkok berhasil menandatangani


Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea yang merupakan
deklarasi Tata Berperilaku di sekitar kawasan LTS. Pada tahun 2005, dalam
rangka melaksanakan pengimplementasian dari Declaration on the Conduct of
Parties in South China Sea (DOC), ASEAN-Tiongkok melakukan Joint
Working Group dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak, baik
ASEAN maupun Tiongkok, akan berkomitmen menjaga perdamaian dan
stabilitas di kawasan LTS. Beberapa kelanjutan pertemuan dari kelompok
kerja gabungan tersebut terus dilakukan. Pada 16-17 April 2010, misalnya,
dilakukan ASEAN-China Joint Working Group Meeting on the
Implementation of the DoC yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam.
Pertemuan ini menyepakati bahwa (1) DOC tetap dan akan selalu menjadi
salah satu dokumen yang signifikan bagi ASEAN dan Tiongkok, (2)
implementasi dari DOC penting bagi perdamaian dan stabilitas baik di
wilayah LTS maupun ASEAN, (3) kendati DOC dan Draft Guidelines akan
melalui observasi lebih, para pihak harus terus menghormati setiap aspek yang
terkandung pada DOC. Pada tanggal 21-22 Desember 2010, kembali diadakan
ASEAN-China Joint Working Group Meeting on the Implementation of the
DOC di Kunming. Dalam pertemuan tersebut, Tiongkok menyampaikan
adanya perbedaan pemahaman terhadap DoC dan draft Guidelines di antara
Tiongkok dan beberapa anggota ASEAN. Pada tanggal 17-19 April 2011,
kembali diadakan pertemuan ke-6 ASEAN-China Joint Working Group on the
Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (DOC) yang diselenggarakan di Medan dan diketuai oleh Vietnam
dan Tiongkok (Deplu RI, 2011).

17
Kedua, melalui KTT ASEAN dan pertemuan menteri luar negeri.
Masalah sengketa LTS beberapa kali dilakukan dalam KTT ASEAN. Pada
tahun 1995, KTT ASEAN V menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas
senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear
Free Zone). Hal ini sangat penting untuk mencegah perang yang lebih buruk
di masa depan. Pada November 2007, dalam KTT ASEAN ke-11 di
Singapura, Tiongkok menandatangani beberapa kesepakatan dengan ASEAN
di bidang politik dan keamanan, antara lain “MoU between the Government of
the Member Countries of the Association of Southest Asian Nations (ASEAN)
and the Government of the people’s Republic of China on Cooperation in the
field of non-traditional security issues dan the declaration on the Condust of
Parties in the South China Sea (DoC)” sebagai confidence-building measures
antara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penyelesaian ketegangan di
LTS (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Pada pertemuan KTT ASEAN ke-17 yang diselenggarakan pada 30


Oktober 2010 di Hanoi, Vietnam, kembali membahas masalah DOC. Dalam
pertemuan itu disepakati langkah-langkah terkait implementasi DOC,
diantaranya sebagai berikut: (1) masalah teritorial harus diselesaikan oleh
negara-negara yang bersangkutan dengan cara damai berdasarkan hukum
internasional dan UNCLOS 1982; (2) pentingnya tercipta keamanan dan
prinsip kebebasan navigasi di LTS mengingat kawasan tersebut merupakan
jalur pelayaran penting atau Sea Lane of Communication (SLOC); (3)
memanfaatkan mekanisme regional dalam membangun saling percaya dalam
isu tersebut dengan pengimplementasi dari DOC serta mengupayakan
tersusunnya Code of Conduct in the South China Sea (COC) (ASEAN, 2012c)
(Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Ketiga, melalui ASEAN Regional Forum (ARF). ARF dibentuk pada


tahun 1994. Forum ini dibentuk setelah disepakati oleh para pemerintah
negara-negara ASEAN dalam Pertemuan Menteri ASEAN yang
diselenggarakan pada 23-25 Juli 1993. Pertemuan ARF pertama kali

18
dilangsungkan di Bangkok pada 25 Juli 1994. Masalah LTS tepat dibahas
dalam ARF karena hal ini sesuai dengan tujuan ARF dibentuk, yaitu “to foster
constructive dialogue and consultation on political and security issues of
common interest and concern” dan “to make significant contributions to
efforts towards confidence-building and preventive diplomacy in the Asia-
Pacific region” (asean.org, 2012). Proses kerjasama dalam ARF terbagi atas 3
tahap yaitu tahap Confidence Building Measures (CBMs), Preventive
Diplomacy (PD) dan Conflict Resolution (CR). Pemtingnya pembicaraan
dalam ARF. Karena isu LTS melibatkan banyak pihak, terutama yang
berkaitan dengan kebebasan navigasi di wilayah tersebut. Pihak-pihak yang
tidak terlibat klaim langsung pun berkepentingan dalam mencari penjelasan
dan perkembangan mengenai isu LTS (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Dalam perkembangan ARF kemudian, hadir berbagai negara besar


seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India, yang dilandasi berbagai
kepentingan. AS, misalnya, menyatakan bahwa mereka ingin Indo-Pacific
sebagai kawasan yang terbuka dengan meliputi “peaceful resolution of
territorial and maritime disputes”. Hanya saja, Tiongkok enggan
membicarakan masalah LTS ini lebih jauh dalam perundingan multilateral
seperti ARF. Pada pertemuan ARF di Brunei tahun 1995, juru bicara Menteri
Luar Negeri Tiongkok mengatakan bahwa Tiongkok “menolak peran ARF
dalam mendiskusikan masalah ini” (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Karena terlalu banyak kekuatan besar luar kawasan yang terlibat di


dalamnya, Hasjim Djalal (1995) mengamati bahwa upaya ARF dalam isu LTS
cenderung berjalan tidak terlalu efektif. Meski demikian, isu LTS terus masuk
dalam ARF, Pembicaraan penting dalam ARF mengenai LTS diantaranya ada
pada ARF ke-18 di Bali pada Juli 2011. Pertemuan itu menghasilkan beberapa
kesepakatan antara ASEAN dan Tiongkok mengenai komitmen dalam
pelaksanaan DOC para pihak di LTS.

Keempat, melalui pertemuan informal Managing Potential Conflicts in


the South China Sea (MPCSCS). MPCSCS merupakan pertemuan informal

19
yang digagas oleh Indonesia dan didanai oleh Kanada pada tahun 1989.
Pertemuan ini bertujuan “to promote peace, stability, and cooperation in the
South China Sea”. Jadi, ada dua target utama, yaitu belajar bagaimana cara
bekerja sama dan bagaimana mengimplementasikan kerja sama itu. Pertemuan
pertama MPCSCS tahun 1990 hanya dihadiri oleh enam negara ASEAN.
MPCSCS kemudian berlangsung tiap tahun dan dihadiri oleh seluruh anggota
ASEAN, ditambah Tiongkok dan Taiwan. Materi yang terus berjalan dengan
baik adalah pembicaraan mengenai penelitian kelautan, seperti ekspedisi
biodiversitas (tahun 2002), pelatihan sains dan teknologi kelautan di LTS
(2009), serta kerja sama menghadapi perubahan iklim global (2011). Meski
demikian, diskusi mengenai isu teritorial dan kedaulatan dalam politik dan
keamanan masih tersendat karena beberapa pihak menolak untuk
membicarakan hal tersebut. Namun, diskusi dalam MPCSCS diharapkan
membawa saling pengertian di antara para negara-negara untuk menjaga
kawasan LTS agar tetap damai dan stabil. Seiring berjalannya waktu, pusat-
pusat penelitian dan kelompok-kelompok akademisi dari berbagai negara
semakin terlibat dalam inisiatif informal ini, seperti akademisi Tiongkok,
Vietnam, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan lain sebagainya (Dermawan dan
Hestutomo, 2019).

3.3 Implementasi ASEAN Way

Dalam menjalankan tugasnya, ASEAN memiliki norma universal yang


disebut ASEAN Way. ASEAN, yang terdiri atas banyak negara dengan budaya
dan norma yang berbeda, bukan tidak mungkin akan menyebabkan
perselisihan internal. Di situlah ASEAN Way berperan sebagai norma universal
antarnegara anggota ASEAN. ASEAN Way berisi tentang norma non
intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mementingkan otonomi
regional, dan menghindari collective defense (Khoo, 2004). Non intervensi
berarti masing-masing anggota ASEAN tidak boleh mengintervensi masalah
internal negara lain, kecuali jika memang dibutuhkan pihak lain untuk

20
membantu masalah tersebut. Non penggunaan angkatan senjata diartikan
sebagai dilarangnya penggunaan angkatan bersenjata dalam penyelesaian
konflik yang ada sehingga sebisa mungkin masalah harus diselesaikan secara
damai.

Mementingkan otonomi regional dimaksudkan bahwa negara anggota


ASEAN harus bekerja sama demi tercapainya otonomi regional Asia
Tenggara, dengan sedikit mengesampingkan otonomi masing-masing negara.
Kemudian menghindari adanya collective defense yang berarti negara anggota
ASEAN sebisa mungkin menghindari pembentukan aliansi militer dengan
negara di luar ASEAN. Walaupun terkadang collective defense bisa digunakan
untuk menyelesaikan konflik, Leifer (Acharya, 2005) menyatakan bahwa
konsultasi dan dialog akan lebih berperan dalam penyelesaian konflik
dibanding dengan collective defense. Pada intinya, norma-norma tersebut
dilaksanakan untuk dapat mencapai stabilitas regional Asia Tenggara.

ASEAN memiliki mekanisme tersendiri dalam menyelesaikan masalah


yang ada di Asia Tenggara dan sudah diatur dalam ASEAN Charter. Ada tiga
tahap penyelesaian masalah berdasarkan mekanisme ASEAN seperti yang
diatur dalam ASEAN Charter (Woon, t.t). Pertama, masalah dapat
diselesaikan hanya oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan cara negosiasi
antarnegara tersebut. Kedua, penyelesaian masalah melalui mediasi maupun
arbitrasi, dimana pihak-pihak yang berselisih berhak memilih pihak ketiga
untuk menjembatani perselisihan yang terjadi. Jika masalah masih tidak bisa
diselesaikan, tahap ketiga adalah penggunaan badan khusus atau bantuan
Sekretaris Jenderal, hanya jika pihak yang berselisih menyetujuinya. Dalam
Artikel 22(1) ASEAN Charter dinyatakan bahwa negara-negara anggota wajib
mengusahakan penyelesaian masalah dengan cara damai melalui dialog,
konsultasi, dan negosiasi (Woon, t.t). Pada intinya, tahap penyelesaian
masalah tersebut dilakukan untuk menghindari adanya konflik bersenjata yang
bisa membahayakan negara-negara di Asia Tenggara maupun negara lain di
sekitarnya.

21
Kemunculan prinsip tersebut kemudian dinyatakan dalam dua
dokumen ASEAN yang paling dasar dan penting, yaitu Bali Concord I dan
TAC yang ditandatangani di hari yang sama pada tahun 1976. Dalam
dokumen-dokumen tersebut negara-negara ASEAN menyatakan untuk selalu
mengandalkan proses penyelesaian secara damai di antara perbedaan-
perbedaan internal kawasan, mempromosikan kerja sama damai, serta
mengembangkan kesadaran dan penghormatan terhadap sesama sesuai prinsip
persamaan kedaulatan dan non-intervensi. Para pemimpin negara-negara
anggota ASEAN sendiri mencatat bahwa ASEAN Way merupakan norma
yang telah menjadi dasar pijakan di Asia Tenggara (Dermawan dan
Hestutomo, 2019).

3.4 Kelemahan atau Dilematis Pengaruh ASEAN

Strategi Tiongkok untuk menginisiasi pertumbuhan ekonomi melalui


pendekatan bilateral dalam bentuk inisiatif Belt and Road kepada sejumlah
negara anggota ASEAN menjadi faktor yang menyebabkan pelemahan
kekuatan kolektif ASEAN dalam membendung ekspansi Tiongkok.
Bersumber dari Leifer, 1996: 119, menyebutkan, hal ini merupakan tantangan
untuk menghasilkan konsensus bersama bagi ASEAN memerlukan kekuatan
kolektif untuk mencegah perpecahan internal dan ancaman eksternal
(Suharman, 2019). Meskipun ASEAN mempunyai kebanggan dengan
mempraktekan diplomasi ASEAN Way, namun sejauh ini, belum
menunjukkan sikap satu suara dalam mengelola stabilitas keamanan Laut
Tiongkok Selatan, Noor, 2017 (Suharman, 2019). Pada kenyataannya,
Tiongkok masih terus membangun pulau buatan sekaligus mengerahkan
armada militer di wilayah yang dipersengketakan.

Kontradiksi internal ASEAN dalam merumuskan kebijakan bersama


tergambar pada bagaimana masing-masing anggota mempersepsikan masalah
sengketa dan ancaman terhadap keamanan di Laut Tiongkok Selatan (Schmitt

22
& Mazza, 2011). Pilihan sikap luar negeri Filipina (era Presiden Duterte),
Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia pada kenyataanya tidak sejalan
dengan kepentingan anggota kelompok negara penuntut yang lain seperti
Vietnam jika diletakan dalam kerangka organisasi kawasan. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan sikap dan posisi kebijakan luar negeri negara-
negara penuntut berdampak bagi munculnya persaingan di dalam tubuh
organisasi dan melemahkan kekuatan ASEAN dalam merumuskan kebijakan
kolektif.

Adapun alasan tentang keterkaitan antara perbedaan sikap masing-


masing anggota ASEAN dengan kolektivitas ASEAN dipengaruhi oleh dua
hal. Pertama, kontradiksi yang disebabkan oleh perubahan persepsi ancaman
di kawasan yang bersifat dinamis. Kedua, masing-masing negara yang telah
memperoleh manfaat ekonomi dari Tiongkok lebih memilih untuk menempuh
kebijakan luar negeri yang cenderung kooperatif. Konsekuensinya, perbedaan
persepsi ancaman dalam merumuskan pilihan kebijakan antara negara anggota
ASEAN menimbulkan masalah ketidakseimbangan dalam mengelola akses
dan pengelolaan terhadap sumber-sumber produksi di Laut Tiongkok Selatan.
Kesenjangan dalam memandang tindakan Tiongkok memunculkan kontradiksi
di dalam tubuh ASEAN sendiri untuk mengambil keputusan kolektif
(Suharman, 2019).

3.5 Analisis Studi Kasus

Laut Tiongkok Selatan menempati posisi strategis antara Asia Timur


dan Asia Tenggara. Sehingga memberi pengaruh bagi jantung geopolitik dan
geoekonomi bagi banyak negara, dalam setiap gejala perubahan politik
internasional dan munculnya ancaman akan berpengaruh terhadap ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations). Dalam konteks sengketa Laut
Tiongkok Selatan, terdapat empat negara anggota ASEAN yang
berkepentingan di antaranya: Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina,

23
termasuk Indonesia. Dinamika sengketa yang terjadi ini sewaktu-waktu dapat
menambah ketegangan antara relasi hubungan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Oleh karena itu diperlukan aktor perantara yang dipercaya keberadaannya
dalam menurunkan eskalasi konflik yang sedang terjadi. ASEAN sebagai
aktor organisasi regional di kawasan Asia Tenggara tentu tidak tinggal diam.

Pemakalah kali ini memilih landasan Teori Konstruktivis untuk


menganalisis relevansi posisi ASEAN sebagai aktor organisasi internasional
yang sebagaimana harusnya memiliki pengaruh yang signifikan bagi
kawasan regional dan sekitarnya. Konstruktivisme melihat dunia, dan apa
yang dapat di ketahui tentang dunia, sebagai konstruksi sosial. Konstruktivis
berpendapat bahwa birokrasi dan struktur dibentuk bersama, yang
menyiratkan bahwa struktur memengaruhi agensi dan agensi tersebut
memengaruhi struktur. Keagénan dapat dipahami sebagai kemampuan
seseorang untuk bertindak, sedangkan struktur mengacu pada sistem
internasional yang terdiri dari unsur material dan ideasional. Hal ini
dibuktikan dengan keberadaan ASEAN yang secara struktur sengaja dibentuk
khusus oleh negara kawasan Asia tenggara, berlandaskan oleh birokrasi yang
disesuaikan dengan kondisi negara regional ASEAN. ASEAN dianggap
sebagai satu-satunya agen material organisasi internasional yang memiliki
tujuan ketika dibentuk. Secara ideasional perannya diharapkan bisa diandalkan
dalam menjaga stabilitas negara kawasan, khususnya bagi regional Asia
Tenggara.

Isu sentral lain dari konstruktivisme adalah identitas dan kepentingan.


Pemakalah memilih konsep identitas yang ditawarkan oleh kontruktivis karna
dinilai mampu memberikan gambaran posisi pengakuan yang didapatkan
ASEAN di sistem dunia internasional. Identitas adalah representasi
pemahaman aktor tentang siapa mereka, yang pada gilirannya menandakan
minat mereka. Mereka penting bagi konstruktivis karena mereka berpendapat
bahwa identitas merupakan kepentingan dan tindakan. ASEAN masuk dalam
kategori identitas kelompok atau collective identity. Jenis identitas ini

24
terbentuk ketika terdapat suatu kelompok yang berisikan kumpulan aktor
negara saling berhubungan, dan pada akhirnya membentuk suatu identitas
yang dimiliki secara bersamaan karena bergabung dengan kelompok tersebut.
Hubungan antar aktor negara bisa terjadi karena saling ketergantungan atau
karena rasa solidaritas yang tinggi. Senyalir dengan pemahaman tersebut,
ASEAN sengaja dibentuk dengan tujuan dapat meningkatkan hubungan
kerjasama antar negara kawasan Asia Tenggara yang secara historis memiliki
latarbelakang budaya hampir sama. Secara emosional negara anggota ASEAN
merasa memiliki rasa senasib dan sepenanggungan dimana negara anggota
ASEAN adalah bekas korban dari perang kepentingan selama perang dingin
berlangsung, hingga pasca perang dingin. Kini tindakan dan keberadaan
ASEAN seiring waktu telah diperhitungkan. Hal itu didapatkan ASEAN
ketika eksistensi kinerjanya sebagai agen organisasi internasional terbukti
mampu mewujudkan proses perdamaian, sehingga perlahan memberi
pengaruh bagi dunia internasional.

Hal ini diperkuat dengan dipercayanya ASEAN oleh negara kawasan


Asia Timur khususnya Tiongkok dalam menurunkan eskalasi ketegangan
konflik antar negara anggota kawasan ASEAN di Laut Tiongkok Selatan.
ASEAN dipercaya sebagai confidence-building measures antara pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap penyelesaian ketegangan di LTS (Dermawan
dan Hestutomo, 2019). Setidaknya ada beberapa kepentingan bagi ASEAN
dalam menyelesaikan sengketa LTS. Pertama, ASEAN memiliki kepentingan
untuk menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggota. Kedua, wilayah
yang sangat strategis seperti LTS membuat ASEAN harus selalu waspada
mengenai berbagai potensi konflik di kawasan, karena dikhawatirkan
memengaruhi perkembangan ekonomi kawasan. Ketiga, masalah LTS menjadi
pembuktian apakah ASEAN merupakan organisasi regional yang solid atau
tidak (Dermawan dan Hestutomo, 2019). Masalah solidaritas dalam konteks
sengketa Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan jangka panjang bagi
ASEAN untuk memelihara stabiltas kawasan sekaligus menghindari dominasi
eksternal yang berasal dari Tiongkok (Suharman, 2019).

25
Segala upaya telah ASEAN kerahkan untuk mendapatkan resolusi
yang berguna dalam menurunkan ketegangan diantara negara yang
bersengketa di LTS. Secara singkat diuraikan kembali upaya ASEAN dalam
menangani sengketa di LTS. Dimulai dari negara-negara ASEAN
menandatangani sebuah deklarasi mengenai kawasan damai, bebas, dan netral
(Zone of Peace, Freedom, and Neutrality), hingga selanjutnya pada tahun
1976, ASEAN menandatangani dokumen Declaration of ASEAN Concord
atau yang sering disebut dengan Bali Concord I dan Perjanjian Persahabatan
dan Kerjasama atau Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Pertemuan
informal Managing Potential Conflicts in the South China Sea (MPCSCS).
MPCSCS merupakan pertemuan informal yang digagas oleh Indonesia dan
didanai oleh Kanada pada tahun 1989. Pertemuan ini bertujuan “to promote
peace, stability, and cooperation in the South China Sea”. Dilanjuti oleh
ASEAN Regional Forum (ARF) 1994. Dalam perkembangan ARF kemudian,
hadir berbagai negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India, yang
dilandasi berbagai kepentingan. Pada tahun 2005, dalam rangka melaksanakan
pengimplementasian dari Declaration on the Conduct of Parties in South
China Sea (DOC), ASEAN-Tiongkok melakukan Joint Working Group dan
menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak, baik ASEAN maupun
Tiongkok, akan berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan
LTS. Dalam Bali Concord I dan TAC inilah tercantum komitmen dan
penyelesaian secara damai antarnegara ASEAN dengan cara-cara Asia
Tenggara (yang kemudian sering disebut “ASEAN Way”).

Pertanyaan mengenai dilema efektifitas peran atau pengaruh


dibentuknya ASEAN mulai terasa saat kemunculan gagasan ASEAN Way
dalam menangani sebuah sengketa. ASEAN, yang terdiri atas banyak negara
dengan budaya dan norma yang berbeda, bukan tidak mungkin akan
menyebabkan perselisihan internal. Di situlah ASEAN Way berperan sebagai
norma universal antarnegara anggota ASEAN. ASEAN Way berisi tentang
norma non intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mementingkan
otonomi regional, dan menghindari collective defense (Khoo, 2004). Identitas

26
ASEAN mengalami keraguan dimata internasional sejak sikap prinsip
ASEAN yang mengedepankan nilai non-intervensi. ASEAN dinilai tidak
memiliki pengaruh kuat secara mutlak dalam menegakan resolusi. Hal yang
dimaksud tersebut adalah negara yang berkonflik tidak terikat, sehingga tidak
memiliki kewajiban untuk mematuhi resolusi yang telah dirancang dan
disanksikan oleh ASEAN. Bahkan karena terlalu banyak kekuatan besar luar
kawasan yang terlibat di dalamnya, Hasjim Djalal (1995) mengamati,
akibatnya upaya ARF dalam isu LTS cenderung berjalan tidak terlalu efektif.

Hal ini menjadi tantangan ASEAN untuk menghasilkan konsensus


bersama yang memerlukan kekuatan kolektif untuk mencegah perpecahan
internal dan ancaman eksternal. Pasalnya strategi Tiongkok untuk
menginisiasi pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan bilateral dalam
bentuk inisiatif Belt and Road kepada sejumlah negara anggota ASEAN
menjadi faktor yang menyebabkan pelemahan kekuatan kolektif ASEAN
dalam membendung ekspansi Tiongkok. ASEAN dinilai belum mampu
mengambil sikap politik yang tegas terhadap ekspansi Tiongkok secara
kolektif. Bahkan, kelompok negara penuntut seperti Filipina sebelum
kepemimpinan Duterte dan Vietnam mengalami kekecewaan besar terhadap
kemampuan ASEAN untuk mengambil peran kolektif. Sejalan dengan
konstruktivis yang menunjukkan bahwa ASEAN seharusnya dapat melampaui
realitas material dengan memasukkan efek ide yang dapat meyakinkan politik
dunia. Ini juga mensyaratkan bahwa realitas selalu dalam pembangunan, yang
membuka prospek perubahan bagi identitas ASEAN.

Sisi lain dari dilema efektifitas dalam tubuh ASEAN. Dalam melihat
akomodasi kawasan terhadap isu LTS, ASEAN Way setidaknya tetap
mendorong keberhasilan dalam tiga aspek penting hal inilah yang menjadi.
Pertama, stabilitas kawasan LTS yang relatif damai. Bagaimana pun, dialog-
dialog yang dibangun oleh ASEAN dan negara-negara anggotanya ketika
berhadapan dengan suatu konflik sangat penting daripada upaya-upaya untuk
menghindari konflik. Sebagai organisasi kawasan dengan banyak negara yang

27
terlibat di dalamnya, konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Dengan
memahami bahwa kesepahaman tidak mungkin selalu dapat terjadi dalam
segala hal, cara-cara ASEAN ketika menangani isu LTS agar tidak menjadi
perang terbuka merupakan prestasi yang penting untuk dicatat. Konsensus
yang dimaksud dalam ASEAN Way bukan berarti kebulatan suara, melainkan
komitmen untuk menemukan cara-cara untuk terus maju dengan
mempertahankan apa yang secara umum didukung oleh negara-negara
anggota (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

Isu LTS memperlihatkan bahwa ASEAN tetap mampu menyesuaikan


diri dengan perkembangan geopolitik terkini. Pertama, kebangkitan Tiongkok.
Dengan kapabilitas militer yang kuat dan kekuatan ekonomi yang cukup baik,
Tiongkok semakin gencar melakukan peningkatan investasi di berbagai negara
Asia Tenggara. Pada tahun 2050, Tiongkok diperkirakan menjadi kekuatan
ekonomi terbesar di dunia, mengungguli AS, Jepang, dan Eropa. Kedua,
berlanjutnya kehadiran militer AS di kawasan. AS memiliki kepentingan
kebebasan navigasi di LTS.

Meski tidak menjadi badan supranasional seperti Uni Eropa yang


memiliki peraturan yang ketat dan mengikat, termasuk belum adanya tata
berperilaku yang mengikat di LTS, ASEAN mampu mempertahankan
sentralitas atau penghubung dalam arsitektur organisasi kawasan. Kemampuan
ASEAN menjadi sentral dalam menjalankan kerja sama regional disebabkan
oleh tiga hal. Pertama, ASEAN diuntungkan oleh rivalitas di antara negara-
negara besar yang mencegah mereka untuk membentuk badan keamanan
multilateral di kawasan. Ketidakmampuan Tiongkok dan Jepang untuk
menyediakan kepemimpinan yang kooperatif menyebabkan ASEAN menjadi
instrumen penting untuk menjadi penghubung kerja sama regional. Kedua,
ASEAN mampu membuat model regionalisme minimal yang menyediakan
instrumen kerja sama informal yang bisa diterima oleh Tiongkok, Jepang, AS,
dan negara besar luar kawasan lainnya. Ketiga, norma-norma ASEAN sangat
cocok dengan norma yang telah ada sebelumnya, seperti Five Principles of

28
Peaceful Co-existence yang diartikulasikan Tiongkok dan India pada tahun
1953 dalam kerangka Gerakan Non-Blok (Dermawan dan Hestutomo, 2019).

BAB IV

PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut
Tiongkok Selatan adalah dilakukan dengan cara perundingan damai
berdasarkan peraturan hukum internasional. Pendekatan yang digunakan
oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan dengan
Tiongkok menggunakan pendekatan cooperative security, otomatis
pencapaiannya bukan melalui instrument militer. Dalam hal ini komunitas
keamanan didefinisikan sebagai komunitas negara yang menyeesaikan
permasalahan di antara mereka tidak dengan penggunaan kekuatan militer,
tetapi dengan cara-cara damai (peaceful changes).
Laut Tiongkok Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik,
yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga
ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Berdasarkan ukurannya,
Laut Tiongkok Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas
kedua setelah kelima samudera. Laut Tiongkok Selatan merupakan sebuah

29
perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya
terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya
sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan
pelayaran internasional.

4.2 Saran
Oleh karena itu, dengan pentingnya posisi strategis Laut Tiongkok
Selatan yang berada di wilayah perairan Laut negara Asia Tenggara, maka
diperlukan upaya oleh negara- negara anggota ASEAN untuk
menyelesaikan konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok
secara bersama-sama. Adapun upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam
menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah sebagai berikut:
1. Melalui Deklarasi – Deklarasi Keamanan.
2. Melalui KTT ASEAN dan Petemuan Menteri Luar Negeri.
3. Melalui ASEAN Regional Forum (ARF).
4. Melalui Pertemuan Informal Managing Potential Conflicts in the
South China Sea (MPCSCS).

30
DAFTAR PUSTAKA

Finnemore, M. and K. Sikkink 1998. International norm dynamics and political


change. International Organization 52 (4): 887-917.
Holsti, K., 1970. National Role in the Study of Foreign Policy. International
Studies Quarterly, 14(3): 233-309.
March, J.G. and J.P. Olsen 1998. The institutional dynamics of international
political orders. International Organization. Cambridge Ma: The MIT
Press: 951-952
Rosyidin, M., 2015. The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional. Sleman: Tiara Wacana.
Onuf, N. (1989) A World of Our Making. Columbia, SC: University of South
Carolina Press.
Wendt, A. (1992) Anarchy is What States Make of It. International Organization
26(2): 391- 425.
Wendt, A. (1999) Social Theory of International Politics. London: CUP.
Wendt, A. (1995) Constructing International Politics. International Security 20(1):
71-81.
Wendt, A., (1994). Collective Identity Formation and the International State. The
American Political Science Review, 8(2): 384-396.

31
Acharya, Amitav. 2005. “Do Norms and Identity Matter ? Community and Power
in Southeast Asia’s Regional Order”, dalam The Pacifi Review. London:
Routledge.

Khoo, Nicholas. 2004. Deconstructing the ASEAN Securuty Community: a Review


Essay. Oxford University Press and Japan Association of International
Relation. International Relations of The Asia-Pacific Vol. 4 hal 35-46.

Hasjim Djalal, et al., Usaha-Usaha Mengalihkan Potensi Konflik di Laut Cina


Selatan Menjadi Potensi Kerjasama, Proyek Penelitian dan Pengembangan
Politik Luar Negeri Yayasan Pusat Studi Asia Tenggara dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
(Jakarta: Yayasan Pusat Studi Asia Tenggara, 1995), 25.

Deplu RI, Hubungan Kemitraan ASEAN-China (Jakarta: Departemen Luar Negeri


Republik Indonesia, 2011), 22.

ASEAN, “About The ASEAN Regional Forum,”

aseanregionalforum.asean.org/about.html (diakses 30 November 2020)

Walter Woon, Dispute Settlement the ASEAN Way (Singapore: Center for
International Law, 2012), 1. (diakses 30 November 2020)
https://www.aseanlawassociation.org/wp-content/upload/2019/10/Singapore2.p
df

Jurnal Utama :

Darmawan Arief Bakhtiar dan Hestutomo Restu Kuncoro. 2019. Penggunaan


ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan:
Sebuah Catatan Keberhasilan? Vol 8 No 1 . Jurnal. Andalas Journal of
International Studies. Universitas Andalas: Sumatera Barat, Indonesia

Suharman, Yoga . 2019. Dilema Keamanan dan Respons Kolektif ASEAN

Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan Vol. 3 No 2. Jurnal. Universitas


AMIKOM: Indonesia

32
33

Anda mungkin juga menyukai